bab ii tinjauan pustaka a. kebijakan hukum pidana 1...
TRANSCRIPT
28
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebijakan Hukum Pidana
1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris yakni Policy atau dalam
bahasa Belanda Politiek yang secara umum dapat diartikan sebagai
prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah
(dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum dalam mengelola,
mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah
masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan Perundang-
undangan dan pengaplikasian hukum/ peraturan, dengan tujuan (umum)
yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran
masyarakat (warga negara).1
Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah kebijakan
hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana.
Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal
dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau
1 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti (Bandung, 2010), h. 23-24.
29
staftrechtspolitiek.2 Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan
politik hukum. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan
hukum. Menurut Sudarto, istilah politik dipakai dalam berbagai arti antara
lain 3 :
1. Perkataan politiek dalam bahasa Belanda, berarti sesuatu yang
berhubungan dengan negara;
2. Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau berhubungan dengan
negara.
Menurut Mahfud, politik hukum sebagai legal policy yang akan atau
telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah yang meliputi : 4
1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan
terhadap materi- materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;
2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan
fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
“Selanjutnya, definisi politik hukum menurut Bellefroid,
sebagai berikut: Politik hukum merupakan cabang dari salah
satu cabang (bagian) dari ilmu hukum yang menyatakan politik
hukum bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan mana
yang perlu diadakan, terhadap hukum yang ada atas memenuhi
kebutuhan-kebutuhan baru di dalam kehidupan masyarakat.
Politik hukum tersebut merumuskan arah perkembangan tertib
hukum, dari ius contitutum yang telah ditentukan oleh
2 Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya (Yogyakarta, 1999), h. 10. 3 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana : Kajian
Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminilisasi, Pustaka Pelajar (Yogyakarta, 2005), hlm : 11
30
kerangka landasan hukum yang dahulu, maka politik hukum
berusaha untuk menyusun Ius constituendum atau hukum pada
masa yang akan datang”.5
“Menurut Utretch, politik hukum menyelidiki perubahan-
perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang
berlaku supaya sesuai dengan kenyataan sosial. Politik hukum
membuat suatu Ius constituendum (hukum yang akan berlaku)
dan berusahan agar Ius constituendum itu pada suatu hari berlaku
sebagai Ius constitutum (hukum yang berlaku yang baru).6 “
Menurut Padmo Wahjono, Politik hukum adalah kebijakan
penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah,
bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang
dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu, dengan kata lain politik
hukum berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa mendatang (Ius
constituendum).7
Dengan demikian, kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan
cara bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk
menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama
dalam menanggulangi kejahatan, memang perlu diakui bahwa banyak cara
maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah)
dalam menanggulangi kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat
5 Moh. Mahfud M.D, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media
(Yogyakarta, 1999), h. 9. 6 Abdul Latif dan Hasbih Ali, Politik Hukum, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 22-
23. 7 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thoari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada (Jakarta, 2010), hlm : 26-27.
31
menanggulangi kejahatan, diantaranya melalui suatu kebijakan hukum
pidana atau politik hukum pidana.8
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari
politik hukum pidana. Menurut Sudarto, politik hukum adalah:
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang
baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.9
Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan politik
hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi
syarat keadilan dan daya guna. Politik hukum pidana berarti usaha
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa
yang akan datang. Kata sesuai dalam pengertian tersebut mengandung
makna baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.10
“Menurut Marc Ancel, pengertian penal policy (Kebijakan Hukum
Pidana) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya
mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum
positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman
tidak hanya kepada pembuat Undang-undang, tetapi juga kepada
8 Aloysius Wisnubroto, Op Cit, h. 10. 9 Barda Nawawi Arief,Op Cit, h. 24. 10 Aloysius Wisnubroto, Op Cit, h. 11
32
pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan”.11
Politik hukum pidana diartikan juga sebagai kebijakan menyeleksi atau
melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan.
Disini tersangkut persoalan pilihan-pilihan terhadap suatu perbuatan yang
dirumuskan sebagai tindak pidana atau bukan, serta menyeleksi diantara
berbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem
hukum pidana pada masa mendatang. Oleh karena itu, dengan politik
hukum pidana, negara diberikan kewenangan merumuskan atau
menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana, dan kemudian dapat menggunakannya sebagai tindakan represif
terhadap setiap orang yang melanggarnya. Inilah salah satu fungsi penting
hukum pidana, yakni memberikan dasar legitimasi bagi tindakan yang
represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan
perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana.12
Politik hukum pidana pada dasarnya merupakan aktivitas yang
menyangkut proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan
tujuan tersebut. Terkait proses pengambilan keputusan atau
pemilihan melalui seleksi diatara berbagai alternatif yang ada
mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana
mendatang. Dalam rangka pengambilan keputusan dan pilihan
tersebut, disusun berbagai kebijakan yang berorientasi pada
berbagai masalah pokok dalam hukum pidana.13
11 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai …, Op Cit, h. 23. 12
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana ; Reformasi Hukum, PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia (Jakarta, 2008), h. 58-59. 13 Muladi dalam Syaiful Bakhri, Pidana Denda dan Korupsi, Total Media
(Yogyakarta, 2009), h. 45-46.
33
Dalam hal mencapai tujuan tertentu hukum pidana tidak dapat
bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan sarana-sarana lainnya yang
mendukung, yakni tahapan kebijakan hukum pidana, dalam
mengoperasionalkan hukum pidana, melalui tahap formulasi kebijakan
legislatif atau pembuatan peraturan Perundang-undangan, tahap
perencanaan yang seharusnya memuat tentang hal-hal apa saja yang akan
dilakukan, dalam mengadapi persoalan tertentu dibidang hukum pidana,
dan kejahatan yang terjadi selalu berorientasi pada kebijakan
penanggulangan kejahatan terpadu, sebagai upaya yang rasional guna
pencapaian kesejahteraan masyarakat dan sekaligus perlindungan
masyarakat.14
2. Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
Dari definisi tentang kebijakan hukum pidana yang telah diuraikan
sebelumnya, sekilas tampak bahwa kebijakan hukum pidana identik dengan
pembaharuan perundang-undangan hukum pidana yaitu substansi hukum,
bahkan sebenarnya ruang lingkup kebijakan hukum pidana lebih luas dari
pada pembaharuan hukum pidana. Hal ini disebabkan karena kebijakan
14 Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, Total Media
(Yogyakarta, 2009), h. 83.
34
hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap konkretisasi /fungsionalisasi
hukum pidana yang terdiri dari :15
1. Kebijakan formulatif/legislatif, yaitu tahap perumusan/penyusunan
hukum pidana;
2. Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana;
3. Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum
pidana.
Kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum
pidana. Dalam hal ini, Marc Ancel menyatakan bahwa setiap masyarakat
yang terorganisir memiliki sistem hukum yang terdiri dari peraturan-
peraturan hukum pidana beserta sanksinya, suatu prosedur hukum pidana dan
suatu mekanisme pelaksanaan pidana.16
Selanjutnya, A.Mulder mengemukakan bahwa kebijakan hukum pidana
ialah garis kebijakan untuk menentukan : 17
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbaharui;
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan
pidana harus dilaksanakan.
Dengan demikian kebijakan hukum pidana berkaitan dengan proses
penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab itu, kebijakan
hukum pidana diarahkan pada konkretisasi/operasionalisasi/funsionalisasi
hukum pidana material (substansial), hukum pidana formal (hukum acara
pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Selanjutnya kebijakan hukum pidana
dapat dikaitkan dengan tindakan-tindakan :18
1. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan
hukum pidana;
15
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai …, Op Cit, h. 24. 16 Ibid, h. 28-29. 17 Aloysius Wisnubroto, Op Cit, h. 12. 18 Ibid, h. 14.
35
2. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi
masyarakat;
3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan
hukum pidana;
4. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat
dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.
Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan
perundang-undangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah
kebijakan (policy). Operasionalisasi kebijakan hukum pidana dengan sarana
penal (pidana) dapat dilakukan melalui proses yang terdiri atas tiga tahap,
yakni :19
1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif);
2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);
3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Berdasarkan hal di atas, kebijakan hukum pidana terkandung di dalamnya
tiga kekuasaan/kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif/formulatif berwenang
dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana
yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi
perbuatan yang bersifat melawan hukum. Tahap aplikasi merupakan
kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum
atau pengadilan, dan tahapan eksekutif/administratif adalah melaksanakan
hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana.
19 Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group (Jakarta, 2007), h. 78-79.
36
Kebijakan hukum pidana berkaitan dengan masalah kriminalisasi
yaitu perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana dan penalisasi yaitu sanksi
apa yang sebaiknya dikenakan pada si pelaku tindak pidana. Kriminalisasi
dan penaliasi menjadi masalah sentral yang untuk penanganannya diperlukan
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).
Kriminalisasi (criminalisation) mencakup lingkup perbuatan melawan hukum
(actus reus), pertanggungjawaban pidana (mens rea) maupun sanksi yang
dapat dijatuhkan baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan
(treatment). Kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai
menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip ultimum remedium
(ultima ratio principle) dan menjadi bumerang dalam kehidupan sosial
berupa kriminalisasi yang berlebihan (oever criminalisation), yang justru
mengurangi wibawa hukum. Kriminalisasi dalam hukum pidana materiil
akan diikuti pula oleh langkah-langkah pragmatis dalam hukum pidana
formil untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan.20
Pada tahap selanjutnya, hukum yang telah dipilih sebagai sarana
untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
berwujud peraturan perundang-undangan melalui aparatur negara, maka perlu
ditindak lanjuti usaha pelaksanaan hukum itu secara baik sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan. Pada tahap ini termasuk ke dalam bidang
20 Muladi, Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime, Majalah Media Hukum Vol. 1
No. 3 tanggal 22 Agustus 2003, h. 1-2.
37
penegakan hukum, dalam hal ini perlu diperhatikan komponen-komponen
yang terdapat dalam sistem hukum yaitu struktur, substansi dan kultur.21
Istilah penegakan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah
enforcement dalam Black law dictionary diartikan the act of putting
something such as a law into effect, the execution of a law. Sedangkan
penegak hukum (law enforcement officer) artinya adalah those whose duty it
is to preserve the peace.22
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penegak
adalah yang mendirikan, menegakkan. Penegak hukum adalah yang
menegakkan hukum, dalam arti sempit hanya berarti polisi dan jaksa yang
kemudian diperluas sehingga mencakup pula hakim, pengacara dan lembaga
pemasyarakatan.23
Sudarto memberi arti penegakan hukum adalah perhatian dan
penggarapan, baik perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang sungguh-
sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang
mungkin akan terjadi (onrecht in potentie).24
Sedangkan menurut Soerjono
Soekanto, secara konsepsional, maka inti dari penegakan hukum terletak
pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai
21 Lihat Hakristuti Harkrisnowo, Reformasi Hukum : Menuju Upaya Sinergistis untuk
Mencapai Supremasi Hukum yang Berkeadilan, Jurnal Keadilan Vol. 3, No.6 Tahun
2003/2004. 22
Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, St. Paulminn West Publicing, C.O,
1999, h. 797. 23 Departemen Pendidkan dan Kebudayaan, Kamus Besar…, Op Cit, h. 912. 24 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni (Bandung, 1986), h. 32.
38
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.25
Josep Golstein, membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3
bagian, yaitu;26
1. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana
sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif
(substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini
tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat
oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan
pendahuluan. Disamping itu, mungkin terjadi hukum pidana substantif
sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih
dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht
delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no
enforcement;
2. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang
bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan
hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara
maksimal;
3. Actual enforcement, dianggap not a realistic expectation, sebab adanya
keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat
investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan
keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut
dengan actual enforcement.
Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum
pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law
application) yang melibatkan berbagai sub-sistem struktural berupa aparat
25 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada (Jakarta, 2005), h. 5. 26 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip (Semarang, 1995), h. 40.
39
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk di
dalamnya tentu saja lembaga penasehat hukum.
Jadi, kebijakan hukum pidana (penal policy) operasionalisasinya
melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap
aplikasi (kebijakan yudikatif,yudisial) dan tahap eksekusi (kebijakan
eksekusi/administrasi). Dari ketiga tahap tersebut, tahap formulasi
merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan melalui kebijakan hukum pidana.
Kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis
yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan
kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.27
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa dalam penyelesaian tindak
pidana dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan
suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar
dalam memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua
faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana
itu dalam kenyataannya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional
27 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum…, Op Cit, h. 75.
40
dan merupakan pendekatan yang inheren pada setiap kebijakan yang
rasional.28
B. Tindak pidana Koperasi
1. Pengertian Koperasi
Ide Koperasi lahir dalam era kejayaan kapitalisme. Jika kapitalisme
berpijak pada paham tentang pentingnya peranan modal dalam kegiatan
ekonomi, maka koperasi lebih mengutamakan peranan manusia dalam
memupuk modal.29
“Koperasi berfungsi sebagai suatu badan usaha yang
melakukan usaha perbaikan tingkat kehidupan ekonomi dari
orang-orang yang berasal dari kelompok pekerja atau orang-
orang yang kurang mampu. Secara etimologi, koperasi
berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu cooperatives;
merupakan gabungan dua kata co dan operation dan dalam
bahasa Belanda disebut cooperatie, yang artinya adalah kerja
bersama”.30
Dalam Undang-undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian memberikan definisi koperasi sebagai badan usaha yang
beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan
melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.
