bab ii tinjauan pustaka a. landasan teori 1. · pdf filemenurut data laporan rutin yang...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Puskesmas
Pengertian Puskesmas yang akan diketengahkan di sini
menunjukan adanya perubahan yang disesuaikan dengan
perkembangan dan tuntutan pelayanan kesehatan dari tahun ke
tahun, Puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) adalah suatu
kesatuan organisasi fungsional yang langsung memberikan
pelayanan secara menyeluruh kepada masyarakat dalam suatu
wilayah kerja tertentu dalam bentuk usaha kesehatan pokok
(Azwar, 1980; Effendy, 1998).
Puskesmas adalah satu kesatuan organisasi fungsional yang
merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga
membina peran serta masyarakat disamping memberikan peranan
secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah
kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok (DepKes RI, 1991;
Effendy, 1998).
Definisidiatas dapat digali makna yang lebih mendalam, yang
menunjukan bahwa puskesmas mempunyai wewenang dan
tanggung jawab yang sangat besar dalam memelihara kesehatan
masyarakat di wilayah kerjanya untuk meningkatkan status
kesehatan masyarakat seoptimal mungkin (Effendy, 1998).
12
Pengertian Puskesmas secara umum disini adalah unit pelaksana
teknis dinas kesehatan kabupaten yang bertanggung jawab
terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. Puskesmas
berperan menyelenggarakan upaya kesehatan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
masyarakat agar memperoleh derajat kesehatan yang optimal
(Dirjen kesmas, 2006).
Puskesmas dapat dibangun dari peningkatan Puskesmas pembantu
atau benar-benar membentuk Puskesmas baru. Pembangunan
Puskesmas ditujukan untuk peningkatan jangkauan pelayanan
kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat. Pembangunan
baru Puskesmas tersebut satu paket termasuk penyediaan alat
kesehatan dan non kesehatan serta rumah dinas petugas
Puskesmas (bila belum ada) (Depkes, 2009).
Berdirinya Puskesmas terdapat dua upaya yang harus dilakukan
Puskesmas yaitu upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan
pengembangan.Upaya kesehatan wajib disini adalah upaya yang
dilakukan oleh seluruh puskesmas di Indonesia. Yang termasuk
usaha kesehatan wajib diantaranya adalah promosi kesehatan,
kesehatan lingkungan, kesehatan ibu dan anak serta keluarga
berencana, perbaikan gizi masyarakat, pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular serta pengobatannya. Sedangkan
upaya kesehatan pengembangan adalah upaya kesehatan yang
13
ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan
di masyarakat setempat serta disesuaikan dengan kemampuan
Puskesmas.Upaya pengembangan kesehatan antara lain: upaya
kesehatan sekolah, upaya kesehatan olahraga, upaya kesehatan
kerja, upaya kesehatan gigi dan mulut,upaya kesehatan jiwa,
upaya kesehatan mata, kesehatan usia lanjut, perawatan kesehatan
masyarakat, pembinaan pengobatan, dan sebagainya (Dirjen
Kesmas, 2006).
Upaya kesehatan agar bisaterselenggara secara optimal, maka
Puskesmas harus melaksanakan manajemen dengan baik,
manajemen puskesmas tersebut terdiri dari perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian serta pengawasan dan tanggung
jawab (Dirjen Kesmas, 2006).
Effendy, 1998 juga mengatakan dalam bukunya bahwa ada 3
pokok fungsi puskesmas, yaitu:
a. Sebagai pusat pembangunan kesehatan di wilayahnya
b. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam
rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat
c. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan
terpadu kepada masyarakt di wilayah kerjanya.
14
Proses didalam melaksanakan fungsi puskesmas, dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a. Merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan
kegiatan dalam rangka menolong dirinya sendiri
b. Memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang bagaimana
menggali dan menggunakan sumber daya yang ada secara efektif
dan efisien
c. Memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi dan
rujukan medis maupun rujukan kesehatan kepada masyarakat
dengan ketentuan bantuan tersebut tidak menimbulkan
ketergantungan.
d. Memberi pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat
e. Bekerja sama dengan sektor-sektor yang bersangkutan dalam
melaksanakan program puskesmas.
