bab ii tinjauan pustaka a. kepuasan kerja 1. pengertian ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2917/3/bab...
TRANSCRIPT
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepuasan Kerja
1. Pengertian Kepuasan
Kepuasan menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah puas, merasa
senang, perihal (hal yang bersifat puas, kesenangan, kelegaan dsb) kepuasan
dapat diartikan sebagai perasaan puas seseorang dan kelegaan seseorang
dikarenakan mengkonsumsi suatu produk atau jasa untuk mendapatkan
pelayanan sesuai jasa.
Sedangkan menurut Kotler (2008) kepuasan adalah tingkat kepuasan
seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakan
dibandingkan dengan harapannya. Jadi kepuasan atau ketidakpuasan adalah
kesimpulan dari interaksi antara harapan dan pengalaman seseorang
memahami jasa atau pelayanan yang diberikan.
Menurut Wijono (1999) berpendapat bahwa kepuasan adakah tingkat
keadaan yang dirasakan seseorang yang merupakan hasil dari membandingkan
penampilan atau outcome produk yang dirasakan dalam hubungannya dalam
harapan seseorang.
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan
adalah perasaan senang atau lega setelah membandingkan hasil yang dirasakan
dengan harapan seseorang.
20
2. Pengertian Kepuasan Kerja
Hughes, Ginnett dan Curphy, (2015) mengatakan bahwa kepuasan kerja
bukanlah berarti seberapa keras atau seberapa baik seseorang bekerja,
melainkan seberapa jauh seseorang menyukai pekerjaan tertentu. Kepuasan
kerja berhubungan dengan perasaan atau sikap seseorang mengenai pekerjaan
itu sendiri, gaji, kesempatan promosi atau pendidikan, pengawasan, rekan
kerja, beban kerja dan lain-lain.
Locke (dalam As’ad, 2000) mengatakan bahwa kepuasan kerja sebagai
reaksi individual terhadap pengalaman kerja dan diartikan sebagai komponen
kognitif dari pengalaman kerjanya. Maksud dari definisi tersebut adalah
kepuasan kerja baru dapat dirasakan setelah individu melakukan pekerjaan.
Individu setelah melakukan pekerjaan akan merasakan nyaman atau tidak
nyaman akibat dari pengalamannya.
Sementara menurut Berry (As’ad, 2000), kepuasan kerja adalah sikap
kerja yang meliputi elemen kognitif, afektif, dan perilaku, yang diperkirakan
memberi pengaruh pada sejumlah perilaku kerja. Setiap individu memiliki
standar akan sesuatu termasuk standar tentang pekerjaan yang diinginkan atau
diharapkannya. Jika pekerjaan tersebut sesuai dengan keinginannya, maka
kepuasan kerja akan terwujud.
Menurut Hasibuan (2007) Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang
menyenangkan dan mencintai pekerjaannya.Sikap ini dicerminkan oleh moral
kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dinikmati dalam
pekerjaan, luar pekerjaan dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Kepuasan
21
kerja (job statisfaction) karyawan harus diciptakan sebaik-baiknya supaya
moral kerja, dedikasi, kecintaan, dan kedisiplinan karyawan meningkat. Sikap
ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan
kerja dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar
pekerjaan. Kepuasan kerja dalam pekerjaan adalah kepuasan kerja yang
dinikmati dalam pekerjaan dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan,
perlakuan, peralatan, dan suasana lingkungan kerja yang baik. Karyawan yang
lebih suka menikmati kepuasan kerja dalam pekerjaan akan lebih
mengutamakan pekerjaannya daripada balas jasa walaupun balas jasa itu
penting.
Menurut Luthans (1995) kepuasan kerja adalah :
a. Suatu emosi yang merupakan respon terhadap situasi kerja. Hal ini tidak
dapat dilihat tetapi hanya dapat dirasakan dan akan tercermin dalam sikap
karyawan.
b. Perolehan hasil yang sesuai atau bahkan melebihi yang diharapkan misalnya
seseorang bekerja sebaik yang mampu dilakukannya dan berharap
mendapatkan reward yang sepadan.
c. Dinyatakan dalam sikap, misalnya semakin loyal pada sekolah, bekerja
dengan baik, berdedikasi tinggi pada sekolah, tertib dan mematuhi peraturan
serta sikap-sikap lain yang bersifat positif.
Robbins (2011) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu sikap
umum terhadap pekerjaan seseorang yang menunjukkan perbedaan antara
jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini
22
seharusnya mereka terima. Kepuasan kerja berhubungan dengan sikap dari
karyawan terhadap pekerjaan itu sendiri, situasi kerja, kerjasama antara
pimpinan dan sesama karyawan.
Berdasarkan uraian di atas sesuai dengan pendapat Robbins (2011)
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu sikap umum terhadap pekerjaan
seseorang yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang
diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima
3.Teori Kepuasan Kerja
a. Teori ketidaksesuian
Teori ini menekankan selisih antara kondisi yang diinginkan dengan
kondisi actual (kenyataan), jika ada selisih jauh antara keinginan dan
kekurangan yang yang ingin dipenuhi dan kekurangan yang ingin dipenuhi
dengan kenyataan maka orang menjadi tidak puas. Tetapi jika kondisi yang
diinginkan dan kekuranagan yang ingin dipenuhi ternyata sesuai dengan
kenyataan yang didapat maka ia akan puas.
b. Teori Keadilan
Teori keadilan ini memandang kepuasan adalah seseorang terhadap
keadilan atau kewajaran imbalan yang diterima.
c. Teori dua faktor
Teori ini diperkenalkan oleh Herzberg (1959) berdasarkan atas
penelitian yang dilakukan terhadap 250 responden pada sembilan buah
perusahaan di Pittsburg. Dalam penelitian tersebut Herzberg ingin menguji
23
hubungan kepuasan dengan produktivitas. Menurut Herzberg dalam
mengembangkan teori hierarki kebutuhan Maslow menjadi teori dua faktor
tentang motivasi. Dua faktor itu dinamakan faktor pemuas (motivation
factor) yang disebut dengan satisfier atau intrinsic motivation dan faktor
pemelihara (maintenance factor) yang disebut dengan disatisfier atau
extrinsic motivation
d. Teori keseimbangan
Teori ini menyebutkan beberapa komponen input yaitu semua nilai
yang diterima pegawai yanag dapat menunjang pelaksanaan kerja. Outcome
yaitu semua nilai yang diperoleh dan dirasakan pegawai. Comparison
person yaitu seorang pegawai dalam organisasi yang sama seseorang
pegawai dalam organisasi yang berbeda atau dirinya sendiri dalam
pekerjaan sebelumnya.
e. Teori pemenuhan kebutuhan
Pandangan Mangkunegara (2009) menjelaskaan bahwa teori
kepuasan kerja pegawai bergantung pada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan
pegawai.
f. Teori Pandangan kelompok sosial
Mangkunegara (2009) menyatakan teori kepuasan kerja pegawai
bukanlah bergantung pada pemenuhan kebutuhan saja, tetapi sangat
bergantung pada pandangan dan pendapat kelompok yang oleh para
pegawai dianggap sebagai kelompok acuhan.
24
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai
teori yang menjelaskan tentang kepuasan kerja yaitu teori ketidaksesuian, teori
keadilan, teori dua faktor, teori keseimbangan, teori pemenuhan kebutuhan,
serta teori pandangan kelompok sosial. Kepuasan kerja dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan teori dua faktor (two factor theory) teori ini
dikembangkan oleh Hezberg, menurut teori ini kepuasan kerja dan
ketidakpuasan kerja merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan
terhadap pekerjaan itu bukan suatu variabel yang kontinum. Teori ini
merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua faktor itu dinamakan faktor
pemuas (motivation factor) yang disebut dengan satisfier atau intrinsic
motivation dan faktor pemelihara (maintenance factor) yang disebut dengan
disatisfier atau extrinsic motivation. Satisfies adalah faktor-faktor atau situasi
yang dibutuhkan sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari pekerjaaan
yang menarik penuh tantangan ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan
memperoleh penghargaan dan promosi. Terpenuhinya faktor tersebut akan
menimbulkan kepuasan , namun tidak terpenuhinya faktor lain tidak selalu
menyebabkan ketidak puasan. Disatisfies (hygiene factor) adalah faktor–faktor
yang menjadi sumber ketidakpuasan yang terdiri dari gaji/upah , pengawasan,
hubungan antar pribadi, kondisi kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk
memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan, jika tidak
terpenuhi faktor ini karyawan tidak akan puas, apabila besarnya faktor ini
memadahi untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak akan kecewa
meskipun belum terpuasakan (Kaswan, 2012).
25
Penggunaan teori kepuasan kerja di atas disesuaikan dengan tujuan
pemakaiannya. Peneliti dalam peneltian ini menggunakan teori dua faktor
untuk menjelaskan pengaruh komunikasi interpersonal dan kepemimpinan
transformasional terhadap kepuasan kerja. Alasannya penggunaan teori dua
faktor ini karena teori tersebut lebih tepat untuk mengetahui tingkat kepuasan
kerja dari aspek kondisi kerja.
4.Aspek-aspek Kepuasan Kerja
Robbins (2011) mengemukakan lima aspek kepuasan kerja, yaitu
kerja yang secara mental menantang, ganjaran yang pantas, kondisi kerja yang
mendukung, rekan kerja yang mendukung, dan kesesuaian kepribadian dengan
pekerjaan.
a. Kerja yang secara mental menantang.
Karyawan cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi
kesempatan untuk menggunakan keterampilan, kemampuan dan
menawarkan tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baiknya
mengerjakan tugas tersebut. Artinya, adanya karakteristik pekerjaan yang
secara mental menantang mampu mewujudkan kepuasan kerja. Pekerjaan
yang kurang menantang mampu menciptakan kebosanan.
b. Ganjaran yang pantas.
Para karyawan menginginkan pemberian upah dan kebijakan
promosi yang dipersepsikan adil dan sesuai dengan harapan. Apabila upah
dilihat adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan
26
individu, dan standar upah karyawan, kemungkinan besar akan
menghasilkan kepuasan. Tentu saja, tidak semua orang mengejar uang.
Banyak orang bersedia menerima uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam
lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut
atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang dilakukan
dan jam-jam kerja. Intinya bahwa besarnya upah bukanlah jaminan untuk
mencapai kepuasan, namun yang lebih penting adalah persepsi keadilan.
Sama dengan karyawan yang berusaha mendapatkan kebijakan dan promosi
yang lebih banyak, dan status sosial yang ditingkatkan. Individu-individu
yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara yang
adil kemungkinan besar akan mendapatkan kepuasan dari pekerjaannya.
c. Kondisi kerja yang mendukung.
Karyawan perduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan
pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Studi-studi
memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai lingkungan kerja yang
tidak berbahaya. Seperti temperatur, cahaya, kebisingan, dan faktor
lingkungan lain harus diperhitungkan dalam pencapaian kepuasan kerja.
d. Rekan kerja yang mendukung.
Karyawan akan mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau
prestasi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja
juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu sebaiknya
karyawan mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung. Hal ini
penting dalam mencapai kepuasan kerja. Perilaku atasan juga merupakan
27
determinan utama dari kepuasan. Umumnya studi mendapatkan bahwa
kepuasan karyawan ditingkatkan bila atasan langsung bersifat ramah dan
dapat memahami, menawarkan pujian untuk kinerja yang baik,
mendengarkan pendapat karyawan, dan menunjukkan suatu minat pribadi.
e. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan
Pada hakikatnya orang yang tipe kepribadiannya sama dengan
pekerjaan yang dipilih seharusnya mempunyai bakat dan kemampuan yang
tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaannya. Dengan demikian akan
lebih besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut, dan lebih
memungkinkan untuk mencapai kepuasan yang tinggi dari pekerjaannya.
Sikap yang dimiliki oleh individu akan terwujud dalam bentuk perilaku
sedangkan kepribadian yang dimiliki individu membuat sikap kerja orang
tersebut terhadap pekerjaannya menjadi berbeda. Apabila kepribadian
seorang petugas sesuai dengan pekerjaan yang dijalankannya, maka secara
otomatis sikapnya terhadap pekerjaan tersebut menjadi baik. Dirinya akan
menunjukkan semua potensi yang dimiliki dan mengupayakan hal yang
terbaik bagi organisasi tempatnya bekerja. Kondisi ini menunjukkan adanya
keterkaitan antara kepuasan kerja yang dimiliki individu dengan sikap
kerjanya.
Menurut Luthans (1995) mengemukakan bahwa terdapat tiga aspek
kepuasan kerja yaitu :
28
a. Kepuasan kerja adalah suatu emosi yang merupakan respon terhadap situasi
kerja. Hal ini tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dirasakan dan akan
tercermin dalam sikap karyawan.
b. Kepuasan kerja dinyatakan dengan perolehan hasil yang sesuai atau bahkan
melebihi yang diharapkan misalnya seseorang bekerja sebaik yang mampu
dilakukannya dan berharap mendapatkan reward yang sepadan.
c. Kepuasan kerja biasanya dinyatakan dalam sikap misalnya semakin loyal
pada sekolah, bekerja dengan baik, berdedikasi tinggi pada sekolah, tertib
dan mematuhi peraturan serta sikap-sikap lain yang bersifat positif.
Berdasarkan uraian di atas peneliti mendasarkan teori Kepuasan kerja
yang dikemukakan oleh Robbins bahwa kepuasan kerja terdapat aspek-aspek
yaitu respon terhadap situasi kerja yang dinyatakan dengan perolehan hasil
berupa kerja yang menantang, ganjaran yang pantas, kondisi kerja, rekan kerja
dan kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan.
5.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja menurut Greenberg dan
Baron (As’ad, 2000) dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu faktor-faktor
yang berkaitan dengan individu dan faktor-faktor yang berhubungan dengan
organisasi.
a. Faktor-faktor yang berkaitan dengan individu
Faktor-faktor yang berkaitan dengan individu adalah faktor-faktor
yang berasal dari dalam diri individu, yang membedakan antara satu
29
individu dengan individu yang lain sehingga menentukan tingkat kepuasan
kerja yang dirasakan. Faktor-faktor dari diri individu yang mempengaruhi
tingkat kepuasan kerja antara lain adalah:
1) Kepribadian
Kepribadian di sini adalah cara individu berfikir, bertingkah laku, dan
memiliki perasaan. Kepribadian merupakan determinan pertama
bagaimana perasaan dan pikiran individu terhadap pekerjaannya dan
kepuasan kerja yang dirasakan individu. Kepribadian individu
mempengaruhi positif atau negatifnya pikiran individu terhadap
pekerjaannya.
2). Nilai-nilai yang dimiliki individu
Nilai memiliki pengaruh pada kepuasan kerja karena nilai dapat
merefleksikan keyakinan dari pekerja, mengenai keluaran dari
pekerjaan dan bagaimana seseorang bertingkah laku dalam
pekerjaannya.
3). Pengaruh sosial dan kebudayaan
Sikap dan tingkah laku individu sangat dipengaruhi oleh
lingkungan di sekitarnya, termasuk pengaruh dari orang lain dan
kelompok tertentu. Individu yang berasal dari keluarga yang memiliki
tingkat kesejahteraan hidup yang tinggi cenderung untuk merasa tidak
puas terhadap pekerjaan yang memiliki penghasilan atau gaji yang
rendah dan tidak sesuai dengan standar kehidupannya.
30
Kebudayaan yang ada di lingkungan dimana individu tinggal
juga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kepuasan
kerja yang dirasakan oleh individu. Individu yang tinggal di lingkungan
yang menekankan pada kekayaan akan merasa puas dengan pekerjaan
yang memberikan upah/gaji yang tinggi. Sedangkan individu yang
tinggal di lingkungan yang menekankan pada pentingnya membantu
orang lain akan merasa tidak puas pada pekerjaan yang menekankan pada
kompetisi dan prestasi.
4). Minat dan penggunaan keterampilan
Minat sangat berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Artinya bila
individu bekerja pada bidang kerja yang sesuai dengan minatnya maka
akan merasa puas bila dibandingkan dengan individu yang bekerja pada
bidang kerja yang tidak sesuai dengan minatnya.
Fricko dan Behr (dalam As’ad, 2000) menemukan bahwa
kepuasan kerja individu berhubungan erat dengan kesesuaian antara
pekerjaan, minat pekerja, dan jurusan yang dipilih saat kuliah. Semakin
sesuai ketiganya maka akan semakin tinggi tingkat kepuasan kerjanya.
Selain itu pekerja juga akan merasa lebih puas jika mempunyai
kesempatan untuk dapat menggunakan keterampilannya dalam bekerja.
5). Loyalitas
Hasibuan (As’ad, 2000) menjelaskan bahwa loyalitas atau
kesetiaan dicerminkan oleh kesediaan karyawan menjaga dan membela
organisasi didalam maupun diluar pekerjaan dari rongrongan orang
31
yang tidak bertanggungjawab. Soegandhi dkk (As’ad, 2000) juga
menjelaskan bahwa terdapat keterkaitan antara kepuasan kerja dan
loyalitas kerja.
6). Work engagement
As’ad (2000) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa employee
engagement berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja
dan negatif dan signifikan terhadap turnover intention, sedangkan
kepuasan kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap turnover
intention.
7). Usia dan pengalaman kerja
Hubungan antara kepuasan kerja, pengalaman kerja dan usia
biasanya merupakan hubungan yang paralel. Biasanya, pada awal bekerja
para pekerja cenderung merasa puas dengan pekerjaannya. Hal ini
disebabkan karena para pekerja baru tersebut merasa adanya tantangan
dalam bekerja dan mempelajari keterampilan-keterampilan baru. Namun,
setelah beberapa tahun bekerja biasanya para pekerja akan mengalami
penurunan.
