bab ii tinjauan pustaka a. ilmu gigi tiruan lepasanrepository.poltekkes-tjk.ac.id/214/3/6. bab...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ilmu Gigi Tiruan Lepasan
Ilmu gigi tiruan lepasan (removable denture) adalah ilmu gigi tiruan
yang menggantikan satu atau beberapa gigi yang hilang atau seluruh gigi asli
yang hilang dengan gigi tiruan dan didukung oleh gigi, mukosa atau
kombinasi gigi dan mukosa yang dapat dilepas pasang sendiri oleh pasien.
Tujuan pembuatan gigi tiruan lepasan adalah untuk mengembalikan
fungsi pengunyahan, estetis, bicara, membantu mempertahankan gigi yang
masih tertinggal, memperbaiki oklusi, serta mempertahankan jaringan lunak
yang masih ada agar tetap sehat (Wahjuni, 2017:2). Menurut Gunadi (1991),
gigi tiruan lepasan dibagi menjadi dua bagian, yaitu: gigi tiruan sebagian
lepasan dan gigi tiruan lengkap lepasan.
B. Gigi Tiruan Lengkap Lepasan
1. Definisi Gigi Tiruan Lengkap Lepasan
Menurut Haryanto A. Gunadi (1991), gigi tiruan lengkap lepasan
(Full Denture Prosthodontics) adalah suatu restorasi bila satu atau kedua
lengkung rahang sudah tak bergigi. Menurut Kenneth J. Anusavice
(2004), gigi tiruan lengkap adalah protesa gigi lepasan yang
dimaksudkan untuk menggantikan permukaan pengunyahan dan struktur-
struktur yang menyertainya dari suatu lengkung gigi rahang atas dan
rahang bawah yang terdiri dari gigi-gigi tiruan yang diletakkan pada
7
basis protesa, yang mendapat dukungan melalui kontak erat dengan
jaringan mulut dibawahnya. Menurut Narlan Sumawinata (2004), gigi
tiruan penuh merupakan gigi tiruan yang menggantikan seluruh gigi asli
yang sudah hilang dan biasanya tanpa menyertakan molar ketiga.
2. Tujuan Pembuatan Gigi Tiruan Lengkap Lepasan
Menurut David M. Watt (1992), tujuan pembuatan gigi tiruan lengkap
lepasan adalah:
a. Merehabilitasi seluruh gigi yang hilang sehingga dapat memperbaiki
atau mengembalikan fungsi bicara, pengunyahan dan estetik.
b. Memperbaiki kelainan, gangguan dan penyakit yang disebabkan oleh
keadaan edentuluos.
3. Prinsip Dasar Pembuatan Gigi Tiruan Lengkap Lepasan
Dalam pembuatan gigi tiruan lengkap lepasan terdapat prinsip dasarnya,
yaitu:
a. Pemeliharaan tulang alveolar
Daerah pendukung diusahakan seluas mungkin sehingga beban
yang diterima kecil. Hal ini dapat menjamin pemeliharaan sisa
alveolar ridge. Daerah pendukung gigi tiruan dibagi menjadi 3
bagian, dukungan primer, yaitu: daerah yang menerima beban
oklusal secara tegak lurus. Biasanya daerah ini tidak mudah
mengalami resorbsi. Dirahang atas terdapat di ridge posterior dan
palatum yang datar, sedangkan dirahang bawah pada shelf bukal,
ridge posterior dan retromolar pad. Daerah ridge anterior atas dan
bawah, serta seluruh lereng ridge disebut dukungan sekunder mudah
8
mengalami resorbsi. Dukungan lainnya disebut dukungan tambahan,
yaitu seluruh vestibulum yang jaringannya mudah bergerak. Ini
sangat diperlukan untuk peripheral seal.
1) Pentingnya menutupi shelf bukal
Shelf bukal merupakan derah dukungan primer yang tidak
mudah mengalami resorbsi. Bila linggirnya datar, otot
buksinator sering melekat dekat dengan puncak linggir. Otot
ini dapat ditutupi oleh gigi tiruan karena otot ini relatif lemah
dan tidak aktif. Fungsi otot ini dalam arah horizontal. Daerah
shelf bukal ini merupakan satu-satunya dukungan linggir yang
datar (Soebekti, 1995:2). Pentingnya menutupi tepi-tepi gigi
tiruan disesuaikan dengan bentuk fungsional sulkus, sehingga
dapat dihasilkan suatu penutupan fasial yang baik serta dicapai
retensi fisik maksimal (RM Basker, 1994:127).
2) Pentingnya menutupi retromolar pad
Retromolar pad adalah jaringan ikat mukosa yang terdapat
di sebelah distal molar tiga. Daerah ini merupakan dukungan
primer karena jarang mengalami resorbsi. Bila linggirnya datar
dan peripheral seal sulit diperoleh, dapat dilakukan
pengerokan model sedalam 1,5 mm dan lebarnya 1,5 mm. Di
lateral dari retromolar pad adalah daerah yang dipengaruhi
oleh otot maseter. Otot ini besar dan kuat, serta aktifitasnya
mengangkat dan menutup madibula. Daerah distobukal gigi
tiruan harus betul-betul dibentuk peripheral seal. Bila otot
9
maseter aktif, bentuk sayap distobukalnya aktif, sedangkan bila
tidak terlalu aktif bentuk sayapnya cembung (masseter groove)
(Soebekti, 1995:2). Pengerokan model hanya dapat dilakukan
sedalam 1,5mm dan lebarnya 1,5mm, hal ini dikarenakan
retromolar pad memiliki kompresibilitas sebesar 4 mm.
Apabila pengerokan dilakukan lebih dalam, pasien akan
merasakan kesakitan pada saat pemakaian gigi tiruan karena
penekanan yang berlebih dan akan menyebabkan iritasi pada
daerah yang dilakukan pengerokan tersebut (Machmud, dkk,
1999:3).
b. Retensi
Retensi sangat ditentukan oleh hubungan antara basis gigi tiruan
dengan mukosa pendukung dibawahnya. Kontak yang rata dan baik
antara basis gigi tiruan dan mukosa sangat diperlukan untuk retensi
yang optimal. Adanya saliva antara mukosa dan basis gigi tiruan
menyebabkan terjadinya daya adhesi, kohesi, tegangan permukaan,
peripheral seal serta tekanan atmosfer. Peripheral seal penting
dalam memelihara udara dari gangguan pengaruh tekanan peripheral
seal. “Border Molding” merupakan satu-satunya jalan dalam
memperoleh peripheral seal. Undercut yang menguntungkan dapat
menambah retensi. Biasanya terdapat di daerah retromylohyoid
(Soebekti, 1995:2).
10
c. Stabilisasi
Peran stabilisasi terjadi selama gigi tiruan digunakan untuk
berfungsi. Agar gigi tiruan stabil perlu adanya retensi yang baik,
posisi gigi geligi serta oklusi dan artikulasi yang seimbang, bentuk
permukaan poles yang sesuai dengan aktivitas otot-otot orofacial,
pengendalian dan koordinasi yang baik dari otot-otot, serta posisi
bidang oklusal yang benar (Soebekti, 1995:2).
d. Memberikan penampilan yang wajar (estetik baik)
Penampilan yang alami dapat diperoleh mulai dari saat
mencetak. Ketebalan tepi gigi tiruan yang dapat mengembalikan
dukungan bagi otot-otot bibir dan pipi bervariasi, tergantung dari
hilangnya sisa alveolar. Ketebalan yang optimal dapat diperoleh
waktu melakukan border molding (Soebekti, 1995:2).
C. Retensi dan Stabilisasi
1. Retensi
Retensi merupakan suatu pertahanan terhadap gaya vertikal yang
hendak melepaskan basis gigi tiruan dari kedudukannya. Retensi
memiliki faktor-faktor, seperti: adhesi, kohesi, viskositas saliva dan
lidah. Gigi tiruan menjadi longgar karena retensinya kurang, selain itu
terjadi masalah pada jaringan pendukung sehingga gigi tiruan menjadi
longgar seperti prosesus alveolaris anterior rahang atas yang kecil
sehingga memungkinkan gigi tiruan bergerak. Retensi yang kurang baik
11
dapat pula terjadi karena tidak adanya postdam pada gigi tiruan rahang
atas (Watt, 1992:54).
Faktor-faktor retensi yang pada gigi tiruan lengkap lepasan yaitu:
a. Adhesi
Kekuatan tarik-menarik antara molekul-molekul yang berbeda,
seperti saliva dan resin akrilik atau saliva dan mukosa (Basker,
1994:50).
b. Kohesi
Kekuatan tarik-menarik antara molekul-molekul yang sama
(Basker, 1994:50). Kekuatan kohesi mempertahankan keutuhan
lapisan tipis saliva, sehingga kekuatan antar molekul-molekul yang
membentuk rantai antara basis gigi tiruan dan mukosa yang
cenderung menahan gigi tiruan pada posisinya (Arpa, 2017:3).
c. Peripheral seal
Efektifitas peripheral seal mempengaruhi sifat retentif dari tekanan
atmosfer. Pentingnya penutupan tepi yang kedap udara di sekeliling
gigi tiruan tidak dapat diabaikan (Watt, 1992:58).
d. Perluasan basis
Retensi gigi tiruan berbanding langsung dengan luas daerah yang
ditutupi oleh basis gigi tiruan. Basis dibuat seluas mungkin tetapi
tetap memperhatikan bagian mukosa bergerak dan tidak bergerak
sehingga tidak mengganggu perlekatan otot atau frenulum. Tepi
sayap membulat serta mengisi penuh vestibulum (Watt, 1992:59).
12
e. Pembuatan postdam
Postdam diletakkan tepat di sebelah anterior garis getar dari
palatum molle dekat fovea palatine. Postdam bertindak mencegah
terlepasnya gigi tiruan bila goyang saat digunakan untuk makan.
(Watt, 1992:61).
2. Stabilisasi
Stabilisasi merupakan kemampuan gigi tiruan untuk tetap stabil
pada tempatnya dan tidak berubah posisinya akibat tekanan kunyah saat
berfungsi. Ketidakstabilan pada gigi tiruan membuat pemakai gigi tiruan
merasa tidak nyaman. Stabilisasi berkaitan dengan penyusunan gigi
tiruan serta oklusi dan artikulasi (Thomson, 2007:247).
D. Resin Akrilik
1. Definisi Resin Akrilik
Resin akrilik adalah resin transparan dengan kejernihan luar biasa,
warna serta sifat optik tetap stabil dibawah kondisi mulut yang normal
dan secara klinis cukup stabil terhadap panas (Naini, 2011:1). Terdapat
beberapa macam resin akrilik yang berbeda cara polimerisasinya yaitu
pada tahap aktivasinya, sehingga dibedakan menjadi resin akrilik heat-
cured, resin akrilik self-cured, resin akrilik kuring gelombang mikro dan
resin akrilik kuring sinar tampak. Resin heat-cured adalah tipe resin yang
biasa digunakan dalam pembuatan gigi tiruan lengkap lepasan.
13
2. Kelebihan dan kekurangan
Menurut Haryanto A. Gunadi (1991), terdapat kelebihan dan kekurangan
dari pemakaian bahan resin akrilik sebagai basis gigi tiruan, yaitu:
a. Kelebihan resin akrilik
1) Warnanya harmonis dengan jaringan sekitarnya, sehingga
memenuhi faktor estetik
2) Dapat dilapisi dan dicekatkan kembali dengan mudah
3) Relatif lebih ringan
4) Teknik pembuatan dan pemolesannya mudah
5) Harganya murah
b. Kekurangan resin akrilik
1) Penghantar termis buruk, resin akrilik memiliki konduktivitas
termal yang rendah
2) Dimensinya tidak stabil baik pada waktu pembuatan,
pemakaian maupun reparasi
3) Mudah terjadi abrasi pada saat pembersihan atau pemakaian
4) Walaupun dalam derajat kecil, resin menyerap cairan mulut,
mempengaruhi stabilitas warna
5) Kulkulus dan deposit makanan mudah melekat pada basis
resin, karena faktor tersebut pada butir 3 dan 4
14
E. Tulang Alveolar
1. Definisi Tulang Alveolar
Tulang alveolar adalah bagian dari maxilla dan mandibula yang
membentuk dan mendukung soket gigi (alveoli). Tulang alveolar
terbentuk pada saat gigi erupsi untuk menyediakan perlekatan tulang pada
ligamen periodontal (Varma & Nayak, 2002).
2. Bentuk Linggir
Menurut Itjiningsih (1991), tinggi/sedang atau cukup/sedang/datar linggir
tergantung pada bentuk tulang dan ada tidaknya resorpsi. Apabila tinggi
linggir makin kokoh membuat mantap gigi tiruan yang kita buat. Namun,
ketinggian linggir akan mempengaruhi besar ruang antar rahang.
Bentuk linggir dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Bentuk “U” (Gambar 2.1)
Dimana permukaan labial atau bukal sejajar dengan
permukaan lingual atau palatal.
b. Bentuk “V” (Gambar 2.2)
Dimana ridge dengan puncak sempit, dan kadang-kadang
tajam seperti pisau.
c. Bentuk “Jamur atau Bulbous” (Gambar 2.3)
Dimana bentuknya membesar atau melebar di puncaknya.
Bentuk jamur berleher dan menimbulkan undercut.
15
Gambar 2.1 Bentuk Tulang U (Wurangian, 2013)
Gambar 2.2 Bentuk Tulang V (Wurangian, 2013)
Gambar 2.3 Bentuk Tulang Jamur atau Bulbous (Wurangian, 2013)
3. Resorbsi Tulang Alveolar
Resorbsi tulang adalah masalah yang sering terjadi secara
fisiologik dan patologik, serta aktivitas osteoklas yang terlalu besar
daripda osteoblast (Carranza, 2002). Resorbsi tulang alveolar merupakan
masalah yang sering terjadi pada penderita edentulous, baik rahang bawah
maupun rahang atas (Nurtani, 2005:1).
4. Linggir Datar
a. Definisi linggir datar
Linggir datar merupakan resorbsi tulang alveolar (linggir) yang
berlebih pada rahang tanpa gigi dan ditemukan pada pasien yang
sudah lama kehilangan gigi (Yanda, 2016:1).
16
b. Penyebab linggir datar
Pencabutan gigi menyebabkan hilangnya jaringan periodontal,
sehingga menyebabkan perubahan pola penerimaan beban dan tekanan
pada tulang alveolar yang menjadi lebih besar secara vertikal maupun
horizontal. Hal ini merupakan penyebab utama terjadinya proses
resorbsi yang berlebih dan menjadi datar (Pridana, 2017:1).
c. Penyusunan
Resorbsi yang terjadi dapat mengakibatkan perubahan pada bentuk
dan ukuran tulang alveolar (linggir). Perubahan bentuk dan ukuran
yang terjadi pada tulang alveolar (linggir) dapat memengaruhi retensi
dan stabilitas gigi tiruan. Hal ini dapat menyebabkan fungsi gigi
tiruan lengkap kurang baik dan terjadi oklusi yang tidak seimbang,
66% usia lanjut mengeluhkan gigi tiruan lengkap yang mereka pakai
tidak nyaman dan tidak cekat (Yanda, 2016:1). Ukuran tulang
alveolar (linggir) dapat memengaruhi retensi dan stabilisasi gigi
tiruan penuh karena dapat mengalami perubahan yang disebabkan
resorbsi dan lamanya edentulous (Rizki, 2019:1).
Pembuatan gigi tiruan pada pasien dengan linggir datar
memerlukan teknik khusus dalam pencetakan sehingga bisa
didapatkan retensi dan stabilisasi yang baik dari jaringan sekitarnya.
Pembuatan beading atau pengerokan model kerja sedalam 1,5 mm
dan lebarnya 1,5 mm pada daerah ujung retromolar pad merupakan
salah teknik untuk mendapatkan retensi dan stabilisasi pada
17
pembuatan gigi tiruan lengkap lepasan akrilik pada linggir datar
(Soebekti, 1995:2).
5. Faktor Penyebab Resorbsi Tulang Alveolar
a. Faktor anatomis
Anatomi mandibula berbeda dengan maksila. Perbedaan yang
mencolok bisa dikaitkan dengan resorbsi tulang alveolar pada kedua
rahang ini adalah kondisi cancellous atau yang bisa disebut tulang
trabeculae atau spongiosa memanjang diantara cortical plates pada
kedua rahang.
b. Faktor biologis
Dalam faktor biologis meliputi:
1) Nutrisi, meliputi metabolisme kalsium, fosfor dan protein.
2) Vitamin, antara lain vitamin C membantu dalam pembentukan
matriks tulang, vitamin D berperan melalui pengaruhnya dalam
kecepatan absorbs kalsium di usus halus dan dalam asam sitrit
tulang dan vitamin B untuk metabolisme normal sel termasuk
tulang.
3) Pengaruh hormonal, seperti hormon tiroid mempengaruhi
kecepatan metabolisme sel pada umumnya.
c. Faktor mekanisme atau fungsional
Faktor fungsional meliputi frekuensi, intensitas, durasi dan arah gaya
tekan. Faktor ini bersifat fisiologis atau patologis dan diwujudkan
dalam aktifitas biologis sel sehingga memungkinkan remodeling atau
18
resorbsi tulang alveolar yang besarnya akan tergantung pada daya
tahan individu terhadap gaya tersebut.
d. Faktor lain
Pada maksila, besarnya resorbsi tulang alveolar dipengaruhi oleh
jumlah gigi antagonis yang tersisa. Dalam jangka waktu lima tahun,
resorbsi akan lebih berat pada pasien dengan gigi yang tersisa hanya
di anterior bawah jika dibandingkan bila lebih banyak gigi bawah
yang masih ada. Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi resorbsi tulang alveolar. Perempuan akan mengalami
resorbsi tulang alveolar lebih besar jika dibandingkan dengan pria. Hal
ini disebabkan perempuan cenderung (secara umum) memiliki rangka
lebih kecil dan wajah lebih pendek dibandingkan pria.
Tinggi tulang alveolar merupakan ukuran vertikal tulang alveolar
maksila maupun mandibula. Pengukuran vertikal tulang alveolar
dilakukan dengan menggunakan kaca mulut (diameter 20 mm) non
disposable berbahan stainless. Pengukuran dilakukan dengan cara
meletakkan kaca mulut di vestibulum bukan pada daerah yang telah
kehilangan gigi. Apabila kehilangan gigi lebih dari satu, maka tinggi
tulang alveolar ditentukan dari keadaan yang paling parah.
Hasil dari pengukuran tersebut kemudian dikelompokan menjadi:
a. Tinggi, dikategorikan demikian jika tulang alveolar tinggi
melebihi diameter kaca mulut.
b. Sedang, dikategorikan demikian jika tulang alveolar tingginya
antara 1 2⁄ sampai 1 diameter kaca mulut.
19
c. Rendah, dikategorikan demikian jika tulang alveolar tingginya
kurang dari 1 2⁄ diameter kaca mulut.
Gambar 2.4 Katagori Tulang Alveolar (a) Tinggi, (b) Sedang, (c) Rendah (Mentari,
2013)
6. Klasifikasi Tulang Alveolar (Linggir)
Menurut Atwood (1963), membaginya atas enam kelas, yaitu:
tulang sebelum pencabutan, tulang pasca pencabutan, high, well-rounded,
knife edge, low well-rounded, depressed. Menurut Cawood dan Howel,
melakukan penyempurnaan terhadap klasifikasi tulang menurut Atwood,
yaitu (Gambar 2.5):
a) Klas I : Bergigi
b) Klas II : Segera pasca pencabutan
c) Klas III : Bentuk tulang well rounded (membulat), adekuat tinggi
dan lebarnya
d) Klas IV : Bentuk tulang knife edge (lancip seperti ujung pisau),
adekuat tinggi tetapi tidak adekuat secara lebar nya
e) Klas V : Bentuk tulang flat (datar)
f) Klas VI : Bentuk tulang depressed (cekung), dengan kehilangan
daerah basal
20
Gambar 2.5 Klasifikasi Tulang Menurut Atwood (Soebekti, 1995)
F. Jaringan Pendukung Gigi Tiruan Lengkap Lepasan
Menurut R.M Basker (1994:125), suatu gigi tiruan dibuat pada model
jaringan pendukungnya. Sebelum model ini didapat, lebih dahulu harus
diperoleh suatu cetakan atau bentuk negative dari jaringan-jaringan ini.
Gigi tiruan atas secara normal diperluas ke posterior mencapai garis
vibrasi yang merupakan pertemuan antara jaringan palatum lunak yang
bergerak dan jaringan yang tidak bergerak di sebelah anteriornya.
Gambar 2.6 Anatomi Permukaan Daerah Jaringan Pendukung Rahang Atas. Garis Vibrasi
Menunjukkan Perluasan Normal ke Posterior bagi Gigi Tiruan Rahang Atas.
(R.M Basker, 1994)
Gambar 2.7 Anatomi Permukaan Daerah Jaringan Pendukung Rahang Bawah. Garis tebal
Putus-putus Menunjukkan Perluasan Normal ke Posterior bagi Gigi Tiruan
Rahang Bawah. (R.M Basker, 1994)
21
Gambar 2.8 Diagram Rahang Atas yang Menunjukkan Rata-ratas Sisa Gingival Palatal ke
Batas Tepi Sayap Gigi Tiruan dalam Horizontal di Daerah Insisif (A),
kaninus (B), premolar (C) dan molar (D) (pendekatan biometric). Garis (X/X),
yang melalui tepi posterior papilla insisiva, bisa digunakan sebagai pedoman
untuk menempatkanpuncak kaninus. (R.M Basker, 1994)
G. Prosedur Pembuatan Gigi Tiruan Lengkap Lepasan
Tahap-tahap pembuatan gigi tiruan lengkap lepasan (Itjiningsih, 1991:31-
187) adalah:
1. Pembuatan Sendok Cetak Perseorangan
Sendok cetak perorangan (SCP) adalah sendok cetak yang dibuat untuk
mendapatkan reproduksi daerah tak bergigi dari seluruh jaringan mulut,
khusus digunakan untuk pasien dan satu kali pakai pada satu kasus
(Gambar 2.9).
Gambar 2.9 Sedok Cetak Perseorangan (Itjiningsih, 1991)
2. Desain Gigi Tiruan Lengkap
Desain gigi tiruan lengkap terdiri dari:
a. Penarikan garis tengah
Untuk rahang atas ditarik garis tengah dari frenulum labial atas,
kemudian pertemuan rugae palatine kiri dan kanan, dan titik tengah
22
antara kedua fovea palatine. Untuk rahang bawah, ditarik garis
tengah dari frenulum labial bawah kemudian ke titik tengah-tengah
rahang bawah, diteruskan ke frenulum lingual.
b. Penarikan garis puncak linggir
Pada rahang atas, ditarik garis puncak dari titik caninus atas ke titik
notch/lekukan pterygo maxillaries, kemudian ke titik pertemuan
puncak linggir anterior dengan titik tengah. Pada rahang bawah, garis
puncak ditarik dari titik caninus bawah, ke titik retromolar pad,
kemudian ke titik pertemuan puncak linggir anterior dengan garis
tengah.
3. Pembuatan Galangan Gigit
Pasien yang sudah kehilangan seluruh giginya berarti sudah kehilangan
bidang oklusal, tinggi gigitan (dimensi vertical) dan oklusi sentrik.
Ketiga hal ini harus kita cari saat membuat gigi tiruan lengkap lepasan
dengan media tanggul gigitan (galangan gigit). Galangan gigit dibuat
untuk menuntukan dimensi vertikal dan mendapatkan dukungan bibir dan
pipi pasien.
Prosedur pembuatan galangan gigit:
a. Permukaan model kerja diolesi could mould seal (CMS) atau
direndam air.
b. Selembar wax dipanaskan hingga lunak.
c. Wax lunak tersebut diletakkan diatas model kerja, lalu tekan sampai
beradaptasi dan mengikuti kontur model kerja.
d. Pertahankan hingga wax mengeras.
23
e. Potong kelebihan wax sesuai batas gigi tiruan.
f. Rapihkan dan haluskan bagian tepinya.
g. Lepaskan baseplate dari model.
h. Buat garis proyeksi puncak ridge dimodel kerja dengan pensil.
Pedoman untuk rahang atas adalah hamular notch dan puncak gigi
caninus, rahang bawah adalah puncak caninus dan pertengahan
retromolar pad.
i. Letakkan kembali baseplate kemodel kerja.
1) Buat gulungan malam, bentuk menjadi suatu balok.
2) Letakkan diatas baseplate dan letakan lalu rapihkan.
3) Proyeksikan garis puncak ridge dan digambarkan pada wax rim
rahang atas dan rahang bawah.
Setelah galangan gigitan dibuat, tentukan ukuran dengan patokan
lebar galangan gigi anterior 5 mm dan posterior 8-10 mm, tinggi rahang
atas anterior 10-12 mm dan posterior 5-7 mm, rahang bawah anterior 6-8
mm dan posterior 3-6 mm, dan rasio lebar galangan gigit rahang atas 2:1
(bukal:palatal) dan rahang bawah 1:1 (bukal:lingual).
Gambar 2.10 Galangan Gigit (Itjiningsih, 1991)
24
4. Penanaman Artikulator
Artikulator adalah alat mekanik tempat meletakkan model rahang atas
dan rahang bawah sekaligus memproduksi relasi rahang bawah terhadap
rahang atasnya. Artikulator digunakan untuk membantu kajian mengenai
oklusi dan dalam pembuatan suatu protesa atau restorasi.
Gambar 2.11 Artikulator (Itjiningsih, 1991)
5. Penyusunan Gigi
Penyusunan gigi dilakukan secara bertahap yaitu penyusunan gigi
anterior atas hingga posterior atas dan gigi anterior bawah hingga
posterior bawah adalah (Tabel 2.1).
Tabel 1 Penyusunan Gigi (Itjiningsih, 1991)
No. Gigi Penyusunan
1. I1 Atas
a. Inklinasi gigi I1 atas membuat sudut
85º
b. Tepi incisal sedikit masuk palatal
c. Tepi incisal terletak diatas linggir
rahang dari bidang oklusal
2. I2 Atas
a. Inklinasi gigi I2 atas membuat sudut
80º
b. Tepi incisalnya 2 mm diatas bidang
oklusal
25
c. Bagian servikal lebih condong ke
palatal
d. Tepi incisal terletak diatas linggir
rahang dari bidang oklusal
3. C Atas
a. Inklinasi gigi C atas tegak lurus
bidang oklusi
b. Bagian servikal tampak lebih
menonjol dan ujung cusp lebih ke
palatal dan menyentuh bidang
oklusi
c. Ujung cusp terletak diatas linggir
rahang dari bidang oklusal
4. P1 Atas
a. Inklinasi gigi P1 atas tegak lurus
bidang oklusal
b. Cusp bukal menyentuh bidang
oklusi
c. Cusp palatal kira-kira 1 mm diatas
bidang oklusi
d. Developmental groove sentral
terletak diatas linggir rahang
5. P2 Atas
a. Inklinasi gigi P2 atas tegak lurus
bidang oklusal
b. Cusp bukal dan cusp palatal
terletak pada bidang oklusal
26
c. Developmental groove sentralnya
terletak diatas linggir rahang.
6. M1 Atas
a. Inklinasi gigi M1 atas condong
kedistal
b. Cusp mesio-palatal terletak pada
bidang oklusi
c. Cusp mesio-bukal dan disto-palatal
sama tinggi (kira-kira 1 mm diatas
bidang oklusi)
d. Cusp disto-bukal kira-kira 2 mm
diatas bidang oklusal.
7. M2 Atas
a. Inklinasi gigi M2 atas condong
kedistal
b. Cusp-cuspnya terletak pada bidang
oblique dari kurva antero-posterior
c. Permukaan bukal gigi M2 atas
terletak pada kurva lateral
(developmental groove sentral gigi
M1 M2 atas sejajar garis median)
8. I1 Bawah
a. Inklinasi gigi I1 bawah mesio-distal,
long axisnya membuat sudut 85°
dengan bidang oklusi dari tepi
incisal 1-2 mm di atas bidang
oklusal
27
b. Inklinasi antero-posterior bagian
servikalnya lebih kearah lingal,
serta dilihat dari bidang oklusal tepi
incisal terletak diatas linggir
rahang.
9. I2 Bawah
a. Inklinasi gigi I2 bawah mesio-distal,
long axisnya membuat sudut 80°
dengan bidang oklusi
b. Inklinasi antero-posterior, long
axisnya tegak lurus bidang oklusal,
bagian tepi incisal dengna bagian
servical sama jaraknya, tepi incisal
1-2 mm di atas bidang oklusal serta
dilihat dari bidang oklusal tepi
incisal terletak diatas linggir rahang
10. C Bawah
a. Inklinasi gigi C bawah mesio-distal,
long axisnya miring/paling condong
garis luar distalnya tegak lurus
bidang oklusal
b. Inklinasi antero-posterior gigi
condong ke lingual/bagian servikal
menonjol serta dilihat dari bidang
oklusal ujung cusp terletak di atas
linggir rahang; bagian kontak distal
28
berhimpit dengan garis linggir
posterior.
11. P1 Bawah
a. Inklinasi gigi P1 bawah mesio-
distal, porosnya tegak lurus bidang
oklusi
b. Inklinasi antero-posterior, cups
bukalnya di fosa sentral antara P1
dan C atas, serta dilihat dari bidang
oklusal, cusp bukalnya berada di
atas linggir rahang.
12. P2 Bawah
a. Inklinasi gigi P2 bawah mesio-
distal, porosnya tegak lurus bidang
oklusi
b. Inklinasi antero-posterior, cusp
bukal berada di fosa sentral gigi P1
dan P2 atas dan terlihat adanya
overbite dan overjet serta dilihat
dari bidang oklusal, cups buklanya
beada diatas linggir rahang.
13. M1 Bawah
a. Inklinasi gigi M1 bawah mesio-
distal, cusp mesio-bukal gigi M1
atas berada di groove mesio-bukal
gigi M1 bawah
b. Inklinasi anterior-posterior, cusp
29
bukal gigi M1 (holdingcusp) bawah
berada di fosa sentral gigi geraham
atas dan terlihat adanya overbite
dan overjet serta dilihat dari bidang
oklusla cusp bukal gigi geraham
bawah berada diatas linggir rahang
14. M2 Bawah
a. Inklinasi gigi M2 bawah antero-
posterior, serta dilihat dari bidang
oklusal, cusp bukalnya berada
diatas linggir rahang
6. Wax Contouring
Wax contouring atau waxing dari geligi tiruan adalah membentuk dasar
dari geligi tiruan malam sedemikian rupa sehingga harmonis dengan otot-
otot orofasial penderita dan semirip mungkin dengan anatomis gusi dan
jaringan mulut.
Ketika mengukir harus diperhatikan:
a. Tonjolan akar, dengan mengukir bentuk-bentuk huruf V
b. Daerah servikal jangan ada “step” pada kontur gusi antara gigi
kaninus dan premolar-1 atas
30
c. Kontur gusi gigi anterior berbeda-beda, gigi kaninus atas yang
terpanjang, gigi lateral atas yang terpendek.
Gambar 2.12 Wax Contouring (Itjiningsih, 1991)
7. Flasking
Flasking ialah suatu proses penanaman model dan “trial denture”
malam dalam suatu flask atau cuvet untuk membuat sectional mold. Mold
bagian bawah dibuat dengan menanam model dalam gips dan bagian atas
dibuat dari 2 adukan stone yang terpisah diatas denture malam. Metode
flasking ada 2 yaitu, holding dan pulling the casting
Metode yang digunakan pada pembuatan gigi tiruan lengkap
lepasan adalah metode pulling the casting. Pulling the casting merupakan
metode yang dilakukan dengan gigi tiruan malam berada pada cuvet
bawah dan seluruh elemen gigi tiruan dibiarkan terbuka (tidak tertutup
plaster), sehingga setelah boiling out elemen gigi tiruan akan ikut ke
cuvet atas. Keuntungan menggunakan cara ini yaitu dalam mengulaskan
separating medium dan packing mudah, namun ketinggian gigitan sering
tidak dapat dihindari.
8. Pembuatan Postdam dan Beading
Postdam dibuat pada rahang atas pada AH-Line dan beading dibuat pada
rahang bawah yaitu melakukan pengerokan model kerja sedalam 1-1,5
31
mm pada daerah muccobucalfold. Pembuatan postdam dan beading
bertujuan untuk mendapatkan peripheral seal (Soebekti, 1995:3).
9. Packing
Packing adalah proses mencampur monomer dan polimer resin
akrilik. Ada 2 metode yaitu, dry method dan wet method. Metode
packing yang digunakan pada pembuatan gigi tiruan lengkap lepasan
adalah metode wet methode. Wet methode adalah cara mencampur
monomer dan polimer diluar mold dan bila sudah mencapai tahap dough
stage baru dimasukan kedalam mold.
Proses packing dengan wet methode mengalami 6 stadium:
a. Wet sand/sandy stage (campuran polimer dan monomer masih
basah)
b. Puddle sand (campuran polimer dan monomer seperti lumpur)
c. Stringy/sticky stage (campuran polimer dan monomer lengket)
d. Dough/packing stage (adonan tidak lengket dan siap dimasukkan
ke mold.
e. Rubbery stage (adonan kenyal seperti karet)
f. Stiff stage (adonan menjadi kaku dan lengket)
10. Curing
Curing adalah proses polimerisasi antara monomer yang bereaksi dengan
polimernya bila dipanaskan atau ditambah zat kimia lainnya.
32
Gambar 2.13 Diagram Curing (Itjiningsih, 1991)
11. Deflasking
Deflasking adalah melepaskan gigi tiruan resin akrilik dari cuvet dan
bahan tanamnya, tetapi tidak boleh lepas dari model rahangnya supaya
gigi tiruan dapat di remounting di artikulator kembali.
12. Pemasangan Kembali dan Pengasahan Selektif
a. Pemasangan kembali
Pemasangan kembali gigi dalam artikulator (remounting) bertujuan
untuk mengoreksi hubungan oklusi yang tidak harmonis dari gigi
tiruan yang baru selesai diproses atau dimasak. Hubungan oklusi
yang tidak harmonis, disebabkan oleh penyusutan bahan landasan
gigi tiruan akrilik setelah diproses, kesalahan waktu prosedur
packing resin akrilik, dan prosedur curing yang terlalu cepat
temperatur pemanasan yang terlalu tinggi.
Perubahan oklusi diperbaiki dengan cara:
1) Mengembalikan tinggi vertikal sesuai dengan tinggi vertikal
sebelum gigi tiruan diproses.
2) Memperbaiki oklusi eksentrik (working and balancing
occlusion)
33
3) Oklusi diperbaiki dengan spot grinding selektif sampai incisal
guide pin berkontak dengan meja incisal dalam hubungan
sentris.
b. Pengasahan selektif
Pengasahan selektif ialah modifikasi permukaan oklusal gigi-gigi
dengan mengasahnya pada tempat selektif/terpilih sesuai dengan
peraturan yang berlaku sampai incisal guide pin berkontak dengan
meja incisal dalam hubungan sentris. Jangan melakukan pengasahan
pada bagian cusp palatal gigi-gigi atas dan cusp bukal gigi-gigi
bawah atau holding cusp yang mempertahankan dimensi vertikal.
13. Penyelesaian Gigi Tiruan
Penyelesaian gigi tiruan adalah menyempurnakan bentuk akhir gigi
tiruan dengan membuang sisa-sisa resin akrilik pada batas gigi tiruan,
sisa-sisa resin akrilik atau stone yang tertinggal sekitar gigi dan tonjolan-
tonjolan akrilik pada permukaan landasan gigi tiruan akibat dari
processing (Gambar 2.14).
Gambar 2.14 Penyelesaian Gigi Tiruan (Itjiningsih, 1991)
14. Pemolesan Gigi Tiruan
Pemolesan gigi tiruan adalah menghaluskan dan mengkilapkan gigi
tiruan tanpa mengubah konturnya. Gunakan brush wheel (hitam)
dengan bahan pumice basah untuk menghaluskan dan gunakan
34
ragwheel (putih) dengan bahan CaCo3 untuk mengkilapkan (Gambar
2.15).
Gambar 2.15 Pemolesan (Itjiningsih, 1991)
Gambar 2.16 Hasil Gigi Tiruan (Prabakaran, 2017)
H. Kegagalan dalam Pembuatan Gigi Tiruan
1. Jenis Kegagalan dalam Pembuatan Gigi Tiruan
a. Crazing (retak)
Menurut Craig R.G., dkk. (2002), monomer yang berlebih
menyebabkan bertambahnya jumlah residual monomer yang akan
mempengaruhi kekuatan resin akrilik. Sewaktu polimerisasi monomer
murni terjadi pengerutan sekitar 21% satuan volume. Bila terlalu
banyak monomer, kontraksi yang terjadi akan lebih besar sehingga
menyebabkan crazing (retak).
b. Granular porosity
Menurut Craig R.G., dkk. (2002), apabila polimer yang berlebih akan
mengakibatkan campuran bersifat kering, tidak dapat diatur, serta tidak
dapat mengalir ketika dilakukan penekanan. Jumlah monomer yang
35
tidak cukup mengikat seluruh butiran polimer dalam campuran yang
kering sehingga dapat terjadi efek granular pada permukaan gigi tiruan
yang biasa disebut granular porosity.
c. Protesa yang kasar
Bila polimer terlalu banyak, tidak semua polimer akan bereaksi dengan
monomer.
d. Shrinkage
Bila polimer terlalu sedikit dan monomer terlalu banyak.
2. Cara Menanggulangi Kegagalan dalam dalam Pembuatan Gigi Tiruan
Cara mengatasi masalah atau kegagalan yang terjadi pada tahap
manipulasi resin akrilik yaitu dengan cara memperhatikan perbandingan
antara polimer dan monomer yang sudah ditentukan pabrik yang tertera
pada kemasan.