28 Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, Total Media
(Yogyakarta, 2009), h. 155. 29 Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Banemay, 2005,
Hukum Koperasi Indonesia, Kencana, Jakarta, h. 14. 30 Ibid, h. 15.
41
R.S Soeriaatmadja, memberikan definisi koperasi sebagai suatu
perkumpulan dari orang-orang yang atas dasar persamaan derajat sebagai
manusia, dengan tidak memandang haluan agama dan politik secara
sukarela masuk, untuk sekedar memenuhi kebutuhan bersama yang bersifat
kebendaan atas tanggungan bersama.
Kalau diteliti lebih lanjut, adapun unsur-unsur yang terdapat dalam
definisi tersebut adalah:
a. Unsur demokrasi;
b. Unsur sosial;
c. Unsur tidak semata-mata mencari keuntungan.
Terdapat 6 ciri Koperasi yaitu:
a. Sebagai badan usaha yang pada dasarnya untuk mencapai suatu
tujuan keuntungan ekonomis sehingga dapat bergerak disegala sektor
perekonomian di mana saja dengan mempertimbangkan kelayakan
usaha.
b. Harus berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk
meningkatkan usaha dan kesejahteraannya.
c. Sifat keanggotaanya sukarela tanpa paksaan.
d. Pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para
anggota memegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi sehingga
anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.
42
e. Pembagian pendapatan atau sisa hasil usaha di dalam koperasi
didasarkan pertimbangan jasa usaha anggota kepada koperasi dibatasi,
yaitu tidak melebihi suku bunga yang berlaku di pasar sehingga
dengan demikian tidak didasarkan atas besarnya modal yang
diberikan.
f. Koperasi bersifat mandiri, memiliki kebebasan yang
bertanggungjawab, memiliki otonomi, swadaya, serta
mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri dan keinginan
mengelola diri sendiri.31
Indonesia sebagai negara yang turut memajukan perekonomian
bagi seluruh lapisan masyarakat dengan berlandaskan asas
kekeluargaan juga dapat dilihat dengan jelas dalam definisi Koperasi
oleh Mohammad Hatta dalam bukunya The Cooperative Movement in
Indonesia.32
Beliau mengemukakan bahwa koperasi adalah usaha
bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan
tolong menolong. Koperasi melambangkan harapan bagi kaum yang
lemah ekonominya berdasarkan self-help dan tolong menolong di
antara anggota-anggotanya yang melahirkan diantara mereka rasa percaya
pada diri sendiri dan persaudaraan. Koperasi menyatakan semangat
31
H. Budi Untung, 2005, Hukum Koperasi dan Peran Notaris Indonesia,
Penerbit Andi, Yogyakarta, h..3. 32 Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Banemay, 2005,
Op.Cit, h.19.
43
baru untuk menolong diri sendiri yang didorong oleh keinginan memberi
jasa kepada kawan berdasarkan kebersamaan.
Dalam pidato Mohammad Hatta pada tanggal 12 Juli 1951
disebutkan bahwa Perekonomian sebagai usaha bersama dengan
berdasar kekeluargaan adalah koperasi, karena koperasilah yang
menyatakan kerjasama antara mereka yang berusaha sebagai suatu
keluarga. Sebagaimana orang sekeluarga bertanggungjawab atas
keselamatan rumah tangganya, demikian pula para anggota koperasi
sama-sama bertanggungjawab atas koperasi mereka. Makmur
koperasinya makmurlah hidup mereka bersama, rusak koperasinya
rusaklah pula hidup mereka bersama. Adapun yang dimaksud oleh
Mohammad Hatta, Pasal 38 UUDS 1950 dalam pidato tersebut adalah
Pasal 33 dalam UUD 1945 yaitu perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Asas kekeluargaan
dalam Pasal inilah yang menjadi pondasi dasar dalam berdirinya suatu
koperasi yang baik bagi masyarakat Indonesia.
Koperasi di Indonesia pada hakikatnya, seperti yang
diungkapkan oleh Charles Gide kalau mau berkembang dan tetap
setia pada dirinya sendiri dan tidak menyimpang menjadi bentuk lain,
maka nilai -nilai moral yang mendasarinya harus merupakan realita-
realita hidup dalam kegiatan maupun tingkah laku orang-orang
44
koperasi.33
Jadi, dengan kata lain hakikat koperasi tidak ditentukan dari
nama maupun hak badan hukum yang diperolehnya dari pemerintah,
akan tetapi apakah asas dan prinsip-prinsipnya sudah merupakan
kenyataan yang diterapkan dalam setiap kegiatannya serta tingkah laku
koperasi dan anggotanya.
