bab ii tinjauan pustaka 2.1 kemiskinan 2.1.1. pengertian dan
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kemiskinan
2.1.1. Pengertian dan Bentuk Kemiskinan
Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang sering terjadi pada negara-
negara dunia ketiga. Kemiskinan ditandai dengan keterbelakangan dan
ketertinggalan, rendahnya produktivitas, selanjutnya meningkat menjadi
rendahnya pendapatan yang diterima. Hampir di setiap negara kemiskinan selalu
terpusat di tempat-tempat tertentu, yaitu biasanya di pedesaan atau di daerah-
daerah yang kekurangan sumber daya.
Gunawan Sumodiningrat dkk (1999 : 1) kemiskinan dipandang sebagai
bagian dari masalah dalam pembangunan, yang keberadaannya ditandai dengan
adanya pengangguran, keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi
ketimpangan.
Kemiskinan berarti kelaparan, kekuarangan gizi, ditambah pakaian dan
perubahan yang memadai, tingkat pendidikan yang rendah, tidak ada atau sedikit
sekali kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang elementer (Ajit
Ghose dan Keit Griffin 1980: 545).Secara umum, kemiskinan diartikan sebagai
kondisi ketidakmampuan pendapatan dalam mencukupi kebutuhan pokok
sehingga kurang mampu untukmenjamin kelangsungan hidup (Suryawati, 2004 :
122). Kemampuan pendapatan untuk mencukupi kebutuhan pokok berdasarkan
standar harga tertentu adalahrendah sehingga kurang menjamin terpenuhinya
standar kualitas hidup padaumumnya. Berdasarkan pengertian ini, maka
10
Universitas Sumatera Utara
kemiskinan secara umum didefinisikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan
pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya yang dapat
menjaminterpenuhinya standar kualitas hidup.
Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004, kemiskinan
adalahkondisi sosial ekonomi seseorang atau sekelompok orang yang tidak
terpenuhinyahak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan yangbermartabat. Kebutuhan dasar yang menjadi hak seseorang atau
sekelompokorang meliputi kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
perumahan,air bersih, pertanahan, sumber daya alam, lingkungan hidup, rasa
aman dariperlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi
dalampenyelenggaraan kehidupan sosial dan politik. Laporan Bidang
KesejahteraanRakyat yang dikeluarkan oleh Kementrian Bidang Kesejahteraan
(Kesra) tahun2004 menerangkan pula bahwa kondisi yang disebut miskin ini juga
berlaku padamereka yang bekerja akan tetapi pendapatannya tidak mencukupi
untuk memenuhi kebutuhan pokok/dasar.
Pandangan yang dikemukakan dalam definisi kemiskinan dari Chambers
(1983 : 145-148) menerangkan bahwa kemiskinan adalah suatu kesatuan konsep
(Integrated concept) yang memiliki lima dimensi, yaitu:
1) Kemiskinan (proper)
Permasalahan kemiskinan seperti halnya pada pandangan semula adalah
kondisi ketidakmampuan pendapatan untuk mencukupi kebutuhan-
kebutuhan pokok. Konsep atau pandangan ini berlaku tidak hanya pada
kelompok yang tidak memiliki pendapatan, akan tetapi dapat berlaku pula
pada kelompok yang telah memiliki pendapatan.
Universitas Sumatera Utara
2) Ketidakberdayaan (powerless)
Pada umumnya, rendahnya kemampuan pendapatan akan berdampak pada
kekuatan sosial (social power) dari seseorang atau sekelompok orang
terutama dalam memperoleh keadilan ataupun persamaan hak untuk
mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
3) Kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency)
Seseorang atau sekelompok orang yang disebut miskin tidak memiliki atau
kemampuan untuk menghadapi situasi yang tidak terduga di mana situasi
ini membutuhkan alokasi pendapatan untuk menyelesaikannya. Misalnya,
situasi rentan berupa bencana alam, kondisi kesehatan yang membutuhkan
biaya pengobatan yang relatif mahal, dan situasi-situasi darurat lainnya
yang membutuhkan kemampuan pendapatan yang dapatmencukupinya.
Kondisi dalam kemiskinan dianggap tidak mampu untuk menghadapi
situasi ini.
4) Ketergantungan (dependency)
Keterbatasan kemampuan pendapatan ataupun kekuatan sosial dari
seseorang atau sekelompok orang yang disebut miskin tadi
menyebabkantingkat ketergantungan terhadap pihak lain adalah sangat
tinggi. Merekatidak memiliki kemampuan atau kekuatan untuk
menciptakan solusi ataupenyelesaian masalah terutama yang berkaitan
dengan penciptaan pendapatan baru. Bantuan pihak lain sangat
diperlukanuntuk mengatasipersoalan-persoalan terutama yang berkaitan
dengan kebutuhan akan sumber pendapatan.
5) Keterasingan (isolation)
Universitas Sumatera Utara
Dimensi keterasingan seperti yang dimaksudkan oleh Chambers
adalahfaktor lokasi yang menyebabkan seseorang atau sekelompok
orangmenjadi miskin. Pada umumnya, masyarakat yang disebut miskin
iniberada pada daerah yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.
Halini dikarenakan sebagian besar fasilitas kesejahteraan lebih
banyakterkonsentrasi di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi seperti di
perkotaanatau kota-kota besar. Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil
atau sulit dijangkau oleh fasilitas-fasilitas kesejahteraan relatif memiliki
tarafhidup yang rendah sehingga kondisi ini menjadi penyebab
adanyakemiskinan.
Dari kelima jenis ketidakberuntungan ini, Chambers menganjurkan agar
dua jenis ketidakberuntungan pada keluarga miskin yang patut diperhatikan yaitu
1) Kerentanan dan 2) ketidakberdayaan karena kedua jenis ketidakberuntungan ini
sering menjadi sebab keluarga miskin menjadi lebih miskin.
Sementara itu Jhon Friedmann dalam Sismudjito (2004 : 136)
Mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk
mengakumulasikan basis kekuatan sosial. Basiskekuasaan sosial yang dimaksud
meliputi (tidakterbatas pada) modal yang produktif atau aset (misalnya tanah,
perumahan, peralatan, dan kesehatan), sumber-sumber keuangan (pendapatan dan
kredit yang memadai), organisasi sosial politik yang dapat digunakan untuk
mencapai kepentingan bersama (partai politik, koperasi jaringan kerja untuk
memperoleh pekerjaan, barang-barang,pengetahuan dan keterampilan yang
memadai dan informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan).
Universitas Sumatera Utara
Kuncoro (2006: 119) mendefinisikan, kemiskinan sebagai
ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum, selanjutkan
Situmorang (2008: 3) mendefinisikan kemiskinan sebagai situasi serba
kekurangan dari penduduk yang terwujud dalam dan disebabkan oleh terbatasnya
modal yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan keterampilan, rendahnya
produktivitas, rendahnya pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil produksi orang
miskin dan terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan.
Seterusnya Supriatna (2000 : 124) menyatakan kelompok penduduk
miskin yang berada pada masyarakat pedesaan dan perkotaan, pada umumnya
dapat digolongkan, pada buruh tani, petani gurem, pedagang kecil, nelayan,
pengrajin kecil, buruh, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pemulung,
gelandangan, pengemis, dan pengangguran. Sedangkan Prayitno (dalam Susiana
dan Indahri 2000 : 79) kemiskinan dapat pula dinyatakan sebagai besarnya
pengeluaran rupiah yang mampu memenuhi kecukupan konsumsi sebanyak 2.100
kalori per kapita per hari, di tambah dengan pemenuhan kebutuhan pokok
minimum lainnya seperti kebutuhan untuk perumahan, bahan bakar, sandang,
pendidikan, kesehatan dan transportasi.
Selanjutnya Brodjoeneoro (dalam Chozin 2010 : 202) menyebutkan
kemiskinan masyarakat pesisir itu memiliki tiga kategori yang saling terkait :
1) Kemiskinan struktural
Kemiskinan yang disebabkan oleh struktur ekonomi, struktur sosial dan
struktur politik yang tidak kondusif meningkatkan kesejahteraan.
Universitas Sumatera Utara
2) Kemiskinan kultural
Kemiskinan akibat faktor budaya berupa kemalasan, cara berpikir fatalistik
dan etos wirausaha yang rendah. Kemiskinan ini terjadi akibat dari
pendidikan rendah, keterbatasan akses dan pembangunan yang tidak
merata.
3) Kemiskinan natural
Kemiskinan natural terjadi akibat keterbatasan sumber daya alam untuk
produksi. Selain dari pada yang disebut diatas kemiskinan juga terjadi
karena ketiadaan modal akibat akses pada lembaga permodalan bank dan
non bank yang rendah akibat jauh dari perkotaan dan produk yang penuh
resiko dan ketidakpastian.
Gunawan Sumodiningrat (dalam Susiana Sali dan Indahri Yulia 2000 :
105) membedakan kemiskinan itu kedalam tiga kategori yaitu :
1) Kemiskinan absolut.
Seseorang dikatakan miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya
di bawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum antara lain kebutuhan pangan,
sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk
bisa hidup bekerja. Rendahnya tingkat pendapatan ini terutama disebabkan
oleh keterbatasan sarana dan prasarana fisik dan kelangkaan modal atau
miskin karena sebab alami.
2) Kemiskinan relatif (kemiskinan struktural).
Kemiskinan relatif adalah pendapatan seseorang yang sudah diatas garis
kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibanding pendapatan masyarakat
Universitas Sumatera Utara
disekitarnya. Kemiskinan ini relatif erat kaitannya dengan masalah
pembangunan yang bersifat struktural yakni kebijaksanaan pembangunan
yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan
ketimpangan pendapatan.
3) Kemiskinan kultural
Kemiskinan kultural mengacu kepada sikap seseorang atau masyarakat
yang disebabkan oleh faktor budaya tidak mau berusaha untuk
memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk
membantunya.
Adapun jenis kemiskinan berdasarkan sifatnya adalah:
1) Kemiskinan Alamiah
Kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang terbentuk sebagai
akibatadanya kelangkaan sumber daya alam dan minimnya atau ketiadaan
prasarana umum (jalan raya, listrik, dan air bersih), dan keadaan tanah
yangkurang subur. Daerah-daerah dengan karakteristik tersebut pada
umumnyaadalah daerah yang belum terjangkau oleh kebijakan
pembangunansehingga menjadi daerah tertinggal.
