bab ii tinjauan pustaka membran
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Membran
1. Definisi Membran
Membran adalah suatu lapisan tipis bersifat semipermeabel yang dapat
menahan dan melewatkan pergerakan bahan tertentu (Scot dan Hughes, 1996).
Teknologi pemisahan menggunakan membran merupakan teknik pemisahan
komponen dengan cara yang sangat spesifik, yaitu menahan dan melewatkan
salah satu komponen lebih cepat dari komponen penyusun lainnya. Membran
dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok yaitu berdasarkan morfologi,
bahan pembuat, dan proses pemisahannya. Berdasarkan morfologi, membran
dibagi menjadi dua golongan, yaitu membran simetrik dan membran asimetrik.
Struktur yang dihasilkan membran simetrik dapat bersifat berpori (porous) atau
tidak-berpori (nonporous). Sedangkan struktur yang dihasilkan membran
asimetrik bersifat berpori dengan pori pada lapisan atas lebih rapat dibandingkan
pori pada lapisan bagian bawah. Membran jenis proses ultrafiltrasi lebih bersifat
asimetrik dibandingkan membran dengan jenis proses mikrofiltrasi (Scot dan
Hughes, 1996).
Berdasarkan bahan pembuat, membran terbagi atas membran organik dan
membran anorganik. Membran organik dibuat menggunakan bahan polimer. Pada
dasarnya semua polimer dapat digunakan sebagai bahan membran, tetapi karena
karakteristik kimia dan fisika sangat bervariasi, sehingga hanya beberapa jenis
polimer yang digunakan sebagai bahan membran. Jenis polimer yang banyak
digunakan untuk membuat membran antara lain selulosa beserta turunannya,
polisulfan, poliamida, poliakrilonitril, polieter sulfon (Wenten, 1999). Polimer
untuk membran berpori sangat berbeda dengan polimer membran tidak berpori.
Untuk membran berpori, pilihan polimer ditentukan oleh metode pembuatan
membran yang digunakan dan polimer menentukan stabilitas membran.
Sedangkan untuk membran tidak berpori, pilihan polimer ditentukan oleh
selektivitas dan fluks yang diinginkan (Mulder, 1996). Membran anorganik adalah
membran yang berasal dari material anorganik. Material anorganik memilki
stabilitas kimia dan stabilitas thermal lebih baik dibandingkan bahan polimer. Ada
empat tipe membran anorganik yang sering digunakan, yaitu membran keramik,
gelas, metal (termasuk karbon), dan zeolit.
Berdasarkan ukuran partikel atau bobot molekul bahan yang dipisahkan,
maka pemisahan membran dikelompokkan atas mikrofiltrasi, ultrafiltrasi,
nanofiltrasi, osmosis balik, dialisis, dan pervaporasi (Cheryan, 1998). Membran
ultrafiltrasi (UF) mempunyai ukuran pori berkisar 10-1000 A atau sekitar 103-10
6
MWCO, dan dapat memisahkan bahan berukuran lebih besar dari 0,005 µm atau
partikel dengan berat molekul lebih besar dari 1000 Da (Osada dan Nakagawa,
1992).
Membran ultrafiltrasi memiliki struktur asimetrik dengan permukaan atas
yang lebih rapat atau dense (ukuran pori permukaan atas lebih kecil dan porositas
permukaan lebih rendah). Pembuatan membran dapat dilakukan dengan beberapa
teknik antara lain: (1) pemanasan (sintering), (2) peregangan (streching), (3)
track-etching, (4) template leaching, (5) fasa balik (phase inversion), (6)
pelumasan (coating). Teknik yang dipilih didasari oleh jenis material dan struktur
membran yang akan dibuat.
2. Proses Pemisahan dengan Membran
Filtrasi membran merupakan proses pemisahan material dengan
mengalirkan umpan melalui suatu membran. Pemisahan terjadi akibat perbedaan
ukuran partikel/molekul dengan ukuran pori membran dimana fluks dan rejeksi
sangat ditentukan dari perbedaan ukuran tersebut. Pemisahan juga dapat terjadi
berdasarkan perbedaan sifat laju kelarutan/diffusivitas material yang akan
dipisahkan terhadap material membran yang digunakan. Tingkat kelarutan dan
diffusivitas ditentukan oleh sifat intrinsik bahan membran. Ini berarti bahwa sifat
intrinsik dari material menentukan tingkat permeabilitas dan selektifitas. Dalam
operasi membran dikenal dua jenis aliran umpan, yaitu aliran cross-flow dan
aliran dead-end, dimana perubahan fluks terhadap waktu dapat digambarkan
seperti pada Gambar 1.
Aliran filtrasi dead-end, yaitu keseluruhan dari fluida (aliran umpan)
melewati membran dan partikel tertahan pada membran. Fluida yang terus
mengalir sebagai umpan akan mengalir melalui tahanan penumpukan partikel dan
tahanan membran pada permukaan membran sehingga mudah tersumbat akibat
terbentuknya suatu lapisan pada permukaan membran. Pengaliran secara
crossflow dilakukan dengan cara mengalirkan umpan sejajar melalui suatu
membran dengan hanya sebagian saja yang melewati pori membran untuk
memproduksi permeat. Aliran pelarut atau cairan pembawa akan melewati
permukaan membran sehingga larutan, koloid, dan padatan tersuspensi yang
tertahan oleh membran akan terus terbawa menjadi aliran balik atau retentat.
