bab ii tinjauan pustaka 2.1. tuberkulosis paru 1.1....
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis Paru ialah suatu penyakit radang parenkim paru yang disebabkan
Mycobacterium tuberculosis, mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit
tuberkulosis, 20% merupakan tuberkulosis ekstrapulmonar (Djojodibroto RD. 2009).
1.1. Kuman Tuberkulosis Paru
a. Morfologi
Basil tuberkulosis berukuran sangat kecil berbentuk batang tipis, agak bengkok,
bergranular, berpasangan yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop. Panjangnya 1- 4
mikron dan lebarnya antara 0,3-0,6 mikron, dan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar
37°C dengan tingkat pH optimal (6,4-7,0) membelah diri menjadi dari 1-2 kuman yang
membutuhkan waktu 14-20 jam
( www.repository.usu.ac.id).
Kuman tuberkulosis terdiri dari lemak lebih dari 30% berat dinding kuman, asam
strearat, asam mikolik, mycosides, sulfolipid serta cord factor dan protein terdiri dari
tuberkuloprotein/tuberculin (www.repository.usu.ac.id).
2
Gambar. 1 Bakteri Mycobacterium tuberculosis pada pengecatan Ziehl Neelsen (Pasca.unhas.ac.id).
b. Fisiologi
Berdasarkan sifat metabolisme basil, terdapat 4 jenis populasi basil tuberkulosis, yaitu:
1. Populasi A, terdiri atas bakteri yang secara aktif berkembang biak dengan cepat,
terdapat pada dinding kavitas atau dalam lesi yang mempunyai pH netral.
2. Populasi B, terdiri atas bakteri yang tumbuhnya sangat lamban dan berada dalam
lingkungan pH rendah, yang melindunginya terhadap obat anti-tuberkulosis tertentu.
3. Populasi C, terdiri atas bakteri yang berada dalam keadaan dormant hampir sepanjang
waktu, sehingga jarang mengadakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang singkat.
4. Populasi D, terdiri atas bakteri yang sepenuhnya bersifat dormant sehingga sama
sekali tidak bisa dipengaruhi oleh obat-obat antituberkulosis (www.repository.usu.ac.id).
3
1.2. Patogenesis
Penderita tuberkulosis paru saat mengalami batuk, bersin atau berbicara maka droplet
nuclei (percikan sputum) akan jatuh dan menguap akibat suhu udara yang panas, sehingga
kuman tuberkulosis akan berkembang biak di udara dan berpotensi sebagai sumber infeksi.
Kuman tuberkulosis masuk melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka
pada kulit (Budiart LY, 2001).
Kuman tuberkulosis yang mencapai permukaan alveolus diinhalasi, dimana gumpalan
kuman tubekulosis yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung, bronkus, dan tidak
menyebabkan penyakit. Kuman tuberkulosis setelah mencapai permukaan alveolus, berada
bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah. Lekosit polimorfonuklear pada
bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah dan memfagosit bakteri namun
tidak membunuh organisme tersebut. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan
timbul pneumonia akut. Pneumonia selular dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak
ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau
berkembang biak di dalam sel. Kuman tuberkulosis yang menyebar melalui getah bening
menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi
panjang dan membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi limfosit. Reaksinya
membutuhkan waktu 10-20 hari (Price SA, Wilson LMC, 2005).
4
a. Gejala Penyakit
Gejala penyakit tuberkulosis dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus :
1. Gejala umum
a. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik
dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik.
b. Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau infeksi
saluran nafas akut) dapat disertai dengan keringat malam.
c. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, paling sering di daerah leher,
ketiak dan lipatan paha.
d. Gejala saluran nafas, misalnya batuk lebih dari 30 hari.
e. Gejala saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan
diare (Anonim, 2005).
2. Gejala khusus sesuai dengan bagian tubuh yang diserang, misalnya :
a. Tuberkulosis kulit atau scrofuloderma.
b. Tuberkulosis tulang dan sendi, meliputi : tulang punggung (sponditis), tulang
panggul (koksitis), tulang lutut.
c. Tuberkulosis otak dan syaraf, misalnya meningitis dengan gejala kaku kuduk,
muntah-muntah dan kesadaran menurun.
