bab ii tinjauan pustaka 2.1 komposisi dan tipe kimia air …tipe kimia air tanah yang dominan pada...
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komposisi dan Tipe Kimia Air Tanah
Air tanah memiliki komposisi zat terlarut di dalamnya yang dapat
dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu (Todd, 1980):
1. Unsur utama (major constituents), dengan kandungan 1,0 – 1.000 mg/l, yaitu:
natrium (Na), kalsium (Ca), magnesium (Mg), bikarbonat (HCO3–), sulfat
(SO42–
), klorida (Cl–), dan silika (Si).
2. Unsur sekunder (secondary constituents), dengan kandungan 0,01 – 10 mg/l,
yaitu: besi (Fe), strountium (Sr), kalium (K), karbonat (CO32–
), nitrat (NO3–),
flourida (F–), boron (B).
3. Unsur minor (minor constituents), dengan kandungan 0,0001 – 0,1 mg/l, yaitu:
antimon (Sb), aluminium (Al), arsen (As), barium (Ba), brom (Br), cadmium
(Cd), krom (Cr), kobalt (Co), tembaga (Cu), germanium (Ge), yodium (I),
timbal (Pb), litium (Li), mangan (Mn), molibdenum (Mo), nikel (Ni), fosfat
(PO43–
), rubidium (Rb), selenium (Se), titanium (Ti), uranium (U), vanadium
(V), seng (Zn).
4. Unsur langka (trace constituents), dengan kandungan kurang dari 0,001 mg/l,
yaitu: berilium (Be), bismut (Bi), cerium (Ce), cesium (Cs), galium (Ga), emas
(Au), indium (In), lantanium (La), niobium (Nb), platina (Pt), radium (Ra),
ruthenium (Ru), scandium (Sc), perak (Ag), thalium (Tl), tharium (Th), timah
(Sn), tungsten (W), ytterbium (Yb), yttrium (Y), zirkonium (Zr).
11
Faktor-faktor utama pengendali komposisi kimia air tanah meliputi (Toth,
1984; Kodoatie, 1996):
1. Mobilitas elemen.
Mobilitas elemen dalam hidrosfer merupakan kecenderungan untuk bergerak
dalam suatu lingkungan kimia. Gerakan ini bisa terjadi untuk setiap elemen
dalam bentuk padat, gas, cairan, atau larutan encer. Mobilitas ini tergantung
pada kelarutan dari elemen untuk macam-macam persenyawaan,
kecenderungan ion-ion untuk turut dalam proses pertukaran ion, dan tingkat
penyadapan unsur kimia dari hidrosfer dalam proses organik.
2. Suhu.
Semakin ke dalam suhu di dalam tanah (batuan) semakin tinggi, sehingga
mempengaruhi komposisi kimia air tanah dan efeknya terhadap kelarutan
garam. Kelarutan garam akan makin besar dengan makin tingginya suhu
misalnya CaSO4 dan NaCl, kecuali CaCO3 dan (CaMg)CO3 akan mengecil bila
suhu naik.
3. Tekanan.
Tekanan umumnya mempengaruhi besarnya kelarutan garam. Efeknya
terhadap tekanan parsial dari gas-gas yang ada dalam air tanah, misalnya
tekanan terhadap CO2 menaikkan kadar larutan karbonat.
4. Daerah dimana air dan batuan berhubungan.
Daerah ini tergantung pada tipe dan diskontinyuitas batuan seperti pori-pori,
sambungan, ataupun patahan. Semakin besar daerah ini, semakin banyak
12
volume air bereaksi dengan batuan. Semakin cepat air berhubungan dengan
batuan semakin besar konsentrasi larutan kimia.
5. Lamanya waktu berhubungan.
Semakin lama waktu air dan batuan berhubungan semakin besar derajat
kejenuhannya. Suatu daerah dengan kadar salinitas tinggi akibat air tanah diam
di daerah tersebut.
6. Panjangnya perjalanan dari aliran air.
Semakin panjang jalannya aliran air semakin besar mineralisasi air tanah.
7. Jumlah dan distribusi larutan garam dalam batuan.
Jumlah dan distribusi larutan garam dalam batuan berpengaruh terhadap
konsentrasi ion terlarut dari garam tersebut.
8. Kualitas air awal.
Komposisi kimia dari air sebelum tiba pada suatu titik dalam kerangka batuan
menentukan jenis, laju, dan arah reaksi kimia antara air dan batuan pada titik
tersebut. Kondisi kualitas air awal menentukan perubahan dan perkembangan
komposisi sesudahnya.
Selama proses perjalanannya aliran air tanah cenderung mengubah secara
perlahan komposisi kimia air yang ada dari hulu ke hilir dan mengarah pada
komposisi kimia air laut. Unsur-unsur kimia yang larut dalam air tanah berjalan
dan berevolusi lewat jalan aliran air tanah. Evolusi ini diikuti oleh perubahan
regional dari spesies anion yang dominan seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.1
di bawah ini (Chebotarev, 1955; Kodoatie, 2012).
13
Proses perjalanan air tanah dari hulu (gunung) ke hilir (laut)
(
)
(
)
( )
Hulu (gunung) Tengah Hilir (laut)
Gambar 2.1
Perubahan spesies anion akibat perjalanan air tanah menurut Chebotarev (1955) Sumber: Chebotarev (1955); Kodoatie (2012)
Untuk melihat diagram di atas harus berdasarkan skala dan penentuan suatu
kondisi spesifik geologi. Pengertian ini menyangkut skala dimensi ruang dan
dimensi waktu. Dalam skala dimensi ruang, daerah aliran berdasarkan Gambar 2.1
dapat diuraikan dalam 3 daerah utama yang berkaitan dengan kedalaman serta
hubungan antara kimia air tanah dan sistem aliran regim hidrolik seperti berikut
ini (Toth, 1990; Kodoatie, 1996, 2012):
1. Daerah hulu mengalami pembilasan air tanah yang aktif dari air hujan melalui
batuan yang mudah merembeskan air. Tekanan dan temperatur naik sesuai arah
aliran. Daerah ini berada di daerah pegunungan dan sering disebut daerah isian
air tanah (recharge area). Proses yang terjadi meliputi disolusi, hidrasi,
oksidasi, attack by acids, dan pertukaran dasar. Nilai total padatan terlarut
(TDS) rendah. Unsur yang dominan adalah Ca2+
, Mg2+
, HCO3–, CO3
2–, dan
SO42–
. Unsur-unsur ini mudah bertambah dan batuannya bermacam-macam.
