bab ii tinjauan pustaka 2.1 konsep pengetahuan 2.1.1...
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pengetahuan
2.1.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini
terjadi melalui panca indera manusia, yaitu penglihatan, pendengaran,
penciuman rasa dan raba (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan seseorang tentang
suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif.
Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek
positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif
terhadap objek tertentu (Wawan & Dewi, 2010).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih lama dari pada perilaku yang tidak didasari
pengetahuan. Apabila penerimaan perilaku baru melalui proses yang didasari
oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut
akan bersifat lama (long losting) sebaliknya apabila perilaku ini tidak didasari
pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo,
2007).
Penelitian Rogers dalam Notoatmodjo (2007), mengungkapkan bahwa
sebelum orang memiliki perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi
proses yang berurutan, yakni:
13
a. Awarness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.
b. Interest (menarasa tertarik), yakni orang mulai tertarik kepada stimulus atau
objek tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya.
d. Trial (mencoba) dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai
apa yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adaption (penyesuaian) subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
2.1.2 Tingkat Pengetahuan
Notoatmodjo (2007), mengatakan bahwa pengetahuan yang
mencakup dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai meningkat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk didalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dalam seluruh bahan yang dipelajari
atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu merupakan
tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur
bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
14
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,
meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya (real). Aplikasi disini
dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus,
metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalm perhitungan-
perhitungan penelitian.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis
ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan
(membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk yang baru dengan
kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi-
formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat
meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori
atau rumusan rumusan yang telah ada.
15
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek penelitian itu berdasarkan
kriteria yang telah ditentukan sendiri atau menggunakan yang telah ada.
2.1.3 Cara Memperoleh Pengetahuan
Terdapat 2 cara untuk memperoleh pengetahuan, yaitu dengan cara
kuno dan cara modern (Wawan, A dan Dewi M, 2010):
a. Cara Kuno
1) Cara coba salah (Trial and Error)
Cara ini telah dipakai orang sebelum kebudayaan, bahkan mungkin
sebelum adanya peradaban. Cara coba slah ini dilakukan dengan
menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah, apabila
kemungkinan itu tidak berhasil maka akan dicoba kemungkinan yang
lain sampai masalah tersebut dapat dipecahkan.
2) Cara kekuasaan atau otoriter
Sumber pengetahuan cara ini dapat berupa pemimpin-peminpin
masyarakat, baik formal atau informal, ahli agama, pemegang
pemerintah, dan berbagai prinsip orang lain yang menerima,
mempunyai yang dikemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas,
tanpa menguji terlebih dahulu, atau membuktikan kebenarannya, baik
berdasarkan fakta empiris maupun penalaran sendiri.
16
3) Cara berdasarkan pengalaman pribadi
Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh
pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang pernah
diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi masa lalu.
b. Cara modern
Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau disebut dengan metodologi
penelitian. Cara ini awalnya dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-
1626), kemudian dikembangkan oleh Deobold Van Daven. Akhirnya lahir
suatu cara untuk melakukan penelitian ini disebut penelitian ilmiah.
2.1.4 Pengukuran Pengetahuan
Menurut Wawan dan Dewi (2010), pengukuran pengetahuan dapat
dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi
yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden. Menurut Riwidikdo
(2013), kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita
sesuaikan dengan kategori dibawah ini :
a. Tingkat pengetahuan baik bila nilai responden yang diperoleh (x) >Mean
+ 1 SD, dengan presentase 76%-100%.
b. Tingkat pengetahuan cukup bila nilai Mean – 1 SD ≤x≤ Mean + 1 SD,
dengan presentase 56%-75%.
c. Tingkat pengetahuan kurang bila responden yang diperoleh (x) < Mean –
1 SD, dengan presentase <56%.
Menurut Arikunto (2010), pengukuran pengetahuan ada dua kategori
yaitu menggunakan pertanyaan subjektif misalnya jenis pertanyaan essay dan
17
pertanyaan objektif misalnya pertanyaan pilihan ganda (multple choice),
pertanyaan betul salah dan pertanyaan menjodohkan.
Rumus pengukuran pengetahuan :
P = f/N × 100%
Keterangan :
P : presentase F : frekuensi item soal benar N : jumlah soal Kategori pengetahuan yang umum digunakan yaitu :
1) Kategori baik dengan nilai 76-100%
2) Kategori cukup dengan nilai 56-75%
3) Kategori kurang dengan nilai 40-55%
4) Kategori tidak baik dengan nilai <40%.
