bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Desentralisasi Pendidikan
Sejarah pendidikan di Indonesia sampai
dengan awal tahun 2000 menunjukkan bahwa
pendidikan di Indonesia bersifat sentralisasi, segala
sesuatu di atur dari tingkat pusat dan berlaku sama
diseluruh wilayah Indonesia tanpa memperhatikan
kondisi dan situasi daerah. Segala bentuk kegiatan
penyelenggaraan pendidikan dilakukan berdasarkan
petunjuk dari pusat yang dituangkan dalam bentuk
juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk
teknis) yang harus dipedomani oleh semua sekolah
secara sama. Kurikulum yang digunakan di semua
tingkat sekolah baik SD, SMP ataupun SMA dan
SMK satu jenis, kita mengenal hanya satu kurikulum
nasional yang berlaku sama dari Sabang sampai
Merauke, daerah tidak mendapat ruang untuk
mengembangkan kurikulumnya sesuai potensi
daerah masing-masing. Segala sesuatu diatur secara
rinci oleh pemerintah pusat, pemerintah di daerah
hanya sebagai pelaksana kebijakan.
Hal sentralisasi dan desentralisasi pendidikan,
Tilaar(2002) berpendapat sebagai berikut :
kebijakan sentralisasi pendidikan telah mematikan berbagai jenis inovasi pendidikan
dan menghasilkan manusia Indonesia yang
tanpa inisiatif. Sentralisasi pendidikan tidak
2
memungkinkan lahirnya masyarakat terbuka
yang demokratis dimana setiap manusia
mempunyai kesempatan mengembangkan potensinya dan menyumbangkan sebesar-
besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.
Desentralisasi pendidikan akan melahirkan
warga negara yang inovatif, yang bisa bersaing
tetapi yang juga dapat bekerja sama membangun
suatu masyarakat yang demokratis.
Desentralisasi menurut Maddick (dalam
Kuncoro,2004) didefinisikan sebagai proses
dekonsentrasi dan devolusi. Dekonsentrasi adalah
pendelegasian wewenang atas fungsi-fungsi tertentu
kepada staf pemerintah pusat yang tinggal diluar
kantor pusat, sedangkan devolusi merupakan
penyerahan kekuasaan untuk melaksanakan fungsi-
fungsi tertentu kepada pemerintah daerah.
Pemerintah daerah pada umumnya dianggap sebagai
manifestasi struktural dari desentralisasi. Dengan
demikian desentralisasi berarti pendelegasian
wewenang dan penyerahan kekuasaan kepada
pemerintah daerah untuk melaksanakan fungsi-
fungsi tertentu. Desentralisasi adalah pendelegasian
wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan
kepada orang-orang pada level bawah (daerah).
Sentralisasi ataupun desentralisasi sebagai
suatu sistem administrasi pemerintahan, berkaitan
erat dengan proses perkembangan suatu negara.
Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 beberapa
undang-undang tentang pemerintah daerah telah
ditetapkan dan berlaku silih berganti. Pada masa
Orde Baru, dalam kerangka struktur sentralisasi
3
kekuasaan politik dan otoritas administrasi
ditetapkan Undang-undang No.5 tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang meletakkan
dasar-dasar hubungan pusat-daerah. Pasca Orde
Baru (1998 sampai sekarang) yang dikenal dengan
era Reformasi telah ditetapkan Undang-Undang
No.22tahun 1999 yang mengatur tentang Pemerintah
Daerah. Menurut UU N0. 22 tahun 1999 pasal 7
menyebutkan bahwa:
Kewenangan kabupaten dan kota mencakup
semua bidang pemerintahan yaitu pekerjaan
umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,
pertanian, perhubungan, industri dan
perdagangan, investasi, lingkungan hidup, urusan
tanah, koperasi, tenaga kerja.
Dengan demikian jelaslah bahwa kebijakan
pendidikan berada di bawah kewenangan pemerintah
kabupaten dan kota.
Fattah(2004) menyatakan bahwa:
“desentralisasi pendidikan menempatkan sekolah
sebagai institusi pendidikan yang mandiri, memiliki
otoritas dan kewenangan yang tidak lagi tergantung
pada kebijakan dari pusat”. Desentralisasi
pendidikan tidak lagi menjadikan sekolah sebagai
lembaga pendidikan yang hanya menerima instruksi
tanpa kreatifitas penyesuaian, yang dikendalikan
secara ketat sehingga tidak memiliki keleluasaan
bergerak dalam mengelola sumber daya yang
dimiliki. Dengan pengalihan wewenang dalam
keputusan dari pemerintah pusat ke tingkat sekolah
4
diharapkan sekolah menjadi lebih mandiri dan
mampu menentukan arah pengembangannya yang
sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan
masyarakatnya.
Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
sebagai daerah Otonom dalam bidang pendidikan
dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan
pemerintah meliputi hal-hal antara lain:
penetapan standar kompetensi siswa dan warga
belajar, serta pengaturan kurikulum nasional
dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta
pedoman pelaksanaannya; penetapan standar materi pelajaran pokok; penetapan persyaratan
perolehan dan penggunaan gelar akademik;
penetapan pedoman pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan; penetapan
kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar,
menengah, dan luar sekolah; pengaturan dan
pengembangan pendidikap tinggi, pendidikan
jarak jauh, serta pengaturan sekolah
internasional.
Dalam upaya menjamin mutu pendidikan nasional
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat, pemerintah telah menetapkan
Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar
isi; standar proses; standar kompetensi lulusan;
standar pendidik dan tenaga kependidikan; standar
sarana dan prasarana; standar pengelolaan; standar
pembiayaan dan standar penilaian pendidikan.
