bab ii tinjauan pustaka a. nomophobiaeprints.mercubuana-yogya.ac.id/5062/3/bab ii.pdf · king,...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Nomophobia
1. Pengertian Nomophobia
Yildirim dan Correia (2015) mendefinisikan nomophobia adalah rasa takut
berada diluar kontak ponsel dan dianggap sebagai fobia modern sebagai efek
samping dari interaksi antara manusia, teknologi informasi dan komunikasi
khususnya smartphone. Nomophobia merupakan singkatan dari no mobile phone
phobia, dikenal pada tahun 2008 dan telah didefinisikan sebagai “ketakutan
apabila berjauhan dengan telepon genggam” (Securenvoy, 2012). Istilah
nomophobia digunakan pertama kalinya dalam suatu penelitian yang
diselenggarakan oleh United Kingdom Post Office pada tahun 2008, bertujuan
untuk meneliti kecemasan yang diderita pengguna mobile phone (Securenvoy,
2012).
King, Valenca dan Nardi (2010) mendefinisikan nomophobia adalah
sebuah gangguan pada abad ke-21 yang ditandai adanya ketidaknyamanan atau
kecemasan ketika berada jauh dari mobile phone (MP) atau perangkat komputer.
Dalam studi berikutnya, King, Valenca, Silva, Baczynski, Carvalho dan Nardi
(2013) mendefinisikan nomophobia merupakan gangguan/perilaku menyimpang
zaman modern yang hanya menggambarkan ketidaknyamanan atau kecemasan
yang diakibatkan tidak tersedianya mobile phone (MP), perangkat komputer,
ataupun alat komunikasi virtual lainnya pada individu yang terbiasa
12
menggunakannya. Nomophobia adalah jenis fobia yang ditandai ketakutan
berlebihan jika seseorang kehilangan ponselnya. Orang yang menderita
nomophobia selalu hidup dalam kekhawatiran dan selalu merasa cemas dalam
meletakkan ponselnya, sehingga selalu membawanya kemanapun individu
tersebut pergi. Pada penelitian terbarunya, King, Valenca, Silva, Sancassiani,
Machado dan Nardi (2014) mendefinisikan nomophobia adalah ketakutan di era
modern, yang terjadi ketika tidak dapat berkomunikasi melalui mobile phone
(MP) atau internet. Istilah nomophobia yang dimaksud mengacu pada kumpulan
perilaku atau gejala yang berhubungan dengan penggunaan mobile phone.
Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan mengenai pengertian nomophobia
dalam penelitian ini mengacu pada pengertian menurut Yildirim dan Correia
(2015) yakni nomophobia adalah perasaan takut berada di luar kontak ponsel dan
dianggap sebagai fobia modern sebagai efek samping dari interaksi antara
manusia, teknologi informasi dan komunikasi khususnya smartphone.
2. Aspek–aspek dan Ciri-ciri Nomophobia
Dalam penelitian ini, aspek nomophobia mengacu pada aspek nomophobia
menurut Yildirim dan Correia (2015) yang menjelaskan nomophobia memiliki
empat aspek, yakni:
a. Perasaan tidak bisa berkomunikasi
Aspek ini berhubungan dengan adanya perasaan kehilangan ketika
secara tiba-tiba terputus komunikasi dengan orang lain atau tidak dapat
menggunakan layanan pada smartphone di saat tiba-tiba membutuhkan
komunikasi.
13
b. Kehilangan konektivitas
Aspek kedua ini, berhubungan dengan perasaan kehilangan
konektivitas ketika tidak dapat terhubung dengan layanan pada
smartphone dan tidak dapat terhubung pada identitas sosial, khususnya di
media sosial.
c. Perasaan tidak bisa mengakses informasi
Aspek ini mengambarkan perasaan ketidaknyamanan ketika tidak
dapat mengambil atau mencari informasi melalui smartphone. Hal tersebut
dikarenakan smartphone menyediakan kemudahan dalam mengakses
informasi. Semua informasi disebar melalui media sosial, ketika
smartphone tidak dapat digunakan maka aliran informasi yang diterima
orang tersebut juga terganggu. Hal tersebut dapat membuat sebagian
orang menjadi panik atau cemas.
d. Menyerah pada kenyamanan
Aspek terakhir berhubungan dengan perasaan nyaman saat
menggunakan smartphone dan keinginan untuk memanfaatkan
kenyamanan dalam smartphone tersebut.
Bragazzi dan Puente (2014) memaparkan beberapa ciri-ciri nomophobia,
yaitu:
a. Menghabiskan waktu menggunakan telepon genggam, mempunyai satu
atau lebih gadget dan selalu membawa charger.
14
b. Merasa cemas dan gugup ketika telepon genggam tidak tersedia dekat atau
tidak pada tempatnya. Selain itu juga merasa tidak nyaman ketika ada
gangguan atau tidak ada jaringan serta saat baterai lemah.
c. Selalu melihat dan mengecek layar telepon genggam untuk mencari tahu
pesan atau panggilan masuk.
d. Tidak mematikan telepon genggam dan selalu sedia 24 jam, selain itu saat
tidur telepon genggam diletakkan di kasur.
e. Kurang nyaman berkomunikasi secara tatap muka dan lebih memilih
berkomunikasi menggunakan teknologi baru.
f. Biaya yang dikeluarkan untuk telepon genggam besar.
Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan bahwa menurut pendapat
Yildirim dan Correia (2015) nomophobia memiliki empat aspek, yakni perasaan
tidak bisa berkomunikasi, kehilangan konektivitas, perasaan tidak bisa mengakses
informasi dan menyerah pada kenyamanan. Bragazzi dan Puente (2014)
memaparkan ciri-ciri nomophobia diantaranya menghabiskan waktu
menggunakan telepon genggam, mempunyai satu atau lebih gadget dan selalu
membawa charger, merasa cemas dan gugup ketika telepon genggam tidak
tersedia dekat atau tidak pada tempatnya, selalu melihat dan mengecek layar
telepon genggam untuk mencari tahu pesan atau panggilan masuk, tidak
mematikan telepon genggam dan selalu sedia 24 jam, kurang nyaman
berkomunikasi secara tatap muka, dan biaya yang dikeluarkan untuk telepon
genggam besar.
15
Dalam penelitian ini mengacu pada aspek-aspek nomophobia menurut
Yildirim dan Correia (2015). Penggunaan aspek tersebut dalam penelitian ini,
dikarenakan aspek tersebut sesuai dengan aspek pada alat ukur yang akan
digunakan untuk mengetahui nomophobia pada dewasa awal.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Nomophobia
Faktor-faktor yang mempengaruhi nomophobia mengacu pada hasil
penelitian Villar, Grau dan Colet (2017) yang mengungkapkan faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi nomophobia yaitu:
a. Ekstraversi
Eysenck (dalam Fatmawati, 2017) menjelaskan ekstraversi adalah
individu yang secara umum mudah bersosialisasi, aktif, dan ramah, mereka
juga dianggap memiliki keterangsangan otak yang relatif berada pada tingkat
yang lebih rendah dan cenderung mencari stimulasi. Ekstraversi menurut
Mcrae dan Costa (dalam Pervin & John, 2001) merupakan tipe kepribadian
yang mengukur jumlah dan intensitas interaksi interpersonal, tingkat
aktivitas, kebutuhan untuk didukung, kemampuan untuk berbahagia.
Ekstraversi pada umumnya suka mengambil risiko, impulsif dan sangat
membutuhkan kegembiraan. Ekstraversi lebih rentan terhadap masalah
penggunaan telepon genggam dengan alasan bahwa mereka lebih cenderung
mencari situasi sosial. Interaksi sosial dan keinginan untuk bersosialisasi yang
merupakan ciri kepribadian ini dan mobile phone merupakan perangkat yang
memiliki kegunaan sebagai alat komunikasi sehingga masuk akal jika
ekstraversi dan nomophobia saling berkaitan dengan erat (Villar dkk, 2017).
16
b. Self esteem
Self esteem adalah evaluasi yang relatif stabil yang membuat
seseorang mempertahankan dirinya sendiri, dan cenderung menjadi penilai
diri. Self estem berkaitan dengan pandangan diri dan identitas diri. Orang-
orang dengan pandangan diri buruk atau negatif memiliki kecenderungan
yang besar untuk mencari kepastian, telepon genggam memberikan
kesempatan setiap orang untuk bisa dihubungi kapan saja dari sinilah tidak
mengherankan jika orang-orang dalam mengunakan telepon genggam secara
tidak tepat atau berlebihan (Bianchi & Philip, 2005).
c. Conscientiousness
Conscientiousness menggambarkan seseorang yang cenderung teratur,
berhati-hati, dapat diandalkan, bertanggung jawab, pekerja keras, tepat waktu,
dan mampu bertahan. Individu ini memiliki motivasi untuk menyelesaikan
tugas atau pekerjaannya dan mendapatkan skor atau nilai tertinggi (Cloninger
dalam Stephanie & Pristinella, 2014). Individu dengan conscientiousness
yang tinggi adalah orang yang disiplin dan terorganisir sehingga orang
dengan kepribadian conscientiousness mampu mengatur waktu dalam
menggunakan telepon selulernya (Stephanie & Pristinella, 2014).