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pengetahuan yaitu :
a. Faktor Internal
1) Usia dan pengalaman
Usia adalah terhitung mulai seseorang saat dilahirkan sampai saat berulang
tahun. Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang
semakin mantap dalam berfikir dan bekerja. Berdasarkan segi kepercayaan
masyarakat seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari orang
yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini akibat dari pengalaman
dan kematangan jiwa (Nursalam, 2008). Pengalaman adalah guru yang
paling baik, semakin lama bekerja semakin banyak pengalaman dan
18
semakin banyak kasus yang ditangani akan membuat seorang perawat akan
mahir dan terampil dalam penyelesaikan pekerjaan.
2) Tingkat pendidikan
Menurut teori Kuncoroningrat yang dikutip oleh Nursalam (2008),
mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin
mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan
yang dimiliki.
3) Pekerjaan
Menurut Markum yang dikutip Nursalam (2008), mengatakan bahwa
bekerja merupakan kegiatan yang menyita waktu. Seseorang yang bekerja
cenderung memiliki pengetahuan yang lebih dari seseorang yang tidak
bekerja. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena teman bekerja
merupakan sumber informasi yang menambah pengetahuan seseorang.
b. Faktor Eksternal
1) Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan
dapat mempengaruhi perkembangan prilaku orang atau kelompok.
2) Sumber informasi
Menurut Yusuf (1998) yang dikutip Nursalam (2008), mengatakan bahwa
ledakan pengetahuan sebagai akibat perkembangan bidang ilmu dan
penelitian (ilmiah) maka semakin banyak pengetahuan yang bermunculan.
Sumbar informasi diperoleh melalui massa, media elektronik dan pelatihan
(kursus). Pelatihan menurut Andrew (2002) adalah upaya untuk
memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan
19
kerja tertentu. Umumnya pelatihan berupaya menyiapkan karyawan untuk
melakukan pekerjaan yang pada saat itu dihadapi.
2.2 Konsep Kehamilan
2.2.1 Definisi Kehamilan
Menurut Sukarni dan Margareth (2013), kehamilan adalah fertilasi atau
penyatuan sprematozoa dan ovum dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.
Lamanya kehamilan mulai dari ovulasi sampai partus kira-kira 280 hari (40
minggu), dan tidak lebih dari 300 hari (43 minggu) Prawirohardjo (2009).
2.2.2 Pembagian Usia Kehamilan
Menurut Prawirohardjo (2009), ditinjau dai usia Kehamilan, kehamilan
dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
a. Kehamilan triwulan pertama (0-12 minggu), yang mana alat-alat mulai
dibentuk.
b. Kehamilan triwulan kedua (12-28 minggu), yang mana alat-alat telah
dibentuk namun belum sempurna.
c. Kehamilan triwulan ketiga (28-40 minggu), yang mana janin yang
dilahirkan dapat viable (hidup).
2.2.3 Evidence Based dalam Praktik Kehamilan
Menurut Diyan dan Asmuji (2014), praktik yang berdasarkan bukti
penelitian adalah penggunaan secara sistematis, ilmiah dan eksplisit dari bukti
terbaik mutakhir dalam membuat keputusan tentang asuhan bagi pasien secara
individual. Berikut ini evidence based yang menjadi standar pelayanan dalam
praktik kehamilan sebagai berikut :
20
a. Kunjungan ANC
Dilakukan minimal 4 kali selama kehamilan.
Tabel 2.1 Kunjungan ANC
Kujungan Waktu Alasan
Trimester I Sebelum 14 minggu 1. Mendeteksi masalah sebelum membahayakan jiwa.
2. Mencegah masalah, misalnya : tetanus neonatal, anemia, kebiasaan tradisional berbahaya.
3. Membangun hubungan saling percaya.
4. Memulai kesiapan kelahiran dan kesiapan menghadapi komplikasi.
5. Mendorong perilaku sehat (nutrisi, kebarhasilan, olahraga, istirahat, seks, dan sebagainya).
Trimester II 14-28 minggu Sama dengan trimester I ditambah kewaspadaan khusus terhadap hipertensi kehamilan (deteksi gejala preeklamsia, pantau TD, evaluasi edema, proteinuria).
Trimester III 28-36 minggu Sama, ditambah: deteksi kehamilan ganda.
