bab ii tinjauan pustaka -...

40
19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam penelitian, teori diperlukan agar peneliti memiliki kerangka ketika terjun ke lapangan. Dalam Bab 2 ini, peneliti akan mengulas teori- teori yang digunakan penelitin untuk membangun kerangka pemikiran. Teori yang akan diulas dalam bab ini akan berangkat melalui gender yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya, konsep relasi laki-laki perempuan secara khusus, proses pengambilan keputusan, hingga kajian Psikologi Transpersonal. A. GENDER SEBAGAI KONSTRUKSI SOSIAL BUDAYA Berbeda dengan jenis kelamin (seks) yang sifatnya biologis, gender merupakan sebuah hasil dari konstruksi sosial yang ada dalam masyarakat (Mead, 1935, dalam Ufi 2009 ; Fakih, 2013). Jika seks adalah pembagian kategori jenis kelamin yang ditentukan secara biologis, maka gender adalah peran ataupun tuntutan sosial dari individu dengan kategori jenis kelamin tersebut. Misalnya perempuan secara biologis memiliki vagina dan alat reproduksi seperti rahim, maka muncul ekspektasi sosial pada masyarakat dalam peran perempuan (sesuai kodrati biologisnya) untuk kemudian menjadi ibu yang mampu melahirkan dan menyusui. Ekspektasi sosial yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki sesuai dengan jenis kelamin yang dimilikinya berbeda-beda sesuai dengan budaya tempatnya tinggal. Ufi (2009) mengulas betapa panjangnya proses pembedaan gender laki-laki dan perempuan yang terjadi, melalui sosialisasi, penguatan, bahkan melalui kekuasaan negara. Dikarenakan panjang dan lamanya proses “genderisasi” secara

Upload: vuongngoc

Post on 10-Apr-2019

215 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam penelitian, teori diperlukan agar peneliti memiliki kerangka

ketika terjun ke lapangan. Dalam Bab 2 ini, peneliti akan mengulas teori-

teori yang digunakan penelitin untuk membangun kerangka pemikiran.

Teori yang akan diulas dalam bab ini akan berangkat melalui gender yang

merupakan hasil konstruksi sosial budaya, konsep relasi laki-laki

perempuan secara khusus, proses pengambilan keputusan, hingga kajian

Psikologi Transpersonal.

A. GENDER SEBAGAI KONSTRUKSI SOSIAL BUDAYA

Berbeda dengan jenis kelamin (seks) yang sifatnya biologis,

gender merupakan sebuah hasil dari konstruksi sosial yang ada dalam

masyarakat (Mead, 1935, dalam Ufi 2009 ; Fakih, 2013). Jika seks

adalah pembagian kategori jenis kelamin yang ditentukan secara

biologis, maka gender adalah peran ataupun tuntutan sosial dari

individu dengan kategori jenis kelamin tersebut. Misalnya perempuan

secara biologis memiliki vagina dan alat reproduksi seperti rahim,

maka muncul ekspektasi sosial pada masyarakat dalam peran

perempuan (sesuai kodrati biologisnya) untuk kemudian menjadi ibu

yang mampu melahirkan dan menyusui.

Ekspektasi sosial yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki

sesuai dengan jenis kelamin yang dimilikinya berbeda-beda sesuai

dengan budaya tempatnya tinggal. Ufi (2009) mengulas betapa

panjangnya proses pembedaan gender laki-laki dan perempuan yang

terjadi, melalui sosialisasi, penguatan, bahkan melalui kekuasaan

negara. Dikarenakan panjang dan lamanya proses “genderisasi” secara

20

sosial budaya, sehingga lambat laun perbedaan gender laki-laki dan

perempuan yang sejatinya merupakan hasil dari konstruksi sosial

budaya menjadi seolah-olah merupakan ketentuan dari Tuhan yang

bersifat kodrati sehingga tidak dapat dirubah lagi. Gender kemudian

memengaruhi keyakinan masyarakat tentang bagaimana seharusnya

laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak.

Pada sebagian besar kelompok manusia, kemampuan fisik laki-laki

yang cenderung lebih kuat dahulu kala membuat laki-laki cenderung

dapat berburu dengan lebih baik, sedangkan perempuan kebagian jatah

meramu. Setelah turun temurun hal tersebut melahirkan konstruksi

sosial tertentu yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah,

dan perempuan sebagai pengurus domestik. Konstruksi tersebut masih

bertahan dan terus diwariskan diberbagai budaya di dunia, dan

kemudian melahirkan tuntutan-tuntutan tertentu dari masyarakat

kepada individu dengan jenis kelamin laki-laki terhadap perannya

sebagai pencari nafkah, dan perempuan terhadap peran domestiknya.

Sehingga tidak jarang ketika laki-laki gagal mencari nafkah untuk

keluarganya akan dianggap sebagai laki-laki yang gagal, dan

perempuan atau masyarakat berhak menuntutnya secara moral tanpa

mau bertukar peran. Demikian juga perempuan yang gagal tidak

mampu mengelola domestiknya dengan baik seperti merawat

kebersihan, memasak, dan merawat anak dianggap tidak sempurna,

dan berhak mendapat tuntutan moral maupun sosial.

Gender merupakan alat analisis yang baik untuk memahami

persoalan diskriminasi terhadap perempuan dan laki-laki (Oakley,

dalam Narwoko & Suryanto, 2004). Perbedaan gender tidak akan

menjadi masalah selama tidak memunculkan ketidakadilan. Namun

21

halnya demikian, perbedaan gender oleh masyarakat sering kali

melahirkan ketidakadilan baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Contohnya dalam pekerjaan, beberapa pekerjaan dianggap tidak

universal sehingga kecilnya peluang untuk melakukan pertukaran

peran, ataupun stigma sosial yang menempatkan pertukaran peran

tersebut sebagai suatu hal yang tidak sepatutnya dilakukan. Beberapa

persoalan yang muncul akibat perbedaan gender (Dewayanti dkk.,

2004, dalam Ufi 2009; Ufi & Pelu, 2005, dalam Ufi 2009) diantaranya

adalah marginalisasi-eksploitasi perempuan, stereotipe yang

merugikan, subordinasi perempuan, dan kekerasan terhadap

perempuan.

Berdasarkan uraian Ufi (2009), proses marginalisasi perempuan

adalah proses pemiskinan dan peminggiran perempuan yang

disebabkan oleh pembedaan gender. Hal ini bisa berupa kebijakan

agama, tradisi/budaya, dan sebagainya. Sebagai contoh sistem

pemberian upah dan tunjangan di beberapa perusahaan yang timpang.

Dengan alasan peran laki-laki sebagai pencari nafkah, dengan posisi

pekerjaan yang sama sering kali laki-laki mendapat gaji yang lebih

tinggi dan juga tunjangan yang tidak diperoleh perempuan.

Ketimpangan tersebut juga terjadi dalam masalah subordinasi

perempuan. Contohnya, pemberian pendidikan dalam keluarga lebih

diprioritaskan kepada laki-laki dari pada perempuan dalam rangka

menunjang peran laki-laki di kemudian hari yang oleh masyarakat

sering kali ditempatkan sebagai pemimpin keluarga sekaligus pencari

nafkah. Ufi menjelaskan bahwa pendekatan sosial budaya melihat

bahwa persoalan subordinasi perempuan berakar pada konstruksi

sosial budaya yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki.

22

Terdapat anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan itu

emosional, irasional, tidak bisa tampil memimpin atau mengambil

keputusan sehingga ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Jika

menilik hal tersebut tidaklah heran jika dalam permasalahan

berikutnya terkait perbedaan gender –yaitu masalah kekerasan

terhadap perempuan, perempuan banyak yang tidak melawan, atau

merasa tidak mampu melawan, atau lebih parah lagi merasa dirinya

tidak seharusnya melawan. Tidak mengherankan juga jika banyak kita

lihat perempuan korban kekerasan tidak mengambil (atau menunda)

keputusan apapun terkait hal tersebut.

Ufi memaparkan ulasan kekerasan dapat dihasilkan dari berbagai

sumber, termasuk karena perbedaan gender. Menurut Ufi, hal tersebut

bisa terjadi karena ketidaksetaraan kekuatan dan kekuasaan dalam

masyarakat. Kekerasan berbasis gender ini uniknya dapat terjadi mulai

dari lingkup rumah tangga hingga negara, mulai dari penganiayaan

istri hingga eksploitasi. Kerugian-kerugian akibat ketimpangan ini juga

kerap kali diakibatkan oleh stereotip gender yang tentunya bermula

dari konstruksi sosial masyarakat. Stereotip oleh Ufi diulas sebagai

pelabelan terhadap pihak tertentu yang sering kali berakibat merugikan

pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan, dalam hal ini pelabelan

dilakukan berdasarkan kategorisasi gender. Sebagai contoh mengenai

lokalisasi, penghakiman sosial lebih banyak diterima oleh perempuan

yang menjadi tuna susila dibandingkan dengan kaum laki-laki yang

datang mengunjunginya. Dalam kasus-kasus kekerasan, stereotip

gender ini yang sering kali juga membuat sukarnya penanganan

terhadap korban maupun pelaku, bahkan kesadaran dari masyarakat

bahwa hal ini sangat mendesak untuk ditangani.

23

Konstruksi sosial khususnya dalam budaya patriarki, menjadikan

figur laki-laki terlihat seharusnya lebih mendominasi perempuan –

dalam konteks ini perihal romansa (Ferlita, 2008). Perempuan

kemudian dianggap sebagai makhluk lemah, penurut, dan perlu

mengutamakan kepentingan laki-laki. Perempuan dari jaman dahulu

telah menjadi subordinat yang lemah dan harus tunduk pada laki-laki.

Oleh sebab itu, ketika menerima kekerasan, banyak korban perempuan

yang merasa tidak dapat melawan ataupun tidak sepatutnya melawan.

B. PACARAN: ANTARA CINTA DAN LUKA

1. Cinta Dalam Ragam Teori

Cinta merupakan salah satu dari bentuk emosi manusia (Baron

& Byrne, 2004), oleh karenanya seperti berbagai emosi manusia,

cinta sering kali bersifat fluktuatif. Seperti halnya terdapat individu

yang mengalami kesukaran dalam menjelaskan secara definitif

mengenai perasaan marah, sedih, dan benci terdapat juga mereka

yang kurang mampu mendefinisikan cinta dengan baik dalam

kehidupan sehari-hari.

Fromm (2005, dalam Abdullah, 2016) membahas cinta dengan

hubungannya terhadap eksistensi manusia. Bagi Fromm, manusia

memiliki kesadaran akan dirinya, sesama, masa lalu, kemungkinan

akan masa depannya, kesadaran akan eksistensinya, serta

kesadaran bahwa hal-hal tersebut tadi merupakan sesuatu yang

terpisah. Kesadaran manusia akan keterpisahan tersebut kemudian

menjadi faktor utama munculnya kegelisahan dan kecemasan.

Kebutuhan untuk mengatasi keterpisahan dan kesendiriannya

inilah yang menurut Fromm menjadi salah satu kebutuhan manusia

yang paling dalam. Fromm kemudian mengungkap cinta sebagai

24

jawaban dari masalah eksistensi manusia, cinta kemudian oleh

manusia digunakan untuk mengatasi keterpisahan yang

dirasakannya. Fromm mengulas, bahwa dalam cinta terdapat

jawaban utuh yang terletak pada pencapaian penyatuan antar

pribadi dan peleburan dengan pribadi lain.

Sternberg (1986, dalam Indriastuti & Nawangsari, 2014) dalam

Teori Segitiga Cinta mengulas cinta dari komponen yang terdapat

di dalamnya. Teori tersebut disebut Teori Segitiga Cinta karena

Sternberg berpendapat bahwa dalam hubungan cinta yang ideal

terkandung tiga komponen. Komponen yang pertama adalah

keintiman. Keintiman merupakan elemen emosinal yang meliputi

perasaan yang menunjukkan adanya kedekatan, keterikatan, dan

keterkaitan secara emosional kepada pasangan. Di dalam

keintiman terdapat perasaan yang menimbulkan kehangatan dan

kepercayaan dalam hubungan percintaan. Komponen yang kedua

adalah gairah. Gairah merupakan elemen motivasional yang

dipenuhi hasrat yang mengacu pada romantisme, serta ketertarikan

secara fisik dan seksual dalam hubungan cinta. Walster (1981,

Indriastuti & Nawangsari, 2014), menyatakan bahwa di dalam

gairah terdapat kerinduan untuk bersatu dengan hal yang lain.

Komponen cinta yang ketiga adalah komitmen. Komitmen

merupakan elemen kognitif dari cinta. Dalam jangka pendek,

komitmen mengacu pada keputusan seseorang untuk mencintai

pasangannya. Sedangkan untuk jangka panjang, komitmen

mengacu pada bagaimana seseorang menjaga serta

mempertahankan cintanya ataupun hubungannya. Menurut Acker

dan Davis (1992, dalam Indriastuti & Nawangsari, 2014),

25

komitmen sangat berperan penting dalam penentuan suatu

hubungan berlangsung lama atau tidak. Jika meniliki teori

Sternberg, maka pacaran yang ideal tentunya perlu memiliki tiga

komponen tersebut.

2. Konsep Pacaran

Oleh berbagai tokoh, pacaran didefinisikan bermacam-macam

namun kurang lebih memiliki inti yang sama. Benokraitis (1996)

berpendapat bahwa pacaran adalah proses dimana seseorang

bertemu dengan seseorang lainnya dalam konteks sosial yang

bertujuan untuk menjajaki kemungkinan sesuai atau tidaknya

orang tersebut untuk dijadikan pasangan hidup. Juga mengulas

mengenai pertemuan antara dua orang, DeGenova & Rice (2005)

berpendapat bahwa pacaran merupakan sebuah kegiatan dalam

menjalankan suatu hubungan dimana dua orang bertemu dan

melakukan serangkaian aktivitas bersama agar dapat saling

mengenal satu sama lain. Wijayanto (dalam Safitri & Sama’i,

2013) menjelaskan pacaran juga sebagai sebuah hubungan sosial

yang disebabkan oleh ketertarikan tertentu, baik fisik (jasmani)

maupun non-fisik (pribadi, karakter). Wijayanto menambahkan

bahwa hubungan sosial tersebut dibangun atas komitmen, dengan

syarat ataupun tanpa syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh kedua

belah pihak. Berbeda dengan dua definisi oleh tokoh lainnya,

Wijayanto secara spesifik membatasi konsep pacaran pada

mahkluk sosial yang berlainan jenis.

Menilik berbagai definisi-definisi yang telah disampaikan,

dapat disimpulkan bahwa pacaran merupakan sebuah hubungan

sosial dengan keterikatan tertentu, yang biasanya diawali oleh

26

ketertarikan satu sama lain, dan di dalamnya terdapat aktivitas

yang bertujuan untuk lebih mengenal satu sama lain.

DeGenova dan Rice (2005) mengemukakan bahwa hubungan

pria dan wanita sebelum munculnya pacaran dilakukan secara

formal, dimana pria datang mengunjungi pihak wanita dan

keluarganya. Proses pacaran kemudian mulai muncul sejak

pernikahan mulai menjadi keputusan yang lebih individual

dibandingkan keputusan keluarga, sejak adanya rasa cinta dan

saling ketertarikan satu sama lain antara pria dan wanita lebih

menjadi dasar utama seseorang untuk menikah. Dari masa ke masa

konsep bagaimana dan apa yang harus dilakukan orang dalam fase

pacaran terus berubah. Menurut DeGenova dan Rice hal tersebut

disebabkan karena berkurangnya tekanan dan orientasi untuk

menikah pada pasangan yang berpacaran dibandingkan dengan

sebagaimana budaya pacaran pada masa lalu.

Pada era 1700-an, pertemuan pria dan wanita yang dilakukan

secara kebetulan dan tanpa mendapat pengawasan akan mendapat

hukuman jika tidak dilakukan sesuai etika moral yang disepakati

lingkungan. Wanita tidak akan pergi sendiri untuk menjumpai pria

begitu saja dan tanpa memilih-milih. Pria yang memiliki keinginan

untuk menjalin hubungan dengan seorang wanita diharuskan

menjumpai keluarga wanita tersebut, secara formal

memperkenalkan diri dan meminta izin untuk berhubungan dengan

wanita tersebut sebelum mereka dapat melangkah ke hubungan

yang lebih jauh lagi. Pada era tersebut orangtua dan keluarga

memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mempertimbangkan

keputusan untuk sebuah pernikahan.

27

Sekarang ini, pacaran sendiri telah bergeser dan dalam

pelaksanaannya semakin mandiri. Meskipun pada budaya timur

intervensi orang tua sering kali masih dilibatkan, namun etika

ataupun aturan lingkungan yang disepakati secara tidak langsung

oleh lingkungan sudah tidak begitu ketat. Banyak tindakan ataupun

keputusan yang dijalani dalam proses berpacaran, tidak lagi

diambil oleh pihak ke tiga seperti orang tua melainkan secara

mandiri oleh pasangan. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa komponen dari pacaran juga alasan seorang individu untuk

berpacaran juga ikut bergeser sesuai jaman.

Menurut Karsner (2001) pada era ini, ada empat komponen

penting dalam menjalin hubungan pacaran. Kehadiran komponen-

komponen tesebut dalam hubungan cenderung mempengaruhi

kualitas dan kelanggengan hubungan pacaran yang dijalani.

Komponen pertama adalah kesalingpercayaan satu sama lain.

Kepercayaan dalam suatu hubungan akan menentukan apakah

suatu hubungan akan berlanjut atau akan dihentikan. Kepercayaan

ini meliputi pemikiran-pemikiran kognitif individu tentang apa

yang sedang dilakukan oleh pasangannya. Komponen kedua adalah

komunikasi, bagaimana individu mengkomunikasikan dirinya

kepada pasangan. Komunikasi dianggap sebagai dasar dari

terbinanya suatu hubungan yang baik (Johnson dalam Supraktik,

1995).

Komponen ke tiga menurut Karsner adalah keintiman,

bagaimana individu berusaha menjaga romansa dalam hubungan

tetap hidup. Keintiman dianggap sebagai perasaan dekat terhadap

pasangan (Stenberg, 1996), yang tidak hanya terbatas pada

28

kedekatan fisik saja. Adanya kedekatan secara emosional dan rasa

kepemilikan terhadap pasangan juga merupakan bagian dari

keintiman. Oleh karena itu, pacaran jarak jauh juga tetap memiliki

keintiman, yakni dengan adanya kedekatan emosional melalui

kata-kata mesra dan perhatian yang diberikan melalui SMS (short

messege service), telepon, surat atau email. Sedangkan komponen

terakhir adalah komitmen. Menurut Kelly (dalam Stenberg, 1996)

komitmen lebih merupakan tahapan dimana seseorang menjadi

terikat dengan sesuatu atau seseorang dan terus bersamanya hingga

hubungannya berakhir. Individu yang sedang pacaran, tidak dapat

dibenarkan secara konsep untuk melakukan hubungan spesial

dengan pria atau wanita lain selama ia masih terikat hubungan

pacaran dengan seseorang.

Jika Karsner mengulas mengenai komponen yang dirasa

penting dalam menjalin pacaran di era ini, Collins (2007, dalam

Siagian, 2010) mengulas mengenai hal-hal yang membuat sebuah

hubungan dapat dikatakan dalam kategori pacaran. Hal pertama

adalah keterlibatan. Dalam keterlibatan mencakup apakah seorang

individu tersebut berpacaran, usia individu memulai pacaran, juga

konsistensi serta frekuensi individu tersebut dalam berpacaran. Hal

kedua adalah pemilihan pasangan. Hal ini berkaitan dengan siapa

yang mereka pilih menjadi pasangan atau pacar. Sebagai contoh

adalah berapa usia pacar, apakah suku dan agama yang dianut satu

sama lain sama, dan bagaimana status sosial ekonomi pasangan.

Hal ketiga adalah content, atau muatan yang terjadi di dalam

berpacaran. Content mencakup hal-hal apa saja yang dilakukan

bersama-sama, keberagaman aktivitas yang dilakukan bersama,

29

ataupun situasi yang dihindari mereka bersama. Hal ke empat

adalah kualitas. Kualitas terkait hal dimana hubungan tersebut

menghasilkan suatu pengalaman yang menguntungkan, seperti

keintiman, afeksi, dan nurturance (kepedulian dan perawatan

secara fisik dan emosional kepada seseorang), ataukah justru

konflik yang tinggi, gangguan, permusuhan, kebencian, dan

perilaku pengendalian pasangan. Hal yang ke lima adalah proses

kognitif dan emosional. Proses kognitif emosional juga mencakup

mengenai apakah pasangan memberikan respons emosional yang

merusak, persepsi, harapan, skema, dan atribusi atas diri sendiri

yang lebih didasarkan pada emosi.

3. Kekerasan Dalam Berpacaran

Jika menilik mengenai konsep berpacaran dalam ulasan

sebelumnya, pacaran tentunya ada dikarenakan tujuan yang

dianggap baik, yaitu mempersiapkan individu memasuki

pernikahan, dan penjajakan kecocokan satu sama lain. Seringkali

dengan memiliki seorang kekasih, semangat hidup seseorang dapat

bangkit, seseorang dapat merasa tidak sendirian, dan dapat

menemukan perasaan positif seperti menemukan jiwa yang sama

yang diidam-idamkan (Amiruddin, 2005). Namun halnya

demikian, tidak semua hubungan pacaran berlangsung secara ideal.

Hubungan yang seharusnya diharapkan penuh cinta, justru

terkadang malah penuh luka. Seperti yang telah diulas pada latar

belakang penelitian ini, tidak sedikit dari kita pernah mengalami

kekerasan dalam pacaran, baik sebagai korban maupun sebagai

pelaku.

30

Sugarman dan Hotaling (2001, dalam Siagian, 2010)

mendefinisikan kekerasan dalam berpacaran (KDP) sebagai

tindakan atau ancaman untuk melakukan kekerasan, yang

dilakukan salah seorang anggota dalam hubungan berpacaran ke

anggota lainnya. Murray (2007) menyimpulkan definisi KDP dari

berbagai hasil penelitian sebagai tindakan yang disengaja, yang

dilakukan menggunakan taktik melukai dan paksaan fisik, untuk

memperoleh kekuatan dan kontrol terhadap pasangan atau

pacarnya. Dalam ulasannya Murray menambahkan bahwa perilaku

kekerasan yang dilakukan oleh seseorang kepada pasangannya

tersebut tidak dilakukan atas paksaan orang lain, sang pelakulah

yang memutuskan untuk melakukan perilaku kekerasan atau tidak.

National Clearinghouse on Family Violence and Dating

Violence dan American Psychological Association (dalam Siagian,

2010) dengan secara lebih spesifik mendefinisikan KDP sebagai

serangan secara seksual, fisik, maupun emosional yang dilakukan

kepada pasangan, pada masa berpacaran. Senada dengan itu,

American Psychological Association juga menyebut KDP sebagai

kekerasan psikologis dan fisik yang dilakukan oleh salah satu

pihak dalam hubungan pacaran, yang mana perilaku ini ditujukan

untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas

pasangannya.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa

kekerasan dalam berpacaran merupakan sebuah tindakan dalam

hubungan berpacaran yang dilakukan oleh pelaku hubuungan

tersebut, yang bersisikan baik kekerasan fisik, psikis, maupun

seksual, yang ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan

kekuatan atas pasangannya.

31

a. Bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran

Ada berbagai bentuk kekerasan yang dapat dapat terjadi

dalam relasi berpacaran. Secara garis besar berbagai kekerasan

tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga; verbal dan

emosional, seksual, dan fisik.

i. Kekerasan verbal dan emosional

Kekerasan verbal dan emosional oleh Siagian (2010)

dikategorikan sebagai ancaman yang dilakukan pasangan

terhadap pacarnya dengan perkataan ataupun mimik wajah.

Murray (2007) menyebut setidaknya 12 jenis kekerasan

yang masuk kategori kekerasan verbal dan emosional,

yaitu:

- Name calling (penamaan/nama panggilan)

Contoh dari name calling ini seperti mengata-ngatai

pacarnya bodoh, gendut, jelek, salah, tidak ada

pria/wanita lain yang menginginkan pacarnya, orang-

orang akan muntah melihat pacarnya. Sebagian korban

yang menerima kekerasan jenis ini cenderung tidak

memiliki self-esteem yang baik, sehingga tidak bisa

membantah pasangan/pelaku dengan kalimat seperti,

“Jika saya jelek, mengepa kamu mau bersama saya

sekarang?”

- Intimidating looks (penampilan yang mengintimidasi)

Jenis kekerasan ini adalah bagaimana seseorang sengaja

menampilkan sebuah intimidasi kepada pasangannya,

bahkan tanpa perlu menyatakan hal apapun. Sebagai

contoh adalah ketika pasangan atau pacar menunjukkan

32

wajah kecewa tanpa mengatakan alasan mengapa dia

marah atau kecewa dengan pasangannya, sehingga

pihak untuk mengetahui dirinya marah atau tidak

adalah dari ekspresi wajah atau gestur yang

ditunjukkan.

- Use of pagers and cell phones (menggunakan pager

atau telepon)

Seorang pacar yang menjadikan telepon sebagai alat

agar pacarnya terus dapat menghubungi dirinya, bahkan

tidak segan untuk memberi telepon kepada pacarnya

agar alasan lebih kuat, dapat dikatakan melakukan

kekerasan emosional. Dengan menggunakan perangkat

komunikasi sebagai alat yang memampukan dirinya

untuk memeriksa keadaan pacarnya sesering mungkin,

marah ketika ada orang lain menghubungi pacarnya

karena dirasa mengganggu kebersamaan mereka, dan

selalu melihat siapa saja dan mengapa orang lain

menghubungi pacarnya, sering kali membuat

pasangannya tertekan.

- Making a boy/girl wait by the phone (membuat

pasangan sengaja menunggu telepon)

Murray bahkan mengkategorikan hal ini sebagai bentuk

kekerasan emosional. Contoh yang masuk kategori ini

adalah seperti seorang pacar yang berjanji akan

menelepon pasangannya pada jam tertentu akan tetapi

sang pacar tidak menghubungi juga sehingga

pasangannya terus menerus menunggu, membawa

33

telepon kemana saja di dalam rumah, tidak mau

menerima telepon dari temannya, dan tidak berinteraksi

dengan orang lain.

- Monopolizing a girl’s/ boy`s time (memonopoli waktu

pasangan)

Hal ini terjadi jika sampai seseorang kehabisan waktu

untuk melakukan aktivitas pribadi, aktivitas dengan

teman atau keluarganya, bahkan waktu untuk mengurus

keperluannya, hanya dikarenakan selalu “diharuskan”

untuk menghabiskan waktu bersama pacarnya.

- Making a girl`s/ boy`s feel insecure (membuat

pasangan merasa tidak aman)

Seringkali pelaku KDP terus menerus mengkritik

pasangannya, dan beralasan bahwa hal tersebut

dilakukan karena mereka sesungguhnya menyayangi

pasangannya, juga menginginkan yang terbaik untuk

pasangannya. Namun halnya demikian, hal tersebut

justru membuat pasangan mereka merasa tidak nyaman.

Ketika pasangan terus menerus dikritik, mereka akan

merasa bahwa semua yang ada pada diri mereka adalah

buruk, dan tidak ada peluang ataupun kesempatan untuk

meninggalkan pelaku KDP.

- Blaming (menyalah-nyalahkan)

Tindak kekerasan ini adalah ketika pasangan terus

melimpahkan semua kesalahan yang terjadi sebagai

perbuatan dari pasangannya, bahkan pasangan tersebut

sering mencurigai pasangannya atas perbuatan yang

34

belum tentu disaksikannya, seperti menuduhnya

melakukan perselingkuhan.

- Manipulation/making him/herself look pathetic

(manipulasi, atau memperlihatkan diri seakan

menyedihkan)

Hal ini adalah ketika seorang pasangan sengaja

mengatakan suatu hal yang konyol tentang kehidupan.

Sebagai contoh jika seseorang menyatakan bahwa

pasangannya adalah orang yang satu-satunya mengerti

dirinya sehingga dia akan bunuh diri jika tidak bersama

pasangannya lagi.

- Making threats (mengancam)

Ancaman sering kali tidak hanya berdampak kepada

pasangan namun juga kepada orang tua, dan teman dari

pasangan. Contoh ancaman adalah jika seseorang

berkata kepada pasangannya bahwa jika dia melakukan

suatu hal, dia akan melakukan sesuatu pada

pasangannya tersebut.

- Interrogating (menginterogasi)

Interograsi seringkali membuat pasangan tidak nyaman.

Seseorang yang pencemburu, posesif, suka mengatur,

cenderung terus menerus menginterogasi pacarnya

dalam setiap kesempatan. Sebagai contoh ketika

seseorang sedang pergi melakukan kegiatan, pacarnya

terus menanyai dimana dia berada, siapa sajakah yang

bersamanya, berapa laki-laki/perempuan yang

35

bersamanya, dan/atau mengapa dia tak kunjung

membalas pesan dari pacarnya.

- Humiliating her/him in public (mempermalukan

pasangan di depan umum)

Mempermalukan pasangan di depan umum atau di

depan teman-temannya sering kali menyakiti pasangan

tersebut secara emosional.

- Breaking treasured items (merusak hal-hal yang berharga

bagi pasangan)

Tindakan ini adalah ketika seseorang tidak memedulikan

perasaan atau barang-barang milik pacar/pasangan

mereka, dan menganggap bahwa merupakan suatu

kebodohan jika pasangan menangis karena hal tersebut.

ii. Kekerasan seksual

Murray (2007) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai

suatu tindakan yang meliputi pemaksaan untuk melakukan

kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka tidak

menghendakinya. Pada kasus-kasus yang pernah terjadi,

pria lebih sering melakukan tindak kekerasan jenis ini

dibandingkan perempuan (Hamby, Sugarman, & Boney-

McCoy, dalam Siagian, 2010). Menurut Murray terdapat

beberapa kategori kekerasan jenis ini, diantaranya adalah:

- Date rape (pemerkosaan pada waktu kencan)

Kekerasan ini terjadi ketika seseorang melakukan

hubungan seks tanpa seijin pasangannya atau dengan

kata lain disebut dengan pemerkosaan. Biasanya

pasangan mereka tidak mengetahui apa yang akan

dilakukan pasangannya pada saat itu.

36

- Unwanted touching (sentuhan yang tidak diinginkan)

Sentuhan yang tidak diinginkan adalah sentuhan yang

dilakukan tanpa persetujuan pasangannya, atau

sentuhan yang tidak disukai pasangannya, atau

membuat pasangannya tidak nyaman. Sentuhan ini

kerap kali terjadi di bagian dada, bokong, dan daerah-

daerah sensitif lainnya.

- Unwanted kissing (ciuman yang tidak diinginkan)

Mencium pasangannya tanpa persetujuan pasangannya

ataupun dengan paksaan dapat dikategorikan sebagai

tindakan kekerasan seksual. Hal ini dapat terjadi di area

publik maupun di tempat yang tersembunyi.

iii. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah perilaku disengaja yang

mengakibatkan pasangan terluka secara fisik. Contoh

perilaku ini adalah seperti memukul, menampar,

menendang, dan lain sebagainya. Kekerasan jenis ini tidak

hanya banyak dilakukan oleh laki-laki, banyak kasus

ditemui bahwa perempuan juga banyak melakukan jenis

kekerasan ini. Namun halnya demikian, konsekuensi fisik

yang dihasilkan mayoritas tidak berbahaya seperti yang

dilakukan laki-laki terhadap perempuan (Cantos, Neidig, &

O’Leary, 1994; Cascardi, Langhinrichsen, & Vivian, 1992;

Stets & Straus, dalam Mita, 2011).

37

b. Dampak negatif dari kekerasan dalam berpacaran

Kekerasan dalam berpacaran dalam praktiknya berdampak

negatif terutama bagi korbannya. Safitri dan Sama’I (2013)

mengulas bahwa KDP dapat berdampak secara fisik, seksual,

psikologis, maupun sosial.

Berdasarkan ulasan Safitri dan Sama’I, secara fisik,

dampak yang biasa terjadi pada korban KDP dibagi menjadi

kategori luka ringan dan luka berat. Luka ringan yang sering

terjadi antara lain adalah lebam, memar, luka, lecet, patah

tulang. Sedangkan luka berat yang terjadi sering kali

mengakibatkan cacat permanen sampai kematian. Sedangkan

secara seksual, KDP sering kali mengakibatkan trauma,

perasaan terkejut, mati rasa, disorganisasi, depresi, takut dan

cemas terkait dengan hubungan seksual.

Menurut Safitri dan Sama’I, secara psikologis, dampak

yang sering terjadi akibat KDP antara lain adalah depresi, stres,

kecemasan, sulit berkonsentrasi, kecenderungan bunuh diri,

memiliki masalah tidur, dan merasa harga dirinya rendah.

Sedangkan dampak sosial yang sering dialami oleh korban

antara lain adalah korban mulai menutup diri dari pergaulan

yang akhirnya membuat korban enggan pergi dari pasangan

yang merupakan pelaku kekerasan dalam berpacaran.

C. PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Pengambilan keputusan adalah proses pengumpulan informasi

mengenai alternatif-alternatif yang relevan dan membuat pilihan yang

sesuai (Atwater & Duffy, 2004), artinya membuat pilihan-pilihan dari

dua alternatif atau lebih (Robbins & Judge, 2007). Pembuatan

38

keputusan muncul sebagai reaksi atas sebuah masalah. Artinya ada

ketidaksesuaian antara perkara saat ini dan keadaan yang diinginkan,

yang membutuhkan pertimbangan untuk membuat beberapa tindakan

alternatif. Masalah yang dimaksud dalam hal ini adalah

ketidaksesuaian antara perkara saat ini dan keadaan yang diinginkan.

Setiap keputusan membutuhkan interpretasi dan evaluasi

informasi. Biasanya, data diperoleh dari banyak sumber dan data-data

tersebut harus disaring, diproses, dan diinterpretasikan untuk

kemudian digunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan

keputusan. Individu cenderung lebih mudah untuk mengambil

keputusan menggunakan pengalaman masa lalu dan mengambil

kesimpulan berdasarkan yang dirasa sebagai pilihan terbaik dari

sejumlah alternatif (O.H. Maclin, M.K. Maclin & Solso, 2008).

Kebanyakan dari keputusan sehari-hari diambil hanya dengan

menggunakan sedikit usaha dikarenakan oleh kebiasaan dan rutinitas

sehari-hari, misalnya seperti memutuskan hendak sarapan apa ataupun

jam berapa. Namun individu juga akan dihadapkan dengan keputusan-

keputusan penting dalam hidup seperti; pilihan untuk mengambil

sekolah medis atau hukum, berpindah pekerjaan dalam pertengahan

karir, pilihan untuk menikah, bercerai, membeli rumah, pilihan

berpartisipasi dalam pergerakan politik ataupun kampanye, bahkan

untuk melakukan aborsi dan banyak lagi. Segala bentuk keputusan

yang seperti tadi (baik yang dilakukan oleh individu dalam peran

mereka sebagai suami atau istri, pencari nafkah atau pembuatan

kebijakan eksekutif) menimbulkan proliferasi (pertumbuhan dan

pertambahan) atau membuat munculnya cabang baru dalam keputusan.

Dalam hal itu, pembuat keputusan berkomitmen untuk garis tertentu

39

tindakan saat ia menghadapi serangkaian pilihan berikutnya selama

waktu yang relatif lama. (Simon, 1976 dalam Susilowati, 2013).

Ketika dihadapkan pada pilihan yang tidak biasa ataupun ketika

menghadapi pilihan hidup yang penting, individu akan sadar bahwa

pengambilan keputusan adalah perlu dilakukan dan menjadi sebuah

kebutuhan. Ketika keputusan yang penting dalam kehidupan harus

diambil oleh individu, maka individu akan melakukan pertimbangan

mental yang lebih berat dibandingkan ketika harus mengambil

keputusan sehari-hari yang ringan. Individu akan dihadapkan pada

pilihan yang berat dan membawanya dalam penderitaan mental yang

memaksa individu untuk mempertimbangkan setiap konsekuensi yang

akan terjadi dari pilihannya, bahkan konsekuensi yang terjadi ketika

pengambilan keputusan ditunda. Pengambilan keputusan yang diambil

individu dipengaruhi oleh seberapa yakin penguasaan individu

terhadap kontrol pada kejadian-kejadian dalam kehidupannya. Sarana

untuk menjalankan kontrol pribadi atau penguasaan diri adalah melalui

keputusan-keputusan yang dibuat, pilihan-pilihan dasar dalam

kehidupan setiap hari (Atwater & Duffy, 2004).

Dalam pengambilan keputusan terdapat cara yang terburu-buru.

Hal tersebut biasa dilakukan untuk segera menyelesaikan proses

pengambilan keputusan. Cara yang terburu-buru dalam pengambilan

keputusan memiliki resiko tersendiri. Resikonya adalah kemungkinan

bahwa keputusan yang diambil merupakan “keputusan yang buruk”

dan semakin membesar. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengambilan

keputusan yang dilakukan dengan cepat belum tentu diikuti dengan

hasil yang tepat. Penelitian menunjukan bahwa individu yang

tampaknya menunda-nunda pengambilan keputusan sebenarnya lebih

40

sistematis dan mencari lebih banyak informasi sebelum mereka

membuat keputusan. Sikap menunda dalam konteks untuk lebih

memberikan perhatian kepada masalah bukanlah sesuatu yang buruk

(Ferrari & Dovidio, 2000 dalam Atwater & Duffy, 2004).

1. Tahapan Proses Pengambilan Keputusan

Beberapa Psikolog telah merumuskan sebuah sistem guna

membuat keputusan yang bijaksana. Festinger (1964, dalam

Susilowati, 2013) menyatakan bahwa sebagian besar analisa dari

pengambilan keputusan pribadi membedakan dua fase utama di

dalam proses pengambilan keputusan, yaitu: periode sebelum

pengumuman keputusan dan periode yang mengikutinya. Tetapi

ketika orang mengadopsi haluan baru dari tindakan, biasanya

mereka melalui lebih dari dua tahap yang berbeda.

a. Tahapan proses pengambilan keputusan menurut Atwater

dan Duffy (2004)

i. Menghadapi tantangan

Tahap dimana individu menyadari masalah ataupun

tantangan apa itu, berjaga-jaga tentang baik dan buruknya

resiko dari menyederhanakan masalah, efek jika individu

tidak melakukan apapun, tidak berubah dan tidak

memutuskan sesuatu.

ii. Mencari alternatif-alternatif

Yang paling dibutuhkan dalam tahap ini dari individu

adalah sikap yang terbuka dan penuh kefleksibelan atau

mampu dengan mudah menyesuaikan keadaan dengan cara

memperhatikan informasi tentang segala alternatif yang

mungkin, yang nyata/jelas atau tidak.

41

iii. Mengevaluasi alternatif-alternatif

Tahap selanjutanya adalah tahap dimana individu kemudian

mengevaluasi segala pilihan dan memperhatikan praktek

serta konsekuensi yang harus ditempuh. Misalnya tentang

berbagai macam resiko, biaya atau harga yang harus

dikeluarkan, dan kemungkinan-kemungkinan dari

sebaliknya

iv. Membuat komitmen

Biasanya individu akan memilih alternatif yang

memberikan keuntungan maksimal dengan harga atau

usaha yang minimal. Dalam tahap ini individu harus

mampu mengimplementasikan alternatif terbaik yang dia

pilih. Dalam tahap ini, setelah berhak untuk

mempertimbangkan, individu harus mampu untuk

bertindak atas keputusan tersebut.

v. Menilai keputusan yang telah diambil

Setelah individu bertindak atas keputusan yang diambilnya,

individu dapat belajar tentang kemampuan

pembuatan/pengambilan keputusan dengan cara menilai

kualitas, hasil dan konsekuensi dari keputusan yang

diambil.

b. Tahapan proses pengambilan keputusan menurut Janis

dan Mann (1976)

i. Menilai tantangan

Sampai individu tertantang oleh informasi yang

mengganggu atau kejadian yang menarik perhatiannya

terhadap kerugian nyata yang segera bisa terjadi, individu

42

akan cenderung mempertahankan sikap puas terhadap

tindakan apapun (atau tidak bertindak) yang telah dia kejar.

Terkenanya individu oleh ancaman atau peluang yang

efektif, menandai dimulainya pengambilan keputusan.

Informasi yang menantang menghasilkan krisis pribadi jika

indiividu mulai meragukan kebijakan dari dijalannya hal

tersebut. Sekali individu pengambil keputusan memberikan

respon positif pada pertanyaan kunci, dia akan mulai

mencari alternatif-alternatif. Pertanyaan kunci dalam tahap

ini adalah apakah resikonya serius jika individu tidak

mengambil keputusan.

ii. Meninjau alternatif-alternatif

Setelah kepercayaan diri seseorang dalam hasratnya pada

kebijakan lamanya terguncang oleh informasi yang

mengandung tantangan, individu kemudian cenderung lebih

memusatkan perhatian terhadap satu alternatif atau lebih.

Setelah mendapat tantangan, individu mulai mencari dalam

benak, alternatif-alternatif tindakan dan untuk mencari

saran dan informasi dari individu lain mengenai bagaimana

cara mengatasi masalah tersebut. Pertanyaan kuncinya

dalam tahap ini adalah apakah alternatif (menonjol) yang

dimiliki dapat digunakan sebagai cara untuk mengatasi

tantangan/masalahmya, dan apakah individu sudah cukup

meninjau alternatif-alternatif yang tersedia.

iii. Menimbang alternatif yang lebih berat

Individu dalam tahap ini berpores pada pencarian dan

evaluasi yang lebih menyeluruh, teliti, fokus kepada pro

43

dan kontra dari setiap alternatif yang bertahan dalam usaha

untuk memilih tindakan terbaik yang tersedia. Pertanyaan

kunci dalam tahap ini adalah alternatif manakah yang

terbaik, apakah alternatif tersebut dapat memenuhi syarat-

syarat penting dalam mengatasi masalah.

iv. Berunding tentang komitmen

Setelah memberitahu dirinya sendiri bahwa individu akan

memakai rencana yang baru dalam tindakan, individu mulai

mulai membicarakan tentang pelaksanaan dan

menyampaikan niatnya kepada orang lain. Individu sadar

bahwa cepat atau lambat, orang-orang terkait akan tahu

tentang hal tersebut. Sebagai pengambil keputusan yang

waspada, individu cenderung kuatir terhadap kemumgkinan

tidak diterimanya dia atau keputusan yang diambil yang

mungkin tidak dipikirkan sebelumnya. Pertanyaan kunci

dalam tahap ini adalah, haruskah individu

mengimplementasikan alternatif terbaik yang dia pilih

tersebut dan membiarkan orang lain mengetahui

pilihannya.

v. Mengikutinya meskipun tanggapan negatif

Beberapa keputusan yang diambil ada yang melalui

periode-periode menyenangkan dimana individu senang

terhadap keputusan yang dia ambil dan diimplementasikan

tanpa ada penyesalan ataupun keraguan. Namun yang

menarik adalah ketika terdapat juga setelah keputusan

diambil diinterupsi dengan kendala-kendala baru. Tahap

ke-5 ini menjadi setara dengan tahap pertama, dalam artian

44

kejadian yang tidak disukai atau komunikasi yang

kemudian mendatangkan tanggapan negatif, sangat

berpotensi untuk menjadi tantangan baru untuk mengambil

keputusan yang baru, sehingga tahapan yang sebelumnya

bisa terulang kembali. Dalam tahap ini individu

mempertimbangkan untuk mengubah keputusan atau tidak

terkait tanggapan yang diterima. Pertanyaan kunci pada

tahap ini adalah, apakah resikonya serius jika individu tidak

merubah keputusan/pilihan, dan apakah resikonya serius

jika individu merubah keputusan/pilihan.

2. Elemen Kritis dalam Proses Pengambilan Keputusan

Dalam proses pengambilan keputusan, terdapat elemen-elemen

kritis yang harus diwaspadai guna pengambilan keputusan yang

tepat dan sesuai kebutuhan. Elemen-elemen kritis tersebut

diantaranya adalah pengolahan data atau informasi, dan

postdecisional regret atau perasaan menyesal pasca pengambilan

keputusan.

a. Pengolahan data (informasi)

Dalam proses pengambilan keputusannya, individu perlu

untuk mencari sumber-sumber informasi, mengambil waktu

untuk mengetahui dan mengertinya, dan berbicara kepada

orang-orang yang bisa membantu. Hal tersebut menjadikan

tahap ini fase yang penting bagi proses pengambilan keputusan

itu sendiri.

Janis dan Mann (1979, dalam Susilowati, 2013) menulis

bahwa elemen kritis dalam proses pengambilan keputusan

adalah bagaimana proses pengolahan data yang hebat.

45

Mengumpulkan informasi dianggap sebagai suatu kegiatan

yang memakan waktu dan energi, mengganggu rutinitas dan

membangun tekanan serta konflik, sehingga bisa menjadikan

hal tersebut bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk

dilakukan. Namun demikian individu akan terus mencari

informasi baru jika mengharapkan manfaat besar dari

keputusan yang diambil. Sehingga usaha yang dikeluarkan

dalam proses pencarian informasi sebanding dengan manfaat

dari keputusan yang diambil nantinya.

Dikarenakan pengumpulan ataupun pengolahan informasi-

informasi pendukung untuk pengambilan keputusan terkadang

bukanlah proses yang menyenangkan, sebagian dari keputusan

yang diambil oleh individu dilakukan dengan pencarian

ataupun pengolahan informasi yang kurang. Sangat mudah bagi

individu untuk menggunakan jalan pintas dalam pengambilan

keputusan, terutama jika individu sedang terdesak, terburu-

buru, sibuk ataupun ketika individu sedang dalam kondisi

kelelahan.

Beberapa individu cenderung untuk mencari informasi

melalui media seperti televisi, internet ataupun koran. Namun

media masa seperti tadi justru bisa membuat individu salah

dalam mengambil keputusan dikarenakan apa yang disuguhkan

adalah sesuatu yang kurang representatif terhadap dunia nyata

atau keadaan sehari-hari. Sehingga sesungguhnya lebih baik

bagi individu untuk mengumpulkan informasi dari berbagai

variasi sumber yang mungkin untuk dikombinasikan sehingga

menghasilkan keputusan yang lebih realistik dan penuh

46

informasi (Anastasio, Rose, dan Chapman, 1999 dalam

Atwater dan Duffy, 2004).

b. Postdesicional regret (perasaan menyesal pasca

pengambilan keputusan)

Elemen lain dalam pembuatan keputusan yang juga penting

adalah postdecisional regret atau perasaan menyesal setelah

keputusan diambil yang biasanya terjadi atas keputusan-

keputusan yang sulit. Sangat normal bagi individu untuk

merasa menyesal setelah mengambil keputusan ketika individu

kemudian merasa bahwa pilihan yang diambil adalah pilihan

yang salah ataupun pilihan yang buruk (Connolly &

Zeelenberg, 2002, dalam Atwater & Duffy, 2004).

Menurut Atwater dan Duffy (2004) penyesalan dalam

pengambilan keputusan dikontributori oleh kurang lebih dua

komponen yaitu ketika hasil yang didapat dari keputusan yang

diambil jauh dibawah dari yang diharapkan sebelumnya, dan

penyalahan atas diri sendiri (self-blame) atas keputusan buruk

yang diambil oleh individu. Lebih lanjut individu cenderung

jarang melakukan antisipasi diri untuk postdecisional regret

meskipun individu sudah memiliki pengalaman-pengalaman

mengenai postdecisional regret dari kejadian-kejadian

sebelumnya (Crawford, McConnel, Lewis dan Sherman, 2002

dalam Atwater dan Duffy, 2004). Berdasarkan beberapa hasil

penelitian, keputusan yang diambil dengan waktu

pertimbangan yang lebih singkat cenderung lebih banyak

menghasilkan penyesalan, dibandingkan dengan keputusan

yang diambil lebih lama (Gilovoch. Medvec & Husted, 1995,

47

dalam Atwater & Duffy, 2004). Penelitian lain menunjukkan

bahwa individu cenderung akan lebih mengalami penyesalan

jika dalam proses pengambilan keputusan dirinya tidak

bertindak dari pada jika dirinya bertindak (Feldman, Miyamoto

& Loftus, 1999, dalam Atwater & Duffy, 2004)

Atwater dan Duffy menjelaskan bahwa beberapa psikolog

menyebut perasaan tidak nyaman yang muncul akibat rasa

menyesal ini dengan istilah cognitive dissonance. Sebagian

individu dapat tetap hidup dengan cognitive dissonance

tersebut, terutama individu yang telah mempertimbangkan

dengan sungguh-sungguh ataupun individu yang telah berhasil

menyesuaikan diri dengan penyesalannya. Ketika perasaan

menyesal itu berhasil diatasi, individu akan lebih lagi

mempertimbangkan keputusan-keputusan yang akan diambil

berikutnya dalam kehidupan.

Melalui uraian tersebut dapat dilihat bagaimana proses

pengambilan keputusan individu terutama keputusan berat yang

menguras energi mental, biasanya melalui tahapan-tahapan atau fase-

fase teretantu. Baik Janis dan Mann, maupun Atwater dan Duffy,

dalam tahapan pengambilan keputusan yang dirumuskannya juga

mencantumkan tahap-tahap dimana tahap tersebut merupakan elemen

kritis dalam pengambilan keputusan. Kerangka proses pengambilan

keputusan beserta letak elemen kritis dalam pengambilan keputusan

dapat dilihat melalui gambar berikut:

48

D. KAJIAN PSIKOLOGI TRANSPERSONAL

Menurut Noesjirwan (2000), Psikologi Transpersonal diartikan

sebagai suatu studi terhadao potensi tertinggi umat manusia dan

dengan pengakuan, pemahaman, dan perealisasian keadaan-keadaan

kesadaran yang mempersatukan antara spiritual dan transenden.

Psikologi transpersonal secara khusus memberikan perhatian kepada

studi ilmiah yang empiris dan kepada implementasi yang bertanggung

jawab dari penemuan-penemuan yang relevan bagi pengaktualisasian

diri, transendentasi diri, kesadaran kosmis, fenomenafenomena

transendental yang terjadi pada (atau dialami oleh) perorangan-

perorangan atau sekelompok orang (Sutich, dalam Noesjirwan, 2000).

49

McWaters (1975, dalam Mujidin, 2005) sebagai salah satu tokoh

Psikologi Transpersonal menuliskan pengamatan banyaknya para

psikolog transpersonal mengakui bahwa ada banyak pengalaman

manusia yang dapat kita catat, tidak hanya merupakan pengalaman

empiris –inderawi atau kognitif-logik, tapi lebih dari itu, yaitu

pengalaman batin (spiritual). Mereka mencoba membawa realitas

spiritual ini termasuk dalam bagian domain psikologi.

Mujidin (2005) mengulas bahwa objek psikologi pada garis

besarnya lebih banyak berkutat seputar psikofisik manusia,

psikokognitif dan psikohumanistik manusia. Kecenderungan

penggalian terhadap dimensi transpersonal dari pribadi yang

“terdalam” dalam diri manusia kurang atau bahkan tidak mendapat

porsi dalam kajian psikologi pada umumnya. Mujidin juga

menambahkan pendapat Marshal (2003, dalam Mujidin, 2005)

mengenai Psikologi Transpersonal, bahwasanya Psikologi

Transpersonal sebenarnya ingin melihat potensi manusia secara utuh,

menyeluruh dan menggali potensi manusia yang terdalam, salah

satunya adalah Spiritual Question (SQ). Menurut Mujidin, Psikologi

Transpersonal berusaha melakukan penggalian dan pengembangan

manusia secara utuh sebagai pribadi, dalam segala dimensi dan

kompleksitasnya. Jangan hanya pertumbuhan sebagai realisasi yang

terfokus pada yang simpel tentang aspek fisik/emosi atau intelektual

dari pribadi dengan meninggalkan lebih banyak alam ke-dalam-an

yang tak tergali, dan karenanya tak terealisasikan. Pandangan multi

dimensi dari kemanusiaan menurut Psikologi Transpersonal

digambarkan oleh Mujidin melalui gambar berikut:

50

Gambar 2.2. Tingkat Kesadaran dan Fungsi Manusia Menurut Mujidin

Dalam diagram ini Mujidin mengulas bahwa lingkaran 1 mewakili

dimensi fisik dari energi manusia, lingkaran 2 emosi, lingkaran 3

intelektual, gambar 1,2 dan 3 mewakili kekuatan mental dari manusia

lingkaran 4 mewakili integrasi dari 1,2, dan 3 dalam proses fungsi

harmonisasi dari tingkat pribadi. Lingkaran 5 mewakili dimensi

instuisi, yang samar-samar, pengalaman cepat dari persepsi trans-

sensasi, mulai datang ke kesadaran , lingkaran 6 kemudian mewakili

dimensi psikis-spiritual, sebagai pengalaman individu yang jelas

tentang dirinya yang melebihi kesadaran sensasi, dan secara serempak

merealisasikan integrasi dengan lapangan energi yang lebih luas,

seperti kemanusiaan. Lingkaran 7 mewakili cara pribadi merasakan

pengalaman yang tertinggi, penyatuan mistik, pencerahan diri melebihi

dan bergabung dengan semuanya pada tingkat tujuh yang disebutkan

ada tingkat yang lebih jauh menyatukan pribadi dari segala dimensi

yang dialami secara serempak.

Menurut Mujidin, melalui ketujuh tingkat atau lapisan yang

disebutkan, ada lagi tingkat pengembangan potensial dimana semua

tingkat atau lapis dihayati secara simultan, maka terjadilah

Keterangan:

1. Fisik

2. Emosi

3. Intelektual

4. Integritas Personal

5. Intuisi

6. Psikis-spiritual

7. Mistik

8. Integritas Transpersonal

51

pengintregasian antara yang personal dengan yang transpersonal.

Dengan demikian spektrum/ dimensi komponen kesadaran manusia

tidak terbatas hanya psiko-fisik, psiko-kognitif dan psikohumanis,

namun ada dimensi yang lebih dalam dari sekedar itu semua, yaitu

kesadaran batin, dimensi mistis manusia dan atau lebih terkenalnya

sebagai dimensi spiritual kesadaran manusia.

1. Asumsi Dasar Psikologi Transpersonal

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, Psikologi

transpersonal dianggap telah memberikan cara pandang yang baru

mengenai manusia dan kesadarannya. Psikologi Transpersonal

dianggap revolusioner dikarenakan dalam Psikologi Transpersonal

terdapat asumsi-asumsi dasar yang berbeda dengan mazhab-

mazhab dalam psikologi sebelumnya. Asumsi-asumsi dasar

tersebut oleh Vaughan, Wittine, dan Walsh (1996, dalam Wibowo,

2008) dirumuskan ke dalam 4 buah asumsi, yaitu:

a. Asumsi Pertama

Psikologi transpersonal adalah sebuah pendekatan kepada

penyembuhan dan pertumbuhan yang melingkupi semua

tingkat spektrum identitas-prapersonal, personal, dan

transpersonal. Tahap prapersonal dimulai dalam rahim sampai

usia 3-4 tahun. Pada tahap ini, kesadaran didorong oleh

keinginan untuk bertahan hidup, memperoleh perlindungan,

dan merasa terikat. Tahap personal meliputi kesadaran diri

(sense of self) yang kohesif dan stabil. Sedang pada tahap

transpersonal, individu menjadi pribadi yang sadar tentang

kerinduannya akan pengetahuan diri yang lebih mendalam.

52

b. Asumsi kedua

Psikologi transpersonal mengakui terurainya kesadaran diri

serta pandangan dunia spiritualnya sebagai hal yang utama

dalam membentuk sifat proses. Aumsi ini merupakan ciri khas

Psikologi Transpersonal yang mengharuskan terapis psikologi

dalam terapi yang menggunakan sudut pandang ini untuk

memberikan komitmen pada orientasi spiritualnya terhadap

kehidupan.

c. Asumsi ketiga

Psikologi Transpersonal adalah proses kebangkitan atau

pencerahan (awakening) dari identitas mikro menuju identitas

makro. Psikologi transpersonal menganggap bahwa apa yang

disebut dengan spiritual emergency merupakan proses spiritual

yang akan membimbing orang menuju pertumbuhan

kepribadian yang lebih besar dan fungsi yang lebih tinggi.

d. Asumsi keempat

Psikologi Transpersonal akan membantu proses kebangkitan

atau pencerahan (awakening) dengan menggunakan teknik-

teknik yang mempertajam intuisi dan memperdalam kesadaran

personal dan transpersonal tentang diri. Kearifan dan intuisi

dibina dan dikembangkan melalui teknik-teknik seperti

meditasi, pencitraan, mimpi, dan altered state of

consciousness.

2. Konsep Dasar Psikologi Transpersonal

John Davis (dalam Syahrurrohim, 2013) merumuskan 6

konsep dasar dalam kajian Psikologi Transpersonal, yaitu:

53

a. Pengalaman puncak

Pengalaman puncak, yakni istilah yang mula-mula dipakai

oleh maslow. Ia bermaksud meneliti pengalaman mistikal serta

pengalaman-pengalaman lain pada keadaan kesehatan

psikologis yang optimal, tetapi ia merasa bahwa konotasi-

konotasi keagamaan dan spiritual akan terlalu membatasi. Oleh

karena itu mulai menggunakan pengalaman puncak sebagai

istilah yang netral. Penelitian tentang pengalaman puncak telah

mengidentifikasi frekuensi, factor-faktor pemicu, factor-faktor

psikososial, yang berkaitan dengannya, dan konsekuensi dari

pengalaman puncak.

b. Transendensi diri

Transendensi diri, yakni keadaan yang disitu rasa tentang

diri meluas melalui defenisi-defenisi sehari-hari dan citra-citra

diri kepribadian individual bersangkutan. Transendensi diri

mengacu langsung akan suatu koneksi, harmoni atau kesatuan

yang mendasar dengan orang lain dan dengan alam semesta.

c. Kesehatan optimal

Kesehatan optimal, yang melampaui apa yang

dimungkinkan dalam pendekatan-pendekatan lain dalam

psikologi. Kesehatan jiwa biasanya dilihat sebagai penanganan

yang memadai dari tuntutan-tuntutan lingkungan dan

pemecahan konflik-konflik pribadi, namun pandangan

psikologi transpersonal juga memasukan kesadaran, pemhaman

diri, dan pemenuhan diri.

54

d. Kedaruratan spiritual

Kedaruratan spiritual, yakni suatu pengalaman yang

mengganggu yang disebabkan oleh suatu pengalaman (atau

‘kebangkitan”) spiritual. Pada umumnya, psikologi

transpersonal berpendapat bahwa krisis-krisis psikologis dapat

menjadi bagian dari suatu kebangkitan yang sehat dan bahwa

kejadian-kejadian itu tidak selalu merupakan tanda-tanda

psikopatologi.

e. Spektrum perkembangan

Spektrum perkembangan, yakni suatu pengertian yang

memasukkan banyak konsep psikologi dan filsafat kedalam

kerangka transpersonal. Secara filosofis, model ini adalah

contoh dari filsafat perennial. Pandangan ini mengisyaratkan

adanya tingkatan-tingkatan realitas dari tingkat material

melalui tingkat yang berturutan mencakup sifat-sifat dari

tingkat-tingkat sebelumnya bersama-sama sifat-sifat yang

muncul.

f. Meditasi

Meditasi, yakni berbagai praktek untuk memusatkan atau

menenangkan proses-proses mental dan memupuk keadaan

transpersonal. Sama seperti conditioning merupakan metode

kunci dalam behaviorisme, interprestasi serta katarsis

merupakan metode kunci dalam psikoanalisa, maka meditasi

adalah metode kunci bagi metode psikologi transpersonal.

55

3. Pengambilan Keputusan dalam Kajian Psikologi

Transpersonal

Menurut John Davis (2003), Psikologi Transpersonal adalah

ilmu yang menghubungkan psikologi dengan spiritualitas. Davis

mengungkap bahwa Psikologi Transpersonal merupakan salah satu

bidang psikologi yang mengintegrasikan konsep, teori dan metode

psikologi dengan kekayaan-kekayaan spiritual dari bermacam-

macam budaya dan agama secara disiplin ilmu maupun praktiknya.

Berdasarkan uraian Davis, nama Psikologi Transpersonal diberikan

bagi kekuatan yang baru timbul dalam bidang psikologi, dibentuk

oleh sejumlah psikolog dan ahli-ahli bidang lain yang mempunyai

perhatian terhadap kemampuan-kemampuan dan kesanggupan-

kesanggupan tertinggi manusia yang selama ini tidak dipelajari

secara sistematis oleh aliran behavioristik, psikoanalisis klasik,

maupun oleh psikologi humanistik.

Sedangkan menurut Noesjirwan (2000, dalam Mujidin, 2005)

Psikologi Transpersonal adalah suatu studi terhadap potensi

tertinggi umat manusia dan dengan pengakuan, pemahaman,

perealisasian keadaan-keadaan kesadaran yang mempersatukan

antara spiritual dan transenden. Transenden sendiri dapat diartikan

sebagai cara berpikir mengenai hal-hal yang melampaui apa yang

terlihat manusia, yang dapat di temukan oleh semesta (Bagus,

1996). Sebagai contoh adalah pemikiran yang memelajari Tuhan

yang dianggap begitu jauh, berjarak dan mustahil untuk

sepenuhnya dipahami oleh manusia.

Davis berpendapat bahwa konsep-konsep inti dari kajian

Psikologi Transpersonal adalah nondualitas, transendensi diri, dan

56

pengoptimalisasian perkembangan manusia dan kesehatan mental.

Dari konsep-konsep tersebut, konsep yang mendasari kajian

Psikologi Transpersonal adalah nondualitas mencakup

pengetahuan bahwa tiap-tiap bagian (misal: tiap-tiap manusia)

pada dasarnya dan pada akhirnya adalah bagian dari keseluruhan

alam semesta, penyatuan kosmis dimana segala-galanya dipandang

sebagai satu kesatuan. Konsep transendensi diri yang dapat

diartikan sebagai suatu gerak yang melampaui apa yang telah

dicapai, suatu gerak dari yang kurang baik menjadi baik dan dari

yang baik menjadi lebih baik (Lonergan, 1975, dalam Perry, 2004).

Dalam kesehariannya, masyarakat Indonesia secara sadar

maupun tidak sangat kental bersentuhan langsung dengan ranah

yang dikaji dalam Psikologi transpersonal. Masyarakat Indonesia

yang beragama (baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, maupun agama

lainnya) sangat akrab dengan dunia yang oleh psikolog barat

disebut “transpersonal“ manusia (Mujidin, 2005). Dasar negara

yang paling utama dan pertama di negara Indonesia sendiri

sekalipun (salah satunya digambarkan dengan sila pertama

pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa”), dengan jelas

menggambarkan betapa akrabnya masyarakat Indonesia terhadap

ranah yang dikaji dalam Psikologi Transpersonal.

Dalam kehidupan sehari-harinya, praktek-praktek metafisik

banyak ditemui di Indonesia. Praktik-prakteik yang diulas dalam

kajian Psikologi Transpersonal, seperti do’a, meditasi, semedi,

intuisi, dan lain sebagainya akrab dan sering kali digunakan dalam

berbagai aktifitas masyarakat sehari-hari, tidak terkecuali dalam

pengambilan keputusan. Terkait dengan pengambilan keputusan

57

Jung (dalam Frager & Fadiman, 2005), salah satu tokoh pioneer

Psikologi Transpersonal dalam teori fungsi jiwa-nya juga

mengulas bahwa dalam membentuk penilaian dan pengambilan

keputusan individu cenderung menggunakan “thinking”

(pemikiran) dan “feeling” (perasaan). Thinking berkaitan dengan

kebenaran objektif, penilaian, dan analisis impersonal. Sedangkan

feeling fokus pada nilai, yang di dalamnya bisa berupa penilaian

terhadap apa yang baik dan buruk, apa yang benar dan apa yang

salah (sebagai lawan dari pengambilan keputusan yang didasarkan

oleh kriteria-kriteria logis atau efisiensi yang ada pada “thinking”).

Selain itu, Jung juga menyinggung mengenai “sensation”

(pengindraan) dan “intuition” (intuisi) yang secara bersama-sama

sebagai cara untuk mengumpulkan informasi, sebagai bagian

dalam tahap pengambilan keputusan.

Keempat fungsi jiwa yang dikemukakan oleh Jung tersebut

sangat lekat kaitannya dengan ranah transenden. Kerap kali kita

temui bagaimana mayoritas dari kita dalam berpikir, merasa,

menginderai, bahkan dalam berintuisi yang senantiasa dilibatkan

dalam bagaimana manusia mengambil keputusan pada praktiknya

kerap kali melibatkan sesuatu yang diluar batas inderawi kita

seperti Tuhan. Seperti yang telah diulas pada latar belakang, pada

keputusan-keputusan krusial dalam kehidupan kita, kita kerap kali

melakukan perenungan, berdoa, bahkan memohon petunjuk dari

sosok transenden dalam kehidupan kita. Bagaimana hal spiritual

ataupun transenden ini terlibat dalam kehidupan kita juga termasuk

dalam pengambilan keputusan adalah suatu hal yang sangat

menarik untuk dipelajari.

58

E. PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERPISAH PADA

PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM

BERPACARAN MELALUI KAJIAN PSIKOLOGI

TRANSPERSONAL

Berdasarkan uraian ragam teori terkait penelitian ini, maka peneliti

dapat merumuskan sebuah kerangka pemikiran. Kerangka pemikiran

tersebut mencakup konstruksi sosial perempuan dan laki-laki yang

kemudian melatar belakangi gambaran bentuk relasi khusus yang biasa

terjadi di masyarakat, konsep cinta dan pacaran, proses pengambilan

keputusan individu terutama terkait keputusan yang berat, kajian

psikologi transpersonal, dan bagaimana pengambilan keputusan

tersebut ditinjau dalam kajian psikologi transpersonal. Kerangka

pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat galam gambar berikut: