bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum tentang...
TRANSCRIPT
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Pengusaha dan Pekerja
1. Pengusaha
Sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 1 Angka 4 UU
Ketenagakerjaan bahwa Pemberi kerja adalah orang perseorangan,
pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang memperkerjakan
tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Sementara itu di dalam Pasal 1 Angka 5 UU Ketenagakerjaan
dijelaskan pula bahwa Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan hukum miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di
indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Pada prinsipnya Pengusaha adalah yang menjalankan perusahaannya
baik milik sendiri ataupun bukan. Sebagai pemberi kerja, pengusaha adalah
seorang pengusaha dalam hubungan kerja dengan pekerja / buruh. Pekerja /
buruh bekerja di dalam suatu hubungan kerja dengan pengusaha sebagai
pemberi kerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa Pengusaha adalah orang yang
mempekerjakan orang lain untuk dirinya dengan memberikan upah sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak.
19
Sedangkan di dalam Pasal 1 Angka 6 UU Ketenagakerjaan dijelaskan
pula bahwa Perusahaan adalah :
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik
milik swasta maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja /
buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perusahaan
adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak dan usaha-
usaha sosial, baik itu milik perseorangan, persekutuan, badan hukum, milik
swasta, maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja dengan adanya
timbal balik berupa upah ataupun imbalan dalam bentuk lain.
2. Pekerja
Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah dan
imbalan dalam bentuk lain. Dalam definisi tersebut terdapat dua unsur, yaitu
orang yang bekerja dan meneriman upah dan imbalan dalam bentuk lain.14
Hal tersebut berbeda dengan definisi dari tenaga kerja. Dalam ketentuan
Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
disebutkan bahwa Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan / atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
14
Maimun. 2003. Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar. Jakarta. Penerbit PT. Pradnya
Paramita. Hal. 13.
20
Pekerja atau buruh merupakan bagian dari tenaga kerja, yaitu tenaga
kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja, di bawah perintah pemberi
kerja.15
Sedangkan di dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa Pekerja / buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain. Jadi pekerja / buruh adalah tenaga kerja yang bekerja di
dalam hubungan kerja di bawah perintah pengusaha / pemberi kerja dengan
mendapatkan upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pekerja adalah orang
yang bekerja kepada seseorang dengan perjanjian tertentu untuk
mendapatkan upah dari orang yang mempekerjakan. Namun, di dalam setiap
perusahaan tidak hanya buruh / pekerja laki-laki saja yang dipekerjakan,
akan tetapi juga terdapat buruh / pekerja wanita. Buruh / Pekerja Wanita
adalah setiap orang yang dalam hal ini adalah wanita yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan / atau jasa, baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.
B. Tinjauan Umum Tentang Hak dan Kewajiban Pengusaha dan Pekerja /
Buruh
1. Hak dan Kewajiban Pengusaha
a. Hak Pengusaha
Hak Pengusaha adalah suatu yang harus diberikan kepada
Pengusaha sebagai konsekuensi adanya tenaga kerja yang bekerja
15
Ibid. Hal. 14.
21
padanya atau karena kedudukannya sebagai Pengusaha.16
Adapun hak-
hak Pengusaha antara lain sebagai berikut :
1) Berhak menetapkan mulainya istirahat tahunan dengan
memperhatikan kepentingan Pekerja / Buruh (Pasal 5 Ayat (1)
PP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan
Istirahat Buruh).
2) Pendapatan Non Upah yang berupa Bonus dapat diberikan oleh
Pengusaha kepada Pekerja / Buruh atas Keuntungan Perusahaan
dan yang diatur di dalam Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama (Pasal 8 Peraturan
Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan).
3) Berhak memperoleh denda atau ganti kerugian atas pelanggaran
yang dilakukan oleh Pekerja / Buruh karena kesengajaan atau
kelalaiannya (Pasal 95 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan).
4) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap Pekerja /
Buruh dengan alasan Pekerja / Buruh telah melakukan kesalahan
berat seperti melakukan penipuan, pencurian dan penggelapan
barang dan / atau uang milik perusahaan, memberikan
keterangan palsu yang merugikan perusahaan, mabuk,
meminum minuman keras dan menggunakan obat-obatan
terlarang di lingkungan kerja, melakukan perbuatan asusila dan
perjudian, menyerang, menganiaya, mengancam, atau
mengintimidasi teman sekerja atau Pengusaha di lingkungan
kerja, dan lain-lain sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal
158 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
b. Kewajiban Pengusaha
Kewajiban Pengusaha adalah suatu prestasi yang harus dilakukan
oleh Pengusaha bagi kepentingan tenaga kerjanya.17
Adapun kewajiban
Pengusaha adalah sebagai berikut :
16
Darwan Prinst. 2000. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan bagi Pekerja
untuk Mempertaruhkan Haknya). Bandung. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Hal. 36. 17
Ibid. Hal. 38.