Setelah 36 minggu Sama, ditambah: deteksi kelainan letak atau kondisi yang memerlukan persalinan di RS.
b. Pemberian suplemen mikronoutrien.
Tablet yang mengandung FeSO4 320 mg (=zat besi 60 mg) dan asam folat
500 µg sebanyak 1 tablet/hari segera setelah rasa mual hilang. Pemberian
selama 90 hari (3 bulan). Ibu harus dinasihati agar tidak meminumnya
bersama teh/kopi agar tidak mengganggu penyerapannya.
c. Imunisasi Tetanus Toksoid (TT) 0,5 cc.
Tabel 2.2 Pemberian imunisasi TT
Imunisasi Interval Lama perlindungan
Perlindungan %
TT 1 Pada kunjungan ANC pertama
- -
TT 2 4 minggu setelah TT 1 3 tahun 80 %
TT 3 6 bulan setelah TT 2 5 tahun 95 %
21
Imunisasi Interval Lama perlindungan
Perlindungan %
TT 4 1 tahun setelah TT 3 10 tahun 99 %
TT 5 1 tahun setelah TT 4 25 tahun/seumur hidup
99 %
d. Perkiraan Hb pada kehamilan.
Hasil penelitian menunjukkan hal-hal berikut:
1) Dalam kehamilan normal akan terjadi penurunan kadar Hb. Kadar
terendah terjadi sekitar kehamilan 30 minggu. Pemeriksaan Hb harus
dilakukan pada kehamilan dini untuk melihat data awal lalu diulang pada
kehamilan 30 minggu.
2) Bila Hb rendah (<9 gr%) harus dilakukan pemeriksaan dan pengobatan
yang sesuai. Mungkin perlu dilakukan pemeriksaan Hb ulang apakah
pengobatan sudah tepat.
3) Anemia ringan penyebabnya adalah defisiensi zat besi, dapat diobati secara
efektif dengan suplemen besi.
4) Semua ibu hamil terutama yang mendapat suplementasi besi harus
mendapat nasihat gizi khususnya menghindari tembakau, kopi, dan teh.
5) Pastikan ibu mengkonsumsi makanan yang kaya protein dan vitamin C.
e. Perkiraan tinggi fundus uteri (TFU).
Hasil penelitian menunjukkan hal-hal berikut :
1) Pengukuran menggunakan pita pengukur memberikan hasil yang konsisten
antar individu (walaupun masih terjadi sedikit variasi). Namun, bila semua
petugas dilatih dengan cara yang sama, teknik ini sangat berguna di negara
berkembang sebagai alat tapis awal yang dilakukan bidan dengan efisien.
22
2) Pengukuran TFU pada kehamilan lanjut/saat persalinan dalam posisi
terlentang, terbukti memberikan hasil yang lebih tinggi dari yang
sebenarnya, sehingga hal tersebut menyebabkan perkiraan umur kehamilan
yang salah.
3) Program nasional menganjurkan posisi setengah duduk pada saat
pengukuran TFU. Diukur dengan menggunakan pita ukur standar untuk
memberikan interpretasi pertumbuhan janin yang benar.
4) Pengukuran TFU bila dilakukan oleh petugas yang sama setiap kunjungan
terbukti memiliki nilai prediktif yang baik terutama mengidentifikasi
adanya gangguan pertumbuhan intrauteri.
f. Hipotensi pada saat berbaring terlentang.
Dalam beberapa studi terhadap ibu pada kehamilan lanjut, ditemukan hal-
hal berikut ini:
1) Terjadi pengurangan aliran darah sebesar 45% pada tungkai bila ibu
berbaring terlentang dibandingkan dengan bila berbaring disisi kiri.
2) Ibu hamil merasa pusing bahkan dapat pingsan bila tidur terlentang karena
adanya kekurangan oksigenasi ke otak yang disebabkan pengurangan aliran
darah oleh adanya penekanan uterus pada vena pelvis mayor, vena cava
inferior, dan bagian dari desenden (penekanan autocaval). Keadaan ini
disebut Supine Hiptensive Syndrome yang dapat mengakibatkan denyut
jantung janin menjadi abnormal.