2. Daerah tengah mengalami sirkulasi dan pembilasan air yang lebih rendah dari
daerah hulu. Tekanan mendekati hidrostatis dan temperaturnya cenderung
konstan. Daerah ini merupakan daerah dataran agak tinggi, sedang, sampai
rendah. Proses yang terjadi meliputi disolusi, pengendapan kimia, pengurangan
sulfat, dan pertukaran dasar. Nilai TDS lebih kecil dari daerah hulu, dimana
14
perbedaan nilai TDS antara suatu daerah dengan daerah lain cukup tinggi.
Unsur yang dominan adalah Na+, Ca
2+, Mg
2+, HCO3
–, CO3
2–, SO4
2–, dan Cl
–.
3. Daerah hilir merupakan kebalikan dari daerah hulu, mempunyai sifat aliran air
tanah lebih lembam (sluggish), larutan mineral cukup banyak karena
pembilasan air rendah. Daerah ini terjadi di pantai, sering disebut daerah
pembuangan (discharge area). Proses yang terjadi meliputi: pengendapan
kimia, pengurangan sulfat, dan filtrasi selaput. Nilai TDS pada daerah ini
tinggi. Unsur yang dominan adalah Na+, SO4
2–, dan Cl
–.
Komposisi kimia air tanah (kandungan kation dan anion) menentukan tipe
kimia air tanah. Tipe kimia air tanah dapat diidentifikasikan dengan prinsip
interpretasi berdasarkan hubungan ion-ion penyusun air tanah. Model Diagram
Trilinier Piper (Piper, 1944) merupakan metode yang banyak digunakan secara
luas di dalam penelitian-penelitian terdahulu dan masih relevan hingga saat ini.
Penggunaan metode ini didasarkan atas kandungan ion-ion seperti Na+, K
+, Mg
2+,
Ca2+
, Cl–, HCO3
–, CO3
2–, dan SO4
2– dalam air tanah. Berdasarkan metode ini,
telah teridentifikasi karakteristik kimia air tanah di berbagai negara (Martinez dan
Bocanegra, 2002; Gómez et al., 2006; Dhiman dan Keshari, 2006; Olobaniyi et
al., 2007; Hussein, 2008; Mukherjee et al., 2008; Hajalilou dan Khaleghi, 2009;
Han et al., 2009; Kagabu et al., 2010; Nwankwoala dan Udom, 2011; Wu et al.,
2012; Hagras, 2013; Khan et al., 2014; Nyende et al., 2014; Barik dan Pattanayak,
2014; Srinivas et al., 2014; Nag dan Das, 2014; Barick dan Ratha, 2014).
Model Diagram Trilinier Piper ini merupakan alat bantu yang sangat efektif
untuk studi tentang pemisahan sumber unsur terlarut dalam air tanah, perubahan
15
atau modifikasi sifat–sifat air yang melewati suatu wilayah tertentu, serta
hubungannya dengan permasalahan geokimia. Prosedur analisis model tersebut
didasarkan pada diagram segitiga yang telah dikembangkan secara bertahap
melalui percobaan dan modifikasi bentuk (Piper, 1944). Diagram ini terdiri atas
dua segitiga sama sisi yang terletak di bawah kanan dan kiri, dimana masing-
masing segitiga untuk pengeplotan kation di satu pihak dan anion di pihak lain.
Pada bagian atas kedua segitiga itu dibuat jajaran genjang dan pada jajaran
genjang tersebut titik-titik kation dan anion ditarik ke atas ke dalam jajaran
genjang. Berdasarkan kedudukan titik pada jajaran genjang dapat diinterpretasikan
tipe kimia air tanah tersebut (Suharyadi, 1984).
