bab ii tinjauan pustaka a. penerimaan diri 1. pengertian ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/685/2/bab...
TRANSCRIPT
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penerimaan Diri
1. Pengertian Penerimaan Diri
Manusia adalah makhluk sosial yang akan selalu berhubungan dengan
orang lain ketika terlibat dalam proses sosialisasi dan interaksi sosial dalam
rangka saling membantu untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing.
Keberhasilan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain dipengaruhi oleh
cara individu tersebut menerima dirinya sendiri.
Menurut Chaplin (2011), penerimaan diri adalah sikap positif termasuk
penghargaan terhdap nilai-nilai individu dan mampu bersikap objektif tanpa
menyertakan pengakuan terhadap tingkah lakunya, tanpa keterikatan emosional
yang terdapat di pihak yang bersangkutan. Sheerer (Paramita & Margaretha,
2013), menyatakan penerimaan diri adalah sikap untuk menilai diri dan
keadaannya secara objektif, menerima segala yang ada pada dirinya termasuk
kelebihan dan kelemahannya.
Snyder & Lopez (2007) menjelaskan bahwa penerimaan diri merupakan
sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri,
dan merasa positif terhadap masa lalunya. Senada juga dengan Johnson (Wrastari,
2003) yang mendefinisikan penerimaan diri sebagai bentuk sikap positif terhadap
diri yang mampu mengarahkan pada kemampuan untuk mencintai dirinya sendiri,
menerima dirinya sendiri sebagai manusia dengan segala kelebihan dan
kekurangannya.
21
Maslow (Sunardi, 2004), menyatakan bahwa penerimaan diri merupakan
suatu tingkat kemampuan individu untuk hidup dengan segala kekhususan diri
yang di dapat melalui pengenalan diri secara utuh. Penerimaan diri didasarkan
pada kepuasan individu mengenai dirinya serta berfikir mengenai kebutuhannya
untuk memiliki mental yang sehat. Setiap orang diharapkan mampu menyadari
dan mampu menerima segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya.
Hurlock (1980), menyebutkan bahwa penerimaan diri adalah suatu tingkat
kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik
dirinya. Penilaian individu pada dirinya merupakan hal yang terpenting dalam
perkembangan karena sebagai dasar pembentukan identitas.
Penerimaan diri berkaitan dengan kondisi sehat secara psikologis, yang
memiliki kesadaran dan penerimaan penuh terhadap siapa dan apa diri mereka.
Individu dengan penerimaan diri memiliki penilaian realistik terhadap sumber
daya yang dimilikinya, yang dikombinasikan dengan apresiasi atas dirinya secara
keseluruhan. Artinya, individu itu memiliki kepastian akan standar dan teguh pada
pendirian, serta mempunyai penilaian realistik terhadap keterbatasan tanpa
mencela diri. Sikap menerima dipengaruhi sikap menerima diri yang timbul dari
penyesuaian pribadi maupun penyesuaian sosial yang baik. Coleridge
(Satyaningtyas & Abdullah, 2010) menyatakan bahwa penerimaan diri bukanlah
sikap pasrah, tetapi menerima identitas diri secara positif, pandangan tentang diri
sendiri dan harga diri tidak menurun sama sekali, bahkan dapat meningkat.
Corsini (2002), mendefinisikan penerimaan diri sebagai pengenalan
terhadap kemampuan diri sendiri dan prestasi serta penerimaan terhadap
22
keterbatasan yang dimiliki. Individu yang memiliki penerimaan diri yang
cenderung rendah akan menimbulkan gangguan secara emosional.
Individu yang memiliki penerimaan diri adalah individu yang mampu
menyesuaikan kondisi emosional dengan realitas yang dihadapi, memiliki
keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki, memandang diri sebagai individu
yang berharga, bertanggung jawab, berpendirian, serta mampu menerima
kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki (Salwa dkk, 2010).
Menurut Helmi (Nurviana dkk, 2006), penerimaan diri adalah sejauhmana
seseorang dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan
menggunakannya dalam menjalani kelangsungan hidupnya. Sikap penerimaan
diri ditunjukkan oleh pengakuan seseorang terhadap kelebihan-kelebihan
sekaligus menerima kelemahan-kelemahannya tanpa menyalahkan orang lain
dan keinginan terus-menerus untuk mengembangkan diri. Penerimaan diri yang
positif banyak dipengaruhi oleh rasa bangga terhadap kelebihan-kelebihan yang
dimiliki, sedangkan penerimaan diri negatif terjadi jika hanya memikirkan
kekurangan atau kelemahan di dalam dirinya tanpa memikirkan kelebihan yang
dimilikinya. Menurut Rakhmat (2001), penerimaan diri memegang peranan
penting dalam menemukan dan mengarahkan seluruh perilaku, maka sedapat
mungkin individu harus mempunyai penerimaan diri positif. Salah satu faktor
keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan ditentukan
oleh kesanggupan individu dalam menerima keadaan dirinya sendiri. Darajat
(2006), menyatakan bahwa penerimaan diri sebagai kesadaran untuk menerima
diri sendiri dengan apa adanya.
23
Hal tersebut didukung oleh pendapat Hjelle & Ziegler (Sari & Nuryoto,
2002) bahwa individu dengan penerimaan diri memiliki toleransi terhadap
kelemahan-kelemahan dirinya tanpa harus menjadi sedih atau marah. Individu ini
dapat menerima dirinya sebagai seorang manusia yang memiliki kelebihan dan
kelemahan. Santrock (Ridha, 2012) menjelaskan, penerimaan diri merupakan
suatu kesadaran untuk menerima diri sendiri apa adanya. Penerimaan diri tidak
berarti menerima begitu saja kondisi dirinya tanpa berusaha mengembangkan diri
lebih lanjut, tetapi proses bagaimana seorang individu mendapat keseimbangan
diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungannya. Penerimaan diri
lebih bersifat suatu proses dalam hidup sepanjang hayat manusia.
Menurut Jersild (Sari & Nuryoto, 2002), individu yang menerima dirinya
sendiri yakin akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku
pada pendapat orang lain, dan memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya,
serta tidak melihat dirinya sendiri secara irasional. Individu dengan penerimaan
diri dapat menikmati segala hal dalam hidupnya. Untuk itu menerima diri sendiri
diperlukan kesadaran dan kemauan melihat fakta yang ada pada diri, baik fisik
maupun psikis, sekaligus kekurangan dan ketidaksempurnaan, tanpa ada
kekecewaan, dengan tujuan mengubah diri lebih baik. Atosokhi (Sari & Reza,
2013) mengemukakan bahwa untuk menerima diri sendiri diperlukan kesadaran
dan kemauan melihat fakta yang ada pada diri, baik fisik maupun psikis, sekaligus
kekurangan dan ketidaksempurnaan, tanpa ada kekecewaan, dengan tujuan
mengubah diri lebih baik.
24
Menurut Supratiknya (Marni &Yuniawati, 2015), penerimaan diri adalah
memiliki penghargaan tinggi terhadap diri sendiri, atau tidak bersikap sinis
terhadap diri sendiri. Penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan membuka diri
atau mengungkapkan pikiran, perasaan, dan reaksi terhadap orang lain. Individu
yang mampu menerima dirinya adalah individu yang dapat menerima kekurangan
dirinya sebagaimana kemampuannya untuk menerima kelebihannya. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Kurniawan (Halida, 2007), dimana kemampuan
penerimaan diri yang dimiliki oleh seseorang berbeda-beda tingkatannya.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa penerimaan diri adalah sikap untuk menilai diri dan keadaannya secara
objektif, individu mampu menerima segala yang ada pada dirinya termasuk
kelebihan dan kelemahannya.
2. Aspek-aspek Penerimaan Diri
Penerimaan diri merupakan sikap untuk menilai diri dan keadaannya
secara objektif, menerima segala yang ada pada dirinya termasuk kelebihan dan
kelemahannya. Hal ini tidak berarti seseorang menerima begitu saja tentang
kondisi diri tanpa berusaha mengembangkan diri lebih lanjut. Orang yang
menerima diri berarti telah mengenali dimana dan bagaimana dirinya saat ini,
serta keinginan untuk mengembangkan diri lebih lanjut. Aspek penerimaan diri
oleh Sheere (Paramita & Margaretha, 2013) dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Aspek percaya kemampuan diri. Individu dengan kemampuan untuk
menghadapi kehidupan. Hal ini tampak dari sikap individu yang percaya
diri, lebih suka mengembangkan sikap baiknya dan mengeliminasi
25
keburukannya dari pada ingin menjadi orang lain. Oleh karena itu, individu
puas menjadi diri sendiri.
b. Aspek perasaan sederajat. Individu merasa dirinya berharga sebagai
manusia yang sederajat dengan orang lain, sehingga individu tidak merasa
sebagai orang istimewa atau menyimpang dari orang lain. Individu merasa
dirinya mempunyai kelemahan dan kelebihan seperti halnya orang lain.
c. Aspek berpendirian. Individu lebih suka mengikuti standarnya sendiri
daripada bersikap conform terhadap tekanan sosial. Individu yang mampu
menerima diri, sikap dan percaya diri menurut pada tindakannya sendiri
daripada mengikuti konvensi dan standar orang lain serta ide aspirasi dan
pengharapan sendiri.
d. Aspek orientasi keluar. Individu mempunyai orientasi diri keluar lebih besar
daripada ke dalam, tidak malu, yang menyebabkan individu lebih suka dan
toleran terhadap orang lain, sehingga akan mendapatkan penerimaan sosial
dari lingkungannya.
e. Aspek bertanggung jawab. Individu berani memikul tanggung jawab atas
perilakunya. Sifat ini tampak dari perilaku individu yang mau menerima
kritik dan menjadikannya sebagai suatu masukan berharga untuk
mengembangkan diri.
f. Aspek menerima sifat kemanusiaan. Individu tidak menyangkal impuls dan
emosinya atau merasa bersalah karenanya. Individu mengenali perasaan
marah, takut dan cemas tanpa menganggapnya sebagai sesuatu yang harus
diingkari atau ditutupi.