2. MTBS
Manajemen terpadu balita sakit merupakan bentuk pengelolaan
balita yang mengalami sakit dengan tujuan meningkatkan derajat
kesehatan serta kualitas pelayanan kesehatan anak. Upaya ini
merupakan salah satu cara yang efektif untuk menurunkan angka
kematian dan angka kesakitan bayi dan anak. Bentuk pengelolaan
ini dapat dilakukan pada pelayanan tingkat pertama seperti di unit
rawat jalan, Puskesmas, polindes dll. Manajemen ini dilaksanakan
secara terpadu tidak terpisah dari salah satu bentuk kegiatan
15
kesehatan. Dikatakan terpadu karena bentuk pengelolaannya
dilakukan secara bersama dan penanganan kasusnya tidak
terpisah-pisah yang meliputi manajemen anak sakit,pemberian
nutrisi, pemberian imunisasi, pencegahan penyakit, serta promosi
untuk tumbuh kembang (Hidayat, 2005).
Pelaksanaan dalamMTBS, strategi yang digunakan adalah upaya
kuratif (pengobatan), preventif (pencegahan). Upaya kuratif
dilakukan dengan penanganan secara langsung pada balita yang
sakit seperti adanya pnemonia, diare, malaria, campak, demam
berdarah, masalah telinga, dan masalah gizi. Sedangkan promotif
dan preventif dilakukan dengan cara konseling gizi dll (Hidayat,
2005).
Langkah-langkah pelaksananaan MTBS ini meliputi:
(1) Penilaian adanya tanda dan gejala dari suatu penyakit dengan
cara bertanya, melihat, mendengar, dan meraba dengan kata lain
dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik dasar dan
amnamnesis
(2) Membuat klasifikasi dengan menentukan tingkat kegawatan dari
suatu penyakit, hal ini digunakan untuk menentukan tindakan,
bukan diagnosis kusus penyakit
(3) Menentukan tindakan dan mengobati, yaitu memberikan
tindakan pengobatan di fasilitas kesehatan, membuat resep, dan
mengajari ibu tentang obat serta tindakan yang harus dilakukan
di dalam rumah
(4) Memberikan konseling dengan menilai cara pemberian makan
dan kapan anak harus kembali ke fasilitas pelayanan kesehatan
16
(5) Memberikan pelayanan tindak lanjut pada kunjungan ulang
(Alamsyah, 2004): hlm 142 dalam Hidayat, (2009).
3. Sejarah MTBS
Strategi MTBS mulai diperkenalkan di Indonesia oleh WHO pada
tahun 1996. Pada tahun 1997 Depkes RI bekerjasama dengan
WHO dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melakukan
adaptasi modul MTBS WHO. Modul tersebut digunakan dalam
pelatihan pada bulan November 1997 dengan pelatih dari SEARO.
Sejak itu penerapan MTBS di Indonesia berkembang secara
bertahap dan up-date modul MTBS dilakukan secara berkala
sesuai perkembangan program kesehatan di Depkes dan ilmu
kesehatan anak melalui IDAI. Akhir tahun 2009, penerapan
MTBS telah mencakup 33 provinsi, namun belum seluruh
Puskesmas mampu menerapkan karena berbagai sebab: belum
adanya tenaga kesehatan di Puskesmasnya yang sudah terlatih
MTBS, sudah ada tenaga kesehatan terlatih tetapi sarana dan
prasarana belum siap, belum adanya komitmen dari Pimpinan
Puskesmas, dll. Menurut data laporan rutin yang dihimpun dari
Dinas Kesehatan provinsi seluruh Indonesia melalui Pertemuan
Nasional Program Kesehatan Anak tahun 2010, jumlah Puskesmas
yang melaksanakan MTBS hingga akhir tahun 2009 sebesar
51,55% (Wijaya, 2009).
17
4. Persiapan Pelaksanaan MTBS
Persiapan yang perlu dilakukan oleh setiap puskesmas yang akan
mulai menerapkan MTBS dalam pelayanan kepada balita sakit
meliputi diseminasi informasi MTBS kepada seluruh petugas
puskesmas, rencana penerapan MTBS, rencana penyiapan obat, alat,
pencatatan dan pelaporan hasil pelayanan MTBS di
puskesmas,puskesmas pembantu dan polindes (MTBS modul 7,
2006).
