bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan konsep kebutuhan …repository.poltekkes-tjk.ac.id/206/3/bab...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar Oksigenasi
1. Kebutuhan oksigen
Menurut Andina & Yuni (2017), Kebutuhan oksigen diperlukan untuk
proses kehidupan. Oksigen sangat berperan dalam proses metabolisme
tubuh. Masalah kebutuhan oksigen merupakan masalah utama dalam
pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Hal ini telah terbukti pada
seseorang yang kekurangan oksigen akan mengalami hipoksia dan akan
terjadi kematian.
Kebutuhan oksigen dalam tubuh harus terpenuhi karena jika
kebutuhan oksigen dalam tubuh berkurang, maka akan terjadi kerusakan
pada jaringan otak dan apabila hal itu berlangsung lama akan
menimbulkan kematian. System yang berperan dalam proses pemenuhan
kebutuhan adalah system pernapaan, persarafan, dan kardiovaskuler.
Pada manusia, proses pemenuhan kebutuhan oksigen dapat dilakukan
dengan cara pemberian oksigen melalui saluran pernapasan, memulihkan
dan memperbaiki organ pernapasan agar berpungsi secara normal serta
membebaskan saluran pernapasan dari sumbatan yang menghalangi
masuknya oksigen.
Mengingat oksigen merupakan kebutuhan dasar manusia, maka dalam
lingkup keperawatan, perawat harus paham dengan manifestasi tingkat
pemenuhan kebutuhan oksigen pada kliennya, serta mampu mengatasi
berbagai masalah yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan tersebut.
Itulah sebabnya, perawat perlu memahami secara mendalam konsep
oksigenasi pada manusia.
Oksigenasi merupakan proses penambahan O2 ke dalam sistem (kimia
atau fisiska). Oksigen berupa gas tidak berwarna dan tidak berbau, yang
mutlak dibutuhkn dalam proses metabolism sel. Akibat oksigenasi
6
7
terbentuklah karbon dioksida, energi, dan air. Walupun begitu, akamn
memberikan dampak yang cukup bermakna terhadap aktivitas sel.
Menurut Tarwato & Wartonah (2015), Oksigen (O2) merupakan gas
yang sangat vital dalam kelangsungan hidup sel dan jaringan tubuh karena
oksigen diperlikan untuk proses metabolisme tubuh secara terus-menerus.
Oksigen diperoleh dari atmosfer melalui proses bernapas, pada atmosfer,
gas selain oksigen juga terdapat karbon dioksida (CO), nitrogen ( N), dan
unsure-unsur lain seperti argon dan helium.
2. Faktor-Faktor Mempengaruhi Kebutuhan Oksigenasi
a. Faktor fisiologis
1) Menurunnya kapasitas O2 seperti pada anemia.
2) Menurunnya konsentrasi O2 yang diinspirasi seperti pada obstruksi
saluaran napas bagian atas.
3) Hipovolemia sehingga sehingga tekanan darah menurun
mengakibatkan transport O2 terganggu.
4) Meningkatnya metabolisme seperti adanya infeksi,demam,ibu
hamil, luka.
5) Kondisi yang memengaruhi pergerakan dinding dada seperti pada
kehamilan, obesitas, musculoskeletal yang abnormal, serta penyakit
kronis seperti TB paru.
b. Faktor perkembangan
1) Bayi prematur
2) Bayi dan toodler
3) Anak usia sekolah dan pertengahan
4) Dewasa tua
c. Faktor prilaku
1) Nutrisi
2) Latihan fisik
3) Merokok
4) Penyalahgunaan substansi kecemasan
8
d. Faktor lingkungan
1) Tempat kerja
2) Suhu lingkungan
3) Ketinggian tempat dari permukaan laut
(Haswita & Reni, 2017).
3. Tipe Kekurangan Oksigen Dalam Tubuh
Menurut Tarwoto & Wartonah (2015), tipe kekurangan Oksigen dalam
tubuh di bagi menjadi 7 bagian yaitu:
a. Hipoksemia
Merupakan keadaan di mana terjadi penurunan konsentrasi oksigen
dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri ( SaO2 ) dibawah
normal (normal PaO 85-100 mmHg, SaO,95%). Pada neonates, PaO2
< 50 mmHg atau SaO2 < 88%. Pada dewasa, anak, dan bayi, PaO2 < 60
mmHg atau SaO2 < 90%. Keadaan ini disebabkan oleh ganguuan
ventilasi, perfusi, difusi, pirau (shunt), atau berada pada tempat yang
kurang oksigen. Pada keadaan hivoksemia, tubuh akan melakukan
kompensasi dengan cara meningkatkan pernapasan, meningkatkan
stroke volume, vasodilatasi pembuluh darah, dan peningkata nadi.
Tanda dan gejala hipoksemia di anaranya sesak nafas, frekuensi nafas
dapat mencapai 35 kali per menit, nadi cepat dan dangkal, serta
sianosis.
b. Hipoksia
Merupakan keadaan kekurangan oksigen di jaringan atau tidak
adekuatnya pemenuhan kebutuhan oksigen seluler akibat defisiensi
oksigen yang diinspirasi atau meningkatnya penggunaan oksigen pada
tingkat seluler. Hipoksia dapat terjadi setelah 4-6 menit ventilasi
berhenti spontan. Penyebab lain hipoksia antara lain:
a) Menurunnya hemoglobin
b) Berkurangnya konsentrasi oksigen, misalnya jika kita berada di
puncak gunung
9
c) Ketidakmampuan jaringan mengikat oksigen, seperti pada
keracunan sianida
d) Menurunya difusi oksigen dan alveoli ke dalam darah seperti pada
pneumonia;
e) Menurunnya perfusi jaringan seperti pada syok;
f) Kerusakan atau gangguan ventilasi
Tanda-tanda hipoksia di antaranya kelelahan, kecemasan,
menurunnya kemampuan konsentrasi, nadi meningkat, pernapasan
cepat dan dalam sianosis sesak nafas, serta jari tabuh (clubling
finger).
c. Gagal nafas
Merupakan keadaan di mana terjadi kegagalan tubuh memenuhi
kebutuhan oksigen karna pasien kehilangan kemampuan ventilasi
secara adekut sehingga terjadi kegagalan pertukaran gas karbon
dioksida dan oksigen. Gagal napas ditandai oleh adanya peningkatan
gas karbon dioksida dan oksigen. Gagal nafas di tandai oleh adanya
peningkatan CO2 dan penurunan O2 dalam darah secara signifikan.
Gagal nafas dapat disebabkan oleh gangguan system saraf pusat yang
mengontrol system pernapasan, kelemahan neuromuscular, keracunan
obat, gangguan metabolism, kelemahan otot pernapsan, dan obstruktif
jalan nafas.
d. Perubahan pola nafas
Pada keadaan normal, frekuensi pernafasan pada orang dewasa
sekitar 12-20 x/menit,dengan irama teratur serta inspirasi lebih panjang
dari ekspirasi. Pernafasan normal disebut eupnea. Perubahan pola
nafas dapat berupa hal-hal sebagai berikut.
a) Dispnea, yaitu kesulitan bernapas, misalnya pada pasien dengan
asma.
b) Apnea, yaitu tidak bernapas, berhenti bernapas.
c) Takipnea, yaitu pernapasan lebih cepat dari normal dengan
frekuensi lebih dari 24 x/menit.
10
d) Bradipnea, yaitu pernapasan lebih lambat (kurang) dari normal
dengan frekuensi kurang dari 16x/menit.
e) Kussmaul, yaitu pernpasan dengan panjang ekspirasi dan inspirasi
sama, sehingga pernapasan menjadi lambat dan dalam, misalnya
pada pasien koma dengan penyakit diabetes mellitus dan uremia.
f) Cheyne-stokes,merupakan pernapasan cepat dan dalam kemudian
berangsur-ansur dangkal dan diikuti periode apnea yang berulang
secara teratur. Misalnya pada keracunan obat bius,penyakit
jantung, dan penyakit ginjal.
g) Biot, adalah pernapasan dalam dan dangkal disertai masa apnea
dengan periode yang tidak teratur, misalnya pada meningitis.
4. Sistem tubuh yang berperan dalam kebutuhan oksigenasi
Menurut Lyndon (2013), System tubuh yang berperan dalam
oksigenasi adalah system pernapasan atau system respirasi. System
pernapasan dapat di bagi menjadi dua bagian yaitu system pernapasan ats
dan system pernapasan bawah.
a. Sistem pernapasan atas
System pernapasan atas terdiri atas hidung, faring, dan laring
1) Hidung
Hidung dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu nares
interior dan rongga hidung. Nares interior adalah saluran-saluran di
dalam hidung yang bermuara di rongga (vestibulum) hidung. Pada
nares interna terdapat kelenjar sebaesus yang di tutupi oleh bulu
kasur. Rongga hidung di lapisi oleh membran mukosa. Permukaan
membran mukosa akan menghasilkan lendir yang berfungsi
melembabkan dan menghangatkan udara yang masuk ke paru-paru.
Pada permukaan mukosa terdapat rambut-rambut yang berfungsi
menyaring debu atau kotoran yang masuk ke rongga hidung.
11
2) Faring
Faring merupakan saluran berotot yang memanjang dari dasar
tengkorak hingga persambungannya dengan esofgus. Faring di bagi
menjadi tiga bagian, yaitu nasofaring (di belakang hidung),
orofaring (di belakang mulut), dan laringofaring (di belakang
laring). Faring kaya akan jaringan limfoid yang berfungsi
menangkap dan menghancurkan kuman pathogen yang masuk
bersama udara.
Faring merupkan rongga persimpangan antara saluran
pencernaan dan saluran pernapasan. Di pangkal saluran pernafasan
terdapat epiglotis yang menjaga agar makanan tidak masuk ke
saluran pernapasan. Saat menelan makanan, epiglotis akan
menutup pangkal saluran pernapasan sehigga makanan masuk ke
saluran pencernaan. Saat bernapas, epiglottis akan membuka
saluran pernapasan sehingga udara dapat masuk ke salurn tersebut.
3) Laring
Laring merupakan saluran yang terletak di depan bagian
terendah faring. Saluran ini terdiri atas rangkaian kepingan tulang
rawan yang diikat bersama oleh ligament dan membran. Di dalam
laring terdapat pita suara yang berfungsi menghasilkan bunyi atau
suara. Selain itu, laring juga berfungsi mempertahankan kepatenan
jalan nafas dan melindungi jalan nafas bawah dari air dan makanan
yang masuk.
b. Sistem pernafasan bawah
Sistem pernafasan bawah terdiri atas trakea dan paru-paru. Di
dalam paru terdapat bronkus, bronkiolius, dan alveolus.
1) Trakea
Trakea merupakan saluran udara dengan panjang sekitar Sembilan
sentimeter dan disokong oleh cincin-cincin kartilago. Trakea di
mulai dari laring dan memanjang hingga kira-kira ketinggian
vertebra torakalis kelima. Trakea di lapisi oleh membran mukosa
12
yang mengandung epitel bersila. Silia ini dapat bergerak untuk
menggiringi keluar debu dan butir-butir kotoran yang masuk
bersama udara.
2) Bronkus dan paru-paru (pulmo)
Ujung bawah trakea bergabung dua, ke kanan dan kiri.
Setiap percabangannya disebut bronkus, sedangkan tempat
percabangannya di sebut bifurkasi. Bronkus kanan lebih pendek
dan lebih lebar dari pada bronkus kiri. Di dalam paru-paru, bronkus
utama bercabang-cabang lagi menjadi bronkus yang lebih kecil dan
berakhir di bronkiolus terminal. Bronkiolus berujung pada
gelembung-gelembung halus yang diamankan alveoli.
Alveoli memiliki dinding yang elastis dan banyak
mengandung kapiler darah. Pada bagian inilah terjadi pertukaran
gas antara oksigen dan karbon dioksida. Alveoli bersifat lentur
karena di lumasi suatu zat yang disebut surfakat.
Paru-paru terdiri atas dua bagian, yaitu paru kanan dan paru
kiri. Paru kanan terdiri atas tiga lobus (atas, tengah, dan bawah),
sedangkan paru kiri terdiri atas dua lobus (atas dan bawah).
5. Proses pernafasan
Pross pernafasan dapat di bagi menjadi dua tahap, yaitu pernafasan
eksternal dan pernafasan eksternal. Pernafasan eksternal adalah
keseluruhan proses pertukaran gas antara lingkungan eksternal adalah
proses pertukaran gas antara pembuluh darah kapiler dan jaringan tubuh.
a. Pernafasan eksternal
Pernafasana eksteral dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu
ventilasi pulmober, difusi gas, dan traspor oksigen serta karbon
dioksida.
1) Ventilasi merupakan proses pertukaran gas dari atmosfer ke alveoli
dan sebaliknya. Gas yang di hirup dari atmosfer ke alveoli adalah
13
oksigen, sedangkan gas yang di keluarkan dari alveoli ke atmosfer
adalah karbondioksida.
Proses ventilasi di pengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
a) Perbedaan tekanan udara antara atmosfer dan paru-paru
b) Jalan nafas yang berih serta system pernafasan yang utuh
c) Kemampuan rongga toraks untuk mengembang dan
berkomunikasi dengan baik
d) Kerja sistem saraf autonom, yaitu rangsangan simpatik dapat
menyebbkan relaksasi sehingga vasodilatasi dapat terjadi,
sedangkan rangsangan parasimpetik dapat menyebabkan
kontraksi seingga vasokonstriksi dapat terjadi
e) Kerja sistem saraf pusat karena pada system saraf pusat
terdapat bagian yang berperan sebagai pusat pernafsan, yaitu
mendula oblongata dan pons. Keberadaan karbon dioksida akan
merangsang kedua pusat saraf terebut.
f) Kemampuan paru-paru untuk mengembang dan menyempit.
Kemampuan paru-paru untuk mengembang di sebut
compliance di pengaruhi oleh keberadaan surfakat di alveoli
yang menurunkan tegangan permukaan dan keberadaan sisa
udara sehingga tidak terjadi kolaps dan gangguan toraks.
Kemampuan paru-paru untuk menyempit sehingga dapat
mengeluarkan CO2 di sebut recoil.
2) Difusi gas alveolar
Pada saat oksigen memasuki alveoli, terjadi difusi oksigen
dari alveoli ke pembuluh darah kapiler paru. Selain itu, juga terjadi
difusi karbon dioksid dari pembuluh darah kapiler paru ke alveoli.
Proses difusi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain luas
permukan paru, ketebalan membran respirasi, perbedaan tekanan
karbon dioksida di dalam alveoli dan di kapiler paru, perbedaan
tekanan dan konsentrasi oksigen di dalam alveoli dan di kapiler
14
paru, serta afinitas gas (kemampuan O2 dan CO2 dalam menembus
dan mengikat hemoglobin).
3) Transpor oksigen dan karbon dioksida
Transport gas di dalam tubuh dapat di bagi menjadi dua bagian,
yaitu traspor oksigenasi dan transport karbon dioksida.
a) Transpor oksigen merupakan proses pengangkutan oksigen dari
pembuluh kapiler ke jaringan tubuh. Oksigen yang masuk ke
dalam pembuluh kapiler sebagai besar akan berikatan dengan
hemoglobin (97%) dalam bentuk oksihemoglobin (HBO2) dan
sisanya (3%) terlarut di dalam plasma. Transpor oksigena di
pengaruhi oleh jumlah oksigen yang masuk ke dalam paru
(ventilasi) serta aliran darah ke paru dan jaringan (perfusi).
b) Transpor krbon dioksida
Transpor karbon dioksida merupakan proses pengangkutan
karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru.
b. Pernapasan Internal (Pernapasan Jaringan)
Pernapasan internal merupakan proses pertukaran gas antara
pembuluh darah kapiler dan jaringan tubuh. Setelah oksigen berdifusi
ke dalam pembuluh darah, darah yang banyak mengandung oksigen di
angkut ke seluruh bagian tubuh hingga mencapai kapiler sistemik. Di
bagian ini terjadi pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara
kapiler sistemik dan sel jaringan. Oksigen berdifusi dari kapiler
sistemik ke sel jaringan, sedangkan karbon dioksida berdifusi dari sel
jaringan ke kapiler sistemik.
6. Perubahan fungsi pernafasan
Menurut Haswita (2017), perubahan fungsi pernafasan ada tiga yaitu:
a. Hiperventilasi
Hiperventilasi merupakan suatu kondisi ventilasi berlebih, yang
dibutuhkan untuk mengeliminasikan karbon dioksida normal di vena,
yang di produksi melalui metabolisme seluler. Hiperventilasi dapat di
15
sebabkan oleh ansietas, infeksi, obat-obatan, ketidakseimbangan sam
basa, hipoksia yang di kaitkan dengan embolus paru dan syok.
b. Hipoventilasi
Hipoventilasi terjadi ketika ventilasi alveolar tidak adekuat
memenuhi kebutuhan oksigen tubuh atau mengeliminasikan karbon
dioksida secara adekuat. Sehingga apabila ventilasi alveolar menurun,
maka PaCO2 akan meningakat. Hipoventilasi dapat di sebabkan oleh
atelektasis.
c. Hipoksia
Hipoksia adalah oksigenasi jaringan yang tidak adekuat pada
tingkat jaringan. Kondisi ini terjadi akibat penghantaran oksigen atau
tingkat penggunaan oksigen di seluler. Hipoksia dapat di sebabkan
oleh (1) penurunan kadar hemoglobin dan penurunan kapasitas drah
yang membawa oksigen,(2) penurunan konsentrasi oksigen yang
diinspirasi, (3) ketidakmampuan jaringan untuk mengambil oksigen
dari darah, seperti keracunan sinida,(4) penurunan difusi oksigen dari
alveoli ke darah, seperti pneumonia,(5) perfusi darah yang
mengandung oksigen di jaringan yang buruk, seperti syok.(6)
kerusakan ventilasi, seperti fraktur iga multipel atau trauma dada.
7. Mekanisme pernafasan
Menurut Tarwanto & Wartonah (2015), Tekanan yang berperan dalam
proses bernapas adalah tekanan atmosfer, tekanan intrapulmonal, atau
intraalveoli, dan tekanan intrapleura,adanya peredan teknn yang terjadi
mengakibatkan perubahan rongga toraks menjadi lebih besar atau
mengecil.
a. Tekanan atmosfer, yaitu tekanan udara luar, biasanya sekitar 760
mmHg, tekanan ini di akibatkan oleh kandungan gas yang berada di
atmosfer.
b. Tekanan intrapulmonal atau intralveoli, yaitu tekanan yang terjadi
dalam alveoli paru-paru. Ketika bernapas normal atau biasa terjadi
16
perbedan tekanan dengan atmosfer. Pada saat inspirasi, tkanan
intrapulmonal 759 mmHg, lebih rendah 1 mmHg dari atmosfer dan
pada saat kspirasi tekanannya menjadi lebih tinggi + 1 mmHg menjadi
761 mmHg. Tekanan intrapulmonal akan meningkat ketika bernapas
maksimum, pada inspirasi perbedan tekanan dapat mencapai -30
mmHg dan kspirai + 100 mmHg.
c. Tekanan intrapleura, adalah tekanan yang terjadi pada rongga pleura
yaitu ruang antara pleura parientalis dan visralis. Besarnya tekanan ini
kurang dari tekanan pada alveoli atau atmosfer sekitar -4 mmHg atau
sekitar 756 mmHg pada pernapasan biasa dan dapat mencapai -18
mmHg pada inspirasi dalam atau kuat.
8. System kardivaskuler
Menurut Tarwanto & Wartonah (2015), System kardiovaskuler juga
berperan dalam proses oksigenai ke jaringan tubuh, aitu berperan dalam
proses transportasi oksigen. Oksigen ditranspormasikan ke seluruh tubuh
melalui aliran darah. Aliran darah yang adekuat hanya dapat terjadi apabila
fungsi jantung normal. Dengan demikian, kemampuan oksigenasi pada
jaringan sangat di tentukan oleh adekuatnya fungsi jantung. Fungsi jantung
yang adekuat dapat dilihat dari kemampuan jantung memompa drah dan
perubahan tekanan darah.
a. Jantung sebagai pemompa
Jantung merupakan organ yaitu memopa darah melalui sirkulasi
sistemik maupun pulmonal. Kerja jantung di perlihatkan melalui curah
jantung. Selama diastole atau relaksasi, tekanan ventrikel lebih rendah
dari atrium ke ventrikel mellui katup atriventricular yang terbuka dan
pada akhir diastole ventrikel, trium berkontrksi mendorong darah
masuk ke ventrikel.
b. Preload
Adalah keadaan di mana serat otot ventrikel kiri jantung
memanjang atau meregang sampai akhir diastole. Sesuai dengan
17
hukum frank starling bahwa semakin besar regangan otot jantung,
maka semakin besar pula kekuatan kontaksinya dan semakin besar
pula curah jantungnya. Pada keadaan preload, terjadi pengisisan
ventrikel sehingga semain panjang otot ventrikel meregang, maka
semakin besar pula volume drah yang masuk dalam ventikelnya.
c. Afterload
Adalah tekanan yang di libatkan oleh pompa ventrkel kiri, untuk
membuka katup aorta selama sistoldan pada saat memompa darah.
Fterload secara langsung di pengaruhi oleh tekanan darah arteritinggi,
maka jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa darah ke
sirkulasi.
9. Bersihan jalan nafas tidak efektif
1. Ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan nafas untuk
mempertahankan jalan nafas tetap paten.
Penyebab:
a. Fisiologis
1) Spasme jalan nafas
2) Hipersekresi jalan nafas
3) Disfungsi neuromuskuler
4) Benda asing dalam jalan nafas
5) Adanya jalan nafas buatan
6) Sekresi yang tertahan
7) Hiperplasia dinding jalan nafas
8) Proses infeksi
9) Respon alergi
10) Efek agen farmakologis (mis. Anastesi)
b. Situasional
1) Merokok aktif
2) Merokok pasif
3) Terpajan polutan
18
2. Gejala dan tanda mayor
a. Subjektif
Tidak tersedia
b. Objektif
1) Batuk tidak efektif
2) Tidak mampu batuk
3) Sputum berlebih
4) Mengi, wheezing dan/ atau ronkhi kering
5) Mekonium di jalan nafas (pada neonates)
3. Gejala dan tanda minor
a. Subjektif
1) Dispnea
2) Sulit berbicara
3) Ortopnea
b. Objektif
1) Gelisah
2) Sianosis
3) Bunyi nafas menurun
4) Frekuensi nafas berubah
5) Pola nafas berubah
4. Kondisi klinis terkait
a. Guliian barre syndrom
b. Sklerosis multipel
c. Myasthenia gravis
d. Prosedur diagnoistik (mis, bronkoskopi, transesophageal
echocardiography [ TEE]
e. Depresi system saraf pusat
f. Cedera kepala
g. Stroke
19
h. Kuadriplegia
i. Sindrom aspirasi mekonium
j. Infeksi saluran nafas
( SDKI edisi 1, 2017).
B. Asuhan Keperawatan Tuberkulosis
1. Pengkajian keperawatan
a. Anamnesia
Keluhan utama
Tuberkulosis sering di juluki the great imitator, yaitu suatu
penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain
yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada
sejumlah klien gejala yang timbul tidak jelas sehingga di abaikan
bahkan kadang-kadang asimptomatik.
Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta
pertolongan dari tim kesehatan dapat di bagi menjadi dua golongan
yaitu:
1) Keluhan respiratorik
a) Batuk
Keluhan batuk, timbul paling awal dan merupakan
gangguan yang paling sering di keluhkan perawat harus
menanyakan apakah keluhan batuk bersifat
nonproduktif/produktif atau aputum beercampur darah.
b) Batuk Darah
Keluhan batuk darah pada klien dengan TB paru selalu
menjadi alasan utama klien untuk meminta pertolngan
kesehatan. Hal ini di sebabkan rasa takut klien pada darah yang
keluar dari jalan nafas. Perawat harus menanyakan seberapa
banyak darah yang keluar atau hanya berupa blood streak,
berupa garis, atau bercak-bercak darah.
20
c) Sesak Nafas
Keluhan ini di temukan bila kerusakan parenkim paru
sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi
pleura, pneumothoraks, anemia, dan lain-lain.
d) Nyeri Dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik ringan.
Gejala ini timbul apabila system persarafan di pleura terkena
TB.
2) Keluhan sistemis
a) Demam
Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada
sore atau malam hari mirip demam influenza, hilang timbul,
dan semakin lama semakin panjang serangannya, sedangkan
mau bebas serangan semakin pendek. Demam mencapai suhu
tinggi 40º- 41ºC.
b) Keluhan sistemis lain
Keluhan yang biasa timbul ialah keringat malam, anoreksia,
penurunan berat badan, dan malaise. Timbulnya keluhan
biasanya bersifat gradual muncul dalam beberapa minggu-
bulan. Akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, dan
sesak nafas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai
gejala pneumonia. Keluhan yang sering menyebabkan klien
dengan TB paru meminta pertolongan dari tim kesehatan dapat
dibagi menjadi dua golongan keluhan respiratoris dan keluhan
sistemis.
b. Riwayat penyakit saat ini
Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama.
Lakukan pertanyaan yang bersifat ringkas sehingga jawaban yang di
berikan klien hanya kata “Ya” atau “Tidak” atau hanya dengan
anggukan dan gelengan kepala. Apabila keluhan utama adalah batuk,
maka perawat harus menanyakan sudah berapa lama keluhan batuk
21
muncul (onsef). Pada klien dengan pneumonia. Keluhan batuk
biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang setelah meminum obat
batuk yang biasa ada di pasaran.
Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang
paling sering dikeluhkan mula-mula nonproduktif kemudian berdahak
bahkan bercampur darah bila sudah terjadi kerusakan jaringan. Batuk
akan timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus di mana
terjadi iritasi bronkus selanjutnya akibat adanya peradangan pada
bronkus, batuk akan menjadi produksi yang berguna untuk membuang
produk ekskresi peradangan dengan sputum yang bersifat mukoid atau
purulen.
Tanyakan selama keluhan batuk muncul, apakah ada lain seperti
demam, keringat malam, atau menggigil yang mirip dengan demam
influenza karena keluhan demam dan batuk merupakan gejala awal
dari TB paru. Tanyakan apakah batuk di sertai sputum yang kental atau
tidak, serta apakah klien mampu untuk melakukan batuk efektif untuk
mengeluarkan sekret yang menempel pada jalan nafas.
Apakah keluhan utama adalah batuk darah, maka perlu
ditanyakan kembali berapa banyak darah yang keluar. Saat melakukan
anamnesis perawat perlu meyakinkan pada klien tentang perbedaan
antara batuk darah dan muntah darah, karena pada keadaan klinis, hal
ini sering menjadi rancu.
Klien TB paru sering menderita batuk darah. Adanya batuk darah
menimbulkan kecemasan pada diri klien karena batuk darah sering di
anggap sebagai suatu tanda dari beratnya penyakit yang diidapnya.
Kondisi seperti ini seharusnya tidak terjadi jika perawat memberikan
pelayanan keperawatan yang baik pada klien dengan member
penjelasan tentang kondisi yang sedang terjadi pada dirinya. Wilson-
Barnett dalam Nancy Roper (1996) mengatakan bahwa adanya
hubungan terapeutik dengan menjelaskan kepada klien mengenai apa
22
yang akan terjadi pada dirinya dapat mengurangi kadar tingkat
kecemasan.
Oleh karena itu, peran perawat dalam mengkaji keluhan batuk
darah yang komprehensif sangat mendukung tindakan perawatan
selanjutnya. Hal ini bertujuan untuk menurunkan kecemasan dan
mengadaftasikan klien dengan kondisi yang dialaminya.
Perawatan batuk darah yang komprehensif bertujuan agar klien
dapat beradaptasi dengan keadaannya adri mengurangi tingkat batuk
darah serta dapat menghilangkan atau menurunkan tingkat kecemasan
yang di alaminya.
Jika keluhan utama atau yang menjadi alasan klien meminta
pertolongan kesehatan adalah sesak nafas, maka perawat perlu
mengarahkan atau menegaskan pertanyaan untuk membedakan antara
sesak nafas yang di sebabkan oleh gangguan pada sistem pernapasan
dan system kardiovaskular.
Sesak nafas yang di sebabkan oleh TB paru. Biasanya akan di
temukan gejala jika tingkat kerusakan parenkim paru sudah luas atau
karena ada hal-hal yang menyertinya seperti efusi pleura,
pneumothoraks, anemia, dan lain-lain. Agar memudahkan perawat
mengkaji keluhan sesak nafas maka dapat di bedakan sesuai tingkat
klasifikasi sesak. Pengkajian ringkas dengan menggunakan PQRST
dapat lebih memudahkan perawat dalam melengkapi pengkajin.
1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
penyebab sesak nafas, apakah sesak nafas berkurang apabila
beristirahat.
2) Quality of Pain: seperti apa rasa sesak nafas yang di rasakan atau
di gambarkan klien sifat keluhan (karakter), dalam hal ini perlu di
Tanya kepada klien apa maksud dari keluhan-keluhannya. Apakah
rasa sesaknya seperti tercekik atau susah dalam melakukan
inspirasi atau kesulitan dalam mencari posisi yang enak dalam
melakukan pernapasan?
23
3) Region: radiation, relief: dimana rasa berat dalam melakukan
pernapasan? Harus di tunjukkan dengan tepat oleh klien.
4) Serty (Scale) of fain : seberapa jauh rasa sesak nafas yang di
rasakan klien, bisa berdasarkan skala sesak sesuai klasifikasi sesak
nafas dan klien menerapkan seberapa jauh sesak nafas
memengaruhi aktivis sehari-harinya.
5) Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari. Sifat mula
timblnya (onset), tentukan apakah gejala timbul mendadak,
perlahan-lahan atau seketika itu juga. Tanyakan apakah timbu
gejala secara terus menerus atau hilang timbul (intermiten).
Tanyakan apa yang sedang di lakukan klien pada waktu gejala
timbul. Lama timbulnya (durasi), tentukan kapan gejala tersebut
pertama kali timbul (onset) misalnya tanyakan kepada klien apa
yang pertama kali dirasakan sebagai “tidak biasa” atau “tidak
enak” tanyakan apakah klien sudah pernah menderita penyakit
yang sama sebelumnya.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah
sebelumnya klien pernah menderita TB paru, keluhan batuk lama pada
masa kecil, tuberkulosis dari organ lain, pembesaran getah bening, dan
penyakit lain yang memperberat TB paru seperti diabetes melitus.
Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh klien
pada masa yang lalu yang masih relevan, obat-obat ini meliputi obat
OAT dan antitusif, catat adanya efek samping yang terjadi di masa
lalu. Adanya alergi obat juga harus ditanyakan serta alergi yang timbul.
Sering kali klien mengacukan suatu alergi dengan efek samping obat.
Kali lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB)
dalam enam bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan TB paru
berhubungan erat dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya
anoreksia dan mual yang sering di sebabkan karena OAT.
24
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi TB paru tidak di turunkan, tetapi perawat perlu
menanyakan apakah penyakit ini pernah di alami oleh anggota
keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi penularan di dalam rumah.
e. Pengkajian psiko-sosial-spiritual
Pengkajian psikosial klien meliputi beberapa dimensi untuk
memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan
perilaku klien. Perawat mengumpulkan data hasil pemeriksaan awal
klien tentang kapasitas fisik dan intelektual saat ini. Data ini penting
untuk menentukan tingkat perlunya pengkjian psiko-sosial-spiritual
yang seksama. Pada kondisi klinis, klien dengan TB paru sering
mengalami kecemasan bertingkat sesuai dengan keluhan yang di
alaminya.
Perawat juga perlu menanyakan kondisi pemukiman klien
bertempat tinggal. Hal ini penting mengingat TB paru sangat rentan di
alami oleh mereka yang bertempat tinggal di pemukiman padat dan
kumuh karena populasi bakteri TB perlu lebih mudah hidup di tempat
yang kumuh dengan ventilasi dan pencahayaan sinar matahari yang
kurang.
TB paru merupakan penyakit yang ada umumnya menyerang
masyarakat miskin karena tidak sanggup meningkatkan daya tahan
tubuh nonspesifik dan mengakonsumsi makanan kurang bergii. Selain
itu, juga karena ketidaksanggupan membeli obat, di tambah lagi
kemiskinan membuat individunya di haruskan bekerja secara fisik
sehingga mempersulit penyembuhan penyakitnya.
Klien TB paru kebanyakan berpendidikan rendah, akibatnya
mereka sering kali tidak menyadari bahwa penyembuhan penyakit dan
kesehatan merupakan hal yang penting. Pendidikan yang rendah sering
kali menyebabkan seseorang tidak dapat meningkatkn kemampuannya
untuk mencapai taraf hidup yang baik. Padahal, taraf hidup yang baik
25
amat di butuhkan untuk penjagaan kesehatan pada umumnya dan
dalam menghadapi infeksi pada khususnya.
f. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi pemeriksan
fisik umum per sistem dari observasi keadaan umum pemeriksaan
tanda-tanda vital, BI ( Breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4
(Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone) serta pemeriksaan yang focus
pada B2 dengan pemeriksaan menyeluruh system pernapasan.
Keadaan umum dan tanda-tanda vital.
Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat di lakukan secara
selintas pandang dengan menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh.
Selain itu, perlu dinilai secara umum tentang kesadaran klien yang
terdiri atas compos metis, apatis, somnolen, spoor, soporokoma, atau
koma. Seorang perawat perlu mempunai pengalaman dan pengetahuan
tetang konsep anatomi fisiologi umum sehingga dengan cepat dapat
menilai keadaan umum, kesadaran, dan pengukuran GCS bila
kesadaran klien menurun yng memerlukan kecepatan dan ketepatan
penilaian.
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru
biasanya di dapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan,
frekuensi nafas meningkat apabila di sertai sesak nafas, denyut nadi
biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan
frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan
adanya penyakit penyulit seperti hipertensi.
1) BI (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien TB paru merupakan pemeriksaan
focus yang terdiri atas infeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
2) Inpeksi
Bentuk dada dan gerakan pernapasan. Sekilas pandang klien
dengan TB paru biasanya tampak kurus seingga terihat adanya
penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-posterior di
26
bandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB
paru seperti adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat adanya
ketidaksimestrisan rongga dada, pelebaran intercostal space (ICS)
pada sisi yang sakit. TB paru yang di sertai atelektesis paru
membuat dada menjadi tidak simestris, yang membuat
penderitanya mengalami penyempitan intercostal space (ICS) pada
saat yang sakit.
Pada klien dengan TB paru minimal dan tanpa komplikasi ,
biasanya gerakan pernapasan tidak mengalami perubahan.
Meskipun demikian, jika terdapat komplikasi yang melibatkan
kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien akan terlihat
mengalami sesak nafas. Peningkatan frekuensi nafas dan
menggunakan otot buntu napas. Tanda lainnya adalah klien dengan
TB paru juga mengalami efusi pleura yang masif, pneuomothoraks,
abses paru masif, dan hidropneumothoraks. Tanda-tanda tersebut
membuat geraka pernapasan menjadi tidak simetris, sehingga yang
terlihat adalah pada sisi yang sakit pergerakan dadanya tertinggal.
Batuk dan sputum Saat melakukan pengkajian batuk pada klien
dengan TB paru, biasanya di dapatkan batuk produktif yang di
sertai adanya peningakatan produksi sekret dan sekrsi sputum yang
purulen periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru
di sertai adanya bronkhiektasis yang membuat klien akan
mengalami peningkatan produksi sputum per hari sebagai
penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang teah
diberikan.
3) Palpasi
Palpasi trakhea. Adanya pergeseran trakhea menunjukkan-
meskipun tetapi tidak spesifik-penyakit dari lobus atas paru. Pada
TB paru yang disertai adanya efusi pleura masif dan
pneumothoraks akan mendorong posisi trakhea ke arah berlawanan
dari sisi sakit.
27
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB
paru tanpa komplikasi pada saat di lakukan palpasi, gerakan dada
saat bernapas biasanya normal dan seimbang antara bagian kanan
dan kiri. Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya
di temukan pada klien TB paru dengan kerusakan parenkim paru
yang luas.
Gerakan suara (fremitus lokal) getaran yang terasa ketika
perawat meletakkan tangannya di dada klien saat klien berbicara
adalah bunyi yang di bangkitkan oleh penjalaran dalam laring arah
distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat dinding dada
dalam gerakan resonan. Terutama pada bunyi konsonan. Kapasitas
untuk merasakan bunyi pada dinding dada tersebut taktil fremitus.
adanya penurunan taktil fremitus pada klien dengan TB paru
biasanya ditemukan pada klien yang disertai komplikasi efusi
pleura masif, sehingga hantaran suara menurun karena transmisi
getaran suara harus melewati cairan yang berkumpul di rongga
pleura.
4) Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi,
biasanya akan didapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh
lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang di sertai komplikasi
seperti efusi pleura akan di dapatkan bunyi redupsmpai pekak pada
sisi yang sakit sesuai banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura.
Apabila di sertai pneumothoraks, maka di dapatkan bunyi
hiperrsonan terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong
posisi paru ke sisi yang sehat.
5) Auskultasi
Pada klien dengan TB paru di dapatkn bunyi napas tambahan
(ronkhi) pada sisi yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksa
untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana di
dapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop
28
ketika klien berbicara di sebut sebagai resonan vocal. Klien
dengan TB paru yang di sertai komplikasi seperti efusi pleura dan
pneumothoraks akan di dapatkan penurunan resonan vocal pada
sisi yang sakit.
6) B2 (Blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi
Inpeksi : Inpeksi tentang adanya perut dan keluhan kelemhan
fisik
Palpasi : Denyut nadi perifer melemah
Palpasi : Batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru
dengan efusi pleura masif mendorong ke sisi sehat
Auskultasi : Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung
tambahan biasanya tidak didapatkan
7) B3 (Brain)
Keasadaran biasanya compos metis, ditemukan adanya sianosis
perifer apbila gangguan perfusi jaringan berat. Pada pengkajian
objektif, klien tampak dengan wajah meringis, menangis, merintih,
meregang, dan menggelit. Saat di lakukan pengkajian pada mata,
biasanya di dapatkan adanya konjungtiva anemis pada TB paru
dengan hemoptoe masif dan kronis. Dan sclera ikterik pada TB
paru dengan gangguan fungsi hati.
8) B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake
cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria
karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien
diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga
pekat dan berbu yang menandakan fungsi ginjal masih normal
sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama rifampisin.
9) B5 (Bowel)
Klien biasanya menglami mual, muntah, penurunan nafsu
makan, dan penurunan berat badan
29
10) B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB
paru. Gejala yang muncul anatara lain kelemahan, kelelahan,
imsomnia, pola hidup menetap, dan jadwal olahraga menjadi tak
teratur.
g. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan rontgen thoraks
Pada hasil pemeriksaan Rontgen thoraks, sering di dapatkan
adanya suatu lesi sebelum di temukan adana gejala subjektif awal
dan sebelum pemeriksaan fisik menemukan kelainan pada paru,
bila pemeriksaan Rontgen menemukan suatu kelainan, tidak d
gambaran khusus mengenai TB paru awal kecuali lokasi di lobus
bawah dan biasanya berada di sekitar hilus. Karakteristik kelainn
ini terlihat sebagai daerah bergaris-garis yang ukurannya bervariasi
dengan batas lesi yang tidak jelas kriteria yang kabur dan gambar
yang kurang jelas ini sering di duga sebagai pneumonia atau suatu
proses eksudatif, yang akan tampak lebih jelas dengan pemberian
kontras, sebagaimana gambaran dari penyakit fibrotic kronis. Tidak
jarang kelainan ini tampak kurang jelas di bagian atas maupun
bawah, memanjang di daerah klavikula atau satu bagian lengan
atas, dan selanjutnya tidak mendapat perhatian kecuali di lakukan
pemeriksaan Rontgen yang lebih teliti.
2) Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT Scan di lakukan untuk menemukan hubungan
kasus TB inaktif/stabil yang di tunjukkan dengan adanya gambaran
garis-garis fibrotic ireguler, pita parenkimal,klasifikasi nodul dan
adenopati, perubahan kelengkungan berkas bronkhovaskular,
bronkhiektasis, dan empiesme perisikatriksial. Sebagaimana
pemeriksaan Rontgen thoraks, penentuan bahwa kelainan inaktif
tidak dapat hanya berdasarkan pada temuan CT scan pada
30
pemeriksan tunggal, namun selalu di hubungkan dengan kultur
sputum yang ngatif dan pemeriksaan secara serial setiap saat.
3) Radiologis TB paru Milier
TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier
akut dan TB paru milier subakut (kronis). Penyeberan milier terjadi
setelah infeksi primer TB milier akut di ikuti oleh infeksi pembuluh
darah secara masif menyeluruh sera mengakibatkan penyakit akut
yang berat dan sering di sertai akibat yang fatal sebelum
penggunaan OAT.
Pada bayi dan anak-anak, penyakit ini dapat di sebabkan oleh
penyebaran dari TB primer dan mengakibatkan manifestasi klinis
yang berat. Keadaan ini bisa terjadi pada bayi-bayi dengan gizi
buruk atau penyakit kronis yang biasanya sangat rentan. Pada
sebagian besar anak-anak, jumlah bakteri hanya sedikit dalam
tubuhnya (hospes), namun cukup resisten untuk mencgah
penyebaran milier sehingga tidak menimbulkan manifestasi klinis.
Pada orang dewasa, khususnya orang tua, angka kejadian
penyakit ini cukup tinggi dan sulit sekali diidentifikasi. Hasil
pemeriksaan Rontgen thoraks bergantung pada ukuran dan jumlah
tuberkel milier. Nodul-nodul dapat terlibat pada rontgen akibat
tumpang tindih dengan lesi parenkim sehingga cukup terihat
sebagai nodul-nodul kecil. Pada beberapa klien, di dapatkan bentuk
berupa granul-granul halus atau nodul-nodul kecil yang menyebar
secara difusi di kedua lapangan paru. Pada saat lesi mulai bersih,
terlihat gambaran nodul-nodul halus yang tak terhitung banyaknya
dan masing-masing berupa garis-garis tajam.
4) Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit tuberkulosis di peroleh dengan
pemeriksaan mikrobiologi melalui isolasi bakteri. Untuk
membedakan spesies mycobacterium antara yang satu dengan yang
lainnya harus di lihat sifat koloni, waktu pertumbuh, sifat biokimia
31
pada berbagai medis, perbedaan kepekaan terhadap OAT dan
kemoterafik, perbedan kepekaan terhadap binatang percobaan, dan
percobaan kepekaan kulit terhadap berbagai jenis antigen
mycobacterium. Bahan pemeriksaan untuk isolasi mycobacterium
tuberculosis berupa.
a) Sputum klien sebaiknya sputum diambil pada pagi hari dan
yang pertama keluar jika sulit di dapatkan maka sputum
dikumpulkan selama 24 jam.
b) Urine yang di ambil adalah adalah urine pertama di pagi hari
atau urine yang di kumpulkan selama 12-24 jam. Jika klien
menggunakan kateter maka urine yang tertampung di dalam
urine bag dapat diambil.
c) Cairan kumbah lumbung. Umumnya bahan pemeriksaan ini di
gunakan jika anak-anak atau klien tidak dapat mengeluarkan
sputum. Bahan pemeriksaan di ambil pagi hari sebelum
sarapan.
d) Bahan-bahan lain. Misalnya pus, cairan, serebrospinal (sumsum
tulang belakang), cairan pleura, jaringan tubuh, feses, dan swab
tengorok.
(Arif mutaqin, 2012)
2. Diagnosis keperawatan
a. Bersihan Jalan Nafas tidak efektif Berhubungan Dengan Sekresi Yang
Tertahan
b. Hipertermi Berhubungan Dengan Reaksi Inflamasi
c. Gangguan Pertukaran Gas Berhubungan Dengan Kongesti Paru
d. Resiko Infeksi Berhubungan Dengan Organisme Purulen
e. Pola Nafas Tidak Efektif Berhubungan Dengan Hambatan Upaya
Nafas
f. Gangguan Pola Tidur Berhubungan Dengan Hambatan Lingkungan
32
g. Resiko Defisit Nutrisi Berhubungan Dengan Ketidakmampuan
Menelan Makanan (SDKI, 2017).
3. Intervensi Keperawatan
Tabel 2.1 Intervensi Masalah Keperawatan Bersihan Jalan Nafas Tidak
Efektif ( SIKI,2018)
Diagnosa
Keperawatan
Perencanaan Keperawatan
Intervensi Utama Intervensi
Pendukung
Bersihan jalan nafas
tidak efektif
berhubungan dengn
sekresi yang tertahan
Definisi :
ketidakmampuan
untuk memb ersihkan
sekresi atau obstruksi
dari saluran
pernafasan untuk
mempertahankan
kebersihan jalan
nafas.
faktor yang
berhubungan
penyebab :
1. Fisiologis
a) Spasme jalan
nafas
b) Hipersekresi
neuromuskule
r
c) Disfungsi
neuromuskule
r
d) Benda asing
dalam jalan
nafas
e) Adanya jalan
nafas buatan
f) Sekresi yang
tertahan
g) H iperplasia
dinding jalan
nafas
h) Proses infeksi
i) Respon alergi
j) Afek agen
farmakologis
(mis.anastesi)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
di harapkan pasien menunjukkan jalan
nafas yang bersih di tandai dengan kritria
hasil :
1) Menunjukkan jalan nafas yang
paten
( klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam
rentang normal, tidak ada suara
nafas abnormal)
2) Mampu megidentifikasi dan
mencegah factor yang dapat
menghambat jalan nafas
3) Mendemonstrasikan batuk efektif
dan suara nafas yang bersih, tidak
ada sianosis dan dyspneu( mampu
mengeluarkan sputum, mampu
bernafas dengan mudah, tidak ada
pursed lips)
1. Latihan Batuk Efektif
Observasi
a) Identifikasi kemampuan batuk
b) Monitor adanya retensi sputum
c) Monitor tanda dan gejala infeksi
saluran napas
d) Monitor input dan output cairan
(mis. Jumlah dan karakteristik)
Terapeutik
a) Atur posisi semi-fowler atau fowler
b) Pasang perlak dan bengkok di
pangkuan pasien
c) Buang buang sekret pada tempat
sputum
Edukasi
1) Jelaskan tujuan dan prosedur batuk
efektif
2) Anjurkan tarik nafas dalam melalui
hidung selama 4 detik, ditahan
selama 2 detik,kemudian keluarka
dari mulut dengan bibir mencucu
(dibulatkan) selama 8 detik
1) Fisioterapi dada
2) Manajemen
jalan nafas
buatan
3) Pemberian obat
inhalasi
4) Pengaturan
posisi
5) Penghisapan
jalan nafas
6) Terapi oksigen
33
2. Situsional
a) Merokok aktif
b) Merokok
pasif
c) Terpajan
polutan
Batasan karakteristik
1. Tanda mayor
objektif
a) Batuk tidak
efektif
b) Tidak mampu
batuk
c) Sputum
berlebih
d) Mengi,
wheezing
dan/atau
ronkhi kering
e) Mekonium di
jalan nafas
(pada
neonates)
2. Tanda minor
subjektif
a) Dispnea
b) Sulit bicara
c) Ortopnea
Objektif
a) Gelisah
b) Sianosis
c) Bunyi nafas
menurun
d) Frekuensi
nafas berubah
e) Pola nafas
berubah
3) Anjurkan mengulangi tarik nafas
dalam hingga 3 kali
4) Anjurkan batuk dengan kuat
langsung setelah tarik nfas dalam
yang ke-3
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian ambrocol
2. Manajemen jalan nafas
observasi
1) Monitor pola nafas ( frekuensi,
kedalaman, usaha napas)
2) Monitor bunyi napas tambahan(
mis, gurgling, mengi, wheeing, ronki
kering)
3) Monitor sputum (jumlah, warna,
aroma)
terapeutik
1) Pertahankan kepatenan jalan napas
dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-
thrust jika curiga trauma servikal)
2) Posisikan semi-fowler atau fowler
3) Berikn minum hangat
4) Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5) Lakukan penghisapan lender kurang
dari 15 detik
6) Lakukan hiperoksigenasi sebelum
penghisapan endotrakeal
7) Keluarkan sumbatan benda padat
dengan forsep McGill
8) Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
1) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari,
jika tidak kontraindikasi
2) Ajarkan teknik batuk efektif
kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian bronkodilatr,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu
3. Pemantauan respirasi
observasi
1) Monitor frekuensi, irama, kedalaman
dan upaya napas
2) Monitor pola napas(seperti
bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
kussmaul, Cheyne-Syroke, bot,
ataksik)
3) Monitor kemampuan batuk efektif
4) Monitor adanya produksi sputum
5) Monitor adanya sumbatan jalan nafas
6) Palpasi kesimetrisan ekspensi paru
7) Auskulatasi bunyi napas
8) Monitor saturasi oksigen
9) Monitor nilai AGD
10) Monitor hasil x-ray torakas
34
terapeutik
1) Alur interval pemantaun respirasi
sesuai kondisi pasien
2) Dokumentasi hasil pemantauan\
Edukasi
1) Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2) Informatika hasil pemantauan, jika
perlu
Tabel 2.2 Intervensi Masalah Keperawatan Hipertermi
Diagnosa
Keperawatan
Rencana Keperawatan
Intervensi Utama Intervens
Pendukung
hipertermi b.d
reaksi inflamasi
Defenisi :
Suhu tubuh
meningkatkan di atas
rentang normal tubuh
penyebab :
a) Dehidrasi
b) Terpapar
lingkungan
panas
c) Proses penyakit
(mis. Infeksi,
kanker)
d) Ketidaksesuaian
pakaian dengan
suhu lingkungan
e) Peningkatan
laju
metabolisme
f) Respon trauma
g) Aktivitas
berlebihan
h) Penggunaan
inkubator
batasan karakteristik
1. Tanda mayor
objektif
a) Suhu tubuh
di atas
normal
2. Tanda minor
objektif
a) Kulit merah
b) Kejang
c) Takikardi
d) Takipnea
e) Kulit terasa
hangat
setelah dilakukan tindakan keperawatan
di harapkan pasien menunjukkan tanda-
tanda vital dalam rentan normal dengan
kriteria hasil:
1) Suhu tubuh dalam rentang
normal(36,5ºC)
2) Nadi dan RR dalam rentang normal
(80X/menit)
3) Tidak ada perubahan warna kulit
dan tidak ada pusing
1. Manajemen hipertermi
observasi
1) Identifikasi penyebab hipertermi
(mis, dehidrasi, terpapar, lingkungan
panas, penggunaan incubator)
2) Monitor usaha tubuh
3) Monitor kadar elektrolit
4) Monitor komplikasi akibat
hipertermia
Terpeutik
1) Sediakan lingkungan yang dingin
2) Longgarkan atau lepaskan pakaian
3) Basehi dan kipasi permukaan tubuh
4) Berikan cairan oral
5) Ganti linen setiap hari atau lebih
sering jika mengalami hiperhidrosis
(keringat berlebih)
6) Lakukan pendinginan eksternal (mis,
selimut hipotermi atau kompres
dingin pada dahi, leher, dada,
abdomen, aksila)
7) Hindari pemberian antipiretik atau
aspirin
8) Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
1) Anjurkan tirah baring
kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian cairan dan
1) Edukasi
Pengukuran
Suhu Tubuh
2) Kompres
Dingin
3) Pemantauan
Cairan
4) Pemberian
Obat
5) Pemberian
Obat Oral
6) Pencegahan
Hipertermi
keganasan
35
elektrolit intravena, jika perlu
2. Regulasi temperature
observasi
1) Monitor suhu bayi sampai stabil
(36,5ºC-37,5ºC)
2) Monitor suhu tubuh anak tiap dua
jam, jika perlu
3) Monitor tekanan darah, frekuensi
pernapasan dari nadi
4) Monitor warna dan suhu kulit
5) Monitor dan catat tanda dan gejala
hipotermia dan hipertermia
Terapeutik
1) Pasang alat pemantauan suhu
kontinu, jika perlu
2) Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi
yang adekuat
3) Bedong bayi segera setelah lahir
untuk mencegah kehilang panas
4) Masukan bayi BBLR ke dalam
plastik segera setelah lahir (mis,
bahan polyethylene, polyurethane)
5) Gunakan topi bayi untuk mencegah
kehilanan panas pada bayi baru leher
6) Tempatkan bayi baru lahir di bawah
radiant warmer
7) Pertahankan kelembaban incubator
50% atau lebih untuk mengurangi
kehilangan panas karena proses
evaporasi
8) Atur suhu incubator sesuai
kebutuhan
9) Hangatkan terlebih dahulu bahan-
bahan yang akan kontak dengan bayi
(mis, selimut, kain, bedongan,
stetoskop)
10) Hindari meletakan bayi di dekat
jendela terbuka atau di area aliran
pendingin ruangan atau kipas angin
11) Gunakan matras penghangat, selimut
hangat, dn penghangat ruangan
untuk menaikkan suhu tubuh, jika
perlu
12) Gunakan kasur pendingan, water
circuling blankets, ice pack atau gel
pad dan intravascular cooling
catheterization untuk menurunkan
suhu tubuh
13) Sesuaikan suhu lingkungan dengan
kebutuhan pasien
Edukasi
36
1) Jelaskan cara pencegahan heal
exhaustion dan seat stroke
2) Jelaskan cara pencegahan hipotermi
karena terpapar udara dingin
3) Demonstrasikan teknik perawatan
metode kanguru (PMK) untuk bayi
BBLR
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian antiseptic, jika
perlu
Tabel 2.3 Intervensi Masalah Keperawatan Gangguan Pertukaran Gas
Diagnose
Keperawatan
Rencana keperawatan
Intervensi Utama Intervensi
Pendukung
Gangguan
pertukuran gas b.d
kongesti paru
Definisi
kelebihan atau
kekurangan
oksigenasi dan/atau
eleminasi
karbondiosida pada
membrane alveolus-
kapiler.
penyebab
1) Ketidakseimbanga
n ventilasi-perfusi
2) Perubahan
membran
alveolus-kapiler
batasan
karakteristik
1. tanda mayor
subjektif
a) Dispnea
objektif
a) POA2
meningkatkan/
menurun
b) PO2 menurun
c) Takikardi
d) pH arteri
meningkatkan/
menurun
e) Bunyi napas
tambahan
2. Tanda minor
subjektif
a) Pusing
b) Penglihatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
di harapkan pasien menunjukkan pola
nafas efktif dengan kriteria hasil:
1) Mendemonstrasikan peningkatan
ventilasi dan oksigenasi yang
adekuat
2) Memelihara kebersihan paru-paru dn
bebas dari tanda-tanda distress
pernafasan
3) Mendemonstrasikan batuk efektif
dan suara nafas yang bersih, tidak
ada sianosis dan dyspneu (mampu
mengeluarkan sputum, mampu
bernafas dengan mudah, tidak ada
pused lips)
4) Tanda-tanda vital dalam rentang
normal
1. Pemantau Respirasi
observasi 1) Monitor frekuensi, irama, kedalaman
dan upaya napas
2) Monitor pola napas (seperti
bradipnea, tkipna, hiperventilasi,
kussmaul, Cheyme-Stokes, biot,
ataksik)
3) Monitor kemampuan batuk efektif
4) Monitor adanya sumbatan jalan
napas
5) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
6) Auskultasi bunyi napas
7) Monitor saturasi oksigen
8) Monitor nilai AGD
9) Monitor hasil x-ray toraks
Terpeutik
1) Atur interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
1) Dukugan
berhenti
merokok
2) Edukasi
pengkuran
respirasi
3) Fisioterapi dada
4) Insersi jalan
nafas buatan
5) Pemberian obat
6) Pemberian obat
intravena
37
kabur
Objektif
a) Sianosis
b) Diaphoresis
c) Gelisah
d) Napas cuping
hidung
e) Pola nafas
abnormal
(cepat/lambat,
regular/regular,
dalam/dangkal)
f) Warna kulit
abnormal (mis,
pucat, kebiruan)
g) Kesadaran
menurun
2) Dokumentasikan hasil pemantauan
Evakuasi
1) Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2) Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu
2. Terapi oksigen
1) Monitor kecepatan aliran oksigen
2) Monitor posisi alat terapi oksigen
3) Monitor aliran oksigen secara
periodic dn pastikan fraksi yang
diberikan cukup
4) Monitor efektifitas terapi oksigen
(mis, oksimetri, analisa gas darah),
jika perlu
5) Monitor kemampuan melepaskan
oksigen saat makan
6) Monitor tanda-tanda hipoventilasi
7) Monitor tanda dan gejala toksikasi
oksigen dan atelektasis
8) Monitor tingkat kecemasan akibat
terapi oksigen
9) Monitor integrias mukosa hidung
akibat pemasangan oksigen
terapeutik 1) Bersihkan sekret pada mulut, hidung
dan trakea, jika perlu
2) Pertahankan kepatenan jalan nafas
3) Siapkan dan atur peralatan
pemberian oksigen
4) Berikan oksigen tumbuhan, jike
perlu
5) Tetap berikan oksigen saat pasien di
transportasi
6) Gunakan perangkat oksigen yang
sesuai dengan tingkat mobilitas
pasien
Evakuasi
1) Ajarkan pasien dan keluarga cara
menggunakan oksigen di rumah
kolaborasi
1) Kolaborasi penentuan dosis oksigen
2) Kolaborasi penggunaan oksigen saat
aktivitas dan/atau tidur
38
Tabel 2.4 intervensi masalah keperawatan resiko infeksi
Diagnosa
Keperawatan
Rencana Keperawatan
Intervensi utama Intervensi
pendukung
Resiko infeksi b.d
organisme purulen
defenisi: mengalami
peningkatan resiko
terserang organisme
patogenik
faktor resiko:
1. penykit
kronis(mis.
Diabetes mellitus)
2. efek prosedur
invasif
3. malnutrisi
4. peningkatan
paparan organism
patogen,
lingkungan
5. ketidakadekuat
pertahanan tubuh
primer
a) Gangguan
peristalik
b) Kerusakan
integritas
kulit
c) Perubahan
sekresi ph
d) Penurunan
kerja siliaris
e) Ketuban
pecah lama
f) Ketuban
pecah
sebelum
waktunya
g) Merokok
h) Statis cairan
tubuh
6. ketidakadekuat
pertahanan tubuh
sekunder:
a) penurunan
hemoglobin
b) imununosupre
si
c) leukoponia
d) supresi respon
inflamasi
e) vaksinasi
tidak adekuat
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
di harapkan pasien menunjukkan pola
nafas efektif dengan kriteria hasil:
1) klien bebas dari tanda dan gejala
infeksi
2) mendeskripsikan proses penularan
penyakit faktor yang mempengaruhi
penularan serta penatalaksanaannya
3) menunjukkan kemampuan untuk
mencegah timbulnya infeksi
4) jumlah leukosit dalam batas normal
5) menunjukkan perilaku hidup sehat
1. manajemen imunisasi/vaksinasi
Observasi
1) Identifikasi riwayat kesehatan dan
riwayat alergi
2) Identifikasi kontraindikaasi
pemberian imunisasi ( mis, reaksi
anafilaksis terhadap vaksin
sebelumnya dan atau sakit parah
dengan atau tanpa demam)
3) Identifikasi status imunisasi setiap
kunjungan ke pelayanan kesehatan
Terapeutik
1) Berikan suntikan pada bayi di bagian
paha anterolateral
2) Dokumentasikan informasi vaksinasi
(mis, nama produsen, tanggal
kedaluwarsa)
3) Jadwalkan imunisasi pada interval
waktu yang tepat
Edukasi
1) Jelaskan tujuan, manfaat, reaksi yang
terjadi, jadwal, dan efek samping
2) Informasikan imunisasi yang
wajibkan pemerintah ( mis. Hepatitis
B, BCG, difteri, tetanus, pertutis, H.
influenza, polio, campak, measles,
rubela)
3) Informasikan imunisasi yang
melindungi terhadap penyakit namun
saat ini tidak di wajibkan pemerintah
( mis, influenza, pneumokokus)
4) Informasikan vaksinasi untuk
kejadian khusus (mis.rabies, tetanus)
5) Informasikan penundaan pemberian
imunisasi tiak berarti mengulang
jadwal imunisasi kembali
6) Informasikan penyedia layanan
1) manajemen
lingkungan
2) latihan batuk
efektif
3) manajemen
lingkungan
4) pemantauan
elektrolit
5) pemberian obat
intraven
6) pencegahan
luka tekan
39
kondisi klinis
terkait
1. AIDS
2. Penyakit paru
obstruktif
3. Gangguan fungsi
hati
pecan imunisasi Nasional yang
menyediakan vaksin gratis
2. Pencegahan infeksi
Observasi
1) Monitor tanda dan gejala infeksi
lokal dan sistemik
Terapeutik
1) Batasi jumlah pengunjung
2) Berikan perawatan kulit pada area
edema
3) Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
4) Pertahankan tehnik aseptic pada
pasien beresiko tinggi
Edukasi
1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2) Ajarkan cara mencuci tangan dengan
benar
3) Ajarkan etika batuk
4) Ajarkan cara memeriksa kondisi luka
atau oprasi
5) Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
6) Anjurkan meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian imunisasi, jika
perlu
Tabel 2.5 intervensi masalah keperawatan pola nafas tidak efektif
Diagnosa
Keperawatan
Rencana Keperawatan
Intervensi Utama Intervensi
Pendukung
Pola nafas tidak
efektif b.d hambatan
upaya nafas
definisi: inspirasi
dan/atau ekspirasi
yang tidak adekuat
memberikan ventilasi
adekuat penyebab:
1) Depresi pusat
pernafasan
2) Hambatan upaya
nafas
3) Deformitas
dinding dada
4) Deformitas tulang
dada
5) Gangguan
neurimuskular
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
di harapkan pasien menunjukkan pola
nafas efektif dengan kriteria hasil:
1) Mendemonstrasikan batuk efektif dan
suara nafas yang bersih,tidak ada
sianosis dan dyspneu (mampu
meneluarkan sputum, mampu
bernapas dengan mudah, tidak ada
pused lips)
2) Menunjukkan jalan nafas yang paten
(klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam
rentang normal, tidak ada suara nafas
abnormal)
3) Tanda-tanda vital dalam rentang
normal (tekanan darah, nadi,
pernafasan)
1. Manajemen jalan nafas
Observasi
1) Manajemen
jalan nafas
buatan
2) Edukasi
pengukuran
respirasi
3) Pengaturan
posisi
4) Pencegahan
aspirasi
5) Dukungan
ventilasi
40
6) Gangguan
neurologis
7) Imaturitas
8) Penurunan energi
9) Obesitas
10) Posisi tubuh
yang menghambat
ekspansi paru
batasan
karakteristik
1. Tanda mayor
subjektif
a) Dispnea
Objektif
a) Penggunaan
otot bantu
pernafasan
b) Fase ekspirasi
memanjang
c) Pola nafas
abnormal
2. Gejala dan tanda
minor
subjektif
a) Pernfasan
pursed-lip
b) Pernapasan
cuping hidung
c) Diameter
thoraks
anterior-
posterior
meningkat
d) Ventilasi
semenit
menurun
e) Kpasitas vital
menurun
f) Tekanan
ekspirasi
menurun
g) Tekanan
inspirasi
menurun
h) Ekskursi dada
berubah
1) Monitor pola nafas ( frekuensi,
kedalaman, usaha napas)
2) Monitor bunyi napas tambahan( mis,
gurgling, mengi, wheeing, ronki
kering)
3) Monitor sputum (jumlah, warna,
aroma)
terapeutik
1) Pertahankan kepatenan jalan napas
dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-
thrust jika curiga trauma servikal)
2) Posisikan semi-fowler atau fowler
3) Berikn minum hangat
4) Lakukn fisioterapi dada, jika perlu
5) Lakukan penghisapan lender kurang
dari 15 detik
6) Lakukan hiperoksigenasi sebelum
penghisapan endotrakeal
7) Keluarkan sumbatan benda padat
dengan forsep McGill
8) Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
1) Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak kontraindikasi
2) Ajarkan teknik batuk efektif
kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu
2. pemantauan respirasi 1) Monitor frekuensi, irama, kedalaman
dan upaya napas
2) Monitor pola napas(seperti bradipnea,
takipnea, hiperventilasi, kussmaul,
Cheyne-Syroke, bot, ataksik)
3) Monitor kemampuan batuk efektif
4) Monitor adanya produksi sputum
5) Monitor adanya sumbatan jalan nafas
6) Palpasi kesimetrisan ekspensi paru
7) Auskulatasi bunyi napas
8) Monitor saturasi oksigen
9) Monitor nilai AGD
10) Monitor hasil x-ray torakas
terapeutik
1) Alur interval pemantaun respirasi
sesuai kondisi pasien
2) Dokumentasi hasil pemantauan\
Edukasi
1) Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2) Informatika hasil pemantauan, jika
perlu
41
Tabel 2.6 Intervensi Masalah Keperawatan Gangguan Pola Tidur
Diagnosa
Keperawatan
Rencana Keperawatan
Intervensi Utama Intervensi
Pendukung
gangguan pola tidur
b.d hambatan
lingkungan
definisi:
gangguan kualitas
dan kuantitas waktu
tidur akibat faktor
eksternal
penyebab:
1) Hambatan
lingkungan
(mis.kelembapan
lingkungan
sekitar, suhu
lingkungan,pecah
ayaan,
kebisingan, bau
tidak sedap,
jadwal
pemantauan/pem
eriksaan/tinakan)
2) Kurang kontrol
tidur
3) Kurang privasi
4) Restraint fisik
5) Ketiadaan teman
tidur
6) Tidak familiar
dengan peralatan
tidur
batasan
karakteristik
1. Tanda mayor
subjektif
a) Mengeluh
sulit tidur
b) Mengelu
sering terjaga
c) Mengeluh
tidak puas
tidur
d) Mengeluh
pola tidur
berubah
e) Mengeluh
istirahat tidak
cukup
Objektif
setelah dilakukan tindakan keperawatan
di harapkan pasien menunjukkan pola
nafas efektif dengan kriteria hasil:
1) Jumlah jam tidur dalam batas normal
6-8 jam/hari
2) Pola tidur, kualitas dalam batas
normal
3) Perasaan segar sesudah tidur atau
istirahat