5
Standar Nasional Pendidikan menjadi dasar dalam
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan
pendidikan nasional yang bermutu.
Desentralisasi pendidikan menurut Mulyasa
(2002) memberikan kewenangan kepada sekolah dan
masyarakat setempat untuk mengelola pendidikan.
Hal ini memungkinkan adanya kerjasama yang erat
antara staf sekolah, kepala sekolah, guru dan
masyarakat dalam upaya pemerataan, efisiensi,
efektivitas, peningkatan kualitas dan produktivitas
pendidikan.
Dalam praktiknya, desentralisasi pendidikan
berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan
yang lain, karena desentralisasi di bidang pendidikan
tidak berhenti pada tingkat kabupaten/kota, tetapi
justru sampai pada sekolah sebagai ujung tombak
pelaksanaan pendidikan. Dalam penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran kurikulum yang digunakan
di setiap sekolah tidak sama antara sekolah yang
satu dengan sekolah yang lain, sekolah memiliki
kewenangan untuk menyusun sendiri kurikulumnya,
dalam hal ini dikenal dengan kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP). Desentralisasi pendidikan
diharapkan mendorong peningkatan pelayanan
pendidikan kepada masyarakat, yang akhirnya akan
menaikkan kualitas pengelolaan pendidikan di
sekolah.
6
2.2 Manajemen Berbasis Sekolah
Menurut KBBI manajemen berarti penggunaan
sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran,
basis berarti asas, dasar, berbasis mempunyai arti
menjadikan sesuatu sebagai basis, sedangkan
sekolah berarti bangunan atau lembaga untuk
belajar dan mengajar serta tempat menerima dan
memberi pelajaran, dari arti katanya maka
manajemen berbasis sekolah mempunyai arti
penggunaan sumber daya sekolah secara efektif
sebagai dasar untuk pelaksanaan proses
pembelajaran.
Menurut penjelasan atas Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional pasal 51 ayat (1) yang
dimaksud dengan manajemen berbasis
sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi
manajemen pendidikan pada satuan pendidikan,
yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan
guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam
mengelola kegiatan pendidikan. Depdikbud (dalam
Mulyasa,2002) mengemukakan bahwa ”manajemen
berbasis sekolah merupakan suatu penawaran bagi
sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih
baik dan lebih memadai bagi para peserta didik”.
Otonomi (kewenangan dan tanggung jawab) dalam
manajemen pendidikan merupakan potensi bagi
sekolah untuk meningkatkan kinerja pendidik dan
tenaga kependidikan, memberikan partisipasi
7
langsung kepada kelompok-kelompok terkait dan
meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap
pendidikan. Pemberian otonomi yang lebih besar
kepada sekolah merupakan sarana peningkatan
efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Dengan
keterlibatan kepala sekolah dan guru dalam
pengambilan keputusan-keputusan sekolah akan
mendorong rasa kepemilikan yang tinggi terhadap
sekolahnya. Dengan melibatkan masyarakat dalam
pengelolaan sekolah pemerintah akan terbantu
dalam kontrol maupun pembiayaan pendidikan.
Menurut Chapman (dalam Fattah,2004)
Manajemen Berbasis Sekolah adalah suatu
pendekatan politik yang bertujuan untuk meredisain
pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan
kepada Kepala Sekolah dan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah
yang mencakup pendidik dan tenaga kependidikan,
siswa, kepala sekolah, orang tua/wali murid dan
masyarakat. Manajemen berbasis sekolah merubah
pengambilan keputusan dengan memindahkan
otoritas dalam pengambilan keputusan dan
manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat
lokal (local stakeholders).
Sedangkan Rohiat (2010:47) memberikan arti
Manajemen Berbasis Sekolah sebagai model
pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan
dan tanggung jawab) yang lebih besar kepada
sekolah , memberikan fleksibilitas/keluwesan kepada
8
sekolah, mendorong partisipasi secara langsung dari
warga sekolah (guru,siswa, kepala sekolah,karyawan)
dan masyarakat(orang tua siswa,tokoh masyarakat,
ilmuwan,pengusaha) dan meningkatkan mutu
sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional
serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan otonomi sekolah mempunyai kewenangan
dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan sekolah
serta tuntutan masyarakat yang ada.
Karakteristik dasar MBS menurut Saud (dalam
Mulyasa, 2003) adalah pemberian otonomi yang luas
kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang
tua peserta didik yang tinggi, kepemimpinan sekolah
yang demokratis dan professional, serta adanya team
work yang tinggi dan professional.
Tujuan MBS menurut Mulyasa (2002) adalah
meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan
pendidikan. Mulyasa (2002) menjelaskan bahwa
peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan
mengelola sumber daya yang ada, partisipasi
masyarakat dan penyederhanaan birokrasi;
peningkatan mutu diperoleh antara lain melalui
partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas
pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan
profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya
sistem insentif serta disinsentif; sedangkan
peningkatan pemerataan pendidikan diperoleh
antara lain melalui peningkatan partisipasi
9
masyarakat yang mampu, sementara yang kurang
mampu menjadi tanggung jawab pemerintah. MBS
memberi peluang bagi kepala sekolah, pendidik,
tenaga kependidikan dan peserta didik untuk
melakukan pembaharuan di sekolah, yang
berhubungan dengan masalah kurikulum,
pembelajaran maupun manajerial yang tumbuh dari
aktifitas, daya kreasi dan profesionalisme yang
dimiliki.
Sejalan dengan pendapat Mulyasa, Rohiat
(2010:48) menyatakan bahwa tujuan penerapan MBS
adalah meningkatkan kinerja sekolah melalui
pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang
lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan
berdasarkan prinsip-prinsip tata pengelolaan sekolah
yang bermutu, yaitu partisipasi, transparansi dan
akuntabilitas. Kinerja sekolah sendiri meliputi
peningkatan mutu, efektivitas dan efisiensi,
produktivitas dan inovasi pendidikan.