Berdasarkan hal ini, orang dengan conscientiousness yang tinggi cenderung
untuk tidak mengalami nomophobia.
d. Kestabilan emosi
Sejumlah peneliti juga telah menetapkan hubungan negatif antara
stabilitas emosional dengan permasalahan penggunaan mobile phone,
17
pendapat tersebut didasari dengan alasan bahwa komunikasi tidak langsung
yang disediakan oleh mobile phone dapat menyebabkan orang dengan
neurotis untuk meninjau isi pesan mereka dan dengan demikian merasa lebih
nyaman (Guzman, dalam Villar dkk, 2017).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor yang
mempengaruhi nomophobia adalah ekstraversi, self esteem, conscientiousness,
dan kestabilan emosi. Lebih lanjut ekstraversi merupakan salah satu jenis
kepribadian, maka peneliti memilih kepribadian ekstraversi sebagai variabel bebas
pada penelitian ini. Pemilihan tersebut didukung beberapa hasil penelitian
sebelumnya yang telah mengindikasikan adanya dugaan mengenai hubungan
antara kepribadian dengan nomophobia. Bianchi dan Philips (dalam Prasetyo &
Ariana, 2016) menunjukkan hubungan antara ekstraversi yang tinggi, kecemasan
tinggi dengan ketakutan dan perilaku penyalahgunaan telepon genggam. Takao,
Takahashi dan Kitamura (dalam Prasetyo & Ariana, 2016) juga menambahkan,
ciri-ciri kepribadian adalah prediktor psikologis penggunaan smartphone
bermasalah.
B. Kepribadian Ekstraversi
1. Pengertian Kepribadian Ekstraversi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) kepribadian berasal dari
kata pribadi yang bermakna manusia sebagai perseorangan diri manusia atau diri
sendiri. Pribadi juga bisa bermakna keadaan manusia sebagai perseorangan,
keseluruhan sifat-sifat yang merupakan watak orang. Kepribadian adalah
18
karakteristik dinamik dan terorganisasi dari seorang individu yang mempengaruhi
kognisi, motivasi dan perilakunya. Kepribadian bersifat unik dan konsisten
sehingga dapat digunakan untuk membedakan antara individu satu dengan lainnya
(Feist & Feist, 2005). Menurut Eysenck, kepribadian merupakan keseluruhan pola
tingkah laku aktual maupun potensial dari organisme yang ditentukan oleh
keturunan dan lingkungan. Eysenck (dalam Burger, 2011) membagi unsur-unsur
kepribadian kedalam berbagai unit yang dapat diatur secara hirarki. Kepribadian
sebagai organisasi memiliki empat tingkatan hirarki yang berturut-turut dari
hirarki tinggi ke rendah yaitu, tipe – trait – habit – respon spesifik (Alwisol,
2009).
Eysenck mengembangkan kepribadian menjadi ekstraversi dan introversi
yang sebelumnya dikembangankan oleh Jung. Menurut Eysenck (dalam Burger,
2011) ekstraversi adalah kombinasi sifat impulsif, aktif, bersemangat dan
bergairah, yang dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan individu dalam merespon
(habitual respon) suatu hal. Eysenck (dalam Fatmawati, 2017) juga menjelaskan
ekstraversi adalah individu yang secara umum mudah bersosialisasi, aktif, dan
ramah, mereka juga dianggap memiliki keterangsangan otak yang relatif berada
pada tingkat yang lebih rendah dan cenderung mencari stimulasi. Ekstraversi
dicirikan dengan perilaku seperti antusiasme yang tinggi, senang bergaul, enerjik,
tertarik dengan banyak hal, ambisius, pekerja keras dan ramah dengan orang lain
serta dominan dalam lingkungannya. Individu yang memiliki skor tinggi pada tipe
ini cenderung mampu bersosialisasi, aktif, suka bicara, berorientasi pada
hubungan dengan manusia, optimis, menyukai kegembiraan dan setia. Sebaliknya,
19
individu yang memiliki skor rendah cenderung pendiam, tenang, tidak gembira,
menyendiri, berorientasi tugas, pemalu dan pendiam.
Ekstraversi menurut Mcrae dan Costa (dalam Pervin & John, 2001)
merupakan tipe kepribadian yang mengukur jumlah dan intensitas interaksi
interpersonal, tingkat aktivitas, kebutuhan untuk didukung, kemampuan untuk
berbahagia. Menurut Goldberg (dalam John & Srivastava, 1999) ekstraversi
merupakan suatu intensitas interaksi intrapersonal dalam tingkat aktivitas
seseorang. Menurut ahli lain, Jung (dalam Suryabrata, 2015) mengatakan orang
yang memiliki kepribadian ekstraversi adalah orang yang perhatiannya diarahkan
ke luar dari dirinya. Orang dengan tipe ekstraversi terutama dipengaruhi oleh
dunia obyektif, yaitu dunia diluar dirinya. Orientasinya terutama tertuju keluar,
pikiran, perasaan serta tindakan-tindakannya terutama ditentukan oleh
lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan non sosial. Orang
yang ekstraversi bersikap positif terhadap masyarakat, hatinya terbuka, mudah
bergaul, memiliki hubungan dengan orang lain yang lancar.
Dapat disimpulkan bahwa kepribadian ekstraversi dalam penelitian ini
mengacu pada pengertian ekstraversi menurut Eysenck (dalam Fatmawati, 2017)
yakni kepribadian ekstraversi adalah kepribadian dengan ciri individu yang
mudah bersosialisasi, aktif, ramah, memiliki keterangsangan otak yang relatif
berada pada tingkat yang lebih rendah dan cenderung mencari stimulasi.
2. Aspek-aspek Kepribadian Ekstraversi
Menurut Eysenck dan Wilson (dalam Retnowati & Haryanthi, 2001)
aspek-aspek yang mendasari kepribadian ekstraversi diantaranya:
20
a. Activity
Individu dengan tipe kepribadian ekstraversi cenderung aktif secara fisik,
bersemangat, suka bekerja keras, bergerak cepat dari satu aktviitas ke
aktivitas lainnya dan memiliki minat terhadap banyak hal.
b. Socialability
Individu dengan tipe kepribadian ekstraversi cenderung suka berkumpul
dengan orang banyak, senang terhadap kontak sosial, merasa senang
dengan situasi-situasi ramah tamah, mudah bergaul dan bergembira.
Sosiabel secara garis besar adalah orang yang bersedia untuk berbicara,
membentuk hubungan dan terlibat dalam kegiatan dengan orang lain
(Leach dkk, 2007).
c. Risk-taking
Individu dengan tipe kepribadian ekstraversi cenderung menyukai
tantangan dan suka terhadap hal-hal yang mengandung risiko, kurang
mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin terjadi.
d. Impulsiveness
Individu dengan tipe kepribadian ekstraversi cenderung terburu-buru,
biasanya tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, berbuat sesuatu tanpa
pikir panjang, mudah berubah, suka bertindak menghabiskan waktu dan
tidak dapat diramalkan. Impulsiveness didefinisikan sebagai perilaku yang
diaktifkan oleh impuls daripada dikendalikan oleh alasan atau
pertimbangan yang matang (Stedman, 2005).
21
e. Expressiveness
Tipe kepribadian ekstraversi cenderung mengekspresikan emosinya secara
terbuka seperti rasa marah, benci, cinta, simpati dan suka. Menurut
Halberstad dkk (1995), ekspresif adalah pola atau gaya yang berhubungan
dengan emosi. Ekspresif juga berarti perbedaan individu sejauh mana
orang secara lahiriah menunjukkan emosinya (Kring & Smith, 1994).
f. Reflectiveness
Aspek ini mengukur bagaimana ketertarikan individu pada ide, abstrak,
pertanyaan filosofis. Apakah individu cenderung lebih suka berpikir
teoritis daripada bertindak, introspektif atau sebaliknya. Individu
ekstravert akan memiliki nilai rendah pada aspek reflectiveness, sehingga
individu memiliki bakat untuk bekerja lebih tertarik untuk melakukan
berbagai hal, daripada memikirkan hal-hal tersebut dan cenderung tidak
sabar dengan perbuatan teori-teori “alam khayal”.
g. Irresponsibility
Tipe kepribadian ekstraversi cenderung mengabaikan janji yang telah di
buat, mengabaikan hal-hal yang bersifat resmi, kurang hati-hati dan
kurang bertanggungjawab secara sosial.
Sebagai pembanding, berikut ini adalah aspek-aspek tipe kepribadian
ekstraversi menurut Mcrae dan Costa (dalam Pervin & John, 2001) :
22
a. Kehangatan
Kehangatan menggambarkan individu yang mudah bergaul dan membagi
kasih sayang. Individu juga menyukai hidup secara berkelompok sehingga
membuat individu-individu tersebut disebut sosiabilitas.
b. Suka berteman
Suka berteman menggambarkan individu yang senang berada diantara
orang banyak dan memiliki banyak teman. Individu ini senang melakukan
kegiatan bersama teman dan senang bergabung dalam suatu perkumpulan
atau organisasi.
c. Asertif
Asertif menggambarkan kemampuan individu dalam menyampaikan
keinginan dan perasaannya tanpa hambatan kepada orang lain. Individu
tersebut dikenal outspoken atau “blak-blakan”. Individu ini merupakan
pemimpin yang alamiah, mudah memerintah, mengungkapkan apa yang
ada dalam pikirannya dan mudah mengekspresikan perasaan dan
keinginannya.
d. Aktivitas
Aktivitas menggambarkan keadaan individu yang menyukai kesibukan,
penuh energi, aktif mengikuti berbagai kegiatan dan memiliki semangat
yang tinggi
e. Gemar mencari kesenangan
Gemar mencari kesenangan menggambarkan individu yang gemar mencari
kesenangan, mencari sensasi dan berani mengambil resiko. Individu lebih
23
menyukai lingkungan yang memberikan umpan balik kepadanya. Individu
ini akan cenderung mencari tempat yang nyaman dan perlindungan dari
orang lain ketika dilanda masalah.
f. Emosi positif
Emosi positif menggambarkan individu yang cenderung mengalami
emosi-emosi positif seperti cinta, bahagia, dan kegembiraan. Individu ini
cenderung berpikir postif tentang segala sesuatu yang terjadi di lingkungan
sekitarnya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek kepribadian
ekstraversi menurut Eysenck dan Wilson (dalam Retnowati & Haryanthi, 2001)
yaitu activity, socialability, risk-taking, impulsiveness, expressiveness,
reflectiveness dan responsibility. Menurut Mcrae dan Costa (dalam Pervin &
John, 2001) yaitu kehangatan, suka berteman, asertif, aktivitas, gemar mencari
kesenangan dan emosi positif. Lebih lanjut, peneliti memilih menggunakan aspek
kepribadian ekstraversi menurut Eysenck dan Wilson (dalam Retnowati &
Haryanthi, 2001) karena sesuai dengan aspek dalam alat ukur yang akan
digunakan dalam penelitian ini.
C. Hubungan antara Kepribadian Ekstraversi dengan Nomophobia pada
Dewasa Awal
Menurut Erikson (dalam Sobur, 2013) dewasa awal berada pada rentang
usia 19 sampai 25 tahun. Erikson melanjutkan, memasuki usia dewasa awal
individu berada dalam tahap mengembangkan hubungan hangat, dekat dan
24
komunikatif, sehingga apabila individu dewasa awal gagal dalam menjalin relasi
intim dapat menyebabkan terisolasi dan merasa kesepian (Prasetyo & Ariana,
2016). Ketakutan akan rasa kesepian membuat individu menggunakan mobile
phone sebagai alat komunikasi terlalu berlebihan (Prasetyo & Ariana, 2016).
Durak (2018) dalam penelitiannya menemukan adanya hubungan yang signifikan
antara nomophobia dengan kesepian. Mobile phone pada saat ini sangat populer
terutama di kalangan dewasa muda, dalam penggunaannya dapat meningkatkan
frekuensi komunikasi sosial mereka, dan memperluas peluang untuk membangun
hubungan sosial (Igarashi, Takai, & Yoshida; Matsuda dalam Hong, Chiu &
Huang, 2012).
Saat ini smartphone merupakan salah satu bagian dari kehidupan sehari-
hari dan telah menjadi kebutuhan manusia (Salehan & Neghaban dalam Durak,
2018). Smartphone berfungsi baik sebagai mobile phone dan juga sebagai
komputer pribadi, fitur-fitur ini memungkinkan seseorang untuk berinteraksi
menggunakan smartphone dalam kehidupan sehari-hari dengan melakukan
panggilan, mengirim pesan instan/obrolan instan, menjelajah web, menandai
berita, mengirim email, melihat/membagikan foto atau video dan bermain game,
terutama di media sosial (Samaha & Hawi dalam Durak, 2018).
Disisi lain, mobile phone juga dapat memicu timbulnya beberapa
permasalahan (Hong dkk, 2012), salah satunya yaitu penggunaan mobile phone
yang terlalu berlebihan akan berdampak pada munculmya nomophobia.
Nomophbia adalah perasaan tidak nyaman ketika berjauhan dengan ponsel
khususnya smartphone. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Villar, dkk
25
(2017) salah satu faktor yang mempengaruhi nomophobia adalah ekstraversi.
Ekstraversi adalah tipe kepribadian yang mengukur jumlah dan intensitas interaksi
interpersonal, tingkat aktivitas, kebutuhan untuk didukung, kemampuan untuk
berbahagia (Mcrae & Costa dalam Pervin & John, 2001). Ekstraversi adalah
dimensi kepribadian yang paling sering dihubungkan dengan penggunaan internet
(Hamburger & Hertel, dalam Ramdhani, 2007). Ekstraversi sangat erat hubungan
dengan interaksi sosial dan sosiabilitas (Ramdhani, 2007). Secara rinci, orang
ekstravert menggunakan banyak waktu untuk menelpon dan mengirim banyak
pesan teks (Butt & Phillips; Igarashi, Motoyoshi, Takai, & Yoshida, dalam Hong
dkk, 2012). Selaras dengan hal tersebut, Hong, dkk (2012) berpendapat
ekstraversi memungkinkan memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku
penggunaan mobile phone.
