bab ii tinjauan pustaka a. resiliensi 1. pengertian...

23
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Pengertian resiliensi menurut Reivich dan Shatte (2002) adalah kemampuan untuk merespon dengan cara yang sehat dan produktif ketika mengahadapi kesulitan atau trauma yang datang menimpa. Individu mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dengan keadaan tertekan dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupan. Al Siebert (dalam Masdianah, 2010) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk mengatasi perubahan yang terjadi, mempertahankan energi, bangkit kembali dari kemunduran, dan merubah cara baru dalam pekerjaan dan kehidupan ketika cara lama tidak mungkin digunakan kembali. Grotberg (dalam Aprilia, 2013) mengartikan resiliensi sebagai daya tahan yang dimiliki seseorang untuk menghadapi, mengatasi, menguatkan dan bahkan memberikan peruabahan dalam pengalaman menghadapi kesulitan. Caverly (dalam Pratiwi & Hartosujono, 2014) memaparkan bahwa resiliensi merupakan mind-set yang mampu meningkatkan seseorang untuk mencari pengalaman baru dan memandang kehidupan sebagai proses yang meningkat.

Upload: others

Post on 01-Jan-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Resiliensi

1. Pengertian Resiliensi

Pengertian resiliensi menurut Reivich dan Shatte (2002) adalah

kemampuan untuk merespon dengan cara yang sehat dan produktif ketika

mengahadapi kesulitan atau trauma yang datang menimpa. Individu

mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang

terjadi dalam kehidupan. Bertahan dengan keadaan tertekan dan bahkan

berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami

dalam kehidupan.

Al Siebert (dalam Masdianah, 2010) mendefinisikan resiliensi

sebagai kemampuan untuk mengatasi perubahan yang terjadi,

mempertahankan energi, bangkit kembali dari kemunduran, dan merubah

cara baru dalam pekerjaan dan kehidupan ketika cara lama tidak mungkin

digunakan kembali. Grotberg (dalam Aprilia, 2013) mengartikan resiliensi

sebagai daya tahan yang dimiliki seseorang untuk menghadapi, mengatasi,

menguatkan dan bahkan memberikan peruabahan dalam pengalaman

menghadapi kesulitan.

Caverly (dalam Pratiwi & Hartosujono, 2014) memaparkan bahwa

resiliensi merupakan mind-set yang mampu meningkatkan seseorang untuk

mencari pengalaman baru dan memandang kehidupan sebagai proses yang

meningkat.

9

Selain itu, menurut Caverly (dalam Pratiwi & Hartosujono, 2014)

resiliensi disebut sebagai kemampuan untuk fokus pada kapabilitas, potensi,

dan sifat positif dibandingkan pada kelemahan dan penderitaan individu.

Holaday (dalam Pratiwi & Hartosujono, 2014) menyatakan bahwa

individu yang memiliki resiliensi mampu untuk secara cepat kembali

kepada kondisi sebelum trauma, terlihat kebal dari berbagai peristiwa-

peristiwa kehidupan yang negatif, serta mampu beradaptasi terhadap stress

yang ekstrem dan kesengsaraan. Selanjutnya, Pratiwi & Hartosujono (2014)

menjelaskan bahwa resiliensi dapat menciptakan dan memelihara sikap

positif untuk mengeksplorasi, sehingga seseorang menjadi percaya diri

berhubungan dengan orang lain, serta lebih berani mengambil resiko atas

tindakannya. Resiliensi juga merupakan suatu cara dalam menghadapi dan

memahami pengalaman traumatik dalam proses kehidupan.

Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

resiliensi merupakan ketahanan seseorang atau individu yang sedang berada

dalam suatu kondisi tertekan untuk menghadapi tekanan tersebut dengan

positif sehingga dapat bangkit dan kembali kepada kondisi awal sebelum

mengalami tekanan tersebut.

2. Aspek-aspek Resiliensi

Dalam teorinya Reivich dan Shatte (2002) memaparkan tujuh aspek

resiliensi :

10

1) Emotion Regulation

Emotion regulation atau regulasi emosi adalah kemampuan

untuk tetap tenang meski di bawah kondisi yang menekan. Individu

dengan regulasi emosi yang baik memiliki dua ciri penting yaitu

tenang (calming) dan fokus (focusing) dalam menghadapi masalah.

Individu yang memiliki regulasi emosi yang baik juga tidak mudah

cemas, marah, maupun sedih. Baron & Byrne (2005) memaparkan

bahwa mengatur emosi merupakan hal yang penting bagi individu

karena akan dibutuhkan saat mengahadapi situasi negatif yang

dalam ranah kehidupan tidak dapat dihindari maka pengaturan

emosi perlu untuk penyesuaian diri secara afektif dan agar dapat

membina hubungan dengan baik.

2) Impulse Control

Impulse control adalah kemampuan individu untuk

mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan atau tekanan-

tekanan yang muncul dari dalam diri. Aspek ini menekankan pada

kemampuan individu untuk mengatur keinginan dari dalam dirinya.

Ini terjadi ketika individu memiliki keinginan atau kesukaan akan

suatu hal namun individu teersebut tidak memenuhi keinginannya

dengan alasan kondisinya misal karena suatu penyakit yang

dideritanya, sehingga individu menahan hal itu atas kesadaran dalam

dirinya demi kebaikannya.

11

3) Optimisme

Optimisme merupakan keyakinan dalam diri individu untuk

dapat mengubah sesuatu yang dihadapi menjadi lebih baik. Saat

seorang individu melihat masa depan yang cemerlang, bagaimana

individu tersebut memandang masa depan dengan keyakinan yang

positif. Sifat dari aspek ini terkait dengan pemahaman kognitif atau

penalaran terhadap apa yang ia hadapi.

4) Causal Analysis

Aspek ini merujuk pada kemampuan untuk mengidentifikasi

secara akurat mengenai penyebab dari permasalahan yang dihadapi.

Hal ini erat kaitannya dengan gaya berpikir seseorang terhadap

sesuatu yang baik maupun buruk. Individu dengan aspek ini

memiliki fleksibilitas dalam berpikir, mengendalikan diri sendiri

untuk fokus pada pemecahan masalahnya, mampu mengenali

penyebab permasalahan, serta secara perlahan mengatasi masalah

tersebut, hingga dapat kembali kepada kehidupan yang semula atau

bangkit dari masalah dan menjadi lebih baik.

5) Empathy

Empathy atau empati berkaitan dengan kemampuan individu

untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang

lain. Individu mengenali sesuatu yang dipikirkan dan dirasakan

orang lain baik melalui ekspresi wajah, nada suara ,maupun bahasa

tubuh yang ditampilkan. Seseorang dengan empati tinggi akan

12

mampu membangun hubungan yang positif antar individu karena

individu dapat merasakan apa yang orang lain rasakan.

6) Self Efficacy

Efikasi diri mempresentasikan sebuah keyakinan bahwa

individu tersebut mengenali kemampuan diri bahwa ia mampu untuk

memecahkan masalah yang dialaminya secara efektif dan ia dapat

mencapai kesuksesan. Sehingga, ia tidak harus terpuruk dengan

keadaannya saat itu. Selain itu menurut Branden (dalam Karyanto,

2004) mengungkapkan self-efficacy sebagai kepercayaan mendasar

seseorang dalam menghadapi tantangan kehidupan. Lebih lanjutnya

Branden (dalam Karyanto, 2004) menjelaskan bahwa memiliki

efikasi diri berarti memiliki kemampuan untuk memproduksi hasil

yang diharapkan.

7) Reaching Out

Reaching Out merupakan kemampuan individu dalam

meraih aspek positif dari kehidupan setelah menghadapi tekanan.

Yakni keinginan individu untuk maju dan memperbaiki diri. Jadi,

bagaimana cara individu untuk menerima keadaannya meski dalam

sebuah tekanan dan keberanian untuk menghadapi resikonya. Pada

aspek ini, memungkinkan individu untuk terus berusaha

meningkatkan aspek positif dalam hidupnya sehingga ia akan

mampu untuk membedakan resiko realistis atau yang tidak

mempunyai makna dan tujuan hidup.

13

Selain itu, Connor & Davidson (2003) menyatakan terdapat 5 aspek

resiliensi yakni :

a. Kompetensi personal, standar yang tinggi dan keuletan

Pada aspek ini, individu mampu berusaha dengan gigih demi

mencapai tujuannya.

b. Percaya diri, toleransi terhadap afeksi negatif, dan kuat dalam

menghadapi stress

Individu yakin terhadap perasaan dan insting yang dimilikinya,

memiliki toleransi adanya emosi negatif dalam diri sehingga

semakin mampu untuk menghadapi stress dimasa yang akan

datang.

c. Penerimaan positif terhadap perubahan dan memiliki hubungan

yang aman dengan orang lain

Indvidu dapat beradaptasi terhadap perubahan kondisi yang

dialami dan menjalin hubungan baik dengan orang lain.

d. Kontrol diri

Individu mampu untuk mengontrol diri dengan mengatur emosi

dan perilaku pada saat menghadapi situasi yang menekan.

e. Spiritual

Merupakan keyakinan individu terhadap Tuhan atas kejadian

yang menimpa diri individu tersebut.

Berdasarkan penjelasan dari Reivich & Shatte (2002) dan Connor &

Davidson (2003) di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Reivich &

14

Shatte resiliensi memiliki tujuh aspek diantaranya: (1) regulasi emosi

kemampuan mengontrol emosi; (2) impulse control, kemampuan

mengontrol keinginan atau dorongan dalam diri; (3) optimisme sebagai

keyakinan individu akan masa depan; (4) causal analysis, berkaitan dengan

gaya berpikir seseorang terhadap segi penyebab kejadian dan

penyelesaiannya; (5) empati, yakni kemampuan membaca kondisi

emosional seseorang; (6) aspek efikasi diri yang menekankan pada

keyakinan individu terhadap kompentensi diri; (7) reaching out yaitu

mengambil aspek positif dari permasalahan untuk menjadi lebih baik.

Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa aspek resiliensi menurut

Connor & Davidson (2003) terdapat 5 aspek yaitu : (a) kompetensi personal,

standar yang tinggi dan keuletan; (b) percaya diri, toleransi terhadap afeksi

negatif, dan kuat dalam menghadapi stress; (c) penerimaan positif terhadap

perubahan dan memiliki hubungan aman dengan orang lain; (d) control diri;

(e) spiritual.

Dari kedua pemaparan aspek di atas peneliti menggunakan 7 aspek

resiliensi yang dikemukakan oleh Reivich & Shatte (2002) sebagai acuan

teori dalam penelitian ini.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Berikut merupakan faktor resiliensi berdasarkan pemaparan Everall

et al. (2006) yaitu:

15

a. Faktor individual

Faktor individual meliputi kemampuan koginitif individu, konsep

diri, harga diri, dan kompetensi sosial yang dimiliki individu. Menurut

Holaday (dalam Ifdil & Taufik, 2012) keterampilan kognitif memiliki

pengaruh yang penting terhadap resiliensi individu. Melalui kemampuan

kognitif individu dapat berpikir bahwa sebab terjadinya bencana bukan

hanya karena kelalaian namun juga merupakan kehendak dari Tuhan

Yang Maha Kuasa. Begitu juga akibatnya, invidu akan berpikir untuk

tidak menyesali apa yang terjadi dan berusaha memaknai dan berusaha

untuk menumbuh- kembangkan semangat dan optimalisasi kemampuan

berpikir untuk menjadi pulih seperti sedia kala. Untuk kembali pulih

diperlukan tingkat intelegensi minimal yaitu rata-rata.

Pada diri individu, berkembangnya resiliensi terkait erat dengan

kemampuan untuk memahami dan menyampaikan sesuatu lewat bahasa

yang tepat, kemampuan membaca, dan komunikasi secara non verbal.

Resiliensi juga dikaitkan dengan kemampuan individu untuk lepas dari

pikiran trauma dan memanfaatkan fantasi, serta harapan yang

ditumbuhkan pada diri individu yang bersangkutan. Dengan demikian,

diyakini bahwa individu yang memiliki intelegensi yang tinggi memiliki

resiliensi yang lebih tinggi juga dibandingkan dengan individu

intelegensi rendah.

16

b. Faktor keluarga

Faktor ini meliputi dukungan orang tua, yaitu bagaimana cara orang

tua memperlakukan dan melayani anak. Keterkaitan emosional dan

batin antara anggota keluarga sangat diperlukan dalam mendukung

pemulihan individu yang mengalami stress dan trauma. Keterikatan

antara anggota keluarga sangat berpengaruh terhadap pemberian

dukungan pada anggota keluarga yang mengalami musibah atau tekanan

untuk dapat pulih dan memandang kejadian secara objektif, serta dalam

menumbuhkan dan meningkatkan resiliensi individu tersebut.

Pada faktor ini, struktur keluarga memiliki peran penting bagi

pemulihan individu. Struktur keluarga yang lengkap terdari dari ayah,

ibu dan anak akan mudah menumbuhkan resiliensi individu. Sebaliknya,

pada struktur keluarga yang tidak utuh dapat menghambat

perkembangan resiliensi individu.

c. Faktor komunitas

Faktor kumunitas ini meliputi kemiskinan dan keterbatasan

kesempatan kerja. Selanjutnya Delgado (dalam LaFramboise et al.,

2006) menambahkan dua hal terkait dengan faktor komunitas, yaitu:

a) Gender

Gender memberikan kontribusi bagi resiliensi individu yang

mempengaruhi resiko kerentanan terhadap tekanan emosional,

perlindungan terhadap situasi yang mengandung resiko, dan respon

terhadap kesulitan yang dihadapi.

17

b) Keterikatan dengan budaya

Faktor ini meliputi keterlibatan individu dalam aktivitas terkait

dengan budaya setempat beserta ketaatan terhadap nilai-nilai yang

diyakini dalam kebudayaan tersebut.

Selanjutnya beberapa faktor resiliensi juga dikemukakan oleh

Grotberg (dalam Anggraini & Hendriani, 2015) :

a. Faktor I Have (External Supports) merupakan faktor yang berhubungan

dengan dukungan eksternal seperti dukungan dari keluarga maupun

sosial. Hubungan yang dilandasi dengan kepercayaan penuh dan kasih

sayang di dalam maupun di luar keluarga. Misalnya individu dapat

berbagi perasaan ketika mengalami tekanan lalu memperoleh dukungan

dan perhatian dari orang-orang di sekitarnya, struktur dan peraturan di

lingkungan yang stabil, memiliki sosok yang diteladani perilakunya

(roles models behavior) yang dapat mengispirasi untuk kuat dalam

menghadapi berbagai kesulitan, serta dorongan untuk mandiri (otonomi)

yang dilakukan dengan menetapkan batasan pada dirinya dan

menyelesaikan persoalannya sendiri jika individu tersebut merasa

mampu.

b. Faktor I am (Inner Strenghts) adalah faktor yang berkaitan dengan

kekuatan dari dalam diri individu yang dikembangkan, seperti mendapat

kasih sayang dan disukai banyak orang, mencintai, memiliki empati dan

kepedulian pada orang lain, dapat menghargai dirinya sendiri dan orang

lain, dapat bertanggung jawab atas perilakunya dan dapat menerima

18

konsekuensi, serta individu yang percaya diri, optimistik dan penuh

harapan meski sedang berada dalam tekanan.

c. Faktor I Can (Interpersonal and Problem Solving Skills) adalah

keterampilan interpersonal dan pemecahan masalah yang dimiliki,

misalnya: menjalin komunikasi dengan orang lain seperti keluarga

maupun teman, berbagi pikiran dan perasaan, memecahkan masalah di

kehidupan, mengelola perasaan orang lain, mengelola emosi atau

perasaan diri sendiri dan reaksi terhadap segala sesuatu dengan tetap

tenang dan fokus dalam menghadapi permasalahan atau tekanan,

berusaha menyelesaikan permasalahan sendiri kecuali jika individu

menghadapi masa-masa yang berat dan memerlukan bantuan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor

yang mempengaruhi resiliensi yaitu faktor internal (yang berasal dalam

invidu) berupa kemampuan dalam menilai suatu sebab akibat kejadian yang

berkaitan dengan intelegensi individu dan faktor eksternal yang meliputi

(faktor keluarga dan komunitas) yakni yang bersal dari luar individu berupa

dukungan, struktur keluarga, gender dan kebudayaan. Adapun 3 faktor

selanjutnya yakni I Have (External Supports) merupakan faktor yang

berhubungan dengan dukungan eksternal seperti dukungan dari keluarga

maupun sosial, kedua adalah faktor I am (Inner Strenghts) faktor ini

berkaitan dengan kekuatan yang terdapat dalam diri individu, dan faktor I

Can (Interpersonal and Problem Solving Skills) yang merupakan

19

kemampuan dan keterampilan yang dimiliki individu dalam menghadapi

dan menyelesaikan suatu permasalahan.

4. Tahapan Resiliensi

Coulson (dalam Purnomo, 2014) menyebutkan terdapat 4 tahapan

atau proses yang terjadi saat individu dihadapkan dalam situasi yang

menekan (significant adversity). Empat tahapan tersebut yaitu:

a. Mengalah (Succumbing)

Yaitu kondisi yang menurun dimana individu mengalah atau

menyerah setelah menghadapi suatu ancaman atau keadaan yang

menekan. Level ini merupakan kondisi ketika individu menemukan

atau mengalami kemalangan yang terlalu bagi individu tersebut.

Penampakan (outcome) dari individu yang berada pada level ini

berpotensi mengalami depresi, menggunakan narkoba sebagai pelarian,

dan pada tataran ekstrim individu dapat bunuh diri.

b. Bertahan (Survival)

Pada tahapan ini individu tidak dapat meraih atau

mengembalikan fungsi psikologis dan emosi positif setelah

menghadapi tekanan. Efek dari pengalaman yang menekan tersebut

membuat individu gagal untuk kembali berfungsi secara wajar dan

berkurang pada beberapa respek. Kondisi individu pada tahap ini yakni

individu dapat mengalami perasaan, perilaku, dan kognitif negatif

20

berkepanjangan. Hal tersebut seperti menarik diri, berkurangnya

kepuasan dalam suatu pekerjaan bahkan depresi.

c. Pemulihan (Recovery)

Pemulihan pada tahap ini diartikan sebagai kondisi ketika

individu mampu pulih kembali pada fungsi psikologis dan emosinya

secara wajar, dan dapat beradaptasi terhadap kondisi yang menekan,

meskipun masih menyisakan efek dari perasaan negatif. Maka pada

level ini, individu sudah dapat kembali beraktivitas dalam kehidupan

sehari-harinya dan menunjukkan diri mereka sebagai individu yang

resilien.

d. Berkembang pesat (Thriving)

Pada tahap terakhir ini individu tidak hanya mampu kembali

pada tahapan fungsi sebelumnya setelah mengalami tekanan, namun

individu mampu minimal melampaui tahap ini pada beberapa respek.

Proses pengalaman individu untuk menghadapi dan mengatasi kondisi

yang menekan serta menantang hidup, mendatangkan kemampuan baru

individu yang membuat individu menjadi lebih baik.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tahap

resiliensi terbagi kedalam 4 tahapan yakni mengalah (succumbing)

yaitu individu dalam kondisi menyerah setelah menghadapi suatu

tekanan; selanjutnya tahap bertahan (survival) yang terjadi saat individu

tidak dapat mengembalikan fungsi emosi dan psikologis setelah

mengalami tekanan; tahap pemulihan (recovery) pada tahap ini individu

21

berada dalam kondisi mulai dapat bangkit kembali pada fungsi emosi

dan psikologisnya, beradaptasi atas kejadian yang menimpa meski

masih menyisakan efek negatif dari tekanan tersebut; terakhir adalah

tahap berkembang pesat (thriving) yakni individu sudah mencapai

fungsi emosi dan psikologis secara baik dan menjadikan pengalaman

terhadap tekanan sebagai kemampuan baru untuk menghadapi

tantangan atau permasalahan yang akan datang.

B. Tunadaksa

1. Pengertian Tunadaksa

Individu tunadaksa sering disebut dengan istilah cacat tubuh, cacat

fisik, dan cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang

berarti rugi atau kurang, dan “daksa” yang berarti tubuh. Cacat yang

dimaksud disini adalah cacat pada anggota tubuh bukan pada indera

(Atmaja, 2018). White House Conference (dalam Somantri, 2006)

mengartikan tunadaksa sebagai suatu keadaan rusak atau terganggu akibat

gangguan bentuk atau hambatan pada tulang otot, sendi dalam fungsinya

yang normal yang disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau disebabkan

oleh pembawaan sejak lahir.

Tunadaksa menurut Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang

Penyandang Cacat atau Tunadaksa (dalam Novianti, 2008) diasosiasikan

dengan kerusakan atau kelainan yang berhubungan dengan tulang, sendi,

otot dan sistem syaraf. Selain itu menurut Suroyo (dalam Pratiwi &

Hartosujono, 2014) tunadaksa berarti ketidakmampuan anggota tubuh untuk

melaksanakan fungsi secara normal akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan

22

yang tidak sempurna. Menurut Somantri (2006) ketunadaksaan yang

dialami seseorang secara garis besar disebabkan oleh faktor bawaan seperti

keturunan, trauma, infeksi saat masa kehamilan, usia ibu yang sudah lanjut

pada waktu kehamilan, terjadi pendarahan waktu hamil, serta penggunaan

alat bantu kelahiran dan faktor bukan bawaan yang meliputi: infeksi virus,

trauma, kecelakaan dan tumor.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tunadaksa merupakan suatu kondisi

hilangnya tau tidak berfungsinya anggota tubuh secara normal akibat

kecelakaan maupun penyakit yang dialami individu sehingga menimbulkan

kesulitan pada individu tersebut dalam melakukan kegiatannya. Hal ini

disebabkan faktor bawaan, seperti infeksi saat masa kehamilan dan faktor

bukan bawaan, yaitu ketunakdaksaan yang terjadi setelah kelahiran akibat

kecelakaan, penyakit atau mengalami trauma.

2. Macam-macam Tunadaksa Bukan Bawaan

Menurut Frances G.Koening (dalam Somantri, 2006) tunadaksa

bukan bawaan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Infeksi: tuberkulosis tulang (menyerang sendi paha sehingga

menjadi kaku), osteomyelitis (radang di dalam dan sekeliling

sumsum tulang karena bakteri), poliomyelitis (infeksi virus yang

mungkin menyebabkan kelumpuhan), pott’s disease (tuberkulosis

sumsum tulang belakang), still’s disease (radang pada tulang yang

menyebabkan kerusakan permanen pada tulang), tuberculosis pada

lutut atau sendi.

23

b. Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik: berupa amputasi

(anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan), kecelakaan akibat luka

bakar, dan patah tulang.

c. Tumor: oxostosis (tumor tulang), osteosis fibrosa cystica (kista atau

kantang yang berisi cairan di dalam tulang).

3. Dampak Tunadaksa

Ketunadaksaan yang dialami oleh seseorang akan memberikan

dampak pada dirinya baiknya dari segi fisik dan psikologis. Individu

yang menjadi penyandang tunadaksa pada usia lebih besar

mengalaminya sebagai suatu yang mendadak. Hal ini dikarenakan

individu tersebut pernah menjalani kehidupan sebagai individu normal

sehingga keadaanya menjadi penyandang tunadaksa dianggap sebagai

suatu kemunduran yang sulit diterima oleh dirinya (Somantri, 2006).

Soetjaningsih (dalam Karyanto, 2004) menjelaskan bahwa remaja yang

mengalami cacat tubuh lebih cenderung hidup hidup dalam

lingkungannya sendiri, dengan sikap-sikap negatif, penuh prasangka

dan rendah diri.

Sejalan dengan yang dikemukakan Misbach (dalam Qomariyah

& Nurwidawati, 2017) bahwa penyandang tunadaksa tidak jarang

mengalami gangguan psikologis terkait perasaan tidak berguna, tidak

mampu, malu, minder, mengalami kecemasan dan permasalahan

psikologis lainya. Pratiwi & Hartosujono (2014) menyatakan bahwa

seseorang yang baru mengalami kecacatan akan menunjukkan reaksi

24

menolak hal itu karena tidak dapat disangkal bahwa keadaan fisik

manusia sangat mempengaruhi seluruh kepribadian dan dapat

menimbulkan tekanan. Tekanan yang dialami oleh penyandang cacat

cenderung membuat cara berpikir tidak akurat.

Berdasarkan hasil penelitian (Beyond The Body Image : a

qualitative study on how adults experience lower limb amputation)

Senra et al., (2012) individu yang mengalami perubahan fisik menjadi

penyandang disabilitas biasanya dikaitkan dengan beberapa perubahan

dalam kehidupan pribadinya yang dapat mempengaruhi kesejahteraan

individu, kualitas hidup dan mengalami perubahan psikologis seperti

munculnya perasaan rendah diri, cemas, frustasi, depresi, kecemasan

terhadap gambaran tubuhnya, timbulnya ketidaknyamanan sosial dan

lebih banyak bergantung pada orang lain setelah kondisi fisiknya

berubah.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Atmaja (2018),

dampak sosial emosi individu tunadaksa bermula dari konsep diri

individu yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban

bagi orang lain. Hal tersebut berdampak pada problem emosi, seperti

mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat bergaul,

pemalu, menyendiri, dan bahkan menjadi frustasi. Maka dari itu, tidak

jarang dari mereka tidak memiliki rasa peracaya diri dan kurang dapat

menyesuaiakan diri dengan lingkungan sosialnya.

25

Selain itu dalam penelitian Herman (2015) mengenai resiliensi

pada penyandang tunadaksa dapat ditarik kesimpulan bahwa dampak

dari pengalaman traumatis yang dialami subjek sebagai penyandang

tunadaksa merupakan stressor awal individu merasa tertekan karena

ketidakmampuan anggota tubuh untuk berfungsi seperti sebelumnya.

Tekanan tersebut akan bertambah besar jika adanya respon kurang baik

dari lingkungan dan muculnya kehawatiran mengenai masa depannya.

Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

ketudaksaan yang dialami seseorang menimbulkan dampak fisik dan

psikologis. Dampak fisik seperti terhambatnya aktifitas karena

ketidakmampuan anggota tubuh sehingga perlu bantuan oranglain.

Adapun dampak psikologis seperti munculnya perasaan rendah diri,

cemas, malu, mengalami ketidaknyamanan berinteraksi dengan orang

lain, problem emosi seperti mudah marah dan tersinggung. Namun,

pada individu yang mengalami ketunadaksaan pada usia lebih besar

akan memberikan dampak yang lebih besar pada aspek psikologisnya.

C. Resiliensi Pada Remaja Penyandang Tunadaksa Bukan Bawaan

Masa remaja disebut sebagai masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa

yang melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosio emosional (Santrock,

2007). Individu yang berada pada fase ini berusia 11 hingga 24 tahun (Sarwono,

2015). Selanjutnya, Havighurst (dalam Sarwono, 2015) menjelaskan tentang

tugas perkembangan remaja yaitu dapat menerima kondisi fisiknya dan

memanfaatkan tubuhnya secara efektif, menerima peran sesuai jenis kelamin dan

hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin berbeda,

26

berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua dan

dewasa lainnya, mempersiapkan karir ekonomi, perkawinan dan kehidupan

berkeluarga, merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab,

mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah laku.

Pada saat remaja mengalami perubahan fisik menjadi penyandang

tunadaksa akibat kecelakaan atau suatu penyakit, remaja tersebut perlu lebih

keras untuk menyelesaikan tugas perkembangannya. Atmaja (2018)

mendefinisikan tunadaksa sebagai gangguan pada anggota tubuh baik yang

disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan pembawaan

sejak lahir. Remaja tunadaksa bukan bawaan diartikan sebagai remaja yang

awalnya terlahir normal dan mengalami kekurangan fisik atau cacat tubuh akibat

kecelakaan atau suatu penyakit. Menurut Somantri (2006) ketunadaksaan yang

terjadi saat usia lebih besar seperti remaja dianggap sebagai suatu hal mendadak

dan akan menunjukkan efek yang lebih kecil terhadap perkembangan fisik,

namun menimbulkan efek yang lebih besar pada perkembangan psikologis yang

bersangkutan.

Menurut Neivid dkk (dalam Arianti & Pratiwi, 2017) perubahan pada

kondisi fisik yang terjadi pada individu tunadaksa bukan bawaan dapat

mempengaruhi perubahan-perubahan lain yang terjadi pada diri individu

meliputi perubahan emosi, perubahan motivasi, perubahan fungsi motorik, dan

perubahan kognitif. Selanjutnya Atmaja (2018) menjelaskan dampak psikologis

akibat dari ketunadaksaan dan pengalaman pribadi individu bergantung pada

tingkat ketunaan yang disandang, waktu kejadian perubahan kondisi fisiknya,

27

kualitas kecacatan, dan karakteristik susunan jiwa. Sehingga, pada situasi ini,

resiliensi diperlukan agar individu mampu secara cepat kembali kepada kondisi

sebelum trauma, kebal menghadapi berbagai peristiwa kehidupan yang negatif

dan mampu beradaptasi dari stress yang ekstrem dan kesengsaraan (Holaday

dalam Pratiwi, 2014). Resiliensi merupakan suatu kemampuan individu

menghadapi kesulitan dan tekanan dengan cara yang sehat dan produktif

(Reivich & Shatte, 2002).

Bagi penyandang tunadaksa bukan bawaan untuk menjadi pribadi yang

resilien bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan proses yang melibatkan berbagai

aspek yang berperan dalam membentuk pribadi resilien. Reivich & Shatte (2002)

mengemukakan terdapat tujuh aspek resiliensi. Ketujuh aspek tersebut adalah,

regulasi emosi, impuls control, optimisme, causal analysis, empati, efikasi diri,

dan reaching out.

Menurut Aprilia (2013) individu yang resilien akan mampu untuk bertahan

di bawah tekanan atau kesedihan dan tidak menunjukkan suasana hati yang

negatif terus menerus. Selanjutnya, apabila resiliensi dalam diri seseorang

meningkat, maka ia akan mampu mengatasi masalah apapun, mampu

meningkatkan potensi diri, menjadi optimis, muncul keberanian dan kematangan

emosi. Anggraini & Hendriani (2015) menyatakan bahwa seseorang yang telah

mampu bangkit dan memulihkan diri dari kondisi psikologis yang tertekan, ia

akan dapat menetapkan rencana-rencana perubahan atau melakukan berbagai

penyesuaian yang positif dalam aktivitas sehari-harinya.

28

O’leary dan Lekovics (dalam Purnomo, 2014) menjelaskan terdapat empat

tahapan yang dilalui individu dalam mencapai resiliensinya yakni tahap

mengalah, pada tahap ini remaja penyandang tunadaksa baru saja mengalami

tekanan yang berat seperti kehilangan anggota tubuhnya sehingga pada level ini

memungkinkan adanya depresi, penggunaan obat terlarang maupun bunuh diri.

Pada tahap kedua remaja tunadaksa belum dapat mengembalikan fungsi

psikologis maupun emosi positif setelah mengalami kejadian tersebut, tahap ini

disebut sebagai tahap bertahan (survival). Selanjutnya, Oleary dan Lecovics

(dalam Purnomo 2014) menjelaskan tahap ketiga proses resiliensi yang

merupakan tahap pemulihan (recovery). Pada tahapan ini, fungsi psikologis dan

emosi remaja tunadaksa bukan bawaan sudah mampu pulih kembali pada

keadaan yang wajar dan dapat beradaptasi akan kondisinya meskipun masih

menyisihkan efek atau dampak perasaan-perasaan negatif yang dialaminya. Pada

tahap terakhir, remaja tunadaksa bukan bawaan tidak hanya sebatas mampu

kembali pada tahapan fungsi sebelumnya, namun dirinya akan menjadikan

pengalaman tersebut sebagai jembatan dalam menghadapi dan mengatasi

kondisi yang menekan lainnya, serta menantang hidup untuk membuat diri

menjadi lebih baik lagi.

Bagi penyandang tundaksa, untuk mencapai resiliensi yang baik bukanlah

hal yang mudah karena setiap individu memiliki resiliensi yang berbeda dalam

kemampuannya untuk bangkit dan mengatasi berbagai perubahan yang berbeda

(Qomariyah & Nurwidawati, 2017). Hal ini lebih dijelaskan oleh Grottberg

(dalam Qomariyah & Nurwidawati, 2017) yang menyatakan bahwa kualitas

29

resiliensi tiap individu tidaklah sama, sebab kualitas resiliensi seseorang sangat

ditentukan oleh tingkat usia, taraf perekembangan, intensitas seseorang dalam

menghadapi situasi-situasi yang tidak menyenangkan, serta seberapa besar

dukungan sosial dalam pembentukan resilien seseorang.

Terdapat 3 faktor resiliensi menurut Everall et al.(2006) yaitu faktor

individual yang meliputi kemampuan kognitif individu, konsep diri, harga diri,

dan kompetensi sosial yang dimiliki individu. Faktor selanjutnya merupakan

faktor keluarga yang meliputi dukungan orang tua dengan bagaimana cara orang

tua memperlakukan dan melayani anak, dan pentingnya peran struktur keluarga.

Menurut Everall et al.(2006) struktur keluarga yang utuh terdiri dari ayah, ibu

dan anak akan mudah menumbuhkan resiliensi, sebaliknya pada struktur

keluarga yang tidak utuh dapat menghambat pertumbuhan resiliensi. Faktor

terakhir yang dijelaskan oleh Everal et al (2006) adanya faktor komunitas yang

terkait dengan kondisi ekonomi dan keterbatasan kesempatan kerja, selain hal

itu pada faktor ini di tambahkan oleh kontribusi gender atau jenis kelamin dan

keterikatan budaya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

ketunadaksaaan yang dialami seseorang akan berdampak besar terhadap

kehidupannya. Remaja yang menjadi penyandang tunadaksa dapat menghadapi

situasinya dengan cara yang lebih positif maupun negatif. Bagi remaja yang

resilien akan lebih percaya terhadap dirinya bahwa ia mampu untuk menjalani

kondisinya saat ini dan berupaya tidak terlalu terpuruk dalam kesedihan dan

kekecewaan. Untuk mencapai hal tersebut remaja tunadaksa bukan bawaan

30

membutuhkan proses yang cukup panjang dengan melalui empat tahap proses

resiliensi yaitu tahap mengalah, tahap bertahan, tahap pemulihan, dan tahap

berkembang pesat (recovery). Resiliensi remaja penyandang tunadaksa bukan

bawaan dapat dilihat dari tujuh aspek resiliensi yakni regulasi emosi, impulse

control, optimisme, causal analysis, empati, efikasi diri, dan reaching out.

Selain hal tersebut, adanya faktor yang mempengaruhi resiliensi seperti faktor

individual, faktor keluarga, dan faktor komunitas yang meliputi gender dan

budaya.

D. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana gambaran resiliensi pada remaja penyandang tunadaksa bukan

bawaan?