26
g. Aspek menyadari keterbatasan. Individu tidak menyalahkan diri akan
keterbatasannya dan mengingkari kelebihannya. Individu cenderung
mempunyai penilaian yang realistik tentang kelebihan dan kekurangannya.
Orang yang sehat secara psikologis dan yang dapat digolongkan sebagai
orang yang menerima diri adalah orang yang selalu terbuka terhadap setiap
pengalaman serta mampu menerima setiap kritikan dan masukan dari orang lain.
Seperti yang dikemukakan Jourand (Hurlock, 1980), ada dua hal penting dalam
penerimaan diri seseorang, yaitu:
a. Individu senang menjalani perannya dengan baik dan mendapatkan
kepuasan dari perannya tersebut Ketidakpuasan individu terhadap dirinya
dan peran yang harus dijalaninya, secara lambat atau cepat akan kesehatan
mentalnya.
b. Individu berperan sesuai dengan tuntutan atau norma-norma yang ada. Agar
kedua hal tersebut dapat dilakukan, individu harus mampu menerima
dirinya. Dengan demikian, untuk mencapai kepribadian yang sehat secara
psikologis harus memiliki penerimaan diri atau self acceptance yang baik.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penerimaan
diri dapat dibentuk melalui beberapa aspek antara lain percaya pada kemampuan
diri, memiliki perasaan sederajat, berpendirian, orientasi keluar, bertanggung
jawab, menerima sifat kemanusiaan, menyadari keterbatasan, senang menjalani
perannya, berperan sesuai tuntutan atau norma. Terhadap paparan aspek-aspek
penerimaan diri di atas, peneliti tertarik untuk memilih aspek-aspek yang
dikemukakan oleh Sheerer (Paramita & Margaretha, 2013), yaitu percaya pada
27
kemampuan diri, memiliki perasaan sederajat, berpendirian, orientasi keluar,
bertanggung jawab, menerima sifat kemanusiaan, menyadari keterbatasan.
Adapun alasan peneliti memilih aspek tersebut, karena penjelasannya lengkap
mudah dipahami oleh peneliti dan dapat digunakan untuk mengungkapkan
variabel penerimaan diri.
3. Upaya untuk meningkatkan Penerimaan Diri
Penerimaan diri disebabkan oleh banyak faktor, peristiwa dan keadaan,
baik yang berasal dari luar maupun dari dalam diri individu. Menurut Bernard
(Fitri, 2015), kemampuan individu dalam melakukan penerimaan diri dapat
ditingkatkan melalui proses terapi dan edukasi. Beberapa bentuk upaya untuk
meningkatkan penerimaan diri antara lain:
a. Dukungan Sosial
Dukungan sosial adalah salah satu bentuk tingkah laku yang
menumbuhkan perasaan nyaman dan membuat individu percaya bahwa
individu dihormati, dihargai, dicintai dan bahkan orang lain bersedia
memberikan perhatian dan keamanan. Dukungan sosial memiliki keterkaitan
dengan penerimaan diri, ketika individu mengalami penerimaan diri yang
cenderung rendah, maka dengan dukungan sosial, individu mendapatkan
kepercayaan dan kepedulian dari orang lain sehingga individu tersebut
memiliki rasa percaya, dihormati, dihargai, dicintai (Marni & Yuniawati,
2015).
b. Cognitive Behavioural Therapy (CBT)
28
CBT merupakan gabungan beberapa teknik terapeutik yang tidak
hanya berfokus pada perilaku tetapi juga kesalahan berpikir dan kognisi.
Masalah penerimaan diri pada ODHA, yaitu terdapat skema kognitif yang
negatif ataupun munculnya distorsi kognitif dengan karakteristik berupa
perasaan dan pikiran bahwa mereka tidak, yakin mampu menjalani
kehidupan dan perasaan tidak berharga. Proses kognisi akan memengaruhi
seseorang dalam berperilaku. Proses kognisi ini akan menjadi faktor
penentu dan menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan
bertindak.
Dengan demikian, CBT dapat mengatasi kecenderungan yang dialami
ODHA yang kurang dalam penerimaan diri (Kusumawati, 2014).
c. Pelatihan Pengenalan diri
Pada saat individu menghadapi masalah dengan tingkat kesulitan yang
berbeda harus dihadapi sehingga membutuhkan ketrampilan pemecahan
masalah yang strategis, yang dilandasi oleh tujuan hidup individu tersebut.
Untuk mencapai tujuan hidup antara lain dengan dengan cara menegenal diri
sendiri lewat kekuatan dan kelemahan dirinya. Pengenalan diri merupakan
salah satu cara untuk membantu individu self-knowledge dan self-insight
yang sangat berguna bagi proses penerimaan diri dan penyesuaian diri yang
baik dan merupakan salah satu kriteria mental yang sehat.
Pelatihan pengenalan diri merupakan bentuk pelatihan yang disusun
untuk membantu individu dalam mengenali dirinya melalui pengungkapan
diri dan umpan balik. Dengan demikian pelatihan pengenalan diri efektif
29
untuk meningkatkan penerimaan diri (Handayani, Retnowati & Helmi,
1998).
d. Rational Emotive Behavior-Therapy
Rational Emotive Behavior-Therapy (REBT) merupakan salah satu
upaya yang dapat meningkatkan penerimaan diri. REBT merupakan suatu
proses terapi yang dapat memperbaiki dan mengubah persepsi, pikiran,
keyakinan serta pandangan seseorang yang irasional dan tidak logis menjadi
rasional dan logis. Dengan demikian, ketika individu dapat memperbaiki
dan mengubah persepsi dan pikiran, keyakinan serta pandangan yang
irasional menjadi rasional maka individu tersebut dapat menerima
keberadaan dirinya sepenuhnya. Rational Emotive Behavior-Therapy
(REBT) sangat efektif untuk meningkatkan penerimaan diri (Davies, 2006).
e. Pelatihan berpikir positif
Pelatihan ini merupakan salah satu pengembangan atas model kognitif
yang ditujukan untuk membantu individu mengenali pola pikirnya dan
memahaminya, mengubah pola pikir yang negatif menjadi pola pikir yang
positif melalui serangkaian pelatihan, dan menggunakan pola pikir positif
yang terbentuk itu dalam menghadapi masalah kehidupan yang akan datang.
Dengan demikian, ketika individu bisa mengenali pola pikir yang positif di
dalam dirinya akan memberikan dampak yang baik untuk kehidupan
selanjutnya. Pelatihan berpikir positif dianggap efektif dalam peningkatan
penerimaan diri (Halida, 2007; Sukimo, 2009).
f. Pelatihan NLP
30
NLP (Neuro Linguistic Programming) merupakan salah satu terapi
kognitif yang merupakan salah satu cara membuat seseorang dapat mampu
untuk memetakan semua proses yang terjadi di dalam otaknya (didasarkan
pada pengalaman-pengalamannya) adalah dengan memrogram fungsi neuro-
nya (otak) dengan menggunakan bahasa (linguis). Setelah kedua proses
terjadi, maka selanjutnya seseorang akan berusaha untuk belajar bereaksi
tertentu pada suatu situasi tertentu, dan membangun pola-pola otomatis atau
program-program, yang terjadi di sistem neurologi maupun sistem bahasa
kita atau yang disebut dengan istilah programming. Dengan demikian,
pelatihan NLP dapat meningkatkan penerimaan diri individu (Wrastari &
Handadari, 2003).
g. Terapi Pemaafan
Terapi pemaafan merupakan upaya seseorang untuk menanggalkan
kekeliruan masa lalu yang menyakitkan, tidak lagi mencari-cari nilai dalam
amarah dan kebencian dan menepis keinginan untuk menyakiti orang lain
atau diri sendiri. Terapi pemaafan akan efektif dalam meningkatkan
penerimaan diri. Dengan demikian, beban masalah terhadap kekeliruan
masa lampau yang menyakitkan akan hilang saat individu tersebut mau
memaafakan akan hala atau kejadian yang tidak menyenangkan tersebut
(Rahmandani, 2011; Praptomojati, 2016).
h. Terapi Spiritual
Terapi spiritual merupakan salah satu cara untuk mengatasi
permasalahan fisik dan psikis untuk penyakit berat seperti kanker dan AIDS.
31
Dengan ketaatan pada agama dengan doa dapat memberikan dampak positif
bagi penderita untuk menerima keadaan yang sedang dialami, peningkatan
mutu hidup, mengurangi ketakutan menghadapi kematian sampai pada
peningkatan daya tahan hidup (Djauzi, 2016). Spiritualitas lebih diarahkan
pada usaha mencapai kedamaian pribadi melalui pemikiran-pemikiran dan
pemahaman pribadi yang bertujuan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Tanpa spiritual, ibadah yang dilakukan hanya menjadi ritual semata
(Indriana, 2003).