2) Kemiskinan Buatan
Kemiskinan buatan adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh
sistemmoderenisasi atau pembangunan yang menyebabkan masyarakat
tidakmemiliki banyak kesempatan untuk menguasai sumber daya, sarana,
danfasilitas ekonomi secara merata. Kemiskinan seperti ini adalah
dampaknegatif dari pelaksanaan konsep pembangunan (developmentalism)
Universitas Sumatera Utara
yangumumnya dijalankan di negara-negara sedang berkembang. Sasaran
untuk
mengejar target pertumbuhan ekonomi tinggi mengakibatkan
tidakmeratanya pembagian hasil-hasil pembangunan di mana sektor
industrimisalnya lebih menikmati tingkat keuntungan dibandingkan
mereka yangbekerja di sektor pertanian.
Kedua jenis kemiskinan di atas seringkali masih dikaitkan dengan
konseppembangunan yang sejak lama telah dijalankan di negara-negara sedang
berkembang pada dekade 1970-an dan 1980-an (Jarnasy, 2004: 8).
Menurut Nugroho dan Dahuri (2004:167-168) kemiskinan alamiah
timbul akibat keterbatasan sumber daya alam, manusia, dan sumberdaya lain
sehingga peluang produksi relatif kecil dan tidak dapat berperan dalam
pembangunan. Sedangkan kemiskinan struktural dan sosial disebabkan hasil
pembangunan yang belum merata, tatanan kelembagaan dan kebijakan dalam
pembangunan. Soegijoko (1997:137).Selanjutnya Nasution (1996 :48-50)
menyatakan kemiskinan kultural (budaya) disebabkan sikap atau kebiasaanhidup
yang merasa kecukupan sehingga menjebak seseorang dalam kemiskinan.
Penyebab kemiskinan bersifat kompleks dan terbagi dalam beberapa
dimensi penyebab kemiskinan (David Cox dalam Soeharto 2004 : 132), yaitu :
1. Kemiskinan yang diakibatkan oleh globalisasi. Globalisasi melahirkan negara
pemenang dan negara kalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju,
sedangkan negara-negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh
persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi. Karena negara-
Universitas Sumatera Utara
negara berkembang terpinggirkan maka jumlah kemiskinan di negara-negara
berkembang jauh lebih besar dibandingkan negara-negara maju.
2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan, Pola pembangunan yang
diterapkan telah melahirkan beberapa bentuk kemiskinan, seperti kemiskinan
perdesaan, adalah kondisi wilayah desa yang mengalami kemiskinan akibat proses
pembangunan yang meminggirkan wilayah perdesaan, kemiskinan perkotaan,
yaitu kondisi kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan kecepatan
pertumbuhan ekonomi, dimana tidak semua kelompok memperoleh keuntungan
3. Kemiskinan sosial dimensi ketiga ini melihat pada kondisi sosial masyarakat
yang tidak menguntungkan beberapa kelompok dalam masyarakat. Misalnya
kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak dan kelompok minoritas
merupakan kemiskinan yang diakibatkan kondisi sosial yang tidak
menguntungkan kelompok tersebut. Kondisi sosial yang dimaksud misalnya bias
gender, diskriminasi, atau eksploitasi ekonomi.
4. Kemiskinan konsekuensial, Dimensi keempat ini menekankan faktor-faktor
eksternal yang menyebabkan kemiskinan. Faktor-faktor yang dimaksud adalah
konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk.
Faktor-faktor tersebut lah yang menyebabkan munculnya kemiskinan dalam
masyarakat.
2.1.2. Ciri-ciri Masyarakat Miskin
Senada dengan itu situmorang (2008: 11) ciri-ciri masyarakat miskin
secara umum ditandai oleh ketidakberdayaan/ketidakmampuan (Powerlessness)
dalam hal:
Universitas Sumatera Utara
1) memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang,
papan, pendidikan dan kesehatan, 2) melakukan kegiatan usaha produktif, 3)
menjangkau akses sumber daya sosial ekonomi, 4) menentukan nasibnya
sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai
perasaan ketakutan dan kecurigaan serta sikap apatis dan fatalistik dan 5)
membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa
mempunyai martabat dan harga diri yang rendah.
Selanjutnya Emil Salim (dalam Supriatna 2000 :124) mengemukakan ada
lima karakteristik kemiskinan, kelima karakteristik kemiskinan tersebut adalah
1) Penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri.
2) Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan
kekuatan sendiri.
3) Tingkat pendidikan pada umumnya rendah.
4) Banyak diantara mereka tidak mempunyai fasilitas.
5) Diantara mereka berusaha relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan
atau pendidikan yang memadai.
Selanjutnya menurut Suyanto (2013 : 5) ada beberapa ciri dari kemiskinan
itu yaitu :
1. Mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan pada umumnya tidak memiliki
faktor produksi sendiri seperti tanah yang cukup, modal ataupun modal usaha.
2. Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan-kian untuk
memperoleh aset produksi dengna kekuatan sendiri. Pendapatan yang diperoleh
tidak cukup untuk modal usaha.
Universitas Sumatera Utara
3. Tingkat pendidikan golongan miskin umumnya rendah, tidak sampai tamat
sekolah.
4. Banyak diantara mereka yang tinggal di daerah pedesaan.
5. Banyak di antara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak
mempunyai keterampilan atau skill dan pendidikan.
Tingkatan dari kondisi kemiskinan yang terdapat dalam masyarakat dapat
dikelompokan dalam tiga tingkatan (Sahyuti, 2006 : 95), yaitu :
1. Kelompok yang paling miskin (destitute), merupakan kelompok yangmemiliki
pendapatan dibawah garis kemiskinan, tidak memiliki sumberpendapatan, dan
tidak memiliki akses terhadap pelayanan sosial.
2. Kelompok miskin (poor), merupakan kelompok kemiskinan yang
memilikipendapatan dibawah garis kemiskinan, namun masih memiliki akses
terhadappelayanan sosial dasar
3. Kelompok rentan (vulnerable group) merupakan kelompok miskin
yangmemiliki kehidupan yang lebih baik, namun mereka rentan terhadap
berbagaiperubahan sosial disekitarnya.
Pembagian jenis kemiskinan dapat dibagi berdasarkan pola waktu.
Menurut Ginandjar Kartasasmita dalam Ridlo (2001:11), menurut pola waktu
tersebut kemiskinan dapat dibagi menjadi: (1) Persistent poverty, yaitu
kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun yang diantaranya merupakan
daerah kritis sumber daya alam atau terisolasi. (2) Cyclical poverty yaitu
kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan. (3)
Seasonalpoverty, yaitu kemiskinan musiman seperti sering dijumpai kasus-kasus
Universitas Sumatera Utara
nelayan dan petani tanaman pangan. (4) Accidental poverty, yaitu kemiskinan
karena bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan.
2.1.3. Indikator Kemiskinan
Menurut Suryawati (2005: 124) menyatakan ada beberapa metode
pengukuran tingkat kemiskinan yang dikembangkan di Indonesia, yaitu:
a. Biro Pusat Statistik (BPS). Tingkat kemiskinan didasarkan kepada jumlah
rupiah konsumsi berupa makanan yaitu kurang dari 2100 kalori per orang per hari
(dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang
berada di lapisan bawah), dan konsumsi non makanan (dari 45 jenis komoditi
makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah
pedesaan dan perkotaan).
b. Sajogyo. Tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah
tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per
tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan.
Daerah pedesaan:
1) Miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 320 kg nilai tukar beras
per orang per tahun.
2) Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 240 kg nilai
tukar beras per orang per tahun.
3) Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 180 kg nilai
tukar beras per orang per tahun.
Daerah perkotaan:
Universitas Sumatera Utara
1) Miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 480 kg nilai tukar beras
per orang per tahun.
2) Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 380 kg nilai
tukar beras per orang per tahun.
3) Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 270 kg nilai
tukar beras per orang per tahun.
c. Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan
seseorang kurang dari US$ 1 per hari.
Indikator kemiskinan yang lain dikemukakan oleh Bappenas (2004)
dalam Sahdan (2005) berupa: (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan
yang tidak layak. (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif. (3)
kurangnya kemampuan membaca dan menulis. (4) kurangnya jaminan dan
kesejahteraan hidup. (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan
ekonomi. (6) ketidakberdayaan atau daya tawar yang rendah. dan (7) akses
terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas. Mubyarto (2002) berpendapat bahwa
penduduk miskin bukanlah orang yang tidak mempunyai apa-apa, tetapi memiliki
serba sedikit modal sosial untuk mengembangkan diri.
2.1.4. Faktor-faktor Kemiskinan
Kemiskinan bukanlah suatu hal yang dikehendaki, akan tetapi lebih di
akibatkan oleh adanya faktor-faktor tertentu yang menyebabkan orang terjebak ke
dalam jurang kemiskinan, baik itu berupa faktor alamiah maupun faktor buatan
manusia itu sendiri.
Tidak semua orang sependapat dalam memberi jawaban atas sebab dari
kemiskinan secara umum banyak orang mengatakan bahwa penyebab kemiskinan
Universitas Sumatera Utara
adalah karena kemalasan gaya hidup boros tidak memikirkan masa depan, pasrah
pada keadaan, tidak punya keinginan untuk hidup lebih baik dan berbagai sikap
yang tidak bertanggung jawab lainnya. Kemiskinan merupakan konsekuensi dari
hidup yang pernah dengan persaingan, sehingga hanya yang kuatlah yang berhasil
melepaskan diri dari kurungan kemiskinan. artinya mereka yang mempunyai
akses terhadap modal pengetahuan, penguasaan teknologi dan informasilah yang
berhasil dalam persaingan tersebut.
Hardiman dan Midgley (1982) dalam Kuncoro (2006: 119) mengatakan
kemiskinan massal yang terjadi di banyak negara yang baru saja merdeka setelah
Perang Dunia ke II memfokuskan pada keterbelakangan dari perekonomian
negara tersebut sebagai akar permasalahannya.
Selanjutnya Sharp, dkk (1996) dalam Kuncoro (2006: 120) mengatakan
penyebab kemiskinan bila diidentifikasikan berdasarkan sudut pandang ekonomi
adalah
Pertama : secara makro kemiskinan muncul karena ketidaksamaan pola
kepemilikan sumber daya yang menimbulkan kontribusi pendapatan yang
timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah
terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua : kemiskinan muncul akibat
perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya
manusia rendah berarti produktivitasnya rendah yang pada gilirannya
upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena
rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung adanya diskriminasi.
