bab ii tinjauan pustaka 2.1.. terminologi...
TRANSCRIPT
5
Bab II Tinjauan Pustaka 2.1.. Terminologi Mangrove
Istilah mangrove tidak mengacu kepada jenis spesies tertentu di dalam taksonomi
tumbuhan. Mangrove adalah istilah untuk menyebutkan semua spesies tanaman
tropis dan juga semak yang memiliki sifat halophytic (toleransi terhadap
salinitas).
Mangrove merupakan jenis vegetasi yang meliputi pohon, semak, bunga dan
nipah (Darmawan dan Dirhansyah. 1999). Tidak semua vegetasi mangrove
tersebut memiliki kaitan (dalam sistem taksonomi), namun semuanya memiliki
kesamaan yaitu hidup dalam lingkungan yang relatif basah, lingkungan yang
memiliki kadar garam (saline habitat), dan mendapat pengaruh dari pasang surut.
Selain itu mangrove pada dasarnya adalah spesies tropis yang tidak akan
berkembang baik pada lingkungan dengan temperatur kurang dari 190 C dan lebih
dari 420 C. Dalam kondisi normal, mangrove tidak dapat bertoleransi dengan baik
pada lingkungan yang memiliki fluktuasi temperatur lebih dari 100 C.
Vegetasi mangrove terdiri dari 12 famili dan lebih dari 50 spesies. Dapat dijumpai
di daerah tropis dan daerah sub tropis, terutama di estuaria dan sepanjang garis
pantai,. Vegetasi mangrove mendominasi hampir 75% vegetasi di sepanjang
pantai tropis, terutama antara 25 derajat lintang utara dan 25 derajat lintang
selatan (http://www.nhmi.org/mangroves/index.htm (mangroves))
Vegetasi mangrove umumnya mampu beradaptasi terhadap kondisi anaerobik,
baik di perairan tawar (payau) maupun di perairan asin. Selain itu vegetasi
mangrove juga memiliki kemampuan beradaptasi secara fisiologis terhadap
lumpur dan garam, yaitu dengan membentuk akar gantung yang berada di atas
permukaan air atau lumpur. Sehingga memungkinkan bagi vegetasi mangrove
untuk tetap dapat mengabsorbsi oksigen.
6
Vegetasi mangrove umumnya hidup secara berkelompok (komunitas) dan
berperan penting dalam menjaga lingkungan estuaria dan pantai. Komunitas
mangrove ini menjadi habitat bagi beberapa jenis fauna yang hidup di daerah
estuaria dan daerah pantai.Oleh karena itu mangrove menjadi komponen utama
dalam ekosistem pantai dan estuaria, baik di daerah tropis maupun daerah sub
tropis.
Dalam komunitas mangrove terdapat sejumlah flora dan fauna yang hidup
bersama. Diantara organisme tersebut ada yang berada dalam komunitas
mangrove untuk sepanjang hidupnya, dan ada pula yang hidup dalam komunitas
mangrove hanya pada sebagian dari siklus hidupnya. Namun demikian
keberadaan bermacam-macam organisme tersebut telah menjadikan komunitas
mangrove sebagai sumberdaya yang penting, terutama bagi manusia.
Komunitas mangrove lebih dikenal masyarakat sebagai hutan mangrove. Ada 2
konsep yang berbeda dalam mengklasifikasikan hutan mangrove (McGill. 1958
dalam Darmawan dan Dirhansyah 1999), yaitu :
1. Hutan mangrove merupakan suatu komunitas vegetasi yang terdiri dari
beberapa famili namun masih memiliki kesamaan sifat dan struktur fisiologi
untuk beradaptasi pada habitat yang sama.
2. Hutan mangrove merupakan suatu komunitas vegetasi yang kompleks yang
umumnya terdapat di wilayah pantai daerah tropis. Komunitas ini pada
umumnya memiliki zona-zona yang ditandai dengan jenis vegetasi tertentu.
Spesies utama yang dominan dalam komunitas ini adalah dari famili
Rhizoporaceae yang tumbuh di zona intertidal.
2.2. Ekosistem Mangrove dan Faktor Abiotik Lingkungan
Ekosistem mangrove adalah suatu ekosistem yang kompleks dan dinamik. Namun
demikian ekosistem mangrove juga sangat rawan terhadap kerusakan. Keberadaan
dan kelestarian ekosistem mangrove sangat berkaitan dengan faktor lingkungan,
baik faktor biotik maupun faktor abiotik lingkungan. Beberapa faktor abiotik
lingkungan yang mempengaruhi ekosistem mangrove diantaranya :
7
1. Faktor Iklim
Faktor iklim adalah faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan alami serta
suksesi mangrove. Termasuk dalam faktor iklim yang utama adalah : temperatur
udara, curah hujan dan angin.
Temperatur udara menentukan distribusi geografis spesies mangrove. Perbedaan
spesies mangrove antara satu tempat dan tempat lainnya, diantaranya dipengaruhi
oleh temperatur udara. Secara umum, temperatur udara optimum bagi ekosistem
mangrove adalah antara 200 C sampai 350 C.
Kondisi curah hujan menentukan distribusi mangrove pada tidal zone. Air hujan
mampu melepaskan partikel garam dari tanah secara efektif. Pada saat terjadi
pasang, air asin akan menggenangi permukaan tanah. Selanjutnya air akan
mengalami evaporasi dan meninggalkan partikel-partikel garam di permukaan
tanah, membentuk lapisan garam yang tipis di permukaan tanah. Lapisan garam
ini akan mengurangi proses regenerasi dan pertumbuhan mangrove. Semakin
sering air hujan menyiram lapisan garam ini, maka partikel-partikel garam akan
terlepas dari permukaan tanah sehingga menjadi lebih cocok untuk pertumbuhan
mangrove.
Angin dapat menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove. Angin yang bertiup
membawa udara kering dan dingin dapat menyebabkan kematian pada tumbuhan
mangrove. Selain itu angin yang kencang (badai) dapat bersifat destruktif bagi
ekosistem mangrove.
2. Faktor Tanah
Faktor tanah juga dapat mempengaruhi distribusi mangrove. Struktur dan sifat-
sifat tanah sangat berperan dalam hal ini. Umumnya mangrove dapat tumbuh pada
daerah berlumpur yang mengandung campuran silt, clay dan pasir. Selain itu
keasaman dan salinitas tanah juga mempengaruhi pertumbuhan mangrove.
8
3. Pasang Surut
Fluktuasi pasang surut merupakan faktor yang menentukan bagi ekosistem
mangrove. Sebagian besar mangrove akan tumbuh dengan baik pada zona antara
Mean High Water Spring Tide (MHWST) dan Mean Sea Level (MSL).
Sedangkan Walsh (1974) dalam Darmawan dan Dirhansyah (1999) menyatakan
bahwa terdapat 5 faktor penting yang dapat menunjang perkembangan ekosistem
mangrove, yaitu :
- temperatur tropis
- sedimen alluvial yang berbutir halus
- pantai yang bebas dari pengaruh gelombang besar
- perairan asin
- fluktuasi pasang surut yang relatif tinggi
Kelima faktor tersebut dapat mempengaruhi keberadaan populasi tumbuhan
mangrove, komposisi dan zonasi spesies mangrove, serta struktur dan
karakteristik ekosistem mangrove.
2.3. Mangrove Delta Mahakam
2.3.1. Vegetasi Mangrove di Delta Mahakam
Delta Mahakam adalah sebuah delta yang terbentuk dari hasil sedimentasi sungai
Mahakam, sungai terpanjang di propinsi Kalimantan Timur. Sungai Mahakam ini
bermuara di tepi barat Selat Makassar. Proses sedimentasi Sungai Mahakam ini
telah berlangsung selama ribuan tahun dan membentuk delta yang luas
keseluruhannya sekitar 5000 km2 (Darmawan dan Dirhansyah 1999). Delta
Mahakam merupakan tipikal delta dunia yang dikenal dengan istilah delta kaki
burung. Tipe delta ini terbentuk karena adanya endapan sedimen dalam jumlah
besar yang dibawa oleh Sungai Mahakam dan juga dipengaruhi oleh pasang surut
yang berasal dari Selat Makassar (Ambarwulan dkk. 2003). Gambar 2.1 berikut ini
menunjukkan foto sebagian wilayah Delta Mahkam yang diambil dari pesawat
udara.
9
Gambar 2.1. Foto udara wilayah Delta Mahakam. (a). Ekosistem hutan
mangrove yang menutupi daratan delta. (b). Sebagian hutan
mangrove di mulut Sungai Mahakam yang telah berubah menjadi
tempat hunian dan areal tambak.
(Sumber : TOTAL E&P Indonesie The Oil Industry)
Di bagian inland Delta Mahakam terdapat berbagai jenis vegetasi. Husein (2006)
membagi vegetasi yang ada di Delta Mahakam ke dalam 4 zona vegetasi, yaitu:
vegetasi hutan tanaman keras tropis dataran rendah, vegetasi hutan campuran
tanaman keras dan palma dataran rendah, vegetasi hutan rawa nipah, dan vegetasi
hutan bakau. Vegetasi hutan rawa nipah dan vegetasi hutan bakau ini karena
penyebarannya sangat dipengaruhi oleh keberadaan air laut maka disebut juga
sebagai hutan mangrove. Luas hutan mangrove ini mencakup sekitar 60% dari
luas dataran delta (Husein, 2006). Sedangkan menurut Darmawan dan Dirhansyah
(1999), vegetasi yang ada di delta Mahakam didominasi oleh Nypa fruticans
(nipah) di bagian tengah (mid land), serta di bagian luar (outer) terdapat
Avicennia sp dan Sonneratia sp. Zona vegetasi di Delta Mahakam ini dapat dilihat
seperti dalam Gambar 2.2.
Seperti halnya vegetasi alami daerah Kalimantan, pada dataran rendah delta juga
dijumpai adanya vegetasi hutan hujan tropis dataran rendah. Namun demikian
vegetasi pada daerah delta tetap didominasi oleh vegetasi mangrove. Pada daerah
transisi antara pesisir dan dataran rendah, dijumpai daerah pertanian, semak
belukar dan hutan sekunder (Bremen et al., 1990 dalam Ambarwulan dkk.,2003).
a b
10
Gambar 2.2. Zona vegetasi di Delta Mahakam
(Sumber : Husein, 2006)
2.3.2. Manfaat Hutan Mangrove di Delta Mahakam
Sistem perakaran tumbuhan mangrove yang kuat sebenarnya mampu menahan
hempasan ombak dan mencegah terjadinya abrasi pantai. Oleh karena itu
ekosistem mangrove juga biasa disebut sebagai zona penyangga (buffer zone).
Selain itu sistem perakaran mangrove juga dapat berfungsi sebagai sediment trap
yang akan menahan dan mengendapkan sedimen terutama pada zona intertidal,
sehingga kondisi sedimen akan lebih stabil. Mangrove jenis Avicennia dan
Sonneratia adalah jenis mangrove yang sangat baik sebagai sediment trap karena
memiliki sistem perakaran pneumatophore yang mudah tumbuh serta sistem
perakaran bawah tanah yang sangat kuat dan memiliki kemampuan menahan
sedimen secara kuat pula.
Hutan tropis dataran rendah
Hutan campuran tanaman keras dan palma
Hutan rawa Nipah
Hutan Bakau
11
Ekosistem mangrove Delta Mahakam juga merupakan habitat bagi bermacam-
macam biota laut. Biota laut tersebut bernilai ekonomis dan dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat setempat. Masyarakat sudah lama memanfaatkan ekosistem
mangrove sebagai areal tangkapan ikan, kepiting dan juga udang. Kekayaan
ekosistem mangrove Delta Mahakam sebenarnya sangat didukung oleh lokasi
delta tersebut yang berhadapan langsung dengan Selat Makassar. Arus laut dari
Selat Makassar ini kaya akan nutrien dan akan terbawa hingga ke Delta
Mahakam. Hal ini menjadikan perairan di Delta Mahakam sebagai perairan yang
subur dan banyak biota laut yang berkumpul. Selain itu keberadaan ekosistem
mangrove yang berfungsi sebagai spawning ground (tempat memijah), feeding
ground (tempat mencari makan) dan nursery ground (tempat pengasuhan),
menjadikan perairan Delta Mahakam semakin kaya akan biota laut.
2.3.3. Kerusakan Mangrove di Delta Mahakam
Ekosistem mangrove yang berada di Delta Mahakam saat ini telah mengalami
degradasi. Luas hutan mangrove di Delta Mahakam yang semula diperkirakan
mencapai 1000 km2 saat ini hanya tersisa kurang lebih 20% (Creocean, 2004).
Sekitar 80% lainnya telah musnah dibabat. Kawasan yang memiliki arti penting
tersebut telah digantikan oleh ribuan hektar tambak udang, terutama semenjak
terjadinya krisis moneter pada tahun 1997.