Ada berbagai macam teknik spiritual salah satunya adalah Spiritual
Emotional Freedom Technique (SEFT). Terapi SEFT menitikberatkan pada
proses pembebasan emosi-emosi negatif yang digabungkan dengan teknik
doa, ikhlas, pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (Purwaningsih &
Rosa, 2016).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya untuk
meningkatkan penerimaan diri dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dukungan
sosial, CBT, pelatihan pengenalan diri, REBT, pelatihan berpikir positif, pelatihan
NLP, terapi pemaafan, dan terapi spiritual.
Penelitian yang akan peneliti lakukan adalah untuk meningkatkan
penerimaan diri dengan menggunakan intervensi terapi spiritual. Alasan peneliti
mengambil penelitian dengan menggunakan terapi spiritual untuk meningkatkan
penerimaan diri pada ODHA lebih efektif dan diperkuat dengan penelitian yang
dilakukan oleh Jalaludin (2007) bahwa spiritual sebagai suatu multi dimensi yaitu
dimensi eksitensial dan dimensi agama. Dimensi eksitensial berfokus pada tujuan
32
dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan
seseorang dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Salah satu terapi yang menggunakan teknik spiritual adalah Spiritual
Emotional Freedom Technique (SEFT). Metode SEFT dapat membuat individu
bisa menerima permasalahan yang mengganggu stabilitas emosinya. Ketika
individu bisa berdamai dengan situasi yang mengganggu emosinya, maka
keluhan fisik ataupun psikis akan hilang dengan sendirinya (Zainuddin, 2010).
Terapi spiritual yang terdapat dalam SEFT dapat memberikan ketenangan,
mengurangi rasa takut, dan dapat mendekatkan diri kepada Tuhan dengan
keyakinan spiritual, penerimaan diri dan kepasrahan diri kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa (Zainuddin, 2010).
4. Dampak dari adanya penerimaan diri
Hurlock (2004) menjelaskan bahwa semakin baik seseorang dapat
menerima dirinya, maka akan semakin baik pula penyesuaian diri dan sosialnya.
Hurlock membagi dampak dari penerimaan diri dalam 2 kategori yaitu:
a. Dalam penyesuaian diri
Salah satu karakteristik dari individu yang memiliki penyesuaian diri
baik adalah lebih mengenal kelebihan dan kekurangannya, biasanya
memiliki keyakinan diri dan harga diri. Selain itu juga lebih dapat menerima
kritik, dibandingkan dengan individu yang kurang dapat menerima dirinya.
Dengan demikian individu yang memiliki penerimaan diri dapat
mengevaluasi dirinya secara realistik, sehingga dapat menggunakan semua
33
potensinya secara efektif. Hal tersebut dikarenakan memiliki anggapan yang
realistik terhadap dirinya maka akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura.
b. Dalam penyesuaian sosial
Individu yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk
memberikan perhatiannya pada yang lain, seperti menunjukkan rasa empati.
Dengan demikian, individu yang memiliki penerimaan diri dapat
mengadakan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan
individu yang merasa rendah diri atau merasa tidak adekuat sehingga
mereka itu cenderung untuk bersikap berorientasi pada dirinya sendiri.
Penerimaan diri sangat berhubungan erat dengan konsep diri, karena
penerimaan diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep
diri dan kepribadian yang positif. Individu yang memiliki penerimaan diri
yang baik, maka dapat dikatakan memiliki konsep diri yang baik pula,
karena selalu mengacu pada gambaran diri ideal, sehingga bisa menerima
gambaran dirinya yang sesuai dengan realitas.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada dampak
dari penerimaan diri, yaitu dampak dalam penyesuaian diri dan sosial. Semakin
baik seseorang dapat menerima dirinya, maka akan semakin baik pula
penyesuaian diri dan sosialnya.
B. Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT)
1. Sejarah Singkat SEFT
SEFT merupakan hasil pengembangan dan penyempurnaan dari beberapa
metode terapi yang berdasarkan prinsip yang sama dengan akupunktur, akupresur,
34
applied kinesiology, Tougtht Fields Therapy (TFT), dan Emotional Freedom
Technique. (Zainuddin, 2010).
Penemu EFT adalah Gary Craig seorang insinyur dari Stanford University
yang menyederhanakan Thought Field Therapy (TFT) menjadi teknik yang lebih
mudah dan efektif. Dari sinilah lahir istilah Emotional Freedom Technique (EFT).
Prosesnya dibuat universal agar bisa diterapkan untuk semua permasalahan
mental, emosional dan fisik. Jika pada TFT menggunakan urutan titik meridian
yang kompleks dan aplikasinya berbeda-beda sesuai dengan jenis penyakitnya,
maka pada EFT hanya mengetuk seluruh titik meridian untuk setiap masalah,
sehingga selalu dapat menggunakan titik yang tepat. Dengan demikian, EFT lebih
mudah untuk dipelajari, dapat digunakan untuk semua masalah. Bahkan oleh
Steve Wells, yang adalah seorang psikolog klinis dari Australia, EFT
dikembangkan lebih jauh lagi. Tidak hanya digunakan untuk penyembuhan, tetapi
diperluas kegunaannya untuk meningkatkan prestasi (peak performance)
(Iskandar, 2010).
Emotional Freedom Technique (EFT) adalah serangkaian metode yang
berorientasi pada sistem energi tubuh untuk melepaskan individu dari gangguan
emosional dan fisik. EFT bekerja berdasarkan prinsip “ The cause of all negative
emotions is disruption in the body’s energy system”. Terganggunya sistem energi
tubuh yang secara langsung menyebabkan gangguan emosi. Emosi negatif yang
dialami oleh individu diawali dengan representasi internal yang buruk. Kondisi ini
berlanjut oleh gangguan pada sistem energi tubuh (Iskandar, 2010).
35
EFT merupakan teknik penyembuhan emosional yang juga dapat
menyembuhkan gejala-gejala penyakit fisik. Hal ini berdasar pada revolusi yang
berkembang dalam keyakinan psikologi konvensional. Hal ini menjelaskan bahwa
segala emosi negatif yang muncul dapat merusak energi sistem dalam tubuh. EFT
dilakukan dengan mengetuk dua ujung jari pada beberapa lokasi di tubuh.
Ketukan-ketukan tersebut bertujuan untuk menyeimbangkan energi meridian
dalam tubuh ketika terjadi gejala-gejala kemunduran fisik dan emosional yang
mengganggu (Iskandar, 2010).
Menurut Tairas (2010), EFT dapat dikatakan versi psikologi dari terapi
akupresur. EFT tidak menggunakan jarum melainkan dengan menyelaraskan
sistem energi tubuh pada titik-titik meridian tubuh yaitu dengan cara mengetuk
(tapping) dengan ujung jari. Senada dengan itu, Rodrigues (2012), menjelaskan
bahwa titik-titik meridian tubuh akan merangsang tubuh untuk melepaskan
endoprhin dan manoamina, yaitu dua senyawa yang berfungsi untuk mengontrol
rasa sakit dan merangsang relaksasi. Ketukan (tapping) membantu mengirimkan
energi kinetetis kepada sistem energi dan membebaskan hambatan yang menutupi
aliran energi (Thahir dkk, 2014).
Di Indonesia, EFT dikembangkan oleh Ahmad Faiz Zainnudin menjadi
Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT). Menurut Zainnudin (2010),
efektivitas SEFT dimungkinkan karena klien menghubungkan segala tindakannya
dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga kekuatannya terasa menjadi berlipat
ganda.
36
SEFT merupakan suatu terapi psikologi yang pertama kali ditujukan untuk
melengkapi alat psikoterapi yang sudah ada. SEFT merupakan sebuah metode
yang menggunakan dasar sistem energi tubuh dalam menghilangkan masalah-
masalah fisik maupun emosi secara cepat, mulai dari phobia, cemas, PTSD, stress,
dan termasuk insomnia.
SEFT adalah suatu teknik terapi penggabungan antara spiritual power dan
energy pschology, yang terdiri dari dua versi, yaitu (1) versi lengakap; dan (2)
versi inti, yang memiliki tiga tahap dalam terapi, yaitu set up, tune in, dan
tapping. Ada empat domain SEFT yaitu, (1) SEFT for healing, (2) SEFT for
success, (3) SEFT for happiness, dan (4) SEFT for gratness. Dari semua memiliki
tahapan yang hampir serupa, yang berbeda adalah tahapan pembuatan kalimat set
up nya (Verasari, 2012).
Hampir 90% SEFT adalah EFT, dalam hal ini yang dimaksud adalah titik-
titiknya. Perlu diketahui bahwa semua teknik energy psychology yang memakai
tapping, mulai dari TFT-nya Roger Callahan, EFT-nya Gari Craig, menggunakan
titik-titik tapping yang sama. Sejak 5000 tahun yang lalu titik-titik tersebut sudah
digunakan oleh akupunktur dan akupresur dan sebagainya.
Spiritual merupakan komponen yang membedakan antara SEFT dan EFT.
Penambahan unsur spiritual dalam SEFT berupa doa kepada Tuhan. Zainuddin
(2010) mengungkapkan penambahan unsur spiritual berupa doa menghasilkan
amplifiying effect atau efek pelipatgandaan pada EFT. Doa berdampak positif
terhadap kondisi psikologis.
37
SEFT berpusat pada Tuhan sebagai sumber kesembuhan, individu bisa
pasrah, dan bersyukur dengan keadaan yang sedang dialaminya (Zainuddin,
2010). EFT memandang bahwa kesembuhan berpusat pada diri sendiri dan
diharapkan individu dapat menerima sepenuhnya apa yang sedang dialami.
Cannon (Mardihusono, 2012) menjelaskan bagaimana tubuh menjaga
kesehatan fisiknya. Kapasitas tubuh untuk menjaga keutuhan homeostasis
memerlukan terhubungnya seluruh proses umpan balik dalam tubuh, dan
lancarnya serta tepatnya informasi yang mengalir di sepanjang jaringan ekspres
umpan balik tersebut. Gary (Mardihusono, 2012) menjelaskan bahwa koneksi
umpan balik sangat fundamental, bukan hanya untuk kesehatan dan keutuhan
fisik, tetapi juga bagi kesehatan dan keutuhan segala tingkat. Koneksi umpan balik
sangat penting bagi keutuhan energi, fisik, emosi, mental, sosial, global bahkan
astrofisik. Menurut Mardihusono (2012), EFT sangat sederhana dan mudah
dipelajari. Tiga langkah menciptakan keajaiban dengan EFT, yaitu: (1) mengukur
intensitas emosi yang berhubungan dengan memori traumatis atau permasalahan
yang dialami; (2) memasangkan memori traumatis dengan pernyataan penerimaan
diri; dan (3) mengetuk ringan (tapping) dengan ujung jari pada serangkaian titik-
titik akupuntur di wajah dan tubuh. Berikut ini Tabel 2. perbedaan EFT dan SEFT.
Tabel 2. Perbedaan EFT dan SEFT (Sumber: Zainuddin, 2010)
EFT SEFT Self centered Asumsi kesembuhan berasal dari diri sendiri, begitu individu bisa menerima dirinya sendiri.
Basic Philosophy God centered Asumsi kesembuhan berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, begitu individu bisa ikhlas dan pasrah.
Walaupun saya sakit…saya terima diri saya
Ya Tuhan….walaupun saya sakit…saya ikhlas menerima sakit
38
sepenuhnya… saya ini, saya pasrahkan kesembuhannya padaMu.
EFT dilakukan dalam sikap suasana santai, karena fokusnya pada diri sendiri
Set-Up SEFT dilakukan dengan penuh keyakinan bahwa kesembuhan datangnya dari Tuhan Yang Maha Esa, kekhusyukkan, keikhlasan, kepasrahan dan rasa syukur.
EFT dengan menyebut masalahnya. Sakit kepala ini, rasa pedih ini dan seterusnya
Tun-In SEFT tidak terlalu fokus pada detail masalahnya, cukup lakukan tiga hal bersamaan:
1. Rasa sakitnya 2. Fokuskan pikiran
ketempat sakit 3. Ikhlaskan dan pasrahkan
kesembuhan sakit itu kepada Tuhan Yang Maha Esa
EFT menggunakan 7 atau 14 titik
Tapping SEFT menambahkan titik-titiknya hingga 18 titik.
Tidak ada unsur spiritual Unsur Spiritualitas 90% penekanan pada unsur spiritualitas
2. Pengertian SEFT
Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) merupakan
pengembangan dari Emotional Freedom Technique (EFT). EFT merupakan teknik
mengatasi emosi yang dilakukan dengan cara mengetuk ringan ujung jari dengan
menstimulasi titik-titik meridian tertentu pada tubuh individu sambil merasakan
masalah yang sedang dihadapi. EFT dikembangkan oleh Gary Craig dari
Callahan, yaitu Thought Field Therapy (TFT) yang dapat menetralisir energi
negatif yang ada dalam tubuh individu (Craig, 2003). Craig memodifikasi TFT
menjadi EFT karena EFT merupakan metode yang sangat aman dan sederhana
untuk dipelajari dapat dilakukan oleh individu, keluarga dan orang lain.
EFT kemudian dikembangkan oleh Zainuddin (2008) menjadi Spiritual
Emotional Freedom Technique (SEFT) yaitu teknik penyembuhan yang
memadukan keampuhan energi psikologi dengan kekuatan do’a dan spiritualitas.
Energi psikologi adalah ilmu yang menerapkan berbagai prinsip dan teknik
39
berdasarkan konsep sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran,
emosi dan perilaku seseorang melalui tiga teknik sederhana yaitu set-up, tune-in,
dan tapping.
Menurut Zainuddin (2010), terapi SEFT merupakan terapi dengan
menggunakan gerakan sederhana yang dilakukan untuk membantu menyelesaikan
permasalahan sakit fisik maupun psikis, meningkatkan kinerja dan prestasi,
meraih kedamaian dan kebahagiaan hidup. Rangkaian yang dilakukan adalah; the
set up (menetralisir energi negatif yang ada di tubuh), the tune-in (mengarahkan
pikiran pada tempat yang dirasakan), dan the tapping (mengetuk ringan dengan
dua ujung jari pada titik-titik tertentu di tubuh manusia).
Terapi SEFT menggabungkan antara sistem kerja energi psikologi dengan
kekuatan spiritual, sehingga menyebutnya dengan Ampliflying Effect (efek
pelipatgandaan). Pada tahap-tahap pelaksanaannya dibutuhkan tiga hal yang harus
dilakukan dengan serius, yaitu khusyu’, ikhlas, dan pasrah. Ketiga hal inilah yang
menjadi kunci kesuksesan pada pelaksanaan terapi SEFT (Zainuddin, 2010).
Anwar & Triana (2011) mengartikan SEFT sebagai sebuah teknik yang
antara spiritualitas melalui doa, keikhlasan, dan kepasrahan, dengan psikologi
energi. Adanya unsur spiritualitas adalah suatu hal yang membedakan teknik
SEFT dengan berbagai teknik terapi yang berbasis psikologi energi lainnya.
Aziz (Maryati dkk, 2013) mengatakan bahwa SEFT adalah metode yang
dapat digunakan untuk meningkatkan tingkat spiritualitas dan bersatu dengan
kekuatan ilahi yang memungkinkan orang untuk menjadi lebih bahagia, lebih puas
dalam hidup, kepastian hidup sehingga tidak mudah mengalami stress.
40
Menurut Hakam dkk (2009), Spiritual Emotional Freedom Technique
(SEFT) merupakan teknik penggabungan dari terapi sistem energi tubuh dan
spiritualitas. Stimulasi titik energi tubuh dilakukan dengan menggunakan metode
tapping pada beberapa titik tertentu pada tubuh sambil berdoa yang disertai sikap
pasrah kepada Tuhan.
Pemahaman sistem energi tubuh menjadi dasar ilmu pengobatan timur
seperti akupunktur, akupresur, refleksiologi, dan sebagainya. Para ahli akupunktur
percaya bahwa gangguan pada sistem energi tubuh dapat menyebabkan penyakit
fisik seperti jantung, sakit kepala, sesak nafas dan sebagainya. Cara
penyembuhannya dengan merangsang titik-titik tertentu yang berhubungan
dengan sumber penyakit. Meski metode ini dibilang baru, namun bagi praktisi
SEFT, SEFT disebut metode yang paling efektif mengatasi berbagai masalah
kesehatan, karena SEFT merupakan gabungan antara 14 metode terapi. Di
antaranya hypnotherapy, akupresur, dan yang lain dipadu dengan do’a.
Efek do’a dan spiritualitas telah diteliti secara mendalam oleh Dossey,
yang hasilnya menunjukkan adanya bukti ilmiah bahwa do’a dan spiritualitas
berpengaruh positif terhadap kesehatan. Pada penyakit yang umum sekalipun,
kondisi pikiran, emosi, sikap kesadaran, dan do’a yang dipanjatkan sangat
berpengaruh bagi kesembuhan (Zainuddin, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terapi Spiritual
Emotional Freedom Technique (SEFT) adalah sebuah teknik terapi yang berbasis
psikologi energi dimana penggunanya melakukan sebuah ketukan pada titik-titik
41
meridian tubuh sepanjang jalur meridian sambil melakukan doa terhadap sang
Pencipta.
3. Teknik yang Mendasari Terapi SEFT
Menurut Zainuddin (2010), terdapat tiga teknik utama yang mendasari
SEFT, yaitu:
a. Energy Therapy dan Akupunktur
Pada saat seseorang memiliki permasalahan karena ketidakteraturan
jalannya energi meridian maka permasalahan fisik maupun psikologis dapat
terjadi. Dengan merangsang beberapa titik akupunktur yang mewakili 12
jalur energi meridian, maka penyakit atau permasalahan tersebut dapat
diatasi karena kekacauan energi meridian disebabkan adanya
ketidakseimbangan energi atau “chi”dalam aliran meridian. SEFT
menggunakan terapi energi pada tahap tapping, dengan mengetuk-ngetuk
ke-18 titik yang mewakili jalannya energi meridian tersebut, sehingga
mengurangi atau menghilangkan permasalahan fisik maupun psikologis
yang ada (Zainuddin, 2010).
b. Powerfull prayer
Segala aktivitas terapinya dengan kekuatan doa. Berdasarkan beberapa
penelitian ilmiah dinyatakan bahwa kekuatan doa akan membantu klien
dalam menyelesaikan permasalahannya, baik fisik maupun psikologis.
Zainuddin (2010) juga mengatakan bahwa dengan penyerahan segala
tindakan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, maka segala sesuatu usaha
tersebut akan memiliki energi dua kali lipat. Pada saat seseorang
42
menyerahkan segalanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, maka energi
yang dihasilkan adalah energi positif dan mendapatkan kejernihan pikiran,
sehingga secara ilmiah individu tersebut mampu berpikir secara jernih dan
merasakan segala permasalahan yang dihadapinya mendapatkan solusi. Oleh
karena itu, SEFT menempatkan powerfull prayer ke dalam salah satu faktor
keberhasilan terapinya, dan hal ini sesuai dengan penelitian Dossey (1993)
tentang efek do’a terhadap penyembuhan pasiennya.
c. Eye Movement Desentisation Reprocecesing (EMDR)
Pada terapi SEFT, EMDR dilakukan pada tahap akhir, yakni setelah
tahap tapping, yakni pada titik gamut spot. Titik gamut spot ini terletak di
antara ruas tulang jari kelingking dan jari manis. Terdapat 9 langkah, yang
dalam terapi EMDR disebut The ninth gamut procedure. Ke-9 langkah
tersebut dilakukan dalam versi lengkap SEFT, tetapi dalam versi inti SEFT.
Keseluruhan terapi tersebut, merupakan terapi-terapi yang mendasari
SEFT. Dari terapi-terapi tersebut di atas, akhirnya dibentuk sebuah terapi
yang sifatnya sederhana sehingga mampu dipahami oleh orang-orang awam.
SEFT lebih ditekankan pada perkembangan teknik pada terapinya, bukan
pada teori yang mendukungnya, tetapi pada beberapa banyak orang bisa
merasakan manfaat dari SEFT, dan bagaimana efektivitas terapi itu di
lapangan.
Berdasarkan paparan yang diuraikan, maka disimpulkan bahwa teknik-
teknik yang mendasari SEFT, antara lain: energy therapy dan akupunktur,
powerfull prayer, dan eye movement desentisation reprocecesing (EMDR).
43
4. Tahap-Tahap SEFT
Menurut Zainuddin (2010), SEFT dikembangkan menjadi 4 domain,
diantaranya: (1) SEFT for healing, yaitu meraih kesehatan dan kesembuhan baik
fisik maupun psikis secara maksimal; (2) SEFT for success, yaitu meraih apapun
yang individu secara pribadi inginkan; (3), SEFT for happiness, yaitu meraih
kebahagiaan; (4) SEFT for individual greatness, yakni bagaimana membentuk
pribadi yang baik dan benar dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan.
SEFT memiliki dua versi. Pertama adalah versi lengkap, dan yang kedua
versi ringkas. Keduanya terdiri dari tiga langkah sederhana, perbedaannya hanya
pada langkah yang ke tiga (the tapping). Pada versi singkat, langkah ketiga
dilakukan hanya pada 9 titik, pada versi lengkap tapping dilakukan pada 18 titik.
Tahap-tahap tersebut diuraikan berikut ini:
a. The Set Up
The set up bertujuan untuk memastikan agar aliran energy psychology
terarahkan dengan tepat. Langkah ini dilakukan untuk menetralisasi
perlawanan psikologis, berupa pikiran negatif spontan atau keyakinan
bawah sadar negatif.
Beberapa contoh perlawanan psikologis antara lain:
1) “Saya tidak bisa mencapai impian saya”
2) “Saya tidak dapat bicara di depan publik dengan percaya diri”
3) “Saya adalah korban pelecehan seksual yang malang”
44
4) “Saya tidak bisa menghindari rasa bersalah yang terus menerus
menghantui hidup saya”
5) “Saya marah dan kecewa kepada istri/suami saya karena dia tidak
seperti yang saya harapkan”
6) “Saya kesal dengan anak-anak, karena mereka susah diatur”
7) “Saya tidak bisa melepaskan diri dari kecanduan merokok”
8) “Saya tidak termotivasi untuk belajar, saya pemalas”
9) “Saya tidak mungkin bisa memenangkan pertandingan ini”
10) “Saya menyerah, saya tidak mampu melakukannya”
11) “Saya……saya…….saya….. dan lain sebagainya”.
Jika keyakinan atau pikiran negatif seperti contoh di atas terjadi, maka
yang perlu dilakukan adalah The Set-Up Words, yaitu beberapa kata yang
perlu diucapkan dengan penuh perasaan untuk menetralisir psychological
reversal (keyakinan dan pikiran negatif). Dalam bahasa religius, the set-up
words adalah “doa kepasrahan” kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Bahwa
apapun masalah dan rasa sakit yang dialami saat ini, diikhlaskan
menerimanya, dan dipasrahkan kesembuhannya pada Tuhan Yang Maha
Kuasa.
The set-up terdiri dari 2 aktivitas, yang pertama adalah mengucapkan
kalimat seperti di atas dengan penuh rasa khusyu’, ikhlas dan pasrah
sebanyak 3 kali. Yang kedua adalah sambil mengucapkan dengan penuh
perasaan, menekan dada, tepatnya di bagian “Sore Spot” (titik SEFT yang
terletak di dada bagian atas) atau mengetuk dengan dua ujung jari di bagian
45
“Karate Chop” yaitu disamping telapak tangan bagian yang digunakan
untuk mematahkan balok saat karate. Cara untuk dapat mengakses persoalan
yang dihadapi adalah dengan mengingat persoalan yang dihadapi oleh
pengguna SEFT. Adapun pola susunan doa dalam teknik SEFT adalah
sebagai berikut :
Ya Tuhan Yang Maha Kuasa…meskipun saya merasa -___________(disesuaikan dengan kondisi pengguna SEFT) karena ________ saya ikhlas menerima rasa ____________ ini, dan saya pasrahkan kepadaMu ketenangan hati dan pikiran saya. (dengan penuh rasa khusyu’ ikhlas dan pasrah sebanyak 3 kali).
b. The Tun In
Pada permasalahan fisik, dapat dilakukan tune-indengan cara
merasakan rasa sakit yang dialami, lalu mengarahkan pikiran ke tempat rasa
sakit dan sambil terus melakukan 2 hal tersebut, hati dan mulut mengatakan
seperti:
“Ya Tuhan Yang Maha Kuasa saya ikhlas, saya pasrah,”atau “Ya Allah (Ya Tuhan YME) saya Ikhlas menerima sakit saya ini, saya pasrahkan padaMu kesembuhan saya”.
Pada masalah emosi, dapat dilakukan tune-in dengan cara memikirkan
sesuatu atau peristiwa spesifik tertentu yang dapat membangkitkan emosi
negatif yang ingin dihilangkan. Ketika terjadi reaksi negatif (marah, sedih,
takut, dan sebagainya) hati dan mulut mengatakan seperti:
“Ya Tuhan Yang Maha Kuasa..saya ikhlas..saya pasrah”.
c. The Tapping
Tahap ini adalah tahap yang dilakukan bersamaan dengan tahap tune-
in. Pada proses inilah (tune-in yang dibarengi tapping) menetralisasikan
46
emosi negatif atau rasa sakit fisik. Tapping adalah mengetuk ringan dengan
dua ujung jari pada titik-titik tertentu pada tubuh sambil terus tune in. Titik-
titik ini adalah titik-titik kunci dari major energy meridians, yang jika
diketuk beberapa kali akan berdampak pada ternetralisasinya gangguan
emosi atau rasa sakit yang dirasakan, karena aliran energy psychology
berjalan dengan normal dan seimbang kembali.
Tahap ini akan area prefrontal korteks di otak yang dapat merangsang
korpus amigdala. Rangsangan pada korpus amigdala akan reaksi emosi,
sehingga diharapkan sugesti yang diiringi dengan ketukan ringan (tapping)
dapat mengubah persepsi yang salah dan mengubahnya menjadi persepsi
yang benar mengenai penerimaan diri. Titik-titik tersebut adalah:
1) Cr (Crown), pada titik di bagian atas kepala.
2) EB (Eye Brown), pada titik permulaan alis mata.
3) SE (Side of the Eye), di atas tulang disamping mata.
4) UE (Under the Eye), 2 cm di bawah kelopak mata.
5) UN (Under the Nose), tepat di bawah hidung.
6) Ch (Chin), di antara dagu dan bagian bawah bibir.
7) CB (Collar Bone), diujung tempat bertemunya tulang dada, collar bone,
dan tulang rusuk pertama.
8) UA (Under the Arm), di bawah ketiak sejajar dengan puting susu (pria)
atau tepat di bagian tengah tali bra (wanita).
9) BN (Bellow Nipple), 2,5 cm di bawah putting susu (pria) atau di
perbatasan antara tulang dada dan bagian bawah payudara.
47
10) IH (Inside of Hand), di bagian luar tangan yang berbatasan dengan
telapak tangan.
11) OH (Outside of Hand), di bagian luar tangan yang berbatasan dengan
telapak tangan.
12) Th (Thumb), ibu jari disamping luar bagian bawah kuku.
13) IF (Index Finger), jari telunjuk di samping luar bagian bawah kuku (di
bagian yang menghadap ibu jari).
14) MF (Middle Finger), jari tengah samping luar bagian bagian bawah
kuku (di bagian yang menghadap ibu jari).
15) RF (Ring Finger), jari manis di samping luar bagian bawah kuku (di
bagian yang menghadap ibu jari).
16) BF (Baby Finger), di jari kelingking di samping luar bagian bawah
kuku (dibagian bawah menghadap ibu jari).
17) KC (Karate Chop), disamping telapak tangan, bagian yang digunakan
untuk mematahkan balok saat karate.
18) GS (Gamut Spot), di bagian antara perpanjangan tulang jari manis dan
tulang jari kelingking.
Gambar 1 di bawah ini menunjukkan letak titik-titik kunci energi
meridian.
48
1
Gambar 1. Titik-Titik Meridian Tubuh (Sumber: Zainuddin, 2010)
Khusus untuk titik terakhir, gamut point, sambil melakukan tapping
pada titik tersebut, maka dilakukanlah the ninth gamut procedure,
merupakan 9 gerakan untuk merangsang otak. Tiap gerakan (yang mungkin
kelihatan aneh) dimaksudkan untuk merangsang otak bagian tertentu.
49
Sembilan gerakan itu dilakukan sambil tapping pada salah satu titik energy
psychology yang dinamakan Gamut Spot. Titik gamut terletak di antara ruas
jari kelingking dan jari manis.
Ke-9 gerakan tersebut, yakni: (1) menutup mata; (2) membuka mata;
(3) mata digerakkan dengan kuat ke kanan bawah; (4) mata digerakkan
dengan kuat ke kiri bawah; (5) memutar bola mata searah jarum jam; (6)
memutar bola mata berlawanan arah jarum jam; (7) bergumam dengan
berirama selama 2 detik; (8) menghitung 1-5; dan (9) bergumam lagi selama
2 detik. Langkah ini dianggap sebagai langkah yang seringkali mengundang
tawa, akan tetapi di dalam beberapa kasus yang tidak dituntaskan dengan
versi inti (versi ke-2), langkah ini terbukti efektif. Dalam teknik terapi
kontemporer, teknik ini disebut teknik Eye Movement Desensitization
Repatterning (EMDR). Setelah menyelesaikan 9 gamut procedure, langkah
terakhir adalah mengulangi lagi tapping dari titik pertama hingga ke-17
(berakhir di karate chop), diakhiri dengan mengambil napas panjang dan
menghembuskannya, sambil mengucapkan rasa syukur terima kasih Tuhan.
Versi kedua terapi SEFT, disebut dengan versi inti, sedangkan versi
yang pertama disebut dengan versi lengkap. Versi inti adalah versi yang
paling sering digunakan, karena selain lebih singkat, versi ini terbukti cukup
efektif untuk beberapa kasus. Versi lengkap dilakukan hanya apabila versi
inti dianggap kurang tuntas dalam menyelesaikan permasalahan klien yang
sedang diterapi. Dalam versi inti, langkah pertama (the set up) dan langkah
kedua (the tun-in beserta kata pengingatnya atau do’a: “Saya ikhlas, saya
50
pasrah”) sama dengan versi pertama sedangkan langkah ketiga (the tapping)
hanya dilakukan sebagian, mulai dari titik pertama (the crown) hingga titik
ke-9 (below nipple), langsung diakhiri dengan menarik napas panjang dan
kemudian dihembuskan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa SEFT adalah
sebuah teknik penggabungan antara spiritual power dan energy psychology yang
terdiri dari dua versi, yaitu (1) versi lengkap, dan (2) versi inti, yang masing-
masing tiga tahapan dalam terapi SEFT yaitu: set up, tune in, dan tapping.
Penggunaan versi lengkap dan versi inti dapat diterapkan pada empat domain
SEFT, yaitu; (1) seft for healing; (2) seft for happiness; (3) seft for greatness dan
(4) seft for succes. Semakin kompleks permasalahan yang dialami maka versi
lengkap yang cenderung digunakan, dan jika permasalahannya ringan dapat
diatasi dengan menggunakan versi inti.
5. Faktor Keberhasilan SEFT
Menurut Zainuddin (Verasari, 2012), ada lima hal yang harus diperhatikan
agar SEFT berdampak efektif. Kelima hal ini harus dilakukan selama proses
terapi, mulai dari set up, tune-in, hingga tapping, yakni:
a) Yakin, dimana keyakinan di dalam diri klien bahwa emosi dan semua
penyakit yang dirasakannya dapat disembuhkan, menegaskan bahwa
kepercayaan dan keyakinan orang sakit untuk sembuh merupakan setengah
dari kesembuhan, bahkan juga lebih. Dengan keyakinan yang dimiliki oleh
seorang klin tentang kesembuhannya tersebut, secara tidak langsung akan
mngubah perspektif pemikirannya, misalnya banyak waktu yang digunakan
51
untuk memikirkan penyakitnya, namun setelah adanya keyakinan untuk
sembuh, maka waktu yang biasanya digunakan untuk memikirkan penyakit,
maka keyakinan akan menumbuhkan rasa optimisme dan kepercayaan diri.
b) Khusyu’. Menurut Kahil (Verasari, 2012), selama melakukan terapi
khususnya pada saat tahap set up, klien diharuskan berkonsentrasi, atau
khusyu’ dengan memusatkan pikiran pada saat berdoa kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Setiap kali seseorang dalam kondisi khusyu’, getaran
gelombangnya yang dipancarkan otak menjadi semakin berkurang. Hal ini
mengistirahatkan otak dan membantunya untuk memperbaiki kerusakan
yang diakibatkan oleh penyakit atau dikarenakan gangguan jiwa. Oleh
karena itu, beberapa peneliti yakin bahwa emosi membuat otak lelah
sehingga dapat memperpendek umur seseorang. Dengan khusyu’, maka
akan mengaktifkan area sensitif otak dengan aktifitas positif dengan
menghapus akumulasi negatif dan kerusakan yang menimpa bagian-bagian
tersebut akibat berbagai peristiwa yang pernah dilaluinya. Secara psikologis
akan muncul perasaan tenang (rileks), pernapasan, dan denyut jantung yang
teratur, serta kestabilan emosi dan memunculkan kesabaran diri dalam diri
seseorang yang menjalaninya.
c) Ikhlas, artinya ridho atau menerima rasa sakit (baik fisik maupun emosi)
dengan sepenuh hati. Saat seseorang mampu merasakan ikhals, maka akan
terdapat ketenangan dalam hati dan kejernihan pikiran, karena tidak
timbulnya rasa tergesa-gesa, cemas akan situasi yang terjadi, sudah terjadi
atau belum terjadi, dan tidak mudah mengeluh. Hal ini akan menghasilkan
52
pikiran positif, dan kemudian mampu memberikan kekuatan pada diri
sendiri dan kepercayan diri, karena mampu berpikir objektif terhadap setiap
permasalahan yang dihadapinya. Individu-individu yang ridho atau ikhlas
terhadap diri sendiri dan kondisi mereka akan lebih banyak mendapatkan
kesuksesan hidup (Verasari, 2012).
d) Pasrah, berbeda dengan ikhlas. Menurut Dwoskin (Verassari, 2012), pasrah
yaitu keyakinan disertai usaha secara optimal untuk mencari solusi.
Pengalaman mesrahkan diri menjadikan seseorang merasakan energi yang
bergerak dalam tubuhnya, dan perubahan-perubahan ini dapat menjadi lebih
nyata dengan berjalannya waktu. Adapun tambahan sensasi fisik, yaitu
ketika seseorang pasrah maka pikirannya akan menjadi semakin tenang dan
menyisakan pikiran yang lebih jernih. Ketika hal itu terjadi, seseorang akan
mulai merasakan lebih banyak solusi terhadap permasalahan yang sementara
dialaminya. Dengan berjalannya waktu, pengalaman pelepasan ini
menjadikan seseorang merasa bahagia secara positif.
e) Syukur. Emmons & McCullough (Verassari, 2012) menemukan bahwa
dengan berpikir untuk bersyukur seseorang akan memiliki emosi positif.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa SEFT akan
efektif jika prosesnya dilakukan dengan yakin, khusyu’, ikhlas, pasrah, dan
dengan rasa syukur. Pada akhirnya, hasil akhir yang paling menakjubkan dari
SEFT bukan hanya kesembuhan dan selesainya masalah yang dihadapi, tetapi
adalah tumbuhnya perasaan cinta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Jika hal itu
terjadi, maka apapun yang akan dihadapi dan dialami, baik sehat ataupun sakit,
53
kaya atau miskin, ada masalah ataupun tidak, dapat dihadapi dengan penuh
keikhlasan dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa dan senantiasa
berbuat sebaik mungkin dan bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa.
C. Terapi Spiritual Emotional Fredom Technique (SEFT) untuk meningkatan
Penerimaan Diri Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)
Kaplan (2010) menyatakan otak sering disebut sebagai organ pikiran
karena terhubung ke sistem kekebalan tubuh melalui serabut saraf yang
menjangkau ke semua organ dan sistem. Ketika manusia mengalami stress, sistem
saraf menjadi hiperaktif dan menimbulkan efek dari sistem kekabalan tubuh
secara berulang-ulang. Pengalaman stress dapat mengubah plastisitas pada sistem
saraf, terutama pada sistem limnik. Stres yang berkepanjangan akan merusak
plastisitas sinaptik pada hippocampus, mengganggu proses neurons pada
hippocampal, mempercepat kematian saraf, dan merusak neurogenesisi (Sapolsky,
2003). Ketika individu mampu menerima diri dan berpikir positif, maka dapat
meningkatkan perceived control dan mengurangi respon fisik tubuh bila stress,
menurunkan sistem kerja simpatetis dan kemudian mengaktifkan kerja saraf
parasimpatik seperti dengan menurunkan tekanan darah dan tekanan jantung yang
meningkat, serta memberikan emosi yang lebih positif (Gull & Rana, 2013).