Tipe kimia air tanah yang dominan pada akuifer bebas dengan komposisi
batuan lanau dan pasir halus adalah Ca2+–HCO3
– di bagian hulu dan Na
+–HCO3
–
di bagian hilir (Martinez dan Bocanegra, 2002). Air tanah pada formasi batuan
utama granit dan schist di bagian atas (kedalaman <100 m) dominan bertipe Ca2+–
HCO3–, di kedalaman menengah (100–150 m) dominan bertipe Na
+-Ca
2+–HCO3
–,
dan di kedalaman >450 m dominan bertipe Na+–HCO3
– (Gómez et al., 2006). Air
tanah pada akuifer tertekan di daerah aluvial dengan formasi batuan pasir kasar
dan kerikil, lempung, lempung berpasir (kedalaman 78–162 m), didominasi oleh 3
tipe kimia yaitu tipe Na+–HCO3
–, tipe Ca
2+–HCO3
–, dan tipe Mg
2+–HCO3
–
(Dhiman dan Keshari, 2006). Air tanah di daerah dengan kondisi batuan tidak
terkonsolidasi, pasir dengan dasar gembur, dengan campuran kerikil dan lempung
(kedalaman >60 m) memiliki tipe kimia jenis klorida yang bervariasi dari Ca2+–
Cl–, ke Ca
2+-Mg
2+–Cl
–, ke Mg
2+-Ca
2+–Cl
–, ke Na
+-Ca
2+–Cl
–, dan Na
+–Cl
–
16
(Olobaniyi et al., 2007). Air tanah di daerah dengan formasi endapan aluvial,
dataran fluvial, dan sedimen eolian memiliki tipe kation Na+-Mg
2+-Ca
2+ dengan
tipe anion SO42–
di daerah isian, tipe kation Mg2+
-Na+-Ca
2+ dengan tipe anion Cl
–-
SO42–
di daerah transisi, dan tipe kation Mg+-Ca
2+-Na
+ dengan tipe anion Cl
–-
SO42–
atau tipe kation Ca2+
-Mg2+
-Na+ dengan tipe anion Cl
–-SO4
2– di daerah
pelepasan (Husein, 2008). Tipe kimia yang dominan dari air tanah pada akuifer
semi tertekan dan tertekan di dataran aluvial pada kedalaman <50 m adalah Ca2+–
HCO3–, kedalaman 50–150 m adalah Mg
2+–Cl
– atau Mg
2+-Ca
2+–Cl
–, dan
kedalaman >150 m adalah Na++K
+–HCO3
– (Mukherjee et al., 2008). Air tanah
pada akuifer aluvial dengan batuan utama kerikil dan pasir koarsa dengan
kedalaman 80 – 200 m didominasi oleh tipe kimia Ca2+
-Mg2+–HCO3
– (Hajalilou
dan Khaleghi, 2009). Air tanah pada daerah dengan formasi batuan magmatik,
metamorf, dolomit, kapur, karbon berlapis batu pasir, basal tersier, endapan
sedimen termasuk aluvial dan endapan pasir, pasir berlempung-lanau, dan
lempung berdebu didominasi oleh tipe anion HCO3–
dan tipe kation Ca2+
(Han et
al., 2009). Air tanah dangkal pada batuan pasir, konglomerat, dan lempung
memiliki tipe kimia dominan Ca2+–HCO3
–, air tanah dalam pada batuan campuran
pasir-breksi dan lempung memiliki tipe kimia dominan Na+–HCO3
–, dan air tanah
di daerah pantai memiliki tipe kimia dominan Na+–Cl
– (Kagabu et al., 2010). Air
tanah pada formasi batuan pasir yang sebagian besar butiran sedang sampai kasar,
berkerikil, dan liat didominasi tipe kimia Ca2+
-Mg2+–Cl
–-SO4
2– dan tipe kimia
Na++K
+–Cl
–-SO4
2– (Nwankwoala dan Udom, 2011). Air tanah yang mengalir
melalui pori-celahan pada batuan tersier-cretaceous dan yang mengalir melalui
17
pori pada batuan sedimen kuarter didominasi oleh tipe kimia Na++K
+–HCO3
– (Wu
et al., 2012). Tipe kimia air tanah yang dominan pada daerah endapan aluvial
(lumpur, tanah liat, dan pasir berlumpur) adalah tipe Ca2+–HCO3
– (Hagras, 2013).
Air tanah di daerah dengan formasi batuan utama aluvial kuarter (batuan tidak
terkonsolidasi yang didominasi pasir kuarsa, dengan campuran liat dan debu) dan
endapan aeolian, dimana pada 33% luas daerahnya berpotensi salinitas tinggi,
didominasi tipe Ca2+–HCO3
– diikuti tipe Na
+–Cl
– (Khan et al., 2014). Air tanah
pada daerah dengan batuan fraksi granit didominasi tipe Ca2+
-Mg2+–HCO3
–
dimana semakin ke dalam terjadi peningkatan kandungan ion Mg2+
, sedangkan
pada daerah aluvial didominasi tipe Na+–HCO3
– (Nyende et al., 2014). Air tanah
pada lapisan batuan yang mengandung bijih besi, dolomit, dan batubara,
didominasi oleh tipe kimia Ca2+
-Mg2+–HCO3
– (Barik dan Pattanayak, 2014). Air
tanah pada formasi batuan pasir, pasir kerikil, peninsular gneisses, charnickites,
khondalit, granit, dan pegmatit didominasi oleh tipe kimia Ca2+
-Mg2+–Cl
–-SO4
2–
dan Ca2+
-Mg2+–HCO3
– (Srinivas et al., 2014). Air tanah pada formasi batuan
pasir, lanau, lempung, lempung keras, laterit, dan granit gneiss (kedalaman 2 – 21
m) saat post monsoon didominasi tipe kimia Ca2+–HCO3
– sedangkan saat pre
monsoon didominasi tipe kimia Ca2+
-Mg2+–Cl
–-SO4
2– (Nag dan Das, 2014). Air
tanah di daerah dengan kondisi batuan keras (khondalit, granit, gneisses, batuan
kalk–silika, anorthosit, kuarsa) pada akuifer tertekan maupun akuifer bebas
didominasi tipe kimia Mg2+–HCO3
– dan Ca
2+–HCO3
– (Barick dan Ratha, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu tersebut dapat ditunjukkan bahwa tipe
kimia air tanah dipengaruhi oleh formasi geologi dan keberadaan dari akuifer.
18
2.2 Kualitas Air Tanah untuk Irigasi
Kesesuaian kualitas air untuk irigasi ditentukan berdasarkan tingkat bahaya
salinitas, tingkat bahaya alkalinitas, dan kandungan unsur beracun (toksisitas)
(Khan et al., 2014). Analisis kualitas air untuk irigasi dapat dilakukan berdasarkan
parameter-parameter terukur seperti daya hantar listrik (DHL), TDS, derajat
keasaman (pH), konsentrasi kation terlarut (Na+, K
+, Ca
2+, Mg
2+), konsentrasi
anion terlarut (HCO3–, CO3
2–, SO4
2–, Cl
–, NO3
–), dan kandungan unsur Boron (B).