Dutriex (2001) dalam Budhiman (2004) juga menyatakan bahwa sejak awal tahun
1990-an mulai berkembang tambak udang di kawasan Delta Mahakam. Pada
mulanya hanya di sekitar pemukiman penduduk namun akhirnya menyebar ke
seluruh daratan delta. Akibatnya potensi area hutan mangrove yang telah
mengalami pembabatan (deforested) diperkirakan seluas 85000 hektar, atau
mencakup 80% dari daratan delta.
Pembukaan tambak udang tersebut dipicu oleh harga udang yang melejit pada
waktu itu. Namun hal tersebut hanya berlangsung sekitar 5 tahun. Sebagian besar
keuntungan dari tambak udang tersebut hanya dinikmati oleh investor. Saat ini
penduduk setempat menghadapi lingkungan yang telah mengalami degradasi.
12
Tambak udang tidak lagi memberikan hasil memuaskan karena banyak udang
yang mati akibat penyakit serta kualitas air yang sudah sangat menurun. Selain itu
banyak terjadi erosi pantai dan sungai, serta potensi perikanan di kawasan
mangrove Delta Mahakam yang sudah sangat merosot.
Gambar 2.3 berikut ini menunjukkan tingkat pembukaan tambak tradisional di
Delta Mahakam sejak tahun 1992 sampai tahun 1998.
Gambar 2.3. Citra satelit SPOT sebagian wilayah Delta Mahakam. Warna merah
mengindikasikan tutupan vegetasi, termasuk vegetasi hutan
mangrove. (a). Tahun 1992, tambak udang hanya meliputi sekitar
4% dari luas vegetasi hutan mangrove. (b). Tahun 1998, pembukaan
tambak udang telah merusak sekitar 41% dari luas vegetasi hutan
mangrove. (c). Inset dari daerah dalam kotak putih dari gambar (b),
menunjukkan pola pembukaan tambak udang di wilayah delta
Mahakam.
(Sumber : Husein, 2006)
Sedangkan Gambar 2.4 menunjukkan grafik persentase perubahan tutupan lahan
yang terjadi di Delta Mahakam sejak tahun 1990 sampai tahun 2000.
13
Gambar 2.4. Perubahan lahan di wilayah Delta Mahakam sebagai dampak krisis
moneter. Perubahan paling besar terjadi pada hutan Nipah yang
berubah menjadi areal pertambakan.
(Sumber : Husein, 2006)
Hussin et al (1999) menyatakan bahwa penyebab berkurangnya hutan mangrove
di Delta Mahakam adalah:
1. Penebangan hutan mangrove untuk lahan pertanian dan perkebunan
(agriculture and orchards)
2. Penebangan hutan mangrove untuk jalur jaringan pipa minyak (pipeline
networks)
3. Penebangan hutan mangrove untuk lahan tambak udang (shrimp ponds)
Husein (2006) menyatakan bahwa pembabatan hutan mangrove di Delta
Mahakam membawa pengaruh terhadap penurunan daya dukung lingkungan
pesisir. Ada tiga dampak negatif yaitu: peningkatan laju abrasi pantai, intrusi air
laut serta penurunan potensi perikanan.
14
Semenjak tahun 1996, laju abrasi pantai di Delta Mahakam diperkirakan
mencapai 1,4 km2 per tahun. Sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya abrasi
pantai hanya 0,13 km2 per tahun (Levang, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa
akibat kerusakan hutan mangrove, laju abrasi pantai di Delta Mahakam meningkat
sekitar 10 kali lipat.
Husein (2006) juga menyatakan bahwa intrusi air laut telah masuk hingga puluhan
kilometer ke dalam daerah aliran sungai (DAS) Mahakam, terutama pada musim
kemarau. Mengakibatkan air sumur penduduk di bagian hilir terasa payau, serta
diduga menjadi penyebab berkurangnya beberapa jenis ikan air tawar di DAS
Mahakam.
Rusaknya hutan mangrove juga mengakibatkan hilangnya spawning ground,
feeding ground dan nursery ground bagi beberapa jenis biota laut, terutama ikan.
Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan produksi perikanan di perairan Delta
Mahakam dan sekitarnya (Husein, 2006).
Selain akibat aktifitas manusia, kerusakan hutan mangrove di Delta Mahakam
juga disebabkan oleh proses alami. Menurut Husein (2006), secara alamiah delta
Mahakam menghadapi naiknya muka air laut (mean sea level), yang
menyebabkan pengaruh energi dari laut semakin kuat. Hal ini dapat
mengakibatkan laju abrasi pantai yang semakin meningkat. Kenaikan muka air
laut ini disebabkan oleh dua faktor yaitu :
1. Akibat pengaruh pemanasan global
2. Akibat penurunan muka tanah.
Semenjak awal abad ke 20 diperkirakan akan terjadi kenaikan muka air laut di
kawasan Delta Mahakam sebesar 3 mm per tahun akibat pemanasan global,
sedangkan pada tahun –tahun sebelumnya kenaikan muka air laut di kawasan
tersebut hanya sebesar 0,8 mm per tahun (Tjia, 1996). Sedangkan Sutrisno dkk
(2004) menyatakan bahwa dari hasil pemodelan, kenaikan muka air laut di
kawasan Delta Mahakam adalah antara 1,5 mm – 7,5 mm per tahun dan
15
normalnya adalah 4,5 mm per tahun. Sehingga sampai tahun 2014 diperkirakan
akan terjadi pengurangan garis pantai rata-rata antara 0,18 m – 4,16 m per tahun.
Secara geologis, kawasan Delta Mahakam juga secara terus-menerus mengalami
penurunan permukaan daratan (land subsidence) dengan kecepatan sekitar 0,5 mm
per tahun (Roberts and Sydow, 2003). Hal ini antara lain disebabkan oleh struktur
tanah di kawasan Delta Mahakam yang sekitar 80 % volumenya adalah berupa
lumpur yang mudah terpadatkan. Roberts and Sydow (2003) juga menyatakan
bahwa kawasan Delta Mahakam terletak pada kawasan tektonik aktif dimana
kerak bumi masih mengalami pergerakan secara vertikal. Dari hasil analisa
geomorfologi dan sedimentologi menunjukkan bahwa proses penurunan muka
tanah tersebut diperkirakan sekitar 2,7 mm per tahun (Husein, 2000)
2.4. Pengamatan Hutan Mangrove dengan Remote Sensing
Pengamatan terhadap hutan mangrove yang telah mengalami degradasi, seperti di
wilayah Delta Mahakam, memerlukan informasi yang memadai tentang hutan
mangrove itu sendiri. Informasi tersebut haruslah cukup lengkap sehingga dapat
digunakan dalam penentuan tingkat kerusakan hutan mangrove. Selain itu
informasi tersebut juga dapat mendukung dalam melakukan monitoring terhadap
keadaan hutan mangrove yang masih tersisa, serta menentukan kebijakan untuk
menjamin kelestarian hutan mangrove.
Dalam hal ini informasi spasial tentang hutan mangrove menjadi sangat penting.
Diperlukan survey lapangan untuk mendapatkan data-data yang cukup memadai.
Namun di kawasan hutan mangrove, usaha untuk mendapatkan data dengan cara
tersebut sangat sulit dilakukan, membutuhkan banyak waktu serta biaya yang
mahal. Oleh karena itu remote sensing dapat menjadi alternatif untuk
mendapatkan data-data spasial hutan mangrove. Dalam hal ini citra satelit mampu
memberikan informasi spasial yang lebih rinci baik dari segi kekayaan informasi
obyeknya maupun dari segi kerincian geometris setiap obyek yang diukur
(Subagio, 2004).
16
Teknologi remote sensing ini biasanya memberikan kontribusi dalam bentuk
interpretasi citra dari suatu daerah. Dari interpretasi citra tersebut dapat ditentukan
karakter permukaan baik di daratan maupun perairan. Karakteristik permukaan
daratan biasanya berbentuk tutupan lahan. Menurut Wilson (2004) dalam
Mulyana dan Subagio (2005), tutupan lahan merupakan parameter biofisik yang
menentukan fungsi dari suatu ekosistem. Dengan mengetahui tutupan lahan ini
maka analisa dan evaluasi lebih lanjut dapat dilakukan.
Pada saat ini, aplikasi remote sensing dalam monitoring ekosistem mangrove
sudah banyak dilakukan. Banyak sekali data satelit yang tersedia yang dapat
digunakan untuk mengkaji ekosistem mangrove, terutama untuk pemetaan dan
klasifikasi mangrove. Bahkan pada saat ini teknologi remote sensing sudah
berkembang hingga resolusi sangat tinggi (hyperspectral), yang dapat
diaplikasikan untuk klasifikasi mangrove hingga tingkat spesies.
Untuk mengetahui total area mangrove dengan remote sensing diperlukan suatu
klasifikasi obyek yang terdapat dalam citra satelit. Proses ekstraksi data citra
satelit untuk klasifikasi obyek ini pada dasarnya hampir sama antara citra satelit
resolusi menengah (misal: Landsat, SPOT, ASTER) dengan citra satelit resolusi
tinggi (misal: IKONOS dan Quickbird). Dalam klasifikasi obyek dengan
pendekatan statistik ini terdapat beberapa algoritma. Algoritma yang biasa
digunakan dalam klasifikasi obyek dengan remote sensing misalnya adalah
minimun distance, box classifier, linear likelihood, maximum likelihood.
Tingkat akurasi dari hasil klasifikasi ini sangat penting. Akurasi hasil klasifikasi
ini biasanya ditentukan oleh ketepatan training area, sehingga pengalaman
seseorang dalam training area ini akan sangat mempengaruhi hasil klasifikasi.
Selain itu pemilihan algoritma dalam klasifikasi serta pengalaman analisa dengan
algoritma tersebut juga dapat berpengaruh terhadap akurasi hasil klasifikasi citra.
17
2.5. Total Suspended Matter dan Remote Sensing
Secara umum, total suspended matter (TSM) didefinisikan sebagai semua partikel
anorganik, phytoplankton dan detritus yang memiliki ukuran 0,45 μm-150 μm
yang terdapat dalam kolom perairan (Abu Daya. 2004). Partikel melayang
(suspended matter) tersebut dapat digolongkan sebagai bahan pencemar
(pollutant) yang terdapat pada suatu perairan. Kandungan TSM dalam perairan
dapat menentukan tingkat kualitas air pada perairan tersebut
Kandungan TSM dalam suatu perairan dapat diukur secara baik dengan
menggunakan metode optik. Namun demikian tidak mudah untuk mengkonversi
secara akurat hasil pengukuran tersebut kedalam satuan berat atau volume.
Beberapa peneliti telah menjelaskan kaitan antara suspended matter dengan nilai
reflektansi. Ritchie et al (1996) dalam Abu Daya (2004) menyatakan bahwa
suspended matter telah meningkatkan nilai radiansi dari suatu permukaan air,
terutama dalam kisaran gelombang elektromagnet visible sampai near infrared.
Selanjutnya dari hasil pengukuran laboratorium menunjukkan bahwa nilai radiansi
permukaan air dipengaruhi oleh tipe sedimen, tekstur sedimen, warna sedimen,
sudut sensor dan sudut datang matahari, serta kedalaman air (Ritchie and
Schiebe,1998 dalam Abu Daya, 2004)
Pemetaan TSM suatu perairan dengan remote sensing dapat dilakukan dengan
pendekatan statistik yang sederhana. Cara ini telah banyak dilakukan oleh banyak
peneliti. Konsep dalam pendekatan statistik ini adalah menentukan hubungan
antara konsentrasi TSM hasil pengukuran lapangan dengan digital number (DN)
tiap band dari citra satelit. Hasilnya dibandingkan dengan menggunakan linear
regression. Untuk menghasilkan statistik algoritma yang sesuai, konsentrasi TSM
harus berasal dari pengukuran lapangan yang diambil pada waktu yang sama
dengan tanggal akuisisi citra.
Setiap perairan memerlukan algoritma yang spesifik untuk memetakan TSM,
karena perbedaan lokasi dan waktu akan berdampak pada perbedaan kondisi
perairan dan sifat-sifat optik. Perbedaan tersebut bisa disebabkan oleh beberapa
18
faktor seperti fluktuasi pasang surut, gelombang, angin, aliran sungai, kandungan
sedimen dan jenis phytoplankton (Abu Daya. 2004). Algoritma yang dibangun
untuk suatu daerah tertentu tidak akan akurat bila diaplikasikan untuk daerah yang
lain.
Masalah utama berkaitan dengan penentuan konsentrasi TSM berdasarkan citra
satelit adalah kesulitan dalam menentukan ground check yang benar-benar sesuai.
Sangat sulit untuk menyesuaikan antara waktu pengukuran lapangan dengan
waktu pada saat satelit melintas. Selain itu faktor manusia dan faktor fisik juga
berpengaruh terhadap hasil pemetaan konsentrasi TSM berdasarkan citra satelit.
Faktor yang disebabkan manusia misal: pengukuran lapangan pada waktu dan
tempat yang tidak sesuai, peralatan yang tidak dikalibrasi, serta kesalahan dalam
analisa sampel air. Sedangkan faktor fisik misal: variasi dari dinamika perairan
dalam ruang dan waktu, serta kondisi meteorologi yang berbeda.