Sebaliknya, ketika individu tidak mampu menerima diri sehingga diliputi oleh
perasaan sedih, marah, kecewa, dan tertekan, maka hal tersebut akan berpengaruh
terhadap kondisi fisik seperti menurunkan imunitas tubuh (Nevid, Rathus, &
Greene, 2005), merusak plastisitas sinaptik pada hippocamps (Sapolsky, 2003),
54
berpotensi memicu kondisi atherosclerosis ataupun coronary heart disease
(CHD) (Staicu & Cutov, 2010), serta meningkatnya tekanan darah dan tekanan
jantung. Studi Worthington (Praptomojati, 2016) menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan area dalam otak yang terekam pada individu yang bisa menerima
dirinya dengan individu yang tidak bisa menerima diri. Dominasi perasaan marah,
benci, tertekan, dan ketidakmampuan diri menerima akan berhubungan dengan
menurunnya fungsi kekebalan tubuh, menstimulasi aktivasi sistem saraf
simpatetik, meningkatnya hormon adrenalin dan dopamine, serta merusak
plastisitas sinaptik pada hippocampus (Sapolsky, 2003). Sebaliknya proses
menerima keadaan diri berkaitan dengan aktivasi dalam jaringan otak, empati, dan
regulasi perasaan melalui kognisi. Melalui sikap tersebut, maka akan
mengarahkan pada terbentuknya penerimaan diri tanpa syarat sehingga akan
didominasi oleh perasaan positif dan berharga tanpa syarat (Bernard, 2013).
Penerimaan diri memegang peranan penting dalam menemukan dan
mengarahkan seluruh perilaku. Sedapat mungkin individu mempunyai penerimaan
diri yang positif. Seperti diungkapkan oleh Rakhmat (2001), seorang individu
dengan penerimaan diri yang baik akan menangkal emosi negatif yang muncul
karena dapat menerima diri apa adanya. Senada dengan itu Darajat (2006)
menyatakan bahwa penerimaan diri sebagai kesadaran untuk menerima diri
sendiri apa adanya. Hal ini dibenarkan pula oleh Jersild (Sari & Nuryoto, 2002),
bahwa individu yang menerima dirinya sendiri yakin akan standar-standar dan
pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain, dan memiliki
perhitungan akan keterbatasan dirinya, serta tidak melihat dirinya sendiri secara
55
irasional. Santrock (Ridha, 2012) menjelaskan penerimaan diri merupakan suatu
kesadaran untuk menerima diri sendiri apa adanya. Penerimaan diri tidak berarti
menerima begitu saja kondisi dirinya tanpa berusaha mengembangkan diri lebih
lanjut. Hal itu menunjukkan pada proses bagaimana seorang individu mendapat
keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungannya.
Penerimaan diri lebih bersifat suatu proses dalam hidup sepanjang hayat manusia.
Menurut Supratiknya (Marni & Yusniawati, 2015), individu yang mampu
menerima dirinya adalah individu yang dapat menerima kekurangan dirinya
sebagaimana kemampuannya untuk menerima kelebihannya. Jika penerimaan diri
positif maka individu tersebut mampu menyesuaikan diri secara pribadi dan
sosial. Sebaliknya apabila penerimaan diri negatif, maka penyesuaian diri pribadi
dan sosial sulit untuk dilakakukannya. Orang yang sehat secara psikologis dan
dapat digolongkan sebagai orang yang menerima diri adalah orang yang terbuka
terhadap setiap pengalaman serta mampu enerima setiap kritikan dan masukan
dari orang lain.
Jourand (Hurlock, 1980) memaparkan ada dua hal penting dalam
penerimaan diri seseorang, yaitu: (1) individu harus senang menjalani perannya
dengan baik dan mendapatkan kepuasan dari perannya tersebut. Ketidakpuasan
individu terhadap dirinya dan peran yang harus dijalaninya secara lambat atau
cepat akan memengaruhi kesehatan mentalnya; (2) individu harus berperan
dengan tuntutan atau norma-norma yang ada. Dengan demikian, untuk mencapai
kepribadian yang sehat secara psikologis harus memiliki penerimaan diri yang
baik.
56
Orang dengan HIV/AIDS yang memiliki penerimaan diri rendah merasa
tidak puas dengan diri sendiri, yang disebabkan oleh munculnya pikiran-pikiran
negatif terhadap kondisi yang mereka miliki, kemudian akan memunculkan
perasaan kurang percaya diri, tidak berharga, muncul perasaan takut dalam
menerima keadaannya. Hal ini di dukung dalam penelitian yang dilakukan oleh
Kusumawati (2014), bahwa orang dengan HIV/AIDS (ODHA) menunjukkan
adanya perasaan dan pikiran bahwa mereka tidak yakin menjalani kehidupan,
perasaan tidak berharga, ada perasaan bersalah, tidak percaya pada kondisi dan
memiliki pikiran untuk ditolak oleh lingkungan sekitar dan upaya membatasi
bahkan menarik diri dari lingkungan. Kondisi ODHA dengan pikiran dan perasaan
tersebut menggambarkan bahwa mereka memiliki pandangan negatif dan rendah
tentang dirinya. Dimana perasaan bahkan pikiran negatif akan muncul, karena
selain dampak secara fisik pada umumnya ODHA merasakan lebih berat secara
psikologis.
Pikiran negatif yang muncul dapat merugikan dan mengganggu individu
dalam melakukan kehidupan sehari-hari. Melakukan pencegahan merupakan hal
yang utama yang harus dilakukan individu. Salah satu cara untuk mereduksi hal-
hal yang negatif yaitu melakukan terapi Spiritual Emotional Freedom Technique
(SEFT).
Pemanfaatan terapi SEFT untuk meningkatkan penerimaan diri ODHA ini
didasari asumsi bahwa kesembuhan fisik dan psikis berasal dari Tuhan, begitu
individu ikhlas dan pasrah. Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT)
menekankan pada keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, secara tepat dan
57
sederhana memperbaiki The Major Energy Meridians untuk menetralisir
permasalahan fisik dan emosi sebagai penyebab kurangnya penerimaan diri
(Zainuddin, 2010).
SEFT merupakan teknik penyembuhan yang memadukan keampuhan
energi psikologi dengan kekuatan do’a dan spiritualitas. Energi psikologi adalah
ilmu yang menerapkan berbagai prinsip dan teknik berdasarkan konsep sistem
energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku yang
dilakukan dengan tiga teknik sederhana, yaitu set-up, tune-in, dan tapping.
Teknik set-up dilakukan dengan dua cara. Pertama, menekan titik nyeri
(score spot) yang terletak di dada sebelah kiri. Secara fisiologis, set-up dilakukan
dengan cara menekan titik nyeri yang terletak di jantung, yang merupakan pusat
dari aliran darah dalam tubuh. Tujuan menekan titik ini adalah untuk
menstimulasi pusat aliran darah agar otot yang tadinya menegang saat
berlangsung masalah dapat mulai mengendur, denyut jantung yang berdetak
dengan cepat dapat menjadi lambat sehingga aliran darah dapat berjalan dengan
lancar dan seimbang ke seluruh tubuh (Ulfah, 2013).
Teknik set-up kedua, mengucapkan kalimat set-up (do’a) secara berulang-
ulang sebanyak tiga kali dengan penuh keikhlasan dan kepasrahan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa. Senada dengan itu, Cornah (2006) menjelaskan bahwa salah
satu cara spiritual yang telah terbukti dapat mengatasi masalah psikis adalah
dengan meditasi pada sebuah kata atau frasa dengan makna spiritual. Secara
fisiologis, dijelaskan oleh Cornah (2006) bahwa meditasi dan berdo’a dalam diam
dapat menurunkan tingkat norepinefrin dan kortisol, dapat mengurangi perasaan
58
negatif dan kesehatan mental lainnya. Penurunan tingkat norepinefrin dan kortisol
didukung oleh penelitian yang menunjukkan adanya hubungan antara aktivitas
yoga dan perbaikan pada masalah psikis.
Spiritualitas dapat memengaruhi berbagai mekanisme fisiologis yang
terlibat dalam kesehatan. Ada banyak emosi yang didorong dalam spiritualitas,
yaitu mencakup harapan, kepuasan, cinta dan memberi maaf, dapat melayani
individu dengan mempengaruhi aliran saraf yang terhubung ke endokrin serta
hormon kortisol. Emosi-emosi negatif yang secara aktif mengganggu, seperti
marah atau takut, dapat memicu pelepasan neurotrasnmitter norepinefrin dan
endokrin serta hormon kortisol. Pelepasan neurotransmitter menyebabkan
terjadinya hambatan dalam sistem imun tubuh (Comah, 2006).
Orang dengan HIV/AIDS akan mengalami penerimaan diri yang
cenderung rendah. Ronaldson & Kauman (Nursalam, 2007) mengungkapkan
bahwa do’a akan secara langsung memberi respon spiritual yang meliputi harapan
yang realistis, tabah, dan sabar serta pandai mengambil hikmah. Melalui sistem
limbik dan korteks diharapkan ODHA akan mempunyai respon positif yaitu
penerimaan diri. Dari penerimaan diri akan mendapatkan koping positif sehingga
ODHA dalam menjalani hidup menjadi positif.