8). Kemampuan komunikasi interpersonal
Kemampuan komunikasi interpersonal membuat individu mampu
mempengaruhi rekan kerja maupun atasan. Semakin individu dapat
mengkomunikasikan informasi yang disampaikan, maka akan semakin
baik interaksi yang dibinanya. Tanpa adanya komunikasi interpersonal
akan sulit bagi individu untuk dapat memahami individu lain (DeVito,
32
2011). Komunikasi interpersonal membuat situasi kerja menjadi
menyenangkan sehingga akhirnya mendukung terwujudnya kepuasan
kerja. Komunikasi interpersonal dibahas sebagai variabel bebas (X1)
dalam penelitian ini karena setiap individu yang ada dalam suatu
organisasi termasuk di Lapas Sleman sangat memerlukan komunikasi
satu sama lain mengingat hal yang ditangani dalam Lapas adalah
narapidana yang membutuhkan pembinaan selama berada di Lapas
tersebut. Artinya, kemampuan komunikasi interpersonal mutlak
diperlukan oleh setiap petugas Lapas.
b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan organisasi
Maksud dari faktor-faktor yang berhubungan dengan organisasi
adalah faktor dari dalam organisasi dan dari lingkungan organisasi yang
mempengaruhi kepuasan kerja individu. Faktor-faktor tersebut antara lain
adalah:
1). Situasi dan kondisi pekerjaan.
Maksud dari situasi pekerjaan di sini adalah tugas, interaksi
dengan orang-orang tertentu, lingkungan pekerjaan, dan cara organisasi
memperlakukan pekerjanya, serta imbalan atau gaji yang didapat.
Setiap aspek dari pekerjaan merupakan bagian dari situasi kerja dan
dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan.
2). Pimpinan.
Karyawan yang percaya bahwa pimpinannya adalah orang yang
kompeten, mengetahui minatnya, perhatian, tidak mementingkan diri
33
sendiri, memperlakukannya dengan baik, serta menghargai, cenderung
akan mempunyai tingkat kepuasan kerja yang tinggi pula. Pimpinan
dipilih sebagai variabel bebas kedua (X2) dalam penelitian ini karena
pimpinan di Lapas sangat dibutuhkan untuk dekat dengan para
bawahannya mengingat berbagai tantangan dan permasalahan dalam
bertugas sering timbul secara mendadak sehingga dibutuhkan kerja
sama yang solid, bawahan sangat membutuhkan kedekatan dengan
pimpinan untuk dapat mengatasinya problema dalam bertugas secara
cepat sehingga diperlukan model kepemimpinan transformasional.
Bass & Avolio (1994) mengemukakan lebih lanjut bahwa sikap
pimpinan dalam memperlakukan bawahan akan mempengaruhi
kepuasan kerja karyawan. Apabila pimpinan memberikan tanggapan
yang positif dan berusaha memenuhi harapan bawahan, maka, bawahan
merasakan adanya kepercayaan, kebanggan, loyalitas dan rasa hormat
kepada atasan serta termotivasi, dan berinisiatif melakukan inovasi
dalam usaha untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Artinya,
bawahan melakukan upaya semaksimal mungkin.
3). Keamanan.
Faktor keamanan berhubungan dengan kestabilan dari pekerjaan
dan perasaan yang dimiliki individu berkaitan dengan kesempatan untuk
bekerja di bawah kondisi organisasi yang stabil. Keamanan menimbulkan
kepuasan kerja karena dengan adanya rasa aman individu dapat
34
menggunakan kemampuannya dan memperoleh kesempatan untuk tetap
bertahan pada pekerjaannya.
4). Kebijaksanaan organisasi.
Kebijaksanaan organisasi sangat mempengaruhi kepuasan kerja
karyawannya karena organisasi memiliki prosedur dan peraturan yang
memungkinkan individu untuk memperoleh imbalan. Selain itu individu
yang mempunyai konflik peran atau peran yang ambigu dalam
pekerjaannya karena keijaksanaan organisasi cenderung untuk merasa
tidak puas.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor
yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu faktor internal yang berkaitan dengan
individu dan faktor eksternal yang berhubungan dengan organisasi. Faktor-faktor
yang berkaitan dengan individu itu sendiri antara lain adalah nilai-nilai yang
dimiliki individu, pengaruh sosial dan kebudayaan, minat dan penggunaan
keterampilan, loyalitas, work engagement, usia dan pengalaman kerja, serta
komunikasi interpersonal yang merupakan kemampuan individu dalam
berkomunikasi dengan individu lain, dengan kelancaran menyampaikan pesan dan
dapat diterima dengan baik oleh individu lain akan berakibat positif bagi seorang
pimpinan dengan bawahan atau sesama bawahan, karena pesan yang dapat
diterima dengan baiak akan menjadikan orang lain menjadi puas, bagi organisasi
kepuasan seseorang akan memberikan nilai positif yaitu kinerja suatau organisasi
akan meningkat. Sedangkan faktor-faktor yang berhubungan dengan organisasi
adalah situasi dan kondisi pekerjaan, keamanan, kebijaksanaan organisasi dan
35
kepemimpinan yang mampu memberi inspirasi bawahannya untuk lebih
mengutamakan kemajuan organisasi daripada kepentingan pribadi, sehingga
mampu menggiring Sumber Daya Manusia yang dipimpin ke arah tumbuhnya
sensitivitas pembinaan dan pengembangan organisasi, pengembangam visi secara
bersama, dengan kesadaran dan semangat yang tinggi dalam mencapai tujuan
organisasi, tanpa merasa ditekan atau tertekan.
Faktor dari dalam individu berupa komunikasi interpersonal dapat
mempengaruhi kepuasan kerja dikarenakan berupa kemampuan individu dalam
menyampaikan pesan kepada individu lain yang dapat diterima dengan baik dan
jelas akan memberikan pengaruh positif kepada individu lain berupa kejelasan
dan kepuasan termasuk di dalamnya yaitu kepuasan kerja.
Sedangkan faktor dari luar individu berupa kepemimpinan yaitu karena
individu memerlukan pemimpin untuk menjalankan organisasi, pemimpin yang
yang dapat memotivasi, menginspirasi bawahan dan mempunyai visi misi
organisasi dan mempunyai arah dalam pengembangan organisasi akan yang
dinamakan kepemimpinan transformasional mempengaruhi bawahan dalam
mencapai kepuasan kerja yang diharapkan.
B. Komunikasi Interpersonal
1. Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah proses pemindahan (transfer) atau pertukaran
(exchange) informasi dalam bentuk verbal maupun non verbal. Model proses
36
komunikasi terdiri dari tujuh bagian, yaitu: sumber komunikasi, pengkodean,
pesan, saluran, penerima, dan umpan balik (Rakhmat, 2011).
Pesan Pesan Pesan Pesan
Umpan Balik
Gambar 2.1. Model Proses Komunikasi Interpersonal (Robbins, 2011)
Keterangan dari gambar tersebut sebagai berikut:
a. Sumber
Sumber mengawali suatu pesan dengan pengkodean suatu pikiran.
b. Pengkodean
Empat kondisi yang mempengaruhi pesan dalam kode adalah: keterampilan,
sikap, pengetahuan, dan sistem sosial-budaya. Komunikator harus
mengetahui siapa yang ingin dicapai serta tanggapan apa yang diinginkan.
Individu mempertahankan gagasan-gagasan mengenai sejumlah topik, dan
komunikasi dipengaruhi oleh sikap tersebut. Komunikator dapat
mengkomunikasikan apa yang tidak diketahuinya. Seandainya
pengetahuannya terlalu meluas, mungkin penerima atau komunikan tidak
akan memahami pesan tersebut.
c. Pesan
Pesan merupakan suatu produk fisik yang sebenarnya dari pengkodean
sumber. Apabila individu berbicara, pembicaraan itulah pesan, bila menulis,
Sumber Saluran Pengkodean Pendekodean Penerima
37
tulisan itulah pesan. Apabila kita melakukan gerakan isyarat (gesture),
gerakan lengan, ungkapan pada wajah hal itu adalah pesan. Hal yang
mempengaruhi pesan adalah kode atau kelompok simbol yang digunakan
untuk mentransfer makna, isi dari pesan, dan keputusan yang di ambil dalam
memilih dan menata baik kode maupun isi.
d. Saluran
Saluran adalah medium pesan tersebut berjalan. Medium dipilih oleh
sumber, secara formal maupun non formal. Saluran formal ditetapkan oleh
organisasi. Saluran tersebut yang meneruskan pesan mengenai kegiatan
anggota yang bertalian dengan pekerjaan. Bentuk pesan lain, seperti pesan
sosial atau pribadi mengikuti saluran informal dalam organisasi tersebut.
e. Pedekodean
Penerjemahan simbol-simbol ke dalam suatu ragam yang dapat dipahami
oleh si penerima
f. Penerima
Penerima merupakan sasaran dari pesan yang disampaikan. Sebelum pesan
dapat diterima, simbol-simbol harus diterjemahkan ke dalam suatu ragam
yang dapat dipahami oleh komunikan. Hal tersebut disebut dengan
pengkodean pesan. Pengetahuan, sikap, dan latar belakang budaya
seseorang tidak hanya mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
menerima melainkan juga mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
mengirim pesan.