2.2.4 Pemeriksaan Kehamilan
Menurut Ari Sulistyawati (2009), pemeriksaan kehamilan merupakan
salah satu tahapan penting menuju kehamilan yang sehat. Pemeriksaan
23
Antenatal Care (ANC) dapat dilakukan melalui dokter kandungan atau bidan
dengan minimal pemeriksaan 4 kali selama kehamilan, yaitu :
a. 1x pada trimester pertama (usia kehamilan 0 -13 minggu)
b. 1x pada trimester kedua (usia kehamilan 14 -27 minggu)
c. 2x pada trimester ketiga (usia kehamilan 20 – 40 minggu)
Menurut Saryono (2010), pelayanan antenatal adalah pelayanan
kesehatan oleh tenaga professional (dokter spesialis kebidanan, dokter umum,
bidan pembantu bidan dan perawat bidan) untuk ibu selama masa kehamilan,
sesuai kebijakan program pelayanan asuhan antenatal harus sesuai standar yaitu
“14T” meliputi :
1) Timbang berat badan
2) Ukur tekanan darah
3) Ukur tinggi fundus uteri
4) Pemberian tablet zat besi sebanyak 90 tablet selama kehamilan
5) Pemberian imunisasi TT
6) Pemeriksaan Hb
7) Pemeriksaan VDRL
8) Pemeriksaan payudara
9) Senam payudara dan pijit tekan payudara
10) Pemeliharaan tingkat kebugaran / selama ibu hamil
11) Temu wicara dalam rangka persiapan rujukan
12) Pemeriksaan protein urine atas indikasi
13) Pemeriksaan reduksi urine atas indikasi
14) Pemberian terapi kapsul yodium untuk daerah edemis gondok dan
pemberian anti malaria untuk daerah edemis malaria.
24
2.2.5 Hak-hak Wanita Hamil
Menurut Ari Sulistyawati (2009), adalah sebagai berikut:
a. Memperoleh pendidikan dan informasi.
b. Mendapat jaminan dari pemerintah untuk mendapatkan yang benar dari
suatu kehamilan tanpa ada resiko.
c. Memperoleh gizi yang cukup.
d. Wanita bekerja berhak untuk tidak dikeluarkan dari pekerjaannya.
e. Berhak untuk tidak mendapatkan perlakuan diskrimasi dan hukuman,
seperti dikucilkan oleh masyarakat akibat mengalami gangguan kehamilan.
f. Berhak ikut serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut
kesehatan diri dan bayinya.
2.3 Konsep Imunisasi Tetanus Toksoid
2.3.1 Definisi Imunisasi Tetanus Toksoid
Imunisasi adalah suatu program yang dengan sengaja memasukkan
antigen lemah agar merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten
terhadap penyakit tertentu (Proverawati, 2010). Imunisasi adalah suatu cara
untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit,
sehingga bila nanti terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit
ringan. Imunisasi Tetanus Toksoid (TT) adalah imunisasi yang diberikan
kepada ibu hamil untuk mencegah terjadinya Tetanus Neonatorum (TN)
(Astuti, 2012).
Imunisasi TT adalah suntikan vaksin tetanus untuk meningkatkan
kekebalan sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi tetanus (Idanati, 2007).
Vaksin tetanus yaitu toksin kuman tetanus yang telah dilemahkan kemudian
25
dimurnikan (Setiawan, 2006). Kemasan vaksin dalam 1 vial vaksin TT berisi 10
dosis dan setiap 1 box vaksin terdiri dari 10 vial. Vaksin TT adalah vaksin yang
berbentuk cairan (Depkes RI, 2010).
2.3.2 Manfaat Imunisasi Tetanus Toksoid
Menurut Bartini (2012), imunisasi TT di anjurkan untuk mencegah
terjadinya infeksi tetanus neonatorum. Vaksin tetanus pada pemeriksaan
antenatal dapat menurunkan kemungkinan kematian bayi dan mencegah
kematian ibu akibat tetanus. Imunisasi TT dapat melindungi bayi yang baru
lahir dari tetanus neonatorum. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus
yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh
clostridium tetani yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) dan
menyerang sistem saraf pusat (Saifuddin dkk, 2008).
2.3.3 Jumlah Dosis Pemberian Imunisasi TT
Ibu hamil harus mendapatkan penjelasan tentang pentingnya imunisasi
TT sebanyak 5 kali seumur hidup. Setiap ibu hamil yang belum pernah
imunisasi TT harus mendapatkan imunisasi TT paling sedikit 2 kali suntikan
selama hamil yaitu :
a. Kunjungan pertama kehamilan
b. 4 minggu setelah imunisasi petama
Apabila ibu telah diimunisasi TT sebanyak 2 kali, kemudian dalam satu
tahun ibu hamil maka saat hamil diberikan 1 kali suntikan paling lambat 2
minggu sebelum melahirkan (Bartini, 2012).
Wanita Usia Subur (WUS) adalah wanita yang keadaan organ
reproduksinya berfungsi dengan baik antara umur 20-45 tahun. Puncak
26
kesuburan ada pada rentang usia 20-29 tahun. Wanita Usia Subur (WUS)
diwajibkan untuk melakukan imunisasi TT saat mendaftarkan pernikahan di
KUA (Kantor Urusan Agama) sebagai bentuk pencegahan infeksi tetanus saat
kehamilan. Imunisasi TT1 dilakukan pertama kemudian dilanjutkan TT2 4
minggu setelah TT1. Jika WUS tidak melanjutkan TT2 kemudian setelah 1
tahun hamil maka imunisasi TT harus diulang dari imunisasi TT1 (Depkes RI,
2007).
Menurut Syaifuddin (2008), jumlah dan dosis pemberian imunisasi TT
untuk ibu hamil yaitu :
1) Pasien dianggap mempunyai kekebalan jika telah mendapat 2 dosis
terakhir dengan interval 4 minggu, dan jarak waktu sekurangnya 4 minggu
antara dosis terakhir dengan saat terminasi kehamilan. Pasien yang telah
mendapat vaksinasi lengkap (5 suntikan) lebih dari 10 tahun sebelum
kehamilan perlu diberikan booster berupa toksoid 0,5 ml IM.
2) Jika pasien belum pernah imunisasi, berikan serum anti tetanus 1500 unit
IM dan suntikkan booster Tetanus Toksoid (TT) 0,5 ml IM diberikan 4
minggu kemudian.
3) Pencegahan dan perlindungan diri yang aman terhadap penyakit tetanus
dilakukan dengan pemberian 5 dosis imunisasi untuk mencapai kekebalan
penuh (Depkes RI, 2007).
2.3.4 Jarak Pemberian Imunisasi TT
Menurut WHO (2010), jika seorang ibu yang tidak pernah diberikan
imunisasi tetanus maka ia harus mendapatkan paling sedikit 2 kali suntikan
27
selama kehamilan yaitu pertama saat kunjungan antenatal dan kedua pada 4
minggu setelahnya.
Tabel 2.3 Jadwal pemberian imunisasi tetanus toksoid
Antigen Interval Lama perlindungan
% perlindungan
TT 1 Kunjungan awal - -
TT 2 4 minggu setelah TT 1
3 tahun 80
TT 3 6 bulan setelah TT 2
5 tahun 95
TT 4 1 tahun setelah TT 3
10 tahun 99
TT 5 1 tahun setelah TT 4
25 tahun/longlife 99
Sumber: Depkes RI, 2007
2.3.5 Efek samping imunisasi TT
Efek samping dari imunisasi TT biasanya gejala-gejala ringan seperti
nyeri, kemerahan dan pembengkakan pada area suntikan (Depkes RI, 2007).
Tetanus toksoid adalah antigen yang sangat aman dan juga aman untuk wanita
hamil, tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi
TT. Efek samping tersebut berlangsung 1-2 hari kemudian akan sembuh
sendiri dan tidak perlukan tindakan/pengobatan (Saifuddin dkk, 2008).
2.3.6 Tempat pelayanan untuk mendapatkan imunisasi TT
Menurut Depkes RI (2007), tempat pelayanan untuk mendapatkan
imunisasi TT yaitu : a. Puskesmas; b. Puskesmas pembantu; c. Rumah sakit; d.
Rumah bersalin; e. Polindes; f. Posyandu; g. Rumah sakit swasta; h. Dokter
praktik; i. Bidan praktik.
28
2.4 Konsep Perilaku dan Kepatuhan
2.4.1 Definisi Perilaku
Perilaku manusia adalah refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti
pengetahuan, persepsi, minat, keinginan dan sikap. Hal-hal yang
mempengaruhi perilaku seseorang sebagian terletak dalam diri individu sendiri
yang disebut juga faktor internal sebagian lagi terletak diluar dirinya atau
disebut faktor eksternal yaitu faktor lingkungan (Notoatmodjo, 2007).
