bab ii tinjauan pustaka a. suweg (amorphophallus ... · terdiri atas 25 - 30 unit d-glukosa ......
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Suweg (Amorphophallus campanulatus B)
Suweg (Amorphophallus campanulatus B) merupakan tanaman herba yang
mulai bertunas di awal musim kemarau dan pada akhir tahun di musim kemarau
umbinya bisa dipanen (Kasno, dkk., 2009). Umbi suweg mengandung pati tinggi
yaitu 18,44% (Utomo dan Antarlina, 1997). Ukuran umbi suweg bisa mencapai
diameter lebar 40 cm. Bentuknya bundar agak pipih. Diameter tinggi umbi bisa
mencapai 30 cm. Seluruh permukaan kulit suweg penuh dengan bintil-bintil dan
tonjolan yang sebenarnya merupakan anak umbi dan tunas. Sedangkan di bagian
atas tepat di tengah-tengah lingkaran umbi, terletak tunas utamanya. Bobot umbi
suweg bisa mencapai 10 kg lebih (Anonymous, 2010). Menurut Lingga (1992),
komposisi zat gizi masing-masing varietas berbeda. Perbedaan tersebut
dipengaruhi oleh umur tanam dan keadaan tanah tempat tumbuhnya.
Suweg mempunyai prospek untuk produk tepung umbi maupun tepung pati.
Sifat fisikokimia suweg mempunyai amilosa rendah (24,5%) dan amilopektin
tinggi (75,5%) (Wankhede dan Sajjan, 1981). Implikasi hasil penelitian untuk
menggali potensi sumber karbohidrat sebagai tepung komposit ataupun sebagai
bahan industri perpatian (Richana dan Sunarti, 2009). Menurut
Tjokroadikoesoemo (1986), perbandingan antara amilosa dan amilopektin sangat
bervariasi, bergantung pada jenis tumbuh-tumbuhan penghasilnya.
4
5
Menurut Sutomo (2007), kandungan suweg dalam 100 gram bahan dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia setiap 100 gram umbi suweg
Komposisi Jumlah Protein Lemak Karbohidrat Kalsium Besi Thiamin Asam Askorbat
1,0 g 0,1 g 15,7 g 62 mg 4,2 g
0,07 mg 5 mg
Sumber : Sutomo (2007)
Komponen lainnya dari umbi suweg yang perlu mendapatkan perhatian
dalam penanganannya adalah kalsium oksalat. Kristal kalsium oksalat pada umbi
suweg dapat menyebabkan rasa gatal. Kristal kalsium oksalat merupakan produk
buangan dari metabolism sel yang sudah tidak digunakan lagi oleh tanaman
(Nugroho, 2000).
B. Pati Suweg
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glukosidik.
Berbagai macam pati tidak sama sifat nya, tergantung dari panjang rantai C – nya
serta lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati mempunyai dua ujung berbeda,
yakni ujung non reduksi dengan gugus OH bebas yang terikat pada atom nomor 4
dan ujung perduksi dengan gugus OH anomerik. Gugus hidroksil dari polimer
berantai lurus / bagian lurus dari struktur berbentuk cabang yang terletak sejajar
akan berasosiasi melalui ikatan hidrogen yang mendorong pembentukan kristal
pati. Pati terdiri dari 2 fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi
6
terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak larut disebut amilopektin. Amilosa
mempunyai struktur lurus dan amilopektin mempunyai rantai cabang (Winarno,
1989).
Konsentrasi larutan pati yang telah mengalami hidrolisis pendahuluan
dengan enzim α-amilase yang optimum adalah sekitar 30-35% berat bahan kering
(Tjokroadikoesoemo, 1986).
Tabel 2. Komposisi kimia pati suweg (%)
Komposisi Jumlah Kadar Air Kadar Abu Lemak Protein Pati - Amilosa - Amilopektin
10,55 0,58 0,10 0,27 88,50 24,50 75,50
Sumber : Wankhede dan Sajjan (1981)
1. Amilosa
Amilosa merupakan polimer rantai lurus yang dibangun oleh ikatan α-(1,4)-
glikosidik dan pada setiap rantai terdapat 500-2000 unit D-glukosa. Rantai
amilosa berbentuk heliks. Bagian dalam stuktur heliks mengandung atom H
sehingga bersifat hidrofob yang memungkinkan amilosa membentuk komplek
dengan asam lemak bebas, komponen asam lemak dari gliserida. Sejumlah
alkohol dan iodin pembentuk komplek amilosa dengan lemak atau pengemulsi
dapat mengubah suhu gelatinisasi, tekstur dan profil viskositas dari pasta pati
(Estiasih, 2006). Menurut Tranggono (1991), pada fraksi linier glukosa
dihubungkan satu dan lainnya dengan ikatan α-1,4 glikosidik. Fraksi
7
linier merupakan komponen minor yaitu kurang lebih 17-30% dari total. Namun
pada beberapa varietas kapri dan jagung, patinya mengandung amilosa sampai
75%. Warna biru yang diproduksi oleh pati dalam reaksinya dengan iodin
berkaitan erat dengan fraksi linier tersebut. Rantai polimer ini mengambil bentuk
heliks yang kumparannya dapat dimasuki oleh berbagai senyawa seperti iodin.
Pemasukkan iodin kedalam molekul itu karena adanya efek dua kutub reduksi dan
akibat resonansi sepanjang heliks. Setiap satu lengkungan heliks tersusun dari
enam satuan glukosa dan membungkus satu molekul iodin. Panjang rantai
menentukan macam warna diproduksi dalam reaksinya dengan iodin. Amilosa
umumnya dikatakan sebagai bagian linier dari pati, meskipun sebenarnya jika
dihidrolisis dengan α-amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil
hidrolisis yang sempurna. Alfa-amilase menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit
residu glukosa dengan memutuskan ikatan α-1,4 (Muchtadi,dkk., 1992).
Struktur kimia Amilosa dan Amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 1. Struktur kimia Amilosa (Anonimous, 2009)
2. Amilopektin
Amilopektin adalah polimer berantai cabang dengan ikatan α-(1,4)-
glikosidik dan ikatan α-(1,6)-glikosidik di tempat percabangannya. Setiap cabang
terdiri atas 25 - 30 unit D-glukosa (Inglet dan Leneback, 1982). Amilopektin
8
merupakan molekul paling dominan dalam pati. Dalam granula pati rantai
amilopektin mempunyai keteraturan susunan. Rantai cabang amilopektin
mempunyai sifat seperti amilosa yaitu dapat membentuk struktur heliks
diperkirakan 4-6 % ikatan dalam setiap molekul amilopektin adalah ikatan α-1,6.
Nilai tersebut walaupun kecil tetapi mempunyai dampak sekitar lebih dari 20.000
percabangan untuk setiap molekul amilopektin. Sifat amilopektin berbeda dengan
amilosa karena banyak percabangan seperti retrogradasi lambat dan pasta yang
terbentuk tidak dapat membentuk gel tetapi bersifat lengket (kohesif) dan elastis
(gummy texture) (Estiasih, 2006).
Selain perbedaan struktur, panjang rantai polimer, dan jenis ikatannya,
amilosa dan amilopektin mempunyai perbedaan dalam hal penerimaan terhadap
iodin (Subekti, 2007). Amilopektin dan amilosa mempunyai sifat fisik yang
berbeda. Amilosa lebih mudah larut dalam air dibandingkan amilopektin.
Berdasarkan reaksi warnanya dengan iodium, pati juga dapat dibedakan
dengan amilosa dan amilopektin. Pati bila berikatan dengan iodium akan
menghasilkan warna biru karena struktur molekul pati yang berbentuk spiral,
sehingga akan mengikat molekul yodium dan membentuk warna biru.
Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa pati akan merefleksikan warna biru bila
polimer glukosa nya lebih besar dari 20 (seperti amilosa). Bila polimer
glukosanya kurang dari 20, seperti amilopektin, akan dihasilkan warna merahatau
ungu-coklat. Sedangkan polimer yang lebih kecil dari lima, tidak memberi warna
dengan iodium (Koswara, 2009).
9
Dalam produk makanan amilopektin bersifat merangsang terjadinya proses
mekar (puffing) dimana produk makan yang berasal dari pati yang kandungan
amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, garing dan renyah. Kebalikannya pati
dengan kandungan amilosa tinggi, cenderung menghasilkan produk yang keras,
pejal, karena proses mekarnya terjadi secara terbatas (Koswara, 2009).
Struktur kimia Amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur kimia Amilopektin (Anonimous, 2009)
Pada proses pembuatan pati suweg juga dibutuhkan larutan garam (NaCl).
Menurut Syafii (1981), fungsi perendaman garam dapur 5% pada proses
pembuatan pati suweg adalah untuk mencegah terjadinya pencoklatan dan
penyeragaman warna, selain itu juga sebagai penetral alkaloid, mempercepat
pelarutan kalsium oksalat dan memperpanjang masa simpan pati yang dihasilkan.
Menurut Rindasmara (2008), pencucian dan perendaman dengan air
berfungsi untuk menghilangkan zat-zat pengotor pada umbi. Penurunan kadar
kalsium oksalat terjadi karena reaksi antara natrium klorida (NaCl) dan kalsium
oksalat (CaC2O4). Garam (NaCl) dilarutkan dalam air terurai menjadi ion-ion Na+
dan Cl-. Ion-ion tersebut bersifat magnet. Ion Na+ menarik ion-ion yang
10
bermuatan negatif dan ion Cl- menarik ion-ion yang bermuatan positif. Kalsium
oksalat (CaC2O4) dalam air terurai menjadi ion Ca2+ dan C2O42-. Na+ mengikat
C2O42- membentuk natrium oksalat (Na2C2O4). Ion Cl- mengikat Ca2+
membentuk endapan putih kalsium klorida (CaCl2) yang mudah larut dalam air.
Mekanisme reaksi pengikatannya adalah sebagai berikut:
NaCl + CaC2O4 + H2O Na2C2O4 + CaCl2
Gambar 3. Reaksi pengikatan Natrium klorida dan Kalsium oksalat (Ridasmara, 2008)
C. Enzim alfa-amilase
Enzym α-amilase murni dapat diperoleh dari malt (barley), ludah manusia,
pankreas, dan diisolasi dari Aspergillus oryzae dan Bacillus subtilis (pada suhu
70˚C-90˚C dan pH 6 selama 15 menit) (Winarno, 1995). Enzim α-amilase adalah
endo-enzim yang bekerjanya memutus ikatan α-1,4 secara acak di bagian dalam
molekul baik pada amilosa maupun amilopektin. Pengaruh aktivitasnya, pati
terputus-putus menjadi dekstrin dengan rantai sepanjang 6-10 unit glukosa
(Tjokroadikoesoemo,1986). Golongan enzim α-amilase yang tahan pada
temperature tinggi digunakan pada proses liquifikasi (Muchtadi, dkk.,1992).
Liquozyme supra adalah suatu cairan enzim α-amilase yang sangat stabil
terhadap panas, dan digunakan untuk memecah pati. Liquozyme supra merupakan
hasil pengolahan protein dan berasal dari Bacillus licheniformis. Liquozyme supra
berupa cairan berwarna coklat dan memiliki densitas sebesar 1,25 g/ml dan
mempunyai aktivitas enzim sebesar 90 KNU(T)/g. Jumlah penggunaan (dosis)
terbaik liquozyme supra adalah 0,25 – 0,65 kg/ton, melakukan aktivitas pada pH
11
optimal 5,3 dengan tingkat kalsium sebanyak 5 – 20 ppm, suhu optimal
liquozyme supra adalah 105-110ºC dan dilakukan pada suspensi pati (Anonimous,
2001).
Hidrolisis amilosa oleh enzim α-amilase terjadi dalam 2 tahap. Tahap
pertama, degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara
acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat dan diikuti dengan menurunnya viksositas
dengan cepat pula. Kedua, relatif sangat lambat yaitu pembentukan glukosa dan
maltosa sebagai hasil akhirnya (Muchtadi, dkk.,1992).
Cara kerja α-amilase pada molekul amilopektin akan menghasilkan glukosa,
maltosa dan berbagai jenis α-limit dekstrin. Jenis α-limit dekstrin yaitu
oligosakarida yang terdiri dari 4 atau lebih residu glukosa yang semuanya
mengandung ikatan α-1,6. Aktivitas α-amilase ditentukan dengan mengukur hasil
degradasi pati, biasanya diukur dari penurunan kadar pati yang larut atau dari
kadar amilosa bereaksi dengan iodium akan berwarna coklat. Selain itu keaktifan
α-amilase dapat dinyatakan dengan cara pengukuran viskositas dan jumlah
pereduksi yang terbentuk. Hidrolisis amilosa akan lebih cepat daripada hidrolisis
rantai yang bercabang seperti amilopektin atau glikogen. Laju hidrolisis akan
meningkat bila tingkat polimerisasi menurun, dan laju hidrolisis akan lebih cepat
pada rantai lurus (Winarno, 1995). Reaksi pembentukan dekstrin menurut Othmer
( 1976) :
α-amilase C6H10O5 + H2O C12H22O11
Pati Dekstrin
Gambar 4. Reaksi pembentukan Dekstrin
12
Gambar 5. α-amilase yang memotong rantai pati secara acak pada ikatan α-1,4 (Tjokroadikoesoemo, 1986)
Menurut (Rodwell, 1987), faktor utama yang mempengaruhi aktifitas enzim
adalah :
1. pH
Enzim mempunyai aktivitas maksimal pada kisaran pH yang disebut pH
optimum. Suasana terlalu asam atau alkali akan mengakibatkan denaturasi protein
dan hilangnya secara total aktifitas enzim. pH optimal untuk beberapa enzim pada
umumnya terletak diantara netral atau asam lemah yaitu 4,5-8 dan pH optimal
untuk enzim Liquozyme supra yaitu 5,1-5,6. pH optimum sangat penting untuk
menentukan karakteristik enzim. Pada substrat yang berbeda, enzim memiliki pH
optimum yang berbeda (Tranggono dan Sutardi, 1990). Menurut Winarno (1995),
enzim yang sama mempunyai pH optimum yang berbeda tergantung pada asal
enzim.
2. Suhu
Enzim mempercepat reaksi kimia pada sel hidup. Dalam batas-batas suhu
tertentu kecepatan reaksi yang dikatalisis enzim akan naik bila suhunya naik.
13
Reaksi yang paling cepat terjadi pada suhu optimum (Rodwell, 1987). Oleh
karena itu penentuan suhu optimum aktivitas enzim sangat perlu karena apabila
suhu terlalu rendah maka kestabilan enzim akan naik tetapi aktifitas turun,
sedangkan pada suhu tinggi aktivitas enzim tinggi tetapi kestabilan rendah
(Muchtadi, dkk., 1988) namun, kecepatan akan menurun drastis pada suhu yang
lebih tinggi. Hilangnya aktifitas pada suhu tinggi karena terjadinya perubahan
konfirmasi thermal (denaturasi) enzim. Kebanyakan enzim tidak aktif pada suhu
sekitar 55-60˚C (Rabyt and White, 1987).
3. Konsentrasi substrat
Kecepatan reaksi enzimatis pada umumnya tergantung pada konsentrasi
substrat. Kecepatan reaksi akan meningkat apabila konsentrasi substrat
meningkat, peningkatan kecepatan reaksi ini akan semakin kecil hingga tercapai
pada suatu titik batas yang pada akhirnya penambahan konsentrasi substrat hanya
akan sedikit meningkatkan kecepatan (Lehninger, 1997). Menurut Lindawati
(2006), semakin tinggi kecepatan reaksi enzim maka semakin banyak pati yang
terhidrolisis, namun setelah hampir semua pati terhidrolisis kecepatan reaksi
enzim akan berkurang.
4. Konsentrasi enzim
Menurut Whitaker (1996), panambahan konsentrasi enzim akan
meningkatkan kecepatan reaksi bila substrat tersedia secara berlebih. Kecepatan
reaksi dalam reaksi enzim sebanding dengan konsentrasi enzim, semakin tinggi
konsentrasi enzim maka kecepatan reaksi akan semakin tinggi, sehingga pada
14
batas konsentrasi tertentu dimana hasil hidrolisis akan konstan dengan tingginya
konsentrasi enzim yang disebabkan penambahan enzim sudah tidak efektif
(Martin, 1983).
5. Aktivator dan Inhibitor
Beberapa enzim memerlukan aktivator dalam reaksi katalisnya. Aktivator
adalah senyawa atau ion yang dapat menaikan kecepatan reaksi enzimatis.
Komponen kimia yang membentuk aktifitas enzim disebut juga kofaktor.
Kofaktor tersebut dapat berupa ion anorganik seperti Zn ²+, Fe ²+, Ca ²+, Mn ²+,
Cu ²+ dan Mg ²+ atau dapat pula sebagai molekul organik komplek yang disebut
koenzim. Pada umumnya ikatan senyawa organik dengan protein enzim itu lemah
apabila ikatanya kuat disebut gugus prostetis (Martoharsono, 1984). Selain
aktivator juga dipengaruhi oleh inhibitor, inhibitor adalah senyawa atau ion yang
dapat menghambat aktivitas enzim (Lehninger, 1997).
Tabel 3. Perbandingan Enzim Komersil dan Enzim Non Komersil
Kondisi Enzim Komersil (Sorini Corp.)
Enzim Non Komersil (Judoamidjojo, 1992)
Liqufikasi Suhu Dosis Waktu pH
Liquozyme Supra 105-110˚C
0,25-0,65 kg/ton 60-180 menit
5,3
α-amilase 95-105˚C
- 120 menit
4,8-6,5
D. Proses Hidrolisa Pati
Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), hidrolisa adalah proses kimia yang
menggunakan air sebagai pemecah suatu senyawa. Hidrolisa pati dilakukan
15
dengan proses konversi basah dan katalis asam, proses konversi basah dengan
enzim serta proses konversi kering. Hidrolisa pati dengan asam mempunyai
kelemahan, antara lain yaitu diperlukan peralatan yang tahan korosi,
menghasilkan sakarida dengan spectra-spektra tertentu saja karena katalis asam
menghidrolisa secara acak. Kelemahan lain terjadi degradasi karbohidrat dan
rekombinasi produk degradasi yang dapat mempengaruhi warna dan rasa.
Hidrolisa pati dengan enzim dapat mencegah adanya reaksi sampingan karena
sifat katalis enzim sangat spesifik, sehingga dapat mempertahankan flavour bahan
dasar (Judoamidjojo, 1992). Hidrolisa pati dengan proses konversi kering,
molekul pati diperkecil ukurannya sampai pada suatu tingkat dimana molekul
tersebut dapat larut dalam air dingin (Anonimous, 2001).
Menurut Tranggono (1991), proses hidrolisa pati pada dasarnya adalah
pemutusan rantai polimer pati (C6H10O5)n menjadi unit-unit glukosa atau
dekstrosa (C6H12O6). Produk-produk hasil hidrolisis pati umumnya dikaterisasi
berdasar tingkat derajat hidrolisisnya dan dinyatakan dengan nilai DE (Dextrose
Equivalent) yang didefinisikan sebagai banyaknya total gula pereduksi dinyatakan
sebagai dekstrosa dan dihitung sebagai prosentase terhadap total bahan kering.
Proses konversi dengan asam dalam praktek mempunyai batas DE 55, karena
diatas nilai ini mempunyai pewarnaan gelap dan rasa pahit. Tergantung dari tipe
proses yang digunakan serta kondisi reaksinya berbagai macam produk dapat
diperoleh. Menurut Judoamidjojo (1992), bila nilai DE lebih dari 55, akan
mengakibatkan molekul gula itu bergabung dan menghasilkan bahan pembentuk
warna seperti 5-Hidroksimetilfurfural atau asam levulinat.
16
Pada hidrolisis sempurna, pati seluruhnya dikonversi menjadi dektrosa,
derajat konversi tersebut dinyatakan dengan dextrose equivalent (DE), dari larutan
tersebut diberi indeks 100 (Tjokroadikeoesoemo, 1986).
Menurut Dziedzic dan Kearsley (1995), dekstrosa murni adalah dekstrosa
dengan derajat polimerisasi atau (unit dekstrosa tunggal) suatu produk hidrolisis
pati dengan nilai DE 15.
E. Dekstrin
Telah dilakukan usaha pengembangan teknologi pembuatan dekstrin (pati
termodifikasi) dari pati berasal dari umbi suweg dengan proses hidrolisa cara
enzimatis.
Dekstrin (dengan nama lain : Anylin) merupakan polimer D-glukosa yang
merupakan hasil antara hidrolisis pati (Ruqoiyah, 2002). Dekstrin adalah produk
hidrolisa zat pati, berbentuk zat amorf berwarna putih sampai kekuning-kuningan
(SNI, 1989). Dekstrin merupakan produk degradasi pati sebagai hasil hidrolisis
tidak sempurna pati dengan katalis asam atau enzim pada kondisi yang di kontrol.
Dekstrin umumnya berbentuk bubuk dan berwarna putih sampai kuning keputihan
(Anonimous, 2009).
Dekstrin merupakan produk degradasi pati yang dapat dihasilkan dengan
beberapa cara yaitu memperlakukan suspensi pati dalam air dengan asam atau
enzim pada kondisi tertentu, atau degradasi / pirolisis pati dalam bentuk kering
dengan menggunakan perlakuan panas atau kombinasi antara panas dan asam atau
17
katalis lain. Dekstrin mempunyai rumus kimia (C6H10O5)n dan memiliki struktur
serta karakteristik intermediate antara pati dan dextrose (Anonimous, 2009).
Gambar 6. Struktur kimia Dekstrin (Anonimous, 2009)
Berdasarkan cara pembuatannya, dekstrin dikelompokkan menjadi dekstrin
putih, dekstrin kuning, dan British Gum. Pembuatan dekstrin dapat dilakukan
dengan tiga macam proses yaitu proses konversi basah dan katalis asam, proses
konversi basah dengan enzim serta proses konversi kering (Anonimous, 2009).
Berdasarkan reaksi warnanya dengan iodium, dekstrin dapat diklasifikasikan
atas amilodekstrin, eritrodekstrin dan akrodekstrin. Pada tahap awal hidrolisa,
akan dihasilkan amilodekstrin yang masih memberikan warna biru bila
direaksikan dengan yodium. Bila hidrolisa dilanjutkan akan dihasilkan
eritrodekstrin yang akan memberikan warna merah kecoklatan bila direaksikan
dengan iodium. Sedangkan pada tahap akhir hidrolisa, akan dihasilkan
akrodekstrin yang tidak memberikan warna bila direaksikan dengan iodium
(Anonimous, 2009).
Dekstrin larut dalam air dingin dan larutannya bila direaksikan dengan
alkohol atau Ca / BaOH akan menghasilkan endapan dekstrin yang bentuk nya
tidak beraturan. Sebagai padatan, dekstrin tersedia dalam bentuk tepung, tidak
18
larut dalam alkohol dan pelarut-pelarut netral lain. Dekstrin juga dapat
membentuk larutan kental yang mempunyai sifat adhesive kuat (Anonimous,
2009), kelarutan dalam air dingin meningkat dan kadar gula menurun (Koswara,
2009).
Tabel 4. Sifat-sifat Dekstrin
Jenis Dekstrin
Kadar Air (%)
Warna
Kelarutan
Gula Pereduksi
(%)
Derajat Percabangan
(%) Dekstrin Putih Dekstrin Kuning British Gum
2-5 <2 <2
Putih-coklat Putih-krem
Coklat
60-95 min-100 min-100
10-12 1-4
sedikit
2-3 Banyak 20-25
Sumber : Wurzburg (1989) Pada Tabel 4, dicantumkan beberapa sifat dekstrin yang meliputi kadar air,
warna, kalarutan, gula pereduksi dan derajat percabangan. Nilai kelarutan yang
diperoleh menunjukkan jumlah dekstrin dalam 1% suspensi yang akan larut
dalam air destilata pada suhu 72˚F. Tampak bahwa kelarutan dekstrin putih lebih
rendah daripada kelarutan British Gum, sedangkan kelarutan British Gum lebih
rendah daripada kelarutan dekstrin kuning (Anonimous, 2009).
Dekstrin banyak digunakan pada berbagai industri, baik industri pangan,
farmasi, dan industri kimia. Dalam industri pangan dekstrin digunakan untuk
meningkatkan tekstur bahan pangan. Dekstrin memiliki kemampuan untuk
membentuk lapisan, contohnya pelapisan kacang dan cokelat untuk mencegah
migrasi minyak. Selain itu dekstrin juga berfungsi untuk meningkatkan
kerenyahan pada kentang goreng dengan cara merendam kentang tersebut dalam
larutan dekstrin. Dimana dekstrin akan melapisi permukaan dan mengurangi
penetrasi minyak selama penggorengan (Koswara, 2009).
19
Dextrose Equivalent (DE) adalah besaran yang menyatakan nilai total
pereduksi pati atau produk modifikasi pati dalam satuan persen. DE berhubungan
dengan derajat polimerisasi (DP). DP menyatakan jumlah unit monomer dalam
satu molekul. Unit monomer dalam pati adalah glukosa sehingga maltose
memiliki DP 2 dan DE 50 (Wurzburg, 1989).
Secara komersial penggunaan dekstrin dipengaruhi oleh nilai DE. Semakin
besar DE berarti semakin besar juga persentase dekstrin yang berubah menjadi
gula pereduksi. Berikut ini adalah jenis dekstrin dan penggunaannya berdasarkan
perbedaan nilai DE (Subekti, 2008).
Nama Hasil Hidrolisis Pati
NIlai DE
Aplikasi penggunaanya
Maltodekstrin 2-5 5 9-12 15-20
Pengganti lemak susu didalam makanan pencuci mulut, yoghurt, produk bakery dan eskrim (strong, 1989) Bahan tambahan margarine (Summer dan Hessel, 1990) Cheescake filling (Wilson dan Steensen, 1986) Produk pangan berkalori tinggi (Vorwerg et. al., 1988)
Thin boiling starch >20 Kembang gula, pastelis dan jeli (Rapaille dan Van Hemelrijk, 1992)
Oligosakarida Sekitar 50
Pemanis (Wurzburg
Berikut syarat mutu Dekstrin menurut Departemen Perindustrian (1992).
20
Tabel 5. Syarat mutu Dekstrin
Uraian Satuan Persyaratan
Warna - Putih sampai kekuning-kunigan
Warna dengan larutan lugol - Ungu kecoklatan
Kehalusan mesh 80, % b/b - Minimal 90 ( lolos )
Air % b/b - Maksimal 11
Abu % b/b - Maksimal 0.5
Serat kasar % b/b - Maksimal 0.6
Bagian yang larut air dingin δ Minimal 97
Kekentalan oE 3-4
Dekstrosa % Maksimal 5
Derajat asam ml NaOH 0.1 N 100g
Maksimal 5
Cemaran logam : - Timbal (Pb) - Tembaga (Cu) - Seng (Zn) - Timah (Sn)
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maksimal 2 Maksimal 50 Maksimal 40 Maksimal 40
Arsen mg/kg Maksimal 1 Cemaran mikroba : - kapang dan ragi - ragi - total aerobic plate count - bakteri coliform - salmonella
mpn/g mpn/g mpn/g mpn/g mpn/100g
Maksimal 102 10 - 102 102 – 106 Maksimal 10 0
Sumber : Departemen Perindustrian (1992)
F. Pembuatan Dekstrin dari Pati Suweg Secara Enzimatis
Proses hidrolisa pati secara enzimatis dilakukan melalui tahap liquifikasi.
Tahap liqufikasi adalah proses pencairan gel pati dengan menggunakan enzim α-
amilase. Liquifikasi merupakan kombinasi dari dua proses, pertama yaitu hidrasi
atau gelatinisasi dari polimer pati, untuk mempermudah serangan-serangan
hidrolitik. Yang kedua yaitu dekstrinasi, sehingga dapat mencegah terjadinya
retrogradasi untuk tahap selanjutnya (Muchtadi,dkk., 1992). Tujuan proses
21
liquifikasi ini adalah untuk melarutkan pati secara sempurna, mencegah
isomerisasi gugus pereduksi dari glukosa dan mempermudah kerja enzim α-
amilase untuk menghidrolisa pati (Judoamidjojo, 1992).
Proses hidrolisis pati secara enzimatis dapat terjadi sebagai berikut :
sebelum substrat dihidrolisis dengan enzim maka pati harus digelatinisasi terlebih
dahulu agar lebih rentan terhadap serangan enzim (Muchtadi,dkk., 1992 dalam
Jariyah, 2002). Proses gelatinisasi terjadi apabila pati mentah dimasukan kedalam
air dingin, granula patinya akan menyerap air dan membengkak, tetapi jumlah air
yang diserap dan pembengkakkanya terbatas. Granula pati membengkak dan tidak
dapat kembali pada kondisi semula disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granula
pati pecah disebut suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi tergantung juga pada
konsentrasi pati, makin kental larutan suhu makin lambat tercapai dan suhu
gelatinisasi berbeda-beda pada setiap jenis pati (Winarno, 2002).
Gelatinisasi merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam
proses liquifikasi, dimana larutan pati harus sempurna. Bila larutan pati terlalu
pekat maka akan sulit tersuspensi dengan baik sehingga selama proses gelatinisasi
terjadi pengendapan partikel-partikel pati oleh karena itu proses gelatinisasi ini
dapat dilakukan dengan membuat bubur pati dengan konsentrasi antara 25-40 %
padatan kering (Godfrey and West, 1996). Adapun secara ringkas hidrolisis pati
dapat digambarkan sebagai berikut :
α-amilase Pati Dekstrin + maltosa + maltotetrosa + glukosa
Gambar 7. Proses hidrolisis pati oleh Enzim α-amilase (Tjokroadikoesoemo, 1986)
22
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses liqufikasi adalah
konsentrasi substrat, penggunaan enzim yang stabil pada suhu tinggi, pengaturan
suhu dan lamanya, serta penggunaan pH disesuaikan berdasarkan enzim yang
digunakan. Suhu liqufikasi yang terlampau tinggi, akan mengakibatkan terjadinya
kerusakan enzim, tetapi apabila terlalu rendah akan mengakibatkan gelatinisasi
tidak sempurna (Muchtadi,dkk., 1992). Jenis pati yang berbeda menghendaki
kondisi gelatinisasi yang berbeda pula. Semakin tinggi konsentrasi pati maka akan
semakin lambat mencapai suhu gelatinisasi dan gel yang terbentuk semakin
kurang kental. Pembentukan gel yang optimal terjadi pada pH 4-7. Apabila pH
terlalu tinggi pembentukan gel cepat tercapai, tetapi cepat turun kembali,
sedangkan jika terlalu rendah, terbentuknya gel lambat dan kalau pemanasan
diteruskan maka viskositasnya turun kembali. Kemudian ditambahkan dengan
kofaktor enzim yaitu CaCl2. Fungsi CaCl2 selain sebagai kofaktor juga sebagai
penyedia kalsium, guna menjaga aktivitas dan stabilitas enzim. Suhu liquifikasi
berkisar 105-110˚C selama 60-180 menit (Anonimous, 2001). Proses dihentikan
setelah waktu dekstrinisasi standar dicapai dan diperoleh dekstrin cair dengan
cairan berwarna coklat kemerahan bila direaksikan dengan larutan iodium.
Kerja enzim dalam dekstrin cair diinaktivasi dengan cara menambahkan
larutan HCl 1 N sebanyak 3,5 ml/liter. Hasil liquifikasi didinginkan sampai
mencapai suhu 60ºC. Desktrin cair dimixer bersama tween 80 dengan konsentrasi
0,1%v/v selama 7 menit. Kemudian dituang ke dalam loyang yang telah dialasi
plastik dan dikeringkan ke dalam kabinet drier dengan suhu 70ºC selama 7 jam.
Setelah kering dekstrin diambil dan untuk mendapatkan desktrin dengan ukuran
23
partikel yang seragam, dekstrin kering tadi dihancurkan dengan blender lalu
diayak dengan ayakan 80 mesh (Anonimous, 2009).
G. Foam Mat Drying
Salah satu metode yang sering digunakan pada pembuatan produk pangan
siap saji adalah metode foam mat drying. Foam mat drying (pengeringan busa)
tergolong dalam atmospheric drying. Metode pengeringan busa digunakan untuk
mengeringkan bahan berbentuk cair (Anonimous, 2001).
Foam menyangkut campuran cair dan gas. Pembentukan busa memerlukan
bahan aktif permukaan dan penting dalam bebagai produk pangan (Tranggono,
dkk., 1990). Menurut Baniel, dkk (1997), foam (busa) dapat didefinisikan sebagai
suatu sistem yang terbentuk oleh dua fase, yaitu udara sebagai fase terdispersi dan
air sebagai fase kontinyu. Salah satu metode yang telah digunakan untuk
membentuk foam adalah dengan pengocokan dengan menggunakan mixer.
Foam mat drying adalah cara pengeringan bahan berbentuk cair yang
sebelumnya dijadikan foam terlebih dahulu dengan menambahkan zat pembuih
(Desrosier, 1988).
Karim dan Wai (1988) dan Anonimous (2001), melaporkan bahwa metode
pengeringan busa diaplikasikan pada bahan pangan yang sensitif terhadap panas.
Dalam proses pengeringan busa, bahan makanan yang berbentuk cair atau semi
cair dikocok hingga berbentuk busa yang stabil dan selanjutnya dikeringkan
dengan pemanasan. Setelah dilakukan pemanasan, bahan dihancurkan menjadi
bentuk bubuk.
24
Menurut Woodrof dan Luh (1975), makanan yang dikeringan dengan
metode foam mat drying mempunyai struktur yang mudah menyerap air, sehingga
makanan tersebut mudah untuk dilarutkan dalam air dingin. Keuntungan
pengeringan menggunakan metode foam mat drying menurut Karim dan Wai
(1988) dan Kumalaningsih (2005), antara lain :
1. Bentuk busa maka penyerapan air lebih mudah dalam proses pengocokan
dan pencampuran sebelum dikeringkan.
2. Suhu pengeringan tidak terlalu tinggi sebab dengan adanya busa maka
akan mempercepat proses penguapan air walaupun tanpa suhu yang terlalu
tinggi, suhu yang digunakan sekitar 50ºC - 80ºC dan dapat menghasilkan
kadar air hingga 3%, produk yang dikeringkan menggunakan busa pada
suhu 71ºC dapat menghasilkan kadar air 2%.
3. Bubuk yang dihasilkan dengan metode foam mat drying mempunyai
kualitas warna dan rasa yang bagus, sebab hal tersebut dipengaruhi oleh
suhu penguapan yang tidak terlalu tinggi sehingga warna produk tidak
rusak dan rasa tidak banyak yang terbuang.
4. Biaya pembuatan bubuk dengan menggunakan metode foam mat drying
lebih murah dibandingkan dengan metode vakum atau freeze drying sebab
tidak terlalu rumit dan cepat dalam proses pengeringan sehingga energi
yang dibutuhkan untuk pengeringan lebih kecil dan waktunya lebih
singkat.
25
5. Bubuk yang dihasilkan mempunyai densitas yang rendah (ringan), dengan
banyak gelembung gas yang terkandung pada produk kering sehingga
mudah dilarutkan dalam air.
6. Foam mat drying baik digunakan karena strukturnya mudah menyerap air,
dan relatif stabil selama penyimpanan.
Keberhasilan teknik pengeringan busa sangat ditentukan oleh kecepatan
pengeringan yang dapat dilakukan dengan cara pengaturan suhu dan konsentrasi
bahan pengisi yang tepat. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan hilangnya
senyawa-senyawa volatil atau yang mudah menguap seperti aroma dan
mempercepat reaksi pencoklatan dalam bahan pangan, sedangkan suhu yang
terlalu rendah akan menyebabkan proses pengeringan kurang efisien dan juga
akan mendorong kerusakan selama proses (Kumalaningsih, dkk., 2005).
Pengeringan bahan pangan sampai kadar airnya dibawah 5% akan dapat
mengawetkan rasa dan nutrisi serta dapat disimpan untuk jangka waktu yang
lama. Sedangkan karakteristik bahan pangan bubuk memiliki kadar air 2-4%
(Kumalaningsih, dkk., 2005).
H. Tween 80
Tween 80 termasuk golongan non ionik surfaktan dimana bahan asalnya
adalah alkohol hensanhidrat, alkalin oksida dan asam lemak sifat hidrofilik
diberikan oleh gugus hidroksil bebas oksietilena (Belitz dan Grosch, 1987).
Daya kerja pengemulsi disebabkan oleh bentuk molekul yang dapat terikat
pada minyak dan air. Parameter yang sering digunakan untuk pemilihan jenis
26
emulsifier adalah berdasarkan HLB (Hidrophilic Lipophilic Balance), emulsifier
yang memiliki nilai HLB rendah (2-4) cenderung larut minyak, sedangkan yang
memiliki HLB tinggi (14-18) cenderung larut air (Winarno, 1992).
Nilai HLB yang besar mampu menurunkan tegangan muka antara minyak
dan air pada emulsi minyak dalam air, sedangkan nilai HLB yang yang kecil
mampu menurunkan tegangan muka antara air dan minyak pada emulsi air dalam
minyak. Tween 80 memiliki nilai HLB 15 yang sifatnya cenderung larut dalam air
dan cocok dengan sistem emulsi “oil in water” (Belitz and Grosch, 1987).
Tween 80 adalah kelompok ikatan sorbitan ester yang dibentuk oleh reaksi
antara sorbitol dan asam lemak juaga etilen oksida, sehingga membentuk senyawa
dengan lapisan yang aktif (Emulsifying agent), yaitu zat untuk membuat bentuk
campuran emulsi (Kumalaningsih, dkk., 2005).
Pemakaian tween 80 pada konsentrasi 0,04 – 0,1% dapat bekerja sebagai
bahan pendorong pembentukan foam, tetapi pada konsentrasi 0,005% tween 80
bekerja sebagai pemecah buih (Tranggono, dkk., 1990). Tween 80 dalam
konsentrasi tertentu dapat berfungsi sebagai pendorong pembentukan busa (foam),
dalam bentuk busa permukaan partikel membesar dan dapat mempercepat
pengeringan (Kumalaningsih, dkk., 2005).
Penambahan Tween 80 adalah sebagai media pembentuk busa pada
pengeringan dengan metode foam mat drying. Tween 80 dapat meningkatkan
viskositas fase pendispersi dan membentuk lapisan tipis yang kuat yang dapat
mencegah penggabungan fase terdispersi sehingga tidak terjadi pengendapan
(Mustaufik, dkk., 2000).
27
I. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Selama Proses Hidrolisa
1. Pengaruh Suhu
Pada umumnya semakin tinggi suhu, semakin naik laju reaksi kimia, baik
yang tidak dikatalis maupun yang dikatalis dengan enzim. Pengaruh suhu
terhadap enzim ternyata agak komplek, misalnya suhu terlalu tinggi dapat
mempercepat pemecahan atau pemisahan enzim, sebaliknya menurut Muchtadi,
dkk (1992), suhu liquifikasi yang tinggi, akan mengakibatkan terjadi kerusakan
enzim, tetapi apabila terlalu rendah akan mengakibatkan gelatinisasi tidak
sempurna.
Perbedaan sumber atau asal enzim menyebabkan perbedaan daya tahan
panas. Enzim α-amilase yang dihasilkan oleh bakteri lebih tahan panas daripada
enzim α-amilase yang berasal dari kapang (Winarno, 1986). Contohnya enzim α-
amilase yang diisolasi dari Bacillus subtilis amat stabil pada suhu tinggi
(Tjokroadikoesoemo,1986).
2. Pengaruh pH
Menurut Girinda (1998), pH sangat berpengaruh terhadap aktivitas enzim
karena sifat ionik gugus karbosil dan asam amino mudah dipengaruhi pH. Hal ini
menyebabkan konformasi enzim dan fungsi katalik enzim berubah, sehingga
enzim bisa terdenaturasi dan kehilangan aktivitasnya. Aktivitas enzim tertinggi
yang dapat dicapai umumnya disebut pH optimum. Menurut Anonimous (2001),
enzim α-amilase Liquozyme supra pada umumnya stabil pada pH optimal yaitu
28
5,1-5,6. Pada tahap liquifikasi perlu diperhatikan dalam pengaturan pH. pH
suspensi diatur sekitar 5,3 (Anonimous,2001).
3. Konsentrasi Larutan Pati
Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), konsentrasi pati yang telah mengalami
hidrolis pendahuluan dengan enzim α-amilase yang optimum adalah sekitar 30-35
% berat bahan kering. Pada tahap awal pelarutan pati harus sempurna, karena
pada tahap ini penyebaran granula pati kedalam larutan yang diikuti dengan
hidrolisis sebagian oleh α-amilase yang tahan panas. Dalam proses tersebut,
granula pati yang semula tiadk larut dipanaskan sampai mengembang dan rusak
sehingga dapat tersebar kedalam larutan (Muchtadi, dkk.,1992).
4. Konsentrasi Enzim
Semakin banyak jumlah enzim yang ditambahkan pada pati, akan
menghasilkan kadar dekstrin yang semakin banyak pula. Keadaan ini juga
semakin mempercepat reaksi hidrolisa (Fitroyah, 2007).
5. Waktu Reaksi
Lama hidrolis adalah waktu reaksi yang dibutuhkan oleh suatu enzim untuk
merombak bahan menjadi lebih sederhana. Lama hidrolisis dipengaruhi oleh
konsentrasi substrat, enzim yang digunakan dan juga suhu hidrolisis. Waktu yang
diperlukan tergantung dari dosis enzim yang diberikan (Tjokroadikoesoemo,
1986).
29
J. Analisa Keputusan
Keputusan adalah kesimpulan dari suatu proses untuk memilih tindakan
yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada. Pengambilan keputusan adalah
proses yang mencakup semua pemikiran kegiatan yang diperlukan guna
membuktikan dan memperlihatkan pilihan terbaik (Siagian, 1987).
Analisa keputusan pada dasarnya adalah suatu prosedur logis dan kuantitaif
yang tidak hanya menjelaskan mengenai proses pengambilan keputusan tetapi
juga merupakan suatu cara untuk membuat keputusan (Admosudirjo, 1987).
Analisa keputusan adalah untuk memilih alternatif terbaik yang dilakukan
antara aspek kualitas, aspek kuantitas dan aspek finansial dari produk olahan yang
dihasilkan dengan kombinasi setiap perlakuan (Susanto dan Saneto, 1994).
K. Analisa Finansial
Analisa kelayakan adalah analisa yang dilanjutkan untuk meneliti suatu
proyek layak atau tidak layak untuk proses tersebut harus dikaji, diteliti dari
beberapa aspek tertentu sehingga memenuhi syarat untuk dapat berkembang atau
tidak. Analisa kelayakan tersebut dibagi menjadi 5 tahap yaitu dengan persiapan,
tahap penelitian, tahap penyusunan, tahap evaluasi proyek. Data harga-harga
bahan baku dan bahan penunjang lainya dapat digunakan sebagai dasar
perhitungan kelayakan finansial pada produk dekstrin. Analisa finansial yang
dilakukan meliputi : analisa nilai uang dengan metode Net Present Value (NPV),
Rate Of Return (ROR) dengan metode Internal Rate Of Return (IRR), Break
Event Point (BEP) dan Payback Period (PP) (Susanto dan Saneto, 1994).
30
1. Break Event Point (BEP) (Susanto dan Saneto, 1994)
Studi kelayakan merupakan pekerjaan membuat ramalan atau tafsiran
yang didasarkan atas anggapan-anggapan yang tidak selalu bisa dipenuhi.
Konsekuensinya adalah bisa terjadi penyimpangan- penyimpangan. Salah satu
penyimpangan itu ialah apabila pabrik berproduksi di bawah kapasitasnya.
Hal ini menyebabkan pengeluaran yang selanjutnya mempengaruhi besarnya
keuntungan
Suatu analisa yang menunjukan hubungan antara keuntungan, volume
produksi dan hasil penjualan adalah penentuan Break Event Point (BEP). BEP
adalah suatu keadaan tingkat produksi tertentu yang menyebabkan besarnya
biaya produksi keseluruhan sama dengan besar nilai atau hasil penjualan atau
laba. Jadi pada keadaan tertentu tersebut perusahaan tidak dapat keuntungan
dan juga tidak mengalami kerugian.
Untuk memperoleh keuntungan maka usaha tersebut harus ditingkatkan
dari penerimaanya harus berada di atas titik tersebut. Penerimaan dari
penjualan dan ditingkatkan melalui 3 cara. Yaitu menaikkan harga jual per
unit, menaikkan volume penjualan, menaikkan volume penjualan dan
menaikkan harga jualnya.
Rumus untuk mencari titik ampas adalah sebagai berikut :
a. Biaya Titik Impas
BEP (Rp) = Biaya Tetap
1- (biaya tidak tetap/pendapatan)
31
b. Unit Titik Impas
BEP (Unit) = Biaya Tetap Harga jual - (biaya tidak tetap/kapasitas produksi)
2. Net Present Value (NPV) (Tri dan Budi, 1994)
Net Present Value (NPV) adalah selisih antara nilai penerimaan
sekarang dengan nilai sekarang. Bila dala analisa diperoleh nilai NPV lebih
besar dari 0 (nul), berarti proyek layak untuk dilaksanakan, jika dalam
perhitungan diperoleh dari NPV lebih kecil dari 0, maka proyek tersebut tidak
layak untuk dilaksanakan
Rumus NPV adalah:
n
NPV = ∑ Bt - Ct t=1 (1+i)t
Keterangan :
Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada tahun t
Ct = Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t
n = Umur ekonomis dari suatu proyek
i = Suku bunga bank
3. Payback Periode (PP) (Susanto dan Saneto, 1994)
Merupakan perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan untuk
pengambilan modal yang ditanam pada proyek. Nilai tersebut dapat berupa
prosentase maupun waktu (baik tahun maupun bulan). Payback Periode
32
tersebut (<) nilai ekonomis proyek. Untuk industri pertanian diharapkan nilai
tersebut lebih kecil 10 tahun atau sedapat mungkin kurang dari 5 tahun.
Rumus penentuan adalah sebagai berikut:
I Payback Periode = Ab
Keterangan :
I = biaya investasi yang diperlukan
Ab = Benefit bersih yang dapat diperoleh pada setiap tahunnya
4. Internal Rate Of Return (IRR) (Susanto dan Saneto, 1994)
Internal Rate Of Return merupakan tingkat bunga yang menunjukan
persamaan antar interval penerimaan bersih sekarang dengan jumlah investasi
(modal) awal dari suatu proyek yang dikerjakan. Kriteria ini memberika
pedoman bahwa proyek akan dipilih apabila nilai IRR lebih besar dari suku
bunga yang berlaku, sedangkan bila IRR lebih kecil dari suku bunga yang
berlaku maka proyek tersebut dinyatakan tidak layak untuk dilaksanakan.
NPV IRR = 1 + ( i’ - i ) NPV + NPV’
Keterangan :
NPV = NPV positif hasil percobaan nilai
NPV’ = NPV negatif hasil percobaan nilai
i = Tingkat bunga
5. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio) (Susanto dan Saneto, 1994)
33
Merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan biaya kotor
yang di present valuenkan (dirupiahkan sekarang ).
n Bt
Gross B / C = ∑ t=1 (1+i )t
Keterangan :
Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada tahun t
C = Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t
n = Umur ekonomis dari suatu proyek
i = Suku bunga bank
L. Landasan Teori
Dekstrin merupakan produk degradasi pati yang dapat dihasilkan dengan
beberapa cara yaitu memperlakukan suspensi pati dalam air dengan enzim pada
kondisi tertentu (Anonimous, 2009). Pada prinsipnya membuat dekstrin adalah
memotong rantai panjang pati dengan katalis asam atau enzim menjadi molekul-
molekul yang berantai lebih pendek dengan jumlah untuk glukosa dibawah
sepuluh (Anonymous, 2009). Dalam pembuatan dekstrin terjadi transglukosilasi
dari ikatan α-D-(1,4) glikosidik menjadi β-D-(1,6) glikosidik. Perubahan ini
mengakibatkan sifat pati yang tidak larut dalam air menjadi dekstrin yang mudah
larut dalam air, lebih cepat terdispersi dan tidak kental serta lebih stabil dari pada
pati (Lastriningsih, 1997). Pati yang sudah pernah dibuat menjadi dekstrin adalah
pati ubi jalar (Triyono, dkk.,2007), pati sagu (Anonymous, 2009), tepung tapioka
34
(Trubus, 2009), pati sorghum (Ruqoiyah, 2002). Menurut Triyono (2006), kadar
dekstrose pada dekstrin ubi jalar adalah 6,42%.
Suweg merupakan jenis umbi-umbian yang mempunyai kadar pati sebesar
18,44% (Utomo dan Antarlina, 1997), kadar pati dalam pati sebesar 88,50%
(Wankhede dan Sajjan, 1981). Perbandingan amilosa dan amilopektinnya adalah
24,5% dan 75,5% (Wankhede dan Sajjan, 1981). Berdasarkan kadar pati bisa
dijadikan acuan untuk dijadikan dekstrin (Richana dan Sunarti, 2009).
Pembuatan dekstrin dapat dilakukan dengan tiga macam proses yaitu proses
konversi basah dan katalis asam, proses konversi basah dengan enzim serta proses
konversi kering (Anonimous, 2009). Hidrolisa pati dengan enzim dapat mencegah
adanya reaksi sampingan, karena sifat katalis enzim sangat spesifik, sehingga
dapat mempertahankan rasa dan aroma bahan dasar (Judoamidjojo, 1992).
Proses hidrolisis pati secara enzimatis dapat terjadi sebelum substrat
dihidrolisis dengan enzim maka pati harus digelatinisasi terlebih dahulu agar lebih
rentan terhadap serangan enzim (Muchtadi, dkk., 1992). Proses gelatinisasi terjadi
apabila pati mentah dimasukan kedalam air dingin, granula patinya akan
menyerap air dan membengkak, tetapi jumlah air yang diserap dan
pembengkakanya terbatas (Winarno, 2002). Gelatinisasi merupakan salah satu
faktor yang harus diperhatikan dalam proses liquifikasi, dimana larutan pati harus
sempurna. Bila larutan pati terlalu pekat maka akan sulit tersuspensi dengan baik
sehingga selama proses gelatinisasi terjadi pengendapan partikel-partikel pati oleh
karena itu proses gelatinisasi ini dapat dilakukan dengan membuat bubur pati
35
dengan konsentrasi antara 25-40 % padatan kering (Godfrey and West, 1996
dalam Jariyah 2002).
Tahap liqufikasi adalah proses pencairan gel pati dengan menggunakan
enzim α-amilase. Tujuan proses ini adalah untuk melarutkan pati secara
sempurna, mencegah isomerisasi gugus pereduksi dari glukosa dan
mempermudah kerja enzim α-amilase untuk menghidrolisa pati (Judoamidjojo,
1992).
Menurut Muchtadi, dkk (1992), enzim α-amilase dikenal juga dengan
sebutan endoamilase (ditambahkan pada proses liquifikasi), enzim tersebut
menghidrolisis dan mendegradasi ikatan α-1,4 glikosidik pada polisakarida secara
acak baik dari bagian tengah atau bagian dalam molekul.
Hidrolisa amilosa dilakukan dengan mendegradasi amilosa menjadi maltosa
dan maltotriosa yang terjadi secara acak dari ujung gugus pereduksi. Degradasi
tersebut terjadi sangat cepat dan diikuti pula penurunan viskositas yang sangat
cepat. Liquozyme supra berupa cairan berwarna coklat dan memiliki densitas
sebesar 1,25 g/ml dan mempunyai aktivitas enzim sebesar 90 KNU(T)/g. Jumlah
penggunaan (dosis) terbaik liquozyme supra adalah 0,25 – 0,65 kg/ton, melakukan
aktivitas pada pH optimal 5,3 dengan tingkat kalsium sebanyak 5 – 20 ppm, suhu
optimal liquozyme supra adalah 105-110ºC dan dilakukan pada suspensi pati
(Anonimous, 2001).
Stabilitas enzim dalam larutan meningkat dengan pembubuhan garam-
garam kalsium. Pengaruh ini sangat penting pada suhu diatas 65˚C, meskipun
dengan pembubuhan yang sangat rendah. Penambahan garam kalsium pada
36
umumnya disarankan umtuk mencegah denaturasi protein enzim karena panas
(Reed,1980 dalam Muchtadi,dkk., 1992). Kalsium tidak berperan langsung dalam
pembentukan kompleks antara enzim dan media (Muchtadi,dkk., 1992), sehingga
kalsium yang berikatan dengan molekul enzim membuat enzim α-amilase relatif
tahan terhadap suhu (>70˚C) dan pada pH (<6,5) (Muchtadi,dkk., 1992).
M. Hipotesa
Diduga penambahan enzim α-amilase dengan berbagai konsentrasi pada
berbagai konsentrasi pati suweg berpengaruh terhadap kualitas dekstrin yang
dihasilkan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisa Pangan, Kimia Pangan,
laboratorium Uji Inderawi program studi Teknologi Pangan UPN “Veteran”
Jatim Surabaya, laboratorium TPHP Universitas Muhammadiyah Malang dan
dilakukan pada bulan Februari-April 2010.
B. Bahan-Bahan
Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan dekstrin adalah umbi
suweg yang diperoleh dari Karangploso-Malang. Sedangkan enzim α-amilase
(Liquozyme® Supra) diperoleh dari PT. Sorini Agro Corp. Tbk., Pandaan-
Pasuruan.
Bahan-bahan lain yang berfungsi sebagai pendukung adalah aquadest,
NaCl, buffer sitrat, kertas pH, kertas saring. Bahan kimia untuk analisa meliputi
: Larutan Pb-asetat, Na-Fosfat, HCl, KI, H2SO4, batu didih, larutan Luff-schoorl,
alcohol, NaOH, indikator pati dan Na2S2O3 0,1 N.
C. Alat – alat
Peralatan yang digunakan untuk pembuatan dekstrin pati suweg meliputi :
Timbangan analitik, beaker glass, Erlenmeyer, waterbath, blender,
thermometer, pH meter, wadah, pisau, alat parut, penyaring, panci, kompor,
37
38
oven, cabinet dryer. Alat-alat untuk analisa meliputi : alat titrasi, pipet, gelas
ukur, dan peralatan gelas lainnya.
D. Metode Penelitian
1. Rancangan Percobaan
Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial
dengan dua faktor dan tiga kali ulangan, selanjutnya dilakukan analisis sidik
ragam, bila terdapat perbedaan maka dilakukan uji lanjut yaitu uji Duncan.
Menurut Gasperz (1994), model matematika untuk percobaan faktorial
yang terdiri dari dua faktor dengan menggunakan dasar Rancangan Acak
Lengkap adalah sebagai berikut :
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εij ; i = 1,......a
j = 1,......b
k = 1,.....c
Dimana :
Yijk : Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang
memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-I dari faktor
A dan taraf ke-j dari faktor B).
μ : Nilai tengah populasi (rata-rata sesungguhnya)
αi : Pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor A
βj : Pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor B
(αβ)ij : Pengaruh interaktif taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j
dari faktor B
39
εij : Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang
memperoleh kombinasi perlakuan ij
2. Peubah yang digunakan
a. Peubah Berubah
Faktor I. Konsentrasi Pati (%b/v)
A1 = 25
A2 = 30
A3 = 35
Faktor II. Konsentrasi enzim (%v/v)
B1 = 0,005
B2 = 0,010
B3 = 0,015
Dari 2 faktor diatas di dapat 9 kombinasi
B A
B1 B2 B3
A1 A1B1 A1B2 A1B3 A2 A2B1 A2B2 A2B3 A3 A3B1 A3B2 A3B3
Keterangan :
A1B1 = Konsentrasi pati 25% b/v dan konsentrasi enzim 0,005% v/v
A1B2 = Konsentrasi pati 25% b/v dan konsentrasi enzim 0,010 %v/v
A1B3 = Konsentrasi pati 25% b/v dan konsentrasi enzim 0,015 %v/v
A2B1 = Konsentrasi pati 30% b/v dan konsentrasi enzim 0,005% v/v
A2B2 = Konsentrasi pati 30% b/v dan konsentrasi enzim 0,010 %v/v
40
A2B3 = Konsentrasi pati 30% b/v dan konsentrasi enzim 0,015 %v/v
A3B1 = Konsentrasi pati 35% b/v dan konsentrasi enzim 0,005% v/v
A3B2 = Konsentrasi pati 35% b/v dan konsentrasi enzim 0,010 %v/v
A3B3 = Konsentrasi pati 35% b/v dan konsentrasi enzim 0,015 %v/v
b. Peubah Tetap
1. Pada Liquifikasi : suhu 100ºC selama 45 menit dan pH 5,3
2. CaCl2 : 20 ppm (0.6 mg)
3. Inaktivasi enzim : HCl 1N 3,5 ml / liter (0.28 ml)
4. Penambahan Tween 80 : 0,1 % v/v
5. Suhu pengeringan : 70ºC selama 14 jam
6. Kecepatan Pengadukan : 360 rpm
3. Parameter yang Diamati
Analisa Pati Suweg (bahan awal)
1. Kadar Pati (Metode Luff schrool; AOAC, 1995)
2. Kadar Amilosa (Apriyanto, dkk.,1989)
3. Kadar Amilopektin (Apriyanto, dkk.,1989)
4. Kadar Abu (Cara Pemanasan; Sudarmadji, dkk.,1997)
5. Kadar Air (Cara Pemanasan; Sudarmadji, dkk.,1997)
6. Rendemen
Analisa Produk (Dekstrin)
1. Persentase DE (Metode Anthrone Sphectrophotometri, AOAC, 1995)
41
2. Kadar Gula Reduksi (Metode Luff schrool; Sudarmadji, dkk.,1997)
3. Kadar Air (Cara Pemanasan; Sudarmadji, dkk.,1997)
4. Kadar Abu (Cara Pemanasan; Sudarmadji, dkk.,1997)
5. Rendemen
4. Prosedur Penelitian
Umbi suweg disiapkan, dikupas kulitnya dan dicuci. Setelah itu, dilakukan
perendaman dalam larutan NaCl (5 g NaCl dalam 1000 ml air) selama 30
menit. Larutan garam (NaCl) ini berfungsi untuk menghilangkan gatal
yang ditimbulkan oleh adanya kalsium oksalat dalam umbi suweg,
mencegah terjadinya pencoklatan dan penyeragaman warna, selain itu juga
sebagai penetral alkaloid, mempercepat pelarutan kalsium oksalat dan
memperpanjang masa simpan pati yang dihasilkan.
Proses selanjutnya yaitu pemarutan yang diikuti penyaringan. Penyaringan
bisa dilakukan beberapa kali. Filtrat yang dihasilkan diinkubasi selama 8
jam hingga patinya mengendap. Pati basah dicuci beberapa kali hingga
dihasilkan pati suweg yang putih bersih. Kemudian dilakukan pemisahan
antara pati basah dan air. Pati basah tersebut dikeringkan di bawah sinar
matahari. Selanjutnya dihaluskan dengan blender, diayak dengan ayakan
80 mesh dan hasilnya adalah pati suweg.
Pada tahap liquifikasi dibuat konsentrasi pati 25%, 30% dan 35% (%b/v)
dalam 100 ml aquadest, pH diatur 5,1-5,6 kemudian ditambah dengan
kofaktor enzim yaitu larutan CaCl2 20 ppm, konsentrasi enzim α-amilase
42
0,005% v/v, 0,010% v/v, dan 0,015% v/v dan di liquifikasi pada suhu
100ºC selama 60 menit. Proses liquifikasi ini dihentikan setelah
memberikan warna merah coklat pada saat dilakukan uji iodin. Hasil
liquifikasi ini didinginkan sampai suhu 60ºC, kemudian ditambahkan HCl
1N sebanyak 3,5 ml/liter yang bertujuan untuk menginaktivasi enzim,
kemudian dikeringkan dengan menggunakan metode foam mat drying.
Metode ini dilakukan dengan menambahkan Tween 80 sebanyak 0,1% v/v,
kemudian dikeringkan dalam cabinet dryer dengan suhu 70ºC selama 9
jam dan dihaluskan dengan blender dan diayak dengan ayakan 80 mesh
hingga terbentuk produk dekstrin dan dikemas dalam kemasan plastik.
43
Tahap I. Pembuatan Pati Suweg
Suweg 5 kg
Pengupasan
Penirisan
Pencucian
NaCl 5 gr, air 1000ml
Pencucian
Perendaman selama 30 menit
Pemarutan
Ekstraksi
Air Pati basah Filtrat Ampas
Filtrat Ampas
Inkubasi 8 jam
Penyaringan II
Ekstraksi
Pemisahan
Penyaringan I
Penghalusan (80 mesh)
Pengeringan di bawah sinar matahari selama 1 hari
Analisa : Kadar pati, kadar Amilosa dan Amilopektin, kadar Abu, kadar air, kadar Gula Reduksi, dan
Pati
Rendemen.
Gambar 8. Diagram Alir Ekstraksi Pati
44
Tahap II. Pembuatan Dekstrin dari Pati Suweg
Pati 25%, 30% dan 35% (%b/v)
CaCl2 20 ppm
HCl
Uji Iodin
Liquifikasi 100˚C, 45 menit, 360 rpm
Pencampuran
Suspensi pati, pH 5,1-5,6
Enzim α-amilase
0,005; 0,01; 0,015 %v/v
Inaktivasi enzim dengan HCl 3,5ml/liter
Pendinginan sampai suhu 60˚C
Pencampuran dengan tween 80 : 0,1% v/v
Pengeringan dengan cabinet dryer 70˚C selama 9 jam
Penggilingan
Dekstrin
Pengayakan 80 mesh
Analisa Produk Dekstrin:
- Kadar Dextrose Equivalent (DE) - Kadar Gula Reduksi (metode Luff schoorl; Sudarmadji,dkk.,1997) - Kadar Air - Kadar Abu - Rendemen
Gambar 9. Tahap Proses Pembuatan Dekstrin
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa yang dilakukan pada penelitian ini dimulai dari analisa bahan baku
dan analisa produk dekstrin yang dihasilkan. Analisa dilanjutkan dengan analisa
keputusan dan finansial yang didasarkan pada segi ekonomis apabila produk ini
digunakan sebagai produk industri.
A. Karakterisasi Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan dekstrin ini adalah pati
suweg yang diekstrak dari umbi suweg yang berasal dari Karangploso, Malang.
Hasil analisa proksimat pati suweg meliputi kadar pati, kadar air, kadar abu, kadar
gula reduksi, kadar amilosa dan kadar amilopektin dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil analisa proksimat pati suweg tiap 100 gram
Pati Suweg Parameter Analisa (%) Literatur (%)*
Kadar Pati - Kadar Amilosa - Kadar Amilopektin
Kadar Gula Reduksi Kadar Air Kadar Abu Rendemen
85,76 22,60 63,16 1,77 10,97 0,22 12
88,50 24,50 (% pati) 75,50 (% pati)
- 10,55 0,58
- *Sumber: Wankhede & Sajjan (1981)
Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa hasil analisa pati suweg dengan literatur
(Wankhede dan Sajjan, 1981) menunjukkan nilai yang hampir mendekati.
Perbedaan komposisi kimia pati suweg dengan literatur diduga diakibatkan oleh
45
46
perbedaan jenis, varietas, umur panen dan kondisi pertumbuhan tanaman suweg
yang berbeda. Menurut Lingga (1992), komposisi zat gizi masing-masing varietas
berbeda. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh umur tanam dan keadaan tanah
tempat tumbuhnya. Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), perbandingan antara
amilosa dan amilopektin sangat bervariasi, bergantung pada jenis tumbuh-
tumbuhan penghasilnya. Berdasarkan hasil analisa dapat dilihat bahwa kadar pati
suweg cukup tinggi yaitu sebesar 85,76%, sehingga memungkinkan digunakan
sebagai bahan baku pembuatan dekstrin.
B. Hasil Analisa Produk Dekstrin Pati Suweg secara Enzimatis
1. Kadar Air
Berdasarkan hasil analisis ragam kadar air (Lampiran 2) menunjukkan
bahwa tidak terjadi interaksi antara perlakuan konsentrasi pati dan perlakuan
konsentrasi enzim terhadap kadar air dekstrin pati suweg secara enzimatis.
Konsentrasi pati dan konsentrasi enzim berpengaruh nyata (p≤0,05) terhadap
kadar air dekstrin pati suweg secara enzimatis.
Nilai rata-rata kadar air dekstrin pati suweg secara enzimatis dari perlakuan
konsentrasi pati dapat dilihat pada Tabel 7 menunjukkan nilai rata-rata kadar air
dengan kisaran antara 2.1507% - 2.6870%.
47
Tabel 7. Nilai rata-rata kadar air dekstrin pati suweg secara enzimatis dari perlakuan konsentrasi pati
Konsentrasi Pati (% b/v)
Rata-rata Kadar air
(%)
Notasi DMRT 5%
25 30 35
2.6870 2.4262 2.1507
c b a
0.1298 0.1236
-
Tabel 7 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi pati, kadar air pada
dekstrin yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini disebabkan konsentrasi pati
yang tinggi mengakibatkan proses hidrolisa pati semakin banyak sehingga
memerlukan air dan meningkatkan aktivitas enzim untuk menghidrolisis pati
menjadi gula-gula sederhana (dekstrin, maltosa, maltotriosa, maltotetrosa) dan
semakin banyak ikatan glikosidik yang dapat dipecah. Setiap pemutusan ikatan
glikosidik akan menarik air ke dalam molekul gula sederhana sehingga air yang
bermula bebas akan terikat dan ikut menjadi komponen bahan kering sehingga
kadar air dapat berkurang. Menurut Winarno (1997), granula pati bersifat
menyerap air. Pati yang akan dihidrolisis melalui proses gelatinisasi terlebih
dahulu, dimana pati mengikat air dan mengalami penggelembungan granula
setelah itu proses hidrolisis dilakukan dengan liquifikasi (Tjokroadikoesoemo,
1986). Menurut Bluenstein dan Labuza (1989), kadar air akan berkurang selama
proses pemanasan dan dipercepat suhu yang semakin tinggi juga dengan waktu
yang semakin lama.
Nilai rata-rata kadar air dekstrin pati suweg secara enzimatis dari perlakuan
konsentrasi enzim dapat dilihat pada Tabel 8 menunjukkan nilai rata-rata kadar
air dengan kisaran antara 2.1229%-2.7511%.
48
Tabel 8. Nilai rata-rata kadar air dekstrin pati suweg secara enzimatis dari perlakuan konsentrasi enzim
Konsentrasi Enzim (% v/v)
Rata-rata Kadar Air
(%)
Notasi DMRT 5%
0,005 0,010
0,015
2.7511 2.3899 2.1229
c b a
0.1298 0.1236
-
Tabel 8 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim, kadar air
pada dekstrin yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini disebabkan karena
konsentrasi enzim yang tinggi dapat meningkatkan aktivitas enzim untuk
menghidrolisis pati menjadi gula-gula sederhana (dekstrin, maltosa, maltotriosa,
maltotetrosa). Setiap pemutusan ikatan glikosidik oleh enzim akan menarik air ke
dalam molekul gula sederhana sehingga air yang semula bebas akan terikat dan
ikut menjadi bahan kering sehingga kadar air dapat berkurang. Menurut Fitriyah
(2003), semakin tinggi kandungan gula-gula sederhana menyebabkan air yang
terikat juga semakin banyak dan menyebabkan kadar air menurun.
Perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim menghasilkan dekstrin
dengan kadar air yang tidak terjadi interaksi secara nyata. Hal ini disebabkan
karena kecepatan reaksi enzim berkurang pada saat hampir semua pati
terhidrolisis. Menurut Lindawati (2006), semakin tinggi kecepatan reaksi enzim
maka semakin banyak pati yang terhidrolisis, namun setelah hampir semua pati
terhidrolisis kecepatan reaksi enzim akan berkurang.
49
2. Kadar Abu
Berdasarkan hasil analisis ragam kadar abu (Lampiran 3) menunjukkan
bahwa antara perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim terdapat interaksi
yang nyata (p≤0,05) dan masing-masing perlakuan berpengaruh nyata (p≤0,05)
terhadap kadar abu dekstrin pati suweg secara enzimatis.
Nilai rata-rata kadar abu dekstrin pati suweg secara enzimatis dari perlakuan
konsentrasi pati dan konsentrasi enzim dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai rata-rata kadar abu dekstrin pati suweg secara enzimatis dari perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim
Perlakuan Konsentrasi Pati (%b/v)
Konsentrasi Enzim (%v/v)
Kadar Abu
(%)
Notasi
DMRT 5%
25
30
35
0,005 0,010 0,015
0,005 0,010 0,015
0,005 0,010 0,015
0.0900 0.0998 0.1041
0.1133 0.1294 0.1400
0.1571 0.1650 0.3265
a a a a ab bc
cd de f
- 0,0236 0,0248
0,0255 0,0260 0,0264
0,0267 0,0269 0,0271
Keterangan : nilai rata-rata yang disertai dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata.
Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar abu dekstrin pati suweg
secara enzimatis akibat perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim berkisar
antara 0,09% - 0,3265%. Perlakuan konsentrasi pati suweg 25 %b/v dan
konsentrasi enzim 0,005 %v/v menunjukkan kadar abu terendah (0.09%),
sedangkan perlakuan konsentrasi pati suweg 35 %b/v dan konsentrasi enzim
0,015 %v/v menunjukkan kadar abu tertinggi (0.3265%).
50
Hubungan antara perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim
terahadap kadar abu dekstrin pati suweg secara enzimatis dapat dilihat pada
Gambar 10.
Kadar
Abu (%)
ll
Konsentrasi Pati (%)
Gambar 10. Hubungan antara perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim terhadap kadar abu dekstrin pati suweg secara enzimatis
Gambar 10 menunjukkan bahwa kadar abu meningkat seiring dengan
meningkatnya konsentrasi pati dan konsentrasi enzim yang ditambahkan. Hal ini
disebabkan proses hidrolisis pati oleh enzim dapat menurunkan kadar air dan
meningkatkan total padatan yang terkandung dalam dekstrin, dimana kadar abu
merupakan bagian dari total padatan. Winarno (1997), menyatakan bahwa
berkurangnya kadar air dapat meningkatkan jumlah komponen lain. Kadar abu
yang teranalisa menunjukkan kandungan mineral pada dekstrin.
51
3. Kadar Dekstrose Ekuivalen (DE)
Dekstrose Ekuivalen (DE) menyatakan total kadar gula pereduksi yang
dihitung sebagai dekstrosa (glukosa) berdasarkan basis bahan kering (Muchtadi,
dkk., 1992).
Berdasarkan hasil analisis ragam DE pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa
antara perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim teradapat interaksi yang
nyata (p≤0,05) dan masing-masing perlakuan berpengaruh nyata (p≤0,05)
terhadap nilai DE dekstrin pati suweg secara enzimatis.
Nilai rata-rata nilai DE dekstrin pati suweg secara enzimatis dari perlakuan
konsentrasi pati dan konsentrasi enzim dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Nilai rata-rata nilai DE dekstrin pati suweg secara enzimatis dari perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim Perlakuan
Konsentrasi Pati (%b/v)
Konsentrasi Enzim (%v/v)
% DE
Notasi
DMRT 5%
25
30
35
0,005 0,010 0,015
0,005 0,010 0,015
0,005 0,010 0,015
26.3780 31.4207 34.2987
29.5620 34.7543 38.0910
36.2193 39.4917 41.8450
a c d b
de g f h i
- 1.0282 1.0578
0.9787 1.0776 1.1072
1.0941 1.1138 1.1204
Keterangan : nilai rata-rata yang disertai dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata.
Tabel 10 menunjukkan bahwa rata-rata nilai DE akibat perlakuan
konsentrasi pati dan konsentrasi enzim berkisar antara 26,3760% - 41, 8450%.
Perlakuan konsentrasi pati suweg 25 %b/v dan konsentrasi enzim 0,005 %v/v
52
menunjukkan nilai DE terendah (26.3780%), sedangkan perlakuan konsentrasi
pati suweg 35 %b/v dan konsentrasi enzim 0,015 %v/v menunjukkan nilai DE
tertinggi (41.8450%).
Hubungan antara perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim
terahadap nilai DE dekstrin pati suweg secara enzimatis dapat dilihat pada
Gambar 11.
Dekstrose Ekuivalen
(%)
ll
Gambar 11. Hubungan antara perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim terhadap nilai DE dekstrin pati suweg secara enzimatis
Gambar 11 menunjukkan bahwa nilai DE dekstrin meningkat seiring dengan
meningkatnya konsentrasi pati dan konsentrasi enzim yang ditambahkan. Hal ini
disebabkan semakin tinggi konsentrasi pati dan konsentrasi enzim, maka semakin
banyak pati yang dihidrolisis dan akan meningkatkan aktivitas enzim untuk
memecah ikatan glikosidik menjadi gula-gula sederhana (glukosa, maltosa,
dekstrin, maltosa, maltotriosa, maltotetrosa). Semakin banyak ikatan glikosidik
53
yang dapat dipecah akan menyebabkan jumlah gula reduksi meningkat begitu pula
DE nya.
Hal ini diperkuat dengan Lehninger (1990), bahwa pada konsentrasi substrat
yang tinggi menyebabkan aktivitas enzim semakin meningkat. Menurut Winarno
(1995), kerja α-amilase adalah memecah ikatan α-1,4-glikosidik secara cepat dan
acak yang menghasilkan maltosa, glukosa dan maltotriosa dan menyebabkan
polimer-polimer pati yang telah terkonversi menjadi molekul-molekul yang lebih
pendek. Menurut Duflot dan Pierrick (2000) dalam Jariyah (2001) bahwa semakin
meningkat konsentrasi substrat maka nilai DE juga meningkat. Beberapa faktor
lain yang dapat mempengaruhi nilai DE adalah aktivitas dan dosis enzim serta pH
hidrolisis.
4. Kadar Gula Reduksi
Berdasarkan hasil analisis ragam kadar gula reduksi pada Lampiran 5
menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim terdapat
interaksi yang nyata (p≤0,05) dan masing-masing perlakuan berpengaruh nyata
(p≤0,05) terhadap kadar gula reduksi dekstrin pati suweg secara enzimatis.
Nilai rata-rata kadar gula reduksi dekstrin pati suweg secara enzimatis dari
perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim dapat dilihat pada Tabel 11.
54
Tabel 11. Nilai rata-rata kadar gula reduksi dekstrin pati suweg secara enzimatis dari perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim Perlakuan
Konsentrasi Pati (%b/v)
Konsentrasi Enzim (%v/v)
Kadar Gula Reduksi
(%)
Notasi
DMRT 5%
25
30
35
0,005 0,010 0,015
0,005 0,010 0,015
0,005 0,010 0,015
34.7267 40.7453 50.7330
37.3273 45.4627 50.1370
40.7673 48.1413 53.1413
a c
gh b e g
cd f i
- 1.1886 1.2876
1.1315 1.2457 1.2800
1.2229 1.2648 1.2953
Keterangan : nilai rata-rata yang disertai dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata.
Tabel 11 menunjukkan bahwa rata-rata kadar gula reduksi dekstrin akibat
perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim berkisar antara 34,7267% -
53,1413%. Perlakuan konsentrasi pati suweg 25 %b/v dan konsentrasi enzim
0,005 %v/v menunjukkan kadar gula reduksi terendah (34,7267%), sedangkan
perlakuan konsentrasi pati suweg 35 %b/v dan konsentrasi enzim 0,015 %v/v
menunjukkan kadar gula reduksi tertinggi (53,1413%).
Hubungan antara perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim
terahadap kadar gula reduksi dekstrin pati suweg secara enzimatis dapat dilihat
pada Gambar 12.
55
ll
Gambar 12. Hubungan antara perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim terhadap kadar gula reduksi dekstrin pati suweg secara
enzimatis
Gambar 12 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi pati dan
semakin tinggi konsentrasi enzim dapat meningbkatkan kadar gula reduksi nya.
Hal ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi pati dan konsentrasi enzim, maka
semakin banyak pati yang dihidrolisis dan akan meningkatkan aktivitas enzim
untuk memecah ikatan glikosidik menjadi gula-gula sederhana (glukosa, maltosa,
dekstrin, maltosa, maltotriosa, maltotetrosa). Semakin banyak ikatan glikosidik
yang dapat dipecah akan menyebabkan jumlah gula reduksi meningkat.
Menurut Lehninger (1990), bahwa pada konsentrasi substrat yang tinggi
menyebabkan aktivitas enzim semakin meningkat. Menurut Winarno (1995),
kerja α-amilase adalah memecah ikatan α-1,4-glikosidik secara cepat dan acak
56
yang menghasilkan maltosa, glukosa dan maltotriosa dan menyebabkan polimer-
polimer pati yang telah terkonversi menjadi molekul-molekul yang lebih pendek.
5. Rendemen
Rendemen dekstrin diperoleh dari berat dekstrin serbuk dibagi dengan berat
pati suweg sehingga diperoleh rendemen dekstrin pati suweg.
Berdasarkan hasil analisis ragam rendemen (Lampiran 6) menunjukkan
bahwa tidak terjadi interaksi antara perlakuan konsentrasi pati dan perlakuan
konsentrasi enzim terhadap rendemen dekstrin pati suweg secara enzimatis.
Konsentrasi pati dan konsentrasi enzim berpengaruh nyata terhadap rendemen
dekstrin pati suweg secara enzimatis.
Nilai rata-rata rendemen dekstrin pati suweg secara enzimatis dari perlakuan
konsentrasi pati dapat dilihat pada Tabel 12 menunjukkan nilai rata-rata rendemen
dengan kisaran antara 74,2234%-84,2034% .
Tabel 12. Nilai rata-rata rendemen dekstrin pati suweg secara enzimatis dari perlakuan konsentrasi pati
Konsentrasi Pati
(%b/v)
Rata-rata Rendemen
(%)
Notasi DMRT 5%
25 30 35
74,2234 81,3778 84,2034
a b c
- 2,0977 2,2037
Tabel 12 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi pati, nilai
rendemen pada dekstrin yang dihasilkan semakin tinggi secara nyata. Hal ini
disebabkan semakin tinggi konsentrasi substrat menyebabkan hasil hidrolisis juga
57
meningkat yang akan diikuti pula oleh semakin meningkatnya total padatan
terlarut akibatnya rendemen juga meningkat.
Nilai rata-rata rendemen dekstrin pati suweg secara enzimatis dari perlakuan
konsentrasi enzim dapat dilihat pada Tabel 13 menunjukkan nilai rata-rata
rendemen dengan kisaran antara 76,1844% - 83,5300%.
Tabel 13. Nilai rata-rata rendemen dekstrin pati suweg secara enzimatis dari perlakuan konsentrasi enzim.
Konsentrasi enzim (%v/v)
Rata-rata Rendemen
(%)
Notasi DMRT 5%
0,005 0,010 0,015
76,1844 80,0900 83,5300
a b c
- 2,0977 2,2037
Tabel 13 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim, nilai
rendemen pada dekstrin yang dihasilkan semakin tinggi secara nyata. Hal ini
disebabkan semakin besar konsentrasi enzim yang ditambahkan maka semakin
banyak substrat yang dihidrolisis oleh enzim sehingga hasil hidrolisis juga
meningkat yang akan diikuti pula oleh semakin meningkatnya total padatan
terlarut akibatnya rendemen juga meningkat. Menurut Beleia dan Hoseney (1996),
kandungan total padatan dalam larutan akan mempengaruhi rendemen.
Perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim menghasilkan dekstrin
dengan nilai rendemen yang tidak terjadi interaksi secara nyata. Hal ini
disebabkan karena kecepatan reaksi enzim berkurang pada saat hampir semua pati
terhidrolisis. Menurut Lindawati (2006), semakin tinggi kecepatan reaksi enzim
maka semakin banyak pati yang terhidrolisis, namun setelah hampir semua pati
terhidrolisis kecepatan reaksi enzim akan berkurang.
58
C. Analisa Keputusan
Analisa keputusan untuk penelitian pengaruh konsentrasi pati suweg dan
konsentrasi enzim yang terbaik didasarkan pada hasil uji kimia yang meliputi
kadar air, kadar abu, nilai DE, kadar gula reduksi, rendemen.
Berdasarkan data-data pada Tabel 14, berdasarkan aspek kualitas kimia
dengan kadar air, kadar abu, nilai DE, kadar gula reduksi yang memenuhi
persyaratan standar mutu SII dan nilai rendemen tertinggi pula serta segi ekonomi
diambil keputusan dengan perlakuan terbaik didapatkan pada perlakuan
konsentrasi pati suweg 35 %b/v dan konsentrasi enzim 0.005 %v/v yang memiliki
kadar air 2.4226%, kadar abu 0.1571%, nilai DE 36.2193%, kadar gula reduksi
40.7673%, dan rendemen 81.16%. Berdasarkan hasil tersebut, maka dekstrin pati
suweg dengan perlakuan A3B3 merupakan produk yang memenuhi persyaratan
mutu produk dekstrin.
Nilai keseluruhan dari berbagai analisa pada tiap perlakuan dapat dilihat
pada Tabel 14.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:
1. Terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan konsentrasi pati suweg dan
konsentrasi enzim terhadap kadar abu, nilai dekstrose ekuivalen, dan kadar
gula reduksi. Tidak terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan konsentrasi
pati suweg dan konsentrasi enzim terhadap kadar air dan rendemen.
2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik konsentrasi pati suweg
35 %b/v dan konsentrasi enzim 0.005 %v/v yang menghasilkan dekstrin pati
suweg dengan kadar air 2.4226%, kadar abu 0.1571%, nilai DE 36.2193%,
kadar gula reduksi 40.7673%, rendemen 81.16%.
3. Hasil analisis finansial menyimpulkan bahwa perusahaan dekstrin pati suweg
dengan perlakuan konsentrasi pati suweg 35 %b/v dan konsentrasi enzim
0.005 %v/v layak diproduksi karena net B/C lebih besar dari satu, yaitu 1.16
dan NPV lebih besar dari nol, yaitu Rp. 133.827.029,2. IRR sebesar 21,97%
lebih besar dari tingkat suku bunga bank. Dalam proyek ini pertahunnya
mendapat nilai keuntungan bersih sebesar Rp. 123.061.502,8 dengan nilai
BEP Rp. 100.632.925,9 atau 22,488% dengan kapasitas titik impas 701.631,67
unit/tahun. Perusahaan ini melakukan pengembalian modal dalam jangka
waktu sekitar 3.3 tahun.
65
66
B. Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang suweg, tidak sebatas pada
penggunaan patinya sebagai dekstrin, tetapi seperti kandungan serat dan
sebagainya yang terdapat dalam suweg, sehingga pemanfaatan suweg lebih
maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Admosudirjo, S.D., 1987. Berbagai Pandangan Umum tentang Pengambilan
Keputusan. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Anonimous, 1990. Official Methods of Analysis of Association Agricultural
Chemist. 25th edition, Washington DC. Anonimous, 1992. Dekstrin Industri Pangan. SII 2593-1992. Departemen
Perindustrian Republik Indonesia. Anonimous, 2001. Lyquozyme® Supra. http://www.novozymes.com; 29 Januari
2010 Anonimous, 2007. Dextrin. http://en.wikipedia.org/wiki/Dextrin; 16 November
2008. Anonimous, 2009. Dextrin. http://ebookpangan.com; 2 September 2009. Apriyanto, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N dan Budiyanto, S., 1989. Petunjuk
Laboratorium Analisa Pangan. IPB Press, Bogor. Baniel, A., A. Fains dan Y. Popineau, 1997. Foaming Properties of Albumen
with a Bubling Apparatus Compared with Whipping. J, Food Sci 62: 377-381.
Beleia. A, Miller R.A, dan Haseney, R.C., 1996. Starch Gelatinization in Sugar
Solution. Starch/Strake.48:259-262 Belizt, H.D., and W. Grosch, 1987. Food Chemistry. Library of Congres
Cataloging in Publication Data. Spiger-Verlag. Berlin, Germany. Bluenstein,P.M dan T.P Labuza, 1989. Pengaruh Turunnya Kadar Air
Terhadap Zat Gizi. Dalam R.S Harris dan E.Karmas (ed). Eavluasi Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan. Edisi Kedua. Penerbit ITB, Bandung. Hal 319-354.
Desrosier, W.N., 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan: Muljoharjo
M. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Estiasih, T., 2006. Teknologi dan Aplikasi Polisakarida dalam Pengolahan
Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya.
67
68
Fitroyah, D. F., 2007. Pembuatan Sirup Fruktosa dari Umbi Gembili secara Hidrolisis Enzimatis. Skripsi. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, UPN “Veteran” Jawa Timur, Surabaya
Gasperz, U., 1994. Metode Perancangan Percobaan. Armico, Jakarta. Girinda, A., 1998. Biokimia, Yogyakarta. Hui, Y.H., 1992. Starch Hydrolysis Products. VCH Publisher, New York. Hidayat, N., 2007. Pengembangan Produk dan Teknologi Proses.
http://ptp2007.wordpress.com/ ; 22 Januari 2008. Jariyah dan Yunianta, 2001. Karakteristik dan Hidrolisis Pati Garut untuk
Pembuatan Sirup Glukosa, Jurnal Semnas Patpi. Hal 29-38. Volume B Oktober, Semarang.
Judoamidjojo, M.,Darwis, A.,Endang, S.,1992. Teknologi Fermentasi. PAU
Bioteknologi IPB, Bogor. Karim, A.A. and Wai, C.C., 1998. Foam-mat Drying of Starfruit (Averrhoa
carambola L) Puree, Stability and Air Drying characteristhics. Journal of Food Chemistry (64):337-343.
Koswara, S., 2009. Teknologi Modifikasi Pati. http://ebookpangan.com; 30
Agustus 2009. Lastriningsih, 1997. Mempelajari Pembuatan Bubuk Konsentrat Kunyit
(Curcumae domesticate var) dengan Menggunakan Pengering Semprot. IPB, Bogor.
Lindawati, S.I., 2006. Pembuatan Syrup Glukosa Kasar Dari Pati Sagu
(Metroxylon, sp). Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
Muchtadi, D; Palupi, D; Astawan, N.S., dkk.,1992. Enzim Dalam Industri
Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi PAU IPB. Bogor.
Mustaufik, T. Susanto dan H. Purnomo, 2002. Pengaruh Penambahan
Emulsifying Agent Tween 80 dan Stabilisator Emulsi Na-CMC Terhadap Stabilitas Susu Kacang Gude (Cajanus cajan L). Jurnal Teknologi Pertanian vol I, No.2. Agustus 2000:24-34.
69
Nugroho, A.D., 2000. Pembuatan dan Karakteristik Edible Film dari Campuran Tepung Glukomannan Iles-Iles Kuning (Amorphophallus onchophyllus) dan Carboxymethyl Cellulose. Fakultas Teknologi Pertanian. ITB, Bogor.
Othmer, K., 1976. Encyclopedy of Chemical Technology. UI Press, Jakarta. Pelczar and Chan, 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. UI Press, Jakarta. Radley, J.A., 1992. Starch Production Technology. VCH Publisher Inc., New
York. Richana, N dan Sunarti, T.C., 2009. Karakteristik Sifat Fisikokimia Tepung
Umbi dan Tepung Pati dari Umbi Ganyong, Suweg, Ubi Kelapa dan Gembili. http://pasacapanen.litbang.deptan.go.id; 30 Maret 2009.
Rindasmara, Y.S., 2008. Penghilangan Rasa Gatal pada Talas.
www.google.com/2008/02/18; 24 Maret 2008. Ruqoiyah, A., 2002. Kinetika Reaksi Hidrolisis Pati Sorghum menjadi
Dekstrin dengan Katalisator HCl. Skripsi. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, UPN “Veteran” Jawa Timur, Surabaya.
Siagian, 1987. Penelitian Operasional. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Jakarta. Subekti, D., 2007. Maltodekstrin.
http://dudimuseind.blogspot.com/2008/03/dextrose-equivalent.html; 24 Maret 2008.
Sudarmadji, S.,Bambang, H dan Suhardi, 1996. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty Yogyakarta dan PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta.
Suryanto, R., Kumalaningsih, S dan Susanto, T.,2001. Pembuatan Sari Buah
Sirsat (Annona muriata L) dari Bahan Baku Pasta dengan Metode Foam Mat Drying kajian Suhu Pengeringan, Konsentrasi Dekstrin, dan Lama Penyimpanan Bahan Baku Pasta. Biosain Volume 1 No 1, April 2001.
Susanto, T dan Saneto B., 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. PT.
Bina Ilmu, Surabaya. Sutomo, B, 2008. Umbi Suweg – Potensial sebagai Pengganti Tepung Terigu.
http://myhobbyblogs.com; 19 Oktober 2008.
70
Syafii, I.,1981. Percobaan Pembuatan Tepung Mannan dari Umbi Iles-Iles (Amorphophallus variabilis BI). Fakultas Teknologi Pertanian, ITB, Bogor.
Tjokroadikoesoema, S., 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu lainnya. Penerbit
PT. Gramedia. Jakarta. Tranggono, S.,Haryadi., Suparmo., A. Mardiati., S. Sudarmadji., K. Rahayu., S.
Naruki dan M. Astuti., 1990. Bahan Tambahan Pangan (Food Additives). PAU Pangan dan Gizi. UGM, Yogyakarta.
Tranggono, 1991. Kimia Pangan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Utomo, J dan Antarlina, S., 1997. Kajian Sifat Fisiko Kimia Pati Umbi-umbian
lain Selain Ubi Kayu. Prosiding Seminar Teknologi Pangan. Malang. Woodroof, L.G., and B.S., Luh, 1975. Commercial Fruit Processing. The AVI
Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut. Wankhade, D. dan Sajjan, S.U., 1981. Isolation and Physico-chemical of Starch
Extracted from Yam, Elephant Amorphophallus campanulatus, Verlag chemie GmbH,D-6940, Weirhem.
Winarno, F.G., 1995. Enzim Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.