38
g. Umpan balik
Umpan balik merupakan pengecekan sukses atau tidaknya komunikator
dalam menyampaikan pesannya kepada komunikan. Komunikasi dikatakan
memiliki umpan balik positif apabila komunikan mengikuti apa yang
diinginkan oleh komunikator.
Tubbs dan Moss (2001) menjelaskan bahwa komunikasi
interpersonal merupakan proses pembentukan makna di antara dua orang
atau lebih. Pandangan transaksional menekankan bahwa komunikasi
interpersonal umumnya berupaya untuk menciptakan suatu hubungan dan
setiap manusia membutuhkan komunikasi untuk dapat melakukan
perubahan dalam hidupnya.
2. Jenis-Jenis Komunikasi
Dalam bukunya , Rakhmat (2008: 48) menyebutkan empat bentuk
komunikasi yang terdiri dari komunikasi intrapersonal, komunikasi
interpersonal, komunikasi kelompok, dan komunikasi massa. Secara singkat
komunikasi intrapersonal adalah komunikasi dengan diri sendiri saat menerima
stimuli dari lingkungan. Sedangkan komunikasi interpersonal adalah proses
pertukaran makna orang-orang yang saling berkomunikasi. Komunikasi
kelompok adalah interaksi antara tiga atau lebih individu untuk memperoleh
maksud dan tujuan tertentu. Terakhir yaitu komunikasi massa yang berarti
komunikasi yang dilakukan dimana sebuah media dalam memproduksi dan
menyebarkan pesan kepada publik secara luas.
39
Setiap model komunikasi memiliki fungsi dan tujuan masing-masing.
Seperti komunikasi intrapersonal atau komunikasi diri sendiri salah satunya
dilakukan seseorang saat ia ingin merenung. Komunikasi interpersonal yang
dilakukan antar pribadi dilakukan dengan berbagai tujuan seperti untuk
membantu atau bercakap-cakap. Seperti seorang bawahan yang berkonsultasi
dengan atasanyaa. Komunikasi yang baik antara keduanya akan membuat
dokter menjadi lebih tahu apa yang benar-benar dirasakan pasien. Komunikasi
kelompok salah satu contohnya dilakukan saat beberapa orang sedang
berdiskusi mencari sebuah kesepakatan. Sedangkan komunikasi massa adalah
komunikasi yang melalui media seperti kita membaca koran untuk yang
tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi
3. Pengertian Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal menurut Rakhmat (2011) merupakan “suatu
proses penyampaian pesan, informasi, pikiran, sikap tertentu antara individu
satu kepada individu lainnya dan umumnya dalam komunikasi interpersonal
terjadi pergantian peran sebagai orang yang memberikan pesan (komunikan)
atau orang yang menerima pesan (komunikator)”. Apabila seseorang berlaku
sebagai komunikator, maka individu yang lain akan menjadi komunikan.
Komunikasi interpersonal merupakan proses penyampaian informasi
dari individu kepada individu lainnya dengan tujuan tertentu yang disampaikan
oleh pemberi pesan dan diterima secara langsung oleh penerima pesan.
Komunikasi interpersonal dapat membuat individu berinteraksi dengan
40
individu lain, mengenal orang lain dan dirinya sendiri, dan menjadi sarana
untuk mengungkapkan ide atau pendapat. Tanpa adanya komunikasi
interpersonal akan sulit bagi individu untuk dapat memahami individu lain
(DeVito, 2011).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi
interpersonal merupakan kemampuan memproses penyampaian pesan,
informasi, pikiran, sikap tertentu dari individu kepada individu lainnya secara
langsung dengan tujuan tertentu.
3. Aspek-Aspek Komunikasi Interpersonal
Komunikasi merupakan hal yang tidak dapat terelakkan dalam
kehidupan sehari-hari. Menurut De Vito (2011) agar komunikasi interpersonal
berlangsung dengan efektif, maka ada beberapa aspek yang harus diperhatikan
oleh para pelaku komunikasi interpersonal. Aspek-aspek tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Keterbukaan (openness)
Keterbukaan dapat dipahami sebagai keinginan untuk membuka diri
dalam rangka berinteraksi dengan orang lain. Kualitas keterbukaan mengacu
pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal, yaitu:
komunikator harus terbuka pada komunikan demikian juga sebaliknya,
kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang
datang, serta mengakui perasaan, pikiran serta mempertanggung
jawabkannya (DeVito, 2011).
41
Bolino et all (2005: 43) menjelaskan bahwa keterbukaan yang
dimiliki oleh individu dapat membuat individu tersebut merasa nyaman saat
berinteraksi dengan individu lain. Hal ini karena saat keterbukaan
dilakukan, maka individu tersebut dapat menjadi dirinya sendiri dengan
memberikan respon secara apa adanya sesuai dengan apa yang dirasakan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa keterbukaan memiliki indikator yaitu
bercerita apa adanya tanpa ada yang ditutupi, secara jujur memberikan
respon terhadap stimulus yang ada.
Pimpinan harus bersikap terbuka kepada petugas Lapas. Di dalam
lapas, hubungan interpersonal memainkan peran penting dalam sehari-hari.
Hubungan interpersonal mampu memberi dorongan kepada orang tertentu
yang berhubungan dengan perasaan, pemahaman informasi, dukungan, dan
berbagai bentuk komunikasi yang mempengaruhi citra diri orang serta
membantu orang untuk memahami harapan-harapan orang lain. Self
disclosure atau pengungkapan diri adalah kemampuan untuk mengatakan
apa yang menjadi kekhawatiran dan keinginan yang paling dalam kepada
orang lain. Hal ini dapat efektif disampaikan jika ada kesediaan dari diri
sendiri untuk menerima orang lain apa adanya, dan ada kemampuan
mendengarkan orang lain.
Keterbukaan merupakan proses pengungkapan diri yang telah lama
menjadi fokus penelitian dan teori komunikasi mengenai hubungan,
merupakan proses mengungkapkan informasi pribadi kepada orang lain dan
sebaliknya. Jourard menandai sehat atau tidaknya komunikasi pribadi
42
dengan melihat keterbukaan yang terjadi di dalam komunikasi (Rakhmat,
2011).
Apabila komunikasi antara dua orang berlangsung dengan baik maka
akan terjadi disclosure yang mendorong informasi mengenai diri masing-
masing ke dalam keterbukaan. Meskipun self disclosure mendorong adanya
keterbukaan, namun keterbukaan itu sendiri ada batasnya. Pengungkapan
diri diperlukan untuk mencapai saling pengertian yang timbal balik dalam
sebuah hubungan interpersonal yang lebih efektif dan produktif.
b. Empati (emphaty)
Berempati menurut Rakhmat (2011) berarti membayangkan diri
sendiri pada posisi individu lain. Individu yang berempati berarti berusaha
melihat seperti yang individu lain lihat serta merasakan seperti yang
individu lain rasakan. Saat berkomunikasi apabila individu memiliki empati
yang tinggi pasti mampu menentukan sikapnya dengan baik. Kondisi ini
membuat nyaman individu lain yang sedang berkomunikasi dengannya.
Empati adalah kemampuan untuk merasakan hal-hal yang dirasakan
orang lain. Hal ini termasuk salah satu cara untuk melakukan pemahaman
terhadap orang lain. Langkah pertama dalam mencapai empati adalah
menahan godaan untuk mengevaluasi, menilai, menafsirkan, dan
mengkritik. Langkah kedua dengan mencoba mengerti alasan yang
membuat orang itu memiliki perasaan tersebut. Ketiga, mencoba merasakan
apa yang sedang dirasakan orang lain dari sudut pandangnya. Empati dapat
dikomunikasikan secara verbal ataupun nonverbal.
43
Apabila pimpinan memiliki empati yang tinggi maka dapat
memahami permasalahan dan kesulitan yanag dialami petugas lapas. Hal ini
membuat pimpinan tidak mudah meremehkan apa yang dilakukan petugas
Lapas. Sikap empati yang ditunjukkan atasan akan membuat petugas Lapas
tidak merasa atasan menyalahkannya serta mau mengerti perasaan bawahan.
Kondisi ini pada akhirnya membuat petugas Lapas merasa senang untuk
terus berkomunikasi dengan atasan serta mau memahami informasi yang
atasan sampaikan.
c. Sikap mendukung (supportiveness)
Sikap suportif adalah memberikan dukungan secara penuh kepada
individu lain. Lawan dari sikap mendukung adalah sikap yang tidak
mendukung atau defensif. Sikap suportif akan mengurangi sikap defensif
dalam komunikasi. Individu akan bersikap defensif apabila dirinya tidak
menerima dan tidak jujur. Sikap mendukung akan memberikan kenyamanan
pada individu lain dan pada akhirnya membuat komunikasi berjalan dengan
baik.