Teknik kedua dalam terapi SEFT adalah tune-in. Tune-in, yaitu merasakan
sakit yang dialami akibat kurangnya penerimaan diri dengan tujuan untuk
menyadari emosi negatif yang dialami subjek dan mau menerima rasa sakit secara
fisik atau emosi negatif dengan ikhlas dan pasrah. Selain itu, tune-in juga
dilakukan dengan memikirkan dan membangkitkan emosi negatif yang ingin
59
dihilangkan. Teknik tune-in juga dilakukan dengan memfokuskan pikiran pada
rasa sakit dengan tujuan untuk memusatkan pikiran subjek terkait rasa sakit yang
dialami.
Teknik ketiga dalam terapi SEFT adalah tapping. Tapping dilakukan
dalam beberapa proses, antara lain mengetuk ringan titik-titik tertentu dalam
tubuh dengan tujuan untuk menstimulasi aliran darah dalam tubuh agar berjalan
dengan lancar dan seimbang. Feinstein (2008) mengungkapkan bahwa ketukan
ringan yang dilakukan untuk mengatasi gangguan psikologis dapat memberikan
efek biokimia berupa teridentifikasinya neurotransmitter, endoprin, dan zat kimia
lain dalam otak. Titik-titik meridian dalam tubuh merupakan kunci dari “The
Major Energy Meridians” , yang jika diketuk beberapa kali akan berdampak
ternetralisirnya ganguan emosi atau rasa sakit yang dirasakan, karena aliran energi
tubuh berjalan dengan normal dan seimbang kembali. Sebagaimana penelitian
EFT yang dilakukan oleh Chusch, Yount, dan Brools (Feinstein, 2012)
menunjukkan bahwa tapping tidak hanya efektif menurunkan distres diri, akan
tetapi tapping secara signifikan dapat menurunkan tingkat kortisol dalam tubuh,
sehingga mengakibatkan kondisi individu lebih rileks, santai, dan tenang serta
dapat melancarkan dan menselaraskan aliran darah dalam tubuh.
Nitz (Hidayati, 2009), mengungkapkan bahwa individu yang mengalami
penerimaan diri yang rendah proses tapping lebih spesifik pada Thumb (Th) atau
bagian ibu jari. Titik ini adalah titik penerimaan diri yang didalamnya terdapat
ketidaktoleran terhadap diri, arogansi, dan kesedihan. Individu dengan penerimaan
diri rendah sangat beresiko terhadap perasaan sedih yang mendalam, tidak
60
berdaya, tidak berharga, tidak percaya diri, dan pesimis terhadap masa depan.
Dengan mengetuk titik tersebut diharapkan perasaan-perasaan negatif yang
muncul dapat berkurang bahkan hilang sehingga diharapkan dengn berkurang atau
hilangnya perasaan negatif tersebut, penerimaan diri dapat meningkat.
Selanjutnya dalam proses tapping, dilakukan juga beberapa gerakan yang
disebut dengan the nine gamut procedur yaitu sembilan gerakan untuk
merangsang otak yang dilakukan bersamaan dengan mengetuk ringan pada titik
gamut spot. Dalam psikologi kontemporer, gerakan ini dikenal juga dengan istilah
Eye Movement Desensitisation and Resprocessing (EMDR). Setelah itu menarik
dan mengeluarkan nafas sebanyak tiga kali dengan tujuan untuk menarik
pengalaman atau emosi negatif yang dialami dan mengumpulkannya kemudian
mengeluarkan semua emosi negatif yang pernah dirasakan sehingga menjadi
tenang, rileks, dan nyaman. Kemudian sebelum terapi SEFT diakhiri, subjek
mengucap syukur (terima kasih Tuhan) dengan tujuan untuk mensyukuri setiap
kejadian yang terjadi dalam kehidupan, baik suka, duka maupun senang, dan
bahagia. Kecenderungan penerimaan diri yang rendah pada orang dengan
HIV/AIDS merupakan masalah yang harus segera diatasi agar tidak menjadi
permasalahan fisik maupun psikologis. Salah satu alternatif penanganan
psikologis yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah fisik dan emosi pada
ODHA adalah dengan melakukan terapi SEFT. Secara psikofisiologis, terapi
SEFT dapat menurunkan hormon kortisol, epinefrin, dan norepinefrin dalam
tubuh dan meningkatkan rasa tenang, rileks, dan nyaman pada subjek serta dapat
melancarkan dan menselaraskan aliran darah dalam tubuh (Feinstein, 2012).
61
Terapi SEFT diasumsikan dapat meningkatkan penerimaan diri orang
dengan HIV/AIDS (ODHA). Dengan pemberian terapi SEFT, maka ODHA akan
memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk mereduksi atau meredakan
ketegangan baik ketegangan fisik maupun psikis sehingga akan menghasilkan
respon SEFT yang menjadikan sistem energi tubuh menjadi selaras dan seimbang.
Dengan adanya keselarasan dan keseimbangan sistem energi tubuh memberikan
dampak positif untuk orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dapat lebih percaya pada
kemampuan dirinya, memiliki perasaan sederajat, berpendirian, berorientasi
keluar, bertanggung jawab, menerima sifat kemanusiaan serta menyadari
keterbatasannya.
D. Landasan Teori
Penerimaan diri merupakan sifat positif termasuk penghargaan terhadap
nilai-nilai individu mampu bersikap objektif tanpa menyertakan pengakuan
terhadap tingkah lakunya, tanpa keterikatan emosional yang terdapat dalam
dirinya. Menurut Sheerer (Paramita & Margaretha, 2013), penerimaan diri adalah
sikap untuk menilai diri dan keadaannya secara objektif, menerima segala yang
ada pada dirinya termasuk kelebihan, dan kelemahannya.
Sebagaimana aspek-aspek dari penerimaan diri yang dikemukakan oleh
Sheerer (Paramita & Margaretha, 2013), bahwa penerimaan diri mencakup aspek-
aspek perasaan sederajat, percaya kemampuan diri, bertanggung jawab, orientasi
keluar (tidak malu), berpendirian, menyadari keterbatasan, dan menerima sifat
kemanusiaan.
62
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) diharapkan memiliki penerimaan diri
yang tinggi. Dengan penerimaan diri yang tinggi ODHA memiliki motivasi untuk
menjalani kehidupan dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya. Mereka
dapat menerima dirinya dengan keberadaan status HIV yang dialaminya bahkan
dapat mengembangkan sifat positif terhadap diri.
Dalam penelitian ini, terapi dilakukan untuk menangani orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) agar dapat meningkatkan penerimaan diri. Hal ini dilakukan
karena menurut sepengetahuan peneliti terapi SEFT belum pernah digunakan
untuk mengurangi keluhan atau dampak fisik dan psikologis pada orang dengan
HIV/AIDS (ODHA). Menurut Freinsten (Verasari, 2012), terapi SEFT merupakan
sebuah terapi penggabungan antara spiritual power dan energy psychology.
Energy psychology merupakan seperangkat prinsip dan terapi yang memanfaatkan
sistem energi tubuh untuk kondisi pikiran, emosi dan perilaku. SEFT adalah
sebuah metode terapi yang bertujuan menghilangkan atau membuang energi
negatif dalam tubuh, sehingga seseorang akan menjadi sehat fisik dan psikis.
Feinstein & Gallo (Zainudin, 2010), mamberikan penjelasan bahwa
“ketidakseimbangan kimia” dalam tubuh berperan dalam menimbulkan berbagai
gangguan emosi.
Berdasarkan uraian di atas, maka di dalam penelitian ini, ODHA yang
mengalami penerimaan diri yang rendah dilihat dari aspek-aspek penerimaan diri
menurut Sheerer (Paramita & Margaretha, 2013), yaitu merasa tidak sederajat,
tidak percaya kemampuan diri, tidak bertanggung jawab, tidak orientasi keluar
(tidak malu), tidak memiliki pendirian, tidak menyadari keterbatasan, dan tidak
63
menerima sifat kemanusiaan. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang mengalami
penerimaan diri yang rendah tersebut akan diberikan terapi SEFT melalui 3
langkah, yaitu, set up, tune in, dan tapping. Keseluruhan tahapan dalam SEFT
tidak terlepas dari aspek-aspek psikoreligiusitas, karena pada dasarnya manusia
ada di alam ini karena kehendak dari Tuhan Yang Maha Kuasa, dan segala
sesuatu yang terjadi pada diri manusia juga tidak akan lepas dari campur tangan
Tuhan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dijelaskan melalui Gambar 2. Pada
gambar ini akan diuraikan tentang terapi SEFT untuk peningkatan penerimaan diri
orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Peningkatan penerimaan diri pada ODHA
(aspek-aspek) 1. Memiliki perasaan sederajat 2. Memiliki kepercayaan pada
kemampuan diri. 3. Memiliki tanggung jawab 4. Memiliki orientasi keluar 5. Memiliki pendirian 6. Menyadari keterbatasan 7. Menerima sifat kemanusiaan
Terapi SEFT 1. Set up 2. Tune in 3. Tapping
ODHA dengan penerimaan diri rendah
Penghayatan perasaan penerimaan diri rendah pada ODHA
(aspek-aspek) 1. Tidak memiliki perasaan
sederajat. 2. Tidak percaya pada kemampuan
diri. 3. Tidak Bertanggung jawab. 4. Tidak memiliki orientasi keluar 5. Tidak berpendirian 6. Tidak menyadari keterbatasan 7. Tidak menerima sifat
kemanusiaan
Keterangan: : Menyebabkan : Intervensi
64
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian teori, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah: Ada perbedaan tingkat penerimaan diri pada orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) sebelum dan setelah diberi terapi Spiritual Emotional Freedom
Technique (SEFT).
Gambar 2. Kerangka Teori