Sedangkan menurut Fattah(2004) MBS
mempunyai tujuan agar otonomi sekolah dan
partisipasi masyarakat atau local stakeholders
mempunyai keterlibatan yang tinggi. MBS
menawarkan kebebasan kekuasaan yang besar pada
sekolah dengan tetap disertai seperangkat tanggung
jawab yang harus dipikul.
MBS adalah suatu pendekatan praktis yang
bertujuan untuk mendesain pengelolaan sekolah
dengan memberikan kekuasaan kepada kepala
10
sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam upaya memperbaiki kinerja sekolah yang
mencakup guru, kepala sekolah, staf, orang tua
siswa dan masyarakat (Fattah, 2004). Prinsip MBS
adalah menempatkan kewenangan yang bertumpu
pada sekolah dan masyarakat, menghindari format
sentralisasi dan birokratisasi, sekolah memperoleh
kewajiban, wewenang dan tanggung jawab yang
tinggi dalam meningkatkan kinerjanya. Secara
konsepsional MBS akan membawa dampak terhadap
peningkatan kinerja sekolah dalam hal mutu,efisiensi
keuangan,pemerataan kesempatan dan pencapaian
tujuan publik.
Dengan MBS sekolah diberi kesempatan untuk
menyusun kurikulum sendiri sesuai kebutuhan
masyarakat setempat. Melalui penyusunan
kurikulum rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan
setempat meningkat dan menjamin layanan
pendidikan sesuai dengan tuntutan peserta didik dan
masyarakat. Prestasi peserta didik dapat
dioptimalkan melalui peningkatan partisipasi orang
tua, kesempatan berpartisipasi dapat meningkatkan
komitmen kepada sekolah. Adanya kontrol dari
masyarakat dan monitoring dari pemerintah maka
pengelolaan sekolah lebih transparan, akuntabel dan
demokratis, serta menghapus monopoli dalam
pengelolaan pendidikan.
MBS merupakan konsep pemberdayaan
sekolah dalam rangka peningkatan mutu dan
kemandirian sekolah, diharapkan kepala sekolah,
11
guru, staf dan masyarakat setempat dapat
melaksanakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan,
perkembangan zaman, karakteristik lingkungan dan
tuntutan global. Cook dan Macaulay (dalam Mulyasa
2002) memberikan definisi pemberdayaan sebagai
alat penting untuk memperbaiki kinerja organisasi
melalui penyebaran pembuatan keputusan dan
tanggung jawab. Dalam dunia pendidikan
pemberdayaan merupakan cara yang praktis dan
produktif untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari
kepala sekolah, guru dan pegawai, dengan membagi
tanggung jawab secara proporsional kepada para
guru dan melibatkan para guru dalam proses
pengambilan keputusan dan tanggung jawab
sehingga guru memiliki rasa percaya diri.
Pemberdayaan sekolah juga ditempuh melalui
pemberdayaan peserta didik dan masyarakat
setempat. Menurut Mulyasa(2002) pemberdayaan
terjadi melalui beberapa tahap yaitu:
Pertama, masyarakat mengembangkan sebuah
kesadaran awal bahwa mereka dapat melakukan
tindakan untuk meningkatkan kehidupannya
dan memperoleh ketrampilan agar mampu bekerja lebih baik; kedua, mengalami
pengurangan perasaan ketidakmampuan dan peningkatan kepercayaan diri; ketiga tumbuhnya
ketrampilan dan kepercayaan diri, masyarakat
bekerja sama dalam pengambilan keputusan dan
memilih sumber daya yang berdampak pada
kesejahteraannya.
Keberhasilan MBS dalam rangka desentralisasi
pendidikan sedikitnya dapat dilihat dari tiga dimensi
12
yaitu efektivitas, efisiensi dan produktivitas.
Efektivitas MBS berarti bagaimana MBS berhasil
melaksanakan tugas pokok sekolah, mendorong
partisipasi masyarakat, memperoleh dan
memanfaatkan sumber daya, dana dan sumber
belajar untuk mewujudkan tujuan sekolah. Efisiensi
dapat dianalisis dari input dan out put, dan dari
proses pendidikan yang merupakan interaksi dari
faktor-faktor manusiawi dengan non manusiawi
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai
dengan waktu yang disediakan, dikatakan efisien jika
melakukan banyak proses dalam waktu yang relatif
singkat. Efisiensi biaya pendidikan dalam MBS
memberi penekanan kepada alokasi anggaran atau
penggunaan dana terhadap kegiatan belajar
mengajar secara langsung, dengan demikian
penggunaan biaya ditujukan untuk peningkatan
mutu pendidikan, dengan memprioritaskan
kebutuhan proses belajar mengajar dibanding
dengan belanja investasi lainnya. Produktivitas
dalam pendidikan berkaitan dengan keseluruhan
proses penataan dan penggunaan sumber daya
untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan
efisien.
Manfaat yang diperoleh dalam melaksanakan
MBS menurut Dadi Permadi dan Daeng Arifin (2007)
adalah :
(1) sekolah dapat mengoptimalkan sumber daya
yang tersedia untuk memajukan sekolah; (2)
sekolah lebih mengetahui input dan output
13
pendidikan yang akan dikembangkan dan
didayagunakan dalam proses pendidikan; (3)
pengambilan keputusan partisipatif yang dilakukan dapat memenuhi kebutuhan sekolah
karena tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya;
(4) penggunaan sumber daya pendidikan lebih
efisien dan efektif apabila masyarakat turut serta
mengawasi; (5) keterlibatan warga sekolah dalam
pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat; (6)
sekolah bertanggung jawab tentang mutu
pendidikan di sekolah kepada pemerintah, orang
tua, peserta didik dan masyarakat; (7) sekolah
dapat bersaing dengan sehat untuk peningkatan mutu pendidikan; (8) sekolah dapat merespon
aspirasi masyarakat yang berubah dengan
pendekatan yang tepat dan cepat.
2.3 Komite Sekolah
Komite sekolah dibentuk berdasarkan
Kepmendiknas RI Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April
2002, pasal 1 ayat 2 berbunyi:
”pada setiap satuan pendidikan atau kelompok
satuan pendidikan dibentuk komite sekolah atas prakarsa masyarakat, dewan pendidikan,
dan/atau pemerintah kabupaten/kota. BP3,
komite sekolah dan atau majelis sekolah yang
sudah ada dapat memperluas fungsi, peran dan
keanggotaan sesuai dengan acuan ini”
Sebelum komite sekolah dibentuk, di setiap
satuan pendidikan sudah terdapat BP3 (Badan
Pembantu Penyelenggara Pendidikan) yang
anggotanya terdiri atas orang tua dan masyarakat
disekitar sekolah. Badan Pembantu Penyelenggara
Pendidikan (BP3) yang ada dibentuk berdasarkan
Peraturan Pemerintah nomor 29 Tahun 1990 Pasal
14
10 ayat (2) dan Kepmen Dikbud nomor
0490/U/1992, pasal 10 ayat (1) menegaskan, bahwa
untuk membantu penyelenggaraan kegiatan
pendidikan menengah pada setiap sekolah menengah
dibentuk Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan
(BP3). Pembentukan dan pelaksanaan organisasi
tersebut secara khusus diatur dalam Kepmen
Dikbud nomor 0293/U/1993 tentang Pembentukan
Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan,
pembentukan BP3 dimaksudkan sebagai upaya
mewadahi dan meningkatkan peran serta orang tua
siswa khususnya, dan masyarakat pada umumnya
secara nyata dan terus-menerus.
Menurut Fattah (2004) BP3 belum berjalan
sesuai harapan terutama kelemahan dalam
implementasi peran dan fungsinya, hal ini
dibuktikan dengan kondisi umum yang terjadi antara
lain :
(1) BP3 dipersepsikan sebagian masyarakat sekolah terbatas pada pengumpulan dana
pendidikan dari orang tua siswa; (2) BP3 belum
langsung merumuskan, melaksanakan dan
mengevaluasi kebijakan sekolah; (3) sekolah dan
BP3 belum membangun budaya kemitraan yang khas untuk mencapai kualitas pelayanan PBM
kepada peserta didik yang bermuara pada
kualitas hasil.
Seharusnya BP3 dapat dioptimalkan sebagai
forum komunikasi antara sekolah dengan orang tua
siswa khususnya dan masyarakat, untuk
menyampaikan gagasan dan keinginan masing-
15
masing, terutama dalam upaya menciptakan saling
pengertian semua pihak yang terkait. Kegiatan BP3
merupakan prakarsa murni orang tua siswa dan
masyarakat dalam ikut serta membantu
terselenggaranya kegiatan pendidikan dan pelatihan.
Melalui lembaga BP3, sekolah dapat mengajukan
kebutuhan bantuan kepada orang tua siswa dan
masyarakat pada umumnya untuk mengatasi
masalah-masalah yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Dengan adanya Kepmendiknas RI Nomor
044/U/2002 tanggal 2 April 2002, maka disetiap
satuan pendidikan sudah tidak ada BP3 lagi dan
sebagai gantinya dibentuklah komite sekolah.
Perbedaan yang prinsip antara BP3 dan komite
sekolah adalah dalam peran dan fungsi, keanggotaan
serta pemilihan dan pembentukan kepengurusannya.
Pengertian Komite Sekolah seperti yang
terdapat dalam Kepmendiknas RI Nomor
044/U/2002 tanggal 2 April 2002 adalah sebagai
berikut :
Komite sekolah adalah badan mandiri yang
mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka
meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi
pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan,
baik pada pendidikan pra sekolah, jalur
pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan
luar sekolah.
16
Komite sekolah merupakan penyempurnaan dan
perluasan badan kemitraan dan komunikasi antara
sekolah dengan masyarakat. Badan ini bersifat
mandiri, tidak mempunyai hubungan hirarkis
dengan sekolah maupun lembaga pemerintahan.
Sekolah dan komite sekolah memiliki kemandirian
masing-masing, namun merupakan mitra yang harus
bekerja sama sejalan dengan konsep manajemen
berbasis sekolah (MBS). Hubungan antara komite
sekolah dengan satuan pendidikan, Dewan
Pendidikan Kabupaten/Kota dan institusi lainnya
yang bertanggungjawab dalam pengelolaan
pendidikan bersifat koordinatif.
Pembentukan Komite Sekolah sebagai suatu
organisasi masyarakat sekolah seperti yang tertuang
dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tanggal 2
April 2002 memiliki tujuan sebagai berikut :
(1) Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan
prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan
di satuan pendidikan; (2) Meningkatkan
tanggung jawab dan peranserta masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan
pendidikan; (3) Menciptakan suasana dan
kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan
pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.
Keanggotaan komite sekolah seperti yang
tertuang dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002
terdiri atas:(1)unsur masyarakat yang dapat berasal
dari orangtua/wali murid, tokoh masyarakat, tokoh
17
pendidikan, dunia usaha/industri, organsasi profesi/
tenaga kependidikan,wakil alumni dan wakil peserta
didik; (2) unsur dewan guru, badan pertimbangan
desa maksimal 3 orang. Jumlah anggota komite
sekolah sekurang-kurangnya 9 orang dan jumlahnya
ganjil. Komite sekolah wajib memiliki AD dan ART.
2.4 Peran komite sekolah dalam penyelenggaraan
pendidikan.
Secara harafiah kata peran berarti kapasitas,
kedudukan, posisi, fungsi,tugas, sedangkan kata
peran serta berarti keikutsertaan, keterlibatan,
kontribusi, partisipasi (Endarmoko 2006). Menurut
Cohen (dalam Karim 2012) partisipasi adalah
keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan,
pelaksanaan program, memperoleh kemanfaatan dan
mengevaluasi program.Karim(2012:104)menyebutkan
tiga pengertian pokok dalam konsep partisipasi yaitu:
(1)keterlibatan mental emosional; (2)adanya
kontribusi; dan (3)tanggung jawab. Lebih lanjut
Abdul Karim menjelaskan implementasi partisipasi
masyarakat dapat berbentuk:
Memberikan sumbangan berupa sumber daya,
yaitu tenaga dan benda yang merupakan bentuk
dari kontribusi yang disalurkan; terlibat dalam berbagai usaha penataan dan koordinasi, hal ini
menjadi wujud keikutsertaan aspek mental dan
pola pikir; serta terlibat langsung dalam
penyusunan program dan pelaksanaanya yang
merupakan bentuk dari rasa tanggung jawab
yang diterima.
18
Dari penjelasan diatas peran serta komite
sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan
merupakan partisipasi komite sekolah dalam
pelaksanaan MBS di sekolah yang melibatkan mental
emosional, kontribusi dan tanggung jawab. Peran
komite sekolah seperti yang tertuang dalam
Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April
2002 adalah sebagai berikut :
(1) pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan
pendidikan di satuan pendidikan; (2) pendukung
(supporting agency), baik yang berwujud
financial, pemikiran maupun tenaga dalam
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; (3) pengontrol (controlling agency)
dalam rangka transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di
satuan pendidikan; dan (4) mediator antara
pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan.
Peran sebagai pemberi pertimbangan (advisory
agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan
pendidikan di satuan pendidikan dijabarkan oleh
Mulyasa (2003) dan (Dadi Permadi dan Daeng Arifin,
2007) dalam kegiatan operasional sebagai berikut :
(1)bersama sekolah merumuskan dan menetapkan visi, misi, tujuan, kebijakan,
program dan kegiatan pendidikan di sekolah;
(2)memberikan pertimbangan dan masukan
dalam penyusunan kurikulum sekolah (KTSP);
(3)bersama sekolah menyusun rencana strategis
pengembangan sekolah; (4)bersama sekolah menyusun standar pelayanan di sekolah;
(5)memberi pertimbangan kepada sekolah untuk
peningkatan mutu pembelajaran dan
19
penyelenggaraan pembelajaran yang
menyenangkan; (6)memberikan masukan,
pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan dalam penyusunan, pembahasan
dan penetapan anggaran sekolah (APBS);
(7)membahas dan turut menetapkan pemberian
tambahan kesejahteraan yang diperoleh dari
masyarakat kepada kepala sekolah, tenaga guru,
tenaga administrasi sekolah; (8)bersama sekolah mengembangkan potensi kearah prestasi
unggulan, baik yang bersifat akademis maupun
non akademis (keagamaan, keolahragaan, seni,
dan ketrampilan).
Sedangkan peran sebagai pemberi
pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan
dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan
pendidikan yang terdapat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Penddikan dan Peraturan Menteri
Pendidkan Nasional RI Nomor 19 tahun 2007
tentang Standar Pengelolaan Pendidkan oleh Satuan
Pendidkan Dasar dan Menengah meliputi kegiatan
operasional sebagai berikut :
(1)memberikan pertimbangan dan masukan
dalam rangka merumuskan dan menetapkan
visi, misi dan tujuan sekolah; (2)bersama sekolah mengembangkan kurikulum kurikulum
tingkat satuan pendidikan dan silabusnya
berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan
standar kompetensi lulusan; (3)memberikan
pertimbangan dalam merumuskan dan
menetapkan rencana kerja jangka menengah (4 tahun) dan tahunan sekolah; (4)memberikan
masukan dalam merumuskan dan menetapkan
pedoman tentang struktur organisas sekolah;
(5)memberikan masukan dalam menetapkan
Tata tertib sekolah yang meliputi tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan peserta
20
didik, serta penggunaan dan pemeliharaan
sarana dan prasarana; (6)memberikan
pertimbangan dalam pemilhan buku teks pelajaran yang akan digunakan sekolah.
Peran sebagai pendukung (supporting agency)
baik yang berwujud financial, pemikiran maupun
tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan
pendidikan, dijabarkan oleh Mulyasa (2003) dan(Dadi
Permadi dan Daeng Arifin,2007) dalam kegiatan
operasional sebagai berikut :
(1)menggalang dana dari orang tua/wali murid dan masyarakat untuk pemenuhan sarana
prasarana guna meningkatkan kualitas
pelayanan dan peningkatan mutu pendidikan di sekolah; (2)mencari bantuan dana dari dunia
usaha dan industri untuk biaya pembebasan
uang sekolah bagi siswa yang tidak mampu;
(3)mengelola kontribusi masyarakat berupa
uang, tenaga, pikiran, barang dan peluang yang
diberikan kepada sekola; (4)memberikan motivasi atau penghargaan (baik berupa materi
maupun non materi); (5)memberikan otonomi
professional kepada guru dalam melaksanakan
tugas-tugas kependidikannya sesuai kaidah dan
kompetensi guru; (6)memberikan dukungan dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler;
(7)memberikan dukungan kepada sekolah untuk
secara preventif dan kuratif dalam
penyebarluasan narkoba di sekolah;
(8)mengidentifikasi berbagai permasalahan dan
memecahkannya bersama-sama pihak sekolah.
Sedangkan peran sebagai pendukung
(supporting agency) baik yang berwujud financial,
pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan
pendidikan di satuan pendidikan, seperti yang
terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19
21
tahun 2005 Tentang Standar Nasional Penddikan
dan Peraturan Menteri Pendidkan Nasional RI
Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan
Pendidkan oleh Satuan Pendidkan Dasar dan
Menengah dan Kepmendiknas Nomor 044/U/2002
meliputi kegiatan operasional sebagai berikut :
(1)pengambilan keputusan di bidang non
akademik; (2)memberikan persetujuan dalam
pelaksanaan pengelolaan sekolah yang tidak
sesuai dengan rencana kerja tahunan;
(3)membuat/memutuskan pedoman tentang pengelolaan biaya investasi dan operasional
sekolah (APBS); (4)menggalang dana masyarakat
dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan
pendidikan di sekolah.
Peran sebagai pengontrol (controlling agency)
dalam rangka transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan
pendidikan dijabarkan oleh Mulyasa (2003) dan (Dadi
Permadi dan Daeng Arifin, 2007)dalam kegiatan
operasional sebagai berikut :
(1) melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan,
dan keluaran (out put) pendidikan, dan
menyampaikan hasil kajian program sekolah kepada stakeholders secara periodik baik yang
berupa keberhasilan maupun kegagalan dalam
pencapaian tujuan dan sasaran program sekolah.; (2)mengevaluasi program sekolah
secara proporsional sesuai kesepakatan dengan
pihak sekolah, meliputi: pengawasan
penggunaan sarana dan prasarana sekolah,
pengawasan keuangan secara berkala dan berkesinambungan; (3)memantau kualitas
proses pelayanan dan hasil pendidikan
disekolah; (4)mengkaji laporan pertanggung-
22
jawaban pelaksanaan program yang
dikonsultasikan oleh kepala sekolah.
Sedangkan peran sebagai Pengontrol
(controlling agency) dalam rangka transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran
pendidikan di satuan pendidikan seperti yang
terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19
tahun 2005 Tentang Standar Nasional Penddikan
dan Peraturan Menteri Pendidkan Nasional RI
Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan
Pendidkan oleh Satuan Pendidkan Dasar dan
Menengah dijabarkan dalam kegiatan operasional
sebagai berikut :
(1)melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan pengelolaan sekolah untuk menilai
efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas sekolah;
(2)menerima laporan dari kepala sekolah yang
beris hasl evaluasi pengelolaan sekolah setiap
akhir semester; (3)menerima pertanggung-jawaban pelaksanaan pengelolaan pendidikan
dari kepala sekolah dalam rapat dengan dewan
pendidik; (4)melakukan evaluasi dan
pengawasan terhadap kebijakan, program,
penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di
satuan pendidikan.
Peran sebagai mediator antara pemerintah
(eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/
DPRD (legislatif) dengan masyarakat oleh Mulyasa
(2003) dan (Dadi Permadi dan Daeng Arifin,
2007)dalam kegiatan operasional sebagai berikut :
(1)melakukan kerja sama dengan masyarakat
baik perorangan maupun kelompok (organisas);
23
(2)membina hubungan dan kerjasama yang harmonis dengan seluruh stakeholders
pendidikan disekitar sekolah; (3)membangun
kerjasama dengan pihak luar sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan proses dan hasil pendidikanl;
(4)menampung dan menganalisis aspirasi, ide,
tuntutan dan berbagai kebutuhan pendidikan
yang diajukan oleh masyarakat; (5)menyampaikan usul atau rekomendasi kepada
pemerintah daerah untuk meningkatkan
kualitas pelayanan pendidikan sesuai dengan
kebutuhan sekolah.
Sedangkan peran sebagai mediator antara
pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah/DPRD (legislatif) dengan masyarakat seperti
yang terdapat dalam Kepmendiknas Nomor
044/U/2002 dalam kegiatan operasional sebagai
berikut :
(1) Melakukan kerjasama dengan masyarakat (Perorangan/organisasi/dunia usaha dan dunia
industri (DUDI)) dan pemerintah berkenaan
dengan penyelengaraan pendidikan bermutu;
(2)menampung dan menganalisis aspirasi, ide,
tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan
yang diajukan oleh masyarakat; (3)mendorong orang tua siswa dan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pendidikan guna
mendukung peningkatan mutu pendidikan dan
pemerataan pendidikan.
Dari penjabaran peran komite beserta kegiatan
operasionalnya, maka dalam penelitian ini peran
yang pertama sebagai badan pemberi pertimbangan
(advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan
kebijakan pendidikan di satuan pendidikan yang
dijabarkan dalam kegiatan operasional sebagai
24
berikut : (1)memberikan pertimbangan dan masukan
dalam rangka merumuskan dan menetapkan visi,
misi dan tujuan sekolah; (2)memberikan
pertimbangan dan masukan dalam penyusunan
kurikulum sekolah (KTSP); (3)memberikan
pertimbangan dalam merumuskan dan menetapkan
rencana strategis pengembangan sekolah dan
rencana kerja tahunan sekolah; (4)memberikan
masukan, pertimbangan, dan rekomendasi dalam
penyusunan, pembahasan dan penetapan anggaran
sekolah (APBS); (5)memberikan masukan dalam
merumuskan dan menetapkan pedoman tentang
struktur organisasi sekolah; (6)memberikan masukan
dalam menetapkan tata tertib sekolah yang meliputi
tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan peserta
didik; (7)memberikan masukan dalam penggunaan
dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
Peran yang kedua sebagai badan pendukung
(supporting agency) baik yang berwujud financial,
pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan
pendidikan di satuan pendidikan, yang dijabarkan
dalam kegiatan operasional sebagai berikut:
(1)melakukan penggalangan dana dari orang
tua/wali murid, masyarakat, dunia usaha dan
industri untuk pembiayaan penyelenggaraan
pendidikan di sekolah dan pemberian bantuan bagi
siswa tidak mampu; (2)mengelola kontribusi
masyarakat berupa uang, tenaga, pikiran, barang
dan peluang yang diberikan kepada sekolah;
25
(3)memberikan persetujuan dalam kegiatan sekolah
di bidang non-akademik; (4)memberikan persetujuan
dalam pelaksanaan pengelolaan sekolah yang tidak
sesuai dengan rencana kerja; (5)membuat pedoman
tentang pengelolaan biaya investasi dan operasional
sekolah; (6)memberikan motivasi atau penghargaan
(baik berupa materi maupun non materi) kepada
guru, staf dan siswa; (7)memberikan otonomi
professional kepada guru dalam melaksanakan
tugas-tugas kependidikannya sesuai kaidah dan
kompetensi guru; (8)memberikan dukungan kepada
sekolah untuk secara preventif dan kuratif dalam
penyebarluasan narkoba di sekolah;
(9)mengidentifikasi berbagai permasalahan dan
memecahkannya bersama-sama pihak sekolah.
Selanjutnya peran yang ketiga sebagai badan
pengontrol (controlling agency) dalam rangka
transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan
keluaran pendidikan di satuan pendidikan
dijabarkan dalam kegiatan operasional sebagai
berikut: (1)melakukan pemantauan terhadap
pelaksanaan pengelolaan sekolah untuk menilai
efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas sekolah,
kualitas proses pelayanan dan hasil pendidikan
disekolah;(2)melakukan pengawasan dan evaluasi
terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan
keluaran (out put) pendidikan; (3)menerima laporan
dari kepala sekolah yang beris hasil evaluasi
pengelolaan sekolah setiap akhir semester;
26
(4)menerima pertanggungjawaban pelaksanaan
pengelolaan pendidikan dari kepala sekolah dalam
rapat dengan dewan pendidik; (5)mengevaluasi
program sekolah secara proporsional meliputi:
pengawasan penggunaan sarana dan prasarana
sekolah, pengawasan keuangan secara berkala dan
berkesinambungan.
Peran yang ke empat sebagai mediator antara
pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah/DPRD(legislatif) dengan masyarakat oleh
dijabarkan dalam kegiatan operasional sebagai
berikut:(1)melakukan kerja sama dengan masyarakat
baik perorangan maupun kelompok/organisasi/
dunia usaha dan dunia industri (DUDI) dan
pemerintah berkenaan dengan penyelengaraan
pendidikan bermutu; (2)membina hubungan dan
kerjasama yang harmonis dengan seluruh
stakeholders pendidikan disekitar sekolah;
(3)menampung dan menganalisis gagasan,
pandangan, ide, usulan dan berbagai kebutuhan
pendidikan, yang diajukan oleh masyarakat;
(4)menyampaikan usul atau rekomendasi kepada
pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas
pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan
sekolah.
2.5 Hasil Penelitian
27
Penelitian yang dilakukan oleh Riyanto, (2007),
yang berjudul Peran Komite Sekolah di SD Negeri
Karanglo Kecamatan Cilongok, Kabupaten
Banyumas, menunjukkan bahwa peran komite
sekolah sebagai badan pendukung adalah dalam
kategori baik, demikian juga peran komite sekolah
sebagai mediator dalam kategori baik, sedangkan
peran komite sekolah sebagai badan pertimbangan
dan badan pengawas adalah dalam kategori sedang.
Berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan Riyanto, penelitian yang dilakukan
Armansyah(2009) dengan judul Peranan dan
Pemberdayaan Komite Sekolah dalam
Penyelenggaraan Pendidikan SMA Negeri di Kota
Binjai menunjukkan bahwa komite belum berhasil
mendapat dana dari masyarakat sekitar seperti
dunia usaha/dunia industri maupun dari
masyarakat yang peduli pendidikan, dan hanya dari
bantuan orang tua melalui iuran komite sekolah,
dan dalam pelaksanaan perannya baru sebatas
hanya pemberi pertimbangan dan pengawasan,
sedang peran sebagai pendukung dan mediator
belum sepenuhnya terlaksana.
Berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan Riyanto maupun Armansyah, penelitian
yang dilakukan oleh Hendarmoko dan Samsudin
(2008) dengan judul Efektifitas Pelaksanaan Peran
dan Fungsi Komite Sekolah pada Jenjang Sekolah
28
Menengah Pertama (SMP) Negeri dan Swasta di
Kotamadya Jakarta Selatan menunjukkan bahwa
kinerja komite sekolah dalam hal Pemberian
Pertimbangan (advisory) kurang berhasil (69,31);
dalam hal Pendukung (supporting) kurang berhasil
(67,50); dalam hal Pengontrol (controlling) kurang
berhasil (68,27) demikian juga dalam hal sebagai
Mediator kurang berhasil (62,71).
Penelitian Hendarmoko dan Samsudin sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Hapsawati Taan,
(2009) dengan judul Peranan Komite Sekolah dalm
Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan yang bertujuan
untuk mendiskripsikan peran komite sekolah sebagai
badan penasehat, pendukung, pengawasan dan
badan mediator pada SMA yang sederajat di
Kabupaten Bone Bolango Prop Gorontalo yang
menunjukkan bahwa peran komite sekolah secara
umum “tidak cukup baik”, dengan rata-rata 49,24,
peran sebagai pemberi pertimbangan adalah
47,51%, peran sebagai agen pendukung 36,67%,
peran sebagai agen pengendali 49,50%, dan peran
sebagai mediator antara pemerintah dan
masyarakat sebesar 63,26%.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Hendarmoko dan Samsudin, dan penelitian
Hapsawati Taan adalah penelitian yang dilakukan
Ariyati (2011) dengan judul Peran Komite Sekolah
Dalam Manajemen Berbasis sekolah di Sekolah
29
Dasar Gugus Maju kecamatan Secang menunjukkan
hasil bahwa komite sekolah di Sekolah Dasar Gugus
Maju Kecamatan Secang dalam melaksanakan
perannya baik sebagai badan pertimbangan, badan
pendukung, badan pengontrol maupun sebagai
mediator masih belum optimal, peran sebagai badan
pengontrol merupakan peran yang paling kurang
optimal.
Penelitian Suratman (2011) dengan judul
Perbedaan antara Peran Komite Sekolah SMP Negeri
1 Kedungjati Kabupaten Grobogan dan SMP
Muhammadiyah 13 Wonosegoro Kabupaten Boyolali
Tahun 2010 menunjukkan bahwa Komite Sekolah
SMP Negeri 1 Kedungjati Kabupaten Grobogan telah
melaksanakan perannya dengan baik sebagai badan
pertimbangan, sebagai badan pendukung telah
berhasil berhasil menggalang dana dari orang tua,
dunia usaha dan alumni sehingga kebutuhan sarana
prasarana telah memenuhi standar minimal, sebagai
badan pengontrol sudah melaksanakan pengawasan
dan evaluasi terhadap program sekolah dan sebagai
badan penghubung telah berperan sebagai
penghubung antara komite sekolah dengan
masyarakat, komite sekolah dengan sekolah, sekolah
dengan masyarakat, ataupun komite sekolah dengan
dewan pendidikan. Sedangkan Komite SMP
Muhammadiyah13 Wonosegoro belum melaksanakan
perannya sebagai badan pertimbangan, sebagai
badan pendukung belum mampu menggalang dana
30
untuk memenuhi sarana prasarana sekolah, sebagai
badan pengontrol belum melaksanakan fungsi
pengontrol dengan baik dan sebagai badan
penghubung belum sepenuhnya berperan.
Berbeda dengan penelitia-penelitian diatas,
penelitian Asrori (2008) yang berjudul Peran serta
Komite Sekolah Sebagai Badan Pengontrol
(Controlling Agency) terhadap Peningkatan Kualitas
SD Pandean 2 Kecamatan Ngablak menunjukkan
hasil yang baik, hal ini terlihat dalam mengontrol
dan memantau perencanaan dan pelaksanaan
program sekolah komite telah dapat menegur
langsung guru dan kepala sekolah setiap saat
ditemukan ketidak sesuaian dalam menjalankan
program, dan dalam memantau out put pendidikan
komite turut terlibat dalam menentukan strategi
menghadapi UAS dan berpartisipasi dalam
menentukan KKM.
Hasil penelitian Ijas Jugaswari (2010) yang
berjudul Unjuk Kerja Komite Sekolah di SMA Negeri
3 Semarang menunjukkan bahwa komite sekolah
terlibat dalam pengadaan barang, perawatan sarpras,
bahkan melakukan pendampingan dan pengawasan
terhadap kegiatan belajar siswa di luar sekolah,
komite juga pendukung peningkatan kompetensi
guru dengan memberi bantuan materiil dan moril,
bahkan dalam pengelolaan dana sekolah komite
mencari terobosan-terobosan sumber pendanaan dan
31
membentuk tim audit independen dalam mengaudit
penggunaan dana sekolah.
Dari penelitian – penelitian yang sudah
dilakukan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil
komite sekolah yang sudah dapat melaksanakan ke
empat perannya dengan baik secara keseluruhan,
yaitu sebagai badan pertimbangan, badan
pendukung, badan pengontrol dan mediator,
sedangkan sebagian besar komite sekolah belum
melaksanakan ke empat perannya secara baik, ada
peran – peran yang sudah dilaksanakan, dan ada
peran-peran yang belum dilaksanakan. Di masing-
masing sekolah pelaksanaan peran komite sekolah
sangat bervariasi tidak sama satu dengan yang lain,
disekolah tertentu peran sebagai badan pendukung
menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan
peran sebagai badan pengawas, badan pertimbangan
maupun mediator, disekolah yang lain justru peran
sebagai badan pendukung adalah yang paling
rendah, sedangkan sebagai badan pertimbangan
menunjukkan hasil yang paling baik. Terdapat
komite sekolah yang berhasil melaksanakan
perannya sebagai badan pengontrol perencanaan
maupun pelaksanaan program sekolah, bahkan
komite sekolah dapat menegur langsung guru dan
kepala sekolah setiap saat ditemukan ketidak
sesuaian dalam menjalankan program. Disekolah
yang lain peran komite sekolah sebagai mediator
antara masyarakat dengan pemerintah paling tinggi
32
dibandingkan peran yang lain. Rata-rata komite
sekolah telah melaksanakan perannya sebagai badan
pendukung, namun masih sebatas dalam penggalian
dana dari orang tua/wali murid, maupun dukungan
pemikiran, sedangkan dukungan yang berupa tenaga
dalam penyelenggaraan pendidikan belum
terlaksana. Tidak banyak komite sekolah yang
melaksanakan perannya sebagai badan pengontrol
dalam hal keuangan sekolah, dalam rangka
transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan
pendidikan.