DHL digunakan untuk menunjukkan konsentrasi total unsur terionisasi dalam air
secara alami dan merupakan ukuran bahaya salinitas pada air irigasi. TDS
merupakan ukuran dari jumlah total materi terlarut yang dibawa oleh air. Nilai pH
merupakan representasi dari tingkat keasaman atau kebasaan dalam air. Kation-
kation seperti Na+, K
+, Ca
2+, dan Mg
2+ adalah kation atau unsur dasar yang
memiliki konsentrasi signifikan dalam air irigasi dan merupakan unsur penting
bagi tanaman. Anion-anion penting yang terdapat pada air irigasi diantaranya
adalah HCO3– dan CO3
2– yang terkait dengan sifat basa dari air, SO4
2– dan NO3
–
yang merupakan nutrisi penting bagi tanaman dan dibutuhkan dalam konsentrasi
wajar, dan Cl– yang tidak diperlukan dalam konsentrasi berlebih karena
merupakan racun bagi beberapa tanaman. Unsur B merupakan unsur yang
ditemukan di hampir semua perairan alami, pada konsentrasi tertentu
keberadaannya penting untuk pertumbuhan tanaman, tetapi pada konsentrasi
hanya sedikit di atas optimal menjadi sangat beracun. Evaluasi kesesuaian kualitas
air tanah untuk irigasi berdasarkan tingkat bahaya alkalinitas dapat dilakukan
19
dengan menggunakan metode persen natrium terlarut (%Na), rasio serapan
natrium (SAR), dan residu natrium karbonat (RSC) (Wilcox, 1955).
Nilai %Na digunakan untuk menyatakan hubungan antara air irigasi dengan
tanah, yang mengindikasikan proporsi ion Na+ dalam larutan dan kaitannya
dengan konsentrasi kation keseluruhan. Hal ini berguna dalam menggambarkan
karakteristik air, dimana nilai yang tinggi menunjukkan air yang lunak sedangkan
nilai yang rendah menunjukkan air keras. Nilai ini adalah indikasi dari bahaya
alkalinitas namun tidak ada ukuran yang baku, seperti halnya SAR (Wilcox,
1955). Nilai %Na yang tinggi dalam air irigasi dapat menghambat pertumbuhan
tanaman dan mengurangi permeabilitas tanah (Srinivasamoorthy et al., 2013;
Srinivas et al., 2014; Joshi et al., 2009; Kanwar dan Khanna, 2014). Konsentrasi
Na+ yang tinggi dalam tanah dapat mempengaruhi pola drainase internal tanah
dalam melepas ion K+ dan Mg
2+ yang diakibatkan penyerapan Na
+ oleh partikel
tanah liat. Hal ini dapat membuat tanah menjadi keras dan tidak layak (Zhu et al.,
2010; Srinivas et al., 2014; Nag dan Das, 2014), sehingga perlu dilakukan
pengelolaan secara khusus seperti perbaikan drainase, pencucian, dan
penambahan bahan organik (Suresh et al., 2014).
Nilai SAR menunjukkan tingkat bahaya alkalinitas dari air irigasi yang
ditentukan oleh konsentrasi absolut dan relatif kation. SAR digunakan untuk
mengekspresikan aktivitas relatif ion Na+ dalam reaksi pertukaran dengan tanah
(Wilcox, 1955). Nilai SAR dari air irigasi memiliki hubungan yang signifikan
dengan kemampuan tanah menyerap ion Na+ (Todd, 1980). Jika air tanah yang
digunakan untuk irigasi memiliki kandungan Na+ tinggi dan K
+ rendah maka
20
kapasitas pertukaran kation menjadi jenuh dengan Na+, sehingga dapat merusak
struktur tanah karena dispersi dari partikel tanah liat (Venkateswaran dan
Vediappan, 2013). Kandungan Na+ yang tinggi dalam air irigasi dapat
menyebabkan pH menjadi sangat tinggi dan meracuni tanaman (Jumin, 2012).
Metode SAR di atas secara prinsip memiliki kegunaan yang sama dengan metode
%Na yaitu untuk menunjukkan tingkat bahaya alkalinitas dari air irigasi dengan
mengedepankan peranan ion Na+. Namun demikian, untuk selanjutnya di dalam
penelitian ini hanya digunakan metode SAR untuk menunjukkan tingkat bahaya
alkalinitas dari air irigasi dikarenakan nilai %Na tidak memiliki ukuran yang baku
seperti halnya nilai SAR (Wilcox, 1955).
Nilai RSC adalah parameter lain yang dapat digunakan untuk
mengklasifikasikan air irigasi (Eaton, 1950). RSC merupakan suatu konsep untuk
menentukan kualitas air irigasi, dengan dasar bahwa konsentrasi ion-ion
bikarbonat dapat menyebabkan pengendapan ion Ca2+
dan ion Mg2+
sebagai
karbonat, sehingga akan meningkatkan ion Na+ dalam air tanah (Eaton, 1950;
Jumin, 2012; Srinivas et al., 2014). Bila air dengan nilai RSC melebihi 2,5
meq/liter maka secara umum air tersebut tidak dapat digunakan untuk air irigasi,
bila air mempunyai nilai RSC 1,25 – 2,5 meq/liter berarti air tersebut berada
dalam ambang kualitas/kualitas cukup, dan bila RSC kurang dari 1,25 meq/liter
menunjukkan bahwa air tersebut aman untuk dijadikan air irigasi (Wilcox, 1955).
Penggunaan air irigasi dalam jangka panjang dapat mempengaruhi
permeabilitas tanah, yaitu akibat keberadaan ion-ion Na+, K
+, Mg
2+, dan HCO3
–
dalam tanah (Venkateswaran dan Vediappan, 2013; Suresh et at., 2014). Pada
21
umumnya kandungan Ca2+
dan Mg2+
dalam air tanah dipertahankan dalam
keadaan keseimbangan (Hem, 1985). Kelebihan kandungan Mg2+
dalam air tanah
dapat mempengaruhi kualitas tanah, yang dapat menyebabkan rendahnya hasil
tanaman (Venkateswaran dan Vediappan, 2013; Suresh et al., 2014), karena tanah
menjadi bersifat lebih salin (Joshi et al., 2009).