Eysenck dan Wilson (dalam Retnowati & Haryanthi, 2001) memaparkan
tujuh aspek yang menggambarkan kepribadian ekstraversi yaitu, a) activity b)
socialability c) risk – taking d) impulsiveness e) expressiveness f) reflectiveness g)
irresponsibility. Berikut hubungan antara kepribadian ekstraversi dengan
nomophobia. Aspek activity menggambarkan keadaan individu yang menyukai
kesibukan, penuh energi, aktif mengikuti berbagai kegiatan dan memiliki
semangat yang tinggi. Kemajuan teknologi di bidang komunikasi terutama mobile
phone, membuat alat komunikasi tersebut bukan lagi sekedar untuk melakukan
panggilan telepon atau mengirimkan pesan singkat. Lebih dari itu, mobile phone
dengan berbagai macam aplikasinya semakin kompleks memenuhi kebutuhan
manusia dan membantu memudahkan manusia dalam melakukan berbagai
26
aktivitas. Hal tersebut membuat individu dengan ekstraversi tinggi dapat
melakukan aktivitas lebih banyak sekaligus atau multi-tasking (Cooper, 2017)
terutama aktivitas yang berhubungan dengan komunikasi. Sebuah penelitian
menunjukkan hubungan yang signifikan antara ekstraversi dengan perilaku
memposting foto selfie. Postur, gestur dan ekspesi wajah dalam foto selfie secara
kuat mengandung komunikasi secara online, sehingga aktivitas memposting selfie
dapat menjadi salah satu cara menjalin komunikasi bagi ekstravert (Arpaci dkk,
2018).
Selain sebagai media komunikasi, smartphone juga digunakan sebagai media
informasi. Henney (dalam Tashandra 2018) mengatakan orang ekstravert lebih
menyukai mencari informasi di media sosial. Henney juga menjelaskan, orang
ekstravert memiliki frekuensi mengecek media sosial lebih banyak, hal tersebut
karena saat mengunggah sesuatu dalam media sosialnya, orang ekstravert bisa
saja menjadi stres jika orang lain tidak menyukai ataupun memberikan komentar
pada unggahnya. Bagi ekstravert hal tersebut sebagai penanda dihargai dan diakui,
sehingga orang ekstravert akan lebih sering menggunakan smartphone untuk
mengecek media sosialnya.
Eysenck mengatakan, ekstravert memiliki keterangsangan otak yang relatif
rendah sehingga individu cenderung mencari stimulasi eksternal. Hal ini
disebabkan stimulasi eksternal akan memberikan gairah dan menggerakkan
ekstravert untuk terlibat dalam aktivitas dilingkungannya. Tingkat gairah di
sekitar individu sangat mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan tugas
dan berperilaku (Belojevic, Slepcevic, Jakovljevic, 2011). Efek dari rangsangan
27
fisiologis pada kognisi menyebabkan individu menjadi aktif dan bersemangat.
Ekstravert memerlukan rangsangan dari luar juga untuk mendapatkan
keseimbangan fungsional dan melakukan sesuatu dengan baik. Berdasarkan hal
tersebut, stimulasi eksternal akan membuat ekstravert melakukan aktivitas lebih
banyak dan lebih baik. Sebaliknya, apabila ekstravert tidak mendapat stimulasi
dari luar individu tidak akan tergerak untuk melakukan aktivitas dengan baik.
Smartphone dengan segala fitur dan aplikasinya dapat memberikan stimulasi
(rangsangan) bagi ekstravert, sehingga dengan menggunakan smartphone akan
memberikan gairah pada individu dan menggerakannya untuk aktif dan terlibat
dalam berbagai aktivitas. Selaras dengan itu Stachl, dkk (2017) mengatakan
ekstraversi merupakan kepribadian yang menunjukkan jumlah tertinggi asosiasi
positif dengan berbagai kategori penggunaan aplikasi dalam smartphone. Hal ini
juga mencerminkan aspek kepribadian yang dijelaskan dalam literatur sebagai
kebutuhan untuk stimulasi eksternal (Butt & Phillips; Eysenck, dalam Stachl dkk,
2017).
Orang dengan ekstraversi tinggi menyukai beragam aktivitas, kesibukan,
terutama berada dalam situasi sosial. Smartphone dengan beragam fitur dan
aplikasinya membantu ekstravert dengan memberikan stimulasi eksternal untuk
memenuhi kebutuhan akan melakukan berbagai aktivitas. Kalcaba (dalam Potter
& Perry, 2005) menuturkan ketika kebutuhan dasar manusia terpenuhi maka akan
menghasilkan kondisi nyaman pada individu. Sebaliknya apabila kebutuhan dasar
manusia tidak terpenuhi maka akan menimbulkan kondisi tidak nyaman.
Berdasarkan hal tersebut, bagi ekstravert yang menyukai banyak aktivitas,
28
smartphone membantu memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga menimbulkan
kondisi nyaman saat menggunakannya. Sebaliknya, apabila ekstravert tidak
menggunakan smartphone akan menimbulkan kondisi tidak nyaman. Sehingga
untuk tetap mendapatkan kondisi nyaman tersebut, individu menggunakan
smartphone secara terus-menerus. Ketika suatu saat ekstravert terlepas dari
smartphone-nya maka individu merasa tidak tergerak untuk melakukan aktivitas
karena tidak mendapatkan stimulasi eksternal, merasa tidak bisa melakukan
komunikasi, merasa kehilangan konektivitas juga merasa tidak bisa mengakses
informasi, dan hal-hal tersebut merupakan aspek-aspek dari nomophobia.
Aspek selanjutnya yaitu expressiveness menggambarkan seseorang yang
ekspresif mudah mengekspresikan perasaannya dengan baik dan jujur. Individu
juga cenderung memperlihatkan emosi kearah ke luar dan terbuka dengan baik
bila sedang merasa sedih, marah, takut, jatuh cinta ataupun benci. Munculnya
berbagai media sosial dengan fasilitas seperti update status memberikan individu
dengan ekstraversi tinggi kemudahan untuk mengungkapkan keinginan dan
perasaannya pada orang lain. Hal tersebut didukung hasil penelitian Mubarokah
(2015) yang menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara
kepribadian ekstraversi dengan pengungkapan diri pada remaja pengguna
facebook. Mubarokah menambahkan, individu dengan tipe kepribadian
ekstraversi mempunyai karakteristik lebih ekspresif dalam menyampaikan setiap
emosi yang dirasakannya, sehingga hal tersebut membuat orang dengan tipe
kepribadian ekstraversi akan lebih mudah untuk mengekspresikan setiap emosi
yang dirasakan dengan cara senantiasa menjalin komunikasi secara rutin serta
29
memiliki sifat terbuka. Individu dengan tipe kepribadian ekstraversi tidak
mempersalahkan untuk menyampaikan segala hal, perasaan dan emosi yang
dirasakannya melalui berbagai media, salah satunya yaitu facebook (Friedman &
Schustack dalam Mubarokah, 2015).
Berbagai fitur dan aplikasi media sosial yang dapat diakses dalam
smartphone, memberikan ruang bagi orang ekstravert untuk mengekspresikan
pikiran dan perasaannya dengan mudah. Senada dengan hal itu Cooper (2017)
berpendapat, pada dewasa awal smartphone digunakan sebagai kendaraan untuk
mengeskpresikan dirinya dan identitas sosial melalui penggunaan pesan teks dan
media sosial. Berdasarkan hal tersebut, smartphone menimbulkan perasaan
nyaman bagi ekstravert saat menggunakannya karena terpenuhi kebutuhannya
(Kolcaba dalam Potter & Perry, 2005) termasuk dalam hal mengekspresikan diri.
Sebaliknya, ketika individu tidak terpenuhi kebutuhannya maka akan
menimbulkan perasaan tidak nyaman karena tidak bisa mengekspresikan dirinya.
Sehingga untuk tetap memiliki perasaan nyaman tersebut individu menggunakan
smartphone secara berulang dan terus-menerus dan memiliki keinginan untuk
terus memanfaatkan kenyamanan dalam smartphone tersebut. Perasaan nyaman
saat menggunakan smartphone dan keinginan untuk memanfaatkan kenyamanan
dalam smartphone merupakan salah satu aspek dari nomophobia.
Impulsiveness menggambarkan individu dengan ciri suka terburu-buru,
mudah berubah, suka bertindak menghabiskan waktu dan tidak dapat diramalkan.
Penelitian Wilmer dan Chein (dalam Cawis, 2016) menemukan bahwa penyebab
seseorang melakukan pengecekan secara berulang pada smartphone mereka
30
berhubungan dengan impulsivity dan ketidaksabaran, penelitian ini juga
menjelaskan bahwa ketika beberapa orang kecanduan menggunakan ponsel
mereka, hal ini disebabkan oleh impuls (dorongan) yang tidak dikelola dan bukan
hanya untuk mendapatkan hadiah (kesenangan) darinya. Hasil korespondensi pada
individu dengan penggunaan smartphone bermasalah yaitu rendahnya impuls
kontrol, hal tersebut membawa individu pada keinginan tidak terkontrol untuk
menggunakan smartphone mereka (Mitchell & Hussain, 2018). Berdasarkan hal
itu, keinginan tidak terkontrol menyebabkan individu terus menerus menggunakan
smartphone. Penggunaan smartphone dengan intensitas tinggi akan membentuk
suatu kebiasaan dan orang yang terbiasa menggunakan smartphone akan merasa
cemas apabila suatu ketika individu berada jauh dengan smartphone-nya
(Stephanie & Pristinella, 2014). Perasaan cemas saat berjauhan dengan
smartphone akibat adanya interaksi antara manusia, teknologi informasi dan
komunikasi di sebut nomophobia (Yildirim & Correia, 2015).
Aspek socialability menggambarkan individu yang memiliki kemampuan
bersosialisasi, suka mencari teman, mudah menjumpai orang-orang dan menyukai
kegiatan sosial seperti pesta-pesta. Rendahnya cortical arousal level
(keterangsangan otak yang relatif berada pada tingkat yang lebih rendah)
menjadikan ekstravert lebih menyukai untuk mencari dan berada dalam situasi
sosial (Bianchi & Phillips, 2005). Socialability merupakan salah satu dimensi
ekstraversi (Eysenck & Eysenck, 1991) dan sebagai konsekuensinya, ekstravert
akan cenderung memiliki sebuah lingkup pertemanan dan jaringan sosial yang
lebih besar, dan hal tersebut mendorong penggunaan mobile phone yang lebih
31
tinggi (Bianchi & Phillips, 2005). Mendukung hal tersebut, penelitian Ehrenberd
(2008) menemukan bahwa individu dengan ekstraversi lebih banyak
menghabiskan waktu dalam melakukan texting (menuliskan dan berkirim pesan).
Ramdhani (2007) juga menambahkan, individu dengan kepribadian ekstraversi
memanfaatkan email untuk berkomunikasi dengan teman‐teman mereka ataupun
membangun hubungan dengan orang‐orang baru. Dengan email, individu
ekstravert merasa terhubung dengan dunia luar. Senada dengan hal tersebut
penelitian dari Ferenzci (dalam Arpaci dkk, 2018) menemukan ekstravert
memiliki kecenderungan lebih aktif berbicara, suka berteman, ceria dan
menggunakan media sosial dengan frekuensi yang tinggi. Penelitian terbaru juga
menunjukkan ekstraversi yang lebih tinggi lebih memungkinkan dalam
penggunaan jejaring sosial (Sorokowaka dalam Arpaci dkk, 2018).
Roberts (2016) dalam penelitiannya mengatakan, rasa terhubung adalah
dorongan emosional terpenting dibalik penggunaan smartphone. Berdasarkan hal
itu, aspek socialability menggambarkan individu yang membutuhkan perasaan
untuk terus terhubung dengan orang lain, sehingga individu akan menggunakan
smartphone sebagai media pemenuh kebutuhannya. Terpenuhinya kebutuhan
dasar manusia tersebut akan memberikan perasaan nyaman (Kolcaba dalam Potter
& Perry, 2005), dan sebaliknya apabila individu tidak terpenuhi kebutuhan
dasarnya maka akan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Berdasarkan hal
tersebut, penggunaan smartphone pada ekstravert mampu memenuhi kebutuhan
ekstravert akan perasaan terhubung. Sehingga ekstravert akan merasakan
kenyamanaan ketika menggunakan smartphone, dan terdorong untuk terus
32
menerus menggunakannya. Hal itu dikarenakan ketika ekstravert tidak
menggunakan smartphone-nya maka individu akan merasakan kondisi tidak
nyaman karena merasa tidak bisa terhubung dengan orang lain, tidak bisa
berkomunikasi dengan orang lain dan terputus konektivitas dengan identitas sosial
khususnya di media sosial. Hal-hal tersebut merupakan aspek-aspek dari
nomophobia.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kepribadian
ekstraversi merupakan salah satu faktor yang turut serta mempengaruhi adanya
nomophobia pada seseorang. Activity, socialability, risk-taking, impulsiveness,
expressiveness, reflectiveness dan irresponsibility dalam diri seseorang akan
membentuk tinggi ataupun rendahnya tingkat ekstraversi seseorang.
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti mengajukan hipotesis yaitu
terdapat hubungan positif antara kepribadian ekstraversi dengan nomophobia pada
dewasa awal. Semakin tinggi ekstraversi yang dimiliki dewasa awal maka
nomophobia yang dialami cenderung tinggi. Sebaliknya, semakin rendah
ekstraversi maka nomophobia pada dewasa awal cenderung rendah.