5
d. Gejala mata.
e. Conjunctivitis phiyctenularis.
f. Tuberkel koloid, terlihat dengan funduskopi (Anonim, 2005).
b. Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan berdasarkan :
1. Pemeriksaan klinis dan pemeriksaan fisik.
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto toraks pada tuberkulosis memberikan gambaran multiform, terdapat bayangan
berawan / nodular di segmen apikal, posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus
bawah (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006; Aditama TY, 2002).
3. Pemeriksaan Bakteriologi dan serologi.
Pemeriksaan bakteriologi menggunakan sputum dengan cara tiga kali pengambilan yaitu
pada saat kunjungan, pagi, sewaktu. Pemeriksaan serologi menggunakan ELISA, ICT,
Mycodot, PAP (Peroksidase Anti Peroksidase) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2006; Aditama TY, 2002; Hopewell PC, 2005).
4. Pemeriksaan penunjang lain
Pemeriksaan lainnya seperti analisa cairan pleura, pemeriksaan histopatologi jaringan,
dan pemeriksaan darah dimana LED (Laju Endap Darah) akan meningkat tetapi tidak
dapat sebagai indikator tuberkulosis paru (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
1.3. Pencegahan Penyakit Tuberkulosis
6
Pencegahan yang harus dilakukan menurut Depkes RI (2001) adalah sebagai berikut :
a. Penderita tidak menularkan kepada orang lain seperti menutup mulut pada waktu
batuk dan bersin dengan sapu tangan atau tisu, tidur terpisah dari keluarga terutama pada
dua minggu pertama pengobatan, tidak meludah di sembarang tempat, menjemur alat
tidur secara teratur setiap pagi, membuka jendela pada pagi hari, agar rumah mendapat
udara bersih dan cahaya matahari yang cukup sehingga kuman tuberkulosis paru dapat
mati.
b. Masyarakat tidak tertular dari penderita tuberkulosis paru seperti meningkatkan daya
tahan tubuh, antara lain makan-makanan bergizi, tidur dan istirahat yang cukup, tidak
merokok dan minum-minuman yang mengandung alkohol. membuka jendela dan
mengusahakan sinar matahari masuk ke ruang tidur dan ruangan lainnya, imunisasi BCG
(Bacillus Calmette Guarin) pada bayi, jika timbul batuk lebih dari tiga minggu,
menjalankan perilaku hidup sehat dan bersih.
1.4. Obat-obat Anti Tuberkulosis
Obat anti tuberkulosis dipakai di dalam P2TB (Program Penaggulangan Tuberkulosis)
nasional yaitu :
a. Isoniazid (H) atau INH bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman
dalam hari pertama pengobatan. Isoniazid biasanya diberikan dalam dosis tunggal per
oral per hari, dengan dosis 5 mg/kgBB. Efek samping umum dari INH berhubungan
7
dengan hepatitis. Efek samping ringan yang paling banyak terjadi adalah neuritis perifer.
Efek samping lain adalah reaksi hipersensitivitas berupa demam, reaksi hematologik,
arthritis, dan kelainan kulit (Departemen Kesehatan RI, 2002; Idris Fahmi. 2004). INH
segera
diabsorpsi dari saluran pencernaan. INH berdifusi ke dalam seluruh cairan tubuh dan
jaringan. Konsentrasi di susunan saraf pusat dan cairan serebrospinal kurang lebih 1/5
dari kadar plasma. Kadar obat di intra selular dan ekstraselular. Metabolisme INH berada
di bawah kontrol gen. INH dieskresikan terutama dalam urin. INH berkaitan dengan
hepatotoksisitas. Uji fungsi hati abnormal, penyakit kuning, dan nekrosis multilobular
(Katzung. G Bertram, 2007)
b. Rifampisin (R), bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi dormant (persisten)
yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid. Obat ini biasanya diberikan sehari sekali satu
jam atau dua jam setelah makan. Efek samping yang sering ditimbulkan kemerahan pada
kulit, demam, mual, dan muntah. Efek samping yang berat adalah penyakit hati dan
hepatotoksik. Rifampisin 85-90% diekskresikan melalui hati ke dalam empedu,
kemudian mengalami resirkulasi dalam tinja dan sebagian melalui urin, bekerja secara
sinergis dengan Isoniazid (INH). Penderita dengan kelainan hepar akan ditemukan kadar
rifampisin serum yang lebih tinggi. Rifampisin akan menginduksi sistem enzim sitokrom
P 450 yang akan terus berlangsung hingga 7–14 hari setelah obat dihentikan. Rifampisin
menginduksi enzim yang memetabolisme obat di mikrosom hati (Idris Fahmi, 2004;
Departemen Kesehatan RI, 2002; Katzung. G Bertram, 2007 ).
