bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. LANDASAN TEORI PENYAKIT KUSTA
1. Definisi Penyakit Kusta
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae ( M.Leprae ) yang intraseluler obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian
atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1
2. Etiologi Penyakit Kusta
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae dimana untuk
pertama kali ditemukan oleh G.H.Armauer Hansen pada tahun 1873.
Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang
besar pada sel saraf ( schwan cell ) dan sel dari sistem retikulo endotelial.
Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia
tahan sampai 9 hari. Pertumbuhan Optimal in vivo kuman kusta pada tikus
adalah pada suhu 27-300C.
1
3. Cara Penularan
Cara penularan penyakit kusta sampai saat ini tidak diketahui
dengan pasti. Penderita lepra lepromatosa diduga merupakan sumber
penularan. Kuman keluar dari tubuh penderita melalui sekresi hidung atau
luka terbuka pada kulit.2,4
Mycobacterium leprae yang berada diluar tubuh
dapat bertahan sampai 10 hari tergantung pada suhu dan kelembaban
lingkungan.4,5
Kuman diduga masuk ke tubuh penderita melalui saluran
pernafasan atas atau luka terbuka pada kulit. Masa inkubasinya tidak
diketahui jelas, diduga antara 2-4 tahun, tetapi dapat bervariasi antara 6
bulan sampai 30 tahun atau lebih dan sering disebut periode laten. Kontak
yang erat dan lama akan memberi kesempatan paparan dengan kuman lepra
lebih sering dan banyak. Mycobacterium leprae bersifat neurotripisme,
merupakan bakteri yang menginvasi dan bermultiplikasi di sel schwann.
Kuman lepra yang masuk ke dalam tubuh dapat berada di dalam sel
10
schwann, sel subepidermis dan melalui pembuluh darah atau saraf masuk ke
dalam aliran darah (bacteremia) atau ditangkap oleh sel makrofag dan
menyebar ke bagian tubuh lain.2
Pada tipe Lepromatosa Polar (LL) yang mengakibatkan
kelumpuhan sistem imunitas seluler, makrofag tidak mampu
menghancurkan basil sehingga basil dapat bermultiplikasi dengan bebas,
yang kemudian dapat merusak jaringan, pada tipe Tuberkuloid Polar (TT)
kemampuan fungsi sistem imunitas seluler tinggi, makrofag sanggup
menghancurkan basil, sayangnya setelah semua basil difagositosis,
makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan
kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Penyakit kusta dapat
ditularkan melalui udara yang mengandung kuman mycobacterium leprae
yang dihirup oleh manusia atau sentuhan langsung dengan luka penderita
kusta tipe basah 2
4. Klasifikasi dan Gambaran Klinis Penyakit Kusta
Menurut WHO untuk tujuan klinis praktis dalam pengobatan dan
kemoterapi, penyakit kusta dapat diklasifikasi menjadi 2 tipe yaitu 2
a. Paucibacillary (PB) : indeks bakteri < 2+, termasuk tipe TT dan BT
menurut klasifikasi Ridley & Jopling.
Adanya bercak kulit yang mati rasa berukuran kecil dan kadang besar,
permukaan bercak kering dan kasar, berbatas tegas, jumlah 1-5 bercak,
kehilangan kemampuan berkeringat selalu ada dan jelas, bulu rontok
pada bercak, distribusi lesi atau bercak unilateral atau bilateral asimetris,
ciri-ciri central healing (penyembuhan di tengah), pada pemeriksaan
saraf tepi didapat satu penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi
(gangguan fungsi bisa berupa mati rasa atau kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang bersangkutan), dan pada pemeriksaan slit skin
smear BTA negatif. 2
b. Multibacillary ( MB ) : indeks bakteri > 2+, termasuk tipe BB,BL,LL
menurut klasifikasi Ridley & Jopling.
11
Bercak (macula) mati rasa ukuran kecil-kecil berdistribusi bilateral
simetris, jumlah bercak lebih dari 5 bercak, permukaan bercak halus
berkilat, berbatas kurang tegas, kehilangan kemampuan berkeringat, bulu
rontok pada bercak yang biasanya tidak jelas jika terjadi pada kusta yang
sudah lanjut, mempunyai ciri-ciri punched out lesion ( lesi bentuk seperti
donat ), madarosis, ginecomasti, hidung pelana, suara sengau, penebalan
saraf lebih dari satu dan pada pemeriksaan apus kulit BTA positif. 2
5. Diagnosis Penyakit Kusta
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis,
bakterioskopis,dan histopatologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara
klinislah yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis
memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedang histopatologis
memerlukan 3-7 hari. Kalau masih memungkinkan, baik juga dilakukan tes
lepromine ( Mitsuda ) untuk membantu penentuan tipe, hasil baru diketahui
setelah 3-4 minggu.
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-
tanda pokok atau cardinal sign yaitu 2
a. Lesi ( kelainan ) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan
(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (eritematous) yang mati rasa
(anesthesia).
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis
saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa : mati
rasa, kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise) dan kulit
kering dan retak-retak.
c. Adanya kuman tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit (BTA positif)
Pemeriksaan kerokan kulit hanya dilakukan pada kasus yang meragukan,
Untuk menegakkan penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu
tanda kardinal. Bila tidak ada atau belum dapat ditemukan salah satu
tanda kardinal, maka kita hanya dapat mengatakan sebagai tersangka
12
kusta dan perlu diamati/ periksa ulang 3 – 6 bulan sampai diagnosa kusta
dapat ditegakkan atau disingkirkan.
6. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta
Ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi timbulnya infeksi
bakteri Microbacterium leprae, antara lain:1
1) Umur
Kejadian suatu penyakit sering terkait pada umur. Pada penyakit
kronik seperti kusta diketahui terjadi pada semua umur, berkisar antara
bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun
yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif.
Pada dasarnya kusta dapat menyerang semua umur, anak–anak
lebih rentan dari orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada orang dewasa
ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10-12
tahun.
2) Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin terhadap timbulnya penyakit kusta
belum dapat dipastikan, pada dasarnya penyakit kusta dapat menyerang
semua orang, namun laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan
dengan wanita, dengan perbandingan 2:1, walaupun ada beberapa
daerah yang menunjukkan penderita wanita lebih banyak.2
3) Faktor Imunitas
Imunitas atau kekebalan biasanya dihubungkan dengan adanya
antibodi atau hasil aksi sel-sel yang spesifik terhadap mikroorganisme
yang dapat menimbulkan penyakit menular tertentu.8
Faktor imunitas ini menunjukkan imunitas seseorang terhadap
infeksi micobactrium leprae yaitu riwayat vaksinasi Bacillus Calmette
Guerin (BCG) dan reaksi Mitsuda.8
Uji coba lapangan di Uganda, India, Malawi, Myanmar, dan
Papua Nugini, pemberian profilaktit BCG jelas dapat mengurangi
timbulnya penyakit kusta tuberkuloid pada orang–orang yang kontak.
Sebuah studi di India, pemberian BCG menunjukkan adanya
13
perlindungan yang signifikan terhadap kusta tetapi tidak terhadap
tuberculosis.
BCG merupakan vaksin yang terbukti efek imunoterapetik
terhadap kusta. Efek imunoterapetik mungkin disebabkan oleh salah
satu dari pematian panas M.leprae atau dengan mengkombinasikan
vaksinasi BCG aktif.8 Pematian panas M.leprae ditambah BCG
diketahui untuk meningkatkan Cell Mediated Immunity (CMI) pada
M.leprae pasien lepromatus dan mempunyai efek imunoterapetik.
Kompleks protein-peptidoglikan dinding sel immunogenik yang sangat
tinggi dari M.leprae menawarkan keberhasilan pemurnian produk
vaksinogenik untuk penyakit kusta. Disamping itu BCG dapat
memberikan sensitisasi awal sehingga dapat meningkatkan respon
imunitas seluler seseorang di kemudian hari.9
Reaksi Mitsuda adalah reaksi lambat pada 3-4 minggu akibat
suntikan antigen lepromin intradermal. Reaksi ini menggambarkan
imunitas selular terhadap sisa antigen kuman. Walaupun diduga bahwa
reaksi ini mungkin menunjukkan infeksi M.leprae, namun antara reaksi
ini rendah dan tidak menggambarkan sensitisasi spesifik pada
seseorang. Hal ini karena reaksi ini dapat positif pada populasi tanpa
gejala klinis kusta dan dapat diinduksi oleh vaksinasi BCG. 6,7
4) Personal Hygiene (Kebersihan Perseorangan)
Personal hygiene (kebersihan perseorangan) merupakan
tindakan pencegahan yang menyangkut tanggung jawab individu untuk
meningkatkan kesehatan serta membatasi menyebarnya penyakit
menular terutama yang ditularkan melalui kontak langsung seperti
halnya kusta.8
M.leprae hanya dapat menyebabkan penyakit kusta pada
manusia dan tidak pada hewan. Juga penularannya melalui kontak yang
lama karena pergaulan yang rapat dan berulang–ulang, karena itu
penyakit kusta dapat dicegah dengan perbaikan personal hygiene atau
kebersihan pribadi.9
14
Penularan penyakit kusta belum diketahui secara pasti, tetapi
menurut sebagian ahli melalui saluran pernafasan dan kulit (kontak
langsung yang lama dan erat), kuman mencapai permukaan kulit
melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga melalui air susu
ibu.10
Pencegahan penyakit kusta dapat dilakukan dengan meningkatkan
personal hygiene, diantaranya pemeliharaan kulit, pemeliharaan
rambut, dan kuku. Karena penularan kusta sangat dipengaruhi oleh
kontak langsung dengan kulit dan folikel rambut, sehingga perlu dijaga
kebersihannya.11
5 ) Riwayat Kontak dengan Penderita Kusta
Riwayat kontak adalah riwayat seseorang yang berhubungan
dengan penderita kusta baik serumah maupun tidak. Sumber penularan
kusta adalah kusta utuh atau solid yang berasal dari penderita kusta, jadi
penularan kusta lebih mudah terjadi jika ada kontak dengan penderita
kusta.10
6) Lama Kontak
Lama kontak adalah jumlah waktu kontak dengan penderita
kusta. Penyakit kusta menular melaui kontak yang lama (2–5 tahun) dan
berulang-ulang dengan penderita yang dalam taraf menularkan.9
Menurut pendapat Fuchinsky yang dikutip oleh Puspita
Kartikasari (2007:14) bahwa penyakit kusta mempunyai masa inkubasi
selama 2–5 tahun, bahkan bisa lebih dan kejadian kusta terjadi apabila
M.Leprae yang solid (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke
dalam tubuh orang lain.
7) Pendidikan
Tingkat pendidikan dianggap sebagai salah satu unsur yang ikut
menentukan pengalaman dan pengetahuan seseorang, baik dalam ilmu
pengetahuan maupun kehidupan sosial.12
Dengan pendidikan yang cukup dan pengetahuan yang baik
tentang kesehatan, termasuk penyakit menular, seperti halnya kusta,
15
masyarakat diharapkan dapat secara aktif turut serta mencegah
terjadinya penyakit menular, sehingga tingkat kejadian penyakit
menular dapat berkurang dan usaha kesehatan dapat berhasil dengan
baik.9
8) Status Sosial Ekonomi
Faktor yang turut menjadi risiko terjadinya kusta adalah tingkat
ekonomi, yang dapat digambarkan dengan besarnya penghasilan.
Besarnya penghasilan seseorang turut mempengaruhi pemenuhan
kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan makanan dan kesehatan. Jika
kebutuhan akan makanan sehat tidak terpenuhi maka dapat melemahkan
daya tahan tubuh, sehingga mudah terserang suatu penyakit.9
Orang kurang mampu mungkin tidak begitu memperhatikan
kesehatan mereka, sehingga mereka tidak bisa merasakan tubuhnya
sedang sakit atau tidak. Bisa juga terjadi pada orang miskin yang benar-
benar sakit dan benar-benar merasa sakit, namun karena keterbatasan
biaya untuk berobat, mereka tidak menganggap sebagai sakit dan
dianggap sebagai sakit yang wajar.13
9) Kepadatan Hunian
Kuman M.leprae sebagai penyebab penyakit kusta merupakan
kuman yang dapat hidup dengan baik di suhu 27-30ºC . Maka jika suhu
di suatu ruangan (rumah) tidak memenuhi suhu normal (18-20ºC),
rumah atau ruangan tersebut berpotensi untuk menularkan penyakit
menular, seperti kusta. Suhu di dalam rumah dipengaruhi oleh jumlah
penghuni di dalam rumah dan luas rumah yang ditempati.
Ketidakseimbangan antara luas rumah dengan jumlah penghuni akan
menyebabkan suhu di dalam rumah menjadi tinggi dan hal ini yang
dapat mempercepat penularan suatu penyakit.1
Tidak padat hunian (memenuhi syarat kesehatan) adalah luas
lantai dalam rumah dibagi dengan jumlah anggota penghuni tersebut.
Kategori tidak padat penghuni jika dihuni dua orang per 8 m2
dan padat
penghuni jika dihuni lebih dari dua orang per 8m2. Penularan penyakit
16
lebih rentan terjadi dengan kepadatan rumah yang tinggi yaitu dihuni
lebih dari dua orang per 8m2.25
10) Jarak Tempat tinggal dengan Puskesmas
Jarak tempat tinggal penderita kusta dengan sarana kesehatan
(Puskesmas) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pengobatan. Jarak tempat tinggal dikategori jauh dan
dekat, jauh apabila melebihi 5 km dan dekat bila jarak kurang dari 5
km. Dalam hal jarak nantinya akan berpengaruh pada keterjangkau baik
dari segi transportasi, ekonomi dan motivasi penderita untuk datang
berobat. Karena diketahui bahwa sumber penularan kusta adalah
penderita kusta itu sendiri yang tidak diobati atau tidak menuntaskan
pengobatan. 26
11) Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk adalah banyakknya orang yang mendiami
suatu wilayah dalam 1 km m2. Kepadatan penduduk di indonesia di
setiap pulau dan propinsi tidak sama. Kepadatan penduduk di Jawa
Tengah menduduki peringkat ke 4 setelah; DKI Jakarta, Jawa Barat dan
DIY dengan tingkat kepadatan mencapai 948 per km2. Sedangkan di
Jepara laju pertumbuhan penduduk rata-rata pertahun selama 10 tahun
terakhir dari tahun 2000 – 2010 sebesar 1,14%. 27
Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk makin banyak masalah
kesehatan yang ditimbulkan mulai dari sarana air bersih, pembuangan
limbah dan polusi udara.27
12) Daerah Miskin
Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta adalah
dari golongan ekonomi lemah. Mereka rata-rata tinggal di daerah yang
miskin pula. Warga masyarakat yang tergolong miskin adalah mereka
yang mempunyai keterbatasan kemampuan dan akses pada sumber
daya dan dalam memperoleh pelayanan serta prasarana untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya. Meraka hidup dengan budaya dan
17
pola hidup yang kurang mendukung kesehatan karena rendahnya
tingkat pendidikan.1,28
Disamping cacat yang timbul, pendapat yang keliru dari
masyarakat terhadap kusta, rasa takut yang berlebihan atau
leprophobia akan memperkuat persoalan sosial ekonomi penderita
kusta seperti dikucilkan, di PHK dan bentuk isolasi social lainnya. 1
7. Program Pemberantasan Penyakit Kusta
1) Visi dan misi program pemberantasan kusta
Visi dari program pemberantasan kusta adalah membebaskan
masyarakat Indonesia dari masalah sosial ekonomi akibat penyakit
kusta, sedangkan misi dari program ini adalah 1
a. Menyembuhkan dan meningkatkan kualitas hidup penderita kusta
dengan memberikan pengobatan yang adekuat dan rehabilitasi sosial
ekonomi.
b. Mengintegrasikan pelayanan penderita kusta dalam pelayanan
kesehatan dasar.
c. Menghilangkan stigma sosial dalam masyarakat dengan mengubah
paham masyarakat terhadap penyakit kusta melalui penyuluhan
secara intensif.
2) Tujuan program pemberantasan kusta
Tujuan dari program pemberantasan kusta ini dibagi dalam
tujuan umum dan tujuan khusus antara lain 1 :
7.1.1.1.1. Tujuan umum
Mengendalikan penyebaran kasus kusta pada kondisi eliminasi
sehingga kusta bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat.
7.1.1.1.2. Tujuan khusus
a. Mempertahankan angka kesakitan <1 per 10.000 penduduk.
b. Mengupayakan ketrampilan petugas di semua puskesmas
dalam mendeteksi suspek kusta.
c. Mempertahankan ketrampilan petugas kesehatan di unit
pelayanan rujukan dalam tatalaksana penderita kusta.
18
d. Mengupayakan kecukupan logistik dan dana operasional.
e. Advokasi kepada para pengambil kebijakan.
3) Strategi
1. Untuk daerah dengan CDR > 5 per 100.000 penduduk, pelayanan
penderita kusta merupakan bagian pelayanan rutin di setiap unit
pelayanan kesehatan.
2. Untuk daerah dngan CDR < 5 per 100.000 penduduk, pelayanan
penderita kusta di berikan di unit pelayanan rujukan, diikuti dengan
pendekatan di daerah fokus. 1
4) Kebijakan
Kebijakan pemerintah dalam melaksanakan program pemberantasan
kusta antara lain1 :
a. penetapan daerah endemik rendah kusta berdasarkan wilayah
administratif kabupaten.
b. Penetapan 1-3 Puskesmas Rujukan Kusta (PRK) disetiap
kabupaten/kota dengan jumlah kasus lebih dari 10 penderita per
tahun atau disesuaikan dengan kondisi setempat.
c. Bagi daerah sulit atau dengan jumlah kasus kurang dari 10 penderita
per tahun tidak perlu dibentuk PRK, tatalaksana penderita
dilimpahkan pada pengelola program kusta kabupaten yang terlatih.
d. Mengintegrasikan kegiatan program kusta ke dalam kegiatn program
terkait lainnya.
e. Memasukan program kusta ke dalam kurikulum pendiddikan calon
tenaga medis dan parmedis.
7.1.2. SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ( GIS )
1. Definisi
Sistem informasi geografis adalah alat bantu yang sangat
esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan
kembali kondisi alam dengan menggabungkan data spasial (peta wilayah
termasuk sungai, rawa, persawahan dan lain-lain) dan non spasial / atribut
19
(angka mortalitas, morbiditas, kebiasaan/pola hidup masyarakat dan lain-
lain). Hasil pengolahan data tersebut disajikan dalam bentuk peta digital. 13
2. Subsistem GIS
Jika definisi diatas diperhatikan, maka SIG dapat diuraikan
menjadi subsistem sebagai berikut 14
:
a. Data input; bertugas mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial
dan atribut dari berbagai sumber untuk ditransformasikan dari format
aslinya ke dalam format SIG.
b. Data output; menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data
dalam bentuk softcopy maupun hardcopy (tabel, grafik, peta dan lain-
lain)
c. Data manajemen; mengorganisasikan data spasial maupun atribut ke
dalam sebuah basis data sehingga mudah dipanggil, di-update dan di-
edit
d. Data manipulasi dan analisis; menentukan informasi yang dapat
dihasilkan oleh SIG dan melakukan pemodelan untuk menghasilkan
informasi yang diharapkan.
Gambar 2.1 Ilustrasi Sub Sistem SIG
Jika subsistem di atas diperjelas berdasarkan uraian jenis masukan,
proses dan keluaran yang ada didalamnya, maka SIG dapat digambarkan
sebagai berikut :
Data
Manipulation &
Analysis
Data Input Data
Output
Data
Management
SIG
20
Tabel
Pengukuran
lapangan
Laporan
Peta ( tematik,
topografi, dll )
Citra satelit / radar
DEM
(srtm, dll )
Data lainya
Foto Udara
Input
Storage /
basisdata
Retrival
Processing
Output
Softcopy
Laporan
Peta
Tabel
Data
Manajemen
Data
output
Data
Manipulation
& Analysis
Data
Input
Gambar 2.2 Ilustrasi Uraian Sub Sistem SIG
3. Komponen SIG
SIG mempunyai beberapa komponen sebagai berikut:14
a. Perangkat keras
Perangkat keras yang dibutuhkan SIG adalah komputer dengan
spesifikasi:
1) CPU (Central Processing Unit/Unit Pemroses Utama)
Kebutuhan CPU sangat bervariasi dari yang sederhana hingga
canggih. Untuk perangkat lunak yang kecil dijalankan pada minimal
PC AT 286 (micro processor keluarga Intel 80286). Tetapi untuk
SIG yang besar dan berbasis web, diperlukan processor yang
berkemampuan tinggi (keluarga Intel Pentium I, II, III, IV). Standar
minimal CPU yang ditetapkan oleh Wyoming Geographic
Information Advisory Council (WGIAC) adalah processor 32-bit
Intel.
21
2) RAM (Random Access Memory)
Kebutuhan RAM untuk SIG bervariasi dari 4 Mb untuk SIG yang
kecil hingga 128 Mb untuk SIG yang besar dan berbasis web.
Standar minimal menurut WGIAC adalah 32 Mb.
3) Media Penyimpanan
Media penyimpan data bisa berupa hard disk, disket atau CD ROM.
Kebutuhan media penyimpan bervariasi dari 5 Mb hingga ratusan
Mb, dengan standar minimal 2 Gb.
4) Peralatan untuk memasukkan data ke dalam SIG, yang berupa
keyboard, mouse, digitizer, scanner dan lain-lain.
5) Peralatan untuk mempresentasikan data dan informasi SIG yang
berupa monitor, printer dan peralatan lainnya.
6) Perangkat lainnya seperti GPS (Global Positioning Sistem).
b. Perangkat lunak.
Perangkat lunak khusus aplikasi SIG tersedia dalam bentuk
paket-paket perangkat lunak yang masing-masing terdiri dari multi
program yang terintegrasi untuk mendukung kemampuan-kemampuan
khusus untuk pemetaan, manajemen dan analisis data geografi.
Perangkat lunak yang banyak dipakai adalah perangkar lunak yang
dikembangkan oleh ESRI (Environmental Sistem Research Institute)
yaitu ARC/INFO dan ARC/VIEW. ARC/INFO dikembangkan oleh
ESRI pada tahun 1981 dan berhasil mengawinkan teknologi basis data
dengan perangkat lunak yang menangani objek data spasial. Pada tahun
1991, dikembangkan ARC/VIEW yang memiliki tampilan lebih
menarik, interaktif, memiliki tingkat kemudahan yang tinggi sehingga
digunakan dan dikembangkan terus hingga saat ini. Dan untuk digitasi
menggunakan ENVI 3.5
c. Data dan Informasi geografis
Sistem Informasi Geografis dapat mengumpulkan dan
menyimpan data dan informasi dengan cara mendigitasi data spasial
22
yang berasal dari peta atau perangkat SIG lainnya serta memasukkan
data atribut ke dalam tabel dan laporan.
4. Cara Kerja SIG
a. Menyiapkan peta digital, yaitu representasi dunia nyata yang
ditampilkan dalam bentuk unsur peta seperti sungai, kebun, taman,
jalan dan lain-lain, yang diorganisasikan menurut lokasinya. Peta
digital dapat dibuat dengan menggunakan keyboard, mouse, digitizer,
kamera digital, scanner dan sebagainya.
b. Menyimpan informasi deskriptif unsur-unsur peta sebagai atribut
didalam basis data, kemudian membentuk dan menyimpannya dalam
tabel-tabel relasional.
c. Menghubungkan unsur-unsur peta dengan tabel-tabel yang
bersangkutan, sehingga data atribut dapat diakses melalui unsur-unsur
peta dan sebaliknya unsur peta dapat diakses melalui atribut.
5. Kemampuan SIG
Hasil akhir yang diharapkan dari kemampuan sistem informasi
geografis ( SIG ) adalah sebagai berikut :14
a. Memasukkan, mengumpulkan, mengintegrasi, memeriksa (meng-
update), menyimpan dan memanggil kembali, mengelola dan
memanipulasi data geografi (spasial dan atribut)
b. Sistem Informasi Geografis mempunyai kemampuan untuk
memasukkan data spasial ke dalam sistem dari sumber digital eksternal
dimana tidak tersedia data, atau dari data peta secara langsung. Selain
itu SIG dapat mengolah data attribut seperti sistem basis data lain, yaitu
memasukkan, mengedit, mengupdate informasi pada database yang
tersedia dan lain-lainnya.
c. Sistem Informasi Geografis juga mempunyai kemampuan dalam
menyimpan data, baik data atribut maupun data spasial. Data atribut
biasanya disimpan dalam sistem manajemen basis data relasional,
sedangkan data peta disimpan secara digital dalam satu atau lebih file.
23
d. Data yang sudah disimpan dapat dipanggil kembali oleh SIG melalui 2
cara berdasar jenis datanya. Untuk data atribut, dengan basis data
relasional memungkinkan dilakukannya pencarian, pengaturan,
gambaran atribut atau nilainya. Sedangkan pada pemanggilan spasial,
pemakai dapat menyeleksi data berdasar wilayah, berdasar ketinggian,
berdasar jarak dari pusat kesehatan dan lainnya.
e. Menganalisa data atribut dan data spasial
f. Fungsi analisa atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengelolaan basis
data, seperti membuat basis data atau tabel basis data baru, menghapus
basis data atau tabel basis data, mengisi dan menyisipkan record, serta
perluasan operasi basis data lain. Sedangkan fungsi analisa geografi
(analisis spasial) meliputi: klasifikasi (mengklasifikasi data spasial atau
atribut menjadi data spasial baru dengan menggunakan kriteria
tertentu), network (fungsi yang merujuk data spasial sebagai suatu
jaringan tak terpisahkan), Overlay (menghasilkan data spasial baru dari
minimal dua data spasial yang menjadi masukkannya), buffering
(fungsi yang menghasilkan data spasial baru yang berbentuk zone
dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukannya) dan
masih banyak lagi.
g. Menghasilkan output data geografi dalam bentuk peta tematik, tabel,
grafik dan bentuk lainnya.
7.1.3. GPS ( Global Positioning System )
1. Pengertian
Global Positioning System (GPS)) adalah sistem untuk menentukan posisi
di permukaan bumi dengan bantuan sinkronisasi sinyal satelit. Sistem ini
menggunakan 24 satelit yang mengirimkan sinyal gelombang mikro ke
Bumi. Sinyal ini diterima oleh alat penerima di permukaan, dan digunakan
untuk menentukan posisi, kecepatan, arah, dan waktu.15
24
2. Cara Kerja GPS
Sistem ini menggunakan sejumlah satelit yang berada di orbit bumi, yang
memancarkan sinyalnya ke bumi dan ditangkap oleh sebuah alat penerima.
Ada tiga bagian penting dari sistim ini, yaitu bagian kontrol, bagian
angkasa, dan bagian pengguna.14
a) Bagian Kontrol
Seperti namanya, bagian ini untuk mengontrol. Setiap satelit dapat
berada sedikit diluar orbit, sehingga bagian ini melacak orbit satelit,
lokasi, ketinggian, dan kecepatan. Sinyal-sinyal dari satelit diterima
oleh bagian kontrol, dikoreksi, dan dikirimkan kembali ke satelit.
Koreksi data lokasi yang tepat dari satelit ini disebut dengan data
ephemeris, yang nantinya akan di kirimkan kepada alat navigasi kita.
b) Bagian Angkasa
Bagian ini terdiri dari kumpulan satelit-satelit yang berada di orbit
bumi, sekitar 12.000 mil diatas permukaan bumi. Kumpulan satelit-
satelit ini diatur sedemikian rupa sehingga alat navigasi setiap saat
dapat menerima paling sedikit sinyal dari empat buah satelit. Sinyal
satelit ini dapat melewati awan, kaca, atau plastik, tetapi tidak dapat
melewati gedung atau gunung. Satelit mempunyai jam atom, dan juga
akan memancarkan informasi ‘waktu/jam’ ini. Data ini dipancarkan
dengan kode ‘pseudo-random’. Masing-masing satelit memiliki
kodenya sendiri-sendiri. Nomor kode ini biasanya akan ditampilkan di
alat navigasi, maka kita bisa melakukan identifikasi sinyal satelit yang
sedang diterima alat tersebut. Data ini berguna bagi alat navigasi
untuk mengukur jarak antara alat navigasi dengan satelit, yang akan
digunakan untuk mengukur koordinat lokasi. Kekuatan sinyal satelit
juga akan membantu alat dalam penghitungan. Kekuatan sinyal ini
lebih dipengaruhi oleh lokasi satelit, sebuah alat akan menerima sinyal
lebih kuat dari satelit yang berada tepat diatasnya (bayangkan lokasi
satelit seperti posisi matahari ketika jam 12 siang) dibandingkan
25
dengan satelit yang berada di garis cakrawala (bayangkan lokasi satelit
seperti posisi matahari terbenam/terbit).
Ada dua jenis gelombang yang saat ini dipakai untuk alat navigasi
berbasis satelit pada umumnya, yang pertama lebih dikenal dengan
sebutan L1 pada 1575.42 MHz. Sinyal L1 ini yang akan diterima oleh
alat navigasi. Satelit juga mengeluarkan gelombang L2 pada frekuensi
1227.6 Mhz. Gelombang L2 ini digunakan untuk tujuan militer dan
bukan untuk umum.
c) Bagian Pengguna
Bagian ini terdiri dari alat navigasi yang digunakan. Satelit akan
memancarkan data almanak dan ephemeris yang akan diterima oleh
alat navigasi secara teratur. Data almanak berisikan perkiraan lokasi
(approximate location) satelit yang dipancarkan terus menerus oleh
satelit. Data ephemeris dipancarkan oleh satelit, dan valid untuk
sekitar 4-6 jam. Untuk menunjukkan koordinat sebuah titik (dua
dimensi), alat navigasi memerlukan paling sedikit sinyal dari 3 buah
satelit. Untuk menunjukkan data ketinggian sebuah titik (tiga
dimensi), diperlukan tambahan sinyal dari 1 buah satelit lagi.
Dari sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh kumpulan satelit tersebut,
alat navigasi akan melakukan perhitungan-perhitungan, dan hasil
akhirnya adalah koordinat posisi alat tersebut. Makin banyak jumlah
sinyal satelit yang diterima oleh sebuah alat, akan membuat alat
tersebut menghitung koordinat posisinya dengan lebih tepat.
Karena alat navigasi ini bergantung penuh pada satelit, maka sinyal
satelit menjadi sangat penting. Alat navigasi berbasis satelit ini tidak
dapat bekerja maksimal ketika ada gangguan pada sinyal satelit. Ada
banyak hal yang dapat mengurangi kekuatan sinyal satelit:
1) Kondisi geografis, seperti yang diterangkan diatas. Selama kita
masih dapat melihat langit yang cukup luas, alat ini masih dapat
berfungsi.
26
2) Hutan. Makin lebat hutannya, maka makin berkurang sinyal yang
dapat diterima.
3) Air. Jangan berharap dapat menggunakan alat ini ketika
menyelam.
4) Kaca film mobil, terutama yang mengandung metal.
5) Alat-alat elektronik yang dapat mengeluarkan gelombang
elektromagnetik.
6) Gedung-gedung. Tidak hanya ketika didalam gedung, berada
diantara 2 buah gedung tinggi juga akan menyebabkan efek
seperti berada di dalam lembah.
7) Sinyal yang memantul, misal bila berada diantara gedung-gedung
tinggi, dapat mengacaukan perhitungan alat navigasi sehingga alat
navigasi dapat menunjukkan posisi yang salah atau tidak akurat.
3. Manfaat Global Positioning System (GPS)
a. Militer
GPS digunakan untuk keperluan perang, seperti menuntun arah
bom, atau mengetahui posisi pasukan berada. Dengan cara ini maka kita
bisa mengetahui mana teman mana lawan untuk menghindari salah
target, ataupun menetukan pergerakan pasukan.14,24
b. Navigasi
GPS banyak juga digunakan sebagai alat navigasi seperti
kompas. Beberapa jenis kendaraan telah dilengkapi dengan GPS untuk
alat bantu nivigasi, dengan menambahkan peta, maka bisa digunakan
untuk memandu pengendara, sehingga pengendara bisa mengetahui
jalur mana yang sebaiknya dipilih untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.14
c. Sistem Informasi Geografis
Untuk keperluan Sistem Informasi Geografis, GPS sering juga
diikutsertakan dalam pembuatan peta, seperti mengukur jarak
perbatasan, ataupun sebagai referensi pengukuran. 14
27
d. Sistem pelacakan kendaraan
Kegunaan lain GPS adalah sebagai pelacak kendaraan, dengan
bamtuan GPS pemilik kendaraan/pengelola armada bisa mengetahui
ada dimana saja kendaraannya/aset bergeraknya berada saat ini. 14
e. Pemantau gempa
Bahkan saat ini, GPS dengan ketelitian tinggi bisa digunakan
untuk memantau pergerakan tanah, yang ordenya hanya mm dalam
setahun. Pemantauan pergerakan tanah berguna untuk memperkirakan
terjadinya gempa, baik pergerakan vulkanik ataupun tektonik. 14
f. Penanganan Bencanan
Secara umum, informasi yang dibutuhkan pada waktu
penanganan bencana adalah: (1) wilayah serta lokasi geografis bencana
dan perkiraan populasi, (2)status jalur transportasi dan sisem
komunikasi, (3) ketersediaan air bersih, bahan makanan, fasilitas
sanitasi dan tempat hunian, (4) jumlah korban, (5) kerusakan, kondisi
pelayanan, ketersediaan obat-obatan, peralatan medis serta tenaga di
fasilitas kesehatan, (6) lokasi dan jumlah penduduk yang menjadi
pengungsi dan (7) estimasi jumlah yang mennggal dan hilang. Pada
tahap awal, tindakan kemanusiaan dan pengumpulan informasi
dilakukan secara simultan. Pengumpulan data harus dilakukan secara
cepat untuk menentukan tindakan prioritas yang harus dilakukan oleh
manajemen bencana. 24
Penggunaan Global Positioning Systems (GPS) berperan
penting dalam menentukan lokasi kamp pengungsi maupun fasilitas
kesehatan. Data tersebut dapat digabungkan dengan data spatial dari
satelit. Data spatial tersebut selanjutnya digabungkan dengan informasi
mengenai jumlah maupun distribusi pengungsi, ketersediaan air bersih
serta bahan makanan akan memberikan masukan penting bagi
koordinasi dan manajemen pada fase tanggap darurat. 24
28
7.1.4. ANALISIS SPASIAL
1. Data spasial
Data spasial mempunyai dua bagian penting yang membuatnya berbeda
dari data lain, yaitu informasi lokasi dan informasi atribut yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:14
a. Informasi lokasi atau informasi spasial. Contoh yang umum adalah
informasi lintang dan bujur, termasuk diantaranya informasi datum
dan proyeksi. Contoh lain dari informasi spasial yang bisa digunakan
untuk mengidentifikasikan lokasi misalnya adalah Kode Pos.
b. Informasi deskriptif (atribut) atau informasi non spasial. Suatu
lokalitas bisa mempunyai beberapa atribut atau properti yang
berkaitan dengannya; contohnya jenis vegetasi, populasi, pendapatan
pertahun, dsb.
2. Sistem Koordinat
Informasi lokasi ditentukan berdasarkan sistem koordinat, yang di
antaranya mencakup datum dan proyeksi peta. Datum adalah kumpulan
parameter dan titik kontrol yang hubungan geometriknya diketahui, baik
melalui pengukuran atau penghitungan. Sedangkan sistem proyeksi peta
adalah sistem yang dirancang untuk merepresentasikan permukaan dari
suatu bidang lengkung atau spheroid (misalnya bumi) pada suatu bidang
datar. Proses representasi ini menyebabkan distorsi yang perlu
diperhitungkan untuk memperoleh ketelitian beberapa macam properti,
seperti jarak, sudut, atau luasan.
3. Format data spasial
Dalam SIG, data spasial dapat direpresentasikan dalam dua format, yaitu:
a. Vektor
Dalam data format vektor, bumi kita direpresentasikan sebagai suatu
mosaik dari garis (arc/line), polygon (daerah yang dibatasi oleh garis
yang berawal dan berakhir pada titik yang sama), titik/point (node yang
29
mempunyai label), dan nodes (merupakan titik perpotongan antara dua
buah garis).
b. Raster
Data raster (atau disebut juga dengan sel grid) adalah data yang
dihasilkan dari sistem Penginderaan Jauh. Pada data raster, obyek
geografis direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut
dengan pixel (picture element). Pada data raster, resolusi (definisi
visual) tergantung pada ukuran pixel-nya. Dengan kata lain, resolusi
pixel menggambarkan ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang
diwakili oleh setiap pixel pada citra. Semakin kecil ukuran permukaan
bumi yang direpresentasikan oleh satu sel, semakin tinggi resolusinya.
Data raster sangat baik untuk merepresentasikan batas-batas yang
berubah secara gradual, seperti jenis tanah, kelembaban tanah, vegetasi,
suhu tanah, dsb. Keterbatasan utama dari data raster adalah besarnya
ukuran file; semakin tinggi resolusi grid-nya semakin besar pula ukuran
filenya. Keuntungan utama dari format data vektor adalah ketepatan
dalam merepresentasikan fitur titik, batasan dan garis lurus. Hal ini
sangat berguna untuk analisa yang membutuhkan ketepatan posisi,
misalnya pada basisdata batas-batas kadaster. Contoh penggunaan
lainnya adalah untuk mendefinisikan hubungan spasial dari beberapa
fitur. Kelemahan data vektor yang utama adalah ketidakmampuannya
dalam mengakomodasi perubahan gradual.
Masing-masing format data mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Pemilihan format data yang digunakan sangat tergantung pada tujuan
penggunaan, data yang tersedia, volume data yang dihasilkan, ketelitian
yang diinginkan, serta kemudahan dalam analisa. Data vektor relatif
lebih ekonomis dalam hal ukuran file dan presisi dalam lokasi, tetapi
sangat sulit untuk digunakan alam komputasi matematik. Sebaliknya,
data raster biasanya membutuhkan ruang penyimpanan file yang lebih
besar dan presisi lokasinya lebih rendah, tetapi lebih mudah digunakan
secara matematis.15
30
4. Sumber data spasial
Sebagaimana telah kita ketahui, SIG membutuhkan masukan data yang
bersifat spasial maupun deskriptif. Beberapa sumber data tersebut antara
lain adalah:14,15
a. Peta analog (antara lain peta topografi, peta tanah, dsb.). Peta analog
adalah peta dalam bentuk cetakan. Pada umumnya peta analog dibuat
dengan teknik kartografi, sehingga sudah mempunyai referensi spasial
seperti koordinat, skala, arah mata angin dsb. Peta analog dikonversi
menjadi peta digital dengan berbagai cara yang akan dibahas pada bab
selanjutnya. Referensi spasial dari peta analog memberikan koordinat
sebenarnya di permukaan bumi pada peta digital yang dihasilkan.
Biasanya peta analog direpresentasikan dalam format vektor.
b. Data dari sistem Penginderaan Jauh (antara lain citra satelit, foto-udara,
dsb.) Data Pengindraan Jauh dapat dikatakan sebagai sumber data yang
terpenting bagi SIG karena ketersediaanya secara berkala. Dengan
adanya bermacam-macam satelit di ruang angkasa denganspesifikasinya
masing-masing, kita bisa menerima berbagai jenis citra satelit untuk
beragam tujuan pemakaian. Data ini biasanya direpresentasikan dalam
format raster.
c. Data hasil pengukuran lapangan. Contoh data hasil pengukuran lapang
adalah data batas administrasi, batas kepemilikan lahan, batas persil,
batas hak pengusahaan hutan, dsb., yang dihasilkan berdasarkan teknik
perhitungan tersendiri. Pada umumnya data ini merupakan sumber data
atribut.
d. Data GPS. Teknologi GPS memberikan terobosan penting dalam
menyediakan data bagi SIG. Keakuratan pengukuran GPS semakin
tinggi dengan berkembangnya teknologi. Data ini biasanya
direpresentasikan dalam format vektor.
31
7.1.5. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP
1. Kerangka Teori
Gambar 2.3. Kerangka Teori
2. Kerangka Konsep
Variabel Bebas Variabel Terikat
Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian
Kepadatan hunian
Personal Hygiene
Kejadian Kusta
Jarak tempat tinggal
dgn Puskesmas
Daerah Endemis
kusta
Kontak Belum
terkontaminasi
M.Leprae
Pengetahuan
Sikap
Perilaku
Tempat
Kerja
Penderita
Infeksius
penyakit kusta
Sosial
Ekonomi
Personal
Hygiene
Infeksi
M. Leprae
Kontak
dengan
Penderita
kusta
Sesudah
Dengan
penderita
kusta
Kejadian
Kusta
Faktor
Lingkun
gan
Kepadat
an
penddk
Jarak
tempat
tinggal
dengan
Puskesmas Tidak terjangkau pelayanan
kesehatan
Kemiskinan
32
3. Hipotesis Penelitian
a. Ada hubungan personal hygiene dengan kejadian kusta
b. Ada hubungan antara kemiskinan dengan kejadian kusta
c. Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian kusta
d. Ada hubungan jarak tempat tinggal dengan Puskesmas