bab ii tinjauan pustaka 2.1 katalis -...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Katalis
Katalis adalah suatu senyawa kimia yang menyebabkan reaksi menjadi lebih
cepat untuk mencapai kesetimbangan tanpa mengalami perubahan kimiawi diakhir
reaksi. Katalis tidak mengubah nilai kesetimbangan dan berperan dalam
menurunkan energi aktivasi. Dalam penurunan energi aktivasi ini, maka energi
minimum yang dibutuhkan untuk terjadinya tumbukan berkurang sehingga
terjadinya reaksi berjalan cepat (Gates, 1992). Katalis pada umumnya mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut: aktivitas, stabilitas, selektivitas, umur, regenerasi dan
kekuatan mekanik. Secara umum katalis mempunyai 2 fungsi yaitu mempercepat
reaksi menuju kesetimbangan atau fungsi aktivitas dan meningkatkan hasil reaksi
yang dikehendaki atau fungsi selektivitas (Nasikin dan Susanto, 2010)
Katalis sebagai suatu substansi kimia mampu mempercepat laju reaksi
kimia yang secara termodinamika dapat berlangsung. Hal ini disebabkan karena
kemampuannya mengadakan interaksi dengan paling sedikit satu molekul reaktan
untuk menghasilkan senyawa antara yang lebih aktif. Interaksi ini akan dapat
meningkatkan ketepatan orientasi tumbukan, meningkatkan konsentrasi akibat
lokalisasi reaktan, sehingga meningkatkan jumlah tumbukan dan membuka alur
reaksi dengan energi pengaktifan yang lebih rendah (Gates, 1992). Menurut Istadi
(2011) katalis dapat dibagi ke dalam 3 komponen yakni situs aktif, penyangga atau
pengemban dan promotor. Situs aktif berperan dalam reaksi kimia yang diharapkan,
penyangga berperan dalam memodifikasi komponen aktif, menyediakan
6
permukaan yang luas, dan meningkatkan stabilitas katalis, sementara itu promotor
berperan dalam meningkatkan atau membatasi aktivitas katalis serta berperan
dalam struktur katalis.
2.1.1 Penggolongan Katalis
Katalis dapat digolongkan ke dalam 2 jenis, yaitu katalis homogen dan
katalis heterogen. Dalam reaksi dengan katalis homogen, katalis berada dalam fase
yang sama dengan reaktan. Biasanya, semua reaktan dan katalis berada dalam satu
fasa tunggal cair atau gas. Produksi biodiesel dengan katalis homogen secara umum
menggunakan katalis H2SO4, NaOH dan KOH (Busca, 2014). Dalam reaksi dengan
katalis heterogen, katalis dan reaktan berada dalam fase yang berbeda. Katalis
heterogen cenderung lebih mudah untuk dipisahkan dan digunakan kembali dari
campuran reaksi karena fasa yang digunakan berbeda dengan produk reaksinya.
Katalis heterogen juga lebih mudah dibuat dan mudah diletakkan pada reaktor
karena fasa yang berbeda dengan pereaktannya. Biasanya katalis heterogen yang
digunakan berupa fase padat (Istadi, 2011).
Adanya beda fasa pada katalis dan pereaktan menjadikan mekanisme reaksi
menjadi sangat kompleks. Fenomena antarmuka menjadi sesuatu yang sangat
penting dan berperan. Laju reaksi dikendalikan oleh fenomena-fenomena adsorbsi,
absorbsi dan desorbsi. Reaksi cairan atau gas dengan adanya katalis padat adalah
contoh yang khas (Busca, 2014).
2.1.2 Karakteristik Katalis Padat
Kinerja katalis dipengaruhi oleh beberapa parameter yakni aktivitas,
selektivitas, deaktivasi, aliran fluida dan stabilitas katalis. Kinerja katalis juga
dipengaruhi oleh karakteristik dari katalis itu sendiri. Karakter-karakter yang
7
mempengaruhi kinerja katalis diantaranya pemilihan komponen aktif atau situs
aktif, luas permukaan katalis, serta sifat kebasaan dan keasaman permukaan.
Aktivitas dan selektivitas dicapai sebagai keadaan optimum dengan menentukan
material dan metode preparasi yang sesuai (Nasikin dan Susanto, 2010).
Pada katalis heterogen padat diyakini bahwa tidak seluruh permukaannya
bereaksi. Hanya situs tertentu pada permukaan katalis yang berperan dalam reaksi,
situs-situs tersebut disebut dengan situs aktif. Situs aktif dapat berupa atom tak
berikatan yang dihasilkan dari ketidakseragaman permukaan atau atom dengan sifat
kimia yang memungkinkan interaksi dengan atom atau molekul yang teradsorbsi
reaktan. Suatu reaksi dengan katalis heterogen padat dari reagen A menjadi produk
B berlangsung sesuai langkah-langkah dalam Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Mekanisme reaksi katalitik pada materi padat (Busca, 2014)
(1) Transpor reaktan A dari cairan bulk ke mulut pori permukaan luar pelet katalis,
(2) Difusi reaktan A dari mulut pori melalui pori katalis untuk mengisi permukaan
dalamnya, (3) Adsorpsi reaktan A pada permukaan katalis, (4) Reaksi A pada
permukaan katalis menghasilkan produk B, (5) Desorpsi produk B dari permukaan
katalis, (6) Difusi produk B dari bagian depan pori ke mulut pori permukaan luar
katalis, (7) Transfer produk B dari mulut pori pada permukaan luar katalis ke cairan
Mulut Pori
Partikel Katalis
Pori Katalis
Cairan Bulk
8
bulk (Busca, 2014). Mekanisme tersebut sangat terkait dengan fenomena adsorpsi.
Setidaknya satu dari reaktan teradsorpsi pada permukaan katalis. Mekanisme
adsorpsi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu adsorpsi secara fisika (fisisorpsi) dan
secara kimia (kemisorpsi). Pada proses fisisorpsi, interaksi yang terjadi antara
adsorbat dan adsorben adalah gaya van der Waals. Molekul yang terikat lebih lemah
dan energi yang dilepaskan relatif rendah, sekitar 20 kJ/mol. Sedangkan pada proses
kemisorpsi, interaksi adsorbat dan adsorben tersedia melalui pembentukan ikatan
yang lebih kuat. (Atkins, 1999).
Permukaan katalis mencakup permukaan eksternal dan internal pori-pori.
Untuk material yang sangat berpori, luas permukaan internal pori-pori jauh lebih
tinggi daripada luas permukaan eksternal. Distribusi ukuran pori katalis
dipengaruhi oleh kondisi preparasi dan jumlah masukan komponen aktif. Biasanya
terdapat distribusi ukuran pori yang luas pada katalis, akan tetapi, katalis juga dapat
dirancang untuk memiliki distribusi ukuran pori yang sangat kecil. Pada katalis,
situs-situs aktif tersebar di seluruh matriks berpori. Dalam kondisi temperatur dan
tekanan yang sesuai, gas secara bertahap dapat terserap pada permukaan padat dan
akhirnya menyebabkan cakupan menyeluruh (Busca, 2014).
Permukaan katalis dapat memiliki karakteristik asam maupun basa. Teori
Brønsted-Lowry mendefinisikan asam sebagai zat atau materi pemberi proton,
sedangkan basa didefinisikan sebagai zat atau materi penerima proton. Sementara
itu, Lewis mendefinisikan asam sebagai zat atau materi akseptor pasangan elektron
dan basa didefinisikan sebagai zat atau materi pendonor pasangan eletron (Lufaso,
2014). Definisi asam-basa dapat digunakan untuk menerangkan fenomena asam-
basa yang ditunjukkan sebagai karakteristik permukaan katalis. Hal ini perlu untuk
9
menerangkan gugus aktif pada material tersebut, baik berupa gugus asam maupun
basa. Penentuan letak gugus aktif ini sangat rumit, namun konsep sederhana yang
dapat dilakukan adalah dengan menghubungkan sifat permukaan dengan adanya
ikatan terhadap asam maupun basa yang teradsorpsi (Yang, 2003). Pengertian
keasaman atau kebasaan permukaan padatan meliputi aspek kekuatan asam atau
basa dan jumlah gugus asam atau basanya serta pusat asam atau basa dari berbagai
macam padatan. Jumlah basa pada permukaan biasanya dinyatakan sebagai
banyaknya senyawa asam yang dapat teradsorpsi dalam suatu berat sampel per
satuan luas permukaan padatan, sementara itu jumlah asam pada permukaan berarti
sebaliknya. Jumlah asam atau basa yang teradsorpsi secara kimia pada permukaan
padatan menunjukkan banyaknya gugus aktif pada permukaan padatan
(Trisunaryanti, 1986).
2.2 Abu Sekam Padi dan Modifikasinya
2.2.1 Abu Sekam Padi
Sekam padi adalah bagian terluar atau bagian kulit dari tanaman padi.
Setiap ton padi dapat memproduksi sebesar 200 kg sekam padi, yang mana dengan
pembakaran sempurna dapat dihasilkan 40 kg abu sekam padi. Abu sekam padi
memiliki komposisi utama berupa silika (87-99%) dan juga sebagian kecil garam-
garam anorganik (Della, et al., 2002). Sekam padi yang digunakan dalam penelitian
ini memiliki kandungan utama silika.
10
Sekitar 70 juta ton abu sekam padi yang dapat diproduksi dunia setiap
tahunnya. Abu sekam padi banyak digunakan dalam pondasi pada bahan bangunan
dan juga digunakan sebagai adsorben untuk menjerap zat pewarna organik. Abu
sekam padi memiliki kandungan silika yang tinggi sehingga berpotensi sebagai
penghasil silikat dan silika (An et al., 2011 dan Wang et al., 2011).
Abu sekam padi memiliki luas permukaan yang tinggi yaitu sebesar 13,243
m2/g dan merupakan material yang sangat berpori. Karakteristik tersebut membuat
abu sekam padi sebagai material pengemban atau penyangga katalis yang baik
(Hindryawati et al., 2014). Dalam penelitian Akbar (2009) silika tidak
menunjukkan aktivitas katalitik dalam transesterifikasi trigliserida, akan tetapi
dengan mengembankan kation alkali pada material yang mengandung silika
diketahui dapat menyediakan situs aktif basa yang dapat mengkatalisis reaksi
tersebut.
2.2.2 Litium
Litium adalah logam alkali yang paling ringan, memiliki nomor atom 3 dan
nomor massa sebesar 6,94. Litium memiliki bilangan oksidasi 0 dan +1. Meski
tergolong logam alkali, unsur ini dan persenyawaanya tidak serupa dengan logam
alkali lainnya. Besarnya densitas muatan ionik dan kecendrungannya membentuk
ion monopositif sangat mempengaruhi kestabilan senyawa litium. Begitu juga jenis
ikatan yang dibentuk oleh litium dengan atom lain, ion, ataupun radikal. Besarnya
densitas muatan dari ion litium merupakan faktor penting dalam konfigurasi litium
(William, 1973).
Secara kimia, logam litium bersifat sangat reaktif, unsur ini bereaksi dengan
unsur non-logam selain gas inert, sebagian besar metaloid, dan sebagian besar
11
logam pada kondisi yang sesuai. Salah satu sifat yang menarik adalah logam ini
memiliki kerapatan yang amat kecil yaitu 0,534 g cm-3, kira-kira setengah kerapatan
air pada temperatur ruangan. Pada temperatur normal litium memiliki kerapatan
terendah dibanding unsur non-gas lainnya. Logam ini lebih keras dan memiliki titik
leleh yang lebih tinggi dibandingkan logam alkali lainnya (William, 1973).
Hindriyawati et al. (2014) dalam penelitiannya telah menemukan bahwa
logam alkali litium berperan sebagai situs aktif katalis dalam abu sekam padi.
Sementara itu, Chen et al. (2013) menyebutkan bahwa abu sekam padi merupakan
material yang kaya dengan silika. Modifikasi abu sekam padi dengan litium bersifat
lebih tahan air dan udara dibandingkan abu sekam padi yang dimodifikasi logam
alkali lainnya. Chen et al. (2011) dan Chen et al. (2012) sebelumnya juga telah
meneliti bahwa apabila silika direaksikan dengan litium pada temperatur diatas 515-
565oC akan menghasilkan senyawa Li2SiO3 (Chen et al., 2011) dan pada temperatur
yang diatas 565-764oC menghasilkan pula Li4SiO4 (Chen et al., 2012). Kedua
senyawa telah digunakan dalam mengkatalisis reaksi transesterifikasi biodiesel
dengan memberikan hasil konversi yang tinggi (Chen et al., 2013).
2.2.3 Metode Keramik (Solid State Reaction)
Metode keramik (Solid state reaction) merupakan reaksi langsung antara
satu reagen starter dengan reagen lainnya (biasanya padatan bubuk) pada
temperatur tinggi berkisar 700oC-1600oC. Temperatur yang tinggi menyediakan
energi yang diperlukan untuk melakukan reaksi. Produk hasil metode keramik
merupakan senyawaan yang stabil secara termodinamik. Biasanya reaktan dalam
bentuk bubuk dicampurkan dan dipanaskan dalam waktu lama. Metode ini dapat
12
diterapkan dalam mempreparasi sejumlah material diantaranya campuran oksida
logam, sulfida, nitrida, dan aluminosilikat (Lufaso, 2014)
2.3 Karakterisasi Katalis
Dalam pembuatan katalis, perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui
struktur dan karakteristiknya. Pengujian katalis ini disebut dengan karakterisasi.
Pemilihan metode karakterisasi merupakan hal yang amat penting untuk
mengidentifikasi sifat-sifat katalis. Pemilihan metode karakterisasi katalis dapat
ditinjau dari keperluan atau kepentingannya secara ilmiah dan teknis, biaya
karakterisasi, dan kemudahan akses peralatan (Istadi, 2011).
2.3.1 Karakterisasi Luas Permukaan dengan Surface Area Analyzer (SAA)
Surface Area Analyzer (SAA) merupakan salah satu alat dalam karakterisasi
material katalis. Alat ini berfungsi untuk menentukan luas permukaan material,
distribusi pori dari material dan isotherm adsorpsi suatu gas pada suatu material.
Prinsip kerjanya menggunakan mekanisme adsorpsi gas, umumnya nitrogen, argon
dan helium, pada permukaan suatu bahan padat yang akan dikarakterisasi pada
temperatur konstan seringkali pada suhu didih dari gas tersebut. Alat tersebut pada
dasarnya hanya mengukur jumlah gas yang dapat diserap oleh suatu permukaan
padatan pada tekanan dan temperatur tertentu (Busca, 2014).
Penentuan luas permukaan ini dilakukan dengan pendekatan isoterm
adsorpsi BET (Brunauer-Emmet-Teller). Dalam eksperimen, penentuan luas
permukaan dilakukan dengan mengalirkan gas nitrogen ke permukaan padatan pada
temperatur tertentu. Luas permukaan dapat ditentukan dari perbandingan
volume/jumlah partikel teradsorpsi yang membentuk lapisan tunggal (Vm) seperti
persamaan berikut:
13
𝑉
𝑉𝑚=
𝐶 . 𝑥
(1 − 𝑥)(1 − 𝑥 + 𝐶𝑥)
dengan x = P/Po, P adalah tekanan gas yang teradsorpsi, Po adalah tekanan gas yang
membentuk lapisan tunggal, dan C adalah konstanta adsorpsi-desorpsi (C=
Kadsorpsi/Kdesorpsi). Persamaan diatas dapat disesuaikan dengan hasil eksperimen
yang menghasilkan data berupa P atau V dengan cara membuat resiprok kedua sisi
persamaan tersebut kemudian mengalikan kedua sisi dengan Vm dan (1-x)/x,
sehingga didapat persamaan sebagai berikut:
𝑥
1 − 𝑥
1
𝑉=
1
𝐶. 𝑉𝑚+
(𝐶 − 1)𝑥
𝐶. 𝑉𝑚
Persamaan akhir tersebut dapat diterapkan pada plot (x/1-x)1/V terhadap x,
sehingga Vm dan C dapat ditentukan. Melalui dua nilai tersebut, luas permukaan
dapat ditentukan (Busca, 2014).
Luas permukaan (surface area) merupakan sifat yang penting dalam aplikasi
katalis. Istilah tekstur (texture) merujuk pada struktur pori partikel secara umum
meliputi luas permukaan, distribusi ukuran pori, dan bentuk pori. Dari beberapa
sifat kaitannya dengan tekstur tersebut, luas permukaan spesifik (specific surface
area, Sg, m2g-1) merupakan parameter yang paling penting kaitannya dengan
permukaan katalis di dalam desain katalis heterogen. Luas permukaan total
merupakan kriteria krusial untuk katalis padat karena sangat menentukan jumlah
situs aktif di dalam katalis kaitanya dengan aktivitas katalis (Istadi, 2011).
2.3.2 Karakterisasi Gugus Fungsi dengan FTIR
Spektrofotometer inframerah merupakan alat untuk mendeteksi gugus
fungsional, mengidentifikasi senyawa, dan menganalisis campuran. Spektroskopi
FTIR (Fourier Transform Infrared) merupakan spektroskopi inframerah yang
14
dilengkapi dengan transformasi Fourier untuk deteksi dan analisis hasil
spektrumnya. Inti spektroskopi FTIR adalah interferometer Michelson yaitu alat
untuk menganalisis frekuensi dalam sinyal gabungan. Prinsip dasar adsorpsi radiasi
inframerah adalah bila sinar inframerah dilewatkan melalui cuplikan senyawa
organik, maka sejumlah frekuensi diserap dan frekuensi lainnya diteruskan atau
ditransmisikan tanpa diserap. Jika menggambarkan antara persen absorbansi atau
persen transmitansi dengan frekuensi, maka akan dihasilkan suatu spektrum
inframerah (Sastroamidjojo, 1991).
Spektrum inframerah tersebut dihasilkan dari pentrasmisian cahaya yang
melewati sampel, pengukuran intensitas cahaya dengan detektor dan dibandingkan
dengan intensitas tanpa sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Spektrum
inframerah yang diperoleh kemudian diplot sebagai intensitas fungsi energi,
panjang gelombang (µm) atau bilangan gelombang (cm-1). Daerah yang sering
dianalisis spektrofotometer inframerah adalah dalam kisaran 4000-500 cm-1 atau
lebih rendah (Tan, 1982).
Serapan inframerah berkaitan dengan getaran molekul atau atom. Atom-
atom yang terikat oleh ikatan kovalen dalam suatu senyawa mengalami getaran
(vibrasi) atau osilasi. Bila molekul menyerap radiasi inframerah, energi yang
diserap menyebabkan kenaikan dalam amplitude getaran atom-atom yang terikat
itu. Jadi, molekul ini berada dalam keadaan vibrasi tereksitasi (energi yang terserap
ini akan dibuang dalam keadaan panas bila molekul itu kembali ke keadaan dasar).
Keadaan vibrasi dari ikatan terjadi pada keadaan tetap, atau terkuantitas tingkat-
tingkat energi. Panjang gelombang dari absorpsi oleh suatu tipe ikatan tertentu
bergantung pada macam getaran dari ikatan tersebut. Oleh karena itu, tipe ikatan
15
yang berlainan (C-H, C-C, O-H, dan sebagainya) menyerap radiasi inframerah pada
panjang gelombang karakteristik yang berlainan (Fessenden, 1994).
Tipe getaran dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (1) getaran ulur atau
deformasi, dimana atomnya berosilasi pada arah sumbu ikatan tanpa mengubah
sudut ikatan dan (2) getaran tekuk, dimana gerakan atom-atomnya menghasilkan
perubahan sudut ikatan. Oleh karena itu, getaran ulur terjadi pada frekuensi yang
lebih tinggi daripada getaran tekuk (Tan, 1982).
Analisa gugus fungsi suatu sampel dapat dilakukan dengan membandingkan
pita serapan spektra inframerah terhadap tabel korelasi dan menggunakan spektrum
senyawa pembanding yang sudah pernah diteliti sebelumnya (Silverstein, 1984).
2.3.3 Karakterisasi Komposisi Unsur Li:Si dengan LIBS
Laser-Induced Breakdown Spectroscopy (LIBS) adalah suatu teknik
analisis sampel secara kualitatif dan kuantitatif yang cepat, tidak merusak
(nondestructive test) dan hampir tanpa preparasi sampel. Saat laser difokuskan pada
permuaan sampel, sebagian kecil (orde µg) dari sampel di ablasikan dan terbentuk
plasma yang berisikan elektron-elektron, atom-atom netral, atom-atom tereksitasi
dan ion-ion. Elektron-elektron dalam atom yang tereksitasi akan bertransisi ke
keadaan dasar (ground state) dengan melepaskan atau mengemisikan energi dalam
bentuk photon. Photon ditangkap oleh spektrometer dan ditampilkan sebagai
intensitas fungsi panjang gelombang. Nilai panjang gelombang dalam spektrum
sesuai dengan jenis unsurnya dan digunakan untuk analisis kualitatif, sedangkan
besarnya intensitas emisi sebanding dengan konsentrasi suatu unsur dalam bahan
dan digunakan untuk analisis kuantitatif (Cremers, et al., 2006). Rangkaian
peralatan eksperimental dari LIBS umumnya terdiri dari laser berdurasi pendek,
16
lensa pemfokus, optik pengumpul (Collecting Optic) untuk radiasi yang
dipancarkan, analyzer panjang gelombang (spektrograf) dan detektor (CCD),
semua dikendalikan oleh komputer, seperti diilustrasikan oleh Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Skema Instrumentasi LIBS
2.3.4. Karakterisasi Sifat Asam-Basa Permukaan dengan Titrasi Asam-Basa
Titrasi asam-basa merupakan salah satu prosedur yang digunakan untuk
menentukan konsentrasi dari suatu asam atau basa. Dalam titrasi digunakan larutan
standar telah diketahui secara akurat konsentrasinya yang disebut dengan larutan
baku. Ketika larutan yang sudah diketahui konsentrasinya direaksikan dengan
larutan yang tidak diketahui konsentrasinya maka akan dicapai suatu kondisi
dimana jumlah asam setara dengan jumlah basa, keadaan ini dikenal sebagai titik
ekivalen. Keadaan ekivalen dapat diketahui dengan menggunakan larutan indikator
(Winarto, 2013).
Permukaan material dapat bersifat asam atau basa akibat adanya gugus-
gugus tertentu di permukaan. Untuk menentukan karakteristik asam atau basa dapat
diterapkan pendekatan yang sederhana yakni dengan menghubungkan sifat
permukaan dengan adanya ikatan terhadap asam maupun basa yang teradsorp.
17
Jumlah asam atau basa pada permukaan dapat dinyatakan sebagai banyaknya
molekul atau jumlah basa yang dapat teradsorp dalam suatu berat sampel per satuan
luas permukaan padatan (Yang, 2003).
2.4 Biodiesel dan Produksinya
Biodiesel adalah monoalkil ester dari berbagai macam asam-asam lemak
rantai panjang yang terkandung dalam minyak nabati maupun hewani untuk
digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel. Biodiesel diperoleh dari reaksi
transesterifikasi molekul trigliserida atau lemak yang besar dan bercabang menjadi
metil ester yang lebih kecil dan merupakan rantai lurus (Knothe et al., 2002).
Minyak dan lemak merupakan trigliserida karena miyak dan lemak membentuk
ester dari tiga molekul asam lemak yang terikat pada molekul gliserol (Ketaren,
2005).
2.4.1 Minyak Biji Malapari
Tumbuhan malapari berperan dalam menyediakan dua sumber energi, yaitu
kayunya sebagai bahan bakar yang memiliki kalori sebesar 19,2 MJ/kg, dan bijinya
mengandung minyak nabati dengan kandungan minyak sebesar 27 – 39% dari berat
keringnya. Tanaman ini sudah terkenal di India sebagai sumber kayu bakar dan
minyak lemak non-pangan untuk bahan bakar lampu (Soerawidjaja, 2005).
18
Gambar 2.3 (atas) Buah Malapari dan Bijinya (bawah) Pohon Malapari
Minyak malapari dapat diperoleh melalui ekstraksi padat-cair. Ekstraksi
yang dilakukan menggunakan metoda sokhletasi, yakni sejenis ekstraksi dengan
pelarut organik yang dilakukan secara berulang-ulang dan menjaga jumlah pelarut
relatif konstan, dengan menggunakan alat sokhlet. Minyak nabati merupakan suatu
senyawa trigliserida dengan rantai karbon jenuh maupun tidak jenuh. Minyak nabati
umumnya larut baik dalam pelarut organik, seperti benzen dan n-heksana. Untuk
mendapatkan minyak nabati dari bagian tumbuhan dapat dilakukan metode
sokhletasi dengan menggunakan n-heksana (Bobade et al., 2012). Minyak yang
baru diekstraksi berwarna kekuning-kuningan hingga kecoklatan dan akan segera
berwarna gelap setelah disimpan. Minyak ini biasanya berbau tidak sedap dan
19
berasa pahit (Meher et al., 2004). Komposisi asam lemak dalam minyak malapari
terdapat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Tabel komposisi asam lemak minyak biji malapari (Bala et al., 2011)
Asam Lemak Rumus Molekul Komposisi (%)
Asam Palmitat (16:0) C16H32O6 7,18
Asam Stearat (18:0) C18H36O2 3,32
Asam Lignoserat (24:0) C24H48O2 1,09
Asam Behenat (22:0) C22H44O2 2,48
Asam Oleat (18:1) C18H34O2 43,99
Asam Linoleat (18:2) C18H32O2 17,38
Asam Linolenat (18:3) C18H30O2 3,51
Asam Arakhidat (20:0) C20H40O2 0,78
Asam Erusat (22:1) C22H42O2 15,90
Asam 11-Eikosanoat (20:1) C20H38O2 3,43
Berdasarkan penelitian Bobade et al. (2012), diketahui bahwa karakteristik
biodiesel dari minyak biji malapari pada umumnya memiliki berat jenis sebesar
0,86 g/cm3, viskositas kinematik pada temperatur 40oC sebesar 4,78 cSt, bilangan
dan asam sebesar 0,42 mgKOH/g. Karakteristik di atas mengindikasikan bahwa
biodiesel minyak biji malapari merupakan pilihan yang baik sebagai energi
terbarukan (renewable energy).
2.4.2 Reaksi Transesterifikasi
Transesterifikasi adalah tahap konversi dari trigliserida menjadi alkil ester
oleh alkohol-alkohol rantai pendek. Diantara alkohol-alkohol yang dapat digunakan
sebagai sumber gugus alkil, alkohol jenis metanol adalah yang paling umum
digunakan karena harganya ekonomis dan reaktifitasnya paling tinggi. Reaksi
transesterifikasi bertujuan untuk mereaksikan trigliserida dalam minyak nabati atau
lemak hewani dengan metanol menghasilkan metil ester asam lemak atau biodiesel
dan gliserol (gliserin) sebagai produk samping (Knothe et al., 2002). Secara umum,
katalis yang digunakan pada proses transesterifikasi adalah basa alkali karena reaksi
20
dapat berlangsung lebih cepat dan temperatur reaksi yang diperlukan juga lebih
rendah dibanding katalis asam (Lam et al., 2010). Katalis basa yang sering
digunakan adalah NaOH atau KOH. Tanpa adanya katalis reaksi ini akan berjalan
lambat. Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi metil ester digambarkan pada
Gambar 2.3 (a), tahapannya digambarkan oleh Gambar 2.3 (b), sementara itu
mekanismenya digambarkan oleh Gambar 2.3 (c).
(a)
(b)
21
(c)
Gambar 2.4. Reaksi Transesterifikasi Trigliserida oleh Metanol
menjadi Metil Ester (Lam et al., 2010)
Transesterifikasi minyak nabati menjadi biodiesel merupakan suatu proses
bertahap dan reversible. Untuk mencegah kembalinya reaksi ke arah reaktan,
seringkali digunakan alkohol berlebih. Proses ini dipengaruhi oleh beberapa
parameter antara lain: (1) homogenisasi reaksi, (2) rasio molar, (3) temperatur
reaksi, (4) waktu reaksi, (5) tekanan reaksi, (6) jenis katalis (Lam et al., 2010)
2.4.3 Analisis Komponen Metil Ester Biodiesel dengan GC-MS
Kromatografi gas-spektroskopi massa atau Gas Chromatography-Mass
Spectrometry (GC-MS) merupakan gabungan dari kromatografi gas yang
22
menghasilkan pemisahan dari komponen-komponen dalam campuran dan
spektroskopi massa yang merupakan alat untuk mengetahui berat senyawa dari
setiap puncak kromatogram. Pada metode ini komponen-komponen dalam sampel
dipisahkan oleh kromatografi gas dan hasil pemisahan dideteksi oleh spektroskopi
massa. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi sampel campuran dari
beberapa komponen. Puncak-puncak kromatogram memberikan informasi jumlah
komponen yang ada dalam sampel dan spektra dari spektroskopi massa
memberikan informasi penting dalam proses identifikasi senyawa
(Sastrohamidjojo, 1988).
Prinsip dari GC-MS adalah menguapkan senyawa organik dan mengionkan
uapnya. Molekul-molekul organik ditembak dengan berkas elektron dan diubah
menjadi ion-ion bermuatan positif (ion molekul) yang dapat dipecah menjadi ion-
ion yang lebih kecil. Molekul organik mengalami proses pelepasan satu eletron
menghasilkan ion radikal yang mengandung satu elekton tidak berpasangan. Ion-
ion radikal ini akan dipisahkan dalam medan magnet dan akan menimbulkan arus
ion pada kolektor. Spektra massa merupakan gambar antaran limpahan relatif lawan
perbandingan massa/muatan (m/z) (Sastrohamidjojo, 1988).
Kromatografi gas-spektoskopi massa ini biasa digunakan untuk analisis
kualitatif senyawa organik yang pada umumnya bersifat dapat diuapkan (Cresswell
et al., 1982). Transesterifikasi minyak nabati akan mengubah asam-asam lemak
pada minyak menjadi metil esternya. Setiap metil ester dari asam lemak bersesuaian
akan memiliki karakter yang khas dan metil ester dari minyak dengan kandungan
terbesar akan dapat diidentifikasi dan dijadikan acuan keberhasilan pembuatan
biodiesel.