8
c. Streptomisin (S), bersifat bakteriostatik dan bakteriosid. Dosis harian yang dianjurkan
15 mg/kgBB. Resiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan
dosis yang digunakan dan umur penderita.
Kerusakan alat keseimbangan biasanya terjadi pada 2 bulan pertama dengan tanda-tanda
telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat
dipulihkan jika obat dihentikan atau dosis dikurangi 0,25 gr (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2002).
d. Pirazinamid (Z), bersifat sebagai tuberkulostatik. Dosis harian yang dianjurkan 25
mg/kgBB. Pirazinamid diabsorbsi dengan baik dari saluran cerna dan distribusikan
secara meluas ke seluruh jaringan tubuh. Basil tuberkel yang resisten terhadap obat ini
berkembang dengan cepat, tetapi tidak ada resistensi silang dengan isoniazid atau obat-
obat antimikrobakeri lain. Efek samping yang ditimbulkan adalah hepatitis,
hiperuresemia, mual, muntah, dan kadang-kadang terjadi reaksi hipersensitifitas
misalnya demam, kemerahan pada kulit (Idris Fahmi, 2004; Katzung G Bertram, 2007).
c. Ethambutol (E), bersifat tuberkulostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15-25 mg/kgBB.
Efek samping yang ditimbulkan adalah neuritis optik, yaitu gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman penglihatan atau buta warna untuk warna merah dan hijau, yang
akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2002).
2. Darah Rutin
9
2.1. Hemoglobin
Hemoglobin adalah kompleks protein-pigmen yang mengandung zat besi. Kompleks
tersebut berwarna merah dan terdapat di dalam eritrosit. Sebuah
molekul hemoglobin memiliki empat gugus heme yang mengandung besi fero dan empat
rantai globin. Hemoglobin merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah.
Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah. Fungsi hemoglobin
dalam tubuh adalah sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah, mengatur
pertukaran oksigen dengan karbon dioksida dalam jaringan tubuh, dan mengatur oksigen dari
paru-paru untuk dibuang (Brooker, 2001; Sodikin M, 2002).
Penurunan kadar hemoglobin setelah pengobatan bersifat sementara yang diakibatkan
adanya hemolisis. Nilai normal hemoglobin pada laki-laki adalah 13,2-17,3 g/dl, perempuan
adalah 11,7-15,5 g/dl (http://www.pustaka.unpad.ac.id; Perhimpunan dokter spesialis patologi
klinik Indonesia, 2004).
2.2. Lekosit
Lekosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Lekosit
terdiri dari dua golongan utama, yaitu agranular dan granular. Lekosit agranular mempunyai
sitoplasma yang tampak homogen, dan intinya berbentuk bulat atau berbentuk ginjal. Lekosit
granular mengandung granula spesifik (yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah
10
cair) dalam sitoplasmanya dan mempunyai inti yang memperlihatkan banyak variasi dalam
bentuknya. 2 jenis leukosit agranular yaitu; limfosit yang terdiri dari sel-sel kecil dengan
sitoplasma sedikit, dan monosit yang terdiri dari sel-sel yang agak besar dan mengandung
sitoplasma lebih banyak. Jenis lekosit granular ada 3 yaitu neutrofil, basofil, dan eosinofil
(Effendi Z, 2003).
Peranan lekosit dalam tubuh sebagai pertahanan seluler dan humoral organisme
terhadap zat-zat asing. Penurunan lekosit/lekopeni efek tuberkulosis yang disebabkan oleh
obat isoniazid, rifampisin, streptomisin (Effendi Z, 2003; Fleming AF. Silva PS, 2003).
Nilai normal lekosit pada laki-laki adalah 3800-10.600 /ul, perempuan adalah 3.600-
11.000 /ul (Perhimpunan dokter spesialis patologi klinik Indonesia, 2004).
2.3. Hitung Jenis Sel Leukosit
a. Basofil
Basofil jumlahnya 0-1% dari leukosit darah, ukuran garis tengah 12um, inti satu,
besar bentuk pilihan ireguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil terisi granul yang
lebih besar, dan seringkali granul menutupi inti, granul bentuknya ireguler berwarna
metakromatik, dengan campuran jenis Romanvaki tampak lembayung
(http://www.brary.usu.ac.id).
11
Basofil mempunyai kemampuan yang sangat kuat untuk mengikat IgE, berkat adanya
molekul profin reseptor (pengikat) IgE dipermukaan membran. Basofil berperan dalam
keadaan alergi/peradangan (Sodikin M, 2002).
b. Eosinofil
Jumlah eosinofil hanya 1-3 % leukosit darah, mempunyai garis tengah 9 um (sedikit
lebih kecil dari neutrofil). Inti biasanya berlobus dua, Retikulum endoplasma mitokonria dan
apparatus Golgi kurang berkembang. Eosinofil mempunyai granula ovoid yang dengan eosin
asidofkik, granula adalah lisosom yang mengandung fosfatae asam, katepsin, ribonuklase,
tapi tidak mengandung
lisosim. Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid, dan mampu melakukan fagositosis, lebih
lambat tapi lebih selektif dibanding neutrifil. Eosinofil memfagositosis komplek antigen dan
anti bodi, merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan fagositosis selektif terhadap komplek
antigen dan antibodi. Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga berperan
mempertahankan darah dari pembekuan, khususnya bila keadaan cairnya diubah oleh proses-
proses patologi. Kortikosteroid akan menimbulkan penurunan jumlah eosinofil darah dengan
cepat (http://www.brary.usu.ac.id).
12
Eosinofil meningkat setelah pengobatan tuberkulosis merupakan respon alergi yang
dtimbulkan oleh obat tuberkulosis yang ditandai dengan demam, berkeringat, dan malaise
(Fleming AF. Silva PS, 2003).
c. Netrofil
Neutrofil berkembang dalam sumsum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi, Garis
tengah sekitar 12 um, satu inti dan 2-5 lobus. Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-
granula spesifik (0,3-0,8um) mendekati batas resolusi optik, berwarna salmon pink oleh
campuran jenis romanovky. Granul pada neutrofil ada dua yaitu neutrofil batang dengan nilai
normal 2-6 % dan netrofil segment dengan nilai normal 50-70 %. Granula spesifik lebih kecil
mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein kationik) yang dinamakan
fagositin. (http://www.brary.usu.ac.id)
Netofilia atau peningkatan jumlah netrofil pada infeksi tuberkulosis. Netrofilia
disebabkan oleh reaksi imunologis dengan mediator sel limfosit T, membaik setelah
pengobatan tuberkulosis. Netropeni atau penurunan jumlah
netofil merupakan bagian dari anemi dan disebabkan karena fibrosis atau disfungsi sumsum
tulang atau sekuestrasi di limpa. Defisiensi folat dan vitamin B12 dapat menyebabkan
netropeni (http://www.pustaka.unpad.ac.id).
d. Limfosit
13
Limfosit merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8um, 20-40% leukosit darah.
Normal, inti relatif besar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, anak inti
baru terlihat dengan electron mikroskop. Sitoplasma sedikit sekali, sedikit basofilik,
mengandung granula-granula azurofilik. Limfosit berwarna ungu dengan Romonovsky
mengandung ribosom bebas dan poliribisom. Limfosit mempunyai fungsi penting dalam
mekanisme pertahanan/imunitas spesifik terhadap benda asing(http://www.brary.usu.ac.id;
Sodikin M, 2002).
Peningkatan limfosit atau limfositosis merupakan respon imun normal di dalam darah
dan jaringan limfoid terhadap tuberkulosis. Respon ini menimbulkan limfadenopati dan
peningkatan limfosit dalam sirkulasi. Limfositosis merupakan proses penyembuhan
tuberculosis. Limfopeni atau penurunan limfosit menunjukkan proses tuberkulosis yang aktif.
Tuberkulosis yang aktif menyebabkan penurunan total limfosit T akibat penurunan sel T4. Sel
T8 tidak mengalami perubahan secara konsisten. Sel B total juga menurun. Pengobatan
tuberkulosis yang berhasil, memperbaiki jumlah sel-sel tersebut menjadi normal (Oyer RA,.
Schlossberg D, 2004; http://www.pustaka.unpad.ac.id).
e. Monosit
Monosit merupakan sel leukosit yang besar 2-6% dari jumlah leukosit normal,
diameter 9-10 um tapi pada sediaan darah kering diameter mencapai 20
um, atau lebih. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda.
Kromatin kurang padat, susunan lebih fibriler, merupakan sifat tetap monosit. Sitoplasma
14
relatif banyak dengan pulasan wrigh berupa abu-abu pada sajian kering. Monosit tergolong
fagositik mononuclear (system retikuloendotel) dan mempunyai tempat-tempat reseptor pada
permukaan membrannya,untuk imunoglobulin dan komplemen (http://www.brary.usu.ac.id)
Monosit berperan penting dalan respon imun pada infeksi tuberkulosis. Monosit
berperan dalam reaksi seluler terhadap bakteri tuberkulosis. Fosfolipid mikobakterium
tuberkulosis mengalami degradasi dalam monosit dan makrofag yang menyebabkan
transformasi sel-sel tersebut menjadi sel epiteloid. Monosit merupakan sel utama dalam
pembentukan tuberkel. Aktivitas pembentukan tuberkel ini dapat tergambar dengan adanya
monositosis dalam darah. Monositosis dianggap sebagai petanda aktifnya penyebaran
tuberkulosis. Fase penyembuhan, jumlah monosit menurun atau normal (Lichtman MA,
2001).
2.4. LED (Laju Endap Darah)
Laju endap darah (LED) adalah kecepatan pengendapan eritrosit, oleh karena itu
untuk mengukurnya diperlukan darah dengan anti koagulan. Ada 2 cara pemeriksaan LED
yaitu cara Wintrobe dan cara Westergren (http://www.static.schoolrock.com).
Fungsi pemeriksaan LED untuk membantu mendiagnosis perjalanan penyakit dan
membantu keberhasilan terapi kronik, misal tuberkulosis (Sodikin M, 2002).
15
Nilai normal LED pada laki-laki adalah 0-10 mm, perempuan adalah 0-20 mm
(Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Indonesia, 2004).
3. Hati
Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, letaknya sebagian besar di region
hipokondrika dekstra, epigastrika dan sebagian kecil di hipokondrika sinistra. Bentuknya
menyerupai pahat yang menghadap kiri. Berat pada pria dewasa antara 1,4-1,6 kg (1/36 berat
badan), pada wanita dewasa antara 1,2-1,4 kg. ukuran normal pada dewasa : panjang kanan-
kiri 15 cm, tinggi bagian kanan (ukuran superior-inferior) : 15-17 cm, tebal (ukuran
anteroposterior) setinggi ren dekstra : 12-15 cm. warna permukaan coklat kemerahan. Hati
mempunyai 5 permukaan yaitu fasies superior, fasies dekstra, fasies anterior, fasies posterior,
dan fasies inferior (Sulaiman Ali dkk, 2007).
Gambar. 2 Anatomi Hati (http://www.stikes-mataram.ac.id)
16
3.1. Fungsi Hati
a. Pembentukan dan ekskresi empedu yaitu metabolisme garam dan metabolisme
pigmen empedu. Garam empedu berfungsi sebagai pencernaan, absorpsi lemak dan
vitamin yang larut dalam lemak di dalam usus. Bilirubin, pigmen empedu, merupakan
hasil akhir metabolisme dari penghancuran sel darah merah tua. Bilirubin dikonjugasi
dalam hati dan diekresikan dalam empedu (Price SA, Wilson LM, 2003).
b. Metabolisme karbohidrat (glikogenesis, glikogenolisis, glukoneogenesis) Hati
memegang peranan penting dalam mempertahankan kadar glukosa darah normal dan
penyediaan energi untuk tubuh. Karbohidrat disimpan dalam hati sebagai glikogen (Price
SA, Wilson LM, 2003).
c. Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin.
Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K (http://www.stikes-
mataram.ac.id).
d. Metabolisme protein meliputi sintesis protein, pembentukan urea, dan penyimpanan
protein berupa asam amino (Price SA, Wilson LM, 2003).
e. Fungsi hati sebagai detoksikasi
Hati adalah pusat detoksikasi tubuh, Proses detoksikasi terjadi pada proses oksidasi,
reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam bahan seperti zat
racun, obat over dosis (Hall Guyton, 2000).
17
f. Metabolisme lemak, hati memegang peranan utama pada sintesis kolesterol, sebagian
diekskresikan dalam empedu sebagai kolesterol atau asam folat (Price SA, Wilson LM,
2003).
g. Metabolisme steroid, hati mengekskresikan aldosteron, glukortikoid, estrogen,
progreteron, dan testosterone (Price SA, Wilson LM, 2003).
h. Fungsi hemodinamik
Hati menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal ± 1500 cc/
menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam arteri hepatica ± 25%
dan di dalam vena porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke hepar
dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini berubah
cepat pada waktu exercise, terik matahari, shock. Hepar merupakan organ penting untuk
mempertahankan aliran darah (Guyton Hall, 2000).
i. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan
koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X.
Benda asing menusuk kena pembuluh darah – yang beraksi adalah faktor ekstrinsi, bila
ada hubungan dengan katup jantung – yang beraksi adalah faktor intrinsik.Fibrin harus
isomer biar kuat pembekuannya dan ditambah dengan faktor XIII, sedangkan Vitamin K
dibutuhkan untuk pembentukan protrombin dan beberapa faktor koagulasi (Guyton Hall,
2000).
18
3.2. Bilirubin
Bilirubin merupakan hasil akhir dari katabolisme eritrosit. Eritrosit yang dihancurkan
oleh makrofag akan melepaskan hemoglobin. Hemoglobin mengalami degradasi menjadi
heme dan globin dalam sistem retikulo endotelial (limpa). Heme kemudian diubah menjadi
unconjugated/indirect bilirubin
(bilirubin tidak terkonjugasi). Bilirubin ini terikat albumin kemudian masuk ke dalam hati
dan mengalami konjugasi dengan asam glukuronat menjadi conjugated/direct bilirubin
(bilirubin terkonjugasi). Bilirubin total serum merupakan penjumlahan dari bilirubin
terkonjugasi dengan bilirubin tidak terkonjugasi. Fungsi bilirubin sebagai penanda penurunan
konjugasi hepatik dan penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu (Sulaiman A. dkk,
2007).
Bilirubin total akan meningkat bila ada kerusakan hati dan sebagian dari bilirubin
total termetabolisme, bagian ini disebut sebagai bilirubin langsung atau bilirubin direct.
Bilirubin direct meningkat penyebabnya di luar hati. Bilirubin langsung atau direct adalah
rendah sementara bilirubin total tinggi hal ini menunjukkan kerusakan pada hati atau pada
saluran cairan empedu (Kee JLF, 2007)
Nilai normal atau nilai rujukan dari bilirubin total adalah 1,1 mg/dl; direct bilirubin
adalah 0,25 mg/dl (Rajawali Nusindo Diagnostic).
3.3. SGPT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase)
SGPT adalah suatu enzim yang ditemukan pada jaringan hati, jantung, otot dan ginjal.
Kadar tertinggi terdapat pada jaringan hati, sedangkan di jantung, otot dan ginjal enzim
SGPT dengan kadar relatif rendah. Konsentrasi SGPT yang tinggi dari SGOT, dengan
19
demikian SGPT memiliki spesifisitas yang relatif tinggi untuk kerusakan hati (Sulaiman A.
dkk, 2007; Sacher RA., Mc Pherson RA, 2004).
Enzim merupakan molekul protein yang mengatalisis reaksi kimia tanpa mengalami
perubahan secara kimiawi. Enzim mengatur metabolisme pada semua
fungsi sel. Enzim terdapat di dalam sel, adanya peningkatan jumlah suatu enzim dalam serum
atau plasma merupakan konsentrasi dari cedera sel sehingga molekul-molekul intrasel dapat
lolos keluar.
Enzim esensial terdapat pada hampir semua organ, tetapi memiliki bentuk-bentuk
yang berbeda yang disebut isoenzim. Peningkatan kadar suatu enzim di serum dan penentuan
isoenzim tidak dapat dilakukakn pola kelainan enzim atau biokimiawi lain yang sering
digunakan untuk mendiagnosa tampat kerusakan organ, menegakkan diagnosis. Pengukuran
enzim secara serial diterapkan untuk memantau suatu penyakit (Sacher RA. Mc Pherson RA,
2004).
Peranan enzim SGPT pada tubuh sebagai penanda kerusakan hepatoselular. Efek
samping dari pengobatan tuberkulosis menyebabkan gangguan hati pada penderita
tuberkulosis yang ditandai dengan peningkatan SGPT. Peningkatan kadar SGPT apabila
hepatosit mengalami cedera, Enzim yang secara normal berada intrasel masuk ke dalam
aliran darah (Sacher RA. Mc Pherson RA, 2004; Tobias. A Sherman., 2004).
Nilai normal atau nilai rujukan dari enzim SGPT adalah laki-laki 9–42 U/I,
perempuan 9-32 U/I (Rajawali Nusindo Diagnostic).
3.4. GGT (Gamma Glutamiltransferase)
20
GGT mengatalisis pemindahan gugus-gugus glutamil antara peptida atau asam amino
melalui ikatan pada gugus karboksil gama. GGT terdapat di hati, ginjal, dan pankreas
(Sulaiman A. dkk, 2007; Sacher RA., Mc Pherson RA, 2004).
Kerusakan hepatoselular dapat menyebabkan pengeluaran GGT dalam jumlah sedang.
Hepatotoksisitas menyebabkan peningkatan GGT. Peningkatan
GGT disebabkan oleh penginduksi sintesis enzim hati yang memiliki efek sekunder
meningkatkan GGT serum yang bocor dari sel hati karena tingginya kadar intrasel. Fungsi
GGT dalam tubuh sebagai penanda patologi hati (Sacher RA., Mc Pherson RA, 2004).
Nilai normal atau nilai rujukan dari GGT adalah laki-laki 11-61 U/I, perempuan 9-39
U/I (Rajawali Nusindo Diagnostic).
3.5. Metabolisme Obat pada Hati
Sistem utama metabolisme obat dalam fraksi mikrosom sel hati (retikulum
endoplasma halus). Enzim yang dihubungkan merupakan fungsi campuran mono-oksigenase,
c-reduktase sitikrom, dan P450 sitokrom. NADPH direduksi dalam cairan sel yang
merupakan kofaktor. Reaksi metabolisme obat fase I mencakup pengubahan alkohol menjadi
asetaldehid oleh alkohol dehidrogenase yang terutama ditemukan dalam fraksi sitosol.
Metabolisme sistem enzim obat diinduksi secara tidak spesifik, sehingga meningkatkan
oksidasi obat. Zat penginduksi meningkatkan aktivitas enzim pemetabolisme obat dengan
depresi sintesis protein genom yang menyebabkan peningkatan produksi enzim yang
mencakup barbiturat, alkohol, obat anastesi, obat hipoglikemi dan anti konvulsan,
griseofulvin, rifampisin, glutetimid, fenilbutazon, dan meprobamat. Pembesaran hati setelah
terapi obat dapat dihubungkan ke induksi enzim penghambat. Sistem enzim mencakup para-
amino-salisilat. Fase II mencakup biotransformasi yang melibatkan konjugasi obat atau
21
metabolisme obat dengan molekul obat dan molekul endogen yang kecil (Sherlock S. Petrus
A, 2000).
Rifampisin 85-90% dimetabolisme di hati dan metaboli aktifnya diekskresikan melalui urine
dan saluran cerna, bekerja secara sinergis dengan INH. Penderita dengan kelainan hati akan
ditemukan kadar rifampisin serum yang lebih tinggi. Rifampisin akan menginduksi sistem
enzim sitokrom P450 yang akan terus berlangsung hingga 7–14 hari setelah obat dihentikan.
Efek hepatotoksik dipengaruhi oleh dosis yang digunakan, dan proses metabolisme obat
dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, lingkungan dalam lambung dan penyakit hati
(Vernon AA, 2004).
4. Kerangka Teori
a.
1.
22
1.
5. Kerangka Konsep