4) Mampu mengidentifikasi hal-hal yang
meningkatkan tidur
1. Dukungan tidur
Observasi
1) Identifikasi pola aktivitas dan tidur
2) Identifikasi faktor penggangu tidur
(fisik dan/atau psikologis)
3) Iidentifikasi makanan dan minuman
yang mengganggu tidur(mis,
kopi,the, alcohol, makan mendekati
waktu tidur, minum banyak air
sebelum tidur)
4) Identifikasi obat tidur yang di
konsumsi
Terapeutik
1) Modifikasi lingkungan (mis,
pencahayaan, kebisingan, suhu,
matras, dan tempat tidur)
2) Batasi waktu tidur siang, jika perlu
3) Fasilitasi menghilangkan stress
sebelum tidur
4) Tetapkan jadwal tidur rutin
5) Lakukan prosedur untuk
meningkatkan kenyamanan( mis,
pijat, pengaturan posisis, terapi
akupresur)
6) Sesuaikan jadwal pemberian obat
dan/atau tindakan untuk menunjang
siklus tidur-terjaga
Edukasi
1) Jelaskan pentingnya tidur cukup
selama sakit
2) Anjurkan menepati kebiasaan waktu
tidur
3) Anjurkan menghindari
makanan/minuman yang menggangu
tidur
4) Anjurkan penggunaan obat tidur yang
tidak mengandung supresor terhadap
tidur REM
1) Manajemen
lingkungan
2) Pemberian obat
oral
3) Terapi
pemijatan
4) Trapi relaksasi
5) Teknik
menenangkan
42
5) Ajarkan faktor-faktor yang
berkontribusi terhaap gangguan pola
tidur (mis, psikologis, gaya hidup
serin berubah shift bekerja)
6) Ajarkan relaksasi otot autogenic atau
cara nonfarmakologi lainnya
2. Edukasi aktivitas/istirahat
Observasi
1) Identifikasi kesiapan dan kemampuan
menerima informasi
Terapeutik
1) Sediakan materi dan media
pengaturan aktivitas dan istiraha
2) Jadwalkan pemberian pendidikan
kesehatan sesuai kesepakatan
3) Berikasn kesempatan kepada pasien
dan keluarg untuk bertanya
Edukasi
1) Jelaskan pentingnya melakukan
aktivitas fisik/ olahraga secara rutin
2) Anjurkan terlibat dalam aktivitas
kelompok, aktivitas bermain atau
aktivitas lainnya
3) Anjurkan menyusun jadwal aktivitas
dan istirahat
4) Ajarkan cara mengidentifikasi
kebutuhan istirahat (mis, kelelahan,
sesak nafas saat aktivitas)
5) Ajarkan cara mengidentifikasi target
dan jenis aktivitas sesuai kmampuan
Tabel 2.7 Intervensi Masalah Keperawatan Resiko Defisit Nutrisi
Diagnosa
Keperawatan
Rencana Keperawatan
Intervensi Utama Intervensi
Pendukung
resiko defisit nutrisi
b.d ketidakmampuan
menelan makanan
Definisi:
beresiko mengalami
asupan nutrisi tidak
cukup untuk
memenuhi kebutuhan
metabolisme
setelah dilakukan tindakan keperawatan
di harapkan pasien menunjukkan pola
nafas efektif dengan kriteria hasil:
1) Adanya peningkatan berat badan
sesuai dengan tujuan
2) Berat badan ideal sesuai dengan tinggi
badan
3) Mampu mengidentifikasi kebutuhan
nutrisi
4) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
5) Menunjukkan peningkatan fungsi
pengecapan dari menelan
6) Tidak terjadi penurunan berat badan
yang berarti
1. Manajemen gangguan makanan
Observasi
1) Monitor asupan dan keluarnya
makanan dan cairan serta kebutuhan
1) Edukasi berat
badan efektif
2) Edukasi diet
3) Edukasi nutrisi
4) Pemantauan
cairan
43
kalori
Terapeutik
1) Timbang berat badan secara rutin
2) Diskusikan prilaku mkan dan jumlah
aktivitas fisik (termasuk olahraga)
yang sesuai
3) Lakukan kontrak perilaku ( mis, target
berat badan, tanggung jawab perilaku)
Edukasi
1) Anjurkan membuat catatan harian
tentang perasaan dan situasi pemicu
pengeluaran makanan (,is,
pengeluaran yang di sengaja, muntah,
aktivitas berlebih)
2) Ajarkan pengaturan diet yang tepat
3) Ajarkan keterampilan koping untuk
penyelesaian masalah perilaku makan
kolaborasi
1) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang
target berat badan, kebutuhan kalori
dan pilihan makanan
2. Manajemen nutrisi
Observasi
1) Identifikasi status nutrisi
2) Identifikasi alergi dan intoleransi
makanan
3) Identifikasi makanan yang di sukai
4) Identifikasi kebutuhan kalori dan
jenis nutrien
5) Identifikasi perlunya penggunaan
selang nasogastrik
6) Monitor asupan makanan
7) Monitor berat badan
8) Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium
Terapeutik
1) Lakukan oral hygiene sebelum
makan, jika perlu
2) Fasilitasi menentukan pedoman diet(
mis. Piramida makanan)
3) Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
4) Berikan makanantinggi serat untuk
mencegah konstipasi
5) Berikan makanan tinggi kalori dan
tinggi protein
6) Berikan suplemen makanan, jika
perlu
7) Hentikan pemberian makan melalui
selang nasogatrik jika asupan oral
dapat di toleransi
Edukasi
1) Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2) Ajarkan diet yang di programkan
Kolaborasi
44
1) Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan(mis, pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
2) Kolborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang di butuhkan, jika perlu.
4. Implementasi
Menurut Nursalam (2009), Implementasi adalah pelaksanaan dari
rencana intervensi untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap
implementasi di mulai setelah rencana intervensi di susun dan di tunjukan
pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang di
harapkan. Oleh karena itu rencana intervensi yang spesifik di laksanakan
untuk memodifikasi faktor-faktor yang memengaruhi masalah kesehatan
klien.
5. Evaluasi
Menurut Nursalam (2009), Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk
malengkapi proses keperawatan yang menandakan keberhasilan dari
diagnosis keperawatan, rencana intervensi, dan implementasinya. Tahap
evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor “kealpaan” yang terjadi
selama tahap pengkajian, analisis, perencanaan, dan implementasi
intervensi.
C. Tinjauan Askep Penyakit
1. Defenisi tuberkulosis
Menurut Santu Manurang (2009), Tuberkulosis (TBC) merupakan
penyakit yang sudah di kenal sejak dahulu kala dan telah melibatkan
manusia sejak zaman purbakala, seperti terlihat pada peningkatan sejarah.
TB paru adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang paru-paru
yang secara khas di tandai oleh pembentukan granuloma dan
menimbulkan nekrosi jaringan. Penykit ini bersifat menahun dan dapat
menular dan penderita kepada orang lain.
45
Menurut Alvin kosasih (2008) Tuberkulosis Ekspektorasi darah dapat
terjadi akibat infeksi tuberkulosis yang masih aktif ataupun akibat kelainan
yang ditimbulkan akibat penyakit TB yang telah sembuh. Susunan
parenkim paru dan pembuluh darahnya dirusuk oleh penyakit ini sehingga
terjadi bronkiektasi dengan hipervaskularisasi, pelebaran pembuluh darah
bronchial, anastomosis pembuluh darah bronchial pulmoner.
Penyakit TB juga dapat mengakibtkan timbulnya kaviti dan terjadi
pneumoni TB akut dapat menyebabkan ulserasi bronkus disertai nekrosis
pembuluh darah di sekitarnya dan alveoli bagian distal. Pecahnya
pembuluh darah tersebut mengakibatkan ekspektorasi darah dalam dahak,
ataupun batuk darah massif.
2. Etiologi
Menurut Santu Manurang (2009), TB paru disebabkan oleh
“Mycobacterium Tuberkulosis” sejenis kuman berbentuk batang dengan
ukuran panjang 1-4/ um, dan tebal 0,3-0,6/ um. Kuman terdiri dari asam
lemak, sehingga kuman lebih tahan asam dan tahan terhadap gangguan
kimia dan fisis.
Menurut Danusantoso (2000), sebagai mana telah diketahui, TB paru
disebabkan oleh hasil TB (mycobacterium tuberculosis humoris).
Selanjutnya hanya akan di kemukakan beberapa hal yang prinsip saja.
Untuk detail-detailnya pembaca dirujuk ke buku-buku bakteriologi.
a. M. tuberculosis termasuk famile mycobacteriaceae yang mempunyai
berbagai genus, satu di antaranya adalah mycobacterium, yang salah
satu speciesnya adalah M.tuberculosis.
b. M. tuberculosis yang paling berbahaya bagi manusia adalah type
humanis (kemungkinan infeksi type bovinus saat ini dapat di abaikan,
setelah higine peternakan makin di tingkatkan).
c. Basil TB mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam, sifat ini
di manfaatkan oleh Robert Koch untuk mewarnainya secara khusus.
Oleh karena itu, kuman ini disebut pula Basil Tahan Asam (BTA).
46
d. Karena sebetulnya mycobacterium pada umumnya tahan asam, secara
teoritis BTA belum tentu identik dengan basil TB. Tetapi karena dalam
keadaan normal penyakit paru yang di sebabkan oleh mycobacterium
lain ( y.i. M .antipik) jarang sekali di temukan, dalam praktek BTA
dianggap identik dengan basil TB. (di Negara dengan prevalensi. IDS/
infeksi HIV yng tinggi, penyakit paru yang disebabkan M.antipik
(mycobacteriosis) mkin sering ditemukan, sehingga dalam kondisi
seperti ini, perlu di waspadai bahwa BTA belum tentu harus identik
dengan basil TB. Malahan mungkin saja BTA yang di temukan adalah
mycobacterium antipik yang menjadi penyebab mycobacteriosis.
e. Kalau untuk bakteri-bakteri lain hanya di perlukan beberapa menit
sampai 20 menit untuk mitosis, basil TB memerlukan waktu 12 sampai
24 jam. Hal ini memungkinkan pemberian obat secara intermiten (2-3
hari sekali).
f. Basil TB sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam
beberapa menit saja akan mati ternyata kerentanan ini terutama
terhadap gelombang cahaya ultraviolet. Basil TB juga rentan terhadap
panas-basah, sehingga dalam 2 menit saja basil TB yang berada dalam
lingkungan basah sudah akan mati bila terkena air bersuhu 100ºC .
basil TB juga akan terbunuh dalam beberapa menit bila terkena alkohal
70%. Atau lisol 5%.
3. Manifestasi Klinis
Pada stadium awal penyakit TB paru tidak menunjukan tanda dan
gejala yangspesifik. Namun seiring dengan perjalanan penyakit akan
menambah jaringan parunya mengalami kerusakan, sehingga dapat
meningkatkan produksi sputum yang ditunjukkan dengan seringnya klien
batuk sebagai bentuk kompensasi pengeluaran dahak.
Selain itu, klien dapat merasa letih, lemah, berkeringat pada malam
hari dan mengalami penurunan berat badan yang berarti. Secara rinci tanda
47
dan gejala TB paru ini dapat di bagi atas 2 (dua) golongan yaitu gejala
sistematik dan gejala respiratorik.
a. Gejala sistemik
1) Demam
Demam merupakan gejala pertama dari tuberkulosis paru, biasanya
timbul pada sore dan malam hari di sertai dengan keringat mirip
demam influenza yang segera mereda. Tergantung dari daya tahan
tubuh dan virulensi kuman, serangan demam yang berikut dapat
terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan. Demam seperti influenza
ini hilang timbul dan semakin lama makin panjang masa
serangannya, sedangkan masa bebas serangan akan makin pendek.
Demam dapat mencapai suhu tinggi yaitu 40º-41ºC.
2) Malaise
Karena tuberculosis bersifat radang menahun, maka dapat terjadi
rasa tidk enak badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan
makin kurus, sakit kepala, mudah lelah dan pada wanita kadang-
kadang dapat terjadi gangguan siklus haid.
b. Gejala respiratorik
1) Batuk
Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan
bronkhus. Batuk mula-mula terjadi oleh karena iritasi bronkhus,
selanjutnya akibat adanya peradangan pada ronkhus, batuk akan
menjadi produktif. Batuk produktif ini berguna untuk membuang
produk-produk ekskresi peradangan. Dahak dapat bersifat mukoid
atau purulen.
2) Batuk Darah
Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah berat dan
ringannya batuk darah yang timbul, tergantung dari besar kecilnya
pembuluh darah yang pecah. Batuk darah tidak selalu timbul akibat
pecahnya aneurisma pada dinding kavitas, juga dapat terjadi karena
48
ulserasi pada mukosa bronkhus. Batuk darah inilah yang paling
sering membawa penderita berobat ke dokter.
3) Sesak Nafas
Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan
paru yang cukup luas. Pada awal penyakit gejala ini tidak pernah di
temukan.
4) Nyeri Dada
Gejala ini timbul apabila sistem persyarafan yang terdapat di
pleura terkena, gejala ini dapat bersifat lokal atau pleuritik.
4. Paofisiologi
Kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh melalui udara pernafasan.
Bakteri yang terhirup akan di pindahkan melalui jalan nafas ke alveoli,
tempat dimana mereka berkumpul dan mulai untuk memperbanyak diri.
Selaian itu bakteri juga dapat di pindahkan melalui sistem limfe dan cairan
darah ke bagian tubuh yang lainnya.
Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi.
Fagosit menekan banyak bakteri, limposit spesifik tuberkulosis
menghancurkan bakteri dan jaringan normal.
Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudut alveoli yang
dapat menyebabkan bronchopneumonia. Infeksi awal biasanya terjadi 2
sampai 10 minggu setelah pemajaman.
Masa jaringan baru yang di sebut granuloma merupakan gumpalan
basil yang masih hidup dan sudah mati di kelilingi oleh makrofag dan
membentuk dinding protektif granuloma diubah menjadi jaringan fibrosa
bagian setral dari fibrosa ini di sebut “TUBERKEL” Bakteri dan makrofag
menjadi nekrotik membentuk massa seperti keju.
Setelah pemajaman dan infeksi awal, individu dapat mengalami
penyakit taktif karena penyakit tidak adekuatnya sistem imun tubuh.
Penyakit aktif dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri.
Tuberkel memecah, melepaskan bahan seperti keju ke dalam bronchi.
49
Tuberkel yang pecah menyembuh dan membentuk jaringan perut paru
yang terinfeksi menjadi lebih membengkak dan mengakibatkan terjadinya
bronchopneumonia lebih lanjut (Santa Manurang, 2009).
5. Pathway
Invasi bakteri tuberkulosis via inhalasi
Sembuh Penyebaran bakteri
secara bronkogen,
limfogen, dan
hematogen Infeksi primer
Sembuh dengan fokus ghon
Bakteri dorman
Infeksi pasca -
primer (reaktivitas)
Bakteri muncul beberapa tahun kemudian
Sembuh dengan
fibrotik
Reaksi infeksi/inflamasi,membentuk kavitas dan
merusak prenkim paru
Edema trakeal/faringeal
Peningkatan produksi
sekret
Pechnya pembuluh darah
jalan nafas
Btuk produktif
Batuk darah
Sesak nafas
Penurunan kemampuan
batuk efektif
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
Risiko tinggi sufokasi
Penurunan jaringan efektif paru,
atelektasis, kerusakan membrane
alveolar-kapiler merusak pleur,
dan perubahan cairan intrapleura .
Komplikasi TB paru
Efusi pleura
Pneumothoraks
Sesak nafas, penggunaan
otot bantu nafas, dan pola
napas tidak efektif
Pola nafas tidak efektif
Gangguan pertukaran
gas
Reaksi
sistemis:Anoreksia,
mual, demam,
penurunan berat badan,
dan kelemahan.
Intake nutrisi tidak adekuat
Tubuh makin kurus
Ketergantungan aktivitas sehari-hari
Kurangnya pemenuhan istirahat dan
tidur
Kecemasan
Kurangnya informasi
Perubahan pemenuhan nutrisi kurang
dri kebutuhan
Gangguan pemenuhan ADL (Activity
Daily Living)
Gangguan pemenuhan istirahat dan
tidur
Kecemasan
Ketidaktahuan/pemenuhan informasi
Gambar 2.1 Pathway
Sumber : Arif mutaqqin, 2012
50
6. Test Diagnoistik
Untuk menegakkan diagnosa TB paru, maka test diagnoistik yang
sering di lakukan pada klien adalah:
a. Pemeriksan Radiologis foto rontgen toraks
Tuberkulosis dapat memberikan gambaran yang bermacam-macam
pada foto rontgen toraks, akan tetapi terdapat beberapa gambaran yang
karakteristik untuk tuberkulosis paru yaitu:
1) Apabila lesi terdapat terutama dilapangan di atas paru
2) Bayangan berwarna atau bercak
3) Terdapat kavitas tunggal atau multipel
4) Terdapat klasifikasi
5) Apabila lesi bilateral terutama bila terdapat pada lapangan atas
paru
6) Bayangan abnormal yang menetap pada foto toraks setelah foto
ulang beberapa minggu kemudian.
Lesi pada orang dewasa mempunyai predileksi di segmen apical
dan posterior lobus atas serta segmen apical lobus bawah. Umumnya
lesi tuberkulosis bersifat multiform, yaitu terdapat membrane beberapa
stadia pada saat yang sama misalnya terdapat infiltrate, fibrosis dan
klasifikasi bersamaan.
Gambaran yang tampak pada foto toraks tergantung dari stadium
penyakit. Pada lesi baru di paru yang berupa sarang pneumonia
terdapat gambaran bercak seperti awan dengan batasyang tidak jelas.
Kemudian pada fase berikutnya bayangan akan lebih padat dan batas
lebih jelas. Apabila lesi diliputi oleh jaringan ikat maka akan terlihat
bayangan bulat berbatas tegas di sebut tuberkuloma. Apabila lesi
tuberkulosis meletus maka akan terjadi perkijun, yang apabila
dibatukkan akan menimbulkan kavitas. Kavitas ini akan bermacam-
macam bentuknny “multiloculatied” , dinding tebal dan skelorotik.
Bisa juga ditemukan atelektasis pada satu lobus bahkan pada satu paru,
kadang-kadang kerusakan yang luas ditemukan pada kedua paru.
51
Gambaran fibrosis tampak seperti garis-garis yang padat, sedangkan
klasifikasi terlihat sebagai bercak dengan densitas tinggi. Sering juga
di temui penebalan yang tersebar merata dikedua paru. Gambaran efusi
pleura dan pneumotoraks juga sering menyertai tuberkulosis paru. Foto
toraks PA dan lateral biasanya sudah cukup memberikan gambaran.
Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan radiologic khususnya seperti
foto top lordotik, tomogram dan bronkografi. Penting sekali
melakukan evaluasi foto dn membandingkan hasilnya, untuk
mengetahui apakah ada kemajuan, perburukan atau terdapat kelainan
yang menetap.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Darah
Pada TB paru aktif biasanya di temukan peningkatan leukosit dan
laju endap darah (LED)
2) Sputum BTA
Pemeriksaan bakteriologik dilakukan untuk menemukan kuman
tuberkulosis. Diagnosa pasti di tegakkan bila ada biakan ditemukan
kuman tuberkulosis. Pemeriksaan penting untuk diagnosa definitive
dan menilai kemajuan klien. Dilakukan tiga kali berturut-turut dan
biakan/kultur BTA selama 4-8 minggu.
c. Test Tuberkulosis (Mantoux Test)
Pemeriksaan ini banyak digunakan untuk menegakkan diagnosa
terutama pada anak-anak. Biasanya diberikan suntikan PPD (Protein
Perifed Derivation) secara intracutan 0,1 cc. lokasi penyuntikan
umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah sebelah kiri bagian depan.
Penilaian test tuberkulosis di lakukan setelah 48-72 jam penuntikn
dengan mengukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi
pada lokasi suntikan. Indurasi berupa kemerahan dengan hasil sebagai
berikut:
52
1) Indurasi 0-5 mm: negatif
2) Indurasi 6-9 mm: meragukan
3) Indurasi > 10 mm: positif
d. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul pada klien TB paru dapat berupa:
1) Malnutrisi
2) Empiema
3) Efusi Pleura
4) Hepatitis, ketulin dan gangguan gastrointestinal (sebagai efek
samping obat-obatan).
e. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan TBC di Indonesia sesuai program nasional menggunakan
panduan OAT yang diberikan dalam bentuk kombipak, sebagai
berikut:
1) Kategori I: 2 RHZE / 4H3R3
Diberikan untuk:
a) Penderita baru TB paru dengan BTA (+)
b) Penderita baru TB paru, BTA (-), RO (+), dengan kerusakan
parenkim paru yang luas.
c) Penderita paru TB paru dengan kerusakan yang berat pada TB
ekstra pulmons
2) Kategori II: 2 RHES/HRZE/5 R3H3E3.
Diberikan untuk:
Penderita TB paru BTA (+) dengan riwayat pengobatan sebelumnya
kambuh, kegagalan pengobatan atau pengobatan tidak selesai.
3) Kategori III: 2 RHZ/4 R3H3
Diberikan untuk:
a) Penderita baru BTA (-) dan Ro (+) sakit ringan.
b) Penderita ekstra paru ringan, yaitu TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudatif unilateral, TB kulit, TB tulang pembedahan paru pada
klien biasanya dilakukan apabila jkien mengalami resisutasi
53
terhadap berbgai racun OAT. Pembedahan dilakukan dengan
mengangkut bagian paru yang tertutup kavietas (Santu
manurang, 2009).
f. Obat-obat anti tuberkulosis
1) Isoniazid (INH/H)
Dosis: 5 mg/kg BB, per oral
Efek samping: peripherl neuritis, hepatim, dan hipersensitivitas.
2) Ethambutol hydrochloride (EMB/E)
Dengan dosis sebagai berikut
a) Dewasa 15 mg/KgBB/hari selama 60 hari, kemudian di
turunkan sampai 15 mg/KgBB/hari
b) Anak (6-12 tahun): 10-15 mg/KgBB/hari
Efek samping optic neuritis (efek terburuk adalah kebutuhan)
dan skin rash
c) Rifamdin/rifampisin (RFP/R)
Dosis 10 mg/KgBB/hari per oral
Efek samping, hepatitis, reaksi demam, purpura nausea, dan
vomiting.
d) Pyrazinamide (PZA/Z)
Dosis 15-30 mg/KgBB per oral
Efek samping, hiperurisemia, hepatotoxicity, skin rash, artralgia,
distress gastrointestinal (Irman Somantri, 2009) .