Partikel atau padatan tersuspensi pada permukaan membran akan tersapu oleh
kecepatan aliran umpan. Aliran ini dapat digunakan untuk menghindari terbentuk
lapisan pada permukaan membran berupa cake, fouling, polarisasi konsebtrasi,
dan adsorpsi.
3. Karakterisasi Membran
Menurut Mulder (1996), karakterisasi membran dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu (1) membran berpori (porous membrane), (2) membran tidak-
berpori (nonporous membrane). Pada membran berpori, pemisahan terjadi akibat
perbedaan ukuran antara partikel/molekul dan pori membran dibantu dengan
adanya tekanan transmembran sebagai driving force. Selektivitas akan tinggi, jika
ukuran partikel lebih besar daripada ukuran pori membran. Mikrofiltrasi (MF) dan
ultrafiltrasi (UF) merupakan jenis membran berpori. Di sisi lain untuk membran
tidak berpori, seperti pervaporasi (PV), separasi gas (GS), dan dialisis, pemisahan
Gambar 1. Grafik hubungan fluks terhadap waktu untuk aliarn Dead-end dan Crossflow
Waktu Waktu
fluks
(L/m2jam)
fluks
(L/m2jam)
terjadi akibat perbedaan laju kelarutan (solubility) dan/atau perbedaan diffusivitas
(diffusivity). Tingkat kelarutan dan diffusivitas ditentukan oleh sifat intrinsik
bahan membran.
Terdapat beberapa metoda yang dapat digunakan untuk mengkarakterisasi
membran berpori, yaitu mikroskop elektron, metode gelembung udara (bubble
point), dan pengukuran permeasi (Scott et al., 1996). Scanning Electron
Microscope (SEM) dan Tramsmission Electron Microscope (TEM) adalah alat
mikroskop yang dapat digunakan untuk pengamatan langsung. Perbedaan
mendasar dari TEM dan SEM adalah pada cara bagaimana elektron yang
ditembakkan oleh pistol elektron mengenai sampel. Pada TEM, sampel yang
disiapkan sangat tipis sehingga elektron dapat menembusnya kemudian hasil dari
tembusan elektron tersebut yang diolah menjadi gambar. Kelemahan yang
dihadapi adalah karena sampel yang diperlukan sangat tipis, maka memerlukan
waktu yang lama untuk preprasi dan dikhawatirkan terjadi kerusakan struktur
sampel. Sedangkan pada SEM sampel tidak ditembus oleh elektron sehingga
hanya pendaran hasil dari tumbukan elektron dengan sampel yang ditangkap oleh
detektor dan diolah. Penggunaan SEM lebih mudah karena sampel yang
diperlukan tidak setipis sampel yang digunakan pada TEM.
Sifat mekanik dan struktur pori termasuk parameter dalam penentuan
karakteristik membran. Sifat fisik mekanik dan struktur pori sangat dipengaruhi
oleh jenis bahan pembuat dan proses pembuatan membran. Sedangkan kinerja
membran pada saat pengoperasian terutama ditentukan oleh distribusi dan ukuran
pori membran (Mallevialle et al., 1996). Sebelum uji fluks air, terlebih dahulu
dilakukan kompaksi terhadap membran yang akan diuji dengan mengalirkan air
melewati membran hingga diperoleh fluks air konstan. Kompaksi juga dapat
membuat membuat pori membran menjadi lebih seragam, lembaran membran
menjadi lebih kaku, dan juga untuk memperoleh harga fluks air yang konstan
pada tekanan operasional yang diberikan (Mahendran et al.,2004).
Kinerja atau effisiensi proses membran ditentukan oleh dua parameter,
yaitu selektivitas dan fluks/laju permeasi (L/m2.jam atau kg/m
2.jam atau
mol/m2.jam) atau koefisien permeabilitas (L/m
2.jam.bar). Fluks adalah jumlah
permeat yang dihasilkan pada operasi membran per satuan luas permukaan
membran dan persatuan waktu. Fluks dapat dinyatakan sebagai berikut (Mulder,
1996):
Jv = V / (A.t) (1)
Dimana : Jv = fluks volume (L/m².jam) t = waktu (jam)
A = luas permukaan membran (m²) V = volume permeat (lt)
Fluks merupakan salah satu parameter kinerja membran yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu (i) parameter operasi seperti konsentrasi umpan, suhu,
laju alir, dan tekanan, (ii) sifat-sifat fisik larutan umpan, dan (iii) faktor desain.
Kenaikan konsentrasi umpan menyebabkan fluks akan turun. Perubahan
konsentrasi umpan akan merubah harga viskositas, densitas, dan diffusifitas
larutan umpan. Demikian juga, peningkatan suhu dapat menaikkan fluks baik
pada daerah yang dikendalikan oleh tekanan atau yang dikendalikan oleh
perpindahan massa. Fluks dapat juga dinyatakan sebagai koefisien permeabilitas.
Nilai permeabilitas membran menunjukkan kemampuan membran dalam
melewatkan pelarut. Koefisien permeabilitas untuk membran jenis proses
ultrafiltrasi berada pada kisaran 0,5 m3/m
2.hari.bar (20 L/m
2.jam.bar) – 5
m3/m
2.hari.bar (200 L/m
2.jam.bar) (Wenten, 1999).
