bab ii tinjauan pustaka a. kajian teori 1. lari cepat 100 … · gawang, 4 x 100 meter estafet dan...
TRANSCRIPT
6
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Lari Cepat 100 meter
a. Lari Cepat 100 meter
Lari 100 meter merupakan bagian dari cabang olahraga atletik. Atletik terdiri
dari nomer jalan, lari, lempar dan lompat. Syarifuddin (1992:2) membagi nomer atletik
berdasarkan tempat pelaksanaannya, yaitu nomer track dan nomer field. Track artinya
lintasan, sedangkan field berarti lapangan. Oleh karena itu atletik disebut juga “Track
and field”.Nomer yang termasuk dalam nomer track adalah nomer jalan dan nomer lari,
sedangkan yang termasuk nomer field adalah nomer lempar dan lompat. Ketiga nomer
tersebut masih memiliki bagian-bagian, yaitu untuk nomer jalan adalah jalan cepat,
yaitu 5 km dan 10 km untuk putri dan 10 km dan 20 km untuk putra. Nomer lari terdiri
dari (1) Nomer lari jarak pendek (sprint), yaitu lari 100 meter, 200 meter, 400 meter,
100 meter gawang putri, 110 meter gawang putra, 200 meter gawang, 400 meter
gawang, 4 x 100 meter estafet dan 4 x 400 meter estafet.(2) Nomer lari jarak menengah
(middle distance running), yaitu 800 meter, 1500 meter, 3000 meter dan 300 meter lari
halang rintang steeple chase). (3) Nomer lari jarak jauh (long distance running) terdiri
dari lari 5000 meter, 10.000 meterdan lari marathon 42.195 km. Nomer lempar terdiri
dari (1) lempar lembing, (2) lontar martil, (3) lempar cakram, dan (4) tolah peluru.
Sedangkan untuk nomer lompat terdiri dari (1) nomer lompat jauh, (2) lompat jangkit,
(3) lompat tinggi, dan (4) lompat tinggi galah.Dalam (http://id.wikipedia.org/wiki/lari)
lari didefinisikan dalam olahraga sebagai gerakan tubuh dimana pada suatu saat semua
kaki tidak mengunjak tanah.Lari cepat (sprint) adalah gerakan maju yang dilakukan
untuk mencapai tujuan (finish) secepat mungkin.
Bagian dari nomer lari yang akan kita bahas adalah lari 100 meter. Lari 100
meter termasuk dalam nomer lari jarak pendek (sprint). Hamid S. N..(2000:49)
mengemukakan pengertian lari cepat (sprint) adalah “Semua perlombaan lari dimana
peserta berlari dengan kecepatan penuh sepanjang jarak yang ditempuh”.Kemudian
Syarifuddin (1992:41) menjelaskan bahwa “lari cepat (sprint) adalah suatu cara lari
dimana atlet harus menempuh jarak dengan kecepatan semaksimal mungkin”. Artinya
7
harus melakukan lari secepat-cepatnya dengan mengerahkan seluruh kekuatannya mulai
awal (mulai dari start) sampai dengan melewati garis akhir (finish/finis).Diantara ketiga
bagian dari lari jarak pendek yang paling bergensi adalah lari 100 meter. Walaupun
demikian dalam pelaksanaan ketiganya memiliki inti dominan yang sama, yaitu
kecepatan. Semakin jauh jarak yang ditempuh maka kecepatan itu akan dipadukan
dengan daya tahan. Lari 100 meter pada dasarnya adalah gerak seluruh tubuh kedepan
secepat mungkin yang dihasilkan oleh gerakan dari langkah-langkah kaki dalam
menempuh jarak 100 meter yang unsur pokoknya adalah panjang langkah dan
kecepatan frekuensi langkah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hay (1993: 396)
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, lari 100 meter adalah salah satu nomer
lari jarak pendek dalam cabang olahraga atletik yang dilakukan dengan menempuh jarak
100 meter dan dilakukan dengan kecepatan maksimal atau secepat-cepatnya.
Pelaksanaan lari 100 meter membutuhkan semua unsur kesegaran jasmani yang ada
dalam tubuh, yaitu kecepatan, kekuatan, kelincahan, keseimbangan, kelentukan,
koordinasi, ketahanan kardiovasculer, dll.
Pengetahuan tentang unsur-unsur kesegaran jasmani dalam lari 100 meter akan
membantu mengetahui hal-hal penting yang harus diperhatikan sehingga perencanaan
program latihan akan sesuai dengan tujuan serta berlangsung secara efektif dan efisien.
b. Teknik lari 100 meter
Suatu penampilan dikatakan baik jika atlet menguasai dan melaksanakan
teknik lari 100 m dengan baik. Unsur-unsur teknik yang harus dikuasai, menurut
Carr (1997:13) adalah (1)Start yang baik, (2) Reaksi yang cepat, (3) Akselerasi
yang baik, (4) Mempertahankan kecepatan selama mungkin, dan (5) Teknik lari
yang efisien.
Penguasaan teknik dasar lari merupakan unsur yang fundamental yang
harus dimiliki oleh atlet lari 100 m. Jadi dapat dikatakan bahwa seorang pelari
harus dapat melakukan empat tahapan diatas secara efektif dan efisien.
Pelaksanaan lari 100 meter dinilai dalam satuan waktu (detik).Semakin
berlari dengan cepat maka waktu yang diperoleh semakin sedikit, itu menunjukkan
bahwa prestasi yang diperoleh semakin baik.Waktu menjadi tolak ukur kecepatan
berlari.Saat berlari tubuh membutuhkan semua unsur yang terdapat dalam tubuh,
seperti yang telah diungkapkan di atas antara lain kecepatan, kekuatan, koordinasi,
8
dan daya tahan kardiovaskuler.Guna memperoleh semua unsur tersebut, maka
tubuh harus dilatih secara teratur dan berkelanjutan.Karena waktu menjadi tolak
ukur, maka lari harus dilakukan sesingkat-singkatnya.Oleh karena itu setiap atlet
lari harus didukung oleh teknik berlari yang baik. Setiap atlet yang memiliki teknik
berlari yang baik akan dapat melakukan gerakan secara efektif dan efisien sehingga
waktu yang diperoleh akan semakin baik.
Dalam pelaksanaan lari 100 meter, terdapat 3 (tiga) teknik penting, yaitu :
1) Teknik start
2) Teknik lari
3) Teknik melewati finis
Ketiga unsur di atas menjadi satu bagian yang saling berkaitan untuk dapat
memperoleh catatan waktu yang baik.
1) Teknik start
Dalam perlombaan lari jarak pendek (sprint), teknik start yang
digunakan adalah: “Start Jongkok” (Crouching Start). Di dalam
pelaksanaannya, teknik start jongkok dibagi menjadi 4 (empat) macam, yaitu:
a) Start Pendek (bunch start/short start)
Pelaksanaan:
(1) Jarak antara ujung kaki dengan garis start ± 45 cm.
(2) Telapak kaki kiri di depan, ujung kaki kanan sejajar dengan tumit
kaki kiri atau sebaliknya.
(3) Lutut diletakkan tanpa mengubah posisi kedua telapak kaki.
(4) Kedua telapak tangan di belakang garis start tanpa menyentuh garis.
(5) Badan ke depan sampai kedua lengan tegak lurus dengan garis start.
b) Start Sedang (medium start)
(1) Jarak antara ujung kaki dengan garis start ± 37 cm
(2) Telapak kaki kiri di depan, lutut kaki kanan sejajar dengan ujung
kaki kiri atau sebaliknya.
(3) Lutut diletakkan tanpa mengubah posisi kedua telapak kaki.
(4) Kedua telapak tangan di belakang garis start tanpa menyentuh garis.
(5) Badan ke depan sampai kedua lengan tegak lurus dengan garis start.
c) Start Sedang-panjang (medium elongatet start)
9
(1) Jarak antara ujung kaki dengan garis start ± 35 cm.
(2) Telapak kaki kiri didepan, lutut kaki kanan berada sejajar dengan
tengah telapak kaki kiri atau sebaliknya.
(3) Lutut diletakkan tanpa mengubah posisi kedua telapak kaki.
(4) Kedua telapak tangan di belakang garis start tanpa menyentuh garis.
(5) Badan ke depan sampai kedua lengan tegak lurus dengan garis start.
d) Start Panjang (longated start)
(1) Jarak antara ujung kaki dengan garis start ± 32 cm.
(2) Telapak kaki kiri didepan, lutut kaki kanan berada sejajar dengan
tumit kaki kiri atau sebaliknya.
(3) Lutut diletakkan tanpa mengubah posisi kedua telapak kaki.
(4) Kedua telapak tangan di belakang garis start tanpa menyentuh garis.
(5) Badan ke depan sampai kedua lengan tegak lurus dengan garis start
Dari keempat macam start jongkok di atas, perbedaan yang
utama terletak pada penempatan kaki bagian depan dengan lutut.
Pemilihan start tergantung pada atlet itu sendiri. Pada umumnya
disesuaikan dengan panjang tungkai dan kebiasaan dari atlet
tersebut.Aba-aba yang digunakan adalah “Bersedia”, “Siap”, “Yak”.
Gambar 2.1 Posisi start jongkok (IAAF, 2000:23)
10
Gambar 2.2Posisi “siap” (IAAF, 2000:23)
Analisis gerak pada keempat start jongkok di atas menggambarkan
gerakan yang efisien untuk digunakan sebelum berlari. Saat melakukan start,
terjadi perpindahan titik berat badan dari tengah ke depan. Ini bertujuan untuk
menempatkan tubuh dalam posisi yang labil. Benda yang berada dalam
kondisi labil akan lebih mudah bergerak. Sebaliknya benda yang berada
posisi stabil tidak akan mudah bergerak. Gerakan lari membutuhkan
kecepatan reaksi, oleh karena itu tubuh harus berada dalam kondisi labil
untuk mempermudah melakukan gerakan.Begitupun saat start. Titik berat
tubuh dipindahkan ke depan, sehingga menjadi labil dan mudah bergerak.
Gambar 2.3Gambar gerak keseluruhan (IAAF, 2000:23)
2) Teknik lari
Faktor utama dari lari 100 meter adalah kecepatan.Untuk dapat berlari
dengan cepat, maka harus menguasai teknik lari yang benar, yaitu gerakan
yang efektif dan efisien. Teknik lari yang harus diperhatikan adalah:
Syarifuddin, (1992:45)
11
Gambar 2.4Gerakan berlari yang benar (IAAF, 2000:10)
a) Lari dengan menggunakan ujung kaki.
Tujuannya adalah untuk membuat tubuh berada dalam kondisi tidak
stabil, yaitu dengan memindahkan titik berat badan ke depan sehingga
mudah untuk melakukan gerakan lari. Selain itu juga akan membuat
gerakan jauh lebih efektif dan efisien.
b) Lutut atau paha diangkat setinggi panggul
c) Ayunan lengan dari belakang ke depan rilek, siku ditekuk 90˚
d) Badan condong ke depan dengan sudut 25˚-30˚
e) Pandangan lurus ke depan, posisi kepala netral (rilek)
Gambar 2.5Fase melayang saat berlari (IAAF, 2000:11)
Frekuensi gerakan tungkai dalam lari jarak pendek sangat memegang
peranan penting.Sedangkan ayunan lengan dan posisi tubuh (condong) untuk
mendukung laju lari sekaligus untuk menjaga keseimbangan.Frekuensi
gerakan juga didukung oleh kekuatan otot tungkai.
3) Teknik melewati finis
Batas akhir dari lari adalah finis.Begitupun dengan lari 100 meter.
12
Untuk dapat mencapai garis finis tercepat ada beberapa teknik memasuki
garis finis, yaitu:
a) Masuk finis dengan berlari biasa, artinya tanpa mengubah kecepatan, atau
mengubah gerakan tubuh.
b) Condong badan, yaitu membawa titik berat badan ke depan sehingga bagian
tubuh akan masuk terlebih dahulu melewati garis finis.
c) Menyamping, artinya memutar bahu ke arah depan sehingga yang masuk
terlebih dahulu adalah bahu.
Berdasarkan uraian di atas, hal yang perlu diperhatikan adalah batas
pengambilan finis terletak pada togok pelari.Jadi pengambilan waktu
dilakukan saat togok melewati garis finis.Batasan togok adalah bagian kepala
sampai dada dan perut.Teknik-teknik lari di atas harus bisa dikuasai untuk
bisa menghasilkan gerakan yang efektif dan efisien sehingga waktu yang
diperlukan untuk mencapai garis finis menjadi semakin singkat.
c. Unsur fisik lari 100 meter
Kemampuan fisik merupakan unsur penting untuk menunjang penampilan
pelari dalam suatu perlombaan.Penampilan pelari saat perlombaan sangat
bergantung pada kesegaran jasmani atau kondisi fisik yang dimiliki oleh pelari.
Kesegaran jasmani menunjukkan kapasitas fungsional seseorang saat melakukan
aktifitas.Ahli faal mengungkapkan definisi kesegaran jasmani sebagai kemampuan
seseorang untuk melakukan satu tugas yang memerlukan kerja muscular dimana
kecepatan dan ketahanan menjadi kriteria utama.Dalam bidang olahraga yang
disesuaikan dengan ilmu faal, kesegaran jasmani adalah kesanggupan dan
kemampuan tubuh melakukan penyesuaian terhadap pembebanan fisik yang
diberikan tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan.Komponen kesegaran
jasmani dibagi menjadi 2, yaitu komponen yang berhubungan dengan kesehatan
dan komponen yang berhubungan dengan keterampilan. Sedangkan Nossek
(1982:19) membagi kondisi fisik menjadi tiga kualifikasi yang bersifat dasar, yaitu :
(1) Kecepatan (speed)
(2) Kekuatan (strength)
(3) Ketahanan (endurance)
Dalam pelaksanaan lari 100 meter dibutuhkan kerja semua anggota tubuh
13
dengan menguasai teknik-teknik yang benar akan diperoleh waktu yang baik. Oleh
karena itu setiap pelari harus memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam
komponen kesegaran jasmani. Komponen-komponen tersebut adalah: (Depdiknas,
2000:53-58)
1) Komponen kesegaran jasmani yang berhubungan dengan kesehatan
a) Daya tahan jantung-paru
Adalah kemampuan untuk terus menerus dengan tetap menjalani
kerja fisik yang mencakup sejumlah besar otot dalam waktu tertentu, hal ini
merupakan kemampuan sistem peredaran darah dan sistem pernafasan untuk
menyesuaikan diri terhadap efek seluruh beban kerja fisik.Pengukuran daya
tahan jantung paru dilakukan dengan mengkonsumsi oksigen maksimal
(VO2max).VO2max dapat diartikan juga sebagai kemampuan tubuh untuk
mengambil oksigen, kemudian mengedarkan sekaligus memanfaatkan
oksigen secara maksimal. Semakin bagus VO2max seseorang maka oksigen
yang digunakan pun akan semakin efektif sehingga energi yang digunakan
akan tetap terjaga, selain itu itu tubuh akan semakin cepat dalam pemulihan
energi yang telah dikeluarkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tahan jantung-paru, adalah:
(1) Keturunan (genetic), (2) Umur, (3) Jenis Kelamin, dan (4) Aktifitas
Fisik.
b) Daya tahan otot
Kemampuan otot untuk menjalani kontraksi dengan beban
submaksimal secara berulang atau mempertahankan kontraksi otot dalam
periode waktu tertentu.
c) Kekuatan otot
Adalah kekuatan kontraksi maksimal otot atau sekelompok otot
yang dapat dikeluarkan terhadap tahanan tertentu. Pada saat kontraksi otot
akan memendek atau besar pemendekan akan tergantung beban yang harus
di tahan.
d) Tenaga ledak otot
Adalah kemampuan otot atau sekelompok otot melakukan kerja
secara eksplosif. Ini dipengaruhi oleh kekuatan otot dan kecepatan kontraksi
14
otot, memindahkan sebagian atau seluruh tubuh yang akan dilakukan satu
saat dan secara tiba-tiba.
e) Kelentukan
Kelentukan adalah kemampuan gerak maksimal yang dapat
dilakukan oleh suatu persendian, meliputi hubungan antara bentuk
persendian (tulang yang membentuk sendi), otot, tendo, ligament sekitar
sendi.
2) Komponen kesegaran jasmani yang berhubungan dengan keterampilan
a) Kecepatan
Kemampuan untuk berpindah atau bergerak dari satu titik ke titik
yang lain atau untuk mengerjakan suatu aktivitas berulang-ulang yang sama
serta berkesinambungan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Faktor yang
mempengaruhi kecepatan, adalah kelentukan, tipe tubuh, umur, dan jenis
kelamin.
b) Keseimbangan
Adalah kemampuan mempertahankan sikap tubuh yang tepat pada
saat melakukan gerakan.
c) Kecepatan reaksi
Adalah waktu tersingkat yang dibutuhkan untuk melakukan
gerakan setelah mendapat rangsangan.Kecepatan reaksi berhubungan
dengan waktu reflek, waktu gerakan dan waktu respon.
d) Koordinasi
Adalah hubungan yang terjadi dari beberapa faktor saat melakukan
satu gerakan.
e) Komposisi tubuh
Jumlah relatif lemak dan jaringan tubuh atau masa lemak
bebas.Komposisi tubuh seorang pelari juga dapat dilihat dari susunan otot
rangkanya. Otot terdiri dari 4 (empat) komponen: sel otot, jaringan otot,
saraf dan pembuluh darah. Seberkas otot terdiri dari fasikulus.Fasikulus
merupakan kumpulan dari sel otot atau yang disebut juga myofibril.Di
dalam myofibril terdapat protein-protein kontraktil (berfungsi untuk
kontraksi otot), yaitu atin dan myosin.
15
Otot dibagi menjadi 2 (dua) tipe, yaitu : (1) Serabut lambat atau
otot merah (slow twitch fibers), yaitu otot yang berisi banyak mioglobin (5
kali lebih banyak), bentuk fisiknya merah, gelap sehingga dinamakan otot
merah yang menyebabkan kapasitas aerobic tinggi. Otot merah atau serabut
lambat ini memiliki enzim yang menghasilkan cukup energi untuk waktu
yang lama/panjang. (2) Serabut cepat atau otot putih (fast twitch fibers),
yaitu serabut yang rendah mioglobin, bentuk fisiknya lebih terang
mendekati putih (disebut otot putih). Mempunyai kapasitas anaerobic tinggi
dan enzim yang menghasilkan sejumlah besar energi untuk waktu yang
pendek/singkat.Masing-masing tipe otot mempunyai respon yang berbeda-
beda terhadap latihan.
Dari kedua macam otot tersebut di atas, seorang pelari 100 meter
cenderung memiliki otot putih yang lebih dominan. Pemeriksaan otot ini
dapat membantu saat pemanduan bakat anak-anak usia dini dengan tujuan
untuk mengarahkan bakat apa yang bisa dikembangkan kelak.
d. Sistem Energi Utama Lari 100 Meter
Setiap melakukan aktifitas tubuh membutuhkan energi. Semakin berat
aktifitas yang dilakukan, akan semakin besar pula energi yang dibutuhkan oleh
tubuh. Oleh karena itu penting untuk mengetahui bagaimana energi diproduksi,
seberapa besar energi yang dihasilkan dan berapa lama energi tersebut dapat untuk
menunjang kelangsungan aktifitas.Terutama bagi pelatih, pengetahuan ini dapat
untuk membantu dalam penyusunan program latihan.
Sebelum lebih lanjut membahas tentang energi, terlebih dahulu membahas
tentang energi itu sendiri.Menurut Foss & Keteyian (1998:18) mendefinisikan,
“Energi adalah kapasitas atau kemampuan untuk melakukan pekerjaan”.Energi
memberi seorang atlet kapasitas untuk melakukan usaha.Energi adalah persyaratan
untuk melakukan usaha fisik selama pelatihan dan perlombaan. Merle L. Foss
&Steven J. Keteyian (1998 : 18) membagi energi menjadi enam bentuk, yaitu : (1)
kimia, (2) mekanik, (3) panas (kalor), (4) cahaya, (5) listrik, dan (6) nuklir. Energi
dapat berubah dari bentuk satu ke bentuk yang lain. Perubahan tersebut dinamakan
“Transformasi energi”. Energi yang digunakan tubuh untuk melakukan kerja
dipasok dari makanan yang kita makan, akan tetapi energi tersebut tidak dapat
16
langsung diserap dari makanan, melainkan harus melalui proses-proses mekanik
sehingga dihasilkan senyawa-senyawa energi yang tinggi yang dikenal sebagai
adenosine trifosfat (ATP). ATP ini akan disimpan dalam sel otot. ATP terdiri dari
satu molekul adenosine dan tiga molekul fosfat.
Energi yang dibutuhkan untuk kontraksi otot dilepaskan dengan mengubah
ATP energi tinggi menjadi ADP + Pi (adenosine difosfat + fosfat anorganik).Ketika
satu ikatan fosfat pecah yang menyebabkan ADP dan Pi terpecah pula, maka energi
dilepaskan.Jumlah ATP yang tersimpan di dalam otot dibatasi, sehingga tubuh terus
menerus mengisi kembali cadangan ATP untuk melakukan aktifitas selanjutnya.
Foss & Keteyian (1998:18) mengungkapkan bahwa, “Hanya dari energi yang
dilepaskan oleh pemecahan ATP, sel dapat melakukan usaha khususnya”,
kemudian Foss & Keteyian (1998:19) menambahkan bahwa, “Energi yang
dilepaskan pada saat pemecahan ATP ini menyatakan sumber energi yang segera
dapat digunakan oleh sel otot untuk melakukan usaha”. Tubuh dapat mengisi
kembali cadangan ATP dengan salah satu dari tiga sistem energi yang tergantung
dari jenis kegiatan fisik.Dua diantaranya secara anaerob yang berarti oksigen tidak
mutlak diperlukan dalam proses menghasilkan ATP, yaitu sistem ATP-PC dan
sistem LA. Sedangkan cara yang ketiga adalah sistem aerobik, yaitu sistem yang
membutuhkan oksigen untuk dapat menghasilkan ATP. Jenis energi yang
digunakan tergantung dari intensitas dan waktu yang diperlukan untuk melakukan
aktifitas tersebut. Estimasi waktu akan menentukan kebutuhan energi saat
melakukan aktifitas.
Ketika melakukan aktifitas, otot membutuhkan pasokan energi (ATP)
secara terus menerus, sedangkan persediaan ATP dalam otot terbatas. Untuk dapat
tetap melakukan aktiftas ATP harus selalu dihasilkan kembali. Proses-proses
pembetukan ATP menurut Soekarman (1991:9), melalui :
(1) Sistem ATP-PC (Fosfagen),
(2) Sistem asam laktat dan
(3) Sistem aerobik.
Estimasi waktu dan energi yang digunakan untuk melakukan aktiftas
adalah sebagai berikut :
17
ATP
ATP – PC
ATP – PC – LA
Aerob (Oksigen)
1 detik
Aktifitas antara 15-20 detik
Aktifitas antara 20 detik – 2 menit
Lebih dari 2 menit
Berdasarkan gambaran estimasi waktu dan energi yang digunakan untuk
melakukan aktifitas di atas, intensitas latihan menjadi hal yang penting untuk dapat
membantu dalam menyusun program latihan. Perencanaan program latihan akan
lebih efektif dan efisien.
Sedangkan proses pemecahan ATP sebagai berikut :
ATP ADP + Pi + Energi
dibackup
ATP – PC P + C + Energi (digunakan untuk resistensis ADP+P)
Lari 100 meter dilakukan dengan intensitas yang maksimal, dengan waktu
kurang dari 15 detik. Aktivitas yang dilakukan dengan intensitas tinggi dalam
waktu kurang dari 15 detik menggunakan sistem energi ATP-PC. Menurut Fox &
Mathews (1981:242), aktifitas lari 100 meter diperkirakan menggunakan ATP-PC
dan LA sebesar 98% dan LA-O2 sebesar 2 %. Menurut Fox, Richard & Foss
(1993:289) bahwa atlet lari cepat 100 meter umumnya menggunakan waktu kerja
(time performance) 09.8-0.15 detik, energi yang digunakan adalah ATP-PC
(anaerobic capacity).Hal ini dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 2.1Presentase waktu kerja dan sistem energi dalam nomor-nomor lari(Edward L.
Fox, Richard W. Bower & Merle L. Foss, 1993:289) Event
Time of performance
(min:sec)
Speed (ATP-
PC Strength)
Aerbic
capacity
(oxygen
sistem)
Anaerobic
capacity
(speed&lactid
acid sistem)
Marathon
6 mile (10k)
3 mile (5 k)
2 mile
1 mile
800 meter
400 meter
200 meter
100 meter
135:00 to 180.00
28:00 to 50:00
14:00 to 25:00
8:00 to 15:00
3:50 to 6:00
1:50 to 3:00
0:45 to 1:30
0:21 to 0:35
0:09.8 to 0:15
Negligible
5%
10
20
20
30
80
90+
95+
95%
80
70
40
25
5
5
negligible
negligible
5%
15
20
40
55
65
15
<10
<5
55 % menjadi panas
45% digunakan untuk action
18
Perbandingan kapasitas dan tenaga dari ketiga sistem energi tersebut
didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 2.2 Kapasitas dan energi dari sistem energi(Soekarman, 1991:14)
Sistem Energi Kapasitas
(jml mol) Tenaga (mol/menit)
Timbunan phosphagen(ATP-PC)
Glikolisis anaerob
Aerob (oxidatif)
0.6
1.2
3.6
1.6
1.0
a) Sistem ATP – PC (Fosfagen)
Semua energi yang dibutuhkan untuk melakukan aktifitas barasal dari
ATP.ATP dalam otot tersedia dalam jumlah yang terbatas. Namun apabila otot
terlatih untuk melakukan aktifitas maka jumlah ATP yang tersedia akan semakin
meningkat. Saat kontraksi, ATP akan pecah menjadi ADP dan Pi yang
menghasilkan pelepasan energi. Energi yang dihasilkan 55% berupa panas
sedangkan sisanya 45% untuk melakukan kontraksi tersebut. Apabila
aktifitas/kontraksi yang dilakukan masih berlanjut maka ATP akan habis sehingga
harus dibentuk kembali. Guna memenuhi kembali jumlah ATP perlu adanya
posokan dari cadangan energi.Merle L. Foss & Steven J. Keteyian (1998:20)
menyatakan bahwa ketika cadangan habis dalam aktivitas yang berintensitas sangat
(ultra) tinggi, misalnya sprinting, mereka tidak dapat diisi kembali secara efektif
hingga pemulihan dimulai. Oleh karena itu harus ada senyawa lain yang membatu
menyediakan energi secepat mungkin. Proses pembentukan kembali ATP ini
membutuhkan peran senyawa sederhana, yaitu PC (phosphocreatine).PC ini
merupakan senyawa sederhana sumber energitercepat untuk menghasilkan
ATP.Soekarman (1991:12) menyatakan, bahwa “PC merupakan sumber energi yang
tercepat untuk membentuk ATP kembali”.
Proses pembentukan ATP ini dilakukan dengan memecah PC menjadi Pi
dan C (creatine) yang menghasilkan energi. Energi ini yang digunakan untuk
meresintesis ADP dan Pi untuk menjadi ATP kembali. Proses pemecahan ini tidak
memerlukan oksigen. Di dalam otot PC tersedia dalam jumlah sangat sedikit.Akan
tetapi jumlahnya dapat ditingkatkan dengan melakukan latihan secara teratur.Hal ini
berlangsung pada masa pemulihan (recovery) dari suatu latihan/kerja, dimana energi
yang digunakan bagi resintesis ATP berasal dari pemecahan bahan-bahan
makanan.ATP dan PC disebut sistem fosfagen (phosphagensistem) karena
19
mengandung senyawa fosfat. Reaksi kimia dari sistem fosfagen adalah sebagi
berikut :
(Merle L. Foss & Steven J. Keteyian, 1998:20)
Pentingnya sistem fosfagen bagi performa fisik menjadi semakin
dominan.Tanpa sistem ini, gerakan yang cepat dan kuat tidak dapat dilakukan,
karena kegiatan-kegiatan ini memerlukan pasokan yang dapat disediakan dengan
cepat.Soekarman (1991:13) menyatakan bahwa olahraga yang dilakukan dengan
intensitas yang sangat tinggi seperti lari 100 meter, dibutuhkan persediaan energi
yang sangat cepat.Hal ini hanya dapat dipenuhi oleh cadangan fosfat yang tersedia.
Soekarman (1991:13) mengemukakan juga bahwa sistem fosfagen ini
merupakan sumber energi yang dapat digunakan secara cepat yang diperlukan untuk
olahraga yang memerlukan kecepatan. Seorang pelari 100 meter hanya dapat
mempertahankan kecepatan maksimum selama 6 detik, selanjutnya kecepatan akan
menurun. Bompa, Tudor O.& G. Gregory Haff (2009:21) berpendapat bahwa otot
rangka hanya dapat menyimpan sejumlah ATP, kehabisan energi dalam usaha
berintensitas tinggi selama 10 detik, sedangkan PCr dapat berkurang sebesar 50%
sampai 70% dari nilai awal dalam latihan berintensitas tinggi selama 5 detik dan
dapat benar-benar habis dalam merespon latihan yang kuat dan melelahkan.
Sumbangan tertinggi terhadap produksi ATP oleh PCr terjadi dalam 2 detik pertama
latihan inisiasi; sebesar 10 detik latihan, kemampuan PCr untuk memasok ATP
berkurang sebesar 50% dan dengan 30 detik latihan PCr menyumbang sangat sedikit
terhadap persediaan ATP. Pada waktu 10 detik, sumbangan sistem glikolisis
terhadap pasokan ATP mulai meningkat.
Di dalam otot tubuh simpanan PC yang jumlahnya kira-kira lima kali lipat
simpanan ATP dalam tubuh. Akan tetapi jumlah ATP tidak hanya bergantung pada
berat badan dan massa otot. Latihan yang dilakukan secara teratur akan
meningkatkan jumlah ATP dalam otot. Oleh karena itu untuk dapat meningkatkan
prestasi terutama dalam pembahasan ini adalah lari 100 meter, diperlukan suatu
rancangan program latihan yang cermat sehingga diperoleh latihan yang efektif dan
PC Pi + C + Energi
Energi + ADP + Pi ATP
20
efisien.Pengetahuan tentang sistem energi terutama sistem energi dominan yang
dibutuhkan dalam lari 100 meter membantu dalam penyediaan konsumsi makanan
bagi para atlet.
Besarnya energi ATP yang tersedia dari sistem fosfagen dalam Merle L.
Foss & Steven J. Keteyian (1998:21) adalah:
Tabel 2.3Jumlah energi ATP-PC(Merle L. Foss & Steven J. Keteyian, 1998:21)
OTOT ATP PC
TOTAL ATP-
PC
(phosphagen)
1. Konsentrasi Otot
a. mM/Kg otot
b. mM keseluruhan otot
2. Energi yang digunakan
Kcal/Kg otot
Kcal keseluruhan otot
4 – 6
120 – 180
0.04 – 0.06
1.2 – 1.8
15 – 17
450 – 510
0.15 – 0.17
4.5 – 5.1
19 – 23
570 – 690
0.19 – 0.23
5.7 – 6.9
Tabel di atas mengandaikan berat seseorang 70 Kg dengan berat otot
seluruhnya 30 kg, dan setiap molekul ATP dapat menghasilkan 10 Kcal energi. Dari
tabel di atas dinyatakan bahwa simpanan PC dalam otot lebih banyak dari simpanan
ATP-nya.Hal ini sesuai dengan fungsi PC, yaitu untuk menyajikan energi bagi
resintesis ATP. Simpanan fosfagen seluruhnya (ATP + PC) dalam tubuh hanya
antara 570 sampai 690 milimol saja, yang seharga dengan 5.7 sampai 6.9 Kcal
energi yang berasal dari ATP, dan yang hanya dapat digunakan untuk kegiatan
dalam waktu yang terbatas sekali sekitar 10 detik, misal untuk sprint 100 meter
(Merle L. Foss & Steven J. Keteyian, 1998:22).
Kemudian Foss & Keteyian (1998: 22) menyatakan, bahwa sistem
fosfagen merupakan sumber ATP yang tersedia dengan cepat untuk digunakan oleh
otot. Alasan yang menunjang pernyataan tersebut ialah:
(1) ATP-PC disimpan secara langsung di dalam mekanisme kontraktil otot,
(2) Tidak tergantung pada reaksi kimia yang panjang, dan
(3) Tidak tergantung pada pengangkutan oksigen saat bernafas untuk kerja otot”.
Sistem fosfagen merupakan sumber energi utama untuk aktifitas yang
berintensitas sangat tinggi, seperti lari 100 meter. Bompa & Haff (2009:22)
mengemukakan bahwa:
“Pengisian kembali cadangan fosfagen biasanya merupakan sebuah
proses yang sangat cepat, dengan 70 % pemulihan ATP yang terjadi dalam waktu
21
sekitar 30 detik dan pemulihan sempurna dalam latihan terjadi selama 3 sampai 5
menit. Pemulihan PC memakan waktu lebih lama dengan 2 menit untuk pemulihan
84%, 4 menit untuk pemulihan 89 % dan 8 menit untuk yang sempurna. Pemulihan
fosfagen terjadi sebagian besar melalui metabolisme aerobik.Akan tetapi, sistem
glikolisis mungkin juga menyumbang pada pemulihan kumpulan fosfagen setelah
latihan yang berintensitas tinggi”.
b) Sistem Glikolisis Anaerobik atau Sistem Asam Laktat
Ketika suatu aktifitas dilakukan terus menerus melebihi sistem energi
fosfagen, yaitu aktifitas yang berlangsung selama 20 detik – 2 menit. Maka aktifitas
tersebut membutuhkan cadangan energi yang akan dipenuhi melalui persediaan
glikogen yang ada dalam otot-otot yang aktif melakukan kontraksi. Proses anaerob
yang berlangsung dalam otot dimana terjadi resintesis ATP dengan glikogen sebagai
sumber energinya disebut dengan proses glikolisis. Proses glikolisis merupakan
proses pemecahan karbohidrat secara tak sempurna, karena belum menggunakan
oksigen dan menghasilkan asam laktat sebagai hasil sampingan. Oleh karena
berlangsungnya proses tanpa melibatkan oksigen maka proses ini disebut proses
glikolisis anaerobik. Di dalam tubuh, semua jenis karbohidrat diubah menjadi jenis
gua sederhana, yaitu glukosa, yang dapat digunakan. Bila berlebihan akan disimpan
di dalam hati atau dalam otot sebagai glikogen, yang dapat segera digunakan
kemudian pada saat diperlukan. Sebagai hasil sampingan, asam laktat bila
menumpuk dankadarnya meninggi dapat merugikan tubuh karena akan
menimbulkan kelelahan. Dibandingkan dengan sistem fosfagen, sistem glikolisis
anaerob jauh lebih rumit.
Pada awalnya sebagian besar ATP dipasok dari glikolisis cepat.Ketika
aktifitas berlangsung hampir 2 menit maka pasokan ATP berasal dari glikolisis
lambat. Proses pembentukan energi glikolisis anaerobik memerlukan proses yang
lebih panjang dibandingkan dengan proses pembentukan energi ATP-PC. Hal ini
dikarenakan proses glikolisis anaerobik harus melalui 12 macam reaksi. Soekarman
(1991 : 15) menyebutkan bahwa proses tersebut (glikolisis anaerobik) diperlukan
12 macam reaksi berurutan, sehingga pembentukan energi lewat sistem ini berjalan
lambat jika dibandingkan dengan ATP-PC. Kemudian Soekarman menambahkan
ciri-ciri glikolisis anaerobik dapat disimpulkan sebagai berikut:
22
(1) Menyebabkan terbentuknya asam laktat yang dapat menyebabkan kelelahan.
(2) Tidak membutuhkan oksigen.
(3) Hanya menggunakan karbohidrat.
(4) Memberikan energi untuk resintesis beberapa molekul ATP saja.
Proses glikolisis anaerobik ini menghasilkan asam laktat (LA). Jika asam
laktat yang dihasilkan melebihi kemampuan tubuh untuk mentoleransi maka asam
laktat itu akan menumpuk. Penumpukan asam laktat ini akan mengakibatkan otot
mengalami kelelahan sehingga aktifitas akan terhenti.
Glikogen diperoleh dari makanan yang mengandung karbohidrat.
Makanan rendah karbohidrat akan berakibat pada berkurangnya cadangan glikogen
dalam otot sehingga berdampak pada aktifitas yang dilakukan, terutama latihan yang
memerlukan intensitas tinggi dan durasi yang panjang. Bompa & Haff (2009 : 23-
24) mengemukakan bahwa “Latihan aerobik dan latihan anaerobik seperti interval
sprint yang berulang-ulang dan pelatihan ketahanan dapat secara signifikan
mempengaruhi otot dan cadangan glikogen liver”. Aktifitas dengan intensitas dan
durasi yang tinggi akan menguras cadangan glikogen yang ada dalam otot.
Pengisian kembali atau pemulihan glikogen otot ini memerlukan waktu yang
panjang. Bompa & Haff (2009:24) menjelaskan bahwa “ Setelah menyelesaikan
latihan, secara umum memerlukan waktu antara 20 – 24 jam bagi glikogen otot agar
pulih secara sempurna”. Kemudian ketika terjadi kerusakan otot atau persediaan
karbohidrat yang tidak memenuhi, maka pemulihan kembali glikogen otot
memerlukan waktu yang lebih panjang. Ini diperjelas oleh pendapat Ivy dan rekan-
rekan dalam Bompa & Haff (2009:24) bahwa “ Jika karbohidrat dikonsumsi dalam 2
hari setelah menyelesaikan latihan, penyimpanan glikogen otot dapat meningkat
45%”. Pemahaman ini sangat penting disaat mengikuti perlombaan, dimana waktu
yang digunakan untuk lomba sangat pendek. Sehingga dapat diambil kesimpulan,
bahwa konsumsi karbohidrat yang cukup akan membantu menjaga performa atlet.
e. Kecepatan Lari 100 Meter
Kecepatan merupakan unsur utama dalam lari 100 meter.Bompa (1990)
mengemukakan bahwa salah satu kemampuan biomotorik yang sangat penting
dilakukan dalam olahraga adalah kecepatan, atau kapasitas untuk berpindah,
bergerak secepat mungkin.Pernyataan tersebut mendukung bahwa kecepatan
23
merupakan unsur yang sangat penting dalam melakukan gerak motorik.Lari cepat
atau sprint merupakan gerak motorik yang komplek, yaitu koordinasi antar bagian-
bagian tubuh sehingga dapat melakukan gerakan dengan cepat.Oleh karena itu
kecepatan menjadi unsur utama yang sangat penting dalam lari 100 meter.
Menurut Ismaryati (2008:57) kecepatan adalah kemampuan bergerak
dengan kemungkinan kecepatan tercepat. Ditinjau dari sistem gerak kecepatan
adalah kemampuan dasar mobilitas sistem saraf pusat dan perangkat otot untuk
menampilkan gerakan-gerakan pada kecepatan tertentu. Kecepatan adalah salah
satu kemampuan biomekanika yang penting untuk melakukan aktifitas olahraga
(Bompa, 1990).
Menurut Harsono (1988:314) kecepatan adalah kemampuan untuk
melakukan gerakan-gerakan yang sejenis secara berturut-turut dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya, atau kemampuan untuk menempuh suatu jarak dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya.Syaifullah (2006:17) mendifinisikan kecepatan sebagai
kemampuan untuk bergerak dengan kecepatan yang paling cepat. Kecepatan ini
secara meyakinkan menyumbang dalam prestasi lari cepat (sprint) dan loncat
horisontal (horizontal jamp). Sedangkan Nossek (1982 :82) mengemukakan
kecepatan merupakan kualitan kondisional yang memungkinkan seseorang
olahragawan untuk bereaksi secara cepat bila dirangsang dan untuk
menampilkan/melakukan gerakan secepat mungkin.
Rushall, & Pyke (1992: 252) menyatakan bahwa, pada saat sebuah
tindakan sangat cepat dan tampaknya memerlukan usaha yang relatif kecil hal ini
biasanya diklasifikasikan sebagai gerakan kecepatan. Kemudian Sugiyanto, dkk
(2007:62) juga mengemukakan kecepatan sebagai kemampuan untuk berpindah
tempat/bergerak pada seluruh tubuh atau bagian dari tubuh dalam waktu yang
singkat. Secara fisika, kecepatan diartikan sebagai perbandingan antara jarak
(panjangnya lintasan ) dan waktu (lamanya gerak).
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut kecepatan dapat diartikan sebagai
kemampuan tubuh untuk berpindah tempat/bergerak pada seluruh bagian tubuh
atau sebagian dari tubuh dalam waktu yang singkat dengan usaha yang relatif kecil
Lari 100 meter adalah berlari dengan menempuh jarak 100 meter. Jadi kecepatan
lari 100 meter adalah kemampuan tubuh untuk berlari secepat mungkin (waktu
24
yang sesingkat-singkatnya) dengan menempuh jarak 100 meter.Mengacu pada
pendapat-pendapat di atas, kecepatan memiliki peran terpenting dalam pencapaian
lari 100 meter.Pencapain kecepatan tidak dapat langsung secara maksimal,
melainkan melalui tahapan yang disebut percepatan (accelerasion). Jadi
pencapaian kecepatan lari 100 meter dapat digambarkan sebagai berikut:
Percepatan Penurunan
Kecepatan awal Kecepatan maksimal Perlambatan
Gambar 2.6Kecepatan dan percepatan dalam lari sprint
Percepatan ialah perubahan dari kecepatan dalam satuan waktu tertentuImam
Hidayat,(1997:106). Nossek (1982:90) menyebutkan empat fase analisis kecepatan,
yaitu :
(1) Waktu reaksi dan kecepatan reaksi
(2) Akselerasi
(3) Dasar kecepatan lari
(4) Ketahanan kecepatan
Kecepatan dibedakan menjadi dua macam, yakni kecepatan umum dan
kecepatan khusus.
(1) Kecepatan umum
Adalah kapasitas untuk melakukan berbagai macam gerakan (reaksi
motorik) dengan cara yang cepat.
(2) Kecepatan khusus
Adalah kapasitas untuk melakukan suatu latihan atau keterampilan pada
kecepatan tertentu, biasanya sangat tinggi.Kecepatan khusus adalah khusus
untuk tiap cabang olahraga dan sebagian besar tidak dapat ditransferkan, dan
hanya mungkin dikembangkan melalui metode khusus. (Ismaryati, 2008:57)
Kecepatan menurut Haag & Kremple (1987:20) kecepatan dibedakan menjadi
kecepatan asiklis, siklis dan kecepatan dasar.
25
(1) Kecepatan asiklis
Adalah kecepatan gerak yang dibatasi oleh faktor-faktor yang terletak
pada otot, yakni kekuatan statis, kecepatan kontraksi otot, gerak otot-otot
antagonis, panjang pengungkit dan massa yang digerakkan.
(2) Kecepatan siklis
Adalah produk yang dihitung dari frekuensi dan amplitudo gerak
(3) Kecepatan dasar
Kecepatan dasar sebagai kecepatan maksimal yang dapat dicapai dalam
gerak siklis adalah produk maksimal yang dapat dicapai dari frekuensi dan
amplitude gerak.
Sedangkan kecepatan menurut Sugiyanto, (2007: 62-64) dibagi menjadi 6
(enam ) jenis, yaitu :
1) Kecepatan maksimal
Adalah fase dimana gerak mencapai pada titik kecepatan penuh setelah
didahului dengan percepatan.
2) Kecepatan optimal
Adalah kemampuan mengembangkan kecepatan maksimal tapi terkontrol.
3) Dayatahan kecepatan
Adalah kemampuan untuk bergerak cepat dalam waktu yang cukup lama
tanpa mengalami kelelahan.
4) Kecepatan reaksi
Adalah waktu antara datangnya stimulus dengan gerakan awal.
5) Quickness
Adalah waktu yang menghubungkan antara reaksi dengan dimulainya
gerakan menuju pada kecepatan.
6) Kelincahan
Merupakan kemampuan untuk bergerak, berhenti dan mengubah kecepatan
serta mengubah arah dengan cepat dan tepat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan (Depdiknas, 2000:56) adalah :
1) Kelentukan.
Kurangnya kelentukan daerah pinggul dan tungkai atas akan mengurangi
kecepatan lari, karena tahanan yang dibuat oleh otot yang berlawanan.
26
2) Tipe tubuh
Orang yang obesitas cenderung mempunyai gerak yang lamban, hal ini
karena friksi dari sel-sel lemak dalam sel otot serta beban ekstra dari berat badan
yang harus diatasi pada saat melakukan gerak.
3) Umur
Peningkatan kecepatan sesuai dengan penambahan umur.Akan tetapi
penurunan ini dapat ditunda apabila terus dilatih secara teratur.
4) Jenis kelamin.
Terlihat perbedaan kecepatan antara laki-laki dan perempuan.Perempuan
hanya memiliki 85% dari laki-laki.Perbedaan ini dipengaruhi oleh kekuatan otot.
Gandelsman dan Smirnov (1970) dalam Bompa (1990) memasukkan lari dalam
kelompok pencapaian kecepatan yang tinggi pada keterampilan siklik, artinya bahwa
kelompok ini memiliki inti utama, yaitu kecepatan. Program latihan yang dilakukan
adalah untuk dapat menyesuaikan kecepatan dengan berbagai lari 100
meter.Keberhasilan lari 100 meter dilihat dari catatan waktu yang ditempuh.Semakin
cepat berlari maka waktu yang diperoleh semakin singkat.Pencapaian kecepatan biasa
dijadikan tolak ukur bagi keberhasilan program latihan yang menyangkut sistem syaraf
pusat, neuromuskuler dan kardiovaskuler.
2. Latihan untuk Meningkatkan Kecepatan Lari 100 Meter
a. Pengertian dan Tujuan Latihan
Latihan adalah suatu proses penyesuaian tubuh yang dilakukan dengan
berulang-ulang secara sistematis dengan menambah beban secara bertahap untuk
mencapai prestasi maksimal Hamid, A, (2000:7). Kemudian Harsono (1992:2)
dalam Hadisasmita & Syarifuddin (1996:126) menyatakan bahwa latihan adalah
proses yang sistematis dari berlatih yang dilakukan berulang-ulang, demikian
menambah jumlah beban ketihan serta intensitas latihan. Sistematis berarti
berencana, menurut jadwal, menurut pola dan sistem tertentu, metodis, dari mudah
ke yang lebih sukar, latihan teratur, dari yang sederhana ke yang lebih rumit.
Sedangkan menurut Harre (1971) dalam Nossek (1982:12) mendefiniskan latihan
adalah suatu proses penyempurnaan olahraga yang diatur dengan prinsip-prinsip
yang bersifat ilmiah, khususnya prinsip-prinsip paedagogis. Proses ini dirancang dan
27
sistematis, meningkatkan kesiapan untuk tampil. Bompa & Haff (2009:6)
mengemukakan bahwa pelatihan merupakan sebuah proses yang terorganisasi
dimana tubuh dan pikiran terpapar secara terus menerus dengan stressor (penyebab
stress) dengan volume (kantitas) dan intensitas yang bervariasi. Kemampuan
seorang atlet untuk menyesuaikan diri terhadap beban latihan merupakan langkah
awal untuk bisa menaikkan kemampuan tubuhnya. Program latihan yang terencana
dengan baik, metodis dan menantang akan membantu meningkatkan performa atlet.
Bompa & Haff (2009:9) mengambarkan skema program latihan dan pencapaian
performa:
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas definisi latihan adalah suatu
proses yang sistematis yang dilakukan berulang-ulang untuk proses penyesuaian
tubuh terhadap beban latihan yang terus meningkat dengan berpendoman pada
prinsip-prinsip ilmiah dan prinsip-prinsip paedagogis.
Tujuan dari latihan adalah untuk menjadikan tubuh mampu melakukan
aktifitas secara maksimal. Latihan yang dilakukan secara teratur dan terus menerus
akan membantu pencapaian prestasi secara maksimal. Harsono (1992:5) dalam
Hadisasmita & Syarifuddin (1996:126) menyatakan bahwa tujuan utama dari latihan
atau training adalah untuk membantu atlet meningkatkan keterampilan dan prestasi
olahraganya semaksimal mungkin. Untuk mencapai tujuan, ada empat aspek latihan
yang perlu diperhatikan oleh pelatih, yaitu :
a) Latihan fisik
b) Latihan teknik
c) Latihan taktik
d) Latihan mental
Keempat aspek harus dilakukan secara serempak dan tidak satu pun
boleh terabaikan. Untuk dapat mencapai tujuan utama dari latihan, yaitu taraf
keterampilan dan prestasi dari para atlet, maka tujuan umum dari latihan harus
dicapai. Maksud dari tujuan umum latihan Bompa & Haff (2009: 4) adalah :
Peningkatan Rangsangan (beban) ADAPTASi Peningkatan Performa
28
a) Untuk mencapai dan meningkatkan perkembangan fisik secara multilateral
b) Untuk meningkatkan dan mengamankan perkembangan fisik yang spesifik,
sesuai dengan kebutuhan olahraga yang ditekuni.
c) Untuk menghaluskan dan menyempurnakan teknik dari cabang olahraganya.
d) Untuk meningkatkan dan menyempurnakan teknik maupun strategi yang
diperlukan.
e) Untuk mengelola kualitas kemauan.
f) Untuk menjamin dan mengamankan persiapan individu maupun tim secara
optimal.
g) Untuk memperkuat tingkat kesehatan tiap atlet.
h) Untuk mencegah cidera.
i) Untuk meningkatkan pengetahuan teori.
b. Prinsip-prinsip Latihan
Pengetahuan tentang latihan harus diimbangi dengan pengetahuan tentang
hal yang lain yang tidak kalah penting, yaitu prinsip-prinsip latihan. Prinsip-prinsip
latihan adalah suatu dasar bagi atlet dan pelatih tentang hal-hal yang harus dilakukan
atau dijadikan sebagai pedoman.Tanpa mengetahui prinsip-prinsip latihan seorang
pelatih atau atlet tidak dapat berhasil dalam latihan. Prinsip-prinsip latihan menurut
Bompa (1990)adalah sebagai berikut:
a) Prinsip Beban Lebih (Overload)
Prinsip beban lebih adalah prinsip latihan yang menekankan pada
pembebanan latihan yang lebih berat daripada yang mampu dilakukan oleh
atlet, artinya berlatih dengan beban yang berada di atas ambang
rangsang.Prinsip beban lebih disebut juga dengan prinsip stress (overload).
Latihan ditingkatkan secara bertahap, dan disesuaikan denagn kemampuan
fisiologis dan psikologis setiap individu atlet.Dasar fisiologis ini berpedoman
kepada suatu bukti bahwa hasil dari latihan adalah efisiensi fungsional organ
dan sekaligus kapasitas kerja secara bertahap meningkat dalam waktu yang
cukup lama (Bompa, 1990).Jika tubuh telah mampu beradaptasi terhadap
beban latihan yang diberikan maka latihan berikutnya harus ditekankan dengan
cara mengubah faktor-faktor yang mempengaruhi latihan tersebut yang
mencakup: (a) frekuensi , (b) volume, (c) intensitas, (d) density, (e) durasi,
29
overload dicapai dengan memanipulasi kombinasi dari frekuensi latihan,
intensitas latihan, dan durasi latihan. Sistem faal tubuh membutuhkan waktu
untuk menyesuaikan diri dengan rangsang-rangsang latihan (adaptasi).Adaptasi
adalah penyesuaian fungsi dan struktur organ atlet akibat beban latihan yang
diberikan oleh pelatih.
Hadisasmita & Syarifuddin (1996:131-132) menyebutkan 3 tingkat
adaptasi diwujudkan oleh penampilan kerja atlet sebagai berikut:
(1) Superkompensasi (prestasi naik), karena :
(a) Beban di atas ambang / teratur.
(b) Istirahat cukup.
(c) Metode dan bahan tepat.
(d) Gizi makanan baik.
(2) Plateau (prestasi tetap), karena :
(a) Beban tepat ambang rangsang.
(b) Pelatih tak mampu.
(c) Metode tidak sesuai.
(d) Pembinaan fisik salah.
(e) Atlet motovasi lemah.
(f) Umur prestasi habis.
(3) Prestasi turun (involusi), karena :
(a) Umur prestasi sudah lewat.
(b) Latihan tidak teratur / ringan.
(c) Kemampuan pelatih terbatas.
(d) Overtraining.
(e) Sakit dan motivasi rendah.
(f) Kurang gizi makanan.
(g) Istirahat kurang.
(h) Metode dan beban latihan tidak tepat.
(4) Prestasi naik-turun (fluktuasi)
Agar adaptasi terhadap latihan dapat dicapai dengan baik, maka
penerapannya harus diselingi dengan masa-masa pemulihan atau
penurunan intensitas dan volume latihan. Oleh karena itu:
30
(a) Istirahat yang cukup tiap hari sangat penting.
(b) Hari-hari latihan berat harus diselingi dengan hari-hari latihan
ringan.
(c) Rencana latihan harus disusun dalam siklus-siklus, yaitu misalnya
setelah latihan puncak, latihan kemudian diturunkan intensitas
dan volumenya.
Prinsip peningkatan bertahap beban latihan, merupakan dasar untuk
semua perencanaan latihan olahraga (Bompa, 1990). Peningkatan latihan beban
akan mengakibatkan keadaan sedikit kurang stabil terhadap fungsi organ serta
psikologis atlet. Ketika keadaan itu telah tercapai maka akan ada fase
penyesuaian hingga mencapai puncak dengan peningkatan tingkat latihan serta
prestasi. Berikut ilustrasi prinsip beban beban berlebih dengan sistem tangga:
Gambar 2.7Prinsip beban berlebih (the overload principle)
http://www.koni.or.id/files/documents/journal/1.%20PRINSIP%20PRINSIP%20LA
TIHAN%20Oleh%20Dikdik%20Zafar%20Sidik.pdf
Prinsip beban berlebih sebaiknya menganut sistem tangga (step-type
approach).Efek latihan pada tubuh adalah semua yang terjadi dalam latihan.
Bila pembebanan latihan terlalu ringan, efek latihan setelah pemulihan akan
menjadi kurang dari yang diharapkan. Jika pembebanan latihan terlalu
besar/berat maka akan terjadi overtraining.
31
Gambar 2.8Efek latihan (overcompensation)
Keterangan:
-------------- : latihan terlalu berat.
: latihan terlalu kuat
- - - - - - : latihan terlalu ringan.
(http://www.koni.or.id/files/documents/journal/1.%20prinsip%20prinsip%20L
ATIHAN%20Oleh%20Dikdik%20Zafar%20Sidik.pdf)
b) Prinsip Perkembangan Multilateral
Prinsip perkembangan menyeluruh (multirateral) menekankan pada
keterlibatan semua komponen dalam pelatihan, dimana segala hal dapat
dijadikan pengetahuan untuk menambah komponen diri.Prinsip perkembangan
menyeluruh membantu pelatih dalam mengembangkan dasar-dasar yang
menunjang keterampilan. Oleh karena itu disarankan kepada para pelatih untuk
tidak membatasi atletnya dengan memberikan spesialisasi pada usia dini.
Prinsip perkembangan multirateral didasarkan pada fakta bahwa selalu
ada interdependensi (saling ketergantungan) antara semua organ dan sistem
tubuh manusia, antara komponen-komponen biomotorik dan antara proses-
proses faal dengan psikologis Hadisasmita & Syarifuddin (1996:134).
Perubahan yang terjadi ketika suatu program latihan dilakukan merupakan
hubungan keterkaitan antara faktor fisiologis, psikologis dan faktor eksternal
berupa program latihan yang menyatukan faktor-faktor tersebut. Berikut fase
pokok dalam latihan olahraga :
Gambar 2.9 Fase pokok dalam latihan olahraga (Bompa & Haff (2009:32)
prestasi
tinggi
latihan yang
khusus
pengembangan menyeluruh
32
c) Prinsip Intensitas Latihan
Hasil dari suatu program latihan akan tampak apabila latihan
dilakukan secara intensif, dimana pelatih secara progresif menambahkan beban
kerja, jumlah pengulangan gerakan (repetisi) serta kadar intensitas dari repetisi
tersebut.
d) Prinsip Kualitas Latihan
Keberhasilan suatu program latihan juga bergantung pada kualitas dari
latihan itu sendiri.Program latihan harus berbobot, bermutu serta sesuai dengan
sasaran. Program latihan yang berkualitas adalah:
(a) Latihan yang diberikan bermanfaat dan sesuai dengan kebutuhan atlet.
(b) Apabila koreksi-koreksi yang tepat dan konstruktif sering diberikan.
(c) Apabila pengawasan dilakukan oleh pelatih sampai ke detail setiap
gerakan dan setiap kesalahan segera diperbaiki.
(d) Apabila prinsip-prinsip overload diterapkan,
e) Prinsip Keterlibatan Aktif
Keaktifan semua personal daam latihan akan menjadikan tujuan
latihan tercapai secara maksimal. Keaktifan ini berarti keikutsertaan pelatih dan
atlet dalam setiap latihan.Pelatih perlu menjalin hubungan yang harmonis
dengan atlet agar timbul keinginan dari atlet untuk mengikuti program latihan
dengan kesadaran sendiri. Apabila semua personal (pelatih dan atlet) sudah
memiliki kesadaran untuk mengikuti latihan, maka akan mudah untuk bersama-
sama mencapai tujuan latihan, yaitu prestasi yang maksimal.
f) Variasi Dalam Latihan
Variasi latihan merupakan cara untuk menghindarkan atlet dari
kejenuhan terhadap rutinitas latihan. Apabila kejenuhan sudah dirasakan, maka
akan mempengaruhi motivasi untuk berlatih. Oleh karena itu perlu adanya
variasi latihan dengan tetap berprinsip pada prinsip-prinsip latihan. Peran dari
pelatih sangat penting dalam merancang kreatifitas program latihan. Selain
untuk meningkatkan unsur-unsur fisik program latihan juga harus memberikan
rasa senang sehingga menimbulkan motovasi untuk menyelesaikan latihan dan
mencapai tujuan dari latihan
33
g) Prinsip Individualisasi
Bompa & Haff (2009:38) berpendapat bahwa individualisasi dalam
latihan adalah suatu kebutuhan yang utama dari suatu bentuk usaha latihan, dan
ini berbeda untuk setiap atlet.Keunikan masing-masing atltet harus menjadi
perhatian bagi pelatih.Tujuan dari prinsip individualisasi adalah mengetahui
kekurangan dan kelebihan dari masing-masing atlet sehingga program latihan
dapat disesuaikan dengan kebutuhan tiap atlet.Perencanaan individualisasi
mengarah pada kekhususan program untuk tiap atlet.
Ritter’s (1981) dalam Bompa (1990) menyebutkan bahwa pelatih-
pelatih yang efektif dalam latihan akan mengembangkan pengetahuan tentang
aturan seperti di bawah ini :
(a) Analisis yang luas dari kemampuan-kemampuan usaha setiap atlet dan
pengembangan personal, menyangkut didalamnya umur, pengalaman,
kapasitas individu, status kesehatan dalam latihan. Beban latihan dan
kecepatan-kecepatan atlet dalam penulihan, bentuk tubuh dan tipe syaraf,
jenis kelamin.
(b) Penyesuaian kerja.
(c) Organ seorang wanita terutama perbedaan struktur secara anatomi dan
biologi harus menjadi perhatian.
h) Penetapan Sasaran (Goal Setting)
Penetapan sasaran berarti penetapan tujuan dan sasaran
latihan.Penentapan sasaran ini berhubungan dengan periode latihan, yaitu
jangka panjang, menengah dan jangka pendek.
i) Prinsip Perbaikan Kesalahan
Apabila pada saat latihan, atlet melakukan kesalahan, maka pelatih
harus melakukan perbaikan dengan menyertakan penyebab kesalahan.
c. Variabel-variabel Latihan
Program latihan yang efisien disesuaikan dengan kebutuhan fungsional,
fisiologis dan psikologis.Artinya suatu program latihan dirancang untuk memenuhi
tujuan dari performa.Oleh karena itu, seorang pelatih harus terlebih dahulu
menentukan variable mana yang harus didahulukan untuk menunjang performa
atlet. Bompa & Haff (2009:78) menyatakan bahwa program pelatihan fisik
34
diperoleh dari manipulasi volume (durasi, jarak, perulangan, atau beban volume),
intensitas (beban, kecepatan, atau output energi) dan kepadatan
(frekuensi/densitas).
Rencana pelatihan seharusnya menekankan variabel pelatihan yang sesuai
dengan kebutuhan atlet. Sebuah analisis tentang rencana pelatihan yang digunakan
pada atlet akan memberikan wawasan tentang efektifitas manipulasi variabel
pelatihan.
a) Volume Latihan
Volume adalah kuantitas kegiatan yang dilakukan dalam suatu
latihan.Volume juga dianggap sebagai jumlah pekerjaan yang dilakukan
selama sesi pelatihan atau fase. Bompa & Haff (2009:78) menyatakan volume
merupakan komponen utama dari pelatihan karena ini merupakan sebuah
prasyarat bagi pencapaian teknis, taktis dan fisik yang tinggi. Volume latihan
memiliki bagian-bagian sebagai berikut :
(1) Waktu atau durasi latihan (dalam detik, menit, jam, hari, minggu atau
bulan)
(2) Jarak tempuh (meter), berat badan (kilogram), jumlah angkatan dalam
satuan waktu (berapa kilogram dapat diangkat dalam waktu satu menit)
(3) Jumlah pengulangan atau repetisi dalam sebuah latihan atau unsur
teknik dalam satuan waktu tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, volume latihan diartian sebagai jumlah kerja
keseluruhan yang dinyatakan dalam satuan jarak, berat, waktu dan jumlah
pengulangan untuk satu kali latihan atau setiap fase. Penilaian volume berbeda
dari cabang satu ke cabang yang lain, tergantung pada satuan waktu yang
berlaku. Pada lari 100 meter, penilaian volume dinyatakan dalam waktu
(detik).Contoh untuk lari 100 meter putra adalah 13 detik.
Volume beban latihan kecepatan untuk lari 100 meter menurut Nossek
(1982:100) berprinsip pada:
(1) Intensitas maksimum dan submaksimum.
(2) Jarak lari 30 – 80 meter.
(3) Volume berjumlah 10 – 16 pengulangan dalam 3 – 4 seri.
Guna mendapatkan hasil latihan yang maksimal, volume beban latihan
35
ditingkatkan secara bertahap.Penambahan ini bertujuan untuk merangsang
adaptasi fisiologis yang diperlukan untuk meningkatkan performe. Ada 3 (tiga)
cara efektif untuk meningkatan volume latihan Bompa, Tudor O.& G. Gregory
Haff (2009:79), yaitu :
(1) Meningkatkan kepadatan (frekuensi) latihan.
(2) Meningkatkan volume di dalam sesi latihan.
(3) Melakukan keduanya.
Kemudian Bompa & Haff (2009:79) menambahkan efektifitas dalam
strategi-strategi mengubah volume latihan, yaitu : (1) Meningkatkan durasi sesi
latihan, (2) Meningkatkan kepadatan latihan (frekuensi atau jumlah sesi
latihan), (3) Meningkatkan jumlah perulangan, set latihan atau unsure teknik
per sesi latihan, (4) Meningkatkan jarak yang dilalui atau durasi perulangan
atau latihan.
b) Intensitas Latihan
Intensitas latihan merupakan komponen penting yang dikaitkan
dengan komponen kualitatif yang dilakukan dalam kurun waktu yang
diberikan. Lebih banyak kerja yang dilakukan (dalam satuan waktu) akan lebih
tinggi pula intensitasnya. Bompa (1990) berpendapat bahwa intensitas adalah
fungsi dari kekuatan rangsangan syaraf yang dilakukan dalam latihan dan
kekuatan rangsangan tergantung dari beban kecepatan gerakannya, variasi
internal atau istirahat diantara tiap ulangan.Intensitas merupakan sebuah fungsi
aktivasi neuromskuler, dengan intensitas yang lebih besar yang memerlukan
aktivitas neuromuskuler yang lebih besar. Pola aktivasi neuromuskuler akan
ditentukan oleh beban luar, kecepatan performa, jumlah kelelahan yang
dikembangkan dan jenis latihan yang dilakukan.
Latihan untuk meningkatkan kecepatan lari 100 meter dilakukan
dengan latihan pengembangan kecepatan.Latihan ini dilakukan dengan
prosentase dari intensitas maksimal, dimana 100% merupakan prestasi
tertinggi. Contohnya, seorang pelari 100 meter mencapai garis start dengan
waktu 10 detik, artinya kecepatan yang dicapai adalah 10 m/s. tetapi mungkin
saja pada atlet yang sama mampu mencapai waktu 10.2 m/d artinya pelari
tersebut mencapai 105% dai maksimal (Bompa, 1990). Ukuran intensitas untuk
36
latihan kecepatan dan kekuatan diuraikan dalam tabel berikut:
Tabel 2.4Intensitas latihan kecepatan dan kekuatan(Bompa, Tudor O.& G.
Gregory Haff, 2009:80)
Intensity Zone Percentage of maximum
performance
Intensity
6
5
4
3
2
1
>100
90-100
80-90
70-80
50-70
<50
Supermaximal
Maximum
Heavy
Medium
Low
Very low
Alternatif lain untuk menentukan intensitas adalah berdasarkan pada
sistem energi yang dipakai dalam kegiatan tertentu. Berikut 5 (lima) zona
intensitas latihan berdasarkan sistem energi.
Tabel 2.5Limazona intensitas latihan berdasarkan sistem energy (Bompa & Haff,
2009:81)
Intens
ity
Zone
Event
durasion
Level of
Intensity
Primary energi sistem Bioenergetik
Contribution
An
aerobik
Aerobik
1
2
3
4
5
6
<6 s
6-3 s
30 s to 2 min
2-3 min
3-30 min
>30 min
Maximum
High
Moderately high
Moderate
Moderate low
Low
ATP-PC
ATP-PC and fast
glycolysis
Fast and slow glycolysis
Slow glycolysis and
oxidative
Oxidative
Oxidative
100-95
95-80
80-50
50-40
40-5
5-2
0-5
5-20
20-50
50-60
60-95
95-98
Latihan pada zona intensitas I hampir secara khusus mengandalkan
metabolisme anaerob dan berlangsung hingga 6 detik.Zona ini ditandai dengan
penggunaan energi yang tinggi sehingga termasuk dalam latihan berintensitas
tinggi.
Selama latihan berlangsung, atlet dituntut menyelesaikan berbagai
latihan dengan intensitas yang bervariasi.Intensitas yang bervariasi ini
mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh. Secara otomatis tubuh akan
menyesuaikan dengan latihan yang diberikan. Berdasarkan atas perubahan
fisiologis ini khususnya denyut jantung (HR), pelatih harus mendeteksi serta
memantau intensitas program latihannya.Berikut ini tabel intensitas latihan
berdasarkan denyut jantung.
37
Tabel 2.6Intensitas Berdasarkan Reaksi Denyut Jantung tehadap Beban
LatihanNikiforov, 1974 dalam Bompa, 1990)
Zone Tipe of Intensity Heart Rate/min
1
2
3
4
Low
Medium
Higt
Maximu
120-150
150-170
170-185
>15
Intensitas pelatihan yang tinggi menghasilkan perkembangan yang
cepat tetapi mengarah pada adaptasi yang kurang stabil, derajat konsisten yang
lebih rendah, meningkatkan insidensi overtraining tinggi yang lebih rendah,
dan masa stabil dalam performa.Sebaliknya, beban pelatihan tingkat rendah
menghasilkan perkembangan yang lebih lambat dan rangsangan minimal untuk
adaptasi fisiologis yang sesuai dengan performa yang lebih rendah tetapi lebih
konsisten.Rencana latihan seharusnya mengubah volume dan intensitas secara
sistematis guna memaksimalkan adaptasi fisiologis dan performa yang
dirangsang oleh pelatih.
Bompa & Haff (2009:89) memberikan beberapa strategi untuk
meningkatkan intensitas latihan, yaitu :
(a) Meningkatkan kecepatan gerakan pada suatu jarak tertentu atau
kecepatan atau tempo dalam melakukan latihan taktis.
(b) Meningkatkan beban (yaitu perlawanan atau berat) dalam latihan
kekuatan.
(c) Meningkatkan output energi (energi yang dikeluarkan) dalam kegiatan
latihan.
(d) Mengurangi interval istirahat antar perulangan atau latihan taktis.
(e) Menuntut agar atlet melakukan usaha ketahanan, interval atau taktis
pada prosentase denyut jantung maksimal yang lebih tinggi.
(f) Meningkatkan jumlah persaingan dalam fase latihan hanya jika hal ini
sesuai dengan rencana latihan bagi atlet dan tidka menghambat
perkembangan atlet.
Hubungan antara volume dan intensitas adalah berbanding
terbalik.Artinya apabila volume besar maka intensitasnya rendah, sebaliknya
apabila volume kecil maka intensitas tinggi. Hubungan antara volume dan
38
intensitas dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.10 Hubungan antara volume dan intensitas
Beban kerja yang tinggi mengembangkan ketahanan, menciptakan
sebuah basis kapasitas, menetapkan durasi dan stabilitas pengaruh pelatihan
yang sesuai dan berfungsi sebagai landasan untuk usaha yang kuat.
Strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan beban kerja:
(a) Meningkatkan jumlah perulangan per set atau meningkatkan jarak dengan
menurunkan intensitas yang sesuai.
(b) Meningkatkan jumlah set, latihan atau keduanya.
(c) Memanipulasi frekuensi pelatihan.
Suatu latihan akan efektif meningkatkan performa apabila beban
latihan dikurangi sementara intensitas ditingkatkan. Adaptasi yang positif
terhadap rangsangan latihan akan meningkatkan kesiapan atlet untuk
mentoleransi beban latihan yang lebih besar. Guna merangsang adaptasi
fisiologis yang tepat, dosis atau beban kerja eksternal harus ditingkatkan
secara progresif.
(d) Kepadatan (frekuensi atau densitas) Latihan
Kepadatan latihan dapat ditentukan sebagai frekuensi atau
distribusi sesi latihan atau frekuensi dimana seorang atlet melakukan
serangkaian perulangan kerja per satuan waktu.Semakin besar kepadatan
latihan, maka semakin pendek waktu pemulihan antara fase-fase dalam
latihan. Ketika meningkatkan kepadatan latihan, atlet dan pelatih harus
menetapkan keseimbangan antara pekerjaan dengan pemulihan guna
menghindari tingkat kelelahan yang berlebihan yang dapat mengakibatkan
intensitas
Volume
39
overtraining.
Bompa & Haff (2009:93) menyebutkan ada dua metode umum yang
digunakan untuk mengoptimalkan interval kerja ke istirahat pada latihan
berbasis ketahanan atau interval, yaitu :
(a) Rasio yang tetap antara kerja dengan pemulihan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
diperoleh kesimpulan bahwa perbandingan rasio kerja istirahat 1:1 atau
2:1 mentargetkan pada karakteristik ketahanan.Sedangkan rasio kerja
istirahat 1:12 atau 1:20 mentargetkan karakteristik penghasil kekuatan
dan energi.
Peningkatan kecepatan lari 100 meter dilakukan dengan beban
maksimal (kecepatan maksimal).Prinsip ini mengacu pada kecepatan
maksimal membutuhkan energi yang maksimal, oleh karena itu
pemulihan energi secara maksimal menjadi hal yang sangat
penting.Perbandingan 1:20 mewakili fisiologi tubuh untuk kembali pada
pemulihan sempurna.
(b) Denyut jantung yang telah ditentukan sebelumnya.
Metode lain untuk menentukan lamalnya periode pemulihan
adalah untuk menetapkan denyut jantung yang harus dicapai sebelum
melakukan kerja yang lain. Salah satu metode untuk menggunakan taktik
ini adalah dengan menetapkan jangkauan denyut jantung antara 120
sampai 130 denyut/menit sebagai titik untuk inisiasi kerja
berikutnya.Sebuah metode yang kedua adalah untuk mengatur periode
pemulihan sebagai waktu yang diperlukan bagi denyut jantung atlet
untuk kembali ke 65% maksimal.
c) Kerumitan atau Kompleksitas Latihan
Kerumitan mengacu pada tingkat kemutakhiran dan kesulitan
biomekanika dari sebuah keterampilan (keahlian).Performa dari keterampilan
yang lebih kompleks dapat meningkatkan intensitas latihan. Kompleksitas dari
suatu keterampilan membutuhkan koordinasi yang menjadi sangat penting
guna menambah intensitas latihan, keterampilan teknik yang rumit, yang pada
40
akhirnya akan memberikan tekanan lebih terhadap otot.
Penguasaan keterampilan dengan tingkat tinggi dapat menjadi sumber
kemauan.Oleh karena itu, dalam penyusunan program latihan perlu ditekankan
pada tingkat kesulitan bentuk latihan dengan tujuan menghindarkan atlet dari
kelebihan kerjanya.
d. Bentuk Latihan untuk Meningkatkan Kecepatan 100 Meter
Lari 100 meter merupakan nomer atletik yang membutuhkan kompleksitas
fisiologi, faal dan psikologi dalam pelaksanaannya. Kompleksitas yang
berhubungan dengan kualitas fisik yang besifat dasar disebutkan Nossek (1982:19),
yaitu : (1) Kecepatan (speed), (2) Kekuatan (strength), dan (3) Ketahanan
(endurance).
a) Latihan untuk meningkatkan kecepatan (speed).
Latihan kecepatan melibatkan penekanan terhadap penyelesaian
sebuah aktivitas dalam waktu yang sependek mungkin.Latihan lari 100 meter
termasuk dalam latihan kecepatan murni.Faktor yang perlu diperhatikan dalam
latihan kecepatan murni adalah menghindari perkembangan asam laktat, yaitu
dengan pemulihan yang cukup yang diperoleh antar pengulangan.Latihan
kecepatan berakhir apabila terjadi perubahan teknik karena kelelahan.
Ada beberapa pertimbangan yang dikemukakan oleh Rushall & Pyke
(1990:264) untuk latihan kecepatan, yaitu latihan dengan menggunakan beban
pada paha dianggap melanggar prinsip-prinsip kekhususan dan membahayakan
apabila digunakan. Latihan kecepatan yang lain adalah lari naik turun bukit.
Lereng turun bukit maksimal yang dapat digunakan untuk menghasilkan
peningkatan kecepatan lari adalah -2˚. Lereng yang lebih dari -2˚ akan
mengubah teknik lari.
Bentuk latihan yang di sarankan untuk latihan kecepatan lari 100
meter menurut Rushall & Pyke (1990:268) adalah latihan initerval ultra-
pendek. Latihan ini dapat digunakan sebagai aktivitas program guna mengubah
kebugaran serta sebuah tahap untuk mengubah dan melatih teknik sprinting.
Alasan yang mendasari bahwa latihan sprint interval ultra-pendek merupakan
program latihan yang tepat untuk mengembangkan kecepatan adalah karena
menawarkan energi alaktasid dan perbaikan teknik.
41
b) Latihan untuk meningkatkan kekuatan (strength).
Selain kecepatan, faktor lain yang juga tidak kalah penting adalah
kekatan. Kekuatan disini lebih dominan pada kekuatan otot tungkai. Menurut
Imam Hidayat (1997:84) kekuatan adalah gaya yang ditimbulkan oleh
kontraksi otot. Latihan yang paling mudah untuk mengembangkan kekuatan
adalah latihan pliometrik. Latihan ini menggunakan gaya gravitasi guna
meningkatkan energi yang disimpan dalam otot selama kontraksi dari sebuah
gerakan.
c) Latihan untuk meningkatkan ketahanan (endurance).
Latihan ketahan adalah latihan untuk meningkatkan kemampuan
untuk mempertahankan tingkat usaha fisik tertentu.Peran ketahanan dalam lari
sprint menurut Rushall & Pyke (1990:195) adalah meminimalisir hilangnya
kecepatan. Tujuan dari latihan ketahanan adalah meningkatkan kadar fosfat
yang berenergi tinggi dan pelepasan energi glikolisis dengan mengerahkan
energi sebesar mungkin dalam waktu yang sesingkat mungkin dengan cara
yang paling efisien.
Latihan yang disarankan untuk ketahanan pada lari 100 meter adalah
lari berdurasi dan lari interval.
3. Latihan Interval Anaerob
Program latihan yang efektif akan tampak pada cara latihan yang baik sesuai
dengan sistem energinya. Sistem energi yang tepat tergantung terutama pada waktu dan
intensitasnya, tanpa perlu merinci sifat-sifat dari olahraganya, waktu merupakan hal
yang terpenting untuk diperhatikan. Ini menunjukkan cara yang mudah tetapi tepat
untuk menganalisa kebutuhan energi berdasarkan atas waktu yang diperlukan untuk
kegiatan tersebut, misalnya:
Kegiatan kurang dari 30 detik ……………………… ATP-PC
Kegiatan antara 30 detik sampai 90 detik ………….. ATP-PC dan LA
Kegiatan antara 1 1/2 menit sampai 3 menit ……….. LA dan O2
Kegiatan lebih dari 3 menit ………………………… O2
Kebutuhan latihan yang penting adalah memberikan overload atau beban
berlebih, yang berarti meningkatkan kebutuhan energi secara bertahap dengan
42
menambah beban dalam program latihan. Faktor-faktor dalam overload untuk program
latihan aerob dan anaerob meliputi peningkatan frekuensi latihan, intensitas dan
lamanya program latihan.
Menurut Fox (1984:208) metode latihan berdasarkan pengembangan sistem
energi ada sepuluh jenis program latihan sebagai berikut:
a. Accleration sprint.
b. Continous fast running.
c. Continous slow running.
d. Hollow sprint.
e. Interval sprinting.
f. Interval training.
g. Jogging.
h. Repetion running.
i. Speed play.
j. Sprint training.
Sepuluh jenis program latihan tersebut, latihan interval atau interval training
dapat bervariasi dan dapat diatur untuk meningkatkan sistem anaerob dan atau aerob.
Latihan interval merupakan program latihan yang terdiri dari periode pengulangan kerja
yang diselingi oleh periode istirahat (Fox, 1984:59; Smith, N.J, 1983:184) atau
merupakan serangkaian latihan yang diulang-ulang dan diselingi dengan periode
pemulihan.Latihan ringan biasanya dilakukan pada periode istirahat (Fox, Bower &
Foss, 1988:205; Fox & Mathews 1981:163).Latihan interval adalah serangkaian sistem
latihan fisik yang diulang-ulang yang diselingi dengan periode pemulihan. Latihan
interval anaerob karena terdiri dari interval kerja dan interval istirahat, disaat interval
istirahat terjadi pemulihan dengan proses aerob, maka hal ini dapat meningkatkan
kecepatan.
Ada beberapa istilah khusus dalam latihan interval yang harus dipahami dengan
sebaik-baiknya (Fox, 1984:193), adalah sebagai berikut:
1) Interval kerja (work interval) merupakan bagian dari program latihan interval yang
terditi atas kegiatan dengan intensitas tinggi.
2) Interval pemulihan atau istirahat (relief interval) adalah waktu antar interval-
interval kerja serta antar set-set. Pada interval istirahat akan terjadi proses
43
pemulihan. Selama pemulihan keperluan akan energi sangat menurun, tetapi
konsumsi oksigen tetap berlanjut pada kadar yang cukup tinggi selama beberapa
waktu. Konsumsi oksigen selama pulih asal ini terutama dipergunakan untuk
menyediakan energi guna memulihkan badan ke kondisi sebelum latihan, termasuk
mengisi kembali simpanan energi yang telah kosong. Interval pemulihan dapat
terdiri dari:
1) Kegiatan ringan atau pemulihan istirahat, disebut rest relief.
2) Latihan fisik ringan sampai sedang atau pemulihan dengan kegiatan, disebut work
relief.
3) Gabungan antara rest relief dan work relief, interval pemulihan biasanya dapat
dinyatakan dalam hubungan dengan kerja dan dapat dinyatakan sebagai berikut:
1:1/2, 1:1, 1:2 atau 1:3. Rasio 1:1/2 mengisyaratkan bahwa waktu interval pemulihan
sama dengan setengah waktu interval kerja.
4) Set adalah serangkaian interval dan pemulihan.
a) Pengulangan (repetition) adalah banyaknya interval kerja dalam satu set.
Banyaknya ulangan dari interval kerja penting untuk menentukan jarak latihan.
b) Waktu latihan (trainingtime) adalah kecepatan pelaksanaan kegiatan selama
interval kerja.
c) Frekuensi adalah banyaknya waktu per minggu melakukan latihan
d) Resep latihan interval berisi informasi mengenai suatu pelaksanaan interval
yang biasanya meliputi banyak set, banyaknya pengulangan, waktu
pelaksanaan atau jarak interval kegiatan, waktu latihan dan waktu interval
pemulihan.
Pelaksanaan latihan interval untuk atlet dalam melakukan interval kerja
disesuaikan dengan cabang olahraganya, misalnya lari cepat 100 meter.Tipe kegiatan
yang dipilih untuk latihan fisik umum berdasarkan atas pilihannya.Sebagai ringkasan
dari sistem latihan interval sebagai berikut (Fox, Bower & Foss, 1984:280):
a. Tentukan terlebih dahulu sistem energi utama mana yang perlu dikembangkan.
b. Pilih bentuk aktivitas (exercise) yang digunakan selama interval kerja (sprint).
c. Tentukan latihan sesuai dengan keterangan yang ada dalam daftar dari sistem
energi utama yang ingin dikembangkan. Jumlah ulangan (repetisi) dan set, rasio
kerja istirahat, dan tipe dari interval istirahat, seluruhnya ada dalam tabel2.7 dan
44
2.8. Untuk setiap aktivitas yang dipilih, untuk latihan lari cepat 100 meter,
biasanya memakai waktu latihan dan jarak latihan seperti dalam tabel2.7 dan
2.8
d. Berikan peningkatan intensitas (Progressive overload) selama program latihan.
Tabel 2.7Informasi penting untuk penulisan resep latihan interval berdasarkan"waktu"
latihan (Fox, Bower & Foss, 1993:306)
Major
energi
system
Training
time
(min:sec)
Repetition
per workout
Set per
workout
Repetition
per set
Work
relief
ratio
Types of
interval
ATP-PC
0:10 50 5 10
1:3
Rest-relief
(d.g.,
walking,
flexing)
0:15 45 5 9
0:20 40 4 10
0:25 32 4 8
ATP-
PC-LA
0:30 25 5 5 1:3
Work-
relief
(d.g., light
to mind
exercise,
jogging)
0:40 – 0:50 20 4 5
1:0 – 1:10 15 3 5
1:2 1:20 10 2 5
LA-02
1:30 – 2:30 8 2 4 1:2
Work-
relief 2:10 – 2:40 6 1 6
2:50 – 3:00 4 1 4 1:1 Host-
relief
02 3:00 – 4:00 4 1 4 1:1
4:00 – 5:00 3 1 3 1: ½ Rest-relief
Tabel 2.8Informasi penting untuk penulisan resep latihan interval
berdasarkan"jarak"latihan (Fox, Bowers & Foss, 1993:307)
Major
energi
system
Training
distamce
yards
Run:swim
Repetition
per
workout
Set per
workout
Repetition
per set
Work
relief
ratio
Types of
relief
interval
ATP-PC 55:15 50 5 10
1:3
Rest-relief
(d.g.,
walking,
flexing) 110:25 24 3 8
ATP-
PC-LA
220:55 16 4 4 1:3 Work-relief
(d.g., light to
mind
exercise,
jogging) 440:110 8 2 4 1:2
LA-02 660:165 5 1 5 1:2 Work-relief
880:220 4 2 2 1:1 Host-relief
02 1100:275 3 1 3 1: ½
Rest-relief 1320:330 3 1 3 1: ½
45
Peningkatan prestasi atlet merupakan akibat langsung dari jumlah dan
kualitas kerja yang dicapai dalam latihan.Beban kerja dalam latihan ditingkatkan
secara bertahap, dan disesuaikan dengan kemampuan fisiologis dan psikologis
setiap atlet. Organisme akan memberikan reaksi berupa perubahan morfologis dan
psikologis sebagai pemenuhan kebutuhan adanya peningkatan beban latihan.
Peningkatan intensitas latihan melalui cara sebagai berikut:
a. Meningkatkan kecepatan dalam jarak tertentu atau meningkatkan berat beban.
b. Meningkatkan rasio antara intensitas relatif dan absolut, sehingga intensitas
absolut boleh dilakukan.
c. Mempersingkat istirahat interval diantara masing-masing pengulangan atau set.
d. Meningkatkan intensitas latihan.
e. Meningkatkan jumlah pertandingan/perlombaan (Bompa, 1990:85).
a. Kebutuhan Waktu Pemulihan
Interval istirahat (relief inreval) merupakan waktu diantara interval kerja
atau set (Foss & Keteyian, 1998:281). Interval istirahat diperlukan sebagai
pemulihan setelah melakukan interval kerja. Aktivitas pemulihan yang cukup, tubuh
akan siap kembali untuk melaksanakan aktivitas atau latihan berikutnya. Pemulihan
ada dua macam yaitu pemulihan oksigen dan pemulihan energi.Selama periode
interval kerja pada latihan interval anaerob laktasid terjadi pengurasan energi ATP-
PC untuk kerja otot.Selama periode istirahat atau pemulihan, maka kekurangan
oksigen dan pengurasan energi di otot harus segera diisi kembali.
Foss & Keteyian (1998:51) mengemukakan bahwa oksigen yang dikonsumsi
selama pemulihan terutama oksigen selama pemulihan digunakan untuk pemulihan
tubuh ke kondisi sebelum latihan, termasuk pengisian kembali simpanan energi
yang dikosongkan dan pengubahan asam laktat yang diakumulasikan selama
latihan.Pengisian simpanan energi yang dikuras selama kerja dan pengurasan asam
laktat diperlukan kerja secara aerob, sehingga diperlukan oksigen.Besar jumlah
oksigen yang diperlukan selama pemulihan tergantung pada besarnya jumlah asam
laktat yang terakumulasi dalam darah dan otot selama latihan.Pemulihan energi
merupakan pengisian kembali simpanan energi yang telah dikuras atau dikosongkan
selama periode interval kerja. Ada dua sumber energi yang dihabiskan selama
46
interval yaitu: Phosphagen (ATP-PC) yang disimpan dalam sel otot, dan Glikogen
yang disimpan dalam jumlah besar baik pada hati dan otot yang berfungsi sebagai
dua sumber bahan bakar yang penting di sebagian besar aktivitas latihan (Foss &
Keteyian, 1998:52).
Selama interval kerja anaerob laktasid, cadangan energi yang dikuras adalah
ATP-PC, sehingga pada latihan lari cepat cadangan ATP-PC habis setelah berlari
beberapa detik dengan kecepatan maksimal.Pemulihan energi latihan interval
anaerob laktasid merupakan pengisian ATP-PC di dalam otot yang telah dikuras
atau dikosongkan selama interval kerja. Selama periode interval karena cadangan
ATP-PC yang telah dihabiskan akan diisi kembali melalui sistem aerob. Sebagian
besar ATP-PC yang digunakan selama interval kerja dalam latihan disini kembali ke
dalam otot selama 2-3 menit.
b. Pemulihan Oksigen
Pemulihan oksigen diperlukan karena selama kerja latihan terjadi oksigen
debit.Banyak yang keliru menginterpertasikan istilah hutang oksigen yang diartikan
sebagai oksigen ekstra yang dikonsumsi selama pemulihan digunakan untuk
mengganti oksigen yang dipinjam dari suatu tempat di dalam tubuh selama
melakukan latihan.Sebenarnya, selama latihan dengan kerja yang maksimal terjadi
pengosongan simpanan oksigen di dalam otot dan dalam darah vena (Foss &
Keteyien, 1998:50).Pada hakekatnya hal inilah yang menyebabkan terjadinya hutang
oksigen. Davis, Kimmet & Auty (1992:78) mengemukakan bahwa, dua konsep
mengenai hutang oksigen, yaitu: 1) kekurangan oksigen adalah jumlah oksigen
tambahan yang diperlukan saat harus benar-benar diselesaikan secara aerobik, 2)
hutang oksigen adalah jumlah oksigen yang digunakan selama pemulihan melebihi
jumlah yang seharusnya digunakan pada saat istirahat pada waktu yang sama.
Pemulihan oksigen merupakan besarnya oksigen yang dikonsumsi saat istirahat
pada kurun waktu yang sama. Selama pemulihan kebutuhan energi sangat sedikit
karena exercise telah berhenti, namun demikian konsumsi oksigen berlanjut ke
tahap yang relatif tinggi dalam suatu kurun waktu yang lamanya tergantung pada
intensitas dan untuk tingkat yang lebih rendah, durasi dari latihan (Foss & Keteyian,
1998:51).
47
Pada periode awal sesaat latihan terhenti kebutuhan oksigen sangat tinggi,
kemudian menurun seiring dengan berjalannya waktu pemulihan.Kebutuhan oksigen
selama pemulihan cukup tinggi hal ini bukan hanya sekedar untuk membayar atau
mengganti hutang oksigen yang dilakukan selama kerja dalam latihan. Foss &
Keteyian (1998:51) mengemukakan bahwa, oksigen yang dikonsumsi selama
pemulihan terutama digunakan untuk perbaikan/pemulihan tubuh ke kondisi pre-
exercise, termasuk pengisian kembali simpanan energi yang dikosongkan dan
perubahan asam laktat yang diakumulasikan selama exercise.
Pengisian simpanan energi yang dikuras selama kerja dan penggusuran asam
laktat diperlukan kerja secara aerobik sehingga diperlukan oksigen.Besarnya jumlah
oksigen yang diperlukan selama pemulihan tergantung pada besarnya jumlah asam
laktat yang terakumulasi dalam darah dan otot selama latihan.
c. Jenis Relief Interval
Jenis kegiatan yang dilakukan saat interval istirahat perlu ditetapkan dan
diperhatikan.Apa yang dilakukan saat berhubungan juga dengan sistem energi yang
diharapkan dapat dikembangkan. Foss & Keteyian (1998:284) mengemukakan
bahwa, interval relief bisa berbentuk rest relief (misal: berjalan atau melentukan
lengan dan kaki), work relief (misal: exercise yang ringan atau mudah seperti jalan
cepat dan jogging) atau kombinasi dari rest relief dan work relief.
Interval rest relief harus digunakan dengan program latihan interval yang
dirancang untuk memodifikasi sistem energi ATP-PC yang menentukan selama
kerja melelahkan jangka pendek. Interval rest relief membantu mempercepat
pengisian kembali ATP-PC yang disuplai dalam otot sehingga latihan yang kuat bisa
diulang lagi.Saat latihan untuk memperbaiki glikolisis anaerob, interval work relief
harus digunakan diantara interval kerja. Sebab, work relief dapat mempercepat
penggusuran LA di dalam darah dan otot. Jenis aktivitas kerja pada pemulihan harus
bersifat aerobik, oleh karena itu aktivitasnya harus ringan.
d. Rasio Waktu Kerja dan Istirahat
Perbandingan (rasio) antara periode kerja dan periode istirahat dalam latihan
interval ikut menentukan hasil latihan.Untuk meningkatkan kecepatan harus
diperhitungkan dengan cermat, besarnya rasio antara periode kerja dan periode
istirahat. Rasio yang keliru dapat mengubah tujuan latihan.Latihan kecepatan dapat
48
berubah menjadi latihan daya tahan jika rasio antara periode kerja dan periode
istirahatnya salah. Dari berbagai pendapat ahli diperoleh kesimpulan bahwa,
mengenai besarnya rasio antara periode kerja dan periode istirahat yang bervariasi
yaitu 1:3, 1:5 dan 1:10 untuk meningkatkan kecepatan diperlukan interval istirahat
yang lebih panjang, hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemulihan yang cukup
terhadap tubuh.
Latihan anaerob untuk pengembangan kecepatan murni, harus dilakukan
dengan intensitas maksimal.Pelaksanaannya harus menghindari adanya
pengembangan asam laktat. Keletihan harus dihindari agar intensitas maksimal
dalam pelaksanaan latihan dapat dipertahankan.Dalam hal ini diperlukan waktu
pemulihan yang sempurna (Foss & Keteyian, 1998:285).
Berdasarkan hal tersebut maka latihan anaerob yang masih dianggap cocok
untuk meningkatkan kecepatan lari yaitu dengan rasio 1:5, 1:10 dan 1:15, karena
dengan rasio tersebut memberikan periode pemulihan yang lebih sempurna.
e. Latihan Interval Anaerob dengan Rasio 1:5
Latihan interval dengan rasio 1:5 yaitu perbandingan 1 untuk waktu kerja
dan 5 untuk waktu istirahat. Misalnya, waktu kerja menempuh jarak 100 meter
dengan waktu 15 detik, maka periode istirahatnya adalah 75 detik. Latihan yang
akan diterapkan dalam penelitian ini yaitu lari cepat (sprint) menempuh jarak 40-80
meter, dengan waktu kerja 5-15 detik, dengan demikian periode istirahatnya yaitu
25-75 detik. Pelaksanaan latihan ini dilakukan secara bertahap.Pada latihan awal
menempuh jarak 40 meter, kemudian ditingkatkan hingga mencapai jarak 80
meter.Ciri khas latihan kecepatan adalah pada setiap ulangan dilakukan dengan
kecepatan penuh.Pada latihan ini setiap ulangan dilakukan dengan kecepatan
maksimal (intensitas maksimal).Setiap akhir ulangan (repetisi) segera dihitung
waktu pemulihannya, apabila waktu pemulihan hampir habis siswa segera
disiapkan untuk melakukan repetisi berikutnya.
Pelaksanaan program latihan interval anaerob 1:5 sebagai berikut:
Intensitas : 90-100% (kecepatan maksimal)
Jarak : 40 - 80 meter
Repetisi : 8
Set : 5
49
Istirahat antar set : 2 - 5 menit
Frekuensi latihan : 3 kali latihan per minggu
Lama latihan : 6 minggu
Pelaksanaan latihan yang dilakukan seperti yang telah dipaparkan
diatas,contoh 3 set dan 5 repetisi dengan jarak latihan 40 meter, jadi jumlah lari
yang dilakukan sampel pada setiap 1 set = 5 kali perlakuan, berarti kalau 3 set
jumlahnya 15 kali lari dalam jarak latihan 40 meter. Untuk pelaksanaan latihan
sampel membuat empat baris berjajar, kemudian barisan didepan 5 orang
bersamaan melakukan lari dengan jarak latihan 40 meter dengan waktu tempuh 6.7
detik (waktu kerja) dan waktu istirahat 33.5 detik. Setelah selesai melakukan lari
kemudian kembali kebelakang barisan dengan rest relief (berjalan). Lari dilakukan
secara bergantian dan seterusnya, sehingga sampel melakukan tugas lari sebanyak
jumlah repetisi dalam satu setnya,setelah itu istirahat 2-5 menit kemudian kembali
untuk melakukan set berikutnyadan seterusnya.
Kelebihan dan Kekurangan Latihan Interval Anaerob dengan Rasio 1:5
Periode istirahat 25-75 detik, energi ATP-PC pelari baru pulih sebesar ± 50-
80%.Untuk melaksanakan kerja berikutnya maka energi yang digunakan tidak 100%
ATP-PC, karena ATP-PCnya belum pulih 100%.Belum sempurnanya pemulihan
dan pengisian kembali ATP-PC di dalam otot, maka untuk aktivitas berikutnya
ATP-PC tidak cukup untuk mensuplai energi ke dalam otot yang bekerja secara
maksimal.Hal ini memungkinkan timbulnya akumulasi LA, apabila dilakukan
dengan berulangkali.
Latihan interval anaerob dengan rasio 1:5, merupakan latihan interval
dengan istirahat yang lebih pendek.Saat pengulangan dan jarak bertambah asam
laktat mulai diproduksi.Ketika asam laktat mulai diproduksi maka keletihan mulai
timbul.Jika hal ini berlangsung secara berulang-ulang dan terus menerus maka
latihan telah beralih dari latihan kecepatan menjadi daya tahan.
Jika usaha fisik maksimal dilakukan terus menerus diluar sistem energi
phosphate (ATP-PC), energi akan dipenuhi melalui persediaan glikogen yang ada di
dalam otot yang aktif. Energi anaerob yang dihasilkan dari glikogen ini
memproduksi asal laktat (LA). LA ini mengakibatkan rasa lelah (Pyke, Robert,
Woodman, Telford & Jarver, 1991:45).
50
Akumulasi LA di dalam darah menimbulkan keletihan otot.Otot yang
mengalami keletihan tidak dapat melaksanakan tugas gerak dengan kecepatan
maksimal.Persyaratan latihan kecepatan adalah adanya pengulangan gerakan
kecepatan maksimal.Latihan interval anaerob dengan rasio 1:5 menyebabkan
pengulangan kerja (lari) tidak sepenuhnya dilakukan dengan kecepatan maksimal.
Dapat dikatakan bahwa, latihan interval anaerob rasio 1:5 bukan merupakan latihan
kecepatan murni, tetapi mengarah pada peningkatan daya tahan kecepatan, karena
ada akumulasi LA.
f. Latihan Interval Anaerob dengan Rasio 1:10
Latihan interval dengan rasio 1:10 yaitu perbandingan 1 untuk waktu kerja
dan 10 untuk waktu istirahat. Latihan yang akan diterapkan dalam penelitian ini
yaitu lari cepat (sprint) menempuh jarak 40-80 meter, dengan waktu kerja 5-15
detik, dengan demikian periode istirahatnya yaitu 50-150 detik. Pelaksanaan latihan
ini dilakukan secara bertahap.Pada latihan awal menempuh jarak 40 meter,
kemudian ditingkatkan hingga mencapai jarak 80 meter.Ciri khas latihan kecepatan
adalah pada setiap ulangan dilakukan dengan kecepatan penuh.Pada latihan ini
setiap ulangan dilakukan dengan kecepatan maksimal (intensitas maksimal).
Pelaksanaan program latihan interval anaerob 1:10 sebagai berikut:
Intensitas : 90-100% (kecepatan maksimal)
Jarak : 40 - 80 meter
Repetisi : 8
Set : 5
Istirahat antar set : 2 - 5 menit
Frekuensi latihan : 3 kali latihan per minggu
Lama latihan : 6 minggu
Pelaksanaan latihan yang dilakukan seperti yang telah dipaparkan
diatas,contoh 3 set dan 5 repetisi dengan jarak latihan 40 meter, jadi jumlah lari
yang dilakukan sampel pada setiap 1 set = 5 kali perlakuan, berarti kalau 3 set
jumlahnya 15 kali lari dalam jarak latihan 40 meter. Untuk pelaksanaan latihan
sampel membuat empat baris berjajar, kemudian barisan didepan 5 orang bersamaan
melakukan lari dengan jarak latihan 40 meter dengan waktu tempuh 6.7 detik
(waktu kerja) dan waktu istirahat 67 detik. Setelah selesai melakukan lari kemudian
51
kembali kebelakang barisan dengan rest relief (berjalan). Lari dilakukan secara
bergantian dan seterusnya, sehingga sampel melakukan tugas lari sebanyak jumlah
repetisi dalam satu setnya,setelah itu istirahat 2-5 menit kemudian kembali untuk
melakukan set berikutnyadan seterusnya.
Kelebihan dan Kekurangan Latihan Interval Anaerob dengan Rasio 1:10
Periode istirahat pada latihan interval anaerob dengan rasio 1:10 yang
dilaksanakan pada penelitian ini cukup panjang yaitu 50-150 detik.Dengan periode
istirahat 50-150 detik, maka energi ATP-PC pelari telah pulih sebesar ± 70-
95%.Dengan demikian pemulihan dalam latihan interval anaerob dengan rasio 1:10
ini cukup penjang, hampir 100%.Hal ini menghindari adanya akumulasi LA.
Latihan ini merupakan latihan kecepatan murni, karena unsur daya tahan dihindari.
Rushall & Pyke (1992:258) mengemukakan bahwa, untuk latihan kecepatan murni,
latihan harus dibatasi untuk menghindari pengembangan asam laktat, dengan
pemulihan yang cukup yang diperbolehkan pada saat pengulangan.Latihan
kecepatan harus berhenti bila perubahan teknik mengarah keletihan.
Intensitas dari semua aktivitas latihansprint haruslah maksimum. Jika
kurang, hal ini tidak akan dapat membantu peningkatan kecepatan. Pengulangan lari
dengan jarak yang lebih pendek cocok untuk pengembangan kecepatan.Sumber
energi primer tugas kecepatan adalah anaerobik alactacid. Rushall & Pyke
(1992:264) menyatakan bahwa, durasi tugas latihan haruslah dalam keadaan dimana
tidak ada akumulasi asam laktat dan sumber bahan bakar primer adalah sistem
energi alactacid.Latihan lari dengan jarak pendek dan istirahat yang cukup lama
dapat meminimkan timbulnya LA dan timbulnya keletihan saat aktivitas.
Latihan interval anaerob dengan rasio 1:10, merupakan latihan interval
dengan istirahat yang lebih lama. Istirahat yang relatif lama memberikan pemulihan
yang mendekati sempurna, sehingga kualitas tugas kecepatan pada tiap ulangan
dapat dipertahankan.Peningkatan kecepatan merupakan adaptasi saraf, maka penting
untuk memberikan percobaan sebanyak mungkin dengan menggunakan susunan
neuromuscular yang nyata dari penampialn dengan kecepatan maksimal.Penampilan
dengan kecepatan maksimal yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus-
52
menerus menimbulkan superkompensasi otot dan saraf untuk dapat melaksanakan
tugas kecepatan dengan lebih baik.
g. Latihan Interval Anaerob dengan Rasio 1:15
Latihan interval dengan rasio 1:15 yaitu perbandingan 1 untuk waktu kerja
dan 15 untuk waktu istirahat. Latihan yang akan diterapkan dalam penelitian ini
yaitu lari cepat (sprint) menempuh jarak 40-80 meter, dengan waktu kerja 5-15
detik, dengan demikian periode istirahatnya yaitu 75-225 detik. Pelaksanaan latihan
ini dilakukan secara bertahap.Pada latihan awal menempuh jarak 40 meter,
kemudian ditingkatkan hingga mencapai jarak 80 meter.Ciri khas latihan kecepatan
adalah pada setiap ulangan dilakukan dengan kecepatan penuh.Pada latihan ini
setiap ulangan dilakukan dengan kecepatan maksimal (intensitas maksimal).
Pelaksanaan program latihan interval anaerob 1:15 sebagai berikut:
Intensitas : 90-100% (kecepatan maksimal)
Jarak : 40 - 80 meter
Repetisi : 8
Set : 5
Istirahat antar set : 2 - 5 menit
Frekuensi latihan : 3 kali latihan per minggu
Lama latihan : 6 minggu
Pelaksanaan latihan yang dilakukan seperti yang telah dipaparkan
diatas,contoh 3 set dan 5 repetisi dengan jarak latihan 40 meter, jadi jumlah lari
yang dilakukan sampel pada setiap 1 set = 5 kali perlakuan, berarti kalau 3 set
jumlahnya 15 kali lari dalam jarak latihan 40 meter. Untuk pelaksanaan latihan
sampel membuat empat baris berjajar, kemudian barisan didepan 5 orang bersamaan
melakukan lari dengan jarak latihan 40 meter dengan waktu tempuh 6.7 detik
(waktu kerja) dan waktu istirahat 100.5 detik. Setelah selesai melakukan lari
kemudian kembali kebelakang barisan dengan rest relief (berjalan). Lari dilakukan
secara bergantian dan seterusnya, sehingga sampel melakukan tugas lari sebanyak
jumlah repetisi dalam satu setnya,setelah itu istirahat 2-5 menit kemudian kembali
untuk melakukan set berikutnyadan seterusnya.
53
Kelebihan dan Kekurangan Latihan Interval Anaerob dengan Rasio 1:15
Periode istirahat pada latihan interval anaerob denga rasio 1:15 yang
dilaksanakan pada penelitian ini panjang yaitu 75-225 detik.Dengan periode istirahat
75-225 detik, maka energi ATP-PC pelari telah pulih sebesar ± 80-95%.Dengan
demikian pemulihan dalam latihan interval anaerob dengan rasio 1:15 ini cukup
penjang, hampir 100%.Hal ini menghindari adanya akumulasi LA. Latihan ini
merupakan latihan kecepatan murni, karena unsur daya tahan dihindari. Rushall &
Pyke (1992:258) mengemukakan bahwa, untuk latihan kecepatan murni, latihan
harus dibatasi untuk menghindari pengembangan asam laktat, dengan pemulihan
yang cukup yang diperbolehkan pada saat pengulangan.Latihan kecepatan harus
berhenti bila perubahan teknik mengarah keletihan.
Intensitas dari semua aktivitas latihansprint haruslah maksimum. Jika
kurang, hal ini tidak akan dapat membantu peningkatan kecepatan. Pengulangan lari
dengan jarak yang lebih pendek cocok untuk pengembangan kecepatan.Sumber
energi primer tugas kecepatan adalah anaerobik alactacid.Rushall & Pyke
(1992:264) menyatakan bahwa, durasi tugas latihan haruslah dalam keadaan dimana
tidak ada akumulasi asam laktat dan sumber bahan bakar primer adalah sistem
energi alactacid.Latihan lari dengan jarak pendek dan istirahat yang cukup lama
dapat meminimkan timbulnya LA dan timbulnya keletihan saat aktivitas.
Latihan interval anaerob dengan rasio 1:15, merupakan latihan interval
dengan istirahat yang lebih lama. Istirahat yang relatif lama memberikan pemulihan
yang mendekati sempurna, sehingga kualitas tugas kecepatan pada tiap ulangan
dapat dipertahankan.Peningkatan kecepatan merupakan adaptasi saraf, maka penting
untuk memberikan percobaan sebanyak mungkin dengan menggunakan susunan
neuromuscular yang nyata dari penampilan dengan kecepatan maksimal.Penampilan
dengan kecepatan maksimal yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus-
menerus menimbulkan superkompensasi otot dan saraf untuk dapat melaksanakan
tugas kecepatan dengan lebih baik.
4. Rasio Anthropometrik
Istilah anthropometricberasal dari kata “anthro” yang berarti manusia,
sedangkan kata”metron” yang berarti ukuran. Secara definitif anthropometric
54
dinyatakan sebagai suatu studi yang menyangkut pengukuran dimensi tubuh manusia
yang berkaitan dengan karakteristik tubuh manusia berupa bentuk, ukuran dan kekuatan
tubuh.Sementara itu, rasio kita ketahui merupakan sebuah perbandingan dari ukuran-
ukuran tubuh.Sejalan dengan itu, Verducci (1980: 215) menyatakan bahwa “Rasio
anthropometric merupakan pengukuran lebih jauh mengenai bagian-bagian luar dari
tubuh”.Pengukuran anthropometric diantaranya meliputi pengukuran yang membedakan
antara panjang tungkai dan tinggi badan.
Panjang tungkai bisa dikatakan relatif panjang apabila ditinjau dari segi
perbandingannya dengan tinggi badan.Pada postur yang normal, panjang tungkai
dibandingkan dengan togok pada orang dewasa adalah berimbang.Tetapi dalam
kenyataannya, tidak semua individu memiliki ukuran anthropometric yang seimbang
seperti itu.Ada individu yang memiliki tungkai yang secara proporsional lebih panjang
dibanding togok, dan sebaliknya ada juga yang memiliki togok yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tungkainya.
a. Panjang Tungkai
Panjang tungkai adalah jarak vertikal antara telapak kaki sampai pangkal
paha yang diukur dengan cara berdiri tegak atau juga diukur dengan mencari selisih
tinggi badan dengan tinggi togok (diukur dengan posisi duduk). Panjang tungkai
sebagai bagian dari postur tubuh yang memiliki hubungan yang sangat erat dalam
kaitannya sebagai pengungkit disaat melakukan lari.Panjang tungkai sebagai salah
satu anggota gerak bawah memiliki peran penting dalam unjuk kerja olahraga
khusunya dalam lari 100m. Sebagai anggota gerak bawah, panjang tungkai
berfungsi sebagai penopang gerak anggota tubuh bagian atas, serta penentu gerakan
baik dalam berjalan, berlari maupun melompat.Panjang tungkai melibatkan tulang-
tulang dan otot-otot pembentuk tungkai, baik tungkai bawah maupun tungkai atas.
Panjang tungkai merupakan unsur yang sangat penting dalam melakukan
lari terutama dalam lari 100m, karena dengan tungkai yang panjang dapat
menunjang unsur-unsur lain yang diperlukan pada saat melakukan lari tersebut
sehingga akan menghasilkan langkah yang maksimal. Tungkai panjang disertai
otot-otot yang baik mempunyai peranan penting untuk melakukan tolakan dengan
cepat dan kuat, karena berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan tungkai
merupakan bagian tubuh yang sangat dominan di dalam melakukan lari yang baik,
55
dengan kata lain panjang tungkai sangat mempengaruhi kemampuan daya lari
seseorang.
Terkait dengan hal diatas, pada dasarnya bentuk tubuh yang tinggi, atletis
dan memiliki otot-otot yang baik dapat mendukung penampilan atlet untuk meraih
prestasi dan pada umumnya orang yang atletis disertai dengan anggota tubuh
ideal.Sehubungan dengan hal ini Syarifuddin (1997: 73) menyatakan “orang yang
tinggi umumnya anggota badan, lengan dan tungkainya juga panjang.Bentuk tubuh
serta anggota badan yang demikian akan memberi keuntungan bagi cabang
olahraga yang spesialisasinya memerlukan tubuh yang demikian.”
b. Tinggi Badan
Jhonson dan Nelson (1986: 34) menyatakan penampila pria dan wanita
dipengaruhi oleh usia, tinggi badan dan struktur badan. Tinggi badan menentukan
keberhasilan dalam sejumlah cabang olahraga, termasuk cabang olahraga atletik
yaitu lari 100m. Atlet yang memiliki tinggi badan lebih tinggi akan lebih
menguntungkan, yaitu jangkauan langkah akan menjadi lebih jauh. Atlet yang
memiliki sifat dan karakteristik tinggi badan yang ideal dimungkinkan akan
mempuyai keuntungan secara mekanika.
Umumnya pemilihan cabang olahraga tidak terlepas dari postur tubuh
yang dimiliki atlet, postur yang dikatakan baik bila: 1) bagian atau segmen tersusun
rapi, 2) tidak ada ketegangan pada persendian, tulang, ligamen dan otot
disekelilingnya.
Sebaliknya postur dikatakan jelek bila bagian-bagian tubuh tidak tegak
lurus dan otot-ototnya tegang oleh karena harus mengadakan kompensasi untuk
menjaga keseimbangan badannya.Postur selain memberikan tanda lahiriah juga
menentukan fungsi mekanik tubuh. Kalau postur tubuh jelek akan terjadi kelainan
fungsi mekanik dalam olahraga.
Berdasarkan pemaparan diatas, atlet yang memiliki tinggi badan yang
lebih tinggi akan lebih baik dalam melakukan langkah dalam lari 100m, dengan
kata lain tinggi badan seseorang berpengaruh terhadap daya langkah. Seorang yang
memiliki tinggi badan yang lebih tinggi akan memiliki jangkauan yang lebih jauh
kedepan dalam melakukan langkah dibandingkan dengan seorang yang memiliki
56
badan yang lebih rendah. Hal ini terjadi apabila kemampuan melompat antara atlet
yang memiliki tinggi badan tinggi dan tinggi badan lebih rendah adalah sama.
c. Pengungkit
Rasio anthropometrik dalam lari 100 meter terletak pada panjang tungkai
dan tinggi badan. Perbandingan panjang tungkai dengan tinggi badan merupakan
rasio ukuran anthropometrik yang secara biomekanika dapat mempengaruhi
peningkatan kecepatan lari 100 meter.
Hal tersebut berhubungan dengan prinsip-prinsip kerja pengungkit yang
memberikan keuntungan, baik dari penggunaan energi untuk memperoleh gaya
yang lebih besar maupun memperoleh kecepatan dan luas gerak. Prinsip kerja
pengungkit terdiri dari tiga macam pengungkit dilihat dari letak tuas (titik dimana
pengungkit berotasi) dengan titik penerapan gaya dan titik penerapan beban. Pada
sebuah pengungkit, jarak garis tegak lurus dari suatu gaya terhadap sumbunya
dinamakan lengan momen. Lengan momen untuk penerapan gaya disebut dengan
lengan gaya (FA), sedangkan lengan momen untuk beban disebut dengan lengan
beban (RA).
Pengungkit tipe pertama merupakan tipe pengungkit dimana tuas terletak
diantara titik penerapan gaya dan titik penerapan beban. Pengungkit tipe pertama
mungkin memiliki lengan gaya dan lengan beban yang sama (gaya dan beban di
terapkan sama jauhnya dari tuas). Secara mekanik ada dua macam jenis pengungkit
jenis pertama yang dapat berfungsi untuk melipat-gandakan gaya atau memperbesar
kecepatan dan luas gerak. Pertama, jika lengan gaya lebih panjang dari pada lengan
beban, hal ini digunakan untuk memperoleh gaya yang lebih besar. Kedua, jika
lengan beban lebih panjang daripada gaya akan mendapatkan keuntungan untuk
memperoleh kecepatan dan luas gerak.
A
F R
Gambar 2.11Pengungkit tipe I(Hidayat, 1997:227)
Keterangan gambar:
A : Tuas
F : Titik gaya
R : Titik beban
57
FA : Lengan gaya
RA : Lengan beban
Pengungkit tipe kedua merupakan tipe pengungkit yang memiliki lengan gaya
lebih panjang dibandingkan dengan lengan beban oleh karena titik tangkap beban
selalu berada diantara tuas dan titik penerapan gaya. Pengungkit tipe kedua ini
memberikan keuntungan penambahan gaya dengan mengorbankan kecepatan gerak.
F A
R
Gambar 2.12Pengungkit tipe II (Hidayat, 1997:227)
Pengungkit tipe ketiga merupakan tipe pengungkit yang memiliki lengan
beban lebih panjang dibandingkan dengan lengan gaya, karena kerja gaya selalu
berada diantara tuas dan titik penerapan beban. Pengungkit tipe ketiga memberikan
keuntungan penambahan kecepatan dengan mengorbankan pemakaian gaya. Pada
umumnya sebagian besar gerak yang terjadi pada tubuh manusia merupakan
penerapan prinsip kerja pengungkit tipe ketiga.
F A
R
Gambar 2.13 Pengungkit tipe III (Hidayat, 1997:228)
Semakin panjang lengan gaya, semakin sedikit energi yang digunakan untuk
menggerakkan beban, demikian pula sebaliknya semakin panjang lengan beban
maka akan semakin besar energi yang digunakan untuk mengatasinya.
Barthles (1981:54) mengemukakan bahwa pengungkit digunakan untuk
memperoleh keuntungan mekanis, sehingga dengan gaya kecil yang diterapkan
pada lengan gaya yang panjang dapat diubah untuk mengatasi atau mengangkat
beban yang cukup besar atau untuk memperoleh kecepatan yang tinggi.
Pada tubuh manusia, lengan momennya adalah tulang, titik tumpu terletak
pada tulang sendi dan gaya diberikan oleh otot-otot yang menyisip pada tulang.
Bebannya adalah berat bagian tubuh yang bergerak ditambah beban apa saja yang
ditambahkan. Jauhnya titik tangkap beban dari persendian tergantung pada berat
58
bagian tubuh ditambah dengan berat badan, dengan demikian semakin berat
bebannya maka titik tangkap beban semakin jauh dari sumbunya.
Sebenarnya, system pengungkit pada tubuh manusia lebih banyak
menggunakan system pengungkit tipe ketiga. Hal tersebut dapat dilihat pengungkit
pada tubuh manusia memiliki lengan gaya lebih pendek dibandingkan dengan
lengan bebannya, karena otot-otot yang bekerja atau yang menggerakkan bagian-
bagian tubuh menyisip dekat dengan tulang sendi dan titik tangkap beban jauh dari
persendian sebagai tuas maka system pengungkit pada tubuh manusia memberikan
keuntungan dalam hal kecepatan
Ditinjau berdasarkan tipe-tipe pengungkit tersebut sistem pengungkit yang
berlaku pada gerakan ekstensi sendi pergelangan kaki termasuk dalam tipe kedua.
Pada sistem pengungkit tipe kedua berlaku prinsip bahwa oleh karena jarak antara
sumbu dan titik gaya pada batang pengungkit lebih panjang dibandingkan jarak
antara sumbu dan titik badan, maka didapat keuntungan dalam efisiensi
penggunaan gaya dalam menghasilkan gerakan pengungkit. Sesuai dengan prinsip
ini, dalam setiap pengungkit ekstensi sendi pergelangan kaki akan memperoleh
keuntungan dalam efisiensi dalam penggunaan gaya apabila telapak kaki yang
berperan sebagai batang pengungkit mempunyai ukuran lebih panjang.
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitianyang berkaitan dengan latihan untuk meningkatkan kecepatan lari 100
meter banyak dilakukan.Penelitian yang dilakukan Ratna Kumala Setyaningrum (2011)
yang meneliti tentang pengaruh latihan interval anaerob. Menghasilkan kesimpulan
bahwa (1) ada pengaruh yang signifikan antara latihan imterval anaerob dengan rasio 1:
10, 1:15, 1:20 terhadap peningkatan kecepatan lari 100 meter, (2) ada pengaruh yang
signifikan antara kapasitas aerob tinggi, sedang, dan rendah terhadap kecepatan lari 100
meter, (3) terdapat interaksi yang signifikan antara perbedaan rasio kerja istirahat pada
latihan interval anaerob dan kapasitas aerob terhadap hasil kecepatan lari 100 meter.
C. Kerangka Berpikir
1. Perbedaan Pengaruh Latihan Interval Anaerob dengan Rasio Waktu Kerja dan
Istirahat 1 : 5, 1 : 10dan 1 : 15 terhadap Peningkatan Kecepatan Lari 100 Meter.
59
Latihan interval anaerob yang dilakukan secara sistematis, berulang-ulang
dan kontinyu dapat mengakibatkan perubahan-perubahan dalam tubuh. Perubahan-
perubahan itu antara lain adalah perubahan biokimia dan sistem otot rangka,
perubahan kardiorespirasi dan perubahan mekanisme organisasi sistem syaraf yang
mengarah pada peningkatan dalam kemampuan melakukan kerja, khususnya dalam
kaitannya dengan aktivitas lari 100 meter.
Perbandingan (rasio) antara periode kerja dan periode istirahat dalam latihan
interval ikut menetukan terhadap terhadap hasil latihan. Peningkatan kecepatan ini
juga dilihat dari perbandingan rasio kerja-istirahatnya. Periode istirahat yang tepat
akan membantu dalam penyediaan ATP-PC guna mengganti energi yang
dikeluarkan. Rasio 1:5 artinya adalah perbandingan 1 untuk waktu kerja dan 5
untuk waktu istirahat. Pemulihan ATP-PC dalam latihan interval anaerob dengan
rasio 1 : 5 belum memberikan pemulihan yang cukup terhadap pengisian kembali
ATP-PC secara sempurna, sehingga apabila telah dilakukan dalam ulangan yang
lebih banyak / terus dilakukan akan menggeser latihan kecepatan menjadi latihan
daya tahan.
Latihan interval anaerob dngan rasio 1 : 10, merupakan latihan interval
dengan istirahat yang lebih lama. Istirahat yang relatif lama memberikan
pemulihan yang mendekati sempurna, sehingga kualitas tugas kecepatan pada tiap
ulangan dapat dipertahankan. Persyaratan latihan kecepatan adalah adanya
pengulangan gerakan dengan kecepatan maksimal. Latihan interval anaerob
dengan rasio 1 : 10 dapat memungkinkan pelari untuk melakukan tiap ulangan
dengan hampir kecepatan maksimal. Penampilan kecepatan maksimal yang
dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus menimbulkan superkompensasi
otot dan syaraf untuk dapat melakuakan tugas kecepatan dengan lebih baik.
Latihan interval anaerob dengan rasio 1 : 10 memungkinkan pemulihan
ATP-PC mendekati 100%. Untuk melaksanakan kerja berikutnya maka energi
yang digunakan sudah hampir 100%. Latihan ini merupakan latihan kecepatan
murni, akan tetapi unsur daya tahan masih sedikit ada. Dengan pemulihan yang
hampir mendekati 100% maka kesempurnaan gerakan dan kecepatannya dapat
dipertahankan. Latihan lari dengan jarak pendek dan istirahat yang cukup lama
dapat meminimkan timbulnya keletihan saat aktivitas.
60
Latihan interval anaerob dngan rasio 1 : 15, merupakan latihan interval
dengan istirahat yang sangat lama. Istirahat yang relatif lama memberikan
pemulihan yang mendekati sempurna, sehingga kualitas tugas kecepatan pada tiap
ulangan dapat dipertahankan. Persyaratan latihan kecepatan adalah adanya
pengulangan gerakan dengan kecepatan maksimal. Latihan interval anaerob
dengan rasio 1 : 15 dapat memungkinkan pelari untuk melakukan tiap ulangan
dengan kecepatan maksimal. Penampilan kecepatan maksimal yang dilakukan
secara berulang-ulang dan terus menerus menimbulkan superkompensasi otot dan
syaraf untuk dapat melakuakan tugas kecepatan dengan lebih baik.
Latihan interval anaerob dengan rasio 1 : 15 memungkinkan pemulihan
ATP-PC mendekati 100%. Untuk melaksanakan kerja berikutnya maka energi
yang digunakan sudah 100%. Latihan ini merupakan latihan kecepatan murni,
karena unsur daya tahan dihindari. Dengan pemulihan yang mendekati 100% maka
kesempurnaan gerakan dan kecepatannya dapat dipertahankan. Latihan lari dengan
jarak pendek dan istirahat yang cukup lama dapat meminimkantimbulnya keletihan
saat aktivitas.
2. Perbedaan Pengaruh Peningkatan Kecepatan Lari 100 Meter antara Siswa yang
Memiliki Rasio Panjang Tungkai dan Tinggi Badan Tinggi, Sedang, dan Rendah.
Salah satu penunjang prestasi dalam cabang olahraga adalah proporsi tubuh
(rasio anthropometrik), begitu juga jika dilihat dari atlet lari 100 meter dalam
menunjang peningkatan kecepatan larinya terletak pada rasio antropometrik
ditinjau dari rasio panjang tungkai dan tinggi badan. Rasio panjang tungkai dan
tinggi badan tinggi merupakan yang ideal, dan rasio panjang tungkai dan tinggi
badan rendah merupakan salah satu rasio anthropometrik yang tidak ideal bagi atlet
lari 100 meter.
Tungkai yang merupakan salah satu faktor dominan dalam lari 100 meter.
Tungkai yang panjang disertai otot-otot yang baik mempunyai peran yang penting
untuk melakukan tolakan dalam usaha lari secepat mungkin. Tungkai yang panjang
memungkinkan memiliki tolakan kaki yang lebih jauh dan panjang, sehingga hal
ini akan mempengaruhi kecepatan lari yang dilakukan. Lain halnya dengan atlet
lari 100 meter yang memiliki panjang tungkai pendek akan memiliki jangkaun dan
tolakan yang pendek juga, sehingga hasil larinya juga tidak maksimal
61
dibandingkan dengan pelari yang memilki tungkai yang panjang. Oleh karena itu
untuk memperoleh kecepatan dan tolakan yang lebih maksimal, maka seorang
pelari cepat harus memanfaatkan tungkainya untuk menghasilkan tolakan yang
besar.
Keuntungan memiliki tungkai yang panjang bisa menjadi suatu alat kerja yang
bekerja berdasarkan asas-asas momen yaitu sebagai pengungkit anatomi.
Pengungkit ialah suatu batang yang kaku yang dapat berputar pada titik yang tetap
bila gaya digunakan untuk mengatasi beban. Bila pengungkit bergerak, berarti
pengungkit melakukan dua fungsi penting, yaitu: pengungkit digunakan untuk
mengatasi beban yang lebih besar dari pada gaya, atau untuk memperbesar jarak
bergeraknya beban dengan gaya yang lebih besar dari pada beban. Bila tidak
bergerak, berarti pengaruh putaran (momen) dari gaya sama dengan pengaruh
putaran (momen) dari beban dan pengungkit dalam keadaan seimbang.
3. Interaksi antara Latihan Interval Anaerob dengan Rasio Waktu Kerja dan Istirahat
dan Rasio Panjang Tungkai dan Tinggi Badanterhadap Peningkatan Kecepatan
Lari 100 Meter.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan didalam meningkatkan
kecepatan lari seseorang, salah satu diantaranya dengan menggunakan metode
latihan yang tepat, sehingga hasil yang diperoleh akan maksimal. Metode latihan
untuk meningkatkan kecepatan lari 100 meter diantaranya adalah metode latihan
interval anaerob dengan rasio waktu kerja-istirahat 1:5, 1:10dan 1:15 yang ditinjau
dari rasio panjang tungkai dan tinggi badan.
Pada metode latihan interval anaerob dengan rasio 1:5, 1:10 dan 1:15 jika
dibandingkan dengan rasio panjang tungkai dan tinggi badan yang tinggi, sedang,
dan rendah akan memberikan dampak yang berbeda terhadap peningkatan
kecepatan lari 100 meter. Karena diduga dapat terjadi interaksi antara latihan
interval anaerob dengan panjang tungkai dan tinggi badan terhadap peningkatan
kecepatan lari 100 meter.
D. Perumusan Hipotesis
Berdasarkan uraian dari kajian teori dan kerangka berpikir, maka dalam
penelitian ini mengajukan beberapa hipotesis, yaitu:
62
1. Ada perbedaan pengaruh antara metode latihan interval anaerob dengan rasio kerja
dan istirahat 1 : 5, 1 : 10, dan 1 : 15 terhadap peningkatan kecepatan lari 100 meter.
Latihan interval anaerob dengan rasio kerja-istirahat 1:10 dan 1:15 memiliki
pengaruh yang lebih baik daripada dengan rasio 1:5
2. Ada perbedaan peningkatan kecepatan lari 100 meter antara siswa yang memiliki
rasio panjang tungkai dan tinggi badan tinggi, sedang dan rendah. Siswa yang
memiliki rasio panjang tungkai dan tinggi badan tinggi memiliki peningkatan
kecepatan lari 100 meter yang lebih baik daripada siswa yang memiliki rasio
panjang tungkai dan tinggi badan rendah dan sedang
3. Ada interaksi antara metode latihan interval anaerob danrasio panjang tungkai dan
tinggi badan terhadap peningkatan kecepatan lari 100 meter.
Dari hipotesis di atas dapat digambarkan konsep penelitian sebagai berikut:
Gambar 2.14 Kerangka Konsep Penelitian
Latihan Interval Anaerob
(1:5, 1:10, 1:15)
Rasio Panjang Tungkai dan Tinggi
Badan
(Tinggi, Sedang, Rendah)
Peningkatan Kecepatan Lari 100m
Hipotesis 1
Hipotesis 2
Hipotesis 3