Persiapan yang perlu dilakukan oleh setiap puskesmas yang akan
mulai menerapkan MTBS dalam pelayanan kepada balita sakit,
meliputi:
(1) Diseminasi Informasi MTBS Kepada Petugas Puskesmas
Langkah-langkah yang diterapkan dalam MTBS jelas bahwa
keterkaitan peran dan tanggung jawab antar petugas di puskesmas
sangat erat. Oleh karena itu seluruh petugas kesehatan di
puskesmas perlu memahami MTBS dan perannya untuk
memperlancar penerapan MTBS. Kegiatan diseminasi informasi
MTBS kepada seluruh petugas puskesmas dilaksanakan dalam
suatu pertemuan yang dihadiri oleh seluruh petugas yang meliputi
perawat, bidan, petugas gizi, petugas imunisasi, petugas obat,
pengelola SP2TP, pengelola program P2M, petugas loket dan
lain-lain. Diseminasi informasi dilaksanakan oleh petugas yang
dilatih MTBS,bila perlu dihadiri oleh supervisor dan dinas
18
kesehatan kabupaten. Informasi yang harus disampaikan dalam
diseminasi yaitu konsep umum MTBS dan peran serta tanggung
jawab petugas puskesmas dalam penerapan MTBS (MTBS modul
7, 2006).
(2) Penyiapan logistik
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum menerapkan
MTBS adalah penyiapan obat dan alat. Sebelum mulai
menerapkan MTBS, harus dilakukan penilaian dan pengamatan
terhadap ketersediaan obat di puskesmas. Secara umum, obat-
obatan yang digunakan dalam MTBS telah termasuk dalam daftar
obat esensial nasional yang digunakan di puskesmas. Obat-obat
yang diperlukan antara lain: Kotrimoksazol tablet dewasa, kapsul
tetrasiklin, tablet asam nalidiksat, tablet klorokuin, tablet
primakuin, tablet sulfaduksin pirimetamin (fansidar), tablet kina,
diazepam suppositoria, suntikan kloramfenikol, suntikan
gentamisin, suntikan penisilin prokain, suntikan ampisilin,
suntikan kinin, suntikan fenobarbital diazepam infeksi (5 mg dan
10 mg), tablet nistatin, tablet parasetamol atau sirup, tetrasiklin
atau kloramfenikol salep mata, gentian violet 1% (sebelum
digunakan, harus diencerkn menjadi 0,25% atau 0,5% sesuai
kebutuhan), sirup besi (Sulfat ferosus) atau tablet besi, vitamin A
200.000 IU dan 100.000 IU, tablet pirantel pamoat, aqua bides
untuk pelarut, oralit 200cc, cairan infuse : Ringer laktat, Dextrose
19
5% NaCl, alkohol 70%, glycerin, povidone (MTBS Modul 7,
2006).
Peralatan yang dipergunakan dalam penerapan MTBS yaitu
diantaranya: Timer ispa atau arloji dengan jarum detik, tensimeter
dan manset anak (bila ada), gelas, sendok dan teko tempat air
matang dan bersih (digunakan dipojok oralit), infuse set dengan
wing needles no 23 dan no 25, semprit dan jarum suntik: 1ml ; 2,5
ml ; 10 ml, timbangan bayi, thermometer, kasa/kapas, pipa
lambung, alat penumbuk obat, alat penghisap lendir, rapid
diagnostic test untuk malaria (MTBS Modul 7, 2006).
(3) Penyiapan Formulir MTBS dan Kartu Nasihat Ibu
Penyiapan formulir manajemen terpadu balita sakit dan kartu
nasihat ibu (KNI) perlu dilakukan untuk memperlancar
pelayanan. Langkah-langkah dalam penyiapan formulir MTBS
dan KNI: Pertama-pertama hitung jumlah kunjungan balita sakit
perhari dan hitunglah kunjungan perbulan. Jumlah keseluruhan
kunjungan balita sakit merupakan perkiraan kebutuhan formulir
MTBS selama satu bulan. Formulir adalah untuk anak umur 2
bulan sampai 5 tahun, sedangkan kebutuhan formulir pencatatan
untuk bayi muda, didasarkan pada perkiraan jumlah bayi baru
lahir di wilayah kerja puskesmas, karena sasaran ini akan
dikunjungi oleh bidan desa melalui kunjungan neonatal. Untuk
percetakan KNI hitunglah sebanyak jumlah kunjungan baru balita
20
sakit dalam sebulan ditambah perkiraan jumlah bayi baru lahir
dalam sebulan. Selama tahap awal penerapan MTBS, cetaklah
formulir MTBS dan KNI untuk memenuhi kebutuhan 3 bulan
pertama (MTBS, Modul 7, 2006).