Adanya sikap defensif komunikasi interpersonal dapat membuat
kegagalan dalam komunikasi. Individu yang defensif cenderung akan
merasa terancam dengan adanya komunikasi. Artinya individu tersebut akan
lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya dalam
situasi komunikasi daripada memahami pesan yang ada. Komunikasi
defensif dapat terjadi karena faktor-faktor personal yang meliputi ketakutan,
44
kecemasan, harga diri yang rendah, pengalaman defensif dan sebagainya
serta faktor-faktor situasional.
Sikap mendukung meliputi tiga hal. Pertama, descriptiveness yang
dipahami sebagai lingkungan yang tidak dievaluasi. Lingkungan ini
menjadikan orang bebas dalam mengucapkan perasaannya, tidak defensif
sehingga orang tidak malu dalam mengungkapkan perasaannya dan orang
tidak akan merasa bahwa dirinya dijadikan bahan kritikan terus menerus.
Kedua, spontanity dipahami sebagai kemampuan seseorang untuk
berkomunikasi secara spontan dan mempunyai pandangan yang berorientasi
ke depan, yang mempunyai sikap terbuka dalam menyampaikan
pemikirannya. Ketiga, provesionalism dipahami sebagai kemampuan untuk
berpikir secara terbuka (open minded).
d. Sikap positif (positiveness)
Sikap positif dalam komunikasi interpersonal adalah kemampuan
seseorang dalam memandang dirinya secara positif dan menghargai orang
lain. Sikap positif tidak dapat lepas dari upaya mendorong menghargai
keberadaan serta pentingnya orang lain. Dorongan positif umumnya
berbentuk pujian atau penghargaan. Dorongan positif terdiri atas perilaku
yang biasanya diharapkan.
Sikap positif berkaitan dengan kemampuan individu menerima
keberadaan individu lain. Menerima menurut Rakhmat (2011) adalah
kemampuan yang berhubungan dengan individu lain yang tanpa menilai dan
tanpa berusaha mengendalikan. Menerima berarti menunjukkan sikap yang
45
melihat individu lain sebagai manusia yang patut dihargai. Menerima bukan
berarti menyetujui semua perilaku individu lain atau rela menanggung
akibat-akibat dari individu lain tersebut. Menerima berarti betapapun
jeleknya perilaku individu lain menurut persepsi yang dimiliki namun tetap
mau berkomunikasi dengan baik.
Sikap positif yang ditunjukkan dengan menerima keberadaan
individu lain secara apa adanya merupakan hal yang sulit. Apabila individu
tidak menunjukkan sikap positif maka dirinya akan mengkritik, mengecam,
atau selalu menilai individu lain. Kondisi ini pada akhirnya memberikan
ketidaknyamanan dalam komunikasi interpersonal.
Pimpinan yang memiliki sikap positif, tidak akan segan-segan untuk
memberikan pujian atau penghargaan kepada petugas Lapas contohnya ada
petugas lapas yang terlambat maka pimpinan menanyakan dengan baik
penyebab keterlambatannya. Apabila besoknya petugas Lapas sudah tidak
terlambat lagi maka selayaknya atasan memuji petugas Lapas tersebut.
Pujian yang diberikan tentu akan membuat petugas Lapas merasa senang
karena usahanya untuk tidak terlambat telah dihargai oleh atasan dan
perubahannya menuju hal yang baik dianggap bawahan membuat atasan
memperhatikannya.
e. Kesetaraan (equality)
Komunikasi interpersonal akan efektif apabila suasananya setara,
artinya, harus komunikator harus menganggap komunikannya sebagai
individu yang sederajat dengannya sehingga menghargai keberadaan
46
komunikan. Kesetaraan dalam suatu komunikasi akan menjadikan suasana
komunikasi yang akrab, sebab dengan tercapainya kesamaan dapat
berinteraksi dengan nyaman. Apabila didalam suatu hubungan interpersonal
terdapat kesetaraan, maka meskipun dalam proses komunikasi terdapat
ketidaksepakatan atau perbedaan pandangan maka hal itu dipandang sebagai
upaya untuk lebih memahami perbedaan. Kondisi tersebut tidak untuk
menjatuhkan pihak lain. Kesetaraan tidak berarti menerima semua perilaku
verbal dan nonverbal pihak lain melainkan memberikan “penghargaan
positif tak bersyarat”.
Morissan (2010: 174) menjelaskan bahwa dalam suatu hubungan,
individu yang lebih banyak memberikan informasi akan memperoleh status
dan kekuasaan yang lebih tinggi dari pada individu lain yang lebih banyak
menerima. Thibaut dan Kelley (dalam Morissan, 2010: 174) lebih lanjut
mengungkapkan bahwa apabila individu satu merasa lebih tinggi
kemampuannya dari individu lain maka individu tersebut akan berusaha
menguasai proses komunikasi yang sedang berlangsung. Hal ini
menunjukkan pentingnya kesetaraan dalam komunikasi interpersonal.
Apabila pimpinan mengedepankan kesetaraan dengan petugas
Lapas, maka pimpinan tidak akan sewenanag-wenang sebagaimana
pimpinan menghargai dirinya sendiri dan pimpinan tidak akan bersikap
seakan-akan dirinya orang yang paling tahu. Adanya kesetaraan akan
meminimalisir jarak antara atasan dengan bawahan dan membuat proses
komunikasi interpersonal berjalan dengan lancar.
47
Teori pergaulan sosial yang menekankan bahwa individu
mengembangkan hubungan apabila manfaatnya lebih besar dari pada biaya
yang harus dikeluarkan (Rakhmat, 2011). Apabila individu tersebut
merasakan suatu keuntungan maka akan berpengaruh terhadap semakin
intens dalam melakukan komunikasi tersebut.
Teori tersebut cenderung menjelaskan kecenderungan manusia untuk
mencari keuntungan atau manfaat dengan mengeluarkan biaya sedikit
mungkin. Kebanyakan dari individu mempunyai harapan dalam suatu
hubungan. Apabila harapan terlampaui, maka akan mengalami kepuasan.
Sebagai contoh, manusia merasa puas jika mendapat manfaat lebih besar
dari pada apa yang semula diharapkan. Apabila harapan tidak terpenuhi
akan mengalami ketidakpuasan.
Adanya kemampuan komunikasi interpersonal yang tinggi pada
individu memiliki manfaat yaitu akan membuatnya mudah dalam
mentransfer informasi kepada individu lain. Kondisi ini akan menciptakan
suasana hubungan yang lebih intens antar individu. Manfaat lainnya adalah
mampu mempengaruhi atau mempersuasif individu lain sehingga
komunikan dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan
komunikator.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan
bahwa aspek-aspek yang ada dalam komunikasi interpersonal antara lain
didasari oleh sikap terbuka yaitu keinginan individu untuk mengungkapkan
secara apa adanya, empati yaitu kemampuan individu untuk merasakan apa
48
yang individu lain rasakan, saling mendukung yaitu keinginan untuk
membantu, sikap positif yaitu upaya untuk memberi semangat kepada
individu lain, dan kesamaan yaitu menghargai keberadaan individu lain.
Aspek-aspek kemampuan komunikasi interpersonal yang digunakan dalam
penelitian ini sesuai dengan aspek DeVito (2011) yang meliputi
keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, dan kesetaraan.
Dipilihnya aspek ini karena dianggap mampu mengungkapkan komunikasi
interpersonal secara rinci. Dengan kemampuan komunikasi interpersonal
yang dimiliki individu akan memberi kemudahan dalam mentransfer
informasi kepada individu lain. Sehingga akan dapat akan memberikan nilai
positif dan apabila dalam iklim organisasi kerja akan dapat memberikan
kepuasan kerja seseorang.
C. Kepemimpinan Transformasional
1. Pengertian Kepemimpinan Transformasional
Menurut Silalahi (2008), kepemimpinan adalah kemampuan memberi
inspirasi kepada orang lain untuk bekerja sama sebagai suatu kelompok, agar
dapat mencapai tujuan umum. Kemampuan memimpin diperoleh melalui
pengalaman hidup sehari-hari. Pengertian lain tentang kepemimpinan ialah
segala hal yang bersangkutan dengan pemimpin dalam menggerakkan,
membimbing dan mengarahkan orang lain agar melaksanakan tugas dan
mewujudkan sasaran yang ditetapkan. Gaya kepemimpinan adalah pola tingkah
49
laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan
individu, untuk mencapai suatu tujuan.
Kepemimpinan menurut Byrd dan Block (Handoko, 2001) adalah
kemampuan untuk mempengaruhi, menggerakkan, dan mengarahkan suatu
tindakan pada diri seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai tujuan
tertentu dan pada situasi tertentu. Locke (Silalahi, 2008) melukiskan
kepemimpinan sebagai suatu proses membujuk (inducking) orang lain untuk
menuju sasaran bersama. Burn (1978) menjelaskan kepemimpinan
dilaksanakan ketika seeorang memobilisasi sumber daya institusional, politik,
psikologis dan sumber-sumber lainnya untuk membangkitkan, melibatkan dan
memenuhi motivasi pengikutnya.
Gagasan awal tentang gaya kepemimpinan transformasional beriringan
dengan konsep kepemimpinan transaksional dikembangkan oleh James
McGregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik. Burns (1978)
mengatakan: kepemimpianan transformasional yaitu merupakan proses dimana
orang terlibat dengan orang lain, dan menciptakan hubungan yang
meningkatkan motivasi dan moralitas dalam diri pemimpin ciptaan hubungan
yang meningkatkan motivasi dan moralitas dalam diri pemimpin dan pengikut.
Jenis pemimpin ini memiliki perhatian dan kebutuhan dan motif pengikut, serta
mencoba membantu pengikut mencapai potensi terbaik mereka.
Bass & Avolio (1994) menjelaskan bahwa kepemimpinan
transformasional merupakan kemampuan pemimpin dalam mempengaruhi para
bawahannya agar saling bekerjasama dalam mencapai tujuan organisasi. Upaya
50
yang dilakukan pemimpin transformasional secara persuasif. Robbins (2011)
menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan pimpinan
yang mampu mencurahkan perhatian dan kebutuhan pengembangan
bawahannya, mengubah kesadaran bawahan dan membantunya memandang
masalah lama dengan cara-cara baru.
Berdasarkan sumber definisi kepemimpinan transformasional di atas
dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional sebagai kemampuan
untuk mempengaruhi, menggerakkan, dan mengarahkan suatu tindakan pada
diri seseorang atau sekelompok orang untuk menuju sasaran bersama, dimana
pemimpin dan pengikutnya bersama-sama saling meningkatkan dan
mengembangkan moralitas dan motivasinya.
Teori Kepemimpinan Transformasional juga mengakui pentingnya
power dan proses mepengaruhi (influence processes). Hubungan Pemimpin-
pengikut dipandang sebagai satu intensi emosi yang mana pengikut
memberikan kepercayaan dan keyakinan yang besar kepada Pemimpin (Bass &
Avolio, 1994). Menyebutnya karisma, inspirasi, pertimbangan (consideration
individual), dan stimulasi intelektual sebagai empat karakteristik yang Karisma
diartikan sebagai leader’s perceived God-like qualities yang menciptakan
referent power dan influence (Bass & Avolio, 1994). Inspirasi adalah kemam-
puan untuk menarik, mengajak dan secara emosional mengkomunikasikan
idiealisme masa depan. Pemimpin memancarkan power dan memengaruhi
pengikut melalui cara yang visioner. Pertimbangan individual menggambarkan
bagaimana pemimpin memperoleh power, baik melalui pelayanan maupun
51
kepenasihatan dan pengembangan orientasi pengikut. Stimulasi intelektual
mendorong pengikut untuk berpikir dengan cara baru terhadap masalah-
masalah lama (think of old problems in new ways), mendorong karyawan
mempertanyakan nilai-nilai dan keyakinan yang dimilikinya dan apakah sesuai
dengan pemimpinnya (Bass & Avolio, 1994)
Berbasis pada social learning theory (Bandura, 1977) dan social
exchange theory (Hollander, 1979), teori kepemimpinan transaksional
mengakui adanya sifat leadership dengan hubungan deterministik timbal balik
(reciprocal) (Bass & Avolio, 1994). Pemimpin dan bawahan dipandang
sebagai agen yang membuat kesepakatan, dan mengatur kekuatan relatif dalam
sebuah proses pertukaran yang saling menguntungkan. Bass & Avolio, 1994)
menyatakan ada dua karakteristik yang membentuk kepemimpinan
transaksional yaitu (a) contingent reward yang menggambarkan bahwa sistem
pembayaran sudah lazim dipakai sebagai aransemen untuk memengaruhi, yang
mana ada kesepakatan secara eksplisit atau implisit atas tujuan yang akan
dicapai dalam rangka untuk mendapatkan reward yang diinginkan;
(b) management-by-exception, yang dicirikan bagaimana pemimpin memonitor
penyimpangan negative yang dilakukan oleh bawahan dan mengambil tindakan
koreksi hanya jika bawahan gagal untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Teori Kepemimpinan Transaksional menyatakan, bahwa leader
dan/atau bawahan dapat saling melaksanakan power dan pengaruh, yang
dilaksanakan dalam suatu proses pertukaran yang saling menguntungkan.
Sebagai contoh, seorang leader memiliki informasi vital (Pettigrew, 1972) atau
52
di pihak lain seorang bawahan memiliki keahlian khusus dalam memecahkan
masalah-masalah penting organi-sasional (Mechanic, 1962), kondisi ini
mendorong keduabelah pihak untuk bernegosiasi yang saling menguntungkan,
jadi ada transaksi di antara mereka.
Pemimpin transaksional adalah pemimpin yang selalu bertransaksi
dengan bawahan. Jika ia memberi, apa yang ia dapatkan, atau jika ia
memerintah, ada sesuatu yang ia janjikan. Misalnya, ia mengatakan jika gaji
kalian ingin dinaikkan, maka naikkan dulu produktivitas kalian.
Berdasarkan beberapa pendapat tadi, peneliti menggaris bawahi bahwa
kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu memberi
inspirasi bawahannya untuk lebih mengutamakan kemajuan organisasi
daripada kepentingan pribadi, sehingga mampu menggiring sumber daya
manusia yang dipimpin ke arah tumbuhnya sensitivitas pembinaan dan
pengembangan organisasi, pengembangam visi secara bersama, dengan
kesadaran dan semangat yang tinggi dalam mencapai tujuan organisasi, tanpa
merasa ditekan atau tertekan.
Dari apa yang disampaikan oleh Bernard M. Bass tentang komponen -
komponen kepemimpinan tranformasional, maka untuk menjadi pemimpin
transformational berarti harus melakukan hal -hal untuk mendapatkan empat
komponen tersebut dalam diri kita. Caranya adalah dengan melakukan
beberapa hal berikut ini.
1.Membuat visi yang jelas
53
Semua pemimpin besar bertindak dengan visi yang jelas. Mereka selalu bisa
memberikan jawaban dengan pasti mengapa mereka melakukan sebuah
tindakan. Dan untuk menciptakan visi yang jelas, Robbins telah
memberikan empat petunjuk sederhana. Pertama, menulis satu atau dua
paragraf tentang alasan yang membuat bergairah mengembangkan diri
dalam organisasi dan tim. Kedua, Memastikan visi, emosional, inspiratif
yang mampu menggerakkan diri dan tim untuk melakukan tindakan.
Ketiga, memastikan visi spesifik. Keempat, jangan perfeksionis.
2. Mengelola penyampaian visi
Perlu memahami sejelas dan seinspiratif apapun visi yang dimiliki dan
mampu mengelola penyampaian visi sehingga memiliki pemahaman yang
sama, keyakinan yang sama dan tujuan yang sama untuk kesuksesan
bersama.
3. Memotivasi Tim
Memiliki motivasi yang kuat, pemimpin harus sadar, motivasi tidak bisa
miliki sendiri, tapi harus salurkan ke semua tim, supaya mereka memiliki
motivasi untuk mencapai visi yang tetapkan.
4. Kreatif dan Inovatif
Menjadi pemimpin transformasional berarti siap menjadi orang berbeda.
Dan untuk itu perlu menjadi kreatif dan inovatif. Ini tidak hanya berlaku
untuk diri sendiri tapi juga bagi tim. Kreatif dan inovatif ini penting, karena
akan menjadikan organisasi berbeda dengan yang lain.
5. Membangun budaya belajar di dalam organisasi
54
Organisasia mampu bersaing dan berkembang lebih pesat. Membangun
budaya ini penting itu menciptakan organisasi yang tangguh dan produktif.
Dengan demikian untuk mewujudkan gaya kepemimpinan transformasional
harus berawal dari membuat visi yang jelas dan diakhiri dengan
membangun budaya belajar dalam organisasi. Jika hal ini dilakukan dengan
baik, maka kualitas diri akan semakin meningkat yang pada akhirnya akan
terwujud organisasi yang maju dan organisasi yang bunafit dan kompetitif.
Organisasi atau institusi Lapas membutuhkan sosok pemimpin untuk
memajukan, mengembangkan serta membawa intitusi yang dipimpinnya
menuju kearah yang lebih baik. Kepemimpinan transformasional salah satu
gaya kepemimpinan yang modern yang mampu mengubah dari visi misi
menjadi aksi dan dilakukan dengan membuat visi yang jelas, memotivasi staf
untuk menjadi kreatif, inovatif, membangun budaya belajar, serta membangun
komunikasi yang efektif.
Pada dasarnya tidak ada satu tipe maupun gaya kepemimpinan yang
paling efektif untuk diterapkan pada semua situasi dan kondisi, masing-masing
mempunyai keunggulan dan kekurangan. Dalam penelitian ini gaya
kepemimpinan transformasional sebagai alternative gaya kepemimpinan yang
dipandang paling efektif untuk diterapkan, dibandingkan dengan gaya
kepemimpinan yang lain. Dengan berpandangan bahwa, secara logika pada
umumnya seorang bawahan akan merasa lebih nyaman manakala
pemimpinnya tidak melakukan penekanan dan indoktrinasi kerja, akan tetapi
dapat merangkul dan memberikan motivasi yang tinggi kepada bawahan
55
sampai akhirnya bawahan merasa bahwa apa yang dikerjakan adalah sesuatu
yang sangat penting, sangat bermakna bagi organisasi dan dirinya. Sehingga
bawahan itu akan melakukan sesuatu yang lebih dari harapan pemimpin dan
organisasinya, karena mereka berpandangan bahwa kesuksesan kerja yang
ditampilkan adalah kepuasan dan kredibilitas bagi dirinya juga
2. Aspek-aspek Kepemimpinan Transformasional
Bass dan Avolio (1994) mengemukakan empat aspek kepemimpinan
transformasional yakni: idealized influence, inspiration motivation,
intellectual stimulation dan individualized consideration.
a. Idealized influence (pengaruh ideal). Pemimpin dengan karakter ini adalah
pemimpin yang memiliki karisma dengan menunjukkan pendirian,
menekankan kepercayaan, menempatkan diri pada isu-isu yang sulit,
menunjukkan nilai yang paling penting, menekankan pentingnya tujuan,
komitmen dan konsekuen etika dari keputusan, serta memiliki visi dan
sence of mission.
b. Inspirational motivation (motivasi yang menginspirasi). Pemimpin
mempunyai visi yang menarik untuk masa depan, menetapkan standar
yang tinggi bagi para bawahan, optimis dan memiliki antusiasme,
memberikan dorongan dan arti terhadap apa yang perlu dilakukan.
c. Intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin mendorong
bawahan untuk lebih kreatif, menghilangkan keengganan bawahan untuk
mengeluarkan ide-denya dan dalam menyelesaikan permasalahan
56
menggunakan pendekatan-pendekatan baru dengan menggunakan
intelengensi dan alasan-alasan rasional.
d. Individualized Consideration. Pemimpin memberikan perhatian khusus
kebutuhan setiap individu untuk berprestasi dan berkembang dengan jalan
bertindak selaku pelatih atau penasehat. Pemimpin menghargai dan
menerima perbedaan-perbedaan individual dalam hal kebutuhan dan
minat. Dan berbagai macam tugas didelegasikan sebagai cara
mengembangkan bawahan dan dipantau untuk memastikan bawahan
membutuhkan arahan atau dukungan tambahan dan untuk menilai
kemajuan yang dicapai.
Kepemimpinan transformasional mendorong ke arah tumbuhnya
sensivitas pembinaan dan pengembangan organisasi, pengembangan visi
bersama, pendistribusian wewenang, dan membangun kultur organisasi Lapas.
Kepemimpinan transformasional sebagai paradigma baru. Menurut Ress
(Silalahi, 2008) dalam implementasinya kepemimpinan transformasional perlu
memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
a. Simplikasi, kemampuan dan keterampilan dalam mengungkapkan visi
secara jelas, praktis dan transformasional.
b. Motivasi, kemampuan untuk mendapatkan komitmen dari setiap orang
yang terlibat terhadap visi yang sudah ditetapkan.
c. Fasilitasi, kemampuan untuk secara efektif menfasilitasi pertumbuhan dan
perkembangan organisasi.
57
d. Inovasi, kemampuan untuk berani dan bertanggungjawab melakukan suatu
perubahan-perubahan secara baru.
e. Mobilitas, yaitu pengerahan semua sumber daya yang ada untuk mencapai
tujuan-tujuan organisasi.
f. Tekad, yaitu tekad bulat untuk menyelesaikan sesuatu dengan
mengembangan disiplin spiritualitas, emosi dan fisik serta komitmen.
Persepsi bawahan terhadap gaya kepemimpinan transformasional akan
memberikan kesan yang diterima atas kepemimpinan yang diterapakan oleh
Kepala Lapas sebagai pimpinan yang memberikan manfaat kepada bawahan
yaitu akan termotivasi untuk menunjukkan kemampuannya secara maksimal
karena mendapatkan kesempatan mengembangkan diri. Manfaat lainnya
adalah bawahan akan merasa menjadi bagian dari organisasi sehingga dapat
fokus pada tujuan organisasi. Kondisi ini tentu saja akan memberikan
keuntungan bagi organisasi tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
kepemimpinan transformasional adalah idealized influence (pengaruh ideal)
yaitu pemimpin yang memiliki karisma, inspiration motivation (motivasi
inspirasi) yaitu pemimpin yang mampu menjadi inspirasi bagi bawahannya,
intellectual stimulation (stimulasi intelektual) yaitu pimpinan yang mampu
menstimulus bawahan untuk mengeluarkan ide-idenya dan individualized
consideration (konsiderasi individual) yaitu perhatian khusus terhadap
kebutuhan setiap individu untuk berprestasi dan berkembang.
58
Kepemimpinan transformasional mempunyai kelebihan yaitu
pemimpin mampu untuk menggerakkan bawahannya dalam
mengembangakan moralitas dan motivasinya.
3. Pengertian persepsi
Persepsi merupakan salah satu aspek psikologis yang penting bagi
manusia dalam merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di sekitarnya.
Persepsi mengandung pengertian yang sangat luas, menyangkut intern dan
ekstern. Berbagai ahli telah memberikan definisi yang beragam tentang
persepsi, walaupun pada prinsipnya mengandung makna yang sama. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi adalah tanggapan (penerimaan)
langsung dari sesuatu. Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui
panca inderanya.
Sugihartono (2007) mengemukakan bahwa persepsi adalah kemampuan
otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan
stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Persepsi manusia terdapat
perbedaan sudut pandang dalam penginderaan. Ada yang mempersepsikan
sesuatu itu baik atau persepsi yang positif maupun persepsi negatif yang akan
mempengaruhi tindakan manusia yang tampak atau nyata.
Rakhmat (2011) menyatakan persepsi adalah pengamatan tentang
objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Suharman (2005)
menyatakan: “persepsi merupakan suatu proses menginterpretasikan atau
59
menafsir informasi yang diperoleh melalui sistem alat indera manusia”.
Menurutnya ada tiga aspek di dalam persepsi yang dianggap relevan dengan
kognisi manusia, yaitu pencatatan indera, pengenalan pola, dan perhatian.
Persepsi bawahan terhadap kepemimpinan transformasional menurut
Rakhmat (2011) merupakan pengamatan bawahan tentang kepemimpinan
transformasional yang telah dilakukan oleh atasannya serta kesimpulan atau
penafsiran dari bawahan terhadap kepemimpinan tersebut. Rakhmat (2011)
selanjutnya mengemukakan bahwa saat pemimpin menerapkan kepemimpinan
transformasional, bawahan pasti memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap
penerapan yang telah dilakukan pimpnan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesamaan pendapat
bahwa persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga
terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar
akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang
dimilikinya. Persepsi bawahan terhadap kepemimpinan transformasional
merupakan pengamatan bawahan tentang kepemimpinan transformasional yang
telah dilakukan oleh atasannya serta kesimpulan atau penafsiran dari bawahan
terhadap kepemimpinan tersebut.
D. Pengaruh Komunikasi Interpersonal dan Kepemimpinan
Transformasional terhadap Kepuasan Kerja
Terciptanya kepuasan kerja petugas merupakan hal yang dibutuhkan oleh
organisasi karena apabila petugas puas maka akan melakukan upaya atau
60
performa yang terbaik bagi organisasi. Petugas yang memiliki kepuasan kerja
tinggi juga akan menguntungkan organisasi karena dapat memberi pengaruh
positif pada situasi kerja.
Penelitian Khameneh (2014) yang berjudul “Relationship between Effective
Communication Skills on the Job Satisfaction of Employees in a Factory Manager
Government” menjelaskan terdapat korelasi antara efektifitas keterampilan
komunikasi dengan kepuasan kerja. Penelitian tersebut mengambil 60 orang
subjek yaitu para petugas yang terdiri dari 29 orang perempuan dan 31 orang laki-
laki. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan antara keterampilan
komunikasi yang dilakukan oleh manager dengan kepuasan kerja petugas baik
laki-laki maupun perempuan.
Aspek kepuasan kerja menurut Robbins (2011) ada lima yaitu kerja yang
secara mental menantang, ganjaran yang pantas, kondisi kerja yang mendukung,
rekan kerja yang mendukung, dan kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan.
Aspek komunikasi interpersonal menurut DeVito (2011) ada lima yaitu
keterbukaan (openness), empati (emphaty), sikap mendukung (supportiveness),
sikap positif (positiveness), dan kesetaraan (equality). Antar aspek kedua variabel
tersebut saling berkaitan.