22
1) Kewajiban Memberikan Istirahat / Cuti
Kewajiban Pengusaha untuk memberikan istirahat / cuti telah
diatur sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 79 Ayat (1)
UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang
menyatakan bahwa Pengusaha wajib memberi waktu istirahaat
dan cuti kepada pekerja / buruh.
2) Kewajiban Memberikan Waktu untuk Beribadah
Pengusaha wajib memberikan waktu untuk beribadah kepada
buruh yang sedang melaksanakan pekerjaannya, sebagaimana
yang tertuang di dalam Pasal 80 UU Ketenagakerjaan yang
menyatakan bahwa Pengusaha wajib memberikan kesempatan
yang secukupnya kepada pekerja / buruh untuk melaksanakan
ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
3) Kewajiban Memberikan Perlindungan Keselamatan dan
Kesehatan kerja
Setiap Pekerja / Buruh berhak memperoleh perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan kerja, oleh karena itu maka
pengusaha wajib menerapkan sistem manajemen terhadap
perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja bagi pekerja
/ buruh yang bekerja kepadanya. Hal ini sebagaimana yang
tertuang di dalam Pasal 87 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang
menyatakan bahwa setiap perusahaan wajib menerapkan sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi
dengan sistem manajemen perusahaan.
4) Kewajiban Membayar Upah
Dalam hubungan kerja, kewajiban utama bagi seorang
Pengusaha adalah membayar upah dengan tepat waktu kepada
Pekerjanya. Hal ini sebagaimana yang telah tertuang di dalam
Pasal 18 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015
Tentang Pengupahan yang menyatakan bahwa Pengusaha wajib
membayar Upah pada waktu yang telah diperjanjikan antara
Pengusaha dengan Pekerja/Buruh.
5) Kewajiban untuk Memberikan Makanan dan Minuman Bergizi
serta menjaga Kesusilaan dan Keamanan di Tempat Kerja
Kewajiban ini sebagaimana yang telah tertuang di dalam Pasal 2
Ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor : Kep. 224 /Men/2003 Tentang
Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja / Buruh
Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan 07.00 yang
menyatakan bahwa Pengusaha wajib menyediakan angkutan
antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan
pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 05.00 yang
23
menyatakan bahwa Pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan
07.00 berkewajiban untuk memberikan makanan dan minuman
bergizi, dan menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat
kerja.
6) Kewajiban untuk Menyediakan Angkutan Antar Jemput bagi
Pekerja / Buruh Perempuan yang Bekerja pada Malam Hari
Hal ini sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 2 Ayat (2)
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor : Kep. 224 /Men/2003 Tentang Kewajiban
Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja / Buruh Perempuan
Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan 07.00 yang menyatakan
bahwa Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput
bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang
bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 05.00.
2. Hak dan Kewajiban Pekerja / Buruh
a. Hak Pekerja / Buruh
Hak adalah sesuatu yang harus diberikan kepada seseorang sebagai
kedudukan atau status seseorang. Demikian juga pekerja / buruh
mempunyai statusnya itu. Adapun hak-haknya tersebut dapat dirinci
sebagai berikut :
1) Hak Mendapatkan Upah / Gaji
Setiap pekerja / buruh yang telah atau melakukan pekerjaan
berhak untuk mendapatkan upah / gaji. Sebagaimana yang
tertuang di dalam Pasal 88 Ayat (1) yang menyatakan bahwa
Setiap pekerja / buruh berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan
Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan yang menyatakan bahwa Setiap Pekerja / Buruh
berhak memperoleh Upah yang sama untuk pekerjaan yang
sama nilainya. Yang dimaksud dengan upah adalah hak pekerja /
buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja /
buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan dari pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan / atau jasa yang telah atau akan dilakukan
24
(Pasal 1 Angka 30 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan).
2) Hak untuk Mendapatkan Istirahat / Cuti
Setiap pekerja berhak untuk mendapatkan istirahat atau cuti,
sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 79 Ayat (1) UU No.
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan
bahwa Pengusaha wajib memberi waktu istirahaat dan cuti
kepada pekerja / buruh.
3) Hak untuk Mendapatkan Pengurusan Perawatan dan Pengobatan
Terhadap Pekerja yang mengalami kecelakaan kerja mempunyai
hak untuk mendapat pengurusan perawatan dan pengobatan. Hal
ini untuk memberikan perlindungan kepada pekerja yang sakit,
kecelakaan, atau meninggal dunia.
b. Kewajiban Pekerja / Buruh
Kewajiban adalah suatu prestasi baik berupa benda atau jasa, yang
seharusnya dilakukan oleh seseorang karena kedudukannya atau
statusnya.18
Adapun kewajiban dari para pekerja adalah sebagai berikut:
1) Wajib Melakukan Pekerjaan
Buruh atau Pekerja Wajib melakukan pekerjaan. Melakukan
pekerjaan adalah tugas utama dari pekerja yang harus dilakukan
sendiri, meskipun demikian dengan seizin Pengusaha dapat
diwakilkan.
2) Wajib Menaati Aturan dan Petunjuk Pengusaha
Dalam melakukan pekerjaan pekerja / buruh wajib menaati
petunjuk yang diberikan oleh Pengusaha. Aturan yang wajib
ditaati Pekerja sebaiknya dituangkan di dalam Peraturan
Perusahaan, sehingga menjadi jelas ruang lingkup dari petunjuk
tersebut. Buruh / Pekerja wajib untuk selalu mematuhi Peraturan
Perusahaan yang telah dibuat oleh Pengusaha. Menurut pasal 1
angka 20 UU No. 13 Tahun 2003, Peraturan perusahaan adalah
peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
18
Ibid. Hal. 23.
25
3) Kewajiban Membayar Ganti Rugi dan Denda
Jika Buruh / Pekerja melakukan perbuatan yang merugikan
perusahaan, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian,
maka sesuai dengan prinsip hukum Pekerja wajib membayar
ganti rugi atau denda. Hal ini sebagaimana yang tertuang di
dalam Pasal 95 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa Pelanggaran yang
dilakukan oleh pekerja / buruh karena kesenjangan atau
kelalaiannya dapat dikenakan denda.
3. Hak-Hak Pekerja / Buruh Perempuan yang Bekerja pada Malam Hari
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa adanya
pembedaan suku, agama, ras, jenis kelamin, dan termasuk pula perlakuan
yang sama terhadap penyandang cacat. Hal ini sebagaimana yang telah
tertuang di dalam Pasal 5 dan 6 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan yang menyatakan sebagai berikut :
1) Pasal 5 UU Ketenagakerjaan
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
2) Pasal 6 UU Ketenagakerjaan
Setiap pekerja / buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama
tanpa diskriminasi dari pengusaha.
Berdasarkan substansi dari Pasal 5 dan 6 UU Ketenagakerjaan ini,
maka secara tegas dapat diketahui bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan
di Indonesia telah memberikan perlindungan kepada wanita sehingga
mempunyai kedudukan yang sama dengan pria di depan hukum dalam hal
memperoleh kehidupan yang layak, serta memberi peluang bagi wanita
untuk bekerja dalam bidang yang dinginkanya dengan catatan wanita
tersebut melakukan pekerjaan sesuai dengan bakat dan keinginannya.
26
Dengan adanya Peraturan Perundang-Undangan ini, maka Pemberi
Kerja harus memperhatikan hak-hak dan kewajibannya sebagai pemberi
kerja agar hak-hak dan kewajiban buruh / pekerja dapat dipenuhi pula
dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku tanpa adanya pembedaan
jenis kelamin, ras, agama, suku, bahkan pekerja yang memiliki cacat fisik.
Hak-hak untuk pekerja perempuan khususnya pekerja perempuan
yang bekerja pada malam hari telah diatur di dalam ketentuan Pasal 76 UU
No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang juga diatur di dalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor : Kep.224 / Men / 2003 Tentang Kewajiban Pengusaha yang
Mempekerjakan Pekerja / Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai
Dengan 07.00, yakni sebagai berikut :
(1) Pekerja / buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan
belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja / buruh perempuan
hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan
dan keselaman kandungannya maupun dirinya apabila bekerja
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara
pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib :
a) Memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b) Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi
pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Di dalam ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat batasan-
batasan waktu bagi perempuan dalam bekerja. Buruh perempuan yang
dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 berhak
27
mendapat makanan dan minuman bergizi dan berhak mendapat keamanan
dan terhindar dari kesusilaan saat bekerja. Sesuai dengan Pasal 3 Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep.
224/Men/2003 Tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan
Pekerja / Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan 07.00,
menjelaskan bahwa Makanan dan minuman yang bergizi sebagaimana
dimaksud tersebut harus sekurang-kurangnya memenuhi 1.400 kalori dan
diberikan pada waktu istirahat antara jam kerja dan Makanan dan minuman
tersebut tidak dapat diganti dengan uang.
Selain itu terdapat pula ketentuan lain di dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai Hak-Hak Buruh / Pekerja
Wanita, diantaranya adalah :19
a) Larangan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja Wanita
Pasal 153 Ayat (1) Hurf d dan e UU Ketenagakerjaan mengatur
larangan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja wanita
dengan alasan pekerja wanita menikah, sedang hamil, melahirkan
dan menyusui bayinya, merupakan bentuk perlindungan bagi
pekerja wanita sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya.
Kodrat wanita mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan
menyusui adalah suatu keadaan / kondisi yang tidak bisa
diperkirakan oleh manusia, sehingga tidak etis apabila pengusaha /
pemberi kerja melakukan diskriminasi atas kodrat seorang wanita
tersebut.
b) Cuti Haid
Cuti haid bagi wanita adalah suatu yang tetap menjadi pro dan
kontra. Pasal 81 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pekerja /
buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan kepada pengusaha tidak wajib bekerja pada hari
pertama dan kedua pada waktu haid. Bagi sebagian wanita yang
tidak setuju mengenai yang dimaksudkan dalam Pasal 81 UU
19
Editus Adisu dan Libertus Jaehani. 2006. Hak-Hak Pekerja Perempuan. Jakarta. Penerbit
Visimedia. Hal. 33.
28
Ketenagakerjaan tentang cuti haid melihat bahwa pengaturan
tersebut merupakan perlakuan diskriminatf karena haid adalah
kodrat. Alasan mereka, dengan semakin canggihnya teknologi dan
semakin ttingginya kesadaran wanita akan kesehatan, maka
masalah haid bukan lagi menjadi faktor penghambat untuk
beraktifitas. Masalah haid adalah berkaitan dengan reproduksi dan
reproduksi adalah masalah kodrat. Sedangkan sebagian wanita
yang setuju dengan Pasal tersebut menganggap bahwa kewajiban
cuti haid bagi pekerja wanita adalah masalah hak, dan hak boleh
diambil atau tidak. Memang, seiring dengan bergulirnya pendapat
pro dan kontra tersebut, walaupun cuti haid adalah sesuatu yang
wajib dilaksanakan, namun pada kenyataannya, banyak sekali
pekerja wanita di perusahaan tertentu tidak menggunakan haknya
atau mengabaikan ketentuan tersebut. Artinya adalah bahwa
pekerja wanita tetap melaksanakan tugas dan kewajibannya
meskipun dalam keadaan haid.
c) Cuti Hamil
Kebijakan Pemerintah untuk memberikan cuti hamil kepada wanita
adalah sesuatu yang wajib karena hal ini merupakan kodrat bagi
seorang wanita. Sebagaimana yang telah tertuang di dalam Pasal 82
UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa Pekerja / buruh
perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah)
bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah)
bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan
atau bidan. Selain itu, pekerja wanita juga diberikan kesempatan
untuk menyusui anaknya selama melakukan pekerjaan.
Sebagaimana yang telah tertuang di dalam Pasal 83 UU
Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa Pekerja/buruh
perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan
sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan
selama waktu kerja.
4. Sanksi terhadap Pelanggaran Hak-Hak Pekerja / Buruh Wanita
Hak-hak pekerja pada umumnya dan hak pekerja wanita pada
khususnya sudah diatur lebih rinci, baik di dalam UU Ketenagakerjaan
maupun dalam peraturan pelaksananya. Di dalam UU Ketenagakerjaan
terdapat banyak Pasal yang mencantumkan sanksi atau hukuman yang dapat
29
dijatuhkan kepada pengusaha atau siapa pun yang melakukan pelanggaran.
Sanksi-sanksi terhadap pelanggaran hak-hak pekerja wanita yaitu :
1) Sanksi Administratif
Sanksi administratif terjadi apabila Pengusaha atau siapa pun
memperlakukan pekerja wanita secara diskriminasi, misalnya
dalam hal kesempatan yang berbeda dalam mendapatkan
kesempatan kerja. Bentuk sanksi administratif tersebut tertuang di
dalam Pasal 190 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan, yakni berupa:
a) Teguran;
b) Peringatan tertulis;
c) Pembatasan kegiatan usaha;
d) Pembekuan kegiatan usaha;
e) Pembatalan persetujuan;
f) Pembatalan pendaftaran;
g) Penghentian sementara sebagaian atau seluruh alat produksi;
h) Pencabutan ijin.
2) Sanksi Perdata
Alasan-alasan pemberlakuan sanksi perdata adalah apabila
pekerjaan yang diperjanjikan tersebut ternyata bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Akibat hukumnya perjanjian tersebut batal demi
hukum (Pasal 52 dan 155 UU Ketenagakerjaan)
3) Sanksi Pidana
Sanksi Pidana Penjara atau Denda terhadap pelanggaran hak
pekerja wanita termuat di dalam beberapa Pasal Undang-Undang
Ketenagakerjaan, antara lain sebagai berikut :
a) Sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 4 (empat) tahun dan / atau denda paling sedikit Rp.
100.000.00,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
400.000.000,00 (empat ratus juta rupah) bagi pengusaha yang
tidak memberikan kepada pekerja wanita hak untuk istirahat
selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan
anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut
perhitungan dokter kandungan atau bidan dan hak kepada
pekerja wanita yang mengalami keguguran untuk istirahat 1,5
(satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter
kandungan atau bidan (Pasal 82 dan Pasal 185 UU
Ketenagakerjaan).
b) Sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan / atau denda paling sedikit
Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) bagi pengusaha yang :
30
(1) Memperkerjakan Pekerja / buruh perempuan yang berumur
kurang dari 18 (delapan belas) tahun antara pukul 23.00
sampai dengan pukul 07.00;
(2) Mempekerjakan pekerja / buruh perempuan hamil yang
menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan
keselaman kandungannya maupun dirinya apabila bekerja
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00;
(3) Mempekerjakan pekerja / buruh perempuan antara pukul
23.00 sampai dengan pukul 07.00 tanpa memberikan
makanan dan minuman bergizi, dan menjaga kesusilaan dan
keamanan selama di tempat kerja;
(4) Tidak menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja /
buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara
pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00 (Pasal 76 dan Pasal
187 UU Ketenagakerjaan).
C. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum
1. Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya
atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan
hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan
sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau
sempit.20
Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua
subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan
aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
20
Jimly Asshiddiqie. Makalah : Penegakan Hukum. http://www.jimly.com. Diakses : Pukul
: 19.58 WIB, Tanggal 18 Maret 2016. Hal. 1.
31
dengan mendasarkan diripada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia
menjalankan atau menegakkan aturan hukum.21
Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu
hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk
menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana
seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan,
aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya
paksa.22
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut
objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga
mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum
itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi
aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.23
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan
penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk
menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti
materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan
hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh
aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh
21
Ibid. 22
Ibid. 23
Ibid.
32
Undang-Undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang
berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.24
2. Aparatur Penegak Hukum
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi
penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit,
aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu,
dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir
pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-
pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan
kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya
pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.25
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga
elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum
beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme
kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya,
termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan
yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur
materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya
maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah
memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan
24
Ibid. Hal. 2. 25
Ibid. Hal. 3.
33
hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara
nyata.26
Penegak hukum harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan
pengertian dari golongan sasaran yaitu masyarakat, dan mampu
membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima masyarakat.
Golongan panutan atau penegak hukum pun dituntut agar dapat
memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga mengairahkan
partisipasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas. Golongan panutan
juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam
memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru, serta
memberikan keteladanan yang baik.27
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Penegakan hukum baik sebagai hukum materil maupun hukum formil
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah :
a. Faktor Hukum
Dalam suatu proses penegakan hukum, faktor hukum adalah salah
satu yang menentukan keberhasilan penegakan hukum itu sendiri. Namun
tidak terlaksananya penegakan hukum dengan sempurna hal itu
disebabkan karena terjadi masalah atau gangguan yang disebabkan
karena beberapa hal seperti tidak diikuti asas-asas berlakunya undang-
undang yang merupakan dasar pedoman dari suatu peraturan perundang-
26
Ibid. Hal. 3-4. 27
Soerjono Soekanto. 2007. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta. Penerbit Raja Grafindo Persada. Hal. 5.
34
undangan, hal yang kedua yaitu belum adanya suatu aturan pelaksanaan
untuk menerapkan Undang-Undang.28
b. Faktor Penegak Hukum
Penegak hukum mempunyai peran yang penting dalam penegakan
hukum itu sendiri, prilaku dan tingkah laku aparat pun seharusnya
mencerminkan suatu kepribadian yang dapat menjadi teladan bagi
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Aparat penegak hukum yang
profesional adalah mereka yang dapat berdedikasi tinggi pada profesi
sebagai aparat hukum, dengan demikian seorang aparat penegak hukum
akan dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai seorang
penegak hukum dengan baik.29
c. Faktor Sarana atau Fasilitas
Dengan dukungan sarana dan fasilitas yang memadai penegakan
hukum akan dapat terlaksana dengan baik. Sarana dan fasilitas yang
dimaksud, antara lain, sumber daya manusia, organisasi yang baik,
peralatan yang mumpuni, dan sumber dana yang memadai. Bila sarana
dan fasilitas tersebut dapat dipenuhi maka penegekan hukum akan
berjalan maksimal.30
28
Ibid. Hal. 17-18. 29
Ibid. Hal. 34. 30
Ibid. Hal. 37.
35
d. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum adalah berasal dari masyarakat dan untuk
masyarakat. Oleh karena itu peran masyarakat dalam penegakan hukum
juga sangat menentukan. Masyarakat yang sadar hukum tentunya telah
mengetahui hal mana yang merupakan hak dan kewajiban mereka,
dengan demikian mereka akan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan
mereka sesuai dengan aturan yang berlaku.31
e. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai dasar yang
mendasari keberlakuan hukum dalam masyarakat, yang menjadi patokan
nilai yang baik dan buruk. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono
Soekanto terdapat pasangan nilai yang berperan dalam hukum yaitu :32
1) Nilai Ketertiban dan Nilai Ketentraman
Nilai ketertiban biasanya disebut dengan keterikatan atau disiplin,
sedangkan nilai ketentraman merupakan suatu kebebasan, secara
psikis suatu ketentraman ada bila seorang tidak merasa khawatir dan
tidak terjadi konflik batiniah.33
2) Nilai Jasmaniah (Kebendaan) dan Nilai Rohaniah (Keahlakan)
Nilai kebendaan dan keakhlakan merupakan pasangan nilai yang
bersifat universal.Akan tetapi dalam kenyataan karena pengaruh
modernisasi kedudukan nilai kebendaan berada pada posisi yang lebih
31
Ibid. Hal. 56-57. 32
Ibid. Hal. 60. 33
Ibid. Hal. 65.
36
tinggi dari pada nilai keakhlakan sehingga timbul suatu keadaan yang
tidak serasi.34
3) Nilai Kelanggengan (Konservatisme) dan Nilai Kebaruan
(Inovetisme)
Nilai Konservatisme dan Nilai Inovatisme senantiasa berperan dalam
perkembangan hukum, di satu pihak ada yang menyatakan hukum
hanya mengikuti perubahan yang terjadi dan bertujuan untuk
mempertahankan “status quo”.Di lain pihak ada anggapan-anggapan
yang lain pula, bahwa hukum juga dapat berfungsi sebagai sarana
mengadakan perubahan dan menciptakan hal-hal yang baru.
Keserasian antara kedua nilai tersebut akan menempatkan hukum pada
kedudukan dan peranan yang semestinya.35
D. Tinjauan Umum Tentang Upaya Hukum yang dapat Ditempuh Apabila
Pengusaha tidak Memenuhi Hak-Hak Pekerja / Buruh Perempuan yang
Bekerja pada Malam Hari
Di dalam Pasal 1 Angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dijelaskan bahwa
Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja / buruh atau serikat pekerja / serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh dalam satu
perusahaan, kemudian dijelaskan pula bahwa Perselisihan hak adalah
34
Ibid. 35
Ibid. Hal. 66.
37
perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya
perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.
Dalam rangka upaya penyelesaian hubungan industrial dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Cara-cara yang di tempuh ditentukan oleh pihak-pihak
yang bersengketa dalam perselisihan hubungan industrial itu sendiri. Secara
garis besar ada dua cara yang dapat di tempuh dalam menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial, yaitu :
1. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Luar Pengadilan
Hubungan Industrial
Adapun cara-cara yang dapat di tempuh di luar pengadilan hubungan
industrial antara lain adalah Bipartit, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase,
yakni sebagai berikut :
a. Bipartit
Definisi perundingan bipartit dalam Pasal 1 angka 10 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, adalah perundingan antara pekerja / buruh atau
serikat pekerja / serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial. Perselisihan hubungan industrial wajib
diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit
secara musyawarah untuk mencapai mufakat, tanpa adanya campur
38
tangan dari pihak lain, sehingga mendapat hasil yang menguntungkan
kedua belah pihak.36
Jangka waktu penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus
diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
dimulainya perundingan, dan setiap perundingan harus dibuat risalah
perundingan, sekurang-kurangnya memuat :
1) Nama lengkap dan alamat para pihak;
2) Tanggal dan tempat perundingan;
3) Pokok masalah atau alasan perselisihan;
4) Pendapat para pihak;
5) Kesimpulan atau hasil perundingan; dan
6) Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan
perundingan.
Penyelesaian melalui perundingan sebagaimana dimaksud diatas,
apabila mencapai kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda
tangani oleh para pihak dimana sifatnya adalah mengikat dan menjadi
hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. Namun, apabila dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk
berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai
kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Dalam hal penyelesaian secara bipatrite tersebut gagal, salah satu
pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihanya kepada instansi
yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerajaan setempat dengan
36
Ugo dan Pujiyo. 2011. Hukum AcaraPenyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Jakarta. Penerbit Sinar Grafika. Hal. 54.
39
melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui bipatride
telah dilakukan.37
Untuk keperluan pelaksanaannya, para pihak wajib didaftarkan
pada pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
para pihak mengadakan Perjanjian Bersama dan Pengadilan Hubungan
Industrial memberikan “Akta Bukti Pendaftaran Perjanjian Bersama” dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
Melalui Akta Pendaftaran Perjanjian Bersama tersebut, pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian
Bersama didaftarkan untuk mendapatkan penetapan eksekusi.38
b. Mediasi
Menurut UU PPHI dalam pasal 1 angka 11 yaitu mediasi hubungan
industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh
seorang mediator atau lebih mediator yang netral.
Mediator disini adalah pegawai institusi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-
syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas
37
Zaeni Asyhadie. 2008. Hukum Kerja : Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan
Kerja. Jakarta. Penerbit Rajawali Pers. Hal. 159 – 160. 38
Muzni Tambusai. 2005. Seri 2 : Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Jakarta.
Penerbit Kantor Perburuhan Internasional. Hal. 19.
40
melakukan mediasi dan mempunyai Kewajiban memberikan anjuran
tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antara Serikat Pekerja / Serikat Buruh
hanya dalam satu perusahaan.
Mediator, berada di setiap Kantor Instansi yang bertangung jawab
di bidang ketenagakerjaan Kabupaten / Kota yang harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2) Warga Negara Indonesia;
3) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
4) Mengetahui peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
5) Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela;
6) Berpendidikan sekurang-kurangnya lulusan strata 1 (S1); dan
7) Syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Penyelesaian perselisihan melalui Mediasi, mengutamakan
penyelesaian musyawarah untuk mufakat, dan apabila dalam
perundingan tersebut dicapai kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama
yang ditanda tangani oleh para pihak dan disaksikan oleh Mediator dan
didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta
bukti pendaftaran.39
Penyelesaian melalui Mediasi, bila tidak tercapai kesepakatan
proses penyelesaian selanjutnya adalah :
a) Mediator mengeluarkan anjuran secara tertulis sebagai pendapat
atau saran yang diusulkan oleh Mediator kepada para pihak
dalam upaya menyelesaikan perselisihan mereka.
39
Ibid. Hal. 20 – 21.
41
b) Anjuran tersebut, dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja
sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada
para pihak;
c) Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis
kepada Mediator yang isinya menyetujui atau menolak dalam
waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja setelah menerima
anjuran;
d) Pihak yang tidak memberikan jawaban dianggap menolak
anjuran;
e) Namun, apabila para pihak menyetujui anjuran, maka dalam
waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak anjuran disetujui,
mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat
Perjanjian Bersama untuk didaftarkan pada Pengadilan
Hubungan Industrial guna mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran.
Sehingga waktu penyelesaian pada mediator adalah dalam waktu
selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak tanggal permintaan
penyelesaian perselisihan.40
Pada dasarnya, penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui Mediasi adalah wajib, dalam hal ketika Instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan menawarkan kepada para
pihak yang berselisih tidak memilih Lembaga Konsiliasi atau Arbitrase
untuk menyelesaikan perselisihan yang dihadapi para pihak.
c. Konsiliasi
Dalam Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang PPHI dijelaskan bahwa
Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi
adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
40
Adrian Sutedi. 2009. Hukum Perburuhan. Jakarta. Penerbit Sinar Grafika. Hal. 110 –
112.
42
hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh
seorang atau lebih konsiliator yang netral.
Prosedur konsiliasi tidak berbeda dengan mediasi, yaitu
menyelesaikan perselisihan diluar pengadilan untuk tercapainya
kesepakatan, menyangkut perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja / serikat
buruh dalam satu perusahaan oleh konsiliator.41
Konsiliator disini adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-
syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas
melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para
pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara Serikat
Pekerja / Serikat Buruh hanya dalam satu perusahaan.
Konsiliator dapat memberikan konsiliasi apabila telah terdaftar
pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten / Kota. Syarat menjadi Konsiliator adalah :
1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2) Warga Negara Indonesia;
3) Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
4) Pendidikan minimal lulusan Strata satu (S1);
5) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
6) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
7) Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial
sekurangkurangnya (lima) tahun;
8) Menguasai peraturanperundang-undangan ketenagakerjaan; dan
9) Syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
41
Ibid. Hal. 112.
43
Penyelesaian melalui konsiliasi, dilakukan berdasarkan
kesepakatan para pihak yang berselisih yang dibuat secara tertulis untuk
diselesaikan oleh Konsiliator. Para pihak dapat mengetahui nama
Konsiliator yang akan dipilih dan disepakati adalah dari daftar nama
Konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada Kantor Instansi
Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
Konsiliator dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
pada dasarnya adalah melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam
perundingan yang mencapai kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama
yang ditanda tangani oleh para pihak dan disaksikan oleh Konsiliator,
untuk didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial guna
mendapatkan Akta bukti pendaftaran. Sebaliknya bila tidak dicapai
kesepakatan, maka :
a) Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b) Dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang
konsiliasi pertama, anjuran tertulis harus sudah disampaikan
kepada para pihak;
c) Para pihak harus sudah memberikan jawaban tertulis kepada
konsiliator yang isinya menyetujui atau melakukan anjuran
dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari sejak menerima
anjuran;
d) Pihak yang tidak memberikan jawaban atau pendapatnya
dianggap sebagai menolak anjuran;
e) Terhadap anjuran Konsiliator apabila para pihak menyetujui,
maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak
anjuran disetujui, Konsiliator harus sudah selesai membantu
para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian
didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk
mendapatkan Akta bukti pendaftaran.
44
Sehingga penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
Lembaga Konsiliasi dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari
kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.42
d. Arbitrase
Di dalam Pasal 1 Angka 15 Undang-Undang PPHI dijelaskan
bahwa Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase
adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar
Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para
pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan
kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Arbiter yang dimaksud disini adalah seorang atau lebih yang dipilih
oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh
Menteri untuk memberikan keputusan mengenai perselisihan
kepentingan, dan perselisihan antar Serikat Pekerja / Serikat Buruh hanya
dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui
Arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Dengan demikian syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Arbiter
adalah :
1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2) Cakap melakukan tindakan hukum;
3) Warga Negara Indonesia;
4) Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
5) Pendidikan minimal lulusan Strata satu (S 1);
42
Muzni Tambusai. Op.cit. Hal 21 – 23.
45
6) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
7) Menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan
yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah
mengikuti ujian arbitrase;dan
8) Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial
sekurangkurangnya 5 tahun.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter
dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih.
Kesepakatan tersebut dibuat dalam bentuk Surat Perjanjian Arbitrase,
rangkap 3 (tiga) dan masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu) yang
mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Adapun Surat Perjanjian Arbitrase yang dibuat sekurang-kurangnya
memuat :
a) Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak
yang berselisih;
b) Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang
diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil
putusan;
c) Jumlah arbiter yang disepakati;
d) Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan
menjalankan keputusan arbitrase; dan
e) Tanggal dan tempat pembuatan surat perjanjian, dan tanda
tangan para pihak yang berselisih.
Penunjukan arbiter dapat dilakukan melalui arbiter tunggal atau
beberapa arbiter sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang. Untuk penunjukan
arbiter tunggal, para pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam
waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja, tentang nama arbiter dimaksud.
Namun, apabila penunjukan beberapa arbiter (majelis) dalam
jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter
dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sementara untuk
46
arbiter ketiga sebagai Ketua Majelis Arbitrase ditentukan oleh para
arbiter yang ditunjuk selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak ditunjuk oleh
para pihak.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase,
arbiter harus mengupayakan untuk medamaikan kedua belah pihak yang
berselisih. Apabila upaya perdamaian dicapai kesepakatan arbiter atau
majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditanda tangani
oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter.
Akta Perdamaian dimaksud didaftarkan di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negari dimana wilayah arbiter mengadakan
perdamaian untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran, yang akan dapat
digunakan sebagai dasar permohonan eksekusi, apabila Akta Perdamaian
yang telah dicapai tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak melalui
Pengadilan.
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran
Akta Perdamaian. Upaya mencapai perdamaian adakalanya tidak
mencapai kesepakatan (gagal), maka arbiter atau majelis arbiter
meneruskan sidang arbitrase yang dilakukan secara tertutup, kecuali
pihak yang berselisih menghendaki lain dimana setiap kegiatan
pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh
arbiter atau majelis arbiter.
Pemeriksaan perselisihan huibungan industrial oleh arbiter atau
majelis arbiter, apabila telah dianggap cukup. Arbiter atau majelis arbiter
47
mengambil putusan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum.
Putusan arbitrase, mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi
para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir
dan tetap. Putusan tersebut diadftarkan di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan
putusan. Terhadap putusan arbitrase yang tidak dilaksanakan, maka pihak
yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tampat kedudukan para pihak terhadap siapa putusan
itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan.
Pengadilan Negeri, dalam waktu selambatlambatnya 30 hari kerja harus
sudah menyelesaikan perintah pelaksanaan eksekusi, terhitung setelah
permohonan didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri dengan tidak
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.43
2. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan
Di dalam Pasal 1 angka 17 UU PPHI dijelaskan bahwa Pengadilan
Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan
Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi
putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Susunan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari :
a. Hakim;
43
Ibid. Hal. 23 – 27.
48
b. Hakim Ad Hoc;
c. Panitera Muda; dan
d. Panitera Pengganti.
Sementara susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah
Agung terdiri dari :
a. Hakim Agung;
b. Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung;
c. Panitera.
Pengangkatan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dan
dilantik berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung, sedangkan untuk
Hakim Ad Hoc diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung dengan masa kerja 5 tahun dan dapat diangkat kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Hakim Ad Hoc untuk pertama kali
pengangkatannya paling sedikit 5 orang dari unsur Serikat Pekerja / Serikat
Buruh dan 5 orang dari unsur Organisasi Pengusaha.
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat pekerja / buruh bekerja. Pengajuan gugatan dimaksud harus
melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan
gugatan kepada pihak penggugat apabila gugatan penggugat tidak
melampirkan risalah penyelesaian melalui Mediasi atau konsiliasi.
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat
49
memberikan jawaban, apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas
gugatan, pencabutan gugatan akan dikabulkan Pengadilan apabila disetujui
tergugat.
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan
dalam waktu selambat-lambatnya 50 hari terhitung sejak sidang pertama.
Putusan dimaksud dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari setelah putusan
dibacakan, Panitera Pengganti harus sudah menyampaikan pemberitahuan
putusan kepada pihak yang tidak hadir dan selambat-lambatnya 14 hari
kerja setelah putusan ditandatangani Panitera Muda harus sudah
menerbitkan salinan putusan serta dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari
kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan
putusan kepada para pihak. Apabila perselisihan hak dan / atau perselisihan
kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja maka
Pengadilan wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan /
atau perselisihan kepentingan.
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai perselisihan hak
dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum
tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung
dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung :
a. Bagi pihak yang hadir, sejak putusan dibacakan oleh sidang majelis
hakim;
b. Bagi pihak yang tidak hadir, sejak tanggal menerima
pemberitahuan putusan.
50
Permohonan kasasi harus disampaikan secara tertulis melalui Sub.
Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri setempat,
dan dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan kasasi harus sudah disampaikan oleh Sub
Kepaniteraan Pengadilan kepada Ketua Mahkamah Agung. Penyelesaian
perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada
Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung tanggal
penerimaan permohonan kasasi.44
44
Ibid. Hal. 30 – 32.