bab ii tinjauan pustaka, hasil penelitian dan...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Tinjauan Pustaka
1. Dasar Hukum Pemberian Upah Proses
Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu hubungan industrial
sekaligus juga mengatur tentang ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hal
terjadinya perselisihan dalam hubungan industrial.Bahwa salah satu pasal dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu Pasal
155 ayat (2) menyatakan, “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh
harus tetap melaksanakan segala kewajibannya”;1
Berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (2) di atas, maka para pihak dalam
hubungan industrial (baik itu pengusaha maupun buruh) harus tetap
melaksanakan kewajiban, sehingga di sisi lainnya para pihak juga masih harus
tetap memperoleh hak-haknya selama masih berperkara dan menunggu
turunnya putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
Sedangkan jenis-jenis perselisihan hubungan industrial itu sendiri berdasarkan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial meliputi:Perselisihan Hak, Perselisihan
Kepentingan, Perselisihan PemutusanHubungan Kerja dan Perselisihan Antar
Serikat Pekerja/Buruh Dalam SatuPerusahaan;
1Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu Pasal 155 ayat (2)
2. Judicial Review No 37/ PUU-IX/2011 Pasal 155 ayat 2 dan 3 Undang-
Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
a. Alasan diajukannya judicial review
Masalah yang menjadi alasan diajukannya judicial review yakni terdapat
potensi ketidakpastian hukum bagi pekerja dalam perolehan hak-haknya selama
proses penyelesaian perselihan hubungan industrial belum diputus (in kracht van
gewijsde). Hal ini terjadi dengan mengingat bahwa berdasarkan ketentuan Pasal
155 ayat (2) berupaya memberikan jaminan dan perlindungan bagi buruh untuk
tetap menerima upahnya selama proses penyelesaian perselisihan hubungan
industrial masih berlangsung,padahal putusan itu sendiri bersifat in kract van
gewijsde bisa terjadi di pengadilan hubungan industrial ataupun sampai dengan
putusan kasasi atau peninjauan kembali di Mahkamah Agung.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka perlu diperoleh suatu
penafsiran yang pasti dan berkekuatan hukum dari Mahkamah Konstitusiterhadap
pemberlakuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13Tahun 2003,
sehingga para pekerja yang memperoleh jaminan dan kepastian hukum terhadap
perolehan hak-hak mereka dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial
dalam hal ini mengenai perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja;
Buruh dan serikat buruh sering mengajukan protes atas putusan menyangkut
upah proses PHK. Protes itu berkaitan dengan putusan hakim yang tidak
menghukum pengusaha membayar upah proses sampai perkara berkekuatan
hukum tetap. Kenyataan berkaitan dengan protes itu tampak jelas bila menelisik
pada putusan kasasi yang memiliki dua kecenderungan. Pertama, kecenderungan
memutus upah proses sesuai putusan PHI tingkat pertama. Kedua, kecenderungan
mengubah putusan PHI dengan cara mengurangi upah proses yang ditetapkan PHI
tingkat pertama menjadi enam bulan.
b. Isi Putusan Mahkamah Konstitusi
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011, pokok isinya
adalah sebagai berikut:
Pertimbangan Hukum:
a. Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian
frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279) selanjutnya disebut UU 13/2003 terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut
UUD 1945).
b. Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus permohonan a quo dan kedudukan hukum (legal standing)
para Pemohon.
Kewenangan Mahkamah
a. Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226)
selanjutnya disebut UU MK juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-
UndangNomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 5076),
Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji UndangUndang terhadap
UUD 1945.
b. Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah menguji Pasal
155 ayat (2) UU 13/2003 khususnya frasa “belum ditetapkan” terhadap
UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga
Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo.
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang
yangmempunyai kepentingan sama).
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. Kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51
ayat (1) UU MK.
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Menimbang bahwa Mahkamah sejak putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta
putusanputusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK
harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945.
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi.
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan selaku perorangan warga
negara Indonesia menganggap frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2)
UU 13/2003 merugikan hak konstitusional para Pemohon yang ditentukan dalam
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan:
a. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
b. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Bahwa pemberlakuan Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 khususnya frasa
”belum ditetapkan” berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum yang
adil sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya penafsiran yang jelas dan
tegas mengenai klausula “belum ditetapkan”, yang dalam praktiknya,
implementasi dari unsur kata “belum ditetapkan” menimbulkan
pertentangan apakah putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial tersebut hanya sebatas pada pengadilan tingkat
pertama ataukah juga meliputi putusan pada tingkat selanjutnya yaitu
kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung.
b. Bahwa menurut para Pemohon frasa ”belum ditetapkan” juga telah
menimbulkan ketidakadilan terhadap salah satu pihak karena tidak
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja sesuai Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, karena berdasarkan Pasal 155
ayat (2) UU 13/2003 juncto Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356,
selanjutnya disebut UU 2/2004), salah satu pihak yang dijamin haknya
dalam putusan sela itu, yaitu para buruh dan pekerja, menjadi terabaikan
hak asasi manusianya untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan
imbalan yang sesuai dengan kerjanya.
c. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, para Pemohon memohon agar
Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 khususnya frasa “belum ditetapkan”
harus di tafsirkan, selama putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan
hukum tetap, kewajiban pekerja untuk bekerja dan kewajiban pengusaha
untuk membayarkan upah adalah sampai suatu putusan berkekuatan
hukum tetap,dengan kata lain seandainya terhadap putusan pengadilan
hubungan Industrial, salah satu pihak mengajukan upaya hukum kasasi,
maka baik pekerja maupun pengusaha tetap harus menjalankan hak dan
kewajibannya.
Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK dan
putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum (legal standing) serta
dikaitkan dengan kerugian yang dialami oleh para Pemohon, menurut
Mahkamah:
a. Para Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945,khususnya Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan para Pemohon
menganggap hak konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
b. Kerugian konstitusional para Pemohon bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi.
c. Terdapat hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian,
serta ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat, para
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo.
Pokok Permohonan
Pendapat Mahkamah
Menimbang, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan
para Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan ahli dari para Pemohon, serta
bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, sebagaimana termuat
pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
a. Para Pemohon memohon pengujian konstitusional frasa “belum
ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dan menyatakan frasa “belum
ditetapkan” konstitusional bersyarat sepanjang frasa “belum ditetapkan”
ditafsirkan sampai berkekuatan hukum tetap.
b. UU 13/2003 dan UU 2/2004 telah mengatur tentang mekanisme
pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disebut PHK). Pasal 151 UU
13/2003 menegaskan bahwa pekerja dan pengusaha harus berusaha
semaksimal mungkin menghindari PHK. Seandainya PHK tidak dapat
dihindari, maka pekerja dan pengusaha harus berunding untuk mencari
kesepakatan. Sekiranya pun perundingan tidak mencapai kesepakatan,
maka PHK hanya dapat dilakukan setelah ada penetapan dari lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. PHK yang dilakukan tanpa
persetujuan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
menjadi batal demi hukum [vide Pasal 155 ayat (1) UU 13/2003]. Selama
masa lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial masih
memeriksa proses PHK, pekerja dan pengusaha harus tetap melaksanakan
tugas dan kewajibannya masing-masing sebagaimana diatur dalam Pasal
155 ayat (2) UU 13/2003.
c. Lahirnya UU 2/2004 merupakan amanat dari Pasal 136 ayat (2) UU
13/2003 yang menyatakan, “Dalam hal penyelesaian secara musyawarah
untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka
pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan
undang-undang”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU 2/2004, Perselisihan Hubungan
Industrial meliputi: perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam
satu perusahaan. Mekanisme penyelesaian masing-masing perselisihan tersebut
dilakukan secara bertahap yang dimulai dari perundingan bipartit, mediasi,
konsiliasi, arbitrase, dan penyelesaian oleh Pengadilan Hubungan Industrial.
Ketika perselisihan diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial
sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU 2/2004, maka perselisihan tersebut
dianggap belum final dan mengikat sampai putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap. Apabila frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat
(2) UU 13/2003 dikaitkan dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, maka terdapat potensi ketidakpastian hukum bagi para pihak tentang
makna frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003. Apakah
frasa “belum ditetapkan” adalah diartikan pada saat putusan dijatuhkan oleh
Pengadilan Hubungan Industrial ataukah pada saat putusan tersebut berkekuatan
hukum tetap? Pertanyaan ini muncul karena tidak semua putusan Pengadilan
Hubungan Industrial langsung memperoleh kekuatan hukum tetap. Hanya putusan
mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan yang langsung memperoleh kekuatan hukum tetap
pada saat putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada tingkat pertama
sedangkan perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat
diajukan permohonan kasasi sehingga putusannya apabila dimohonkan kasasi
baru memperoleh kekuatan hukum tetap setelah adanya putusan Mahkamah
Agung.
Bahwa Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 telah menentukan:
a. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
b. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tersebut,
menurut Mahkamah, perlu ada penafsiran yang pasti terkait frasa “belum
ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003, agar terdapat kepastian
hukum yang adil dalam pelaksanaan dari frasa “belum ditetapkan” a quo,
sehingga para pihak dapat memperoleh jaminan dan kepastian hukum terhadap
perolehan hakhak mereka dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial.
Menurut mMahkamah, frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU
13/2003 harus dimaknai putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum
tetap karena putusan Pengadilan Hubungan Industrial ada yang dapat langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat pertama oleh Pengadilan
Hubungan Industrial,yaitu putusan mengenai perselisihan kepentingan, putusan
mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan,
serta putusan mengenai perselisihan hak dan PHK yang tidak dimohonkan kasasi.
Adapun putusan mengenai perselisihan hak dan PHK yang dimohonkan kasasi
harus menunggu putusan kasasi dari Mahkamah Agung terlebih dahulu baru
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas Mahkamah
berpendapat, permohonan para Pemohon tersebut terbukti dan beralasan menurut
hukum.
KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan:
a. Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan
a quo.
b. Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo.
c. Pokok permohonan para Pemohon terbukti dan beralasan menurut
hukum.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)
Amar Putusan menyatakan:
a. Mengabulkan permohonan para Pemohon.
b. Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279) adalah bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai belum berkekuatan hukum tetap.
c. Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap.
d. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
3. Eksistensi Putusan Mahakamah Konstitusi
Sesungguhnya, putusan Mahkamah Konstitusi di atas bukan pendapat
pertama yang menyatakan Pasal 155 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003 sebagai
ketentuan yang mengharuskan pengusaha membayar upah proses sampai
berkekuatan hukum tetap. Sebelum putusan MK dibacakan,PHI pernah memutus
upah proses PHK sampai berkekuatan hukum tetap. Hal itu tampak dalam putusan
kasasi Nomor: 127 K/PHI/2006 tertanggal 22 Februari 2007 jo putusan Nomor:
01/PHI.G/2006/PN.JKT.PST tanggal 27 Juli 2006. Bahkan, beberapa putusan PHI
menghukum pengusaha membayar upah proses lebih dari enam bulan.2
Secara faktual, putusan MK di atas memastikan bahwa Kepmenaker No 150
Tahun 2000 bukan aturan pelaksana dari Pasal 155 ayat (2) UU
No 13 Tahun 2003. Dengan demikian, Kepmenaker No 150 Tahun 2000 tidak lagi
sebagai hukum positif sehingga putusan Mahkamah Konstitusi itu memberi
kepastian bahwa Kepmenaker No 150 Tahun 2000 bukan landasan yuridis yang
benar untuk menyatakan upah proses PHK paling lama enam bulan.
Putusan PHI dianggap berkekuatan hukum tetap apabila memenuhi salah
satu dari dua syarat berikut ini. Pertama, salah satu pihak tidak mengajukan kasasi
atas putusan PHI tingkat pertama. Kedua, hakim kasasi pada Mahkamah Agung
telah memutus permohonan kasasi. Berdasarkan dua syarat tersebut maka, PHI
2Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 3 Desember 2013
tingkat pertama saat memutus perkara harus menghitung upah proses sampai pada
putusan itu diucapkan. Selanjutnya, bila perselisihan diajukan kasasi, hakim
kasasi menghitung upah proses sampai putusan kasasi diucapkan.
Dengan demikian, hakim dapat menghukum pengusaha membayar upah
proses sampai putusan kasasi diucapkan. Konsekuensinya, pekerja/buruh tidak
berhak lagi menerima upah proses setelah putusan PHI berkekuatan hukum tetap.
Uraian di atas sekaligus menegaskan bahwa pendapat yang menyatakan batas
waktu membayar upah proses dan upah skorsing sampai pada putusan PHI tingkat
pertama adalah pendapat yang bertentangan dengan pengertian dari ‘berkekuatan
hukum tetap’ itu sendiri. Sebab, bila salah satu pihak atau para pihak mengajukan
kasasi terhadap putusan PHI tingkat pertama maka berkekuatan hukum tetap itu
melekat pada putusan kasasi.
B. Hasil Penelitian
1. Posisi Kasus
Di dalam kasus/putusan Nomor 12/G/2013/PHI.Smg dan Nomor
40K/PDT.SUS-PHI/2014 yang akan penulis teliti ini, merupakan kasus PHK
yang dialami oleh seorang karyawan perusahaan swasta di bagian marketing yang
bernama Didik Teguh Waksito, dia di PHK oleh perusahaannya yaitu PT.Sinar
Mas Multi Finance yang berkedudukan di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Didik Teguh Waksito menggugat PT Sinar Mas Multifinance atas PHK
yang dialaminya. Penggugat di PHK dengan alasan tidak memenuhi target
pemasaran dan tergugat melakukan PHK secara sepihak tanpa melalui
musyawarah dengan Penggugat. Sementara itu Pasal 151 ayat 2 UU No.13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur
“Dalam hal segala upaya telah dilakukan , tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka
maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan SP/Sb atau dengan
pekerja/buruh 3 dan untuk mencapai kesepakatan penyelesaian terhadap PHK”
Bahwa Penggugat telah berusaha untuk merundingkan perkara PHK yang
dilakukan oleh Tergugat secara lisan melalui perundingan bipartit dengan pihak
Tergugat (PT. Sinar Mas Multifinance) agar dapat dipekerjakan kembali dan
atau kalau di PHK agar diberi pesangon sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003, akan tetapi pihak Tergugat (PT.Sinar Mas
Multifince) tidak mau memberikan pesangon sesuai aturan, dan selama bekerja
Penggugat tidak pernah ditegur ataupun diberi surat peringatan dari Tergugat
maka Penggugat beranggapan bahwa PHK secara lisan yang dilakukan oleh
Tergugat kepada Penggugat adalah PHK tanpa kesalahan, oleh karenanya
Penggugat menuntut mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3),
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun
2003;
Bahwa gaji Penggugat terakhir adalah sebesar Rp 2.850.000,00 maka
Penggugat berhak mendapatkan pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan
uang penggantian hak yang harus dibayar Tergugat kepada Penggugat dengan
masa kerja hampir 9 tahun adalah sebagai berikut;
1 Uang pesangon 2 x 9 x Rp2.850.000,00 = Rp51.300.000,00
3UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan ,pasal 151 ayat 2
2 Uang penghargaan mass kerja 3 x Rp2.850.000,00 = Rp 8.550.000,00
3 Uang penggantian hak 15% x Rp59.850.000,00 = Rp 8.977.500,00
Jadi jumlah pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang harus dibayar Tergugat kepada Penggugat adalah Rp
68.827.500,00 ( enam puluh delapan juta delapan ratus dua puluh tujuh ribu lima
ratus rupiah).
2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial
pada putusan tingkat I Nomor 12/G/2013/PHI.SMG
1. Bahwa Penggugat memang telah benar-benar tidak memenuhi target yang
dibebankan oleh Perusahaan (bukti T-1);
2. Menimbang, bahwa Peraturan Perusahaan PT. Sinar Mas Multifinance (bukti
T-5) belum disosialisasikan kepada para Karyawan dan dalam Pasal 44 angka
(4) Peraturan Perusahaan PT. Sinar Mas Multifinance dicantumkan bahwa
“PHK dilaksanakan sesuai dengan UU No. 13 tahun 2003 jo UU No.2 tahun
2004 jo Peraturan Perundangan yang berlaku.” Dan tidak ada dalam satu
Pasal pun dalam Peraturan Perusahaan PT. Sinar Mas Multifinance yang
mencantumkan bahwa apabila tidak memenuhi target dan tidak disiplin
dalam waktu kerja maka Perusahaan dapat memPHK karyawan tanpa
pesangon. Oleh karena Peraturan Perusahaan PT. Sinar Mas Multifinance
tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk memutus maka Majelis Hakim
akan mendasarkan perkara a quo pada UU No. 13 tahun 2003
3. Menimbang, bahwa oleh karena Peraturan Perusahaan PT. Sinar Mas
Multifinance tidak dapat dijadikan dasar pertimbangan atas perkara ini, maka
dengan demikian alasan PHK terhadap Penggugat oleh Tergugat dikarenakan
melanggar Peraturan Perusahaan pasal 11 tentang ketidak disiplinan dalam
waktu kerja adalah tidak tepat.
4. Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 161 ayat (1) UU No. 13
Tahun 2003, maka pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah
pekerja/buruh diberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga secara
berturut-turut;
5. Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, Majelis Hakim
berpendapat apabila Penggugat melakukan pelanggaran dan dianggap tidak
memenuhi target seharusnya Perusahan terlebih dahulu melakukan
pembinaan dengan cara diberikan Surat Peringatan terlebih dahulu dengan
tujuan bahwa Penggugat dapat memperbaiki kinerjanya. Akan tetapi yang
dilakukan Tergugat kepada Penggugat dalam perkara a quo justru malah
terhadap Penggugat dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Oleh
karena itu Majelis Hakim berpendapat Pemutusan Hubungan kerja yang
dilakukan Tergugat kepada Penggugat tidak dapat dibenarkan secara hukum
karena tidak sesuai dengan UU.No.13 tahun 2003;
6. Menimbang, bahwa oleh karena baik Penggugat maupun Tergugat
mendalilkan:
a. adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), maka Majelis Hakim
berpendapat hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat sudah
tidak memungkinkan lagi untuk dilanjutkan sehingga oleh karenanya
Majelis Hakim dapat mengabulkan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) dalam perkara a quo;
7. Menimbang, bahwa seperti telah dipertimbangkan di atas, Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan Tergugat adalah mendasarkan pada
Pasal 161 UU.No.13 tahun 2003, yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
karena adanya kesalahan dari Penggugat yang tidak memenuhi target dan
tidak disiplin dalam waktu kerja;
8. Majelis Hakim berpendapat bahwa telah dipertimbangkan di atas pemutusan
hubungan kerja Penggugat didasarkan pada pasal 161 UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.Oleh karena itu untuk memberikan kepastian hukum
mengenai waktu berakhirnya hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat,
Majelis Hakim berketetapan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat
berakhir terhitung sejak putusan ini berkekuatan hokum tetap dengan
demikian petitum gugatan Penggugat patut dan layak untuk dikabulkan.
9. Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka landasan atau
pijakan hukum, dalam Pemutusan Hubungan Kerja a quo adalah Pemutusan
Hubungan Kerja adanya kesalahan dari Penggugat, sehingga dalam hal
pembayaran uang pesangon Penggugat berhak mendapatkan uang pesangon
sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa
kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan dan uang
penggantian hak sesuai dengan pasal 156 ayat (4).
10. Menimbang, bahwa oleh karena menurut kesimpulan Majelis Hakim bahwa
pemutusan hubungan kerja dalam perkara a quo adalah berdasarkan Pasal 161
UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka hak-hak pesangon
Penggugat dalam perkara ini, adalah berdasarkan Pasal 161 UU No.13 tahun
2003, yaitu :
Uang Pesangon
1 x 9 x Rp. 2.850.000 =Rp. 25.650.000,-
Uang Penghargaan Masa Kerja
3 x Rp. 2.850.000 =Rp. 8.550.000,-
Uang Penggantian Hak
15% x (Rp. 25.650.000 + Rp. 8.550.000) =RP. 5.130.000,- +
=Rp.39.330.000,-
(Tiga Puluh Sembilan Juta Tiga Ratus Tiga Puluh Ribu Rupiah)
11. Menimbang, bahwa oleh karena belum adanya Surat Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) dari Tergugat maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa
hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat masih berlangsung sampai
dengan Putusan ini sampai berkekuatan hokum tetap. Sehingga dengan
demikian Majelis Hakim berpendapat, Penggugat pun masih berhak atas upah
yang belum dibayarkan sampai Putusan ini berkekuatan hokum tetap
berdasarkan Pasal 155 ayat 2 UU No.13 tahun 2003 jo Putusan MK No.
37/PUU-IX/2011 yang berketetapan bahwa upah proses pemutusan hubungan
kerja berlaku sejak diputus pemutusan hubungan kerja sampai perkara
berkekuatan hukum tetap.
12. Menimbang, bahwa oleh karena gaji terakhir Penggugat diterima pada bulan
Desember 2012, maka Penggugat berhak menerima upah proses mulai bulan
Januari 2013 sampai berkekuatan hokum tetap dengan demikian terhadap
petitum angka 4 patut dan layak untuk dikabulkan
13. Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan di atas,
Penggugat dapat mempertahankan dalil gugatannya, sehingga gugatan
Penggugat dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim. Dan oleh karenaya
Tergugat dalam perkara a quo adalah pihak yang kalah sehingga harus
dihukum untuk membayar biaya perkara yang timbul.
3. Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Kasasi pada Putusan Nomor
40K/PDT.SUS-PHI/2014
Dari memori kasasi yang diajukan oleh pemohn kasasi yang semula adalah
Tergugat, Majelis Hakim tingkat Kasasi menolak memori kasasi, pokok,dari
memori kasasinya adalah sebagai berikut:
1. Pemohon Kasasi menganggap bahwa Pengadilan Hubngan Industrial
Semarang telah salah dalam menerapkan Hukum Pembuktian
2. Pengadilan Hubngan Industrial Semarang tidak mempertimbangkan bahwa
Peratura Perusahaan milik PT.Snarmas Multifinance yang telah disahkan
oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Direktorat Jendral
Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Sehingga berlaku azaz Lex specialist de rogat lex generalis.
3. Dalam pasal 44 ayat 1 Peraturan Perusahaan menyebutkan “Karyawan
yang melakukan pelanggaran pasal 11 ayat 2 Peraturan Perusahaan ini dan
masih melakukan pelanggaran lagi dapat dilakukan PHK dengan tidak
mendapat pesangon.
dengan alasan tidak cukup bukti Majelis Hakim mempertimbangkannya
sebagai berikut:
a. Menimbang, bahwa terlepas dari pertimbangan tersebut di atas,
Mahkamah Agung berpendapat bahwa amar putusan Judex
Facti/Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Semarang
harus diperbaiki sepanjang mengenai upah proses yakni hanya untuk 6
(enam) bulan gaji, sebagaimana yang akan diuraikan dalam amar putusan
dibawah ini;
b. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata
bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Semarang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau
undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh
Pemohon Kasasi: PT. Sinar Mas Multifinance tersebut harus ditolak.
c. Bahwa oleh karena nilai gugatan dalam perkara ini di bawah
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) maka biaya perkara
dalam tingkat kasasi ini dibebankan kepada Negara.
C. Pembahasan
1. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial
tingkat 1 tentang Pemberian Upah Proses Pada Putusan Nomor
12/G/2013/PHI.Smg
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Semarang mengabulkan permohonan gugatan dari Penggugat untuk
sebagian.
Disini Penulis menemukan apa yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim
memutus upah proses sampai putusan berkekuatan hukum tetap yakni dalam
pertimbangan hakim nomor 11 menyebutkan:
”Menimbang, bahwa oleh karena belum adanya Surat Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) dari Tergugat maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa
hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat masih berlangsung sampai
dengan Putusan ini sampai berkekuatan hokum tetap. Sehingga dengan
demikian Majelis Hakim berpendapat, Penggugat pun masih berhak atas upah
yang belum dibayarkan sampai Putusan ini berkekuatan hokum tetap
berdasarkan Pasal 155 ayat 2 UU No.13 tahun 2003 jo Putusan MK No.
37/PUU-IX/2011 yang berketetapan bahwa upah proses pemutusan hubungan
kerja berlaku sejak diputus pemutusan hubungan kerja sampai perkara
berkekuatan hukum tetap.”
Dalam Putusan PHI tingkat I, majelis hakim menghukum pengusaha dengan
mewajibkan membayar upah proses sampai perkara berkekuatan hukum tetap.
Dimana Penggugat pun masih berhak atas upah yang belum dibayarkan sampai
Putusan ini berkekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 155 ayat 2 UU No.13
tahun 2003 jo Putusan MK No. 37/PUU-IX/2011, pertimbangan hakim ini
berdasar pada Pasal 155 ayat 2 UU No.13 tahun 2003 jo Putusan MK No.
37/PUU-IX/2011.
Majelis Hakim menetapkan upah proses sampai dengan putusan
berkekuatan hukum tetap dikarenakan Tergugat (PT.Sinarmas Multifinance)
belum mengeluarkan surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada Penggugat
(Didik Teguh Waksito). Karena gaji terahkir Penggugat diterima pada bulan
Desember 2012, maka penggugat berhak menerima upah proses mulai bulan
Januari 2013 sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap.
Dalam memutus perkara antara Didik Teguh Waksito dan PT.Sinarmas
multifiance, Majelis Hakim memberikan pertimbangannya berdasarkan bukti-
bukti serta fakta-fakta hukum yang ada di persidangan, mulai dari bagaimana
hubungan kerja atara penggugat dan tergugat berahkir sampai dengan hak-hak apa
saja yang diperoleh oleh tergugat.
Lalu apakah pertimbangan Majelis Hakim tersebut sudah sesuai dengan
Undang-Undang yang berlaku, yakni Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.37/PUU-IX/2011 tentang
Pemberian Upah proses.
Di sini penulis berusaha menjelaskan kebersesuaian pertimbaangan Majelis
Hakim dengan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan
Putusan Mahkamah Konstitusi No.37/PUU-IX/2011 tentang Pemberian Upah
proses.
Pertimbangan Majelis Hakim PHI Tingkat I Putusan Nomor
12/G/2013/PHI.Smg:
a. Peraturan Perusahaan PT. Sinar Mas Multifinance tersebut tidak dapat
dijadikan dasar untuk memutus maka Majelis Hakim akan mendasarkan
perkara a quo pada UU No. 13 tahun 2003 karena Peraturan perusahaan
PT.Sinarmas Multifinance tidak ada satu Pasal pun yang mencantumkan
bahwa apabila tidak memenuhi target dan tidak disiplin dalam waktu
kerja maka Perusahaan dapat mem PHK karyawan tanpa pesangon.
b. Majelis Hakim berpendapat Pemutusan Hubungan kerja yang dilakukan
Tergugat kepada Penggugat tidak dapat dibenarkan secara hukum karena
tidak sesuai dengan UU.No.13 tahun 2003.
c. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan Tergugat adalah
mendasarkan pada Pasal 161 UU.No.13 tahun 2003, yaitu Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) karena adanya kesalahan dari Penggugat yang
tidak memenuhi target dan tidak disiplin dalam waktu kerja
d. Pemutusan Hubungan Kerja a quo adalah Pemutusan Hubungan Kerja
adanya kesalahan dari Penggugat, sehingga dalam hal pembayaran uang
pesangon Penggugat berhak mendapatkan uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1
(satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan dan uang penggantian hak
sesuai dengan pasal 156 ayat (4).
e. Dikarenakan Tergugat belum mengeluarkan Surat Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) kepada Penggugat sehingga Majelis Hakim berpendapat
hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat masih berlangsung
sehingga Penggugat masih berhak atas upah sampai dengan putusan ini
berkekuatan hokum tetap.
f. Penggugat pun masih berhak atas upah yang belum dibayarkan sampai
Putusan ini berkekuatan hokum tetap berdasarkan Pasal 155 ayat 2 UU
No.13 tahun 2003 jo Putusan MK No. 37/PUU-IX/2011 yang berketetapan
bahwa upah proses pemutusan hubungan kerja berlaku sejak diputus
pemutusan hubungan kerja sampai perkara berkekuatan hokum tetap.
Dari pertimbangan Majelis Hakim diatas Analisis Penulis
berpendapat bahwa:
a. Benar bagaimana pendapat Majelis Hakim tentang keberlakuan Peraturan
Perusahaan (PP) yang berlaku di PT.Sinarmas Multifinance, Peraturan
Perusahaan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dasar Pemutusan
Hubungan Kerja, karena Peraturan Perusahaan tersebut tidak sesuai
dengan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
dimana PT.Sinarmas Multifinance melakukan PHK dengan dasar Didik
Teguh Waksito melanggar Peraturan Perusahaan pasal 11 tentang ketidak
disiplinan dalam waktu kerja seharusnya Perusahan terlebih dahulu
melakukan pembinaan dengan cara diberikan Surat Peringatan terlebih
dahulu dengan tujuan bahwa Penggugat dapat memperbaiki kinerjanya.
Akan tetapi yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat dalam perkara a
quo justru malah terhadap Penggugat dilakukan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK). Oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat Pemutusan
Hubungan kerja yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat tidak dapat
dibenarkan secara hukum karena tidak sesuai dengan UU.No.13 tahun
2003.sesuai dengan ketentuan pasal 161 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003,
maka pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah
pekerja/buruh diberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga secara
berturut-turut.
b. Tentang pemberian upah proses, Majelis Hakim sudah tepat yaitu dengan
mendasarkan pada Pasal 155 ayat 2 Undang-Undang No.13 tahun 2003 Jo
Puusan MK No.37/PUU-IX/2011 yang berketetapan bahwa Upah Proses
berlaku sejak diputus PHK sampai perkara berkekuatan hokum tetap.
Majelis Hakim menetapkan upah proses sampai dengan putusan
berkekuatan hokum tetap dikarenakan Tergugat (PT.Sinarmas
Multifinance) belum mengeluarkan surat Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) kepada Penggugat (Didik Teguh Waksito). Karena gaji terahkir
Penggugat diterima pada bulan Desember 2012, maka penggugat berhak
menerima upah proses mulai bulan Januari 2013 sampai dengan putusan
berkekuatan hukum tetap.
c. Terkait dalam praktik di Pengadilan yang menetapakan Putusan upah
proses terbagi menjadi 4 jenis, yaitu 1. Putusan hakim menghukum
pengusaha membayar upah proses selama enam bulan. Putusan ini
berkiblat pada Kepmenaker Nomor 150 tahun 2000. 2. Putusan hakim
menghukum pengusaha membayar upah proses lebih dari enam bulan
tetapi tidak sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Putusan ini lebih
didasarkan pada rasa keadilan menurut hakim. 3. Putusan hakim
menghukum pengusaha membayar upah proses hingga perkara
memperoleh kekuatan hukum tetap4. 4. Putusan Hakim yang menghukum
pengusaha membayar upah proses sampai dengan eksekusi putusan
dilaksanakan.5 Putusan ini murni didasarkan pada Pasal 155 ayat (2) UU
No.13 Tahun 2003. Putusan Majelis Hakim PHI Semarang tingkat 1 ini
sesuai dengan jenis yang ke 3 yaitu memutus upah proses sampai dengan
4 ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TINGKAT PERTAMA PADA PUTUSAN NOMOR
02/G/2011/PHI.Yk DAN TINGKAT KASASI PADA PUTUSAN NOMOR 418 K/Pdt.Sus/2011 TENTANG
KUALIFIKASI HUBUNGAN HUKUM ANTARA KAHONO DAN SUCIWANTA DENGAN KETUA
PRIMER KOPERASI ANGKATAN UDARA II (Primkopau) LANUD ADI SUCIPTO YOGYAKARTA;
Anisa LVR; halaman 15; 2012
5 Putusan Majelis Hakim Pengadilan hubungan industrial Semarang
putusan berkekuatan hukum tetap, namun penulis memiliki pendapat lain
terkait putusan ini, karena penulis lebih menyarankan untuk putusan upah
proses yang jenis ke 4, yakni menghukum pengusaha membayar upah
proses sampai dengan eksekusi dilakukan, mengapa demikian karena
penulis mempunyai pendapat bahwa putusan mengenai upah prosees jenis
ke 4 ini lebih efektif untuk membuat pengusaha merasa jera, karena dalam
praktik yang terjadi banyak pengusaha sudah dihukum untuk membayar
upah proses sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap tetapi
banyak pengusaha yang tetap tidak membayar upah proses yang menjadi
hak daripada Pekerja, sehingga dengan putusan jenis ke 4 yang
mewajibkan pengusaha membayar upah proses sampai eksekusi putusan
dilaksanakan, pengusaha akan mendapat efdek jera, karena apabila
eksekusi tidak segera dilakukan maka akan bertambah besar pula upah
proses yang akan dibayarkan kepada pekerja. Selain itu juga Negara tidak
dibebankan dengan eksekusi-eksekusi yang belum dilaksanakan oleh para
pengusaha. Jadi putusan jenis ke 4 ini dirasa lebih efektif daripada putusan
tentang upah proses yang lain.
2. Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Kasasi tentang Pemberian Upah
Proses pada Putusan Nomor 40K/PDT.SUS-PHI/2014
Dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari
pemohon kasasi yaitu PT.Sinar Mas Multifinance, dan Mahkamah Agung
berpendapat bahwa amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial Semarang
harus diperbaiki mengenai upah proses dari yang sampai berkekuatan hokum tetap
menjadi hanya 6 bulan saja.
Dari pertimbangan Majelis Hakim yang memutuskan upah proses selama 6
bulan, penulis berpendapat pertimbangan Majelis Hakim Agung tersebut tidak
mendasarkan penafsiran ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003.
Majelis Hakim memberikan upah proses hanya sebesar enam bulan tersebut
berdasar pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-150/Men/2000 tentang
Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang
Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan (Kepmenakertrans
No.KEP-150/Men/2000). Dengan berdasar pada ketentuan dalam
Kepmenakertrans No. KEP-150/Men/2000 besarnya upah proses yang layak
diberikan berdasarkan keadilan hanya sebesar enam bulan upah saja dan bukan
sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap.6Kepmenakertrans No. KEP-
150/Men/2000 merupakan produk peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan yang diberlakukan sebelum UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No.
2 Tahun 2004.
Meskipun Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-150/Men/2000
tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon
sudah tidak berlaku lagi sejak diundangkannya UU No. 2 Tahun 2004 namun
berdasarkan ketentuan Pasal 191 UU No. 13 Tahun 2003 yang mengatur bahwa
semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan masih berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru
berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003. Dalam ketentuan Pasal 16 Kepmenakertrans
No. KEP-150/Men/2000 ditentukan bahwa “selama proses PHK pengusaha dapat
6MAKNA UPAH PROSES MENURUT MAHKAMAH KONSTITUSIDIBANDINGKAN
DENGAN BEBERAPAPUTUSAN MAHKAMAH AGUNG;Fakultas Humaniora Jurusan
Business Law Universitas Bina Nusantara
melakukan skorsing kepada pekerja dengan kewajiban untuk membayarkan upah
dan hak-hak yang biasa diterima oleh pekerja. Besarnya upah dalam masa
skorsing yang wajib dibayarkan oleh pengusaha tersebut hanya selama enam
bulan saja.” Jika setelah jangka waktu enam bulan dan belum ada putusan dari
P4D atau P4P maka Panitia Daerah atau Panitia Pusat dapat menentukan besarnya
upah dan hak-hak yang bisa diterima oleh pekerja 7
Dalam tingkat Kasasi yakni semula tergugat mengajukan permohonan Kasasi,
beberapa memori kasasinya yakni:
a. Pemohon Kasasi menganggap bahwa Pengadilan Hubngan Industrial
Semarang telah salah dalam menerapkan Hukum Pembuktian
b. Pengadilan Hubngan Industrial Semarang tidak mempertimbangkan bahwa
Peratura Perusahaan milik PT.Snarmas Multifinance yang telah disahkan
oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Direktorat Jendral
Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Sehingga berlaku azaz Lex specialist de rogat lex generalis.
c. Dalam pasal 44 ayat 1 Peraturan Perusahaan menyebutkan “Karyawan
yang melakukan pelanggaran pasal 11 ayat 2 Peraturan Perusahaan ini dan
masih melakukan pelanggaran lagi dapat dilakukan PHK dengan tidak
mendapat pesangon.
Dari pengajuan memori keberatan tersebut, Majelis Hakim menimbang
bahwa:
7Ibid
a. Keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan dikarenakan tidak
cukup bukti, dan Pengadilan Hubungan Industrial Semarang tidak salah
dala menerapkan hokum dan member pertimbangan yang cukup.
b. Terlepas dari pertimbangan Majelis Hakim diatas Mahkamah Agung
berpendapat bahwa amar putusan Pengadilam Hubungan Industrial
Semarang harusdiperbaiki sepanjang mengenai Upah Proses yakni hanya
untuk 6 bulan gaji. Jadi upah proses yang diterima Didik adalah 6 x
Rp.2.850.000 = Rp.17.100.000 (tuju belas juta seratus ribu rupiah)
Berdasar pertimbangan Majelis Hakim diatas Penulis berpendapat bahwa:
a. Mengenai penolakan memori Kasasi yang diajukan PT.Sinarmas
Multifinance adalah sudah benar yakni Peraturan Perusahaan yang ada di
PT.Sinarmas Multifinance adalah bertentangan dengan peraturan
perUndang-Undangan yang berlaku yaitu ndang-Undang No.13 tahun
2003 tentang Ketenaga kerjaan (Azaz Lex Superor derogate lex Inferior).
b. Namun dalam hal pemutusan tentang upah proses, penulis tidak
sependapat dengan Majelis Hakim dimana Majelis Hakim memutuskan
upah proses selama 6 bulan. Pendapat penulis, putuasan Majelis Hakm
tingkat Kasasi memutus 6 bulan upah proses adalah berdasar
padaketentuan dalam Kepmenakertrans No. KEP-150/Men/2000 besarnya
upah proses yang layak diberikan berdasarkan keadilan hanya sebesar
enam bulan upah saja dan bukan sampai dengan putusan berkekuatan
hukum tetap.8Kepmenakertrans No. KEP-150/Men/2000 merupakan
produk peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang
diberlakukan sebelum UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 2 Tahun 2004.
Meskipun proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut
sudah tidak berlaku lagi, ada Majelis Hakim yang menentukan putusan
berdasarkan ketentuanKepmenakertrans No. KEP-150/Men/2000 karena di
dalam Pasal 191 UU No. 13 Tahun 2003 yang mengatur bahwa semua
peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan masih berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan
baru berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003. Dalam ketentuan Pasal 16
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-150/Men/2000 tentang
Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon
ditentukan bahwa “selama proses PHK pengusaha dapat melakukan
skorsing kepada pekerja dengan kewajiban untuk membayarkan upah dan
hak-hak yang biasa diterima oleh pekerja. Besarnya upah dalam masa
skorsing yang wajib dibayarkan oleh pengusaha tersebut hanya selama
enam bulan saja.”
Seharusnya Majelis Hakim Tingkat Kasasi tidak menetapkan upah
proses selama 6 bulan, karena putusan tersebut berdasar aturan
perUndang-Undangan yang sudah tidak lagi berlaku dan sudah ditegaskan
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.37/PUU-IX/2011 dimana
8MAKNA UPAH PROSES MENURUT MAHKAMAH KONSTITUSIDIBANDINGKAN
DENGAN BEBERAPAPUTUSAN MAHKAMAH AGUNG;Fakultas Humaniora Jurusan
Business Law Universitas Bina Nusantara
Putusan MK tersebut menegaskan pemberian upah proses adalah sampai
putusan berkekuatan hukum tetap.
Dan apabila dikaitkan dengan 4 pola putusan upah proses yang
terjadi di Pengadilan Hubungan Industrial, maka yang diPutuskan Majelis
Hakim Tingkat Kasasi ini termasuk pola yang ke 1, yaitu menghukum
pengusaha membayar upah proses selama 6 bulan. Dan putusan ini sesuai
dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-150/Men/2000 tentang
Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon.
Penulis juga kurang setuju apabila Putusan Majelis hakim tingkat
Kasasi memutuskan pengusaha membayar upah proses seusai dengan pola
yang ke 2, yakni: Putusan Hakim menghukum pengusaha membayar upah
proses lebih dari 6 bulan tetapi tidak sampai putusan berkekuatan hukum
tetap.
Putusan tersebut adalah putusan yang didasarkan pada rasa keadilan
hakim, penulis kurang sependapat dengan putusan tersebut karena setiap
Hakim memiliki rasa keadilan masing-masing, sehingga yang di
khawatirkan adalah bermacam ragam rasa keadilan atau tolak ukur
keadilan sehingga kurang menjamin kepastian hukum bagi para pihak
yang bersengketa.
Penulis lebih setuju terhadap 2 pola putusan upah proses yang lain,
yaitu:
a. Putusan Hakim membayar upah proses hingga perkara berkekuatan hukum
tetap. Karena Pola ini didasarkan pada Undang-Undang yang saat ini berlaku
yaitu dengan mendasarkan pada Pasal 155 ayat 2 Undang-Undang No.13
tahun 2003 Jo Puusan MK No.37/PUU-IX/2011 yang berketetapan bahwa
upah proses berlaku sejak diputus PHK sampai perkara berkekuatan hukum
tetap. Dan pola ini dinilai mampu memberikan keadilan bagi pekerja yang di
PHK.
b. Putusan Hakim yang menghukum membayar upah proses sampai dengan
eksekusi putusan dilaksanakan. Dari semua pola yang ada,penulis menilai pola
ini yang paling cocok diputuskan oleh Majelis Hakim, baik di Tingkat I
ataupun di Tingkat Kasasi karena membuat pengusaha merasa jera,dalam
praktik yang terjadi banyak pengusaha sudah dihukum untuk membayar upah
proses sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap tetapi banyak
pengusaha yang tetap tidak membayar upah proses yang menjadi hak daripada
Pekerja, sehingga dengan putusan pola ke 4 yang mewajibkan pengusaha
membayar upah proses sampai eksekusi putusan dilaksanakan, pengusaha
akan mendapat efek jera, karena apabila eksekusi secara sukarela tidak segera
dilakukan maka akan bertambah besar pula upah proses yang akan dibayarkan
kepada pekerja. Selain itu juga Negara tidak dibebankan dengan eksekusi-
eksekusi yang belum dilaksanakan oleh para pengusaha. Jadi putusan jenis ke
4 ini dirasa lebih mencerminkan keadilan daripada putusan tentang upah
proses yang lain.