(4) PenyesuaianAlurPelayanan
Salah satukonsekuensipenerapan MTBS di
puskesmasadalahwaktupelayananmenjadilebih
lama.Untukmengurangiwaktutunggubagibalitasakit.Langkah-
langkahtersebutadalahsejakpenderitadatanghinggamendapatkanpe
layanan yang lengkap, meliputi:Pendaftaran,
pemeriksaandankonseling, tindakan yang diperlukan di klinik,
pemberianobat, dan rujukanbiladiperlukan(MTBS modul 7,
2006).
5. Pelayanan MTBS di Puskesmas
Penerapan MTBS di Puskesmas, pertama kali harus dilakukan
penilaian terhadap jumlah kunjungan balita sakit perhari. Seluruh
balita sakit yang datang ke puskesmas diharapkan ditangani dengan
pendekatan MTBS, bila jumlah kunjungannya tidak banyak (kurang
dari 10 kasus perhari) akan tetapi bila perbandingan jumlah petugas
kesehatan yang telah dilatih MTBS dan jumlah balita sakit perhari
cukup besar maka penerapan MTBS di Puskesmas di lakukan secara
bertahap. Penerapan tidak ada patokan khusus besarnya presentase
kunjungan balita sakit yang ditangani dengan pendekatan MTBS. Tiap
21
Puskesmas perlu memperkirakan kemamupanya mengenai seberapa
besar balita sakit yang akan ditangani pada sat awal penerapan dan
kapan dicapai cakupan 100%. Penerapan MTBS di Puskesmas secara
bertahap dilaksanakan sesuai dengan keadaan pelayanan rawat jalan
ditiap Puskesmas (MTBS Modul 7, 2006).
Sebagai acuan dalam pentahapan penerapan adalah sebagai berikut:
a. Puskesmas yang memiliki kunjungan balita sakit 10 orang
perhari pelayanan MTBS dapat diberikan langsung kepada
seluruh balita sakit.
b. Puskesmas yang memiliki kunjungan balita sakit 11-20 orang
perhari, berikanlah pelayanan MTBS kepada 50% kunjungan
balita sakit pada tahap awal dan setelah 6 bulan pertama
diharapkan seluruh balita sakit mendapat pelayanan MTBS.
c. Puskesmas yang memiliki kunjungan balita sakit 21-50 orang
perhari, berikanlah pelayanan MTBS kepada 25% kunjungan
balita sakit pada tahap awal dan setelah 6 bulan pertama
diharapkan seluruh balita sakit mendapat pelayanan MTBS
(MTBS, Modul, 2006)
6. Pencatatan dan Pelaporan Hasil Pelayanan
Pencatatan dan pelaporan di puskesmas yang menerapkan MTBS
sama dengan puskesmas yang lain yaitu menggunakan sistem
pencatatan untuk pelaporan terpadu puskesmas (SP2TP). Dengan
demikian semua pencatatan dan pelaporan yang digunakan tidak perlu
22
mengalami perubahan . Perubahan yang perlu dilakukan adalah
konversi klasifikasi MTBS kedalam kode diagnosis dalam SP2TP
sebelum masuk kedalam sistem pelaporan (MTBS Modul 7, 2006).
7. Tata Laksana Balita Sakit Dengan Pendekatan MTBS
Seorang balita sakit dapat ditangani dengan pendekatan MTBS oleh
petugas kesehatan yangtelah dilatih. Petugas memakai tool yang
disebut Algoritma MTBS yang dapat dilihat pada bagan MTBS untuk
melakukan penilaian/pemeriksaan dengan cara menanyakan kepada
orang tua/wali,apa saja keluhan-keluhan/masalah anak kemudian
memeriksa dengan cara lihat dan dengar atau lihat dan raba. Setelah
itu petugas akan mengklasifikasikan semua gejala berdasarkanhasil
tanya-jawab dan pemeriksaan. Berdasarkan hasil klasifikasi penyakit,
petugas akanmenentukan tindakan/pengobatan, misalnya anak dengan
klasifikasi pneumonia berat ataupenyakit sangat berat akan dirujuk ke
dokter Puskesmas.
Contoh begitu sistematis dan terintegrasinya pendekatan MTBS,
ketika anak sakit datang berobat, petugas kesehatan akan menanyakan
kepada orang tua/wali secara berurutan, dimulai dengan memeriksa
tanda-tanda bahaya umum seperti:
a. Apakah anak bisa minum/menyusu?
b. Apakah anak selalu memuntahkan semuanya?
c. Apakah anak menderita kejang?
23
Kemudian petugas akan melihat/memeriksa apakah anak tampak
letargis/tidak sadar?Setelah itu petugas kesehatan akan menanyakan
keluhan utama lain:
(1) Apakah anak menderita batuk atau sukar bernafas?
(2) Apakah anak menderita diare?
(3) Apakah anak demam?
(4) Apakah anak mempunyai masalah telinga?
(5) Memeriksa status gizi
(6) Memeriksa anemia
(7) Memeriksa status imunisasi
(8) Memeriksa status pemberian vitamin A
(9) Menilai masalah/keluhan-keluhan lain
Berdasarkan hasil penilaian hal-hal tersebut di atas, petugas akan
mengklasifikasi keluhan/penyakit anak, setelah itu petugas melakukan
langkah-langkah tindakan/pengobatan yang telah ditetapkan dalam
penilaian/klasifikasi. Tindakan yang dilakukan dapat berupa:
(1) Mengajari ibu cara pemberian obat oral di rumah
(2) Mengajari ibu cara mengobati infeksi lokal di rumah
(3) Menjelaskan kepada ibu tentang aturan-aturan perawatan anak
sakit di rumah, misalaturan penanganan diare di rumah
(4) Memberikan konseling bagi ibu, misal: anjuran pemberian
makanan selama anak sakitmaupun dalam keadaan sehat
24
(5) Menasihati ibu kapan harus kembali kepada petugas
kesehatandan lain-lain (Wijaya, 2009).
Perlu diketahui, untuk bayi yang berusia s/d 2 bulan, dipakai penilaian
dan klasifikasi bagi BayiMuda (0-2 bulan) memakai Bagan
Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) yang terintegrasidi dalam
bagan MTBS. Penilaian dan klasifikasi bayi muda di dalam MTBM
terdiri dari:
(1) Menilai dan mengklasifikasikan untuk kemungkinan penyakit
sangat berat atau infeksi bakteri
(2) Menilai dan mengklasifikasikan diare
(3) Memeriksa dan mengklasifikasikan ikterus
(4) Memeriksa dan mengklasifikasikan kemungkinan berat badan
rendah dan atau masalahpemberian Air Susu Ibu (ASI).
Petugas kesehatan akan mengajari ibu yang memiliki bayi muda
tentang cara meningkatkan produksi ASI, cara menyusui yang baik,
mengatasi masalahpemberian ASI secara sistematis dan terperinci,
cara merawat tali pusat, menjelaskan kepadaibu tentang jadwal
imunisasi pada bayi kurang dari 2 bulan, menasihati ibu cara
memberikancairan tambahan pada waktu bayinya sakit, kapan harus
kunjungna ulang, dll.
(1) Memeriksa status penyuntikan vitamin K1 dan imunisasi.
(2) Memeriksa masalah dan keluhan lain.
25
Pemeriksaan dan tindakan secara lengkap tentunya tidak akan
diuraikan disini karena terlalupanjang dan akan dilampirkan. Sebagai
gambaran, untuk penilaian dan tindakan/pengobatan bagi setiap balita
sakit,pemeriksaan dan dapat memenuhi hampir semua sisi tembok
ruang pemeriksaan MTBS di Puskesmas dan formulir pencatatan baik
bagi bayi muda (0-2 bulan) maupun balita umur 2 bulan - 5 tahun
(Wijaya, 2009).