Seorang petugas yang memiliki sikap positif akan menanggapi tugas-tugas
yang diberikan kepadanya dengan baik. Kerja yang secara mental menantang
dapat tercapai dan petugas tersebut mampu menyesuaikan dirinya dengan
pekerjaan. Adanya sikap mendukung yang ditunjukkan oleh petugas, umumnya
akan mendapatkan feedback positif juga dari rekannya. Artinya adanya sikap
61
mendukung dapat menstimulus kondisi kerja yang mendukung maupun rekan
kerja yang mendukung pula (Rakhmat, 2011). Lebih lanjut De Vito (2011)
mengemukakan bahwa sikap mendukung akan memberikan kenyamanan pada
individu lain dan pada akhirnya membuat komunikasi berjalan dengan baik.
Penelitian lainnya yang berkaitan dengan kepuasan kerja adalah penelitian
yang dilakukan oleh Hukpati et all (2009) berjudul “Transformational Leadership
and Teacher Job Satisfaction: A Comparative Study of Private and Public
Tertiary Institutions in Ghana.” Penelitian tersebut mengambil sampel 2
universitas swasta dan 1 universitas negeri di Ghana. Jumlah total dosen dari
universitas swasta 239 orang sedangkan dari universitas negeri sebanyak 264
orang. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
kepemimpinan transformasional dengan kepuasan kerja.
Terdapat empat aspek kepemimpinan transformasional sebagaimana yang
dikemukakan oleh Bass dan Avolio (1994)) yakni idealized influence, inspiration
motivation, intellectual stimulation.dan individuallized consideration Aspek-
aspek kepemimpinan transformasional ini memiliki keterkaitan dengan aspek
kepuasan kerja. Adanya pemimpin yang memiliki karisma dengan menunjukkan
pendirian, menekankan kepercayaan, menempatkan diri pada isu-isu yang sulit,
mampu mewujudkan kondisi kerja yang mendukung, rekan kerja yang
mendukung, serta memudahkan bawahannya untuk menyesuaikan diri dengan
pekerjaan.
Keberadaan pemimpin mempunyai ide yang menarik untuk masa depan,
menetapkan standar yang tinggi bagi para bawahan serta optimis akan
62
menstimulus petugas untuk menyukai pekerjaan yang secara mental menantang
serta memperhatikan ganjaran yang pantas bagi para petugasnya. Pemimpin yang
mampu mendorong bawahan untuk lebih kreatif, menghilangkan keengganan
bawahan untuk mengeluarkan ide-denya dan dalam menyelesaikan permasalahan
menggunakan pendekatan-pendekatan baru dengan menggunakan intelengensi
dan alasan-alasan rasional juga akan mewujudkan kondisi kerja yang mendukung.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
antara komunikasi interpersonal dan kepemimpinan transformasional dengan
kepuasan kerja. Kemampuan komunikasi interpersonal yang baik akan membuat
petugas menjadi puas. Adanya kepemimpinan transformasional yang ditunjukkan
oleh atasan juga akan membentuk kepuasan kerja pada petugas.
E. Landasan Teori
Kepuasan kerja adalah sebagai suatu sikap umum terhadap pekerjaan
seseorang yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang
diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima.
Robbins (2011). Aspek aspek kepuasan kerja menurut Robbins (2011)
mengemukakan lima aspek kepuasan kerja, yaitu kerja yang secara mental
menantang, ganjaran yang pantas, kondisi kerja yang mendukung, rekan kerja
yang mendukung, dan kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan.
Berdasarkan kajian teori menurut Greenberg dan Baron (As’ad, 2000)
dikemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah berupa
faktor dari dalam yaitu kepribadian, nilai-nilai yang dimiliki individu, pengaruh
63
sosial budaya, minat dan penggunaan keterampilan, loyalitas, work engagement,
usia dan pengalaman kerja serta kemampuan komunikasi interpersonal, sedangkan
faktor yang berhubungan dengan organisasi adalah situasi dan kondisi pekerjaan,
pimpinan, serta keamanan.
Komunikasi interpersonal, adalah merupakan proses penyampaian
informasi dari individu kepada individu lainnya dengan tujuan tertentu.
Komunikasi interpersonal dapat membuat individu berinteraksi dengan individu
lain, mengenal orang lain dan dirinya sendiri, dan menjadi sarana untuk
mengungkapkan ide atau pendapat. Tanpa adanya komunikasi interpersonal akan
sulit bagi individu untuk dapat memahami individu lain (DeVito, 2011). Aspek-
aspek komunikasi interpersonal yaitu: keterbukaan (Openneses),empati
(Emphaty), sikap mendukung (Supportiveness), sikap positiv (Positiveness) dan
kesetaraan (equality).
Salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah komunikasi
interpersonal dimana kemampuan komunikasi interpersonal membuat individu
mampu mempengaruhi rekan kerja maupaun atasan, dengan semkin baiknya
komunikasi yang terjalin dan dibina akan menyebabakan situasi kerja semakin
menyenangkan sehingga pada akhirnya kepuasan kerja akan terwujud.
Kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan yang
dipersepsikan bawahan dalam kemampuan pemimpin dalam mempengaruhi para
bawahannya agar saling bekerjasama dalam mencapai tujuan organisasi. Upaya
yang dilakukan pemimpin transformasional secara persuasif. Bass dan Avolio
(1994) . Aspek-aspek kepemimpinan transformasional yaitu: Idealized influence
64
(pengaruh ideal), Inspirational motivation (motivasi yang menginspirasi),
Intellectual stimulation (stimulasi intelektual) dan individualized consideration
(Bass & Avolio, 1994).
Terwujudnya kepuasan kerja dalam organisasi merupakan suatau hal yang
diharapakan oleh setiap karyawan, sehingga peran dan model kepemimpinan yang
efektif sangat dibutuhkan, model kepemimpian transformasional yang mempunyai
pengaruh ideal untuk menekankan kepercayaam, menekankan pentingnya tujuan
serta memiliki visi dan misi, dapat memberikan motivasi untuk tetap optimis dan
antusias terhadap apa yang perlu dilakukan untuk organisasi. dan menginspirasi
bawahan serta pemimpin yang mampu mendorong bawahannya untuk lebih
kreatif dalam organisasi. Kepuasan kerja dapat dipengaruhi oleh faktor internal
diantaranya kemampuan berkomunikasi dan faktor eksternal yaitu
kepemimpinaan transformasional yang dikenakan pimpinan terhadap petugas.
Artinya permasalahan kepuasan kerja dapat ditingkatkan melalui kemampuan
komunikasi interpersonal dan juga gaya kepemimpinan transformasional.
Dengan demikian pola pikir yang diambil dalam penelitian ini yaitu
tingkat kepuasan kerja petugas lapas cenderung bisa dipengaruhi oleh
kemampuan komunikasi interpesonal pimpinan dengan bawahan dan persepsi
efektifitas kepemimpinan transformasional yang dialami oleh petugas Lapas.
Dengan demikian pola pikir penelitian dapat digambarkan termaktub sesuai
dengan bagan berikut ini :
65
Prediktor
a Kriterium
c b
b
Gambar 2.2. Kerangka Teori
Keterangan gambar:
Prediktor : Komunikasi interpersonal dan Kepemimpinan transformasioanal
Kriterium : Kepuasan kerja
a. : komunikasi interpersonal berpengaruh terhadap kepuasan kerja
b. : kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap kepuasan kerja
c. :komunikasi interpersonal dan kepemimpinan transformasional bersama
berpengaruh terhadap kepuasan kerja
Berdasar uraian di atas nampak bahwa komunikasi interpersonal memiliki
lima aspek yaitu openness, emphaty, supportiveness, positiveness, dan equality.
Komunikasi Interpersonal
Openness Emphaty Supportiviness Positiveness Equality
Kepuasan Kerja
Kerja menantang Ganjaran yang pantas Kondisi kerja Rekan kerja Kesesuaian kepribadian
Kepemimpinan Transformasional
Idealized influence Inspiration motivation Intelectuall simulation Individualized consideration
66
Kepemimpinan transformasional terdiri dari tiga aspek idealized inflyence,
inspirational motivation, intellectual simulation dan individual conzideration.
Kepuasan kerja terdiri dari lima aspek kerja menantang, ganjaran yang
menantang, kondisi kerja, rekan kerja dan kesesuaian kepribadian.
F. Hipotesis
Terdapat hipotesis dari penelitian ini. Hipotesis-hipotesis yang ada
sebagai berikut:
1. Hipotesis mayor:
Terdapat pengaruh yang signifikan komunikasi interpersonal dan
kepemimpinan transformasional secara simultan terhadap kepuasan kerja.
2. Hipotesis minor:
a. Terdapat pengaruh yang signifikan komunikasi interpersonal terhadap
tingkat kepuasan kerja.
b. Terdapat pengaruh yang signifikan kepemimpinan transformasional
terhadap kepuasan kerja.