bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan tentang putusan...
TRANSCRIPT
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi
1. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman
diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian kedudukan
Mahkamah Konstitusi adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
disamping Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga
peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam
lingkup wewenang yang dimiliki.
Fungsi Mahkamah Konstitusi dijalankan melalui wewenang yang
dimiliki yaitu memeriksa, megadili, dan memutus perkara tertentu berdasarkan
pertimbangan konstitusional. Dengan sendirinya setiap putusan Mahkamah
Konstitusi merupakan penafsiran terhadap konstitusi. Berdasarkan latar
belakang ini setidaknya terdapat lima fungsi yang melekat pada keberadaan
Mahkamah Konstitusi dan dilaksanakan melalui kewenangannya yaitu sebagai
pengawal konstitusi (the guardian of the constitutio), penafsir final konstitusi
(the final interpreter of the constitution), pelindung hak asasi manusia (the
18
protector of human right), pelindung hak konstitusional warga negara (the
protector of the citizen’s constitutional right), dan pelindung demokrasi (the
protector of democracy).18
Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk:
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus sengketa tentang hasil Pemilu.
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Kemudian dalam Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, diatur secara khusus wewenang dari Mahkamah
Konstitusi sebagai berikut :
1) Menguji Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945. 2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD NRI 1945. 3) Memutus pembubaran partai politik. 4) Memutus sengketa tentang hasil Pemilu. 5) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.
18Ayu Desiana. 2014. Majalah Hukum Forum Akademika Volume 25 Nomor 1 : Analisis
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Hal. 50.
19
Jika dilihat dari ketentuan Pasal diatas maka kewenangan yang
dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi tidak jauh berbeda dengan kewenangan
yang telah diperintahkan dalam UUD NRI 1945, namun dalam ketentuan
Pasal diatas kewajiban Mahkamah Konstitusi dijelaskan secara lebih rinci,
dimana Mahkamah Konstitusi berkewajiban untuk memberi putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden
diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.
2. Jenis Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat
negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan
dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak
kepadanya.19 Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa
yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim merupakan tindakan negara
dimana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD
1945 maupun undang-undang.
Pernyataan sikap atau perbuatan pejabat berwenang yang
menyelesaikan sengketa dapat dibedakan menjadi putusan akhir dan putusan
sela.20 Putusan akhir adalah satu sikap dan pernyataan pendapat yang benar-
19 M.P. Stein dalam Maruarar Siahaan. 2012. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. Hal 201. 20 Maruarar Siahaan. 2012. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Jakarta. Sinar Grafika. Hal 202
20
benar telah mengakhiri suatu sengketa. Dalam persidangan dan hukum acara
Mahkamah Konstitusi, ini diartikan bahwa putusan tersebut telah final dan
mengikat (final and binding). Pengertian sifat final putusan Mahkamah
Konstitusi ini adalah tidak dapat dilakukan upaya hukum atau perlawanan
hukum. Sifat final (legaly binding) dalam putusan Mahkamah Konstitusi
dimaksudkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi mengikat sebagai norma
hukum sejak diucapkan dalam persidangan. Final berarti bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi secara langsung memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Putusan
final ini langsung berlaku mengikat, yang juga dapat diartikan bahwa semua
pihak, baik itu orang, badan publik atau lembaga negara wajib mematuhi dan
melaksanakan putusan yang telah dijatuhkan.
Putusan sela adalah satu putusan yang belum mengakhiri sengketa. Di
Mahkamah Konstitusi dikenal beschikking yang disebut dengan ketetapan.
Secara umum putusan sela tidak dikenal dalam hukum acara Mahkamah
Konstitusi kecuali secara khusus disebut dalam penanganan perkara sengketa
kewenangan antara lembaga negara yang memperoleh kewenangan dari UUD
1945. Pasal 63 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan
“Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”.
Pasal tersebut menyebut bahwa tindakan hakim untuk “menghentikan
sementara” pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sama dengan
putusan hakim, sebenarnya merujuk pada tindakan sementara yang dilakukan
21
sebelum adanya pendapat akhir yang mengakhiri sengketa. Meskipun dalam
Pasal 63 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi disebut bahwa yang
dikeluarkan Mahkamah Konstitusi berupa penetapan, maka putusan tersebut
merupakan putusan sela, yang dikeluarkan sebelum putusan akhir yang
memutus sengketa pokok (bodem gaschill).
Perkara permohonan pengujian undang-undang sama sekali tidak
mengatur hal ini. Dalam beberapa perkara, pemohon justru telah memohon
agar dikeluarkan putusan sela. Untuk menunda berlakunya satu undang-
undang tertentu karena adanya urgensi akan kepastian hukum. Mahkamah
Konstitusi selalu menolak permohonan demikian dengan mendasarkan pada
Pasal 58 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa :
“Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945”
Pasal tersebut menurut Mahkamah Konstitusi jelas melarang putusan
provisi dalam permohonan pengujian undang-undang karena jika benar
bertentangan dengan UUD 1945, undang-undang tersebut baru dapat
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak putusan
Mahkamah Kontitusi, dan tidak dapat dilakukan sebelum adanya putusan
akhir dimaksud.
Selain kedua jenis putusan di atas, putusan Mahkamah Konstitusi
dapat dibedakan berdasarkan jenis amar putusannya, antara lain putusan yang
bersifat declaratoir, constitutief, dan condemnatoir.21 Putusan declaratoir
21 Ibid. Hal 205
22
adalah putusan dimana hakim menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan
hakim yang menyatakan permohonan atau gugatan ditolak merupakan satu
putusan yang bersifat declaratoir. Hakim dalam hal ini menyatakan tuntutan
atau permohonan tidak mempunyai dasar hukum berdasarkan fakta-fakta yang
ada.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian undang-
undang, sifat declaratoir ini sangat jelas dalam amarnya. Pasal 56 ayat (3)
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai berikut
“Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945”
Dalam hal ini, dengan tegas hakim akan menyatakan dalam amar
putusannya bahwa materi muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-
undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sifat putusan tersebut
hanyalah declaratoir dan tidak mengandung unsur penghukuman atau amar
yang bersifat condemnatoir. Akan tetapi, setiap putusan yang berifat
declaratoir khususnya yang menyatakan bagian undang-undang, ayat dan/atau
padal bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat juga sekaligus merupakan putusan yang bersifat constitutief.
Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan satu keadaan
hukum atau menciptakan satu keadaan hukum yang baru. Menyatakan satu
undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena
bertentangan dengan UUD 1945 adalah meniadakan keadaan hukum yang
timbul karena undang-undang yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
23
hukum mengikat. Dengan sendirinya, putusan itu menciptakan satu keadaan
hukum baru.
Satu putusan dikatakan condemnatoir jika putusan tersebut berisi
penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan satu prestasi.
Hal itu timbul karena adanya perikatan yang didasarkan pada perjanjian atau
undang-undang, misalnya untuk membayar sejumlah uang atau melakukan
atau tidak melakukan satu perbuatan tertentu. Akibat dari satu putusan
condemnatoir ialah diberikannya hak kepada penggugat/pemohon untuk
meminta tindakan eksekutorial terhadap tergugat/termohon.
3. Landasan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan refleksi pernyataan hakim
sebagai pejabat negara yang diberi wewenang oleh UUD 1945 atau undang-
undang untuk memutuskan sengketa yang diajukan oleh para pemohon yang
merasakan hak-hak kosntitusionalnya dirugikan akibat berlakunya suatu
undang-undang. Jika pada akhirnya Mahkamah Konstitusi memberikan
putusannya berkenaaan dengan pengujian undang-undang, landasan
putusannya harus merujuk pada ketentuan Pasal 45 UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 45 UU Mahkamah Konstitusi berbunyi
1) Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.
3) Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.
24
4) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.
5) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.
6) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya.
7) Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.
8) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.
9) Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada para pihak.
10) Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.
Ketentuan dalam Pasal 45 UU Mahkamah Konstitusi merupakan hal
fundamental yang dipandang sebagai instrumen penuntun bagi hakim
konstitusi yang akan memberikan putusan untuk mengakhiri suatu sengketa.22
Landasan hukum pengambilan keputusan terhadap pengajuan undang-
undang secara teknis yuridis telah diatur. Aspek filosofisnya pun dapat
dipahami oleh para hakim konstitusi, bahwa hak-hak konstitusional pemohon
yang merasa dirugikan dapat terpulihkan jika para hakim tidak memiliki
persepsi dengan pemohon dalam merujuk sumber-sumber hukum yang
menjadi dasar putusannya.
22 Iriyanto A. Baso Ence. 2008. Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi). Bandung. Alumni. Hal. 195.
25
4. Kekuatan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi sejak selesai diucapkan dalam sidang
pleno terbuka untuk umum secara yuridis mempunyai kekuatan mengikat,
kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial. Ketiga kekuatan putusan ini
sudah lama dikenal dalam Hukum Acara Perdata pada umumnya23. Meskipun
demikian, kekuatan-kekuatan putusan ini pun diterapkan dalam Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang yang dimohonkan.24
Berikut adalah uraian mengenai ketiga kekuatan putusan tersebut :
a. Kekuatan Mengikat
Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD
1945”. Putusan Mahkamah Konstitusi ini dinyatakan pula dalam Pasal 47
yang menyebutkan
“Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”.
Berdasarkan ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi tersebut,
berarti tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh atau dimanfaatkan
oleh para pemohon untuk merespon putusan Mahkamah Konstitusi, jika
putusan itu tidak sesuai dengan permohonannya. Secara teknis yuridis,
para pemohon atau pihak-pihak dalam perkara permohonan pengujian
undang-undang terikat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.
23 Ibid. Hal. 196. 24 Ibid.
26
Putusan sebagai perbuatan hukum pejabat negara menyebabkan
pihak-pihak dalam perkara terikat pada putusan dimaksud yang telah
menetapkan apa yang menjadi hukum, baik dengan mengubah keadaan
hukum yang lama maupun sekaligus juga menciptakan keadaan hukum
yang baru. Pihak-pihak terikat pada putusan tersebut, dapat diartikan pula
bahwa akan mematuhi perubahan keadaan hukum yang diciptakan melalui
putusan tersebut dan melaksanakannya.25
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi secara teoritis
berbeda dengan putusan pengadilan biasa. Putusan pengadilan biasa hanya
mengikat pihak-pihak berperkara sesuai dengan permohonan yang
diajukan. Sebaliknya, putusan Mahkamah Kostitusi selain mengikat para
pemohon, pemerintah dan DPR, juga semua orang, lembaga-lembaga
negara dan badan hukum dalam wilayah hukum Indonesia.
b. Kekuatan Pembuktian
Ketentuan Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menyatakan “Materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian
kembali”. Hal ini berarti putusan Mahkamah Konstitusi terhadap undang-
undang yang pernah dimohonkan untuk diuji dapat digunakan sebagai
bukti, karena sesuai dengan ketentuan pasal tersebut, Mahkamah
Konstitusi secara yuridis dilarang untuk memutus perkara permohonan
yang sebelumnya telah diputus.
25 Maruarar Siahaan. Op.Cit. Hal. 214.
27
Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap
dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif,
bahwa apa yang diputus oleh hakim dianggap telah benar. Pembuktian
sebaliknya tidak diperkenankan.26 Bahwa apa yang telah diputus oleh
hakim harus dianggap benar (resjudicata proveritate habetur) adalah
prinsip fundamental dalam putusan Mahkamah Konstitusi menguji
undang-undang.
c. Kekutan Eksekutorial
Suatu putusan yang hanya memiliki kekuatan hukum mengikat
belum cukup dan tidak berarti apa-apa bila putusan tersebut tidak dapat
direalisir atau dieksekusi. Jadi, putusan yang memiliki kekuatan
esekutorial adalah putusan yang menetapkan secara tegas hak dan
hukumnya untuk kemudian direalisir melalui eksekusi oleh alat negara.27
Kekuatan eksekutorial ini sudah lazim dalam praktik pengadilan biasa di
tanah air.
Sebaliknya, kekuatan eksekutorial putusan Mahkamah Konstitusi
dianggap telah terwujud dalam bentuk pengumuman yang termuat dalam
berita negara dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak putusan itu
diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.28 Tidak dibutuhkan
adanya aparat khusus yang melaksanakan (mengeksekusi) putusan, karena
sifat putusannya adalah declaratoir.29
26 Ibid. Hal 215. 27 M.Nasir. 2003. Hukum Acara Perdata. Jakarta. Djambatan. Hal. 194. 28 Pasal 57 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 29 Maruarar Siahaan. Op. Cit. Hal. 213.
28
Merujuk Pasal 47 dan Pasal 57 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi,
dapat digarisbawahi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka
untuk umum, sedangkan kekuatan eksekutorialnya sejak dimuat dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
5. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang secara
teknis yuridis bersifat declaratoir-constitutif. Artinya putusan Mahkamah
Konstitusi selain menyatakan atau menerangkan sesuatu yang menjadi hukum,
sekaligus meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang, meski membawa
akibat hukum tertentu, tetapi ketentuan Pasal 58 UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan
“Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945”
Jika pemerintah atau lembaga negara tidak mematuhi putusan
Mahkamah Konstitusi, tetapi tetap memberlakukan undang-undang yang telah
dinyatakan Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, hal itu merupakan perbuatan melawan hukum yang pengawasannya
ada dalam mekanisme hukum tata negara.30
30 Ibid.
29
B. Tinjauan Tentang Kepastian Hukum
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu
pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang
boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.31
Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai
bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum
adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa
memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang
dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum
tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan
hukum tanpa diskriminasi.32 Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat
dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai
kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai
pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu
tujuan dari hukum.
Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto
sebagaimana dikutip oleh Sidharta (2006 : 85), yaitu bahwa kepastian hukum
dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut :
31Riduan Syahrani. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung. Citra Aditya Bakti.
Hal. 23. 32Moh. Mahfud MD. Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik.
Mahkamah Konstitusi Jakarta. 8 Januari 2009.
30
1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan
5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan. Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan
bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian
hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat.
Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang
sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan
antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa
hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya
dan bahwa putusan dapat dilaksanakan.33 Walaupun kepastian hukum erat
kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum
bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan
keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.
Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya
sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam
memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu
33 Sudikno Mertokusumo. 2007. Mengenal Hukum Suau Pengantar. Yogyakarta. Liberty.
Hal. 160.
31
mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan
negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif.34
Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam
perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa,
sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya
kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
Lon Fuller dalam bukunya The Morality Of Law (1971 : 54-58)
mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak
terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan
kata lain harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai
berikut :
1) Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;
2) Peraturan tersebut diumumkan kepada publik; 3) Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem; 4) Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum; 5) Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan; 6) Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa
dilakukan; 7) Tidak boleh sering diubah-ubah; 8) Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari. Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka kepastian
dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan
multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum
harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga
siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu
dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber
34 Fernando M. Manulang. 2007. Hukum Dalam Kepastian. Bandung. Prakarsa. Hal. 95.
32
keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang
mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan
kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan kewajiban
setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang ada.
C. Tinjauan Tentang Hukuman Mati Dari Perspektif Hak Asasi Manusia
1. Definisi Hukuman Mati
Kata “hukuman mati” menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
berasal dari kata “hukum” dan “mati”. Hukum adalah peraturan yang dibuat
oleh suatu kekuasaan atau adat istiadat yang dianggap berlaku bagi banyak
orang dalam masyarakat. Maka hukuman adalah sebuah sanksi yang diberikan
kepada seseorang yang melanggar undang-undang. Sedangkan kata “mati”
mempunyai arti kehilangan nyawa. Dengan demikian, arti hukuman mati
adalah usaha pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh pengadilan
resmi negara, atas dasar tindak kejahatan yang telah dilakukan oleh
terpidana.35
Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan
pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang
dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.36 Pengertian hukuman mati
berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
bahwa hukuman mati/pidana mati adalah salah satu hukuman pokok yang
35 W.J.S.Poerwodarminta. 1983. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta. Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal. 750.
36 E. Utrecht. 1968. Hukum Pidana I. Bandung. Penerbitan Universitas. Hal. 107.
33
dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
2. Hukuman Mati dalam Hukum Positif Indonesia
Dalam hukum positif Indonesia, hukuman mati sebagai salah satu jenis
pidana pokok sebagaimana diatur dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana yang
dapat dikategorikan sebagai kejahatan berat, antara lain sebagai berikut:
a. Pasal 104 : makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden;
b. Pasal 111 ayat (2) : membujuk negara asing untuk bermusuhan atau
berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi
perang;
c. Pasal 124 ayat (3) : membantu musuh pada waktu perang;
d. Pasal 140 ayat (3) : makar terhadap raja atau kepala negara-negara
sahabat yang direncanakan dan berakibat maut;
e. Pasal 340 : pembunuhan berencana (moord; murder);
f. Pasal 365 ayat (4) : pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan
luka berat atau mati;
g. Pasal 368 ayat (2) : pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan
luka berat atau mati;
h. Pasal 444 : pembajakan di laut, pesisir, dan sungai yang
mengakibatkan kematian.
34
Selanjutnya, dalam beberapa peraturan di luar KUHP juga terdapat
ketentuan pidana yang memberikan ancaman pidana mati bagi pelanggarnya,
antara lain:
a. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 Prp Tahun 1959 tentang memperberat
ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.
b. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang
Senjata Api, Amunisi atau Bahan Peledak.
c. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan dan
Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.
d. Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, terkait dengan perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau
menerima Narkotika Golongan I.
e. Pasal 269 ayat (3) Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, jika perbuatan terorisme
tersebut menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan
matinya orang.
3. Proses Pelaksanaan Eksekusi Mati di Indonesia
Pelaksanaan pidana mati sebenarnya sudah diatur dalam pasal 11
KUHP, yaitu dengan cara menggantung terpidana oleh seorang algojo namun
setelah dikeluarkannya UU No.2/Pnps/1964 (Penpres Nomor 2 Tahun 1964
yang ditetapkan menjadi UU Nomor 5 Tahun 1969) maka hal itu sudah tidak
dilaksanakan. Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1969 menyebutkan bahwa
35
pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan lingkungan
peradilan umum dan militer dilakukan dengan ditembak mati. Jika tidak
ditentukan lain oleh Mentri Kehakiman, maka pidana mati dilaksanakan di
suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan
dalam tingkat pertama (pasal 2 ayat (1)).37 Dalam kaitannya pelaksanaan
pidana mati ini maka ada beberapa ketentuan yang diatur dalam penjelasan
pasal 11 KUHP yaitu :
a. Setelah mendengar nasihat dari Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan pidana mati itu, Kepala Polisi Komisariat Daerah tempat kedudukan Pengadilan tersebut menentukan waktu dan tempat pelaksanaannya.
b. Bersama-sama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab dan pembela/pengacara terhukum atas permintaannya sendiri atau atas permintaannya terhukum, Kepala Polisi Komisariat atau perwira yang ditunjuk olehnya, menghadiri pelaksanaan pidana mati itu.
c. Tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan hukuman mati, terhukum diberitahukan tentang akan dilaksanakannya hukuman mati itu oleh Jaksa Tinggi/Jaksa, dan kepadanya diberitahukan kesempatan untuk mengemukakan suatu keterangan atau pesan-pesan hari terakhir. Apabila seorang wanita hamil maka pelaksanaannya harus dilakukan setelah 40 hari melahirkan.
d. Untuk pelaksaan pidana mati itu Kepala Kepolisian Komisariat tersebut membentuk sebuah regu penembak, semuanya dari Bridge Mobile, terdiri dari seorang Bintara dan 12 Tamtama, di bawah pimpinan seorang perwira
e. Kecuali apabila presiden menetapkan lain, pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara sederhana mungkin. 38
4. Definisi Hak Asasi Manusia
Istilah HAM merupakan terjemahan dari Droits de L’homme
(Perancis), Human Rights (Inggris), dan mensekelije rechten (Belanda). Di
Indonesia, hak asasi lebih dikenal dengan istilah hak-hak asasi atau juga dapat
37 Andi Hamzah. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 313.
38 R. Sugandhi. 1981. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya. Surabaya. Usaha Nasional. Hal. 15.
36
disebut sebagai hak fundamental. Istilah hak asasi lahir secara monumental
sejak terjadinya revolusi Perancis pada tahun 1789 dalam “Declaration des
Droits de L’hommeet du Citoyen” (hak-hak asasi manusia dan warga negara
Perancis),dengan semboyan Liberte (Kemerdekaan), Egalite (Persamaan) dan
Fraternite (Persaudaraan).
Hak asasi dalam pengertian umum adalah hak-hak dasar yang dimiliki
setiap pribadi manusia sebagai anugrah Tuhan yang dibawa sejak lahir oleh
karena itu HAM merupakan hak dasar yang melekat dan dimiliki setiap
manusia sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa. HAM adalah hak-hak yang
dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya
bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum
positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.39
Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap
mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut.
Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable).
Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau
betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi
manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain,
hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.
HAM merupakan hak yang melekat pada manusia secara kodrati.
Pengakuan terhadap HAM lahir dari adanya keyakinan bahwa semua manusia
39 Jack Donnely. 2003. Universal Human Rights in Theory and Practice. Cornell University Press. Ithaca and London. Hal. 7-21.
37
dilahirkan dalam keadaan bebas dan dengan manusia yang lainnya. Selain itu,
manusia diciptakan dengan disertai akal dan hati nurani, sehingga manusia
dalam memperlakukan manusia yang lainnya harus secara baik dan beradab.
Bagi orang yang beragama dan meyakini bahwa manusia adalah
anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka hak asasi adalah hak yang melekat
pada diri manusia dan merupakan hak yang diberikan sebagai anugerah
Tuhan. Karena semua HAM itu diberikan oleh Tuhan, maka tidak ada yang
boleh mencabut dan menghilangkan selain Tuhan. Sehingga hak asasi itu perlu
mendapatkan perlindungan dan jaminan oleh negara atau pemerintah, dan bagi
siapa saja yang melanggarnya maka harus mendapatkan sanksi yang tegas
tanpa kecuali.
Ada beberapa hak yang tidak dapat dicabut seperti hak untuk hidup,
hak untuk memiliki kebebasan dalam berbicara dan berpendapat, hak untuk
mendapatkan kebebasan dalam memilih agama sesuai dengan keyakinanya,
hak mendapatkan kebebasan untuk berserikat, hak untuk mendapatkan
perlindungan yang sama dihadapan hukum dan masih banyak lagi.
Hak atas hidup, hak untuk mendapatkan kebebasan dan keamanan
merupakan contoh dari beberapa hak yang diakui secara universal di dunia.
Tidak seorang pun boleh diperbudak, diperdagangkan, disiksa, diperlakukan
secara tidak berperikemanusiaan atau merendahkan martabat manusia.
Di Indonesia, pengertian HAM ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM :
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
38
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.40
Oleh karena itu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
menunjukan nilai normatifnya HAM sebagai hak yang fundamental.
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 DUHAM “semua manusia dilahirkan
bebas dan sama dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal dan hati
nurani dan harus bertindak sesama manusia dalam semangat persaudaraan”.
Di dalam Pasal 55 piagam PBB (charter of the United nations) menjelaskan
bahwa adanya piagam ini adalah untuk memajukan penghormatan HAM dari
seluruh manusia di dunia termasuk kebebasan-kebebasan dasar bagi semua,
tanpa adanya pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama. Dari bunyi
undang-undang tersebut ditegaskan bahwa adanya kewajiban dari setiap
individu untuk menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban tersebut dengan
tegas dituangkan dalam undang-undang sebagai seperangkat kewajiban
sehingga apabila tidak dilaksanakan maka tidak mungkin akan terlaksana dan
tegaknya perlindungan terhadap HAM.
5. Hak Asasi Manusia Yang Bersifat Non Derogable Rights
Non-derogable rights adalah hak asasi manusia (HAM) yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Non-derogable rights demikian
dirumuskan dalam Perubahan UUD NKRI Tahun 1945 Pasal 28 I ayat (1)
yang menyatakan sebagai berikut:
40 Undang-Undang HAM 1999
39
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.41
Sebelum non-derogable rights dirumuskan dalam UUD 1945, sudah
ditegaskan pula di dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia, Pasal 37 yang menyebutkan:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non–derogable).42
Selanjutnya Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM juga
menyebutkan :
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.43
Pengklasifikasian non-derogable rights dan derogable rights adalah
sesuai Konvenan internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International
Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR). Ratifikasi konvensi
internasional hak sipil politik merupakan langkah maju pemerintah Indonesia
dalam upaya memperbaiki kinerja HAM.
Ifdhal Kasim dalam tulisannya “Konvensi Hak Sipil dan Politik,
Sebuah Pengantar”, yang diterbitkan ELSAM, hak-hak non-derogable yaitu
41 UUD 1945 42 Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asai Manusia
40
hak-hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh
negara-negara pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun.44
ICCPR menyatakan hak-hak yang sama sekali tidak boleh dikurangi
karena sangat mendasar yaitu: (i) hak atas hidup (rights to life); (ii) hak bebas
dari penyiksaan (rights to be free from torture); (iii) hak bebas dari
perbudakan (rights to be free from slavery); (iv) hak bebas dari penahanan
karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (v) hak bebas dari pemidanaan
yang berlaku surut; (vi) hak sebagai subjek hukum; dan (vii) hak atas
kebebasan berpikir, keyakinan dan agama. Negara-negara pihak yang
melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan
mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius
hak asasi manusia (gross violation of human rights).
Sedangkan intinya, sesuai dengan ICCPR, the European Convention
on Human Rights dan the American Convention on Human Rights terdapat
empat hak non-derogable umum. Atau beberapa pendapat menyebut The core
of rights (hak inti) dari non derogable rights berjumlah empat. Ini adalah hak
untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang tidak
manusiawi atau merendahkan atau hukuman lainnya, hak untuk bebas dari
perbudakan atau penghambaan dan hak untuk bebas dari penerapan retroaktif
hukum pidana. Hak-hak ini juga dikenal sebagai norma hukum internasional
yang harus ditaati atau jus cogens norms. Karena hak ini sangat penting
sehingga hak-hak tersebut sangat wajib untuk dilindungi oleh hukum sehingga
44 Miftakhul Huda. Nonderogable Rights Adalah Hak Asasi. http://miftakhulhuda.com.
Diakses tanggal 7 Mei 2017.
41
tidak ada seorang pun yang dapat merampas hak hidup secara sewenang-
wenang.
6. Tinjauan Pidana Mati Dalam Hukum Hak Asasi Manusia
a. Pidana Mati Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Internasional
Dewasa ini Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi
Umum Hak Asasi Manusia) dan International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) telah diberlakukan sebagai suatu dokumen pokok
yang mengatur pelaksanaan hak-hak asasi manusia di berbagai negara.
Kedua instrumen ini dipilih untuk dibahas karena keduanya seringkali
digunakan sebagai argumen untuk mengatakan bahwa norma-norma
hukum internasional melarang penerapan pidana mati.
Bagian dari Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang
terkait dengan isu pidana mati adalah Pasal 3 yang menyatakan bahwa
”Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan
pribadi”. Pasal ini seringkali dipergunakan sebagai salah satu senjata
utama untuk mengatakan bahwa pidana mati tidak mendapat tempat di
dalam hukum internasional, khususnya yang berkaitan dengan norma-
norma HAM. Atas dasar gagasan bahwa setiap orang memiliki hak untuk
hidup, para penentang pidana kemudian mengemukakan argumen bahwa
pidana mati melanggar hak hidup orang, sehingga harus ditiadakan.
Selanjutnya, ketentuan di dalam ICCPR yang langsung berkaitan
dengan pidana mati adalah Pasal 6 yang berbunyi :
42
(1) Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.
(2) Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.
(3) Apabila suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan Genosida, harus difahami, bahwa tidak satu pun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan pada Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini, untuk mengurangi kewajiban apapun yang telah dibebankan oleh ketentuan dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman bagi Kejahatan Genosida.
(4) Setiap orang yang telah dijatuhi hukum mati berhak untuk memohon pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.
(5) Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan yang tengah mengandung.
(6) Tidak ada satu pun dalam Pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini.
Pasal 6 ICCPR ini seringkali dirujuk oleh para penentang pidana
mati. Ayat (1) dalam Pasal ini menegaskan bahwa setiap manusia
memiliki hak untuk hidup yang bersifat melekat. Pasal 6 ayat (1) ini
dianggap sebagai ketentuan mutlak yang menutup ruang bagi keberadaan
pidana mati. Namun jika dicermati, ayat-ayat selanjutnya mengemukakan
kualifikasi tentang perampasan kehidupan secara sewenang-wenang. Hal
ini berarti secara implisit pasal 6 ICCPR mengakui adanya perampasan
kehidupan yang tidak sewenang-wenang.
43
Penafsiran demikian dipertegas dalam Pasal 6 ayat (2) sampai
dengan ayat (5). Ayat (2) secara implisit dan hati-hati masih mengakui
keberadaan pidana mati diantara negara-negara. Tidak ada petunjuk bahwa
ketentuan ayat ini menyatakan bahwa pidana mati adalah ilegal. Ketentuan
yang ada hanya sekedar membatasi agar pidana mati dilakukan secara
terbatas dan seksama. Demikian pula halnya dengan ayat (3), (4) dan (5)
yang memiliki karakteristik yang sama. Ayat (6) secara samar
mengindikasikan bahwa penghapusan pidana mati merupakan sesuatu
yang favorable. Namun sama sekali tidak ada norma yang tegas melarang
pidana mati.
Hal ini sangat wajar mengingat bahwa hukum internasional bahkan
yang memiliki basis perjanjian (treaty based international law) tetaplah
merupakan bagian dari struktur koordinatif hukum internasional. Berbeda
dari hukum nasional yang memiliki struktur subordinatif terhadap
subjeknya, ada tuntutan yang lebih besar terhadap hukum internasional
ntuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan ideologi, politik, tata nilai,
sistem ekonomi serta latar belakang budaya negara-negara yang menjadi
subjeknya.
Namun, penafsiran seperti ini tidak populer diantara masyarakat
internasional. Masyarakat internasional cenderung menganggap bahwa
pidana mati adalah pelanggaran terhadap hak hidup. Kecenderungan ini
antara lain terlihat dari dibuatnya instrumen-intrumen hukum internasional
yang memuat gagasan-gagasan tersebut, seperti (a) Second Optional
44
Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights 1989;
(b) Protocols No. 6 (1982) and No. 13 (2002) to the Convention dor the
Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European
Convention on Human Rights); (c) Protocol to the American Convention
on Human Rights to Abolish the Death Penalty 1990.
b. Pidana Mati Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pidana mati dalam hukum Indonesia bukanlah sesuatu yang asing.
Pidana mati sudah lama diterapkan di Indonesia, eksistensi hukuman mati
ini bukan karena merupakan suatu konsep dari barat. Namun masyarakat
Indonesia sendiri telah lama mengenal dan menerapkan hukuman mati
dalam hukum adat mereka. Berdasarkan sejarah, pidana mati bukanlah
bentuk hukuman yang relatif baru di Indonesia. Pidana ini telah dikenal
sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan
memperhatikan jenis-jenis pidana menurut hukum adat atau hukum para
raja dahulu.45
Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya
masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya
gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.46
Pidana mati, menurut Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam
putusan Mahkamah Konstitusi No. 2-3/PUU-V/2007, tidak bertentangan
dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Hal ini
45 R. Soesilo. 2001. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik
Khusus. Bogor. Politea. Hal. 14. 46 R. Abdoel Djamali. 2005. Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta. Rajawali
Pers. Hal. 187.
45
dikarenakan konstitusi Indonesia tidak menganut asas kemutlakan hak
asasi manusia.47
Pengaturan mengenai hak asasi manusia di Indonesia terdapat
dalam UUD 1945 Pasal 28A-28J dan juga terdapat dalam UU No 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun kemudian pelaksanaan
dari hak asasi manusia yang telah diatur dalam konstitusi tidak bisa
dilaksanakan sebebas-bebasnya. UUD 1945 membatasi pelaksanaan hak
asasi tersebut melalui Pasal 28J yang berbunyi :
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Selain itu ketentuan tentang pembatasan mengenai HAM juga
termuat dalam Pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang berbunyi
“Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.”
Dengan menerapkan pidana mati untuk kejahatan serius seperti
narkotika dan terorisme, MK berpendapat melalui Putusan Mahkamah
47 Arifin Ma’ruf. Eksistensi Pidana Mati dan Tinjauan Terhadap Konsepsi Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta. Vol. 1 No. 2. Juni 2015. Hal. 292.
46
Konstitusi No. 2-3/PUU-V/2007, Indonesia tidak melanggar perjanjian
internasional apa pun. Bahkan MK menegaskan pasal 6 ayat 2 ICCPR
sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada
negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius. Sebaliknya,
MK menyatakan Indonesia memiliki kewajiban untuk mematuhi konvensi
internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi oleh
Indonesia dalam bentuk UU Narkotika. Konvensi itu justru
mengamanatkan kepada negara pesertanya untuk memaksimalkan
penegakan hukum secara efektif terhadap pelaku kejahatan narkotika.
Sehingga, sebenarnya jelas bahwa pidana mati tidaklah bertentangan
dengan Konstitusi Negara kita dan masih layak dipertahankan
keberadaannya dalam hukum pidana.
D. Tinjauan Tentang Grasi
1. Definisi Grasi
Ditinjau dari sudut bahasa, istilah “grasi” berasal dari bahasa Latin,
yaitu gratia yang berarti pengampunan. J.C.T Simorangkir memberikan
pendapat bahwa grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk memberi
pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk
menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merubah sifat atau bentuk hukuman
itu.48 R. Soesilo memberikan pendapat mengenai grasi sebagai berikut :
“Pemberian grasi merupakan salah satu dari wewenang prerogatif Kepala Negara untuk membatalkan untuk seluruhnya atau sebagian pidana yang telah dijatuhkan atau untuk merubah pidana itu menjadi
48 J.C.T Simorangkir. 2004. Kamus Hukum. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 58.
47
suatu pidana yang lebih ringan sifatnya (lebih berat tidak dimungkinkan)”49
Definisi yang diberikan oleh Utrecht yaitu “menggugurkan menjalani
hukuman atau sebagian hukuman”50. Sedangkan menurut pendapat Soetomo,
“Grasi merupakan pengampunan dari Presiden kepada terpidana”51. Hasbullah
F. Sjawie memberikan pendapat mengenai grasi sebagai berikut :
“Grasi yang sering juga disebut pengampunan adalah hak khusus atau hak prerogatif yang dimiliki oleh Presiden dalam kedudukannya atau fungsinya sebagai Kepala Negara. Grasi adalah tindakan Presiden untuk meniadakan atau mengurangi atau merubah hukuman yang telah dijatuhkan oleh keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian grasi adalah salah satu alasan yang dapat mengakibatkan batalnya keharusan untuk melaksanakan hukuman yang diatur di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana52.”
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi (UU
Grasi) memberikan defenisi grasi adalah pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada
terpidana yang diberikan oleh Presiden. Dalam Penjelasan UU Grasi
disebutkan bahwa pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis
peradilan dan tidak terikat dengan penilaian terhadap putusan hakim.
Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang
yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan.
49 R. Soesilo. 1982. Hukum Acara Pidana Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bagi Penegak Hukum. Bandung. PT. Karya Nusantara. Hal. 137.
50 Utrecht. 1997. Hukum Pidana II. Surabaya. Pustaka Tinta Mas. Hal. 215. 51 Soetomo. 1990. Hukum Acara Pidana Dalam Praktek. Jakarta. Pustaka Kartini. Hal.
89. 52 Hasbullah F. Sjawie. 1994. Lembaga Grasi Menurut Hukum Positif Di Indonesia.
Varia Peradilan Tahun IX No. 102. Hal. 147.
48
Hak prerogatif diartikan sebagai hak khusus atau hak istimewa yang ada pada
seseorang karena kedudukannya sebagai kepala negara.53
Dari berbagai pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa grasi
merupakan salah satu dari wewenang prerogatif Kepala Negara berupa
perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana
kepada terpidana.
2. Bentuk-Bentuk Grasi
Grasi dapat diajukan oleh terpidana kepada Presiden apabila putusan
pengadilan yang memidana seseorang tersebut telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Bentuk-bentuk grasi (pengampunan) yang diberikan Presiden
yaitu berupa :
a. Peringanan atau perubahan jenis pidana
Salah satu bentuk pengampunan (grasi) yang diberikan Presiden adalah
peringanan yang berupa perubahan jenis pidana. Pidana yang awalnya
diterima oleh terpidana dapat dirubah jenis pidananya dengan pidana yang
termasuk di dalam Pasal 10 KUHP.
b. Pengurangan Jumlah Pidana
Pengurangan jumlah pidana ini tidak sama dengan remisi, karena
pengurangan jumlah pidana dalam grasi hanya berupa jumlah pidana awal
yang dijatuhkan kepada seseorang terpidana dikurangi jumlahnya.
Misalnya awalnya terpidana dijatuhi hukuman pidana penjara 6 tahun dan
setelah mendapat grasi yang berupa pengurangan hukuman pidana penjara
53 http://kbbi.web.id, diakses pada tanggal 10 Februari 2017
49
selama 2 tahun sehingga pidana yang dijalani terpidana berkurang menjadi
penjara selama 4 tahun. Sedangkan yang disebut remisi adalah
pengurangan hukuman masa pidana yang diberikan kepada narapidana
apabila ia berkelakuan baik di dalam Lembaga Permasyarakatan dan
diberikan setiap hari-hari besar. Perbedaan lainnya adalah pengurangan
hukuman grasi diberikan oleh Presiden sedangkan remisi diberikan oleh
Menteri Hukum dan HAM.
c. Penghapusan pelaksanaan pidana (komutasi)
Bentuk grasi yang terakhir adalah penghapusan pelaksanaan pidana.
Pidana yang awalnya diputuskan atas seorang terpidana dapat dihapuskan
apabila grasinya dikabulkan. Contohnya pidana penjara selama 4 tahun
dapat ditiadakan/dihapuskan karena terpidana mendapat grasi.
3. Syarat-Syarat Pemohon Grasi
Pihak-pihak yang ingin mengajukan permohonan grasi kepada
Presiden harus memenuhi syarat yaitu:
1) Permohonan grasi hanya dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
2) Permohonan grasi hanya dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi: a) pidana mati; b) pidana penjara seumur hidup; c) pidana penjara peling rendah 2 (dua) tahun.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan grasi adalah antara
lain sebagai berikut:
1) Terpidana 2) Kuasa Hukum 3) Keluarga Terpidana 4) Menteri Hukum dan HAM
50
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 jo. Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2002 tentang grasi tidak menetapkan syarat atau pembatasan terhadap
pihak yang dapat mengajukan grasi dari jenis tindak pidana yang dilakukan.
4. Prosedur Pengajuan Permohonan Grasi
Prosedur pengajuan permohonan grasi dimulai dengan pemberitahuan
hak mengajukan grasi kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang
yang memutus perkara pada tingkat pertama. Pengajuan permohonan grasi
diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya,
kepada Presiden. Salinan permohonan grasi disampaikan kepada pengadilan
yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada
Mahkamah Agung. Permohonan grasi dan salinannya dapat disampaikan
terpidana melalui Kepala Lembaga Permasyarakatan tempat terpidana
menjalani pidana. Setelah itu Kepala Lembaga Permasyarakatan
menyampaikan permohonan grasi kepada Presiden dan salinannya dikirimkan
kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat
7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.
Prosedur penyelesaian permohonan grasi yaitu dalam jangka waktu
paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan
permohonan grasi maka pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan
permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung.
Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya salinan
permohonan dan berkas perkara, Mahkamah Agung harus mengirimkan
pertimbangan tertulis kepada Presiden. Presiden memberikan keputusan atas
51
permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Keputusan Presiden dapat berupa penerimaan dan penolakan grasi. Jangka
waktu pemberian atau penolakan grasi paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung
sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.
Keputusan Presiden disampaikan kepada terpidana dalam jangka
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya
Keputusan Presiden. Salinan Keputusan Presiden disampaikan kepada:
a) Mahkamah Agung;
b) Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama;
c) Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana; dan
d) Lembaga Permasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
Bagan 2.1 Proses Pengajuan Grasi
52
E. Tinjauan Tentang Narapidana
1. Definisi Narapidana
Pengertian narapidana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana)
atau terhukum.54 Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani
pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan
pengertian terpidana itu sendiri adalah seseorang yang dipidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.55
Narapidana adalah manusia bermasalah yang dipisahkan dari
masyarakat untuk belajar bermasyarakat dengan baik56, dan ahli hukum lain
mengatakan narapidana adalah manusia biasa seperti manusia lainnya hanya
karena melanggar norma hukum yang ada, maka dipisahkan oleh hakim untuk
menjalani hukuman.57
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa, pengertian
narapidana adalah seseorang yang melakukan tindak kejahatan dan telah
menjalani persidangan, telah divonis hukuman pidana serta ditempatkan dalam
suatu bangunan yang disebut penjara.
54 Poerwo Darminto WJI. 1984. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
Hal. 215. 55 Pasal 1 angka 6 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 56 Willson dikutip dalam Dwijaya Priyatno. 1996. Sistem Peradilan Pidana Penjara.
Bandung. Rafika Aditama. Hal. 67. 57 Adami Chazawi. 2010. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta. Raja Grafindo
Persada. Hal. 59.
53
2. Hak dan Kewajiban Narapidana
Di Indonesia ketentuan yang mengatur tentang hak-hak narapidana
diatur dalam Pasal 14 ayat 1 nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan.
Hak-hak tersebut adalah sebagai berikut :
a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya b. Mendapatkan perawatan, baik perawatan jasmani maupun rohani c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak e. Menyampaikan keluhan f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa
lainnya yang tidak dilarang g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang
tertentu lainnya i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga k. Mendapatkan pembebasan bersyarat l. Mendapatkan cuti menjelang bebas m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh narapidana, yaitu bahwa
setiap narapidana pemasyarakatan wajib mengikuti program pendidikan dan
bimbingan agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Kewajiban
narapidana ditetapkan pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan Pasal 15 yaitu:
1. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu.
2. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
54
F. Tinjauan Tentang Upaya Hukum
1. Definisi Upaya Hukum
Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, yang dimaksud
dengan upaya hukum adalah “Hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau
kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Sebagai
suatu hak, maka tentunya upaya hukum tersebut sangat tergantung kepada
terdakwa maupun penuntut umum apakah akan mempergunakannya atau
tidak.
Adapun maksud dari upaya hukum sendiri pada pokoknya yaitu untuk
memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi sebelumnya dan untuk
kesatuan peradilan. Dengan adanya upaya hukum ini maka terdapat jaminan
bagi terdakwa ataupun masyarakat bahwa peradilan, baik menurut fakta
maupun hukum adalah benar dan sejauh mungkin seragam (Lilik
Mulyadi,2007:234). Pengertian upaya hukum menurut R. Atang
Ranoemihardjo, yaitu “suatu usaha melalui saluran hukum dari pihak-pihak
yang merasa tidak puas terhadap keputusan hakim yang dianggapnya kurang
adil atau kurang tepat” (Atang Ranoemihardjo, 1976 : 123).
Berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, dikenal dua macam upaya
hukum, yaitu :
a. Upaya Hukum Biasa:
1) Banding;
55
2) Kasasi.
b. Upaya Hukum luar biasa
1) Kasasi demi kepentingan hukum
2) Peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap (herziening)
2. Upaya Hukum Biasa
Upaya hukum biasa diatur di dalam Bab XVII, Bagian kesatu dari
Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 KUHAP tentang pemeriksanaan tingkat
banding, dan bagian Kedua dari Pasal 244 sampai 258 KUHAP tentang
pemeriksaan tingkat kasasi. Upaya hukum biasa adalah hak terdakwa dan
penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan negeri atau tingkat
pertama, sehingga maksud dari upaya hukum dari terdakwa (terpidana) atau
penuntut umum tidak puas atau tidak dapat menerima putusan tersebut,
adalah:
a. Untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya,
b. Untuk kesatuan dalam pengadilan,
c. Sebagai perlindungan terhadap tindak sewenang-wenang hakim atau
pengadilan.
Upaya hukum ini ada jaminan, baik bagi terdakwa maupun masyarakat
bahwa peradilan baik menurut fakta dan hukum adalah benar sejauh mungkin
seragam (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014: 269).
56
3. Upaya Hukum Luar Biasa
Merupakan pengecualian dan penyimpangan dari upaya hukum biasa,
upaya banding dan kasasi. Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk
mengoreksi serta meluruskan kesalahan yang terdapat dalam putusan tersebut
dan pelurusan kesalahan tersebut dimaksudkan demi tegaknya hukum dan
kebenaran serta keadilan (M. Yahya Harahap, 2012:543-544). Upaya hukum
Luar Biasa terdiri dari;
a. Kasasi demi kepentingan hukum
Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan terhadap
putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang telah berkekuatan
hukum tetap, hal ini berbeda dengan peninjauan kembali, tidak hanya
terbatas pada putusan pengadilan negeri dan atau putusan pengadilan
tinggi, tetapi juga terhadap putusan Mahkamah Agung (M. Yahya
Harahap, 2012:608-609).
Pihak yang berhak mengajukan kasasi demi kepentingan hukum
diatur dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP, yaitu Jaksa Agung karena
jabatannya, terpidana atau ahi waris atau penasehat hukumnya tidak
diperkenankan mengajukan kasasi demi kepentingan hukum. Putusan
kasasi demi kepentingan hukum ini tidak boleh merugikan pihak yang
berkepentingan dan hanya diperbolehkan diajukan satu kali saja.
b. Peninjauan Kembali
Putusan pengadilan yang dapat dimintakan peninjauan kembali yaitu:
57
1) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap
2) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan
3) Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum
Pasal 263 ayat (1) menyatakan bahwa orang yang berhak
mengajukan peninjauan kembali yaitu terpidana atau ahli warisnya.
Sehingga jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan permintaan
peninjauan kembali karena undang-undang tidak memberikan hak kepada
penuntut umum guna melindungi kepentingan terpidana.