Identifikasi terhadap kelayakan berbagai tipe kimia air tanah sebagai sumber
air irigasi telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Di daerah yang didominasi
oleh air tanah dengan tipe kimia Ca2+
-Mg2+–Cl
–-SO4
2– dan tipe kimia Na
++K
+–Cl
–
-SO42–
, kualitas airnya baik untuk digunakan sebagai sumber air irigasi
berdasarkan kriteria nilai SAR (Nwankwoala dan Udom, 2011). Air tanah dari
sumur dalam dengan kedalaman rata-rata 60 m pada daerah dengan kondisi batuan
kuarsa memiliki tingkat bahaya salinitas kategori sedang (nilai DHL 251–750
S/cm) hingga tinggi (751–2250 S/cm), nilai SAR dalam kategori sangat baik (<
10), dan nilai RSC dalam kategori aman (Reddy, 2013). Air tanah dengan tipe
kimia Ca2+–HCO3
– berdasarkan indikator nilai DHL dan nilai SAR berada dalam
kategori baik sampai diijinkan untuk digunakan sebagai air irigasi (Hagras, 2013).
Berdasarkan indikator yang sama pula, Khan et al. (2014) mengungkapkan bahwa
sebanyak 68% dari contoh air tanah yang diteliti dengan kedalaman >90 m tanpa
tipe kimia yang dominan adalah sesuai untuk irigasi. Barick dan Ratha (2014)
melaporkan bahwa air tanah dengan tipe kimia Mg2+–HCO3
– dan Ca
2+–HCO3
–,
berdasarkan kriteria SAR dan DHL memiliki tingkat bahaya alkalinitas rendah
dan bahaya salinitas tinggi, sedangkan 80% dari contoh air tanah yang diteliti
berada dalam kategori aman berdasarkan nilai RSC. Hasil identifikasi yang
22
dilakukan Srinivas et al. (2014) terhadap contoh-contoh air tanah yang didominasi
oleh tipe kimia Ca2+
-Mg2+–Cl
–-SO4
2– dan Ca
2+-Mg
2+–HCO3
– menunjukkan bahwa
71% contoh dalam kategori baik hingga cukup berdasarkan nilai RSC, sedangkan
berdasarkan nilai SAR dan DHL 85% contoh memiliki kategori bahaya alkalinitas
rendah dan bahaya salinitas sedang hingga tinggi. Pada daerah dimana air
tanahnya pada saat post monsoon memiliki tipe kimia yang dominan Ca2+–HCO3
–
100% contoh memiliki kualitas sangat baik berdasarkan nilai SAR, berdasarkan
nilai DHL 77% contoh dalam kategori sangat baik, dan berdasarkan nilai RSC
61% contoh aman, sedangkan saat pre monsoon yang didominasi tipe kimia Ca2+
-
Mg2+–Cl
–-SO4
2– memiliki kualitas berdasarkan nilai SAR sangat baik (100%
contoh), nilai DHL sangat baik (54% contoh), dan nilai RSC aman (54% dari
contoh) (Nag dan Das, 2014). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu tersebut
dapat ditunjukkan bahwa tipe kimia air tanah tidak menunjukkan derajat
kualitasnya untuk irigasi dan air tanah yang mengandung bahaya salinitas tidak
selalu mengandung bahaya alkalinitas, begitu pula sebaliknya.
2.3 Aliran Air Tanah
Freeze dan Cherry (1979) menyatakan bahwa ada 6 parameter sifat-sifat
fisik dasar untuk menjelaskan aliran air tanah secara hidrolik. Parameter-
parameter tersebut dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu 3 parameter untuk
air yang meliputi kerapatan air (ρ), viskositas dinamik air (), dan kompresibilitas
(), serta 3 parameter untuk media porus yang meliputi permeabilitas (k),
kompresibilitas (), dan porositas (n). Berdasarkan 6 parameter tersebut dapat
23
dijabarkan parameter-parameter tentang sifat hidrolik akuifer yang meliputi
(Kodoatie, 1996; 2012): tampungan spesifik (S0), transmisivitas (T), storativitas
(S), dan specific yield (Sy). Tampungan spesifik adalah volume air yang keluar
dari tampungan oleh satuan isi akuifer akibat satu unit penurunan dari ketinggian
hidrolik (Freeze dan Cherry, 1979). Transmisivitas adalah banyaknya air yang
mengalir melalui suatu bidang vertikal setebal akuifer, selebar satu satuan
panjang, dengan satu landaian hidrolik (Todd, 1980). Storativitas adalah volume
air yang dilepaskan atau diambil dalam tampungan tiap unit permukaan area
akuifer tiap unit perubahan dalam komponen dari tinggi hidrolik sampai pada
permukaan tersebut (U.S. Department of the Interior, 1995). Specific Yield adalah
volume air yang keluar dari tampungan oleh satuan luas dari akuifer bebas akibat
satu unit penurunan dari muka air (parameter tampungan untuk akuifer bebas)
(Kodoatie, 1996; 2012). Ilustrasi aliran air tanah ditunjukkan dalam Gambar 2.2.
Gambar 2.2
Ilustrasi aliran air tanah (Sumber: Bouwer, 1978)
24
Air tanah dalam keadaan sebenarnya gerakannya tidak berubah dan selalu
berdasarkan prinsip-prinsip hidrolika, dengan mengikuti Hukum Darcy dan
persamaan kontinuitas (Bisri, 1991). Debit aliran air tanah di dalam Hukum Darcy
dinyatakan dengan persamaan (Kodoatie, 1996):
(2.1)
dimana :
Q = debit aliran air (m3/s)
K = konduktivitas hidrolik (m/s)
i = gradien hidrolik (perbandingan beda tinggi potensial h dengan jarak l)
A = luas penampang yang dilalui aliran (m2)
Berdasarkan Hukum Darcy, persamaan kecepatan aliran dapat dituliskan sebagai
berikut (Bisri, 1991):
(2.2)
Dalam sistem koordinat kartesian dengan asumsi pada lapisan geologi tanah yang
homogen isotropis, persamaan di atas dapat dituliskan :
(2.3)
(2.4)
(2.5)
Persamaan kontinuitas aliran air tanah secara 3 dimensi dapat dituliskan :
(2.6)
25
Substitusi persamaan (2.3), (2.4), dan (2.5) ke dalam persamaan (2.6)
menghasilkan persamaan dasar aliran air tanah pada akuifer tertekan dalam
keadaan steady yang merupakan penggabungan antara Hukum Darcy dan
persamaan kontinuitas aliran dalam bentuk persamaan Laplace sebagai berikut :
(2.7)
(2.8)
Dengan anggapan bahwa pada akuifer tertekan aliran mendatar (arah x dan y)
lebih berperan dari pada aliran tegak (arah z) maka persamaan (2.8) menjadi :
(2.9)
Persamaan (2.9) adalah persamaan aliran air tanah kondisi steady, untuk fluida tak
termampatkan, dalam formasi geologi homogen isotropis (Kodoatie, 2012).