Berdasarkan hakikat tersebut maka dapat kita lihat bahwa
koperasi memiliki tujuan, sifat, nilai dan prinsip-prinsip serta jenis
koperasi. Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut:
a. Pengertian Koperasi
Koperasi pada dasarnya mengandung dua unsur yaitu unsur
ekonomi dan unsur sosial. Karena koperasi merupakan suatu sistem
dan sebagaimana diketahui sistem itu merupakan himpunan
komponen komponen atau bagian yang saling berkaitan yang secara
bersama sama berfungsi mencapai tujuan.
Tujuan yang dimaksud adalah tujuan ekonomi atau dengan
kata lain bahwa koperasi harus berdasarkan motif ekonomi yaitu
mencari keuntungan, sedangkan unsur sosial lebih untuk
menerangkan kedudukan anggota dalam organisasi, hubungan antar
sesama anggota dan hubungan anggota dengan pengurus, bukan
33 Ibid, h. 21.
45
dalam arti kedermawanan. Unsur sosial juga ditemukan dalam cara
koperasi yang demokratis, kesamaan derajat, kebebasan keluar masuk
anggota, calon anggota, persaudaraan, pembagian sisa hasil usaha
kepada anggota secara proposional dengan jasanya, serta menolong diri
sendiri.34
b. Sifat Koperasi
Koperasi memiliki sifat kerjasama, yaitu antara orang-orang
yang termasuk golongan kurang mampu dalam hal kekayaan yang
ingin meringankan beban hidup atau beban kerja. Persamaan
koperasi dengan bentuk usaha lain adalah sama-sama mengejar
suatu keuntungan kebendaan (stoffelijk voordeel). Perbedaannya
adalah bahwa biasanya koperasi didirikan oleh orang-orang yang benar-
benar memerlukan sekali kerjasama ini untuk mencapai suatu tujuan
yang dikehendaki dengan mendapat cukup keuntungan, tetapi mereka
berusaha untuk memperbesar keuntungan tersebut.
c. Nilai dan Prinsip-Prinsip Koperasi
Koperasi melandaskan nilai-nilai menolong diri sendiri,
bertanggungjawab kepada diri sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan
dan solidaritas. Berdasarkan pengaruh para pendirinya, para anggota
34 Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, 2004, Pekoperasian: Sejarah, Teori,
dan Praktek, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 9.
46
koperasi percaya pada nilai-nilai etis: kejujuran, keterbukaan,
tanggung jawab sosial dan peduli pada orang lain.
2. Pengertian Tindak Pidana Koperasi
Koperasi sebagai suatu badan hukum tidak bisa terlepas dari
kemungkinan melakukan suatu perbuatan pidana. Tindak pidana
merupakan suatu konsep yuridis yang berarti tingkah laku manusia
yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana. Dalam pengertian lain,
tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar perbuatan tersebut.35
Kata tindak pidana merupakan terjemahan dari “delik” yang berasal dari
bahasa Latin yakni delictum.36
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana atau perbuatan
melanggar hukum apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada
menentukanbahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Sutan
Remi Sjadeini mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan tindak
pidana adalah perilaku yang melanggar ketentuan pidana yang
berlaku ketika pelaku itu melakukan, baik perilaku tersebut berupa
melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana
35 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, h.1. 36 Leden Marpaung, 2003, Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Terhadap
Perbankan, Penerbit Djambatan, Jakarta, h. 5.
47
maupun tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh
ketentuan pidana.37
Seiring dengan perkembangan era globalisasi di segala bidang
kehidupan termasuk perkembangan ekonomi, keuangan,
perdagangan, perbankan dan sosialisasi yang pesat, telah membawa
implikasi hukum tertentu bagi Indonesia. Pertama, bagaimana
peranan hukum yang harus dikedepankan untuk mendukung
perubahan-perubahan kebijakan di berbagai sektor kehidupan
masyarakat Indonesia untuk masa kini dan mendatang. Kedua,
peranan hukum mana yang perlu dan mendesak dikedepankan untuk
mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dana masyarakat
era globalisasi.38
Koperasi sebagai suatu badan hukum tidak bisa terlepas dari
kemungkinan melakukan suatu perbuatan pidana. Tindak pidana
merupakan suatu konsep yuridis yang berarti tingkah laku manusia
yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana. Dalam pengertian lain,
tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
37
Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers,
Jakarta, h. 26-27. 38 Romli Atmasasmita, 2003, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media,
Jakarta, h.18.