8. Kepatuhan Pelayanan MTBS
a. Pengertian
Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh yang berarti taat, suka
menurut perintah. Kepatuhan adalah tingkat pasien melaksanakan
cara pengobatan dan perilaku yang disarankan dokter atau oleh
orang lain (Santoso, 2005). Menurut Anonim (2011) tingkat
kepatuhan adalah pengukuran pelaksanaan kegiatan, yang sesuai
dengan langkah-langkah yang telah ditetapkan, perhitungan tingkat
kepatuhan dapat dikontrol bahwa pelaksanaan program telah
melaksanakan kegiatan sesuai standar.
b. Kepatuhan pelayanan
Kepatuhan pada program kesehatan merupakan perilaju yang dapat
di obervasi dan dengan begitu dapat langsung diukur. Literatur
perawatan kesehatan mengemukakan bahwa kepatuhan berbanding
lurus dengan tujuan yang ingin di capai pada program pengobatan
yang telah ditentukan (Bastable, 2002).
26
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan yaitu faktor
intrinsik dan ekstrinsik (Notoatmodjo, 2003).
Berikut ini yang termasuk faktor intrinsik yaitu:
(1) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar
pengetahuan mahasiwa diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui
berkaitan dengan proses pembelajaran (Poerwadarminta, 2002).
Sedangkan menurut Soekamto (1990), yang dimaksud
pengetahuan adalah kesan didalam fikiran manusia sebagai hasil
penggunaan panca inderanya, yang berbeda sekali dengan
kepercayaan, takhayul dan penerangan-penerangan yang keliru
yang bertujuan untuk mendapatkan kepastian serta
menghilangkan prasangka sebagai sebab ketidak pastian.
Adapun tingkat pengetahuan didalam domain kognitif menurut
Notoatmodjo (2003) meliputi:
27
(a) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat selalu materi yang
dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan
tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap
sesuatu yang spesifik. Tahu merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu yang dipelajari antara lain ;
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan
sebagainya.
(b) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui
dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara
benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap
obyek yang dipelajari.
(c) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi
atau kondisi sebenarnya. Aplikasi dapat juga diartikan
sebagai penggunaan hukum-hukum, metode-metode,
28
prinsip-prinsip dan sebagainya dalam konteks situasi yang
lain.
(d) Analisis (analysis)
Kemampuan menjabarkan materi didalam komponen-
komponen tetapi masih di dalam struktur organisasi
tersebut dan ada kaitannya satu sama lain. Seseorang
mampu menganalisis dengan menggunakan kerangka
kerja seperti; dapat menggambarkan (membuat bagan),
membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan
sebagainya.
(e) Sintesa (synthesis)
Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi yang ada.
(f) Evaluasi (evaluation)
Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi/objek. Justifikasi atau penelitian
tersebut berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri
maupun menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
29
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara
atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin
diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo,
2003).
Menurutpenelitian yang dilakukanHanafiah (2008) di
dapatkanhasilbahwasemakintinggipengetahuan supervisor
makaaktivitassupervisijugaseringdilakukan.Hal
inimenunjukanbahwapengetahuanmerupakanvariabel yang
mempengaruhiaktivitassupervisi
MTBS.Secaraujistatistikmenunjukanbahwapengetahuanadapeng
aruhyang bermaknaterhadapaktivitassupervisi
(2) Pendidikan
Pendidikan secara umum ialah setiap sesuatu yang mempunyai
pengaruh dalam pembentukan jasmani seseorang, akalnya dan
akhlaknya sejak dilahirkan hingga dia mati. Pendidikan dengan
pengertian ini meliputi semua sarana, baik disengaja seperti
pendidikan dilingkungan keluarga (rumah), dan pendidikan
sekolah, atau yang tidak disengaja seperti pendidikan yang
datang kebetulan dari pengaruh lingkungan sosial
kemasyarakatan dalam pergaulan kesehatan atau yang bersifat
alamiah dan lain-lain. Pendidikan dalam pengertian ini, sama
dengan pengertian bahwa kehidupan itu sendiri atau dalam
artian sesungguhnya bahwa segala bentuk hubungan manusia
30
baik di lingkungan keluarga, lingkungan alam dalam kehidupan
ini dianggap sebagai sebuah proses pembelajaran dengan
anggapan bahwa dimulai dari buaian atau sejak terlahir sampai
keliang lahat.
Pengertian pendidikan secara khusus ialah semua media
yang dijadikan dan dipergunakan untuk mengembangkan
jasmani anak, akalnya dan untuk pembinaan akhlaknya
(akhlakul kharimah), dan hanya meliputi sarana khusus yang
mungkin disusun suatu sistem bagiannya; ini terbatas pada
pendidikan rumah tangga dan sekolah.
Notoatmodjo (2003), menjelaskan bahwa pendidikan
secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau
masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan
pelaku pendidikan.
Termasuk faktor ekstrinsik yaitu:
(1) Beban kerja
Definisi beban kerja secara tata bahasa mempunyai arti sebagai
tanggungan kewajiban yang harus dilaksanakan karena
pekerjaan tertentu dan juga sebagai tanggung jawab. Beban
kerja berpengaruh terhadap kinerja seseorang dalam
melakukan pekerjaaannya. Pekerja yang mempunyai beban
31
kerja berlebih akan menurunkan kualitas hasil kerja dan
memungkinkan adanya inefisiensi waktu. Para manajer harus
memperhatikan tingkat optimal beban kerja karyawan. Beban
kerja tidak hanya dipandang sebagai beban kerja fisik akan
tetapi sebagai beban kerja mental. Beban kerja dipandang
sebagai konsekuensi dari keterbatasan yang dimiliki individu
secara fisik dalammelaksanakan tugas yang harus dilakukan
dalam waktutertentu (Surani, 2008).
Reid dan Nygren mendefinisikan beban kerja melalui
tiga faktor yaitu penuhnya waktu, tingginya beban mental yang
dilakukan dan stres psikologi yang menyertai pada saat
individu melakukan pekerjaan (Reid & Nygren, 1992 dalam
Suraini, 2008)
(2) Pelatihan
Pelatihan bagi karyawan merupakan sebuah proses
mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap
agar karyawan semakin terampil dan mampu melaksanakan
tanggung jawabnya dengan semakin baik, sesuai dengan
standar kerja. Biasanya pelatihan merujuk pada pengembangan
ketrampilan bekerja (vocational) yang dapat digunakan dengan
segera.Manfaat finansial bagi perusahaan biasanya terjadi
dengan cepat. Sementara itu, pendidikan memberikan
pengetahuan tentang subyek tertentu, tetapi sifatnya lebih
32
umum dan lebih terstruktur untuk jangka waktu yang jauh
lebih panjang. Di sisi lain, pengembangan sumber daya
manusia memiliki ruang lingkup lebih luas, yaitu berupa upaya
meningkatkan pengetahuan yang mungkin digunakan dengan
segera atau kepentingan di masa depan. Pengembangan sering
dikategorikan secara eksplisit dalam pengembangan
manajemen, organisasi, dan pengembangan individu karyawan.
Penekanan lebih pokok adalah padapengembangan
manajemen,dengan kata lain fokusnya tidak pada pekerjaan
kini dan mendatang, tetapi lebih pada penemuan kebutuhan
jangka panjang perusahaan (Surani, 2008).
Menurutpenelitian yang dilakukanHanafiah (2008) di
dapatkanhasilbahwaVariabelpelatihanmempunyaipengaruh
yang
signifikanterhadapaktivitassupervisipadapelaksanaanmanajeme
nterpadubalitasakit.
33
9. Kerangka teoripenelitian
Kerangkateoridapatdisimpulkanbahwatingkatkepatuhanpetugasdalamp
elayanan MTBS tidakhanyadipengaruhifaktorintrinsikdanekstrinsik,
tetapijugadipengaruhifaktor yang membentukperilaku yang
artinyahubunganantara variable
faktorintrinsikdanekstrinsikdengantingkatkepatuhanpelayanan MTBS
dapatdigangguataudirancuoleh variable yang membentukperilaku.
Bagan 2.1 kerangkateori
FAKTOR INTRINSIK
- Pengetahuan - Masa kerja - Pendidikan - Sikap - Jenis kelamin - Usia
FAKTOR EKSTRINSIK
- Fasilitas - Beban kerja - Pelatihan - Kepemimpinan FAKTOR YANG
MEMBENTUK PERILAKU
- Presdisposing - Enabling - reinforcing
Tingkat kepatuhan petugas dalam
pelayanan MTBS
34
Dimodifikasi dari Notoatmodjo (2003).
10. Kerangka KonsepPenelitian
Bagan 2.2 kerangkakonseppenelitian
11. Hipotesa
Ada hubungan antara pengetahuan petugas, pendidikan petugas,
beban kerja petugas, pelatihan petugas dengan kepatuhan pelayanan
program MTBS.
Pengetahuan
Pendidikan
Beban kerja
Pelatihan
Kepatuhan pelayanan
MTBS