Laju bersih transport massa air tanah menurut prinsip hukum kekekalan
massa adalah sama dengan bertambah atau berkurangnya massa dalam kontrol
volume. Laju bersih transport massa sama dengan massa keluar (Mkeluar) dikurangi
dengan massa masuk (Mmasuk). Persamaan dasar aliran air tanah pada akuifer
tertekan didasarkan atas akuifer yang merupakan lapisan geologi dengan kondisi
kedap air di bagian atas dan bawahnya. Transport massa air pada sistem akuifer
tertekan hanya berlaku ke arah x dan y saja yang mempengaruhi keseimbangan
sesuai dengan hukum kekekalan massa, untuk transport massa ke arah z tidak ada
karena lapisan atas dan bawahnya kedap air (Kodoatie, 1996, 2012). Kontrol
volume dalam sistem transport massa air pada akuifer tertekan seperti ditunjukkan
dalam Gambar 2.3.
26
Gambar 2.3
Kontrol volume pada sistem akuifer tertekan Sumber : dimodifikasi dari Bisri (1991) dan Kodoatie (1996) untuk sistem akuifer bebas
Kapasitas massa di dalam kontrol volume dipengaruhi oleh besarnya tampungan
spesifik (S0). Persamaan dasar aliran air tanah pada akuifer tertekan adalah
(Kodoatie, 1996, 2012):
(
)
(
) S
t (2.10)
Pada kondisi untuk akuifer tertekan yang horizontal dan homogen isotropik (Kx =
Ky = K) dengan tebal h, storativitas (S) = S0 . h dan transmisivitas (T) = K . h,
sehingga persamaan (2.10) dapat berubah menjadi :
S
T
t (2.11)
dimana:
K = konduktivitas hidrolik, merupakan kemampuan lapisan akuifer untuk
meluluskan air (m/hari)
S0 = tampungan spesifik (angka tak berdimensi)
h Akuifer Tertekan
M x + [( M x / x ).
x ]
M y + [( M y / y ). y ]
x
y
M x
M y
x y
z bidang elevasi z1
bidang elevasi z2
Lapisan Kedap Air
Lapisan Kedap Air
Satuan isi akuifer
27
h = ketebalan akuifer (m)
S = storativitas (angka tak berdimensi)
T = transmisivitas merupakan besarnya konduktivitas hidrolik dikalikan dengan
ketebalan akuifer (m2/hari)
Keberadaan dan pergerakan air tanah dalam sistem akuifer serta adanya
prinsip-prinsip hukum fisika yang mengatur, menjadikan aliran air tanah hampir
tidak mungkin dilacak dengan menggunakan analisis sistem. Untuk kondisi
seperti ini, analisis yang dapat dilakukan adalah dengan mengandaikan bahwa
proses yang terjadi mengikuti aturan-aturan tertentu. Aturan-aturan yang
ditetapkan harus sedekat mungkin dengan proses yang terjadi dalam sistem
tersebut yang disusun dalam sebuah model (Sri Harto, 2000).
Kompleksitas sistem akuifer yang berkaitan dengan ruang/wadah tempat air
tanah berada, menjadikan aliran air tanah harus dihitung dalam tiga dimensi.
Deskritisasi geometri dan prosedur iterasi dapat dilakukan dengan model numerik
metode beda hingga terintegrasi (Tirtomihardjo dan Setiawan, 2011). Metode
beda hingga adalah metode numerik untuk memecahkan persamaan diferensial
dengan pendekatan melalui persamaan yang berbeda, dimana perbedaan yang
terbatas tersebut mendekati turunannya. Metode ini merupakan metode diskritisasi
(Wikipedia, 2015). Pemecahan permasalahan aliran air tanah dengan metode
numerik memerlukan diskritisasi domain solusi dengan membagi daerah
kasus/sistem akuifer menjadi sel-sel (Putranto, 2011). Diskritisasi spasial sistem
akuifer dapat dilakukan dengan membagi sistem tersebut menjadi sel-sel, yang
menjelaskan bagian tersebut tersebut sebagai baris, kolom, dan lapisan dengan
28
menggunakan sistem pengindeks i, j, k (McDonald and Harbaugh, 1988) seperti
ditunjukkan dalam Gambar 2.4.
Gambar 2.4
Diskritisasi sistem akuifer (Sumber : McDonald and Harbaugh, 1988)
Diskritisasi sistem akuifer dalam Gambar 2.4 tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut: rj merupakan dimensi sel sepanjang arah baris (J) yang menunjukkan
jumlah kolom, ci merupakan dimensi sel sepanjang arah kolom (I) yang
menunjukkan jumlah baris, dan vk merupakan dimensi sel sepanjang arah
vertikal (K) menunjukkan jumlah layer/lapisan (McDonald and Harbaugh, 1988).
Penggunaan pemodelan dengan pendekatan secara numerik menggunakan
metode beda hingga telah dilakukan dalam beberapa penelitian di bidang
keteknikan di Pulau Jawa, Pulau Madura, dan Pulau Bali. Waspodo (2002)
menggunakan pemodelan aliran air tanah untuk menentukan potensi air tanah di
Batas daerah studi/sistem akuifer
Sel aktif
Sel tidak aktif
29
Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka (Jawa Barat) berdasarkan parameter-
parameter akuifer dan arah aliran air tanah. Rahardjo (2002) menggunakan
pemodelan aliran air tanah untuk memprediksi muka air tanah pada masa
mendatang di DKI Jakarta. Sementara itu, aplikasi pemodelan aliran air tanah
untuk digunakan sebagai dasar pengendalian pemanfaatan dan pengambilan air
tanah dilakukan Wahyudi (2009) di Kabupaten Bangkalan (Madura) serta
Tirtomihardjo dan Setiawan (2011) di Cekungan Air Tanah Denpasar-Tabanan
(Bali). Berdasarkan sejumlah penelitian tersebut, terdapat kesamaan bahwa aliran
air tanah mengalir dari daerah dengan tinggi tekan (head) yang lebih tinggi ke
daerah dengan head yang lebih rendah. Simulasi aliran air tanah pada sistem
akuifer (daerah studi) yang telah dimodelkan secara numerik dapat dilakukan
dengan bantuan program komputer Visual Modflow (Waspodo, 2002; Rahardjo,
2002; Wahyudi, 2009; Putranto, 2011; Tirtomihardjo dan Setiawan, 2011).
Mekipun telah digunakan di dalam sejumlah penelitian terdahulu, sejauh teknik
pemodelan aliran air tanah belum banyak digunakan untuk penelitian di bidang
pertanian khususnya untuk mengidentifikasi pola evolusi air tanah yang
digunakan sebagai sumber air irigasi.
2.4 Kesesuaian Kualitas Air Irigasi dengan Komoditas Pertanian
Komoditas pertanian yang harus diusahakan pada lahan irigasi air tanah
guna meningkatkan pendapatan petani adalah komoditas bernilai ekonomi tinggi.
Kriteria komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi adalah memberikan
keuntungan lebih besar dari tanaman padi, cara bercocok tanam tanaman tersebut
30
telah dikuasai petani, dan hasil pertanian dapat diserap oleh pasar. Beberapa jenis
komoditas pertanian yang dapat direkomendasikan antara lain jagung, kedelai,
kacang tanah, kacang hijau, semangka, melon, bawang merah, cabai, tembakau,
dan sayur-sayuran. Jenis sayur-sayuran yang diusahakan umumnya adalah sawi,
terong, kangkung, mentimun, dan kol (Haryono et al., 2009).
Kesesuaian antara komoditas pertanian dengan beberapa faktor lingkungan
telah diteliti oleh para peneliti terdahulu. Pewilayahan komoditas pertanian
berdasarkan model iklim telah dirancang oleh Las (1992). Kriteria kesesuaian
lahan untuk komoditas pertanian berdasarkan parameter kualitas lahan telah
disusun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian
(Djaenudin et al., 1997). Pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan pedo–
agroklimat telah dirancang oleh Djaenudin et al. (2002). Sejauh ini, penelitian
tentang kesesuaian antara karakteristik kimia air tanah yang digunakan sebagai
sumber air irigasi dengan komoditas pertanian pada lahan irigasi air tanah beserta
pewilayahannya belum dilakukan di Indonesia.
Penanaman komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi pada lahan irigasi
air tanah harus memperhatikan kesesuaian antara kualitas air irigasi dengan lahan
tersebut. Meireles et al. (2010) mengusulkan Model IWQI untuk menentukan
kesesuaian kualitas air irigasi dengan lahan pertanian (tanah dan tanaman). Nilai
IWQI merefleksikan bahaya salinitas dan alkalinitas terhadap tanah, serta bahaya
toksisitas terhadap tanaman. Penentuan nilai IWQI didasarkan atas parameter-
parameter: DHL, konsentrasi Na+, konsentrasi HCO3
–, konsentrasi Cl
–, dan SAR
terkoreksi (SAR˚). arakteristik IWQI ang meliputi rentang nilai indeks, batasan
31
penggunaan air, dan rekomendasinya terhadap tanah dan tanaman dapat
ditunjukkan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Karakteristik Indeks Kualitas Air Irigasi IWQI Batasan
Penggunaan Air
Rekomendasi
Tanah Tanaman
85 – 100 Tidak ada (NR) Dapat digunakan untuk sebagian
besar tanah dengan probabilitas
rendah terjadi masalah salinitas
dan sodisitas, direkomendasikan
untuk dilakukan pencucian dalam
pemberian irigasi, kecuali untuk
tanah dengan permeabilitas yang
sangat rendah.
Tidak ada resiko toksisitas
untuk sebagian besar tanaman
70 – 85 Rendah (LR) Digunakan sebagai air irigasi
pada tanah dengan tekstur ringan
atau permeabilitas sedang,
dianjurkan melakukan pencucian
garam. Sodisitas tanah dapat
terjadi pada tanah dengan tekstur
berat, dianjurkan untuk
menghindari penggunaan pada
tanah dengan kandungan liat
tinggi 2:1.
Dihindari resiko pada tanaman
-tanaman yang sensitif terhadap
garam
55 – 70 Sedang (MR) Dapat digunakan pada tanah
dengan permeabilitas sedang
hingga tinggi, dan dianjurkan
melakukan pencucian garam.
Tanaman dengan toleransi
sedang terhadap garam dapat
tumbuh.
40 – 55 Tinggi (HR) Dapat digunakan pada tanah
dengan permeabilitas tinggi tanpa
lapisan dipadatkan. Jadwal irigasi
dengan frekuensi tinggi untuk air
dengan DHL lebih dari 2.000
dS/m dan SAR lebih dari 7,0.
Digunakan untuk irigasi pada
tanaman dengan toleransi
sedang hingga tinggi terhadap
garam, dengan tindakan khusus
untuk pengendalian salinitas,
kecuali untuk air dengan
kandungan Na+, Cl–,dan HCO3–
rendah.
0 – 40 Parah (SR) Harus dihindari penggunaannya
untuk irigasi dalam kondisi
normal. Dalam kasus khusus,
dapat digunakan sesekali. Air
dengan kadar garam rendah dan
nilai SAR tinggi memerlukan
pemberian gipsum. Dalam
kondisi air dengan salinitas tinggi
tanah harus memiliki
permeabilitas yang tinggi, dan
kelebihan air harus digunakan
untuk mencegah penumpukan
garam.
Hanya untuk tanaman dengan
toleransi yang tinggi terhadap
garam, kecuali untuk air
dengan Na+, Cl–, dan HCO3–
yang sangat rendah.
Sumber : Meireles et al. (2010)
Model IWQI ini telah dikembangkan penerapannya dalam penelitian-
penelitian di Iraq untuk digunakan dalam menyusun indeks kualitas air tanah
(Khalaf dan Hassan, 2013; Al-Mussawi, 2014). Dalam penelitian-penelitian
32
tersebut diungkapkan bahwa daerah yang diteliti didominasi oleh batasan
penggunaan air tinggi (HR) dan parah (SR) dikarenakan tingginya tingkat bahaya
salinitas di daerah-daerah tersebut. Sejauh ini, penggunaan model IWQI tersebut
untuk tujuan penentuan indeks kualitas air irigasi belum dilakukan di Indonesia.
Karakteristik indeks kualitas air irigasi seperti dikemukakan di atas, belum
secara spesifik memberikan rekomendasi kesesuaian kualitas air irigasi dengan
jenis tanaman tertentu. Rekomendasi tersebut hanya bersifat umum terhadap jenis
tanaman berdasarkan tingkat resiko toksisitas terhadap garam. Untuk mendukung
model IWQI di atas dalam penentuan secara spesifik kesesuaian kualitas air
irigasi dengan jenis tanaman, digunakan kriteria toleransi relatif tanaman-tanaman
pertanian terhadap garam sebagaimana dinyatakan oleh Ayers dan Westcot (1994)
di dalam Tabel 2.2.
Penilaian kesesuaian kualitas air irigasi dengan jenis tanaman juga dapat
dilakukan berdasarkan kandungan unsur B, dimana tingginya kadar B yang dapat
diterima oleh tanaman tergantung dari jenis tanamannya (Danaryanto et al.,
2010). Kelas air irigasi berdasarkan kandungan unsur B seperti ditunjukkan dalam
Tabel 2.3, dimana air irigasi dibagi menjadi 5 kelas yang diperuntukkan bagi
tanaman yang sensitif, semi toleran, maupun toleran terhadap unsur B. Jenis-jenis
tanaman berdasarkan toleransi relatif terhadap kandungan unsur B dalam air
irigasi ditunjukkan dalam Tabel 2.3 (Wilcox, 1955).
33
34
Tabel 2.3
Kelas air irigasi berdasarkan kandungan unsur B Kelas Kandungan unsur B (mg/l)
Tanaman
Sensitif
Tanaman
Semi toleran
Tanaman
Toleran
1 < 0,33 < 0,67 < 1,00
2 0,33 – 0,67 0,67 – 1,33 1,00 – 2,00
3 0,67 – 1,00 1,33 – 2,00 2,00 – 3,00
4 1,00 – 1,25 2,00 – 2,50 3,00 – 3,75
5 > 1,25 > 2,50 > 3,75 Sumber : Wilcox (1955)
Tabel 2.4
Toleransi relatif tanaman terhadap kandungan unsur B dalam air irigasi
Sumber : Wilcox (1955)
Sensitif Semi toleran Toleran
Pecan (Corya illinoensis) Bunga matahari (Helianthus anuus L.) Pohon eshel (Tamarix aphylla L.)
Kacang kenari hitam (Juglans nigra L.) Kentang (Solanum tuberosum L.) Asparagus (Asparagus officinalis L.)
Kacang kenari persia (Juglans regia L.) Kapas Acala (Gossypium hirsutum L.) Palem Phoenix (Phoenix canariensis)
Jerusalem artichoke (Helianthus tuberosus L.) Kapas Pima (Gossypium barbadense L.) Kurma (Phoenix dactylifera L.)
Kacang Navy (Phaseolus vulgaris L.) Tomat (Lycopersicon esculentum L.) Bit gula (Beta vulgaris L.)
Pohon Ulmus Amerika (Ulmus americana L.) Kacang polong manis (Lathyrus odoratus L.) Bit mangel (Beta vulgaris L.)
Prem (Prunus domestica) Lobak (Raphanus sativus L.) Bit taman (B. v. v. vulgaris)
Pir (Pyrus communis L.) Kacang kapri (Pisum sativum L.) Alfalfa (Medicago sativa L.)
Apel (Pyrus malus L.) Bunga Lychnis flos-cuculi (Lychnis flos cuculi L.) Bunga gladiol (Gladiolus communis L.)
Anggur (Vitis vinifera L.) Zaitun (Olea europaea L.) Kacang babi (Vicia faba L.)
Pohon Ara (Ficus carica L.) Jelai (Hordeum vulgare L.) Bawang bombay (Allium cepa L.)
Kesemek (Diospyros kaki L.f.) Gandum (Triticum spp.) Turnip (Brassica rapa var. rapa)
Ceri (Prunus apetala) Jagung (Zea mays L.) Kubis (Brassica oleraceae L.)
Persik (Prunus persica L.) Philodendron (Philodendron sp.) Selada (Lactuca sativa L.)
Aprikot (Prunus armeniaca L.) Oat (Avena sativa L.) Wortel (Daucus carota L.)
Rubus (Rubus sp) Bunga Kertas ( (Zinnia elegans Jacq.)
Jeruk (Citrus sp) Labu (Cucurbita Moschata)
Alpukat (Persea americana) Paprika (Capsicum annuum var Grossum)
Jeruk besar (Citrus paradisi) Ubi jalar (Ipomoea batatas L.)
Jeruk lemon (Citrus limon) Kacang lima (Phaseolus lunatus L.)