48
hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar perbuatan tersebut.39
Koperasi mempunyai kedudukan yang kuat dan sangat penting di
dalam sistem perekonomian nasional Indonesia, karena koperasi
merupakan sokoguru perekonomian Indonesia, hal tersebut sebagaimana
yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 yang berbunyi
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan”. Pasal tersebut secara implisit menunjukan bahwa
kedudukan koperasi sangat penting, karena koperasi merupakan badan
usaha yang berdasarkan azas kekeluargaan tersebut. Sehingga koperasi
diyakini dapat diandalkan untuk menopang perekonomian Indonesia.
Namun sampai saat ini penyalahgunaan koperasi kerap sekali terjadi,
terutama dilakukan oleh para pengurusnya, sehingga akhirnya secara
langsung akan merugikan anggotanya dan secara tidak langsung akan
merugikan pemerintah. Penyalahgunaan koperasi maksudnya adalah
penggunaan asset-asset koperasi oleh pihak-pihak tertentu, biasanya
oleh pengurus, dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri dan bukan
untuk tujuan kemajuan atau keuntungan koperasi.
Tindak pidana koperasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh
pengelola/pengurus, terhadap orang lain yang telah bekerja sama dengan
39 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, h.1.
49
koperasi, tindak pidana koperasi yang dimaksudkan, dilakukan oleh
pengerus maupun anggota koperasi, dengan maksud untuk memperkaya
diri sendiri maupun kelompok dalam koperasi tersebut.
3. Tindak Pidana yang dapat dilakukan oleh Pengurus Koperasi
Ada beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus
koperasi, baik secara bersama-sama maupun sendiri, demi
kepentingannya, atau kelompok yang secara bersama-sama melakukan
tindak pidana, dan dalam melakukan penghimpunan dana dari
masyarakat yang sering terjadi adalah tindak pidana perbankan,
penggelapan dalam jabatan, dan beberapa tindak pidana yang diatur
dalam KUHP.
Terkait dengan tindak pidana perbankan, terdapat dua istilah yang
seringkali dipakai secara bergantian walaupun maksud dan ruang
lingkupnya bisa berbeda. Pertama, adalah “Tindak Pidana Perbankan”
dan kedua, “Tindak Pidana di Bidang Perbankan”. Yang pertama
mengandung pengertian tindak pidana itu semata-mata dilakukan oleh
bank atau orang bank, sedangkan yang kedua tampaknya lebih netral
dan lebih luas karena dapat mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh
50
orang di luar dan di dalam bank atau keduanya.40
Istilah “tindak pidana
di bidang perbankan” dimaksudkan untuk menampung segala jenis
perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-
kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tidak ada pengertian formal
dari tindak pidana di bidang perbankan. Ada yang mendefinisikan secara
populer, bahwa tindak pidana perbankan adalah tindak pidana yang
menjadikan bank sebagai sarana (crimes through the bank) dan sasaran
tindak pidana itu (crimes against the bank).
Dalam hal terjadi suatu tindak pidana di bidang perbankan yang
dilakukan oleh orang dalam terdapat beberapa undang-undang yang
dapat dan biasanya diterapkan yaitu Pertama. Kitab Undang-undang
Hukum Pidana. Ketentuan KUHP yang biasa dipakai misalnya Pasal 263
(pemalsuan) Pasal 372 (penggelapan), 374 (penggelapan dalam jabatan),
378 (penipuan), 362 (pencurian).
40 Istilah “Tindak Pidana Di Bidang Perbankan dipergunakan oleh Brigjen Pol Drs.
HAK Moch Anwar, SH dan Prof Mardjono Reksodiputro, SH, MA. Lihat, HAK Moch
inwar, Tindak Pidana di Bidang Perbankan, (Bandung: Alumni,1986). Lihat juga Marjono
Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan Karangan Buku
Kesatu, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), h. 74.
51
a. Peraturan Di Dalam KUHP
Pasal 372 KUHP
“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memilikibarang
sesuatuyang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain,
tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam
karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun
atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.” Dari
rumusan penggelapan sebagaimana diuraikan diatas, jika diuraikan
maka unsur-unsur sebagai berikut :
a) Unsur Objektif
1) Perbuatan Memiliki
Memiliki adalah melakukan penguasaan suatu benda yang
milik orang lain tersebut secara melawan hukum. Unsur melawan
hukum (wederrnechtelijk toeeigenen) ini merupakan hal yang
harus melekat adap ada perbuatan menguasai benda milik orang
lain tadi, dan dengan demikian harus pula dibuktikan. Menurut
van Bemmelen dan van Hattum, makna secara melawan hukum
dalam hal ini cukup dan bisa diartikan sebagai “bertentangan
dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat”.41
41 R. Soesilo dalam KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi
Pasal, Penerbit Politeia, Bogor, 1981, h. 223.
