bab ii tinjauan pustaka -...

19
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Frekuensi Merokok 1. Definisi frekuensi Frekuensi berasal dari bahasa Inggris ‘frequency’ berarti kekerapan, keseimbangan, keseringan, atau jarang- kerap. Smet (1994) mengatakan bahwa frekuensi adalah sering tidaknya suatu perilaku itu muncul. Dalam Wikipedia (2013), frekuensi adalah jumlah putaran ulang per peristiwa dalam satuan waktu yang diberikan. 2. Definisi merokok Merokok adalah menghisap asap tembakau yang dibakar ke dalam tubuh dan menghembuskannya kembali ke luar (Amstrong, 1990). Pendapat lain menyatakan bahwa merokok adalah sesuatu yang dilakukan seseorang berupa membakar tembakau dan menghisap asapnya, serta dapat menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang-orang di sekitarnya (Levy, 1984). Menurut Oskamp (dalam Susmiati, 2003), perilaku merokok adalah kegiatan menghisap asap tembakau yang telah menjadi cerutu kemudian disulut api. Sedangkan Husaini (2006)

Upload: buianh

Post on 19-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Frekuensi Merokok

1. Definisi frekuensi

Frekuensi berasal dari bahasa Inggris ‘frequency’

berarti kekerapan, keseimbangan, keseringan, atau jarang-

kerap. Smet (1994) mengatakan bahwa frekuensi adalah

sering tidaknya suatu perilaku itu muncul. Dalam

Wikipedia (2013), frekuensi adalah jumlah putaran ulang

per peristiwa dalam satuan waktu yang diberikan.

2. Definisi merokok

Merokok adalah menghisap asap tembakau yang

dibakar ke dalam tubuh dan menghembuskannya kembali

ke luar (Amstrong, 1990). Pendapat lain menyatakan bahwa

merokok adalah sesuatu yang dilakukan seseorang berupa

membakar tembakau dan menghisap asapnya, serta dapat

menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang-orang di

sekitarnya (Levy, 1984). Menurut Oskamp (dalam

Susmiati, 2003), perilaku merokok adalah kegiatan

menghisap asap tembakau yang telah menjadi cerutu

kemudian disulut api. Sedangkan Husaini (2006)

10

berpendapat bahwa merokok berarti membakar tembakau

dan daun tar, dan menghisap asap yang dihasilkannya.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa merokok adalah kegiatan membakar

tembakau yang telah digulung menjadi lintingan rokok,

kemudian menghisap asapnya, dan dihembuskan kembali

ke luar.

3. Definisi frekuensi merokok

Frekuensi merokok (Smet, 1994) adalah jumlah rokok

yang dihisap dalam satuan batang per hari. Dari frekuensi

merokok seseorang dapat diketahui perilaku merokoknya

yang sebenarnya.

4. Tipe perokok

Smet (1994) membagi perilaku merokok dalam 3 (tiga)

tipe, yaitu :

a. Perokok berat, menghisap lebih dari 15 batang

rokok dalam sehari.

b. Perokok sedang, menghisap 5-14 batang rokok

sehari.

c. Perokok ringan, menghisap 1- 4 batang rokok dalam

sehari.

11

5. Tahap dalam perilaku merokok

Laventhal dan Clearly (dalam Komalasari dan Helmi,

2002), mengungkap 4 tahap dalam perilaku merokok

sehingga menjadi perokok, yaitu :

a. Tahap Persiapan

Seseorang mendapatkan gambaran yang

menyenangkan tentang merokok dengan cara

mendengar, melihat dari orang tua, media massa atau

dari hasil bacaan. Hal-hal ini menimbulkan minat

untuk merokok.

b. Tahap Permulaan

Seseorang sudah mencoba untuk merokok. Tahap

ini juga disebut perintisan merokok, yaitu tahap

apakah seseorang akan meneruskan merokok atau

tidak.

c. Tahap Menjadi Seorang Perokok

Apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok

sebanyak empat batang per hari maka ia mempunyai

kecenderungan untuk menjadi perokok.

d. Tahap Mempertahankan Perilaku Merokok

Tahap ini merokok sudah menjadi salah satu

bagian dari cara pengaturan diri (self regulating).

Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis

yang menyenangkan.

12

6. Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku merokok

Menurut Mu’tadin (2002) ada beberapa penyebab

remaja merokok, antara lain :

a. Pengaruh Orang Tua

Perilaku merokok lebih banyak didapati pada

mereka yang tinggal dengan satu orang tua (single

parent). Remaja berperilaku merokok apabila ibu

mereka merokok daripada ayah yang merokok. Hal

ini lebih terlihat pada remaja putri.

b. Pengaruh Teman

Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin

banyak remaja merokok maka semakin besar

kemungkinan teman-temannya adalah perokok, dan

sebaliknya. Ada dua kemungkinan yang terjadi dari

fakta tersebut, pertama remaja tersebut terpengaruh

oleh teman-temannya atau sebaliknya. Di antara

remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurang-

kurangnya satu atau lebih sahabat yang perokok,

begitu pula dengan remaja non perokok.

c. Faktor Kepribadian

Orang mencoba untuk merokok karena alasan

ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari rasa sakit

dan kebosanan.

13

d. Pengaruh Iklan

Melihat iklan di media massa dan elektronik

yang menampilkan gambaran bahwa merokok

melambangkan kejantanan dan glamour, membuat

remaja seringkali terpicu untuk berperilaku seperti

yang ada dalam iklan tersebut.

Samrotul Fikriyah, (2012) melakukan penelitian

mengenai faktor yang memengaruhi perilaku merokok pada

mahasiswa di STIEKES Baptis Kediri pada tahun 2012.

Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa dari berbagi

faktor yang diuji, faktor psikologis adalah yang paling

memengaruhi perilaku merokok. Aspek yang muncul

dalam fakor psikologis ini adalah rasa rendah diri,

hubungan antar perorangan yang jelek, kurang mampu

mengatasi stres, putus sekolah, sosial ekonomi yang rendah,

tingkat pendidikan orang tua yang rendah, dan tahun-tahun

transisi antara sekolah dasar dan sekolah menengah (usia

11-16 tahun).

Penelitian lain mengenai perilaku merokok pernah

dilakukan oleh Veselska, at, al pada tahun 2009 di

Slovakia. Penelitian mengenai hubungan antara self esteem

dengan awal mula pengonsumsian rokok dan ganja ini

mendapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara self

esteem dengan awal mula dan keberlanjutan

14

pengonsumsian rokok dan ganja pada remaja. Remaja yang

berperilaku merokok mempunyai kaitan yang erat dengan

self esteem yang rendah.

Dapat disimpulkan bahwa, ada banyak faktor yang

memengaruhi remaja untuk merokok. Di antaranya,

pengaruh orang tua, kepribadian, teman sebaya, lingkungan

sosial, faktor psikologis, dan self esteem.

B. Self Esteem

1. Definisi self esteem

Self Esteem adalah hasil evaluasi individu terhadap

dirinya sendiri yang merupakan sikap penerimaan atau

penolakan, serta menunjukkan seberapa besar individu

percaya pada dirinya, merasa mampu, berarti, berhasil, dan

berharga (Coppersmith, 1967) dengan menganalisa

seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya (Stuart dan

Sundeen, 1998). Evaluasi diartikan sebagai penilaian yang

positif atau negatif yang dihubungkan dengan konsep diri

seseorang terhadap dirinya sendiri secara positif, namun

juga sebaliknya dapat menghargai secara negatif.

Heatherton dan Polivy (1991) mengatakan self esteem

adalah suatu tingkah laku evaluasi diri sendiri sebagai

realisasi kepercayaan pribadi yang mencakup keahlian,

kemampuan, dan relasi sosial, dengan komponen berupa

performance, social, dan physical. Klass dan Hodge, 1978

15

(dalam Ghufron, 2010) mengatakan self esteem adalah hasil

evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu, yang

diperoleh dari interaksi individu dengan lingkungan,

penerimaan, penghargaan, dan perlakuan orang lain

terhadap individu tersebut. Santrock (2003) mengatakan

self esteem merupakan dimensi evaluatif yang menyeluruh

dari diri.