Selektivitas suatu membran merupakan ukuran kemampuan suatu
membran menahan atau melewatkan suatu molekul. Selektivitas membran
tergantung pada interaksi antar permukaan dengan molekul, ukuran molekul, dan
ukuran pori membran. Selektivitas umumnya dinyatakan oleh satu dari dua
parameter, yaitu retensi/rejeksi (R) atau faktor pemisahan (α). Menurut Mulder
(1996) nilai rejeksi suatu zat padat terlarut (solute) dinyatakan sebagai berikut:
C permeat
R (%) = ( 1 - ————— ) x 100% (2)
C umpan
Dimana : R = persentasi tahanan
Cpermeat = konsentrasi partikel dalam permeat
Cumpan = konsentrasi partikel dalam umpan
Nilai R bervariasi antara 0 – 100%, dimana R 100% artinya terjadi pemisahan
sempurna, dalam hal ini membran semipermeabel ideal sedangkan nilai R 0%
berarti partikel semua lolos dari membran. Suatu fenomena umum yang sering
ditemukan dalam suatu proses pemisahan dengan membran, yaitu apabila fluks
membran besar maka rejeksi akan rendah, demikian pula sebaliknya jika rejeksi
tinggi maka fluks juga akan rendah. Biasanya membran yang baik memiliki
porositas permukaan yang tinggi (fraksi pori/luas permukaan) dan distribusi
ukuran pori yang sesempit mungkin sehingga perlu dilakukan suatu optimasi
terhadap perlakuan membran untuk mendapatkan fluks dan rejeksi yang tinggi
(Mulder, 1996).
Porometer membran dapat ditentukan berdasarkan nilai rejeksi suatu zat
padat terlarut yang diketahui berat molekulnya. Berat molekul mempunyai
hubungan linier dengan jari-jari atau ukuran pori membran Pengukuran rejeksi
padatan (Solute Rejection Measurments) biasanya dinyatakan sebagai Molecular
Weight Cut Off (MWCO) dan banyak digunakan untuk mengkarakterisasi
membran ultrafiltrasi. MWCO didefinisikan sebagai bobot molekul suatu zat
terlarut yang 80%-90% dapat direjeksi oleh membran. (Scott dan Hughes, 1996;
Mahendran et al., 2004).
Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat
1. Bahan Baku
Membran selulosa asetat digolongkan sebagai membran organik yang
aman terhadap lingkungan karena berasal dari sumber yang dapat diperbaharui
(renewable) seperti selulosa dari pulp (tandan kosong sawit, abaka, jerami) dan
selulosa mikrobial. Membran selulosa asetat bersifat semikristalin dan
memberikan kekuatan mekanik yang baik, bersifat termoplastik, serta pembuatan
relatif mudah. Selain sifat baik tersebut, membran selulosa asetat sangat sensitif
terhadap pengrusakan thermal, kimia, dan biologis. Sebagai usaha untuk
mempertahankan membran dari kerusakan maka pH operasi biasanya
dipertahankan pada pH 4 sampai 6,5 pada temperatur kamar.
Pada dasarnya semua polimer dapat digunakan untuk pembuatan
membran, tetapi karena karakteristik kimia dan fisika bahan bervariasi, maka
hanya beberapa jenis polimer yang cocok sebagai polimer membran (Mulder,
1996; Goosen et al., 2004). Selulosa asetat merupakan polimer alami yang banyak
digunakan sebagai bahan membran dan dapat diperoleh melalui proses asetilasi
terhadap selulosa. Namun sebaiknya bahan selulosa yang digunakan memiliki
tingkat kemurnian α-selulosa relatif tinggi untuk mendapatkan hasil akhir yang
baik pada aplikasi. Bahan baku pembuatan selulosa asetat secara komersial adalah
selulosa yang berasal dari kayu (hardwoods, dan softwoods), kapas, dan serat
tanaman non-kayu berkualitas tinggi (Kuo dan Borgan, 1997).
1. 1. Selulosa
Selulosa adalah polimer alam yang paling banyak terdapat dan tersebar di
alam serta merupakan unsur struktural komponen utama dinding sel dari pohon
dan tanaman tinggi lainnya. Selulosa mendominasi karbohidrat yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan karena selulosa merupakan bagian yang terpenting dari dinding
sel tumbuh-tumbuhan. Sumber utama selulosa ialah kayu. Kira-kira 40-45%
bahan kering dalam kebanyakan spesies kayu adalah selulosa, terutama terdapat
dalam dinding sel (Achmadi, 1990). Senyawa ini juga dijumpai dalam tumbuhan
rendah seperti paku, lumut, ganggang, dan jamur. Serat alami yang paling murni
ialah serat kapas, yang terdiri dari sekitar 98% selulosa (Nopianto, 2009). Struktur
selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Selulosa (Nevell dan Zeronian, 1985)
Selulosa adalah polimer tak bercabang dari glukosa yang dihubungkan
melalui ikatan β-1,4 glikosida. Glukosa mempunyai rumus molekul C6H12O6,
sementara molekul selulosa ialah (C6H10O5)n dan n dapat berupa angka ribuan.
Berat molekulnya bervariasi dari 500.000 sampai 1.500.000 dengan jumlah
segmen antara 3.000 sampai 9.000 segmen. Karena struktur rantai yang linier,
selulosa bersifat kristalin. Keteraturan struktur tersebut juga menimbulkan ikatan
hidrogen secara intra dan intermolekul. Ikatan kimia hidrogen (H+
ke OH-)
antara
molekul selulosa yang membentuk mikrofibril sebagian berupa daerah kristalin
(teratur) dan diselubungi daerah amorf (kurang teratur). Proporsi daerah kristal
dan amorf dari selulosa sangat bervariasi, tergantung pada asalnya. Beberapa
mikrofibril membentuk fibril yang akhirnya menjadi serat selulosa dengan
diameter 2 - 20 nm dam panjang 100 - 40000 nm (Nopianto, 2009). Selulosa
memiliki sifat kuat tarik yang tinggi, tidak larut dalam kebanyakan pelarut, dan
bersifat sangat hidrofilik namun tidak dapat larut dalam air. Hal ini disebabkan
karena sifat kristalin selulosa yang tinggi dan tingginya gaya antar rantai akibat
ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan (Cowd, 1991).