52
Perbuatan memiliki itu pada umumnya terdiri atas setiap
perbuatan yang menghapuskan kesempatan untuk memperoleh
kembali barang itu oleh pemilik yang sebenarnya dengan cara-cara
seperti menghabiskan, atau memindah tangankan barang itu,
seperti memakan, memakai, menjual, menghadiakan, menukan,
dalam hal-hal yang masih dimungkinkan memperoleh kembali
barang itu seperti pinjam-meminjam, menjual dengan hak membeli
kembali termasuk juga dalam pengertian memiliki, bahkan
menolak pengembalian atau menahan barang itu dengan
menyembunyikan sudah dapat dikatakan sebgaia perbuatan
memiliki.
2) Sesuatu Benda
Pada perbuatan penggelapan, barang yang menjadi objek
penggelapan adalah hanya terhadap benda-benda yang berwujud
dan bergerak saja, perbuatan memiliki terhadap benda yang ada
dalam kekuasaannya, tidak mungkin dilakukan pada benda-benda
yang tidak berwujud. Pengetian benda yang ada dalam dalam
kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan erat
degan benda itu yang sebgai indikatornya adalah apabila ia
hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu dia dapat
53
melakukakannya secara langsung tanpa harus melakukan
perbuatan lain terlebih dahulu, adalah hanya benda-benda
berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada
benda-benda yang tidak berwujud dan tetap.42
3) Yang Sebagian atau Keseluruhan Milik Orang Lain
Benda yang tidak ada pemiliknya, baik sejak semula maupun
telah dilepaskan hak milinya tidak dapat menjadi objek
penggelapan. benda milik suatu badan hukum, seperti milik
negara adalah berupa benda yang tidak/bukan dimiliki oleh orang,
adalah ditafsirkan sebagai milik orang lain, dalam arti bukan milik
petindak dan oleh karena itu dapat menjadi objek penggelapan.
orang lain yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi
objek pengelapan, tidak menjadi syarat sebagai orang itu adalah
korban, atau orang tertentu melainkan siapa saja asalkan bukan
pentindak sendiri. Arres HR menyatakan bahwa untuk
menghukum karena penggelapan tidak diisyaratkan bahwa
menurut hukum terbukti siapa pemilik barang itu.43
42 Adami Chazawi, Op. Cit. h. 77. 43 H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Khusus (KUHP Buku II), Alumni, Bandung,
1980, h. 40.
54
4) Yang Berada Dalam Kekuasaan Bukan Karena Kejahatan
Dalam unsur ini pelaku harus sudah menguasai barang dan
barang itu oleh pemilinya dipercayakan kepada pelaku, hingga
barang ada pada pelaku secara sah bukan karena kejahatan,
hubungan yang nyata antara pelaku dan barang diwujudkan
dengan barang ada di bawah kekuasaannya pelaku bukan karena
suatu kejahatan, sedangkan pada pencurian barang ada dalam
kekuasaan pelaku karena kejahatan dengan perbuatan
mengambilnya. Unsur ini dapat terdiri atas perbuatan meminjam,
menerima untuk disimpan, menerima untuk dijual, menerima
untuk diangkat.
b) Unsur Subjektif
1) Dengan Sengaja
Unsur kesengajaan bagian dari kesalahan yang dalam teori
hukum Pidana kesalahan mengandung 2 bentuk, yakni kesengajaan
dan kelalaian, dengan sengaja berarti pelaku mengetahui dan sadar
hingga ia dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau
dalam arti lain berarti ia menghendaki mewujudkan perbuatan dan
ia mengetahui, mengerti nilai perbuatannya serta sadar akan akibat
yang timbul dari perbuatannya itu atau apabila dihubungkan
55
dengan kesengajaan yang terdapat dalam rumusan tindak pidana
seperti pada penggelapan, maka kesengajaan dikatakan ada apabila
adanya suatu kehendak atau adanya suatu perbuatan dan atau
mengetahui atau menyadari akan akibat yang timbul dari
perbuatannya.
2) Melawan Hukum
Maksud memiliki dengan melawan hukum adalah, bahwa
sebelum melakukan perbuatan, ia sadar bahwa perbuatan yang
dilakukan adalah bertentangan dengan hukum. Pada dasarnya
melawan hukum adalah sifat tercelanya atau terlarangnya dari
suatu perbuatan tertentu. Dikenal ada dua macam melawan hukum,
yaitu melawan hukum formil dan hukum materil, melawan hukum
formil adalah bertentangan dengan hukum tertulis, sedangkan
melawan hukum materil ialah bertentangan dengan asas-asas
hukum didalam masyarakat.44
Pasal 374 KUHP
“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang pengguasaannya
terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena
44 Op, cit, Adami Chazami, h. 15.
56
pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.”
Faktor-faktor yang memberatkan pelaku didasarkan pada lebih
besarnya kepercayaan yang diberikan pada orang yang menguasai
benda yang digelapkan. Beberapa jenis kepercayaan digunakan sebagai
masalah-masalah yang memberatkan penggelapan dalam bentuk pokok,
yaitu hubungan pelaku yang diberi kepercayaan dengan orang lain yang
memberikan kepercayaan dalam suatu lingkungan.
Unsur-unsur yang memberatkan adalah
a) Hubungan kerja
Yang dimaksudkan dengan hubungan kerja adalah pekerjaan yang
terjadi karena suatu perjanjian kerja.
b) Mata Pencaharian
Yang dimaksudkan, adalah penggelapan yang dilalukan
dikarenakan jabatannya didalam pekerjaannya,
c) mendapat upah khusus
Yang dimaksudkan adalah, bahwa seseorang mendapat upah
tertentu berhubungan dengan kepercayaan yang diberikan karena
perjanjian oleh sebab diserahkan suatu benda.
57
Pasal 378 KUHP
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu,
dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan
orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya
memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena
penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Unsur-unsur dalam pasal 378 terbagi menjadi dua yaitu :
1. Subjektif
a. Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain. Unsur ini menunjukkan bahwa pelaku
melakukan penipuan dengan sengaja dan mempunyai niat untuk
mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri atau orang lain.
Keuntungan tidak hanya berupa harta kekayaan saja, namun
juga dapat berupa sesuatu yang memberi keuntungan non-
materiil, seperti pembebasan piutang.
b. Secara melawan hukum. Unsur Melawan Hukum ini merupakan
perbuatan dimana pelaku menyadari bahwa perbuatan yang ia
lakukan tersebut dilarang oleh hukum, namun dengan sengaja
ia tetap melakukan perbuatan tersebut
58
2. Objektif
a. Menggerakkan orang lain.Unsur ini ditujukan kepada orang
yang menjadi korban, tujuan pelaku menggerakkan hati korban
untuk memberikan keuntungan kepadanya berupa sesuatu
barang/uang, atau memberikan utang, atau menghapus piutang.
b. Menggunakan berbagai cara. Unsur ini merupakan berbagai
bentuk upaya atau cara yang dilakukan pelaku terhadap korban
untuk mencapai tujuannya.
1) Nama Palsu: nama palsu adalah nama yang bukan
merupakan nama aslinya atau sebenarnya.
2) Martabat Palsu: Martabat palsu atau kedudukan palsu
merupakan kedudukan atau jabatan yang digunakan
pelaku,untuk menunjukan bahwa dirinya mempunyai hak
atau wewenang tertentu.
3) Tipu Muslihat: Satochid Kartanegara mengemukakan, tipu
muslihat ialah tindakan-tindakan yang sedemikian rupa,
sehingga dapat menimbulkan kepercayaan orang atau
memberi kesan pada orang yang digerakkan, seolah-olah
keadaannya sesuai dengan kebenaran.
4) Rangkaian Kebohongan: Maksud yaitu kata-kata atau
ucapan-ucapan yang menyesatkan atau berbeda dengan
59
kenyataannya diucapkan secara meyakinkan agar dipercaya
oleh korban atau orang yang digerakkan tersebut.45
b) Peraturan Di Luar KUHP:
1) Pasal 46 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
menyatakan :
1. Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp.
10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak
Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah).
2. Dalam hal kegiatan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan
terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan
terhadap badan badan dimaksud dilakukan baik terhadap
badan badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang
memberikan perintah melakukan perbuatan itu atau yang
45 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik – Delik Khusus Kejahatan Terhadap
Harta Kekayaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 167.
60
bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap
kedua-duanya.
2) Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang “Setiap Orang
yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar
negeri mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau
surat berhaga atau perbuatan lain atas Harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak
Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).
Berdasarkan UU No 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang. yang termasuk ke dalam unsur-unsur tindak pidana
pencucian uang adalah : Pertama, Setiap orang baik orang
perseorangan maupun korporasi dan personil pengendali koporasi.
Kedua, menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga
61
atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) UU No 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang. Ketiga, menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran,
atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) UU N0 8 Tahun 2010. Keempat, bertujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi,
peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) UU No 8 tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang.