bab ii tinjauan pustaka 2.1 penyakit gangguan ginjal kronik
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik
2.1.1 Definisi
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga
retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya
menghadap ke medial. Besar dan berat ginjal sangat bervariasi; hal ini tergantung
pada jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi yang lain. Dalam hal
ini, ginjal laki-laki relatif lebih besar ukurannya daripada perempuan. Pada orang
yang mempunyai ginjal tunggal yang didapat sejak usia anak, ukurannya lebih
besar daripada ginjal normal. Pada autopsi klinis didapatkan bahwa ukuran rerata
ginjal orang dewasa adalah 11,5 cm panjangnya dengan lebar 6 cm dan tebal 3,5
cm. Beratnya bervariasi antara 120 – 170 gram, atau kurang lebih 0,4 % dari berat
badan. Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh beberapa otot punggung yang
tebal serta tulang rusuk ke XI dan XII, sedangkan di sebelah anterior dilindungi
oleh organ intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan
duodenum; sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas,
jejeunum, dan kolon (Purnomo, 2012).
Gangguan ginjal kronik adalah penurunan semua faal ginjal secara
bertahap, diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Defenisi lainnya ialah kerusakan ginjal yang
terjadi selama ≥ 3 bulan, berdasarkan kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dan dengan pertanda
Universitas Sumatera Utara
8
kerusakan ginjal meliputi kelainan komposisi darah dan urin, atau tes pencitraan
ginjal serta LFG < 60 ml/menit/1,73m2(Sukandar, 2006).
Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian, yaitu korteks dan medula
ginjal. Korteks ginjal terletak lebih superfisial dan di dalamnya terdapat berjuta-
juta nefron. Nefron merupakan unit fungsional terkecil dari ginjal. Medula ginjal
yang terletak lebih profundus banyak terdapat duktuli atau saluran kecil yang
mengalirkan hasil ultrafiltrasi berupa urin. Nefron terdiri atas glomerulus, tubulus
kontortus (TC) proksimalis, Loop of Henle, tubulus kontortus (TC) distalis, dan
duktus kologentes. Darah yang membawa sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi
(disaring) di dalam glomerulus dan kemudian setelah sampai di tubulus ginjal,
beberapa zat yang masih diperlukan oleh tubuh mengalami reabsorbsi dan zat sisa
metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh mengalami sekresi membentuk
urin. Setiap hari tidak kurang dari 180 liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus
dan menghasilkan urin sebanyak 1 sampai 2 liter. Urin yang terbentuk di dalam
nefron disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalises ginjal untuk kemudian
disalurkan ke dalam ureter (Purnomo, 2012).
Ginjal memerankan berbagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi
kehidupan, yakni menyaring (filtrasi) sisa hasil metabolisme dan toksin dari
darah, serta mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit tubuh, yang
kemudian dibuang melalui urin. Fungsi tersebut adalah mengontrol sekresi
hormon aldosteron dan ADH (anti diuretic hormone) yang berperan dalam
mengatur jumlah cairan tubuh, mengatur metabolisme ion kalsium dan vitamin D,
menghasilkan beberapa hormon, antara lain: eritropoetin yang berperan dalam
pembentukan sel darah merah, renin yang berperan dalam mengatur tekanan
Universitas Sumatera Utara
9
darah, serta hormon prostaglandin yang berguna dalam berbagai mekanisme tubuh
(Purnomo, 2012).
2.1.2 Epidemiologi
Beberapa tahun belakangan ini, penderita gangguan ginjal di Indonesia
saat ini terbilang tinggi yakni mencapai 300.000 orang.Berdasarkan hasil survei
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) menunjukkan bahwa 12,5%
(sekitar 25 juta penduduk) dari populasi penduduk Indonesia yang mengalami
penurunan fungsi ginjal (PERNEFRI, 2009). Menurut hasil penelitian Hallan SI,
et al., tahun 2006 menyatakan bahwa, prevalensi dari gangguan ginjal kronik pada
populasi umum Eropa yaitu sebesar 10,2%, dan prevalensi Amerika Serikat yaitu
sebesar 11,5%. Berdasarkan data United State Renal Data System (USRDS) tahun
2013 diperkirakan lebih dari 20 juta (atau lebih dari 10%) orang dewasa di
Amerika Serikat yang mengalami penyakit ginjal kronik per tahunnya. Kasus
penyakit ginjal di dunia per tahun meningkat sebanyak lebih dari 50%. Menurut
hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi terdapat di
Provinsi Sulawesi Tengah dan terendah di Provinsi Kalimantan Timur, NTB, DKI
Jakarta, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sumatera Selatan dan Riau
(Kemenkes., 2013).
2.1.3 Etiologi
Gangguan ginjal kronik pada umumnya disebabkan oleh
Glomerulonefritis, hipertensi esensial dan pielonefritis. Gangguan ginjal kronik
yang berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif
hanya 15% – 20%. Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal
progresif dan difus yang seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik. Pada
Universitas Sumatera Utara
10
umumnya lebih sering pada laki-laki daripada perempuan, dengan usia antara 20 –
40 tahun. Penyakit ginjal hipertensif juga merupakan salah satu penyebab
gangguan ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat yang berakhir dengan
gagal ginjal kronik kurang dari 10% (Sukandar, 2006).
2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi derajat penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) sangat
penting sebagai panduan terapi konservatif pada penderita yang mengalami
penyakit gangguan ginjal kronik dan saat dimulainya terapi pengganti faal ginjal.
Derajat penyakit gagal ginjal kronik berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)
sesuai dengan rekomendasi National Kidney Foundation Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (NKF-K/DOQI) (2004) dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi gangguan ginjal kronik berdasarkan derajatnya
Derajat Penjelasan LFG (ml/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat
≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan 60 – 89 3 Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang 30 – 59 4 Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat 15 – 29 5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Sumber: NKF-K/DOQI (2004)
Klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan LFG dapat dilihat
pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan LFG
Derajat Primer (LFG) Sekunder = Kreatinin (mg%) A Normal Normal B 50% – 80% Normal Normal – 2,4 C 20% – 50% Normal 2,5 – 4,9 D 10% – 20% Normal 5,0 – 7,9 E 5% – 10% Normal 8,0 – 12,0 F < 5% Normal > 12,0
Universitas Sumatera Utara
11
Sumber: International committee for nomenclature nosology of renal disease
(1975) dalam (Sukandar, 2006).
2.2 Farmakokinetik Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik
Farmakokinetika dapat dijelaskan sebagai suatu ilmu mengenai waktu
absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat serta hubungannya dengan
respon farmakologis. Ekskresi adalah yang terutama dipengaruhi oleh gangguan
ginjal, tetapi absorpsi, distribusi (termasuk ikatan protein), metabolisme maupun
farmakodinamika dapat berubah. Peningkatan kadar urea darah pada penderita
gagal ginjal dapat meningkatkan kadar urea dalam air liur (saliva) yang biasanya
menyebabkan peningkatan pH asam lambung. Hal ini mengakibatkan penurunan
absorpsi beberapa obat misalnya obat-obat yang mengandung zat besi, digoksin,
dan dekstropropoksifen (Aslam, dkk., 2003).
Pada gangguan ginjal, distribusi obat dapat berubah oleh fluktuasi dalam
tingkat hidrasi atau oleh perubahan ikatan protein. Pada obat yang terdistribusi
secara luas ke jaringan tubuh, maka peningkatan yang besar pada jumlah obat
dalam bentuk tak terikat tidaklah penting. Oleh karena peningkatan obat tak
terikat tersebut, yang jumlahnya kecil bila dibandingkan dengan kadar total dalam
tubuh, akan segera terdistribusi kembali ke jaringan sehingga peningkatan kadar
obat dalam bentuk tak terikat menjadi tidak berarti. Jadi, hanya obat yang
mempunyai volume distribusi (Vd) yang rendah (dimana sebagian besar obat
berada dalam plasma dibandingkan pada jaringan) yang akan terpengaruh. Contoh
obatnya meliputi sulfonilurea seperti tolbutamid (96% dalam bentuk terikat, Vd
10 liter), antikoagulan oral seperti warfarin (99% dalam bentuk terikat, Vd 9 liter)
Universitas Sumatera Utara
12
dan fenitoin (90% dalam bentuk terikat, Vd 35 liter). Obat lain yang mempunyai
ikatan protein tinggi antara lain diazoksida, metotreksat, asam nalidiksat,
fenilbutazon, dan sulfonamida (Aslam, dkk., 2003).
Ginjal juga merupakan tempat untuk metabolisme dalam tubuh, tetapi efek
gangguan ginjal hanya bermakna secara klinis pada dua kasus saja. Ginjal
bertanggung jawab terhadap tahap akhir aktivasi vitamin D melalui hidroksilasi
25-hidroksikolekalsiferol menjadi bentuk yang lebih aktif, yaitu 1,25-
dihidroksikolekalsiferol. Proses ini terganggu pada pasien gagal ginjal sehingga
penderita membutuhkan terapi pengganti vitamin D. Ginjal merupakan rute
eliminasi utama untuk berbagai obat dan metabolitnya (baik aktif, tidak aktif,
maupun toksik). Ekskresinya dapat melalui filtrasi glomeruler, sekresi tubulus
atau reabsorpsi. Ekskresi merupakan parameter farmakokinetika yang paling
terpengaruh oleh gangguan ginjal. Obat yang dikeluarkan terutama melalui
ekskresi ginjal dipercaya dapat menyebabkan toksisitas pada penderita gagal
ginjal. Jika obat terutama dimetabolisme menjadi senyawa dalam bentuk tidak
aktif, maka fungsi ginjal tidak akan terlalu mempengaruhi eliminasi senyawa aktif
tersebut. Namun, apabila obat atau metabolit aktifnya diekskresi dalam bentuk
tidak berubah melalui ginjal, maka perubahan pada fungsi ginjal akan
mempengaruhi eliminasinya (Aslam, dkk., 2003).
2.3 Pemeriksaan Darah dan Faal Ginjal
Pemeriksaan darah rutin terdiri atas pemeriksaan kadar hemoglobin,
leukosit, laju endap darah, hitung jenis leukosit, dan hitung trombosit. Beberapa
uji faal ginjal yang sering diperiksa adalah pemeriksaan kadar kreatinin, kadar
Universitas Sumatera Utara
13
ureum atau BUN (blood urea nitrogen), dan klirens kreatinin. Pemeriksaan BUN,
ureum, atau kreatinin di dalam serum merupakan uji faal ginjal yang paling sering
dipakai, namun uji ini baru menunjukkan adanya kelainan pada saat ginjal sudah
kehilangan 23 dari fungsinya (Purnomo, 2012).
Kreatinin adalah hasil dari katabolisme otot skeletal, diekskresikan oleh
ginjal dan tidak terpengaruh oleh kondisi hidrasi seseorang. Oleh karena produksi
kreatinin pada orang yang dalam keadaan aktif, setiap harinya relatif konstan,
yakni lebih kurang 1 mg/menit pada orang dewasa, maka pemeriksaan ini cukup
dipercaya sebagai uji pemeriksaan faal ginjal. Nilai kreatinin dipengaruhi oleh
usia, besar atau volume massa otot, dan jenis kelamin. Pada orang yang berotot,
nilai kreatinin lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak berotot, dan pada usia
yang semakin tua, nilai kreatininnya semakin meningkat. Demikian pula pada
lelaki, laju katabolisme otot relatif lebih tinggi daripada perempuan sehingga nilai
kreatinin laki-laki lebih tinggi (Purnomo, 2012).
Pemeriksaan uji faal ginjal yang paling akurat adalah uji rerata laju filtrasi
glomerulus atau glomerular filtration rate (GFR). Cara pengukuran GFR yang
paling tepat adalah dengan menginjeksikan beberapa senyawa, di antaranya inulin,
beberapa radioisotop, 51chromium-EDTA, 125l-iothalamate, 99mTc-DTPA, atau zat
radiokontras iohexol. Namun teknik ini tidak praktis, perlu biaya mahal, butuh
waktu lama, dan berpotensi menimbulkan efek samping. Pemeriksaan klirens
(bersihan) kreatinin hampir mendekati GFR. Lebih kurang 80% nilai kreatinin
adalah hasil dari filtrasi glomerulus (atau sama dengan nilai GFR) dan 20%
merupakan nilai sekresi kreatinin oleh tubulus ginjal. Dalam menilai faal ginjal,
pemeriksaan ini lebih peka daripada pemeriksaan kreatinin atau BUN. Kadar
Universitas Sumatera Utara
14
klirens normal pada laki-laki dewasa adalah 80 – 120 ml/menit. Pada perempuan,
nilai tersebut harus dikalikan dengan 0,85. Klirens kreatinin dihitung melalui
rumus: K = 𝑈𝑈𝑈𝑈𝑃𝑃
× 1,73𝐿𝐿
, dimana K adalah nilai klirens kreatinin (ml/menit), U adalah
kadar kreatinin dalam urin (mg/dl), V adalah jumlah urin dalam 24 jam (ml), P
adalah kadar kreatinin dalam serum (md/dl), dan L adalah luas permukaan tubuh
(m2).
Untuk memeriksa klirens kreatinin harus menampung urin selama 24 jam,
hal ini seringkali sulit dikerjakan oleh pasien, kecuali mereka yang menjalani
rawat inap di rumah sakit. Dengan memperhitungkan harga kreatinin serum, usia
pasien, berat badan, dan jenis kelamin, Cockroft dan Gault memperkenalkan
formula untuk meramalkan harga klirens kreatinin tanpa harus memperhitungkan
jumlah urin selama 24 jam (Purnomo, 2012).
Rumus untuk menghitung klirens kreatinin pada pria = (140−𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 )×𝐵𝐵𝐵𝐵
72 ×𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑢𝑢𝑘𝑘𝑢𝑢𝑘𝑘𝑢𝑢𝑘𝑘 𝑢𝑢𝑘𝑘𝑘𝑘𝑢𝑢𝑠𝑠,
sedangkan pada wanita = (140−𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 )×𝐵𝐵𝐵𝐵
72 ×𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑢𝑢𝑘𝑘𝑢𝑢𝑘𝑘𝑢𝑢𝑘𝑘 𝑢𝑢𝑘𝑘𝑘𝑘𝑢𝑢𝑠𝑠× 0,85 , dimana usianya dalam tahun
dan BB merupakan berat badan dalam kilogram. Namun perlu diperhatikan bahwa
persamaan tersebut kurang akurat memperkirakan GFR jika:
1. pasien terlalu banyak mengonsumsi protein, bahan nabati (vegetarian),
atau sedang menggunakan suplemen keratin atau asam amino.
2. berat badan pasien terlalu kurus atau gemuk
3. pasien mengalami gangguan otot, misalnya otot terlalu besar
4. pasien yang tergantung dialisis atau menderita gagal ginjal akut (Nasution,
et al., 2003).
Universitas Sumatera Utara
15
2.4 Penyesuaian Dosis Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik
Peresepan untuk penderita dengan gangguan ginjal memerlukan
pengetahuan mengenai fungsi hati dan ginjal penderita, riwayat pengobatan,
metabolisme zat aktivitas obat, lama kerja obat serta cara ekskresinya. Tingkatan
fungsi ginjal yang memerlukan penurunan dosis tergantung berapa bagian obat
yang secara normal dikeluarkan melalui ginjal dan berapa bagian yang melalui
rute metabolisme lain serta seberapa toksis obat tersebut (Aslam, dkk., 2003).
Pada pasien dengan riwayat gangguan ginjal atau penyakit lainnya
(kelainan hati) yang mempengaruhi metabolisme obat, perlu diketahui dengan
jelas dan juga perlu ditelusuri riwayat penggunaan obat dan kemungkinan adanya
alergi obat. Catatan rekam medik harus diteliti dengan cermat terutama bila ada
penambahan obat baru. Pemeriksaan fisik seperti tinggi badan, berat badan,
bentuk tubuh, status nutrisi serta adanya edema atau dehidrasi perlu diidentifikasi
untuk pengaturan dosis obat (Nasution, et al., 2003).
Sebelum melakukan penyesuaian dosis obat apapun, harus ditentukan
secara jelas rute eliminasi bahan tersebut. Eliminasi obat merupakan parameter
yang paling penting untuk dipertimbangkan pada saat penentuan dosis obat karena
eliminasi obat atau metabolitnya mungkin menurun sehingga menyebabkan
peningkatan efek farmakologis atau toksisitas. Eliminasi sebagian besar obat yang
terutama melalui ginjal akan menurun pada pasien yang menderita gangguan
ginjal. Sampai tingkatan mana gangguan ginjal dapat mempengaruhi eliminasi
tergantung pada presentase obat dalam bentuk tidak berubah yang dikeluarkan
melalui ginjal. Sebaliknya, klirens obat yang terutama dieliminasi melalui
Universitas Sumatera Utara
16
mekanisme selain ginjal (misalnya, metabolisme melalui hati) tidak terlalu
berubah pada penderita dengan penyakit ginjal (Aslam, dkk., 2003).
Obat yang terutama dalam bentuk metabolit aktif akan diekskresikan
melalui ginjal, maka penyesuaian dosis atau modifikasi takaran sangat penting
untuk pasien dengan advanced renal failure. Takaran pemeliharaan (maintenance
dose) perlu penyesuaian takaran dengan cara interval pemberian obat
diperpanjang atau pengurangan takaran obat. Bila digunakan cara memperpanjang
interval pemberian obat, maka takaran obat sama (usual dose) dan tidak
diperlukan penyesuaian takaran obat. Bila digunakan teknik dosage reduction,
takaran obat dikurangi dari dosis lazim tetapi interval pemberian obat tetap sama.
Teknik penyesuaian takaran obat ini mempunyai tujuan untuk mempertahankan
konsentrasi obat sehingga efek terapeutik cukup efektif dan terhindar dari
akumulasi obat yang dapat menyebabkan efek samping. Pemantauan (monitoring)
konsentrasi obat sangat penting sebagai panduan terapi obat dan mencegah
toksisitas obat (Sukandar, 2006).
Menurut Ashley (2004), bila klirens kreatinin dibawah 60 ml/menit maka
perlu penyesuaian dosis obat yang akan dikonsumsi. Berikut ini beberapa macam
obat yang perlu penyesuaian dosis bila akan diberikan kepada pasien yang
mengalami gangguan ginjal, yaitu:
a. antibiotik/antifungi: aminoglikosida (gentamisin), carbapenem
(meropenem)
b. antikoagulan: low molecular weight heparin (enoxaparin)
c. obat jantung: digoksin dan atenolol
Universitas Sumatera Utara
17
d. diuretik: bila klirens kreatinin kurang dari 30 ml/menit maka hindari
penggunaan obat diuretik yang menahan kalium, obat thiazide akan
berkurang efektivitasnya
e. psikotropika/antikejang: lithium dan topiramate
f. obat hipoglikemik: metformin, glibenklamid dan insulin
g. obat lain: methotrexate dan penicillamine
2.5 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik
Antibiotika merupakan suatu obat yang paling banyak digunakan saat ini
oleh banyak orang dan sepertiga dari pasien rawat inap menggunakan antibiotika.
Disamping itu penggunaan antibiotika dapat menimbulkan masalah resistensi dan
efek obat yang tidak dikehendaki. Oleh karena itu, penggunaan antibiotika harus
mengikuti strategi peresepan antibiotika (Aslam, dkk., 2003).
Terdapat beberapa golongan antibiotika yang digunakan pada pasien rawat
inap yang menderita gangguan ginjal kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan
periode Januari – Juni 2014, yaitu:
a. Golongan Cephalosporin
Cephalosporin adalah antibiotika β-lactam yang terkait erat secara
struktural dan fungsional terhadap penicillin. Sebagian besar cephalosporin
diproduksi secara semisintetis melalui ikatan kimiawi rantai samping pada 7-
aminocephalosporanic acid. Cephalosporin mempunyai cara kerja yang sama
dengan penicillin, dan dipengaruhi oleh mekanisme resistensi yang sama.
Meskipun demikian, cephalosporin cenderung lebih resisten daripada penicillin
terhadap β-lactamase tertentu (Harvey, 2009).
Universitas Sumatera Utara
18
Cephalosporin telah diklasifikasikan sebagai generasi pertama, kedua,
ketiga, atau keempat, sebagian besar berdasarkan pola kepekaan bakterinya dan
resistensinya terhadap β-lactamase. [Catatan: cephalosporin tidak efektif melawan
MRSA, L. monocytogenes, Clostridium difficile, dan enterokokus]. Cephalosporin
generasi pertama bekerja sebagai pengganti penicillin G. Generasi ini resisten
terhadap penicillinase stafilokokus dan juga memiliki aktivitas melawan Proteus
mirabilis, E. Coli, dan Klebsiella pneumoniae (disingkat menjadi PecK). Contoh
cephalosporin generasi pertama adalah cefazolin, cefadroxil, cephalexin, dan
cephalothin (Harvey, 2009).
Cephalosporin generasi kedua memperlihatkan aktivitas yang lebih besar
melawan tiga organisme gram-negatif tambahan: H. influenzae, Enterobacter
aerogenes, dan beberapa spesies Neisseria, sedangkan aktivitas melawan
organisme gram-positif lebih lemah (singkatan HENPEcK telah diajukan untuk
cakupan generasi kedua yang lebih luas). [Catatan: pengecualian untuk
generalisasi ini adalah cephamycin yang terkait secara struktural, yaitu cefoxitin
yang memiliki sedikit aktivitas terhadap H. influenzae tetapi efektif terhadap
organisme anaerob Bacteroides fragilis]. Contoh cephalosporin generasi kedua
adalah cefaclor, cefoxitin, cefuroxime sodium, dan cefuroxime axetil (Harvey,
2009).
Cephalosporin generasi ketiga telah memiliki peranan penting dalam
penatalaksanaan penyakit infeksius. Walaupun aktivitasnya terhadap kokus gram-
positif lebih rendah dari generasi pertama, cephalosporin generasi ketiga ini
mempunyai aktivitas yang lebih tinggi melawan basil gram-negatif, meliputi
organisme-organisme yang disebutkan tadi dan juga sebagian besar organisme
Universitas Sumatera Utara
19
enterik lainnya, serta Serratia marcescens. Ceftriaxone atau cefotaxime telah
menjadi agen pilihan dalam terapi meningitis. Ceftazidime mempunyai aktivitas
terhadap P. aeruginosa. Contoh cephalosporin generasi ketiga adalah cefdinir,
cefixime, cefotaxime, ceftazidime, ceftibuten, ceftizoxime, dan ceftriaxone.
Cefepime diklasifikasikan sebagai cephalosporin generasi keempat dan harus
diberikan melalui parenteral. Cefepime mempunyai spektrum bakteri yang luas,
aktif melawan streptokokus dan stafilokokus (tetapi hanya terhadap yang peka
methicillin). Cefepime juga efektif melawan organisme gram-negatif aerobik,
seperti enterobacter, E. coli, K. pneumoniae, P. mirabilis, dan P.
aeruginosa(Harvey, 2009).
Mekanisme resistensi bakteri terhadap cephalosporin, pada dasarnya
serupa dengan yang dijabarkan untuk penicillin. [Catatan: walaupun
cephalosporin tidak rentan terhadap hidrolisis oelh penicillinase stafilokokus,
cephalosporin dapat rentan terhadap β-lactamase yang berspektrum luas]. Dalam
pemberiannya, banyak cephalosporin harus diberikan secara IV atau IM karena
absorpsi oralnya yang buruk. Semua cephalosporin didistribusikan secara baik
dalam cairan tubuh. Meskipun demikian, kadar terapeutik yang adekuat dalam
CSF, tanpa memperhatikan inflamasi, hanya diperoleh dengan penggunaan
cephalosporin generasi ketiga. Semua cephalosporin melewati plasenta. Eliminasi
cephalosporin terjadi melalui sekresi tubulus dan atau filtrasi glomerulus. Oleh
sebab itu, dosis harus disesuaikan pada kasus-kasus gagal ginjal berat untuk
berjaga-jaga terhadap akumulasi dan toksisitas. Ceftriaxone diekskresikan melalui
empedu ke dalam feses sehingga sering digunakan pada pasien dengan
insufisiensi ginjal. Cephalosporin menimbulkan sejumlah efek samping, beberapa
Universitas Sumatera Utara
20
diantaranya bersifat unik untuk anggota tertentu golongan ini. Pasien yang
mengalami respon anafilatik terhadap penicillin tidak boleh diberikan
cephalosporin. Cephalosporin harus dihindari atau digunakan secara hati-hati pada
orang-orang yang alergi terhadap penicillin (sekitar 5%-15% menunjukkan
sensitivitas-silang). Sebaliknya , insidensi reaksi alergi terhadap cephalosporin
berkisar satu hingga dua persen pada pasien tanpa riwayat alergi penicillin
(Harvey, 2009).
b. Antibiotika β-Lactam Lainnya (Carbapenem)
Carbapenem adalah antibiotika β-lactam sintetik yang berbeda struktur
dengan penicillin dalam hal atom sulfur cincin thiazolidine yang telah dibuang
dan digantikan oleh suatu atom karbon. Imipenem, meropenem, dan ertapenem
adalah obat-obat dari golongan ini yang tersedia saat ini. Imipenem disenyawakan
dengan cilastatin untuk melindunginya dari metabolisme oleh dehidropeptidase
ginjal. Imipenem/cilastatin dan meropenem merupakan sediaan antibiotika β-
lactam dengan spektrum terluas yang tersedia saat ini. Imipenem tahan dari
hidrolisis oleh sebagian besar β-lactamase, tetapi tidak oleh metallo-β-lactamase.
Obat ini berperan dalam terapi empirik karena aktif melawan organisme gram-
positif dan gram-negatif penghasil penicillinase, anaerob, dan P. aeruginosa
(walaupun galur pseudomonas lainnya bersifat resisten, dan galur P. aeruginosa
yang resisten pernah dilaporkan bermunculan selama terapi). Meropenem
memiliki aktivitas antibakteri yang mirip dengan imipenem. Ertapenem bukan
obat alternatif untuk mencakup P. aeruginosa karena sebagian besar galur
menunjukkan resistensi (Harvey, 2009).
Universitas Sumatera Utara
21
Imipenem dan meropenem deberikan secara IV dan menembus dalam
jaringan dan cairan tubuh secara baik, termasuk CSF ketika meninges mengalami
inflamasi. Keduanya diekskresikan melalui filtrasi glomerulus. Imipenem
mengalami pembelahan oleh dehidropeptidase yang ada pada brush border
tubulus proksimal ginjal. Enzim ini membentuk metabolit inaktif yang berpotensi
menyebabkan nefrotoksik. Persenyawaan imipenem dengan cilastatin melindungi
obat induknya sehingga mencegah pembentukan metabolit toksik. Hal ini
membuat obat dapat digunakan dalam terapi infeksi saluran kemih. Meropenem
tidak mengalami metabolisme. Ertapenem dapat diberikan melalui injeksi IV atau
IM. Dosis obat golongan ini harus disesuaikan pada pasien dengan insufisiensi
ginjal. Efek samping dari imipenem/cilastatin ialah dapat menyebabkan mual,
muntah, dan diare. Kadar imipenem yang tinggi juga dapat memicu kejang, tetapi
meropenem lebih sedikit kemungkinannya untuk menyebabkan kejang (Harvey,
2009).
c. Fluoroquinolone
Semua fluoroquinolone bersifat baktesidial. Contoh fluoroquinolone yang
bermanfaat secara klinis adalah ciprofloxacin. Agen ini merupakan
fluoroquinolone yang paling banyak digunakan saat ini di Amerika Serikat. Kadar
serum ciprofloxacin yang dicapai, efektif terhadap banyak infeksi sistemik,
kecuali infeksi serius akibat methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA),
enterokokus, dan pneumokokus. Ciprofloxacin juga bermanfaat secara khusus
dalam mengobati infeksi yang disebabkan oleh berbagai Enterobacteriaceae dan
basil gram-negatif lainnya. Sebagai contoh, traveler’s diarrhea akibat E. colidapat
Universitas Sumatera Utara
22
diobati secara efektif. Ciprofloxacin juga merupakan obat pilihan untuk
profilaksis dan terapi anthraks (Harvey, 2009).
Ciprofloxacin merupakan fluoroquinolone paling poten untuk infeksi
Pseudomonas aeruginosa sehingga obat ini digunakan dalam terapi infeksi
pseudomonas akibat fibrosis kistik. Obat ini juga digunakan sebagai alternatif
bagi obat yang lebih toksik, seperti aminoglycoside. Obat ini dapat bekerja secara
sinergistik dengan β-lactam dan juga memiliki manfaat dalam mengobati
tuberkulosis yang resisten. Ciprofloxacin dapat diberikan melalui injeksi IV.
Konsumsi fluoroquinolone dengan sucralfate, antasida yang mengandung
alumunium atau magnesium, atau suplemen makanan yang mengandung besi
dapat mengganggu absorpsi agen-agen ini. Fluoroquinolone diekskresikan melalui
rute ginjal. Efek samping fluoroquinolone tersering adalah mual, muntah, dan
diare, yang terjadi pada tiga hingga enam persen pasien. Fluoroquinolone harus
dihindari pada kehamilan, ibu menyusui, dan pada anak berusia kurang dari 18
tahun karena erosi kartilago artikular (artropati) terjadi pada hewan percobaan
yang belum dewasa. Pada orang dewasa, kadang-kadang, fluoroquinolone dapat
menyebabkan ruptur tendon. Efek terapi fluoroquinolone terhadap sistem saraf
pusat yang paling menonjol adalah sakit kepala dan pusing atau kepala terasa
ringan. Oleh sebab itu, pasien dengan gangguan SSP, seperti epilepsi, harus
diobati secara hati-hati dengan obat-obat ini. Ciprofloxacin mengganggu
metabolisme theophylline dan dapat membangkitkan kejang (Harvey, 2009).
d. Metronidazole
Metronidazole adalah antibakteri sintetik dari nitroimidazole yang
mempunyai aktifitas bakterisid, amebisid dan trikomonosid. Metronidazole
Universitas Sumatera Utara
23
efektif terhadap Trichomonas vaginalis, Entamoeba histolytica, Gierdia
lamblia. Metronidazole bekerja efektif baik lokal maupun sistemik. Perlu
perhatian untuk pemberian kepada wanita hamil. Metronidazole, dosis
lazimnya 500 mg setiap 6 – 8 jam dan tidak mengalami perubahan dosis pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (Troutman, 2002).
Universitas Sumatera Utara