Ukuran panjang rantai molekul selulosa dinyatakan sebagai derajat polimerisasi
(DP) (Fengel dan Wegener, 1984). Derajat polimerisasi dihitung dengan cara
membagi bobot molekul selulosa dengan bobot molekul satu unit glukosa.
Perlakuan fisik dan kimia yang intensif dapat menurunkan derajat polimerisasi
selulosa (Sjohstrom, 1981). Derajat polimerisasi selulosa dari beberapa sumber
selulosa dapat dilihat pada Tabel 1. Dapat dilihat pada tabel tersebut bahwa
selulosa yang berasal dari kayu memiliki derajat polimerisasi yang tinggi. Panjang
rantai molekul polimer merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap
sifat polimer. Derajat polimerisasi tinggi akan memberi kekuatan mekanik yang
baik terhadap polimer tersebut.
Tabel 1. Derajat polimerisasi selulosa dari beberapa sumber selulosa *
SUMBER DERAJAT POLIERISASI
Kapas 6.500 – 7.000
Kayu 8.000
Flax 2.900
Hamp bast fiber 3.270
* Han. (1998); Pahkala. (2001); RISO.( 2002)
Derajat kristalinitas suatu polimer berpengaruh juga terhadap sifat
polimer. Umumnya derajat kristalinitas selulosa kayu lebih kecil dibandingkan
dengan selulosa mikrobial. Derajat kristalinitas yang terdapat pada selulosa kayu
secara umum berkisar 30%-38% (Yoshinaga et al., 1997 & Sanjaya, 2001).
Walaupun memiliki komposisi kimia yang sama dengan selulosa tanaman, White
dan Brown (1998) menyatakan bahwa selulosa mikrobial lebih bersifat kristal,
dengan derajat kristalinitas lebih besar dari 60%. Derajat polimerisasi selulosa
mikrobial berkisar antar 2.000-6.000 (Krystynowicz et al., 2001).
Setiap monomer glukosa memilki tiga gugus hidroksil. Faktor penting
yang harus dipertimbangkan dalam reaksi selulosa adalah aksesibilitas yaitu
kemudahan gugus hidroksil dicapai oleh pereaksi. Gugus-gugus hidroksil yang
terdapat pada daerah amorf lebih mudah dicapai dan bereaksi dengan pereaksi
dibandingkan gugus hidroksil yang terdapat pada daerah kristalin (Achmadi,
1990). Reaktifitas selulosa juga dipengaruhi oleh struktur selulosa. Kondisi
pengeringan yang terlalu tinggi juga dapat mengurangi aksesibilitas selulosa
(Sjohstrom, 1981). Swelling (penggelembungan) selulosa merupakan tahapan
yang dilakukan untuk meningkatkan reaktifitas selulosa akibat dari penyerapan air
atau pelarut. Penggelembungan selulosa dapat mempermudah pereaksi mencapai
daerah kristalin pada proses esterifikasi selulosa. Kecepatan asetilasi pada selulosa
yang telah mengalami penggelembungan meningkat sekitar tiga kali lebih cepat
daripada selulosa yang tidak mengalami penggelembungan (Michie, 1996 di
dalam Fengel dan Wagener, 1984).
Melihat banyaknya potensi sumber daya yang terkandung di Indonesia,
terdapat beberapa alternatif pilihan dari sumber-sumber penghasil selulosa yang
berkualitas tinggi.
1.1.1. Dasar Pemilihan Sumber Selulosa
Selulosa pulp dapat digunakan sebagai dasar pembuatan selulosa asetat.
Sumber utama yang sering digunakan untuk mendapatkan pulp berasal dari jenis
kayu. Pada Tabel 2 dan Tabel 3 dapat dilihat hasil penelitian proses delegnifikasi
yang telah dilakukan dari beberapa jenis kayu dengan parameter yang terkait.
Tabel 2. Hasil delegnifikasi dari beberapa jenis kayu*
Jenis
Kayu
Rendemen
Total Pulp
%
Rendemen
Tersaring Pulp
%
Bilangan
Kappa
Kadar Lignin
Pulp
%
Struktur
Lignin Pulp
S/V ratio
Sengon 51,32 49,98 22,71 3,34 0,24
Gmelina 54,59 49,15 20,70 3,04 0,89
Kapur 52,91 40,20 30,60 4,50 0,36
Meranti 50,68 31,55 30,75 4,52 1,37
Tabel 3. Sifat-sifat fisika pulp dari beberapa jenis kayu*
Sifat-sifat
Fisika Pulp
Jenis Kayu
Sengon Gmelina Kapur Meranti
Gramature, gram 61,13 57,23 61,55 61,08
Thickness, mm 0,09 0,1 0,22 0,22
Bulky, cc/g 1,47 1,75 3,57 3,60
Tear Resistance, gf 61,18 35,35 9,79 9,61
Tear factor, kg/15 mm 5,09 2,29 0,33 0,24
Breaking Length, km 5,55 2,67 0,36 0,26
Sebaiknya selulosa asetat dihasilkan dari sumber selulosa yang
mempunyai tingkat kemurnian α-selulosa relatif tinggi untuk mendapatkan hasil
akhir yang baik pada aplikasi (Kuo et al., 1997). Berdasarkan hasil-hasil yang
terdapat pada Tabel 2 dan 3, selulosa pulp yang berasal dari kayu sengon
mempunyai harapan yang sangat baik untuk digunakan sebagai pembuatan
selulosa asetat. Indikator utama yang menunjukkan kemurnian selulosa yang
dihasilkan dari pulp adalah dari bilangan Kappa. Bilangan Kappa yang rendah
dalam pulp menunjukkan banyak lignin yang sudah diputuskan, sehingga lignin
yang tertinggal dalam pulp tinggal sedikit. Semakin cepat penurunan bilangan
Kappa, laju delignifikasi semakin cepat.
Kayu sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan tanaman yang mudah
tumbuh diberbagai iklim dan keadaan, sehingga perolehan bahan baku tersebut
mudah didapat secara kontinyu dengan harga yang dapat dijangkau. Komponen
kimia kayu sengon yang berumur 5 tahun adalah α-selulosa 46,62%; pentosan
16,52%; lignin 29,16%; silika 0,50%; abu 0,64%, dan air 5,28% (Pari, 1996).
Kandungan selulosa menjadi bertambah seiring dengan bertambahnya umur kayu
* Rahmawati. (1999).
*Rahmawati. (1999)
dan dengan kandungan lignin yang rendah menguntungkan dalam proses
delegnifikasi.
Dengan mengetahui sifat kimia kayu maka dapat diketahui penggunaan
yang sesuai dari suatu jenis kayu. Prosentase selulosa yang tinggi dari kayu
sengon menyebabkan kayu ini cukup potensial dijadikan bahan baku pulp dan
produk selulosa lainnya. Penggunaan terbesar selulosa di dalam industri adalah
berupa serat kayu dalam industri kertas dan produk kertas serta karton.
Penggunaan lainnya adalah sebagai serat tekstil yang bersaing dengan serat
sintetis. Untuk aplikasi lebih luas, selulosa dapat diturunkan menjadi beberapa
produk, antara lain Microcrystalline Cellulose, Carboxymethyl Cellulose, Methyl
Cellulose dan Hydroxypropyl Methyl Cellulose. Produk-produk tersebut
dimanfaatkan antara lain sebagai bahan antigumpal, emulsifier, stabilizer,
dispersing agent, pengental, dan sebagai gelling agent (Nopianto, 2009).
1.1.2. Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)
Pulp merupakan salah satu sumber penghasil selulosa sebagai dasar
pembuatan selulosa asetat. Proses pulping diartikan sebagai proses pelarutan
lignin (delegnifikasi), sehingga lignin terpisah dari serat-serat selulosa. Menurut
Sjohstrom (1995) selama berlangsungnya proses pulping tidak hanya lignin yang
terpisah dari serat-serat selulosa, tetapi juga komponen-komponen lainnya, seperti
polisakarida dan sedikit hemiselulosa.
Proses pulping/delegnifikasi dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu proses
mekanik, kimia, dan proses semi kimia. Untuk memperoleh hasil pemisahan
lignin secara sempurna dilakukan dengan cara kimia, yaitu dengan menambahkan
sejumlah bahan kimia ke dalam tempat pemasakan (digester). Pemasakan dengan
cara kimia dimaksudkan untuk memisahkan lignin dari serat selulosa. Bahan
kimia yang digunakan dapat berupa asam atau alkali. Beberapa proses pulping
secara kimia yang sudah dikenal adalah proses soda, proses sulfat (kraft), proses
sulfit netral, serta proses organosolv.
Salah satu penghasil selulosa diantaranya adalah pulp yang dihasilkan dari
kayu sengon (Paraserianthes falcataria). Di pulau Jawa kayu ini dikenal juga
dengan nama kayu jinjing dan termasuk dalam famili Leguminose. Tinggi pohon
ini dapat mencapai 40 m dengan panjang batang bebas cabang 10-30 m dan
diameter batangnya dapat mencapai 80 cm. Bobot jenis kayu 0,33. Pada umur 5
tahun kayu sengon sudah dapat digunakan sebagai bahan baku pulp tetapi nilai
ekonomisnya masih rendah, sedangkan pada umur 8 tahun jumlah kayu yang
dapat digunakan menjadi hampir 3 kali lipat daripada umur 5 tahun, sehingga nilai
ekonomisnya juga menjadi lebih tinggi (Rahmawati, 1999). Adapun komposisi
dari analisis kimia pulp kayu sengon adalah α-selulosa 92,15%; β + δ selulosa
5,86%; pentosan 1,48%; abu 0,23%; sari 0,02% (Pari, 1996).
Selulosa adalah bahan baku yang dapat digunakan untuk berbagai produk.
Gugus hidroksil yang terkandung pada selulosa dapat dimodifikasi dengan
pereaksi-pereaksi yang biasa bereaksi dengan alkohol. Misalnya reaksi selulosa
dengan anhidrida asetat menghasilkan selulosa asetat.
1. 2. Selulosa Asetat
Akhir-akhir ini, perkembangan proses teknologi yang mengarah ke
penggunaan bahan baku ramah lingkungan lebih sering digunakan. Hal ini
dilakukan untuk meminimalkan penggunaan bahan bakar fosil sebagai bahan
penghasil polimer membran. Bahan bakar fosil memiliki persamaan sifat polimer
dengan selulosa biomassa. Salah satu polimer yang banyak digunakan adalah
selulosa diasetat. Perbandingan sifat fisik selulosa diasetat dengan beberapa
polimer lainnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Sifat-sifat fisika selulosa asetat dan beberapa polimer*
Properti Selulosa Asetat Polyvinyl Chloride Polystyrene LDPE
Tensile strenght, Mpa 30 20 42 10
Flexural modulus, Gpa 1,7 0,03 2,5 0,25
Titik leleh, O
C 170-240 170-190 210-260 220-260
Strain at yield, % 3,9 - 2,4 19,0
Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa selulosa asetat memiliki nilai kuat tarik
yang termasuk tinggi dibandingkan beberapa polimer dari bahan bakar fosil. Kuat
tarik tersebut sangat ditentukan oleh struktur selulosa diasetat yang bersifat
semikristalin sehingga memberikan kekuatan mekanik yang baik. Sifat mekanik
yang baik ini sangat diperlukan bagi selulosa diasetat bila digunakan sebagai
* Harrison et al. (2004).
polimer membran karena proses pemisahan menggunakan membran memerlukan
tekanan dalam memindahkan satu komponen dari campurannya. Apabila dilihat
dari sifat-sifat fisika yang dimiliki maka selulosa asetat yang bersifat ramah
lingkungan dapat menggantikan polimer yang berasal dari bahan bakar fosil.
Ditinjau dari proses produksi, polimer selulosa asetat lebih ramah
lingkungan dibandingkan produksi polimer yang berasal dari bahan bakar fosil.
Sebagai contoh, buangan CO2 selama produksi dari 1 kg polyethelene (PE)/
polypropelene (PP) diperkirakan sebesar 1,8 kg. Untuk produksi selulosa asetat,
emisi kotor CO2 diperkirakan nihil, karena produk dihasilkan dari biomassa, yang
mana mengkonsumsi CO2 selama pertumbuhan (Harrison et al., 2004). Selama
ini, Indonesia masih mengimpor selulosa asetat. Kebutuhan akan selulosa asetat di
Indonesia bertambah untuk setiap tahunnya mulai 10.327 ton pada tahun 2000
menjadi 15.897 ton pada tahun 2006 (BPS Sumut, 2007).
Selulosa asetat digolongkan sebagai polimer ester organik dan memiliki
sifat atau kualitas yang unik, meliputi: tingkat kejernihan yang bagus, kasar,
bersifat alami, berkilau, bersifat hidrofilik, tetapi sangat rentan terhadap
mikroorganisme (biodegradibilitas). Sifat-sifat ini menjadikan selulosa asetat
banyak digunakan untuk penyaringan tembakau, pembuatan serat tekstil,
photografi dan kemasan lapisan, pemakaian di bidang medis, dan pemanfaatan
sebagai membran (Yamakawa et al., 2003).
Sifat teknis selulosa asetat komersial yang penting adalah derajat subsitusi
(DS) dan derajat polimerisasi (DP). Derajat subsitusi dan kadar asetil suatu
selulosa asetat menunjukkan kemampuan larut dalam jenis pelarut tertentu
(Fengel dan Wegener, 1984). Hubungan antara derajat subsitusi, kadar asetil, serta
pelarut yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 5. Pemilihan pelarut yang tepat
akan memberi hasil yang baik pada hasil aplikasi. Pada pembuatan membran,
polimer selulosa asetat dilarutkan dalam suatu pelarut dengan kelarutan yang
tinggi. Jenis pelarut yang digunakan sangat menentukan struktur membran yang
terbentuk. Untuk mendapatkan membran selulosa diasetat berpori, maka pelarut
yang digunakan adalah dimetilformamida (DMF) karena mempunyai daya afinitas
yang tinggi terhadap air sebagai bukan-pelarut.
Tabel 5. Hubungan antara derajat substitus, kadar asetil, pelarut, dan aplikasinya*
Derajat
Substitusi
Kadar Asetil
(%)
Larut
di dalam
Tidak larut
di dalam
Aplikasi
0,6 – 0,9 13 – 18,6 Air Aseton -
1,2 – 1,8 22,2 – 32,2 2-metoksi etanol Aseton Plastik, pernis
2,2 – 2,7 36,5 – 42,2 Aseton,
Dimetilformamida
Diklorometan Serat , film
2,3 – 2,8 ≥43,0 Kloroform,
Diklorometan
Aseton Serat lembaran
* Fengel dan Wegener. (1984).
Sifat-sifat mekanik dan kinerja produk selulosa asetat sangat ditentukan
oleh derajat polimerisasi selulosa asetat. Sementara itu, derajat polimerisasi
selulosa asetat dipengaruhi oleh derajat polimerisasi selulosa serta kondisi yang
dialami selama proses pembuatan selulosa asetat. Penggunaan α-selulosa dengan
kemurnian rendah akan menghasilkan selulosa asetat dengan viskositas intrinsik
dan berat molekul yang rendah sehingga kinerja selulosa asetat menjadi kurang
baik (Kuo et al., 1997). Proses asetilasi selulosa merupakan reaksi heterogen dan
reaksi dikendalikan berdasarkan kecepatan difusi reagent ke dalam serat selulosa.
Oleh karena itu, karakteristik/sifat kimia dan fisika selulosa sangat penting dalam
proses asetilasi dan kualitas produk akhir (Bydson, 1995).
Secara komersial, selulosa asetat dihasilkan dari reaksi selulosa dengan
anhidrida asetat menggunakan katalis dan asam asetat sebagai pelarut. Senyawa-
senyawa yang dapat digunakan sebagai katalis adalah asam sulfat, asam perklorat,
dan asam sulfonat (Kuo et al., 1997). Asam sulfat merupakan katalis yang paling
umum digunakan, sementara katalis lain jarang digunakan karena tidak efektif,
tidak praktis, atau sangat berbahaya untuk dilakukan pada skala industri (Kuo et
al., 1997).
Dalam menentukan selulosa yang digunakan untuk proses asetilasi
terdapat dua hal penting, yaitu kemampuan selulosa untuk menghasilkan asetilasi
yang seragam dan kualitas produk yang dihasilkan (Steven, 2001). Kemampuan
selulosa tidak hanya ditentukan oleh komposisi kimia. Perlakuan awal sebelum
proses asetilasi dilakukan seperti proses aktivasi juga menjadi faktor yang
terpenting dalam menentukan sifat fisik. Menurut Ott et al. (1954) dan Nevell dan
Zeronian (1985), tahapan pembuatan selulosa asetat terdiri atas empat proses,
yaitu: (1) praperlakuan/aktivasi (pretreatment), (2) asetilasi (acetylation), (3)
hidrolisis (hydrolisis), dan (4) pemurnian (purification). Tahapan proses yang
dilakukan adalah:
1.2.1. Perlakuan awal/aktivasi
Proses aktivasi (tahap praperlakuan) sangat diperlukan agar reaksi
esterifikasi dapat berlangsung dengan baik. Pada tahap ini serat-serat selulosa
mengembang sehingga permukaan selulosa membesar dan ikatan intramolekuler
hidrogen menjadi putus, dan memudahkan diffusi reagent ke dalam serat. Bahan
aktivasi yang biasa digunakan adalah air atau asam asetat. Perlakuan awal selulosa
umumnya dilakukan pada suhu berkisar antara 20oC hingga 118
oC, tetapi
sebaiknya dilakukan sampai dengan suhu 50oC untuk mencegah penguapan
pelarut (Ott et al., 1954). Nevell dan Zeronian (1985) menyatakan aktivasi
selulosa pulp kayu umumnya dilakukan selama 1-2 jam. Aktivasi terhadap
selulosa pulp kayu yang telah dilakukan oleh Kuo et al. (1997) berlangsung pada
suhu sekitar 25oC-50
oC selama 30 menit-60 menit. Sementara itu, Saka et al.
(1998) telah memperoleh waktu aktivasi terhadap pulp kayu selama satu jam.
Selanjutnya, aktivasi dari campuran selulosa pulp kayu dengan kapas yang telah
dilakukan oleh Yamakawa et al. (2003) diperoleh pada kisaran suhu 20oC-80
oC
selama 0,5-4 jam. Harrison et al. (2004) telah mendapatkan waktu aktivasi
terhadap selulosa jerami selama 2-3 jam pada suhu kamar dengan perbandingan
selulosa terhadap asam asetat 1:1 (bk/v). Selain itu, aktivasi selulosa mikrobial
yang telah dilakukan oleh Desiyarni et al. (2006) diperoleh kondisi proses pada
suhu 50 oC selama enam jam dan pada suhu kamar selama 16 jam dengan
perbandingan selulosa terhadap asam asetat 1:8 (bk/v). Dapat dilihat dari beberapa
uraian di atas, aktivasi berjalan rata-rata pada suhu 50oC dan terlihat perbedaan
waktu aktivasi yang dihasilkan. Keadaan tersebut dikarenakan sumber selulosa
yang digunakan berbeda sehingga terdapat perbedaan sifat dari selulosa tersebut.
Menurut Kuo et al. (1997) waktu aktivasi yang dibutuhkan bergantung pada
kondisi selulosa yang digunakan. Daerah kristalin mempunyai sifat reaktifitas
yang rendah karena tingginya gaya antar-rantai akibat ikatan hidrogen antargugus
hidroksil pada rantai yang berdekatan menyebabkan kekakuan pada rantai
sehingga ikatan antar rantai menjadi lebih erat, dan sukar terjadi reaksi asetilasi
dibandingkan bagian amorf (Cowd, 1991).
1.2.2. Asetilasi
Asetilasi dilakukan bertujuan untuk menggantikan sebagian atau semua
gugus hidroksil pada molekul selulosa dengan gugus asetil dari reaktan anhidrida
asetat, sehingga membentuk selulosa triasetat (Fengel dan Wegener, 1984).
Pelarut asam asetat dan katalis asam sulfat merupakan senyawa kimia yang
umum digunakan pada proses asetilasi (Kuo et al., 1997). Lama asetilasi
berlangsung dapat dilihat sampai materi terlarut sempurna dalam campuran
asetilasi dan derajat substitusi antara 2,35-2,40. Pemakaian suhu terlalu tinggi di
atas 85oC
pada proses ini dapat mengakibatkan depolimerisasi sehingga
menghasilkan selulosa asetat dengan viskositas intrinsik yang rendah (Kuo et al.,
1997). Oleh karena itu, suhu dijaga dalam kisaran kurang dari 50ºC. Asetilasi
yang telah dilakukan oleh Yamakawa et al. (2003) terhadap campuran selulosa
kayu dengan kapas berlangsung selama 20 sampai 60 menit pada kisaran suhu
50oC-80
oC. Sementara itu, Amin (2000) telah melakukan asetilasi terhadap
selulosa dari Tandan Kosong Sawit (TKS) selama 15 menit pada suhu 30oC
-45
oC
dengan perolehan kadar asetil sekitar 39-41%.
Jumlah pemakaian asam sulfat berlebihan juga dapat mempercepat
depolimerisasi selulosa. Pada skala industri, pemakaian katalis asam sulfat
digunakan sekitar 6%-20% berdasarkan berat kering selulosa pulp. Katalis
berfungsi dalam menyeragamkan asetilasi selulosa dan menghasilkan selulosa
triasetat dengan kelarutan yang baik dalam asam asetat. Pemakaian katalis asam
sulfat digunakan pada kisaran 0,1%-2% untuk kandungan α-selulosa yang tinggi
sedangkan untuk kandungan α-selulosa yang rendah digunakan katalis asam sulfat
sekitar 2%-20%. Kuo et al. (1997) menyatakan pemakaian katalis dalam jumlah
besar akan menghasilkan selulosa triasetat yang bersifat tidak stabil terhadap
panas. Campbell (1960) menggunakan katalis asam sulfat dalam jumlah kurang
dari 1% dari berat kering selulosa dan reaksi berjalan pada suhu 50oC. Sementara
itu, Yabune (1984) telah melakukan asetilasi terhadap selulosa pulp menggunakan
katalis asam sulfat sebesar 0,5-5 berat bagian per 100 berat bagian selulosa kering
pada suhu 50oC - 85
oC. Proses asetilasi yang telah dilakukan oleh Harrison et al.
(2004) menggunakan reagents dengan perbandingan terhadap berat pulp jerami
yaitu anhidrida asetat (3:1), asam asetat (6/7:1), asam sulfat (0,05-0,1:1) selama 2
jam pada suhu 30oC.
Tingkat kemurnian selulosa yang digunakan juga sangat
menentukan lama asetilasi berlangsung. Asetilasi dari limbah serbuk gergaji kayu
yang telah dilakukan oleh Suyati (2008) berlangsung selama 20 jam dengan kadar
asetil 44,32% dan 42 jam dengan kadar asetil 40,92%. Hal ini disebabkan selulosa
yang terkandung dalam serbuk gergaji tersebut berasal dari berbagai sumber
selulosa dengan karakter yang berbeda sehingga mempengaruhi kondisi proses.
Mekanisme reaksi asetilasi selulosa menjadi selulosa asetat dapat dilihat pada
Gambar 3
Kondisi operasi optimum dari proses asetilasi selulosa mikrobial juga telah
didapat oleh Desiyarni et al. (2006) dengan menguji 4 variabel, yaitu: (1) rasio
anhidrida asetat terhadap selulosa, (2) konsentrasi katalias asam sulfat, (3) waktu
reaksi, dan (4) suhu asetilasi. Variabel respon yang diamati adalah perolehan
kadar asetil dari selulosa triasetat yang dihasilkan dan hasil menunjukkan bahwa
faktor rasio anhidirda asetat dengan selulosa berpengaruh secara nyata terhadap
perolehan selulosa triasetat, sedangkan faktor waktu asetilasi berpengaruh nyata
terhadap perolehan selulosa triasetat. Konsentrasi asam sulfat dan suhu asetilasi
Selulosa Anhirida Asetat
Selulosa Tri Asetat Asam Asetat
Gambar 3. Mekanisme reaksi asetilasi selulosa menjadi selulosa triasetat
(Report Description- Nexant, 2004).
tidak berpengaruh nyata terhadap perolehan selulosa triasetat. Asetilasi selulosa
mikrobial tersebut diperoleh pada suhu 50oC dan berlangsung selama enam jam
menggunakan anhidrida asetat 3,35 bagian, asam asetat 8 bagian, dan katalis
asam sulfat sebesar 1,5% dari setiap satu bagian berat kering selulosa yang
digunakan.
Berdasarkan kondisi optimum yang telah dihasilkan oleh Desiyarni
(2006), maka rasio anhidrida asetat terhadap selulosa pulp kayu sengon (3,35:1;
4:1; 5:1; dan 6:1) dan waktu asetilasi (30, 60, 90, dan 120 menit) digunakan
sebagai variabel bebas pada penelitian. Konsentarsi katalis asam sulfat (1,5% dari
selulosa) dan suhu asetilasi (50oC) dipertahankan konstan.
1.2.3. Hidrolisis
Tujuan hidrolisis adalah mensubtitusikan gugus asetil dari selulosa
triasetat dengan gugus hidroksil dari air sehingga kandungan gugus asetil dari
selulosa triasetat berkurang dan didapat selulosa diasetat dengan berbagai kadar
asetil yang diinginkan. Selulosa triasetat mempunyai tiga gugus asetil yang terdiri
dari dua gugus asetil sekunder dan satu gugus asetil primer. Reaksi subsitusi
gugus asetil oleh gugus hidroksil berlangsung secara bertahap, pada tahap awal
akan terjadi subsitusi pada gugus asetil primer selanjutnya terjadi subsitusi pada
gugus asetil sekunder. Faktor yang sangat menentukan pada proses ini adalah
suhu. Reaksi hidrolisis dapat dilakukan mulai suhu 38oC pada kondisi tanpa
tekanan sampai 229oC pada reaksi bertekanan (Kirk dan Othmer, 1993). Suhu
yang biasa dipakai pada proses hidrolisis selulosa asetat antara 60oC - 90
oC (Kuo
et al., 1995). Kuo et al. (1997) menyatakan bahwa suhu hidrolisis berlangsung
tinggi (125oC -