Perilaku individu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi akibat adanya
rangsangan (stimulus), baik dari dalam (internal) maupun dari luar tubuh
individu (eksternal). Pada hakikatnya perilaku individu mencakup perilaku yang
tampak (overt behavior) dan atau perilaku yang tidak tampak (innert behavior atau
covert behavior). Perilaku tersebut timbul akibat adanya rangsangan atau stimulus
yang menimbulkan aktivitas yang dapat diamati secara langsung maupun tidak
langsung (Sunaryo, 2008).
2.4.2 Definisi Kepatuhan
Kepatuhan imunisasi adalah sejauh mana kelengkapan pasien dalam
melakukan imunisasi sesuai dengan interval waktu yang telah ditentukan, sesuai
dengan arahan dan rekomendasi dari petugas kesehatan (WHO, 2011).
Menurut Sacket dalam Niven (2010), kepatuhan adalah sejauh mana perilaku
pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.
Yegenoglu et al. (2003) dalam Pertiwi et al. (2011), menjelaskan bahwa
kepatuhan pasien mengacu kepada kemauan dan kemampuan seorang individu
untuk mengikuti saran-saran medis, mengonsumsi obat sesuai dengan yang
29
diresepkan, mematuhi jadwal konsultasi medis, serta menyelesaikan tindak
lanjut medis sesuai dengan rekomendasi.
WHO (2003) dalam Prihandana (2012), mendefinisikan kepatuhan
sebagai kemampuan pasien dalam berperilaku untuk melakukan pengobatan,
mengikut diet, dan melakukan perubahan pola hidup, sesuai dengan arahan dan
rekomendasi dari petugas kesehatan. Kepatuhan pada program kesehatan
merupakan perilaku yang dapat diobservasi dengan begitu dapat diukur secara
tidak langsung melalui konsekuensi atau hasil yang berkaitan dengan perilaku.
2.4.3 Perilaku Kesehatan
Berdasarkan teori perilaku dari Skiner (1938) dalam Nesi&Yunetra
(2011), perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme)
terhadap stimulus atas objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem
pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Perilaku
kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu:
a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance).
Perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan upaya penyembuhan jika sakit. Perilaku ini
terdiri atas dua aspek adalah:
1) Perilaku pencegahan penyakit, misalnya: pemberian imunisasi TT pada ibu
hamil, mencuci tangan dan sebagainya.
2) Perilaku meningkatkan kesehatan dan penyembuhan akibat sakit.
Kesehatan itu dinamis dan relatif, maka perlu upaya bagi yang sudah sehat
untuk meningkatkan kembali kesehatannya seoptimal mungkin, misalnya:
30
pemberian antibotik, makanan dan minuman yang bergizi, pemberian
tablet Fe, dan sebagainya.
b. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan
kesehatan, atau perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour).
Perilaku yang menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat sakit
atau kecelakaan. Perilaku ini dimulai dari sederhana yaitu mengobati
sendiri (self treatment) sampai cara modern (teknologi)dengan pergi ke luar
negeri, misalnya: pada saat ibu akan bersalin akan mencari tenaga
kesehatan (bidan, dokter, perawat) untuk menolong persalinannya,
penderita sakit jantung akan pergi ke luar negeri untuk melakukan
pengobatan, dan sebagainya.
c. Perilaku kesehatan lingkungan.
Menurut Hedrik L. Blum, faktor lingkungan mempunyai kontribusi besar
yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan. Lingkungan yang dimaksud
adalah lingkungan fisik, sosial budaya, dan sebagainya. Apabila individu
bisa mengelola lingkungan dengan baik, maka lingkungan tidak akan
mengganggu kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat, misalnya:
pengelola sampah, air minum, pembuangan tinja, pembuangan limbah,
dan sebagainya.
2.4.4 Bentuk-Bentuk Perilaku
Skinner (1983) dalam Notoatmodjo (2007), seorang ahli psikologi
merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap
stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi
melalui proses :
31
Sedangkan menurut Notoatmodjo (2007), bentuk operasional dari
perilaku dapat dikelompokan menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Perilaku dalam bentuk pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan hal ini terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman, juga dapat diperoleh dari
informasi yang disampaikan orang lain, melalui buku atau media massa
dan elektronik.
b. Perilaku dalam bentuk sikap
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulasi atau objek. Sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari prilaku yang tertutup. Sikap secara
nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan reaksi yang
bersifat emosional terhadap stimulus sosial.
c. Perilaku dalam bentuk tindakan
Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam suatu tindakan untuk
terwujudnya sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan factor pendukung
atau suatu kondisi yang memungkinkan (Notoatmodjo, 2007).
2.4.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kepatuhan
Menurut teori perubahan perilaku yang dikembangkan oleh Lawrence
Green (1989), perilaku dipengaruhi oleh salah satu dari tiga faktor utama, yaitu
Stimulus Organisme Respon atau “S-O-R”
32
faktor predisposisi (predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor), dan
faktor pendukung (reinforcing factor) (Notoatmodjo, 2007).
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor) terwujud dalam :
1) Tingkat pengetahuan
Tingkat pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui sensori
khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Tingkat pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku
terbuka (overt behavior). Pengetahuan yang didasari pengetahuan umumnya
lama (Notoatmodjo, 2007).
2) Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus yaitu
objek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya
tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu
dari perilaku tertutup tersebut. Sikap secara realistis menunjukkan adanya
kesesuaian terhadap respon stimulus tertentu. Tingkatan respon adalah
menerima (receiving), merespon (responding), dan bertanggung jawab
(responsible) (Sunaryo, 2008).
3) Nilai-nilai
Nilai-nilai atau norma yang berlaku akan membentuk prilaku yang sesuai
dengan nilai-nilai atau norma yang telah melekat pada diri seseorang.
4) Kepercayaan
Seseorang yang mempunyai atau menyakini suatu kepercayaan tertentu
akan mempengaruhi prilakunya dalam menghadapi suatu penyakit yang
akan berpengaruh terhadap kesehatannya.
33
5) Persepsi
Persepsi adalah proses yang menyatu dalam diri individu terhadap stimulus
yang diterimanya. Persepsi merupakan proses pengorganisasian,
penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organism atau
individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan respon
yang menyeluruh dalam diri individu. Oleh karena itu dalam penginderaan
orang akan mengaitkan dengan stimulus, sedangkan dalam persepsi orang
akan mengaitkan dengan objek. Persepsi pada individu akan menyadari
tentang keadaan sekitarnya dan juga keadaan dirinya. Orang yang
mempunyai persepsi tentang sesuatu cenderung akan berperilaku sesuai
persepsi yang dimilikinya (Sunaryo, 2008).
b. Faktor-faktor pemungkin (enabling factor)
Faktor pendukung merupakan factor pemungkin. Faktor ini bisa
sekaligus menjadi faktor penghambat atau mempermudah niat suatu
perubahan perilaku dan perubahan lingkungan yang baik. Faktor
pemungkin mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas.
Sarana dan fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan
terwujudnya suatu perilaku, sehingga disebut sebagai faktor pendukung
atau faktor pemungkin.
c. Faktor-faktor pendukung (reinforcing factor)
Faktor pendukung merupakan penguat timbulnya sikap dan niat
untuk melakukan sesuatu atau berperilaku. Suatu pujian, sanjungan dan
penilaian yang baik akan memotivasi, sebaliknya hukuman dan pandangan
negatif seseorang akan menjadi hambatan proses terbentuknya perilaku
yang positif.
34
2.4.6 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut
Brunner dan Suddarth (2002) dalam Rahmi (2011), adalah:
a. Faktor demograsi seperti usia, jenis kelamin, status sosio-ekonomi dan
pendidikan.
b. Faktor penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat
terapi.
c. Faktor program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek samping
yang tidak menyenangkan.
d. Faktor psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap kesehatan,
penerimaan atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau
budaya dan biaya finansial.
Menurut Purwanto (2006) dalam Novian (2013), ada beberapa variabel
yang mempengaruhi tingkat kepatuhan seseorang, antara lain:
1) Demografi meliputi: usia, jenis kelamin, suku bangsa, status sosio-ekonomi
dan pendidikan.
2) Pengetahuan
Pengetahuan pasien tentang kepatuhan pengobatan yang rendah dapat
menimbulkan kesadaran yang rendah, sehingga akan berdampak dan
berpengaruh pada pasien dalam mengikuti cara pengobatan, kedisiplinan
pemeriksaan yang akibatnya dapat terjadi komplikasi berlanjut.
3) Komunikasi terapeutik
Kualitas insteraksi antara pasien dengan tenaga kesehatan menentukan
tingkat kepatuhan seseorang, karena dengan kualitas interaksi yang tinggi,
35
maka seseorang akan puas dan akhirnya meningkatkan kepatuhannya
terhadap anjuran kesehatan dalam hal perawatan, sehingga dapat dikatakan
salah satu penentu penting dari kepatuhan adalah cara komunikasi tentang
bagaimana anjuran diberikan.
4) Psikososial
Variabel ini meliputi sikap pasien terhadap tenaga kesehatan serta terhadap
penyakitnya. Sikap seseorang terhadap perilaku kepatuhan menentukan
tingkat kepatuhan. Kepatuhan seseorang merupakan hasil dari proses
pengambilan keputusan orang tersebut dan akan berpengaruh pada
persepsi dan keyakinan orang tentang kesehatan.
5) Dukungan keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan bagi individu serta memainkan
peran penting dalam program perawatan dan pengobatan. Pengaruh
normatif pada keluarga dapat memudahkan atau menghambat perilaku
kepatuhan, selain dukungan keluarga, dukungan tenaga kesehatan
diperlukan untuk mempertinggi tingkat kepatuhan, dimana tenaga
kesehatan adalah seseorang yang berstatus tinggi bagi kebanyakan pasien,
sehingga apa yang dianjurkan akan dilaksanakan.
2.4.7 Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan
menjadi empat bagian menurut Niven (2009), antara lain:
36
a. Pemahaman tentang instruksi
Tak seorangpun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang
instruksi yang diberikan padanya.
b. Kualitas interaksi
Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan
bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.
c. Isolasi sosial dan keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga
menentukan program pengobatan yang dapat mereka terima.
d. Keyakinan, sikap, dan kepribadian
Niven (2009), menjelaskan bahwa keyakinan seseorang tentang kesehatan
berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan. Orang-orang yang
tidak patuh adalah orang-orang yang mengalami depresi, ansietas, sangat
memperhatikan kesehatannya, memiliki ego yang lebih lemah dan
kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada diri sendri.
2.4.8 Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan
Menurut Smet (1994) dalam Niven (2009) yang dikutip dari Rahmi
(2011), berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan, antara
lain:
a. Dukungan profesional kesehatan
Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan
kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut
adalah dengan adanya teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan
37
penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan
baik dokter atau perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.
b. Dukungan sosial
Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Pasien dan keluarga yang
percaya pada tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh perawat dapat
menunjang peningkatan kesehatan pasien, sehingga perawat dapat bekerja
dengan percaya diri dan ketidakpatuhan pasien dapat dikurangi.
c. Perilaku sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan, misalnya kepatuhan perawat
untuk selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh pasien atau
melakukan tindakan asuhan keperawatan.
d. Pemberian informasi
Pemberian informasi yang jelas tentang pentingnya pemberian asuhan
keperawatan berdasarkan prosedur yang ada akan membantu
meningkatkan kepatuhan perawat, hal ini dapat dilakukan dengan
memberikan pelatihan-pelatihan kesehatan yang diadakan oleh pihak
rumah sakit ataupun instansi kesehatan lain.
2.4.9 Faktor Penentu Derajat Ketidakpatuhan
Niven (2009), mengungkapkan derajat ketidakpatuhan ditentukan oleh
kompleksitas prosedur pengobatan, derajat perubahan gaya hidup/lingkungan
kerja yang dibutuhkan, lamanya waktu dimana perawat mematuhi prosedur
tersebut, apakah prosedur tersebut berpotensi menyelamatkan hidup, dan
keparahan penyakit yang dipersepsikan sendiri oleh pasien bukan petugas
kesehatan.
38
2.4.10 Pengukuran Kepatuhan
Pengukuran kepatuhan dapat dilakukan menggunakan kuesioner yaitu
dengan cara mengumpulkan data yang diperlukan untuk mengukur indikator-
indikator yang telah dipilih. Indikator tersebut sangat diperlukan sebagai
ukuran tidak langsung mengenai standar dan penyimpangan yang diukur
melalui sejumlah tolok ukur atau ambang batas yang digunakan oleh organisasi
merupakan penunjuk derajat kepatuhan terhadap standar tersebut. Suatu
indikator merupakan suatu variabel (karakteristik)terukur yang dapat digunakan
untuk menentukan derajat kepatuhan terhadap standar atau pencapaian mutu.
Disamping itu indikator juga memiliki karakteristik yang sama dengan standar,
misalnya karakteristik itu harus reliabel, valid, jelas, mudah diterapkan, sesuai
dengan kenyataan, dan juga dapat diukur (Al-Assaf, 2010).