Berdasarkan definisi beberapa tokoh di atas, dapat

disimpulkan bahwa self esteem adalah suatu penilaian

subyektif yang dibuat individu sebagai hasil evaluasi diri

sendiri yang mencakup komponen performance, social, dan

physical (Heatherton dan Polivy, 1991). Hasil evaluasi

tersebut tercermin dalam sikap positif atau negatif, dengan

mengekspresikan suatu sikap setuju atau tidak setuju yang

berasal dari berbagai sumber, baik internal maupun

eksternal diri. Penilaian tersebut selanjutnya akan

menentukan penghargaan dan penerimaan individu atas

dirinya, hal inilah yang akan kemudian menunjukkan

tingkatan self esteem seseorang.

16

2. Komponen self esteem

Menurut Heatherton dan Polivy (1991), ada tiga

komponen dalam konsep self esteem :

a. Performance

Performance mengacu pada evaluasi kemampuan

umum yang dimiliki individu, antara lain kapasitas

mengatur diri, keyakinan diri, dan kemampuan

intelektual.

b. Social

Social self esteem mengacu pada bagaimana

individu mengevaluasi bahwa orang lain bisa

menerima dirinya. Apabila orang-orang di

sekelilingnya menunjukkan sikap menghargai dan

menghormati terhadap individu, maka individu akan

menunjukkan tingkat self esteem yang tinggi.

Individu yang mempunyai social self esteem yang

rendah akan mengalami kecemasan sosial dan akan

merasa khawatir tentang penilaian orang lain terhadap

dirinya.

c. Physical

Evaluasi pandangan individu mengenai bentuk

tubuhnya, termasuk diantaranya ketertarikan fisik,

bentuk tubuh, dan citra tubuh.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam

penelitian ini menggunakan komponen self esteem

17

yang dikemukakan oleh Heatherton dan Polivy (1991),

yaitu Performance, Social, dan Physical.

3. Faktor-faktor yang memengaruhi self esteem

Menurut Coopesmith (1967), faktor-faktor yang

berperan pada tinggi rendahnya self esteem antara lain :

a. Jenis Kelamin

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

remaja putri mudah terkena gangguan citra diri

dibandingkan dengan remaja putra. Secara khusus,

harga diri remaja putri rendah, tingkat kesadaran diri

mereka tinggi dan citra diri mereka mudah

terganggu dibandingkan dengan remaja putra

(Rosenberg dan Simmons, dalam Sternberg, 1999).

Sebagai contoh, remaja putri lebih mudah sensitif

tentang diri mereka, merasa khawatir dengan

kemampuan mereka, menerima kekurangan diri, dan

peka terhadap penilaian orang lain. Hal ini karena

remaja putri peduli dengan dirinya, agar dapat

diterima dalam kelompok (Sternberg, 1999).

b. Inteligensi

Individu dengan self esteem yang tinggi akan

mencapai prestasi akademik yang tinggi daripada

individu dengan self esteem yang rendah. Individu

dengan self esteem yang tinggi memiliki skor

18

inteligensi yang relatif baik, taraf aspirasi yang baik,

dan selalu berusaha keras.

c. Kondisi Fisik

Coopersmith (1967) menemukan adanya

hubungan yang konsisten antara daya tarik fisik dan

tinggi badan dengan self esteem. Individu dengan

kondisi fisik yang yang menarik cenderung

memiliki self esteem yang lebih baik dibandingkan

dengan kondisi fisik remaja yang kurang menarik.

d. Lingkungan Keluarga

Coopersmith (1967) berpendapat bahwa

perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif

dan mendidik yang demokratis akan membuat anak

mendapat self esteem yang tinggi. Orang tua yang

sering memberi hukuman dan larangan tanpa alasan

dapat menyebabkan anak merasa tidak berharga.

Mereka yang berasal dari keluarga bahagia akan

memiliki self esteem tinggi karena mengalami

perasaan nyaman yang berasal dari penerimaan,

cinta, dan tanggapan positif orang tua mereka.

Sedangkan penolakan, perasaan diacuhkan, dan

tidak dihargai membuat remaja mengalami perasaan

negatif terhadap dirinya sendiri.

19

e. Lingkungan Sosial

Klass dan Hodge, (dalam Ghufron, 2010)

berpendapat bahwa pembentukan self esteem

dimulai dari seseorang yang menyadari dirinya

berharga atau tidak. Hal ini merupakan hasil dari

proses lingkungan, penghargaan, penerimaan, dan

perlakuan orang lain kepadanya.

Berdasarkan peran-peran self esteem yang telah

diungkapkan di atas, tinggi rendahnya frekuensi

merokok pada remaja putri ditentukan oleh berbagai

macam faktor, dari lingkungan terdekatnya, yakni

lingkungan keluarga, hingga lingkungan sosial.

Penghargaan, penerimaan, dan perlakuan

lingkungan sekitar yang positif terhadap diri remaja

putri membuat ia dapat menghargai dirinya sendiri

dan merasa diterima oleh lingkungan, sehingga

perilaku-perilaku yang negatif dapat dihindari.

Sebaliknya, penghargaan, penerimaan, dan

perlakuan lingkungan yang negatif akan membuat

remaja putri merasa tidak berharga sehingga ia akan

melakukan hal-hal yang negatif agar mendapat

perhatian dari lingkungannya.

20

C. Remaja

1. Definisi remaja

Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata

adolescere (kata Latin, adolescentia yang berarti remaja)

yang berarti tumbuh, atau tumbuh menjadi dewasa

(Hurlock, 1999). Istilah adolescence, seperti yang

dipergunakan saat ini mempunyai arti yang luas mencakup

kematangan mental, emosional, dan fisik.

Piaget (dalam Hurlock, 1999) mengatakan bahwa

secara psikologis masa remaja adalah masa ketika individu

mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia saat

anak tidak merasa tidak lagi berada di bawah tingkat orang-

orang yang lebih tua, melainkan berada pada tingkatan yang

sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Remaja

juga didefinisikan sebagai suatu periode perkembangan

transisi antara masa anak-anak dan dewasa, yang diikuti

oleh perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional

(Santrock, 1998).

Sedangkan menurut Monks (1991), remaja adalah

individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sudah

mengalami peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa,

dengan pembagian 12-15 tahun adalah masa remaja awal,

15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18-21

tahun adalah masa remaja akhir. Sarwono (1994),

menyatakan definisi remaja untuk masyarakat Indonesia

21

adalah menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum

menikah.

Dari berbagai definisi remaja di atas, maka dalam

penelitian ini menggunakan subjek remaja akhir usia 18-24

tahun.

2. Ciri-ciri masa remaja

Menurut Havigrust (1961) (dalam Hurlock, 1999)

menjelaskan ciri-ciri masa remaja antara lain :

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental

yang cepat dan penting. Semua perkembangan itu

menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan

pembentukan sikap, nilai dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan ini tidak berarti terputus dengan atau

berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya.

Tetapi peralihan merupakan perpindahan dari satu

tahap perkembangan ke tahap perkembangan

berikutnya.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama

masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik.

Perubahan fisik yang terjadi dengan pesat diikuti

dengan perubahan perilaku dan sikap yang juga

22

berlangung pesat. Perubahan fisik menurun, maka

perubahan sikap dan perilaku juga akan menurun.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-

sendiri, namun masalah pada masa remaja sering

menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak

laki-laki maupun anak perempuan.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-

kanak, penyesuaian diri dengan standar kelompok

lebih penting daripada bersikap individualistis.

Penyesuaian diri dengan kelompok pada remaja

awal masih tetap penting bagi anak laki-laki dan

perempuan, namun lambat laun mereka mulai

mendambakan identitas diri, dengan kata lain ingin

menjadi pribadi yang berbeda dengan orang lain.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan

ketakutan

Anggapan stereotype budaya bahwa remaja adalah

anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat

dipercaya dan cenderung berperilaku merusak,

menyebabkan orang dewasa yang harus

membimbing dan mengawasi kehidupan remaja.

23

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan

orang lain sebagimana yang ia inginkan dan bukan

sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Semakin mendekatnya usia kematangan, para

remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan

stereotipe belasan tahun. Untuk memberikan kesan

bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai

memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan

dengan status dewasa yaitu merokok, minum

minuman keras, menggunakan obat-obatan dan

terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap

bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka

inginkan. Remaja putri dengan self esteem yang

rendah juga akan melakukan perbuatan tersebut agar

mendapat perhatian dari lingkungan sekitar.

24

D. Hubungan Antara Self Esteem dengan Frekuensi

Merokok Pada Remaja Putri

Remaja mulai merokok dikatakan Erikson (1963)

berkaitan dengan adanya krisis psikososial yang dialami

pada masa perkembangan, yaitu masa ketika mereka sedang

mencari jati dirinya. Pengaruh dari lingkungan luar sangat

mempengaruhi perilaku mereka sehari-hari, terutama dalam

perilaku merokok.

Remaja putri dengan self esteem yang tinggi

menandakan bahwa remaja putri selalu diliputi rasa percaya

diri, perasaan bisa melakukan sesuatu, dan penghargaan diri

yang positif, sehingga mereka tidak akan terpengaruh

lingkungan sekitar untuk melakukan tindakan yang negatif,

seperti merokok, karena mereka sadar bahwa perilaku

merokok dapat merusak diri ideal mereka, sehingga,

perilaku merokok dapat mereka hindari. Memiliki self

esteem tinggi dapat memberikan manfaat kepada individu

yang memilikinya, yaitu individu merasa baik tentang diri

sendiri, mampu mengatasi tantangan secara efektif dan

mampu menanggapi umpan balik yang negatif dari

lingkungan, individu juga mampu hidup di dunia sosial,

percaya bahwa lingkungannya berhak memberikan

penilaian dan menghormati mereka (Heatherton dan Polivy,

1991).

25

Sebaliknya, remaja dengan self esteem rendah

cenderung memiliki penghayatan bahwa dirinya tidak

sebaik dan seberharga orang lain sehingga seringkali

mereka merasa orang lain tidak menyukai diri mereka apa

adanya. Kondisi seperti ini membuat mereka lebih peka dan

lebih memperhatikan penerimaan dari lingkungan, sehingga

apa yang dilakukan oleh lingkungan akan berpengaruh juga

terhadap mereka, seperti merokok (Brigham, 1991).

Self esteem dijelaskan Coopersmith (1967) sebagai

penilaian yang dibuat individu tentang dirinya yang

menimbulkan perasaan mampu, berarti, berhasil dan

berharga. Penilaian diri ini selanjutnya mewarnai tingkah

laku individu dan gaya berespon dalam menghadapi suatu

stimulus atau situasi. Self esteem sebagai penilaian individu

mengenai sejauh mana dirinya sebagai orang yang mampu,

berarti, berhasil dan berharga, bersifat umum, dan relatif

menetap selama beberapa tahun. Hal ini dipertegas oleh

Lecky (1960) (dalam Marieta, 2000) bahwa penilaian diri

relatif bertahan terhadap perubahan karena adanya

kebutuhan akan keseimbangan psikologis dalam diri.

Remaja putri dengan self esteem yang tinggi mampu

menjaga dirinya untuk tidak merokok, sehingga mereka

akan mempunyai frekuensi merokok yang lebih rendah.

Dan remaja putri dengan self esteem yang rendah akan

26

mudah terpengaruh lingkungan sekitar yang merokok,

sehingga frekuensi merokok mereka akan meningkat.

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu :

ada hubungan negatif yang signifikan antara self esteem

dengan frekuensi merokok pada remaja putri perokok di

UKSW. Makin tinggi tingkat self esteem remaja putri, maka

frekuensi merokoknya akan semakin rendah. Dan semakin

rendah tingkat self esteem remaja, maka frekuensi

merokoknya akan semakin tinggi.