Ketiga : kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
Universitas Sumatera Utara
Masalah-masalah kemiskinan tersebut diatas menurut Nurske dalam
Kuncoro (2006:120) ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori
lingkaran setan kemiskinan adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar
dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya
produktivitas, mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima.
Rendahnya pendapatan akan berimplikasi kepada rendahnya tabungan dan
investasi.
Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan dan seterusnya.
Logika berfikir Nurkse tersebut dapat dilihat dalam gambar
Ketidaksempurnaan Pasar, Keterbelakangan, Ketinggalan
Investasi Produktifitas Rendah Rendah
Tabungan Pendapatan Rendah Rendah
Gambar 1. Lingkaran Setan Kemiskinan Versi Nurkse (Kuncoro, 2006: 120) Kartasasmita (1996) dalam Yenny (2006: 16) mengemukakan empat
faktor penyebab kemiskinan. Faktor tersebut adalah 1) rendahnya taraf pendidikan
2) rendahnya taraf kesehatan 3) terbatasnya lapangan kerja dan 4) kondisi
keterisolasian.
Asnawi (1994) dalam Yenny (2006:17) menyatakan suatu keluarga
menjadi miskin disebabkan oleh tiga faktor yaitu 1) faktor sumber daya manusia.
2) faktor sumber daya alam dan faktor teknologi. sumber daya manusia ditentukan
Universitas Sumatera Utara
oleh tingkat pendidikan, depedensi ratio, nilai sikap, partisipasi, keterampilan
pekerjaan dan kesemuanya itu tergantung kepada sosial budaya masyarakat itu
sendiri.
Selanjutnya Sigit (1993: 11) menjelaskan kesehatan yang baik, pendidikan
dan keterampilan yang tinggi akan dapat meningkatkan produktivitas dan
selanjutnya akan dapat pula meningkatkan pendapatan. Selain itu tingkat
pendapatan juga ditentukan oleh penguasaan aset produksi.
Sejalan dengan itu, dalam hal tingkat pendidikan khususnya bagi nelayan
tradisional, untuk bekal kerja mencari ikan dilaut latar pendidikan seseorang
nelayan memang tidak penting artinya karena pekerjaan sebagai nelayan
merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan
pengalaman, maka setinggi apapun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah
memberikan pengaruh terhadap kecakapan mereka dalam melaut. Persoalan dari
arti penting tingkat pendidikan ini biasanya baru mengedepan jika seseorang
nelayan ingin berpindah ke pekerjaan lain yang lebih menjajikan. Dengan
pendidikan rendah, jelas kondisi itu akan mempersulit nelayan tradisional memilih
atau memperoleh pekerjaan lain selain menjadi nelayan (Kusnadi 2002: 30)
Secara kongkrit Hadiwageno dan Pakpahan (1992 : 25) berpendapat
bahwa kemiskinan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1) sumber daya alam yang rendah 2) teknologi dan unsur pendukung yang rendah,
3) sumber daya manusia yang rendah dan 4) sarana dan prasarana termasuk
kelembagaan yang belum baik.
Dari aspek lain, menurut Supriatna ( 2000 : 21 ) terdapat tantangan
terhadap adanya kemiskinan penduduk yang pada umumnya berada di wilayah
Universitas Sumatera Utara
pedesaan, yaitu berupa tantangan yang bersifat transformasi internal dan eksternal
masyarakat tersebut.
1. Tantangan transformasi eksternal masyarakat yaitu
a. Perkembangan sosial, ekonomi dan teknologi yang sering tidak
menguntungkan masyarakat pedesaan bahkan banyak menimbulkan
kesenjangan dan goncangan tatanan kehidupan sosial budaya dan sosial
ekonomi.
b. Rangsangan media masa yang cenderung membangkitkan keinginan-keinginan
terhadap kepemilikan barang konsumtif dan kebutuhan lainnya yang tidak di
imbangi dengan kemampuan masyarakat untuk memilikinya, menggunakan
dan memiliharanya.
2. Tantangan transformasi internal masyarakat itu sendiri adalah :
a. tekanan pertambahan penduduk yang tidak di imbangi oleh pertumbuhan
ekonomi yang memadai.
b. keinginan untuk menghasilkan komoditi untuk sendiri dan produksi yang tidak
di imbangi dengan pengetahuan dan keterampilan.
c. dorongan (push-factor) urbanisasi untuk medapatkan pekerjaan, pendidikan
dan pemenuhan kebutuhan lainnya di perkotaan yang sarat berbagai fasilitas
dibandingkan dengan fasilitas dipedesaan. Tantangan internal ini sering
menggoyahkan ikatan kekeluargaan dan kehidupan tradisional masyarakat
yang mengacu pada sistem sosial serta kadang-kadang menimbulkan fatalisme
kultural.
Sedangkan bagi masyarakat pesisir, para pakar ekonomi melihat
kemiskinan masyarakat pesisir khususnya nelayan lebih banyak disebabkan
Universitas Sumatera Utara
karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumber daya serta
teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat nelayan tetap
miskin.
Menurut Suyanto (2013 : 9) faktor yang melatarbelakangi, akar penyebab
kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua kategori :
Pertama : kemiskinan alamiah yakni kemiskinan yang timbul sebagai
akibat sumber-sumber daya yang langka jumlahnya atau karena tingkat
perkembangan teknologi yang sangat rendah. Kedua : Kemiskinan buatan
yakni kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial yang ada membuat
anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan
fasilitas-fasilatas secara merata
Selanjutnya Kusnadi (2002: 19) pengalaman selama ini telah menunjukan
bahwa tidak mudah mengatasi kemiskinan yang membelenggu nelayan tradisional
di berbagai segi kehidupan. Kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan
tradisional disebabkan oleh sejumlah faktor kelemahan yaitu
Pertama : sebab-sebab kemiskinan nelayan yang bersifat internal yang
mencakup : 1) keterbatasan kualitas sumber daya manusia nelayan, 2)
keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan 3)
hubungan kerja dalam organisasi penangkapan yang seringkali kurang
menguntungkan buruh, 4) kesulitan melakukan diverifikasi usaha
penangkapan, 5) ketergantungan yang sangat tinggi terhadap okupasi melaut
dan 6) gaya hidup yang di pandang boros, sehingga kurang berorientasi ke
masa depan.
Universitas Sumatera Utara
Kedua : sebab-sebab kemiskinan yang bersifat eksternal mencakup : 1)
kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada
produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial.
2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang
perantara. 3) kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari
wilayah darat, praktek penangkapan ikan dengan bahan kimia, perusakan
terumbu karang dan konservasi hutan bakau dikawasan pesisir. 5)
penegakan hukum yang lemah terhadap perusakan lingkungan. 6)
terbatasnya teknologi pengolahan pasca panen. 7) terbatasnya peluang kerja
disektor non perikanan yang tersedia di desa nelayan. 8) kondisi alam dan
fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun.
dan 9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang,
jasa, modal dan manusia.
2.2. Pendapatan
Salah satu tujuan kebijakan ekonomi adalah menciptakan kemakmuran
bagi masyarakat sedangkan salah satu ukuran kemakmuran itu adalah pendapatan
karena kemakmuran itu sendiri tercipta dengan adanya kegiatan yang
menghasilkan pendapatan. Secara hirarki pendapatan dapat diurut mulai dari
Pendapatan Nasional, Pendapatan Regional, Pendapaatan Perkapita dan
Pendapatan Personal.
Pendapatan nasional merupakan balas jasa atas seluruh faktor produksi
yang digunakan artinya pendapatan nasional merupakan hasil akumulasi dari
berbagai faktor produksi dalam dan luar negeri yang menghasilkan pendapatan
Universitas Sumatera Utara
negara. Angka pendapatan nasional dapat diturunkan dari Produk Nasional Neto.
Untuk mendapatkan angka pendapatan nasional dari Produk Nasional Neto,
dilakukan melalui pengurangan Produk Nasional Neto dengan angka pajak tidak
langsung dan ditambah dengan angka subsidi (Raharja 2008: 236)
Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat
pada suatu wilayah yang dapat diukur dari total pendapatan wilayah maupun
pendapatan rata-rata masyarakat pada wialyah tersebut. Dalam
menginterpretasikan makna dari pendapatan regional sering menimbulkan
persepsi yang keliru. Di mana sebagian masyarakat awam beranggapan bahwa
besarnya nilai produksi suatu wilayah adalah identik dengan besarnya pendapatan
masyarakat diwilayah tersebut. Hal ini tidak benar karena yang menjadi
pendapatan untuk masyarakat setempat hanyalah yang bersifat nilai tambah dari
kegiatan produksi tersebut. Kemudian nilai tambah inilah yang mengukur tingkat
kemakmuran masyarakat setempat dengan asumsi seluruh pendapatan itu
dinikmati oleh masyarakat setempat. Nilai tambah merupakan hasil pengurangan
dari nilai produksi dengan biaya antara. Nilai tambah merupakan hasil
pengurangan dari nilai produksi dengan biaya antara. Sedangkan biaya antara
adalah biaya yang dipakai dari sektor lain atau pihak ketiga untuk menghasilkan
produksi ( Tarigan, 2007: 13-14)
Selanjutnya Tarigan (2007: 21) menjelaskan pendapatan perkapita adalah
total pendapatan suatu daerah dibagi jumlah penduduk di daerah tersebut untuk
tahun yang sama, angka yang dipergunakan dalam pendapatan perkapita adalah
pendapatan regional dibagi dengan jumlah penduduk atau juga disebut dengan
Total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga pasar dan harga
Universitas Sumatera Utara
dibagi dengan jumlah penduduk. Dimana angka pendapatan perkapita dapat
dinyatakan dalam harga berlaku maupun dalam harga konstan tergantung kepada
kebutuhan.
Seterusnya Rahardja (2008 : 237) menyebutkan pendapatan personal
adalah bagian pendapatan nasional yang merupakan hak individu-individu dalam
perekonomian sebagai balas jasa keikutsertaan mereka dalam proses produksi.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa untuk memperoleh angka pendapatan personal
dari pendapatan nasional, maka laba perusahaan yang tidak dibagikan (retained
earning) harus dikurangkan, sebab laba yang tidak dibagikan merupakan hak
perusahaan. Selain laba tidak dibagikan pembayaran-pembayaran asuransi sosial
(social ansurence payment) juga harus dikurangkan. Kedua ukuran ini belum
memberikan informasi yang sebenarnya tentang pendapatan personal sebab
pendapatan personal bukan saja di terima karena balas jasa atas ketersediaan
bekerja (gaji/upah) ataupun pendapatan non upah yang di peroleh dari sektor
perusahaan tetapi juga pendapatan bunga yang diterima dari pemerintah dan
konsumen (personal interest income received from government and consumers)
dan pendapatan non balas jasa (transfer payment)
Secara lebih rinci sumber-sumber pendapatan personal menurut Tarigan
(2007: 14-15) dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Gaji dan Upah : gaji dan upah adalah balas jasa yang dibayarkan oleh
pemerintah yang bekerja pada suatu organisasi pemerintah yang nilainya
telah ditetapkan berdasarkan peraturan yang berlaku dalam kurun waktu
tertentu. Sedangkan Upah merupakan balas jasa yang dibayarkan kepada
Universitas Sumatera Utara
para pekerja sesuai dengan prestasi. Dimana gaji/upah tersebut merupakan
pendapatan bagi pegawai dan pekerja.
2) Laba atau Keuntungan : laba atau keuntungan adalah total nilai penjualan
dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan. Laba merupakan
pendapatan bagi pengusaha.
3) Sewa tanah : sewa tanah adalah sewa tanah diperhitungkan karena
memberikan pendapatan pada pemilik tanah. Jika petani memiliki lahan
sendiri berarti dia tidak mengeluarkan biaya sewa tetapi labanya akan
meningkat. Perlu diingat bahwa sewa tanah yang dihitung adalah yang
dibayarkan sedangkan sewa tanah yang diterima karena menyewakan tanah,
nilai tambahnya akan terlihat pada laba. Hal ini juga berlaku untuk alat-alat
yang disewa apabila kegiatan penyewaan alat bukan merupakan sektor
sendiri. Dengan demikian apakah petani itu memiliki lahan sendiri atau
menyewa lahan, hal ini tidak mengubah total nilai tambah, hanya saja orang
yang menikmatinya bisa beda.
4) Bunga uang : bunga uang adalah pendapatan bagi pemilik modal karena
meminjamkan uang nya untuk ikut serta dalam proses produksi. Perlu
diingat bahwa uang yang dihitung adalah yang dibayarkan sedangkan bunga
yang diterima karena membungakan uang nilai tambahnya terlihat pada
laba. Apabila petani tidak meminjam uang dalam berusaha (menggunakan
modal sendiri) sehingga tidak membayar bunga maka labanya akan
meningkat. Jika petani itu meminjam uang dan harus membayar bunga
labanya akan menurun. Akan tetapi ada orang lain yang memperoleh
pendapatan (dalam jumlah yang sama dengan penurunan laba) yaitu pemilik
Universitas Sumatera Utara
modal, dengan demikian apakah investor memiliki modal sendiri atau dia
meminjam modal, hal itu tidak total mengubah nilai tambah hanya saja
orang yang menikmatinya bisa berbeda.
5) Pendapatan dari pemerintah (transferpayment) : pendapatan dari
pemerintah adalah pendapatan yang diterima bukan karena balas jasa atas
input yang diberikan, misalnya dalam bentuk tunjangan sosial bagi para
penganggur, jaminan sosial bagi orang-orang miskin dan berpendapatan
rendah.
2.3 Nelayan
2.3.1 Nelayan Tradisional
Di lingkungan masyarakat Pesisir, nelayan tradisional merupakan
kelompok yang paling menderita, miskin dan acapkali merupakan korban
perangkap kemiskinan. Secara umum yang disebut nelayan tradisional adalah
nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap
tradisional, modal usaha yang kecil dan organisasi penangkapan yang relatif
sederhana (Suyanto 2013 : 59). Dalam kehidupan sehari-hari, nelayan tradisional
lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence). Selain itu
menurut Marbun dan Krishnayanti (2002 : 78) nelayan tradisional adalah
sekelompok masayarakat yang tinggal disekitar pantai atau pesisir pantai dengan
mata pencaharian pokok menangkap ikan dilaut dengan alat tangkap yang relatif
sederhana.
2.3.2 Pelapisan Sosial Nelayan
Menurut Marbun dan Krisnhnayanti (2002 : 21) statusnya nelayan dapat
dibagi menjadi :
Universitas Sumatera Utara
1. Nelayan pemilik terbagi menjadi nelayan pemilik perahu tak bermotor dan
nelayan pemilik kapal motor yang sering disebut toke.
2. Nelayan juragan adalah pengemudi pada perahu bermotor atau sebagai kapten
kapal motor.
3. Nelayan buruh adalah pekerja penangkap ikan pada perahu motor atau pada
kapal motor.
Selanjutnya penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan menurut
Kusnadi (2002: 17) pada dasarnya dapat ditinjau dari tiga sudut pandang yakni:
Pertama : dari segi penguasaan alat produksi atau peralatan tangkap (perahu,jaring
dan perlengkapan yang lain) struktur masyarakat nelayan terbagi dalam kategori
nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh, nelayan buruh tidak
memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan sebuah unit perahu, nelayan buruh
hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat
terbatas.
Kedua : ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya struktur masyarakat
nelayan terbagi kedalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Nelayan
disebut sebagai nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam
usaha perikanan relatif banyak sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya.
Ketiga : dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan
masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan modern dan nelayan
tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang
lebih canggih dibandingkan dengan nelayanuk tradisional.
Seterusnya Marbun dan Krishnayanti (2002 : 20) menyatakan berdasarkan
sumber pendapatannya, nelayan dapat dibagi menjadi :
Universitas Sumatera Utara
1. Nelayan tetap atau nelayan penuh yakni nelayan yang pendapatan yang
seluruhnya berasal dari perikanan.
2. Nelayan sambilan utama yakni nelayan yang sebagian besar pendapatannya
berasal dari perikanan.
3. Nelayan sambilan tambahan yakni nelayan yang sebagian kecil pendapatannya
berasal dari perikanan.
4. Nelayan musiman yakni orang yang dalam musim-musim tertentu saja aktif
sebagai nelayan.
Berdasarkan teknologi penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan,
orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi Satria (2002: 28-29)
menggolongkan nelayan ke dalam empat kelompok yaitu :
Pertama: peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya bersifat
susb-sistem, menggunakan alat tangkap yang masih tradisional seperti
dayung, sampan yang tidak bermotor dan hanya melibatkan anggota
keluarganya sendiri sebagai tenaga kerja utama.
Kedua : post-peason fisher dengan berkembangnya motorisasi perikanan,
nelayan pun berubah dari peasant-fisher menjadi post-peasant fisher yang
dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju
atau modern. Meski mereka masih beroperasi di wilayah peisisr tetapi daya
jelajahnya lebih luas dan memilki surplus untuk diperdagangkan di pasar.
Ketiga : commersial-fisher yakni nelayan yang telah berorientasi pada
peningkatan keuntungan, skala usahanya telah besar, yang dicirikan dengan
banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh
hingga manager. Teknologi yang dipergunakan lebih modern dan
Universitas Sumatera Utara
membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat
tangkapnya.
Keempat : industrial fisher yang memiliki ciri-ciri: 1) diorganisasi dengan
cara-cara yang mirip dengan perusahaan agro industri dinegara maju. 2)
lebih padat modal, 3) memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari pada
perikanan sederhana dan 4) menghasilkan produk kaleng dan ikan beku
yang berorientasi ekspor. Nelayan berskala besar ini umumnya memiliki
organisasi kerja yang kompleks dan benar-benar berorientasi pada
keuntungan.
Dilingkugan masyarakat pesisir, nelayan tradisional adalah kelompok yang
paling menderita, miskin dan acapkali merupakan korban marginalisasi akibat
kebijakan modernisasi perikanan. Menurut Suyanto secara umum yang disebut
nelayan tradisional adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikaanan
dengan peralatan tradisional, modal.
2.3.3 Kualitas Sumber Daya Manusia
Berdasarkan hasil penelitian suyanto (2013 : 72) ada beberapa faktor
yang menyebabkan nelayan tradisional sulit untuk melakukan diversivikasi usaha
atau mencari pekerjaan lain diluar sektor perikanan yaitu :
1. Berkaitan dengan persolan tingkat pendidikan yang rata-rata rendah. Seorang
yang berpendidikan sarjana misalnya masih mungkin ia mengadu nasib ke kota
besar dengan berbekal ijazah yang dimiliki tetapi bagi nelayan tradisional yang
Universitas Sumatera Utara
tidak berpendidikan dan tidak memiliki keterampilan alternatif, maka mati hidup
mereka sebetulnya mutlak tergantung pada hasil dari sektor perikanan.
2. Berkaitan dengan penguasaan keterampilan alternatif, sebetulnya sudah segala
cara ditempuh dan dikembangkan penduduk di desa pantai untuk mencari sumber
alternatif, namun tidak sekali-dua kali menemui jalan buntu akibat tidak memiliki
keterampilan yang memadai dan juga tidak memiliki aset produksi yang cukup
layak, maka upaya untuk mencari pekerjaan baru bagi seorang nelayan tradisional
yang miskin bukan hal yang mudah dilakukan.
2.3.4 Kondisi Ekonomi Nelayan
Nelayan tradisional pada dasarnya adalah kelompok masyarakat yang
kehidupannya sangat tergantung pada hasil laut. Ketika kondisi laut sedang tidak
bersahabat dan ikan-ikan cenderung bersembunyi di dasar laut, maka pada saat itu
pula rezeki terasa sulit dan jangan heran jika keluarga-keluarga nelayan
tradisional kemudian harus hidup serba irit bahkan kekurangan.
Berbeda dengan jurangan kapal atau nelayan modern yang rata-rata hidup
berkecukupan, kondisi ekonomi keluarga nelayan tradisional seringkali hidup
serba pas-pasan. bagi Keluarga nelayan tradisional, tekanan krisis memang terasa
makin berat tatkala jumlah ikan yang ada di perairan sekitar mereka makin lama
makin langka. Nelayan tradisional yang hanya mengandalkan teknologi
sederhana, sebagian besar mengaku hasil tangkapan mereka makin lama makin
menurun (Suyanto, 2013). Teknologi penangkapan ikan yang modern akan
cenderung memiliki kemampuan jelajah sampai lepas pantai, sebaliknya untuk
nelayan tradisional wilayah tangkapannya biasanya hanya sebatas pada perairan
pantai. Kemudian menurut Suyanto (2013 : 73) walapun nelayan tradisional
Universitas Sumatera Utara
memiliki keterampilan tertentu tetapi tidak memilki dukungan sumber daya yang
cukup (modal), maka nyaris mustahil sebuah keluarga nelayan miskin yang
hidupnya pas-pasan akan dapat mengembangkan usaha alternatifnya dengan
maksimal. Aset produksi oleh kaum nelayan tradisional sangat rendah
diantaranya tidak memiliki tanah, warung/toko, modal dibawah satu juta dan lain-
lain.
2.3.5 Hubungan Kerja Nelayan
Manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk saling berhubungan antar
sesamanya didalam menjalani kehidupan sehari-hari. Karena manusia tidak dapat
berdiri sendiri tanpa harus melakukan interaksi antara satu sama lainnya. Sejalan
dengan itu Kusnadi (2002:23) menyatakan jalinan sosial antar nelayan
membentuk pola hubungan yang dapat dijabarkan secara horizontal dan vertikal.
Pola horizontal adalah hubungan sesama kerabat, saudara sedarah dan bentuk-
bentuk afinitas. Pola tersebut menggambarkan bahwa individu-individu akan lebih
kuat berinteraksi jika antara satu dengan yang lain tidak mengalami kesenjangan
sosial ekonomi yang terlalu lebar. Sedagkan pola vertikal tergambar dalam
interaksi nelayan yang membentuk pola hubungan patron-klien yang umumnya
terjadi antara nelayan kaya (juragan) dan tengkulak dengan nelayan miskin
(buruh). Pola vertikal terbentuk karena ada ketergantungan ekonomi antara buruh
dan juragan maupun tengkulak.
Menurut Marbun dan Khrisnayanti (2002 : 330) Hubungan patron-klien di
masyarakat nelayan yang telah berlangsung lama membawa efek yang tidak baik
bagi nelayan tradisional, khususnya nelayan pekerjaan. Akibat hubungan
ketergantungan tersebut timbulah mentalitas (budaya) yang umumya akan
Universitas Sumatera Utara
menghambat pembangunan di masyarakat pesisir. Artinya, hubungan patron-klien
melahirkan kemiskinan struktural misalnya pola hidup konsumtif (boros) yang
sengaja diciptakan agar biaya hidup semakin tinggi dan tidak sesuai dengan
penghasilan dan terus ada dalam hubungan ketergantungan tersebut, tidak
memiliki orientasi hidup kedepan, tidak memiliki kemampuan manajemen
keuangan yang baik, tidak percaya kepada kemampuan sendiri, malas, pasrah
pada nasib dan lain-lain
Selanjutnya Marbun dan Khrisnayanti mengatakan Mentalitas tersebut
akan menciptakan keadaaan dimana hubungan patron-klien akan semakin
bertahan keberadaannya dan pihak patron tentunya akan selalu mengikat klien
agar selalu berada dalam ketergantungan, sebab jika klien memiliki kemampuan
manajemen keuangan yang baik, mau menabung, memiliki orientasi kedepan
maka dikhawatirkan ketergantungan klien akan berkurang. Sementara patron
hidup dari keuntugan patron-klien tersebut. Jika dilihat dalam satu masyarakat
nelayan tradisonal maka yang memiliki tingkat kehidupan yang lebih baik
umumnya adalah patron (toke), sementara nelayan tradisional (pekerja) yang
berhadapan langsung dengan keganasan laut tetap dalam kondisi yang
memprihatinkan.
Senada dengan itu Nababan dkk (2006 : 156) Sejak dekade 90 an, toke
mulai disebut juga dengan tengkulak karena mencari keuntungan sebesar-
besarnya dengan memanfaatkan tenaga nelayan tetapi istilah tengkulak ini sangat
tidak disukai oleh toke karena dianggap sesuatu yang sangat berbeda, paling tidak
karena toke tidak membungakan uang (riba) secara langsung. Dengan
menanamkan hutang budi kepada nelayan dan memanfaatkan celah adanya
Universitas Sumatera Utara
balasan terhadap apa yang telah ditanamnya, toke kemudian membuat sebuah
hubungan ketergantungan terhadap nelayan kecil untuk terus dapat memanfaatkan
dan mendapatkan keuntungan dari hubungan tersebut.
Lebih lanjut Nababan dkk (2006 : 157) menyebutkan ada empat hal yang
dijadikan toke sebagai alat untuk menjerat nelayan menjadi tergantung yaitu :
1) Ketiadaan modal untuk mendapatkan alat tangkap seperti mesin, sampan
dan jaring.
2) Biaya operasional ketika akan melaut, biaya kerusakan sampan, biaya
kerusakan jaring dan lain-lain
3) Akses pemasaran yang dikuasai oleh toke.
4) Biaya-biaya pesta perkawinan, sunatan, biaya angsuran barang-barang
seperti televisi, radio, kereta (sepeda motor) dan lain-lain.
Secara langsung dampak yang dialami oleh nelayan akibat ketergantungan
dengan toke antara lain :
1) Menurunnya tingkat pendapatan nelayan karena harga penjualan ditetapkan
secara sepihak oleh toke.
2) Nelayan tidak mengetahui harga pasaran hasil tangkapan, karena akses
pemasaran di kuasai oleh toke.
3) Bantuan pihak luar kepada nelayan diambil oleh toke sebagai jaminan.
4) Nelayan sering mengalami kecurangan baik dari segi timbangan (berat) jenis
dan ukuran dari hasil tangkapan.
5) Tingkat kecurigaan sesama nelayan cukup tinggi karena bersaing mengambil
hati toke.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Strategi Pengentasan Kemiskinan
Berbagai program proyek dan kegiatan telah dilakukan untuk
mengentaskan kemiskinan dari nelayan. Namun tenyata jumlah nelayan kecil
tetap bertambah karena itu meskipun banyak upaya yang dilakukan umumnya
upaya-upaya tersebut bisa dikatakan belum memperoleh hasil yang memuaskan.
Upaya penanggulangan kemiskinan menurut Undang Undang Nomor 25
Tahun 2000 tentang Propenas ditempuh melalui dua strategi utama. Pertama,
melindungi keluarga dan kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan
sementara. Kedua, membantu masyarakat yang mengalami kemiskinan kronis
dengan memberdayakan dan mencegah terjadinya kemiskinan baru. Strategi
tersebut selanjutnya dituangkan dalam tiga program yang langsung diarahkan
pada penduduk miskin yaitu: 1) Penyediaan kebutuhan pokok. 2) Pengembangan
Sistem Jaminan Sosial. dan 3) Pengembangan Budaya Usaha Masyarakat Miskin.
Kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia yang terbaru tertuang
dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional, yang menyatakan bahwa kebijakan penanggulangan
kemiskinan meliputi: kebijakan pemenuhan hak-hak dasar dan kebijakan
pembangunan wilayah untuk mendukung pemenuhan hak dasar.
Kusnadi (2004 : 39-40) mengatakan ada tujuh pendekatan pembangunan
perikanan di indonesia yang dilakukan dalam rangka pengentasan kemiskinan
masyarakat nelayan. Adapun ketujuh pendekatan tersebut adalah:
(1) Pendekatan oreintasi produksi, yang ditandai dengan adanya
modernisasi dan motorisasi pada bidang penangkapan ikan (2) Dengan
pendekatan pemasaran rantai dingin (cool chain system) yang berusaha
Universitas Sumatera Utara
menghadirkan ikan segar ke konsumen (3) Pengembangan kelembagaan
(institution building) dengan mengembangkan Koperasi Unit Desa Mina
(KUD MINA) dan tempat pelelangan ikan untuk mendongkrak masalah
permodalan dan pemasaran (4) pendekatan INTAM (Intensifikasi Tambak)
yang pada awalnya gemilang namun akhirnya gulung tikar. (5) Pendekatan
agribisnis yaitu berusaha memperbaiki model yang parsial menjadi lebih
holistik (dari hulu sampai dengan hilir).(6) Program peningkatan Ekspor
Hasil Perikanan (Protekan) yang bertumpu pada budidaya perikanan. (7)
pendekatan empat dimensi, yang berusaha mengintegrasikan unsur
ekologi, ekonomi, sosial-politik dan hukum serta kelembagaan.
Seterusnya Kusnadi menyebutkan bahwa data-data selama ini
menunjukkan bahwa pembangunan perikanan telah mampu meningkatkan
produksi,devisa dan tingkat konsumsi ikan masyarakat indonesia. Akan tetapi
pembanguan perikanan nasioanal masih belum berhasil dalam meningkatkan
kesejahteraan nelayan, terutama nelayan tradisonal dan buruh nelayan.
Pengembangan akses modal sangat penting karena pada dasarnya saat ini
nelayan sangat sulit untuk memperoleh modal. Sifat bisnis perikanan yang
musiman, ketidakpastian serta resiko tinggi sering menjadi alasan keengganan
bank menyediakan modal bagi bisnis ini. Sifat bisnis perikanan seperti ini yang
disertai dengan status nelayan yang umumnya rendah dan tidak mampu secara
ekonomi membuat mereka sulit untuk memahami syarat-syarat perbankan yang
selayaknya diberlakukan seperti adanya jaminan. Dengan memperhatikan
kesulitan yang dihadapi oleh nelayan akan modal, maka salah satu alternatif
adalah mengembangkan mekanisme pendanaan diri sendiri (self-financing
Universitas Sumatera Utara
mechenism. Bentuk sistem ini adalah pengembangan lembaga keuangan mikro
dan nantinya makro yang dikhususkan dalam bidang usaha pesisir utamanya
bidang usaha perikanan. Pengembangan mekanisme pendanaan oleh diri sendiri
yang dikenal dengan nama Lembaga Mikro Mitra Mina (M3)
Teknologi yang digunakan oleh nelayan pada umumnya masih bersifat
tradisional. Karena itu maka produktivitas rendah dan akhirnya pendapatan
rendah. Upaya peningkatan pendapatan dilakukan melalui perbaikan terknologi,
mulai dari teknologi produksi hingga pasca produksi dan pemasaran.
Untuk mengembangkan pasar bagi produk-produk yang dihasilkan oleh
nelayan, maka upaya yang dilakukan adalah pendekatan masyarakat dengan
perusahaan-perusahaan besar seperti eksportir komoditas perikanan. Keuntungan
dari hubungan ini adalah nelayan mendapatkan jaminan pasar dan harga,
pembinaan terhadap kualitas barang serta sering nelayan mendapat bantuan modal
untuk pengembangan usaha.
Pengembangan aksi kolektif sama artinya dengan pengembangan koperasi
atau kelompok usaha bersama, aksi kolektif dilakukan untuk membuka
kesempatan kepada nelayan membentuk kelompok-kelompok yang diinginkan
tidak semata-mata koperasi atau kelompok bersama. Aksi kolektif merupakan aksi
bersama yang bermuara pada kesejahteraan setiap anggota secara individu.
Kemudian menurut Suwardi (dalam Chozin 2010) kendala ekonomi
berupa ketergantungan para nelayan pada hasil tangkapan ikan dapat diatasi
melalui keterampilan masyarakat. Kegiatan ini dapat menggantikan waktu yang
dihabiskan selama berjam-jam untuk main catur atau ngobrol-ngobrol diwarung
kopi.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya Situmorang (2008: 23) upaya pengentasan kemiskinan
nelayan kecil (gurem) yang dilakukan di pesisir pantai barat dan timur, sumatera
utara adalah sebagai berikut :
Meningkatkan aksesibilitas nelayan pada sumber-sumber kekayaan sosial,
ekonomi dan budaya. Secara sosial beban kemiskinan yang mereka hadapi akan
dapat diatasi dengan cara menyediakan untuk mereka bantuan sosial. Secara
ekonomi, beban mereka akan juga dapat diatasi melalui dukungan modal. Secara
budaya beban mereka akan dapat mereka atasi sendiri dengan cara
membangkitkan etos kerja dan kemampuan bekerja melalui peningkatan
keterampilan kerja mereka. Pendekatan sosial, ekonomi atau budaya semata untuk
memberdayakan nelayan kecil (gurem) hanya akan berdampak sekejap atau
jangka pendek. Pemberdayaan nelayan mengandung makna penyelesaian masalah
kemiskinan multi dimensi sosial, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu
pendekatan masalah adalah bersifat multi dimensi dan komprehensif.
Pendekatan-pendekatan di atas, dapat dilaksanakan dengan memperhatikan
secara sungguh-sungguh aspirasi, keinginan, kebutuhan, pendapatan dan potensi
sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat nelayan.
2.5 Kondisi Alat Tangkap dan Pemasaran Hasil Tangkapan
Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal
tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka
kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran. Kondisi ini
yang selalu mengakibatkan nelayan tidak pernah untung, keterbatasan
infrastruktur menjadikan nelayan merugi, tidak seimbangnya antara biaya yang
Universitas Sumatera Utara
dikeluarkan untuk melaut, dengan keuntungan hasil jual, karena harga
dipermainkan oleh pihak tengkulak.
Upaya yang mungkin dilakukan agar nelayan tidak terjerat lingkaran
tengkulak adalah dengan mengembangkan fungsi lembaga keuangan mikro dan
koperasi yang memihak nelayan, selain itu perlu adanya upaya membangun usaha
bersama, seperti melalui pemilikan sarana-sarana penangkapan dan pemasaran
secara kolektif.
Selain itu kebudayaan nelayan yang berbahaya namun terabaikan adalah
terjalinnya relasi sosial ekonomi yang sifatnya eksploitatif dengan pemilik perahu
dan pedagang perantara (tengkulak) dalam kehidupan masyarakat nelayan.
Kondisi tersebut bisa diperbaiki dengan mengurangi beban utang piutang yang
kompleks para nelayan kepada pemilik perahu dan tengkulak dengan mencarikan
alternatif keuangan mikro. Harus adanya upaya dalam memperbaiki norma sistem
bagi hasil dalam organisasi penangkapan, sehingga tidak merugikan nelayan.
Selain itu perlu mengoptimalkan peran lembaga ekonomi lokal, seperti KUD
Mina.
Disisi lain rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan,
berdampak sulitnya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas hidup, upaya
yang bisa dilakukan adalah meningatkan pemilikan lebih dari satu jenis alat
tangkap, agar bisa menangkap sepanjang musim, mengembangkan diversifikasi
usaha berbasis bahan baku perikanan atau hasil budidaya perairan, seperti rumput
laut, memperluas kesempatan kerja disektor off fishing dan melakukan
transmigrasi nelayan pada wilayah lain yang masih memiliki potensi kelautan.
Universitas Sumatera Utara
Namun yang menjadi masalah adalah tidak semua nelayan memiliki
perahu sendiri. Nelayan yang tidak mempunyai modal untuk membeli perahu,
terpaksa meminjam uang kepada tengkulak. Pada umumnya para tengkulak
(patron) memberikan pinjaman kalau hasil tangkapan nelayan (klien) minim.
Ketergantungan nelayan pada tengkulak berawal dari utang/pinjaman, dan
biasanya dilakukaan pada saat paceklik atau memperbaiki kerusakan alat tangkap
seperti jaring dan menganti tali kajar. Meskipun demikian, ada juga pihak yang
menilai bahwa keberadaan para tengkulak tersebut justru menolong nelayan.
Kondisi ini terjadi karena negara tidak mampu memberikan pinjaman lunak dan
kalaupun ada bank mereka juga tidak bisa mengaksesnya karena alat tangkap
sebagai faktor produksi tidak bisa dijadikan agunan.
Dalam perspektif struktural kemiskinan nelayan tidak hanya disebabkan
hubungan patron-klien yang menimbulkan jeratan utang dan mengarah pada
bentuk eksploitasi. Tetapi kemiskinan nelayan juga terjadi karena keterbatsan
akses nelayan terhadap hak penguasaan sumberdaya perikanan. Penguasaan atas
sumberdaya perikanan selama ini lebih banyak dinikmati oleh kolaborasi pemilik
modal dan birokrat. Sebagai fakta adalah masih beroperasinya pukat harimau
(trawl) di seluruh perairan Indonesia yang berakibat pada penyerobotan terhadap
wilayah tangkap nelayan tradisional (traditional fishing ground).
Bahkan adanya musim-musim tertentu dimana ikan jenis tertentu banyak
dan sedikit menggambarkan bahwa kehidupan mereka tergantung pada rejeki laut.
Dalam satu daerah dimana terdapat desa-desa pesisir juga memiliki perbedaan
dalam tingkat kesurplusan sumberdaya perikanan. Bahkan ukuran rumah yang
terbuat dari bilik bambu dan sudah condong belum tentu bisa menjadi ukuran
Universitas Sumatera Utara
miskin karena mungkin saja ditemukan barang elektronik seperti TV. Pola
hubungan patron klien memungkinkan mereka berutang dalam artian digunakan
pada tujuan yang baik maupun tidak semisal membeli suatu barang berharga di
rumah. Sehingga tak heran jika, umumnya nelayan berenang dalam kubangan
utang. Penghasilan Rp.175.000/bulan tidaklah susah diperoleh ketika musim ikan
banyak. Bahkan bisa tiga kali lipat, sekalipun dengan sistem bagi hasil dengan
tokehnya. Tapi besoknya, mungkin hanya dapat Rp.10.000, lalu kemudian
meminjam ke tokeh, begitu seterusnya.
Namun berdasarkan pandangan nelayan (perspektif ), kuatnya pola patron-
klien di masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh
resiko dan ketidakpastian sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka selain
bergantung pada pemilik modal (patron). Dari hal tersebut, bisa dibayangkan apa
yang akan diterima para nelayan dengan sistem yang demikian, sehingga
sangatlah wajar jika kemiskinan menjadi bagian yang akrab dalam kehidupan
mereka.
2.6. Kemiskinan Struktural Nelayan Tradisional
Kemiskinan struktural adalah timbulnya ketergantungan yang kuat pihak si
miskin terhadap kelas sosial-ekonomi diatasnya.(Suyanto 2013 : 11). Selanjutnya
menurut Mohtar Mas’ud (1994 :143) adanya ketergantungan inilah yang selama
ini berperan dalam merosotkan kemampuan si miskin untuk bargaining (tawar-
menawar) dalam dunia hubungan sosial yang sudah timpang antara majikan dan
buruh. Buruh tidak punya kemampuan untuk menetapkan upah, pedagang kecil
tidak bisa mendapatkan harga yang layak atas barang yang mereka jual pendek
Universitas Sumatera Utara
kata pihak yang miskin relatif tidak dapat berbuat banyak atas eksploitasi dan
margenalisasi yang dialaminya karena mereka tidak memilki alternatif pillihan
untuk menentukan nasib kearah yang lebih baik.
Kuatnya hubungan patron klien dalam masyarakat pesisir terjadi karena
aktivitas yang dilakukan oleh para nelayan yang berisiko dan dan ketidakpastian.
Maka salah satu upaya untuk menjaga kelangsungan hidup dan untuk
mempertahankan hidup. Seolah olah patron klien dianggap sebagai jaminan sosial
untuk para nelayan. Mengapa demikian karena realitasnya pada saat ini himpitan
ekonomi di kalangan masyarakat pesisir yang memaksa mereka untuk melakukan
segala cara untuk dapat mempertahankan hidup untuk menjaga kelangsungan
hidupnya dan keluarganya, apalagi musim yang berlaku dalam kehidupan pesisir
juga memaksa mereka harus tetap bisa mempertahankan hidup. Mungkin ketika
musim ikan tiba para nelayan dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan hidup
mereka, Namun ketika musim paceklik tiba mereka akan sulit sekali untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Peran yang strategis dalam relasi patron klien ini soalnya mereka akan
membantu memberikan pinjaman uang kepada para nelayan buruh atau klien
untuk memenuhi kebutuhannya dan mereka tidak perlu lagi membayarnya pada
waktu yang ditentukan tetapi kapan saja mereka punya uang bahkan
perkembangan hubungan patron- klien para nelayan buruh tidak lagi harus
membayarnya dalam bentuk uang melainkan dengan hasil tangkapan mereka
Peran para patron ini sebagai penolong bagi para nelayan karena ditengah
himpitan ekonomi para nelayan merasa masih bisa mencukupi kehidupan
keluarganya.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan yang dibangun antara patron dan klien berbasis pada hubungan
sosial dan ekonomi artinya dari sisi yang lain hubungan patron -klien sebagai
relasi yang menghubungkan hubungan kekerabatan dan solidaritas yang kuat di
antara mereka, namun disisi lain hubungan patron klien dianggap sebagai
hubungan berbasis pada eksploitasi. Mengenai hubungan patron klien ini . Legg
(1983) dalam Arif Satria (2002) : 4), mengungkapkan bahwa tata hubungan
patron- klien umumnya berkaitan dengan :
1. Hubungan antar pelaku yang menguasai sumber daya yang tidak sama.
2. Hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi dan
mengandung keakraban.
3. Hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan. Sedangkan
dasar hubungan patron klien dalam masyarakat pesisir puger hanya
berbasis pada kepercayaan dan keberlanjutan dari relasi tersebut. Para
nelayan menganggap bahwa apa yang telah diberikan oleh para orang yang
di sini disebut sebagai patron seimbang dengan hasil tangkap yang
diberikan oleh para nelayan. Para nelayan ini tidak merasakan adanya
bentuk eksploitasi dari para patron terhadap dirinya. Dan keadaan seperti
ini telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama. Para nelayan
menyadari akan kemiskinan dirinya dalam ekonomi namun mereka tidak
menyadari dan tidak ingin mencari tahu apa yang menjadi sebab dari
kemiskinan mereka ini. kategori- kategori pertukaran dari patron ke klien
mencakup pemberian bantuan penghidupan subsistensi dasar , jaminan
sosial,khususnya pemberian modal untuk pembelian alat tangkap dan
Universitas Sumatera Utara
klien menjual hasil tangkapannya terhadap patron lebih rendah dari harga
pasar.
2.7 Mekanisme Survival Nelayan Tradisional di Musim Paceklik
Ketika musim angin timur datang, para nelayan biasanya jarang melaut
akibat gelombang laut yang sangat besar. Nelayan umumnya lebih memilih
beristirahat atau menunda melaut dengan menambatkan perahunya disejumlah
tempat sehingga akibatnya kemudian mereka nyaris tidak memperoleh
penghasilan. Dalam kondisi itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
mereka biasanya akan mengadaikan barang-barang berharga miliknya untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari menjadi salah satu alternatif mendapatkan uang
segar memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang tidak dapat dihindari.
Biasanya barang yang digadaikan nelayan tradisional akan diambil
kembali setelah mereka mempunyai uang. Barang yang digadaikan bermacam-
macam seperti tape recorder, VCD player, dan TV, bahkan ada juga yang
menggadaikan sepeda motor. Berikut ini bentuk-bentuk mekanisme survival yang
biasa mereka kembangkan untuk menyiasati tekanan kebutuhan hidup selama
musim paceklik menurut Suyanto (2013 : 85) yaitu Pertama, mencari pekerjaan di
luar sektor perikanan. Bagi nelayan tradisioanl yang memiliki alternatif pekerjaan
sampingan memang meski mereka tidak dapat melaut, tetapi umumnya masih
dapat diatasi dengan menekuni pekerjaan di luar nelayan, sebaliknya untuk
nelayan tradisional yang tidak memiliki alternatif pekerjaan diluar nelayan, jelas
musim paceklik akan sangat mengganggu kondisi ekonomi keluarga mereka.
Kedua, bekerja sebagai buruh nelayan di kapal besar modern, Ketiga, hidup dari
tabugan, dan Keempat, hidup dari utang dan uluran tangan orang lain, tetapi
Universitas Sumatera Utara
karena sudah terlatih puluhan tahun hidup serba kekurangan maka sekeras apa
pun tekanan kemiskinan yang harus dihadapi, hal itu biasanya tidak lagi
mengejutkan nelayan tradisional.
Bagi keluarga nelayan tradisional, kemiskinan dalam beberapa hal
memang terasa menindas, tetapi ketika tekanan kemiskinan itu terus-menerus
terjadi dan dialami, maka pelan-pelan mereka pun lebih menyesuaikan dengan
keadaan.
2.8. Qanun Nomer 5 Tahun 2003 Pembentukan Pemerintahan Gampong di Provinsi Aceh
Kedudukan,Tugas,Fungsi dan Wewenang Gampong
Pasal 2
Gampong merupakan organisasi pemerintahan terendah yang berada di bawah
Mukimdalam struktur organisasi pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Pasal 3
Gampong mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan,
melaksanakanpembangunan, membina masyarakat dan meningkatkan pelaksanaan
Syari’at Islam.
Pasal 4
Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Gampong
mempunyaifungsi :
Universitas Sumatera Utara
a. penyelenggaraan pemerintahan, baik berdasarkan asas desentralisasi,
dekonsentrasi dan urusan tugas pembantuan serta segala urusan pemerintahan
lainnya yang berada di Gampong
b. pelaksanaan pembangunan, baik pembangunan fisik dan pelestarian lingkungan
hidupmaupun pembangunan mental spiritual di Gampong.
c. pembinaan kemasyarakatan di bidang pendidikan, peradatan, sosial
budaya,ketentraman dan ketertiban masyarakat di Gampong.
d. peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam.
e. peningkatkan percepatan pelayanan kepada masyarakat;
f. penyelesaian persengketaan hukum dalam hal adanya persengketaan-
persengketaanatau perkara-perkara adat dan adat istiadat di Gampong.
Pasal 5
(1) Kewenangan Gampong, meliputi :
a. kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Gampong dan
ketentuan adat dan adat istiadat;
b. kewenangan yang diberikan berdasarkan Peraturan Perundang Undangan;
c. kewenangan yang berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan belum
menjadi/belum dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota, Pemerintah Kecamatan dan
Pemerintah Mukim.
d. kewenangan pelaksanaan tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota, Pemerintah
Kecamatan dan Pemerintah Mukim.
Universitas Sumatera Utara
(2) Tugas pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, disertai
dengan pembiayaan, sarana/prasarana serta tenaga pelaksana.
(3) Pemerintah Gampong berhak menolak pelaksanaan tugas pembantuan yang
tidakdisertai dengan pembiayaan, sarana/prasarana serta tenaga pelaksana.
2.9. Hukum Adat Laot Aceh
Pada masyarakat Aceh terdapat pengelompokan penting dalam pembagian
dan pengaturan kekuasaan adat yang jelas di suatu wilayah. Panglima Laot
merupakan suatu lembaga yang memimpin adat dan kebiasaan yang berlaku di
bidang penangkapan ikan dilaut, termasuk dalam hal mengatur tempat
penangkapan, penambatan perahu dan penyelesaian sengketa bagi hasil.
Ketentuan adat laut di aceh ini sesuai dengan pasal 7 Undamg-Undang Nomor 44
tahun 1999, yang menyebutkan bahwa daerah dapat membentuk lembaga adat dan
mengakui lembaga-lembaga adat yang sudah ada sesuai dengan kedudukannya
masing-masing di provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan atau
gampong.
Pemimpin hukum laut dalam masyarakat aceh disebut Panglima laot atau
Abu laot. Pengangakatannya di lakukan melalui suatu pemilihan dalam
musyawarah. Jabatan ini bersifat profesional. Calon yang dipilih dari kalangan
pawang laut yang sangat berpengalaman dalam bidang kelautan. Untuk menjadi
panglima laot harus mengerti masalah-masalah adat laut, cara menangkap ikan
yang baik sehingga tidak merusak ekosistem bawah laut, memiliki sifat arif,
bijaksana serta wibawa dalam menyelesaikan permasalahan.
Universitas Sumatera Utara
Tugas dan tanggung jawab panglima laot sangat berat karena dalam
melaksanakan tugasnya panglima laot harus berhadapan dengan para nelayan,
para pawang atau mereka yang umumnya beremosial tinggi. Keputusan panglima
laot tentang hukum adat laot merupakan ketetapan dari hukum yang sudah ada
sebelumnya dari masing-masing wilayah adat dalam provinsi aceh dengan
demikian seluruh Panglima laot aceh dapat mengumumkan kepada seluruh
nelayan yang ada didaerahnya masing-masing.
2.9.1. Wewenang Panglima Laot
Dalam hal ini, maksud dari wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk
melakukan sesuatu, jadi kalau dikatakan Panglima Laot mempunyai wewenang
untuk mempertahankan adat laot, mengandung arti Panglima Laot mempunyai
hak dan kekuasaan untuk mempertahankan adat laot menurut hukum negara.
Dalam Perda No. 2 Tahun 1990, persoalan kewenangan Panglima laot tidak diatur
secara tegas, tidak ada satu pasal pun dari Perda No. 2 Tahun 1990 tersebut yang
membicarakan kewenangan Panglima Laot. Satu-satunya pasal yang dapat
dijadikan acuan dalam membahas kewenangan Panglima Laot adalah pasal 1 (m).
Dalam pasal tersebut Panglima Laot ditetapkan sebagai pemimpin:
a. Adat istiadat
b. Kebiasaan-kebiasaan dalam penangkapan ikan dilaut
c. Pengaturan daerah penangkapan ikan.
d. Pengaturan tempat penambatan perahu
e. Menyelesaikan sengketa bagi hasil.
Dengan diakuinya oleh Panglima laot mendapat legalitas (keabsahan)
darisegi hukum, dengan pengakuan itu pula Panglima Laot mempunyai
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan.Pengesahan Panglima Laot dalam mempertahankan hukum adat laot,
adat dankebiasaannya menurut hukum negara.
Pengertian Adat Istiadat yang dimaksudkan itu tidak lain dari adat istiadat
yang telah dilakukan. Sebagai contoh Adat Laot yang sudah baku, pada garis
besarnya meliputi :
1. Adat perjanjian bagi hasil ikan.
2. Adat dalam penangkapan ikan.
3. Adat penyelesaian sengketa antar nelayan.
4. Adat dalam musibah di laut.
5. Adat kenduri Laot.
6. Adat dalam membantu pemerintahan.
7. Adat lingkungan
Adat 1 s/d 7 sudah jelas, karena sudah biasa dilaksanakan pada semua
daerah. Hanya saja disana-sini ada perbedaan yang tidak prinsipil, perbedaan
seperti itu sebaiknya dibiarkan saja supaya adat tidak kaku. Akan tetapi mengenai
pantangan perlu dipikirkan lagi kegunaannya dari segi ekonomis, bila telah tidak
cocok sebaiknya ditiadakan saja. Misalnya di Bakongan (Aceh Selatan), atas dasar
keputusan camat para nelayan pantang turun ke laut pada hari hari raya haji (Idul
Adha) selama 7 hari.
2.9.2. Fungsi Panglima Laot
Universitas Sumatera Utara
Fungsi atau peran Panglima laot dalam hal ini merupakan tugas yang harus
dikerjakan, dalam Perda No. 2 Tahun 1990 pasal 6 telah dirincikan dan diatur
tentang peran dan fungsi Panglima Laot, yaitu:
1. Membantu Pemerintah dalam memperlancar pelaksanaan pembangunan.
2. Melestarikan hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat.
3. Memberi kedudukan hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut
keperdataan adat.
4. Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat.
Dalam hal ini, fungsi Panglima Laot akan memberi kedudukan hukum
menurut hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut keperdataan adat. Fungsi
ini secara yuridis memberi kekuasaan kepada lembaga Panglima Laot (sebagai
hasil kesepakatan bersama), untuk mengangkat hal-hal yang telah ada dalam
kebiasaanmenjadi hukum adat. Dari ketentuan pasal 6 Perda No.2 Tahun 1990
tersebut dapat diketahui pula bahwa ketentuan-ketentuan adat itu tidak bersifat
tertutup. Artinya yang dikatakan adat itu bukan hanya adat yang telah ada sejak
dahulu kala akan tetapi pada adat yang telah ada itu selalu dapat ditambah dengan
adat-adat baru, apabila dalam pelaksanaan adat laot itu dibutuhkan. Karena pada
dasarnya adat laot itu tidak bersifat tertutup, maka dapat diartikan pula menurut
pasal 6 perda No. 2 tahun 1990, menghendaki agar adat laot itu selalu
diperbaharui sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat nelayan serta
pembangunan nasional secara keseluruhan.
2.10.Penelitian Sebelumnya
Universitas Sumatera Utara
Studi emperis Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Departemen Pertanian
(1995)dalam Yenny (2006: 18) yang dilakukan pada tujuh belas propinsi di
Indonesia,antara lain: Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Lampung,Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur,Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah,Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya. Hasil studi tersebut
menyimpulkan bahwaada enam faktor utama penyebab kemiskinan masyarakat
pedesaan di Indonesia.Faktor tersebut antara lain: 1) rendahnya kualitas sumber
daya manusia. Hal iniditunjukkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, tingginya
angka ketergantungan,rendahnya tingkat kesehatan, kurangnya pekerjaan
alternatif, rendahnya etos kerja,rendahnya ketrampilan dan besarnya anggota
keluarga. 2) rendahnya sumber dayafisik. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya
kualitas dan jumlah aset produksi serta modal kerja. 3) rendahnya penerapan
teknologi. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnyapenggunaan input dan mekanisasi
pertanian. 4) rendahnya potensi wilayah yangditunjukkan oleh rendahnya potensi
fisik dan infrastruktur. Potensi fisik ditunjukkanoleh iklim, tingkat kesuburan dan
topografi wilayah. Infrastruktur ditunjukkan olehirigasi, transportasi, pasar,
kesehatan, pendidikan, pengolahan komoditi pertanian,listrik dan fasilitas
komunikasi. 5) kurang tepatnya kebijakan yang dilakukan olehpemerintah dalam
investasi dan pengentasan kemiskinan. dan 6) kurang berperannyakelembagaan
yang ada. Kelembagaan tersebut antara lain, pamasaran, penyuluhan,dan
perkreditan.
Penelitian Both dan Firdaus dalam Yenny (2006: 19) dalam studi
empirisnyamenyimpulkan beberapa faktor yang mempengaruhi kemiskinan
Universitas Sumatera Utara
masyarakatdi pedesaan Asia. Faktor tersebut antara lain: 1) faktor ekonomi terdiri
dari; modal, tanah, dan teknologi. 2) faktor sosial dan budaya terdiri dari
pendidikan, budaya miskin dan kesempatan kerja. 3) faktor geografis dan
lingkungan. 4) faktor pribadi terdiri dari jenis kelamin, kesehatan dan usia.
Keempat faktor tersebutmempengaruhi tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap
pasar, fasilitas umum dankredit. Lebih lanjut Both dan Firdaus menyatakan
tingkat aksesibilitas masyarakatterhadap ketiga faktor tersebutlah yang
mempengaruhi tingkat kemiskinannya.
Smith (1979) dalam Bengen, (2001: 17) yang mengadakan
kajianpembangunan perikanan di berbagai negara di Asia serta Anderson (1979)
dalamBengen (2001: 17) yang melakukannya di negara-negara Eropa dan
Amerika Utaratiba pada kesimpulan bahwa kekakuan aset (fixity and rigidity of
fishing asset)perikanan adalah alasan utama kenapa nelayan tetap tinggal atau
bergelut dengankemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar
dari kemiskinan itu.Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat aset perikanan
yang begitu rupa sehinggasulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya
untuk digunakan bagikepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset
tersebut rendah, nelayantidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi
aset tersebut. Karena itumeskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan
operasi penangkapan ikanyang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis.
Penelitian Aldwin (2009: 198) menyimpulkan bahwa deraan hidup
yangdatang bertubi-tubi sepanjang kariernya sebagai nelayan, boleh diasumsikan
sebagaigelombang yang mempermainkan perahu di tengah laut. Perahu itu bahkan
sepertisabut kecil, tidak berdaya, terhempas terhayun oleh gelombang dan hanya
Universitas Sumatera Utara
pasrahdengan kemurahan hati gelombang laut. Jika gelombang reda maka nelayan
akan bisamenarik selama beberapa waktu. Namun tetap saja mereka harus lebih
kerasberjuang, sama seperti saat mereka berjuang menghadapi gelombang
laut.Penghasilan yang diperoleh saat merapat ke dermaga untuk menjual hasil laut
yangdiperoleh, seakan tidak sebanding dengan perjuangan hidup yang mereka
alamiselama melaut. Perairan laut yang tenang diiringi riak, tiba-tiba dapat
mengubahdirinya menjadi gelombang yang siap mempermainkan perahu nelayan
tradisional.Jika keadaan sudah seperti ini, para nelayan harus upaya kuat untuk
selamat.
Mungkin tidak banyak yang mengetahui bagaimana perjuangan nelayan
menghadapi gelombang laut sewaktu mereka melaut. Sejumlah orang, toke
ikan,toke perahu yang sangat dekat dengan jaringan distribusi ikan, mungkin tidak
merasa perlu mengetahui hal ini. Bagi mereka keuntungan yang bakal diperoleh,
boleh jadi jauh lebih menarik dibincangkan dari memikirkan perjuangan dan nasib
nelaya tradisional yang mengalami deraan hidup di darat dan di laut. Toke ikan
dan toke perahu juga tidak merasa perlu memikirkan ada anak di bawah umur
yang berjuang sama kerasnya dengan orang tuanya agar mereka, anak-anak, boleh
mendapat hasil laut memuaskan dan agar mereka boleh melunasi sebagian hutang
yang sudah terbentuk sejak lama. Aspek kesehatan dan keselamatan kerja juga
luput diperhatikan. Padahal saat ini, kedua aspek itu menjadi prioritas perhatian
banyak pihak. Namun bagi nelayan, laut laksana denyut nafasnya, sumber
kehidupan yang akan mewarnai perolehan kesejahteran dari dan anggota
keluarganya. Apa yang mereka lakukan adalah melintas gelombang merajut masa
depan.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Kusnadi (2002: 2) menyatakan kemiskinan yang diderita
olehmasyarakat nelayan bersumber dari faktor-faktor sebagai berikut:
Pertama; faktor alamiah, yakni yang berkaitan dengan fluktuasi musim-
musimpenangkapan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Kedua;
faktor non-alamiah, yakni berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau
teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya
jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran
dan belum berfungsinya lembaga koperasi nelayan yang ada serta dampak negatif
kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abat
terakhir.
Penelitian Sudarso (2008: 11) yang dilakukan di Kenjeran Surabaya,
menyimpulkan bahwa kemiskinan nelayan tradisional yang terjadi di Kenjeran
adalah disebabkan oleh faktor-faktor berikut: Pertama; rendahnya kualitas sumber
dayamanusia. Yang ditandai dari rendahnya tingkat pendidikan nelayan, kurang
memiliki ketrampilan di luar sektor perikanan. Kedua; keterbatasan modal usaha
dan teknologi penangkapan. Hal ini ditandai dari ketidakmampuan mereka dalam
menghadapi nelayan modern yang menggunakan modal besar dan teknologi
modern. Di mana nelayan modern bisa mendapatkan hasil yang lebih banyak,
karena daya jangkauan pencarian ikan lebih jauh. Sementara nelayan tradisional
terbatas daya jangkauannya.
2.11. Analisis Faktor-faktor Kemiskinan Nelayan Tradisional
Dari berbagai faktor kemiskinan dan beberapa penelitian terdahulu yang telah
dikemukakan sebelumnya, maka faktor-faktor kemiskinan dapat disimpulkan dan
Universitas Sumatera Utara
sekaligus dijadikan sebagai faktor-faktor kemiskinan nelayan tradisional yang
akan dianalisis dalam penelitian ini. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut:
Faktor-Faktor Kemiskinan Nelayan Tradisional
KEMISKINAN
Gambar 2.2 Faktor-Faktor Kemiskinan Nelayan Tradisional
Faktor Kualitas Sumber Daya Manusia:
• Tingkat pendidikan • Ketrampilan alternatif • Pekerjaan Alternatif
Faktor Ekonomi :
• Kepemilikan Modal • Kepemilikan Tanah • Teknologi yang digunakan
Faktor Hubungan Kerja Nelayan:
• Ketergantungan pada pemilik modal • Sistem bagi hasil dengan dengan
pimilik modal • Sistem bagi hasil dengan nelayan
penumpang
Faktor Kelembagaan :
• Peranan lembaga pemasaran • Peranan lembaga penyuluhan • Peranan lembaga perkreditan
Universitas Sumatera Utara
2.12. Kerangka Pemikiran
Nelayan miskin
Faktor kemiskinan
Faktor Kualitas SDM
Faktor ekonomi Faktor Hubungan
Kerja Nelayan
Faktor Kelembagaan
Kemiskinan Struktural
Strategi Survival
(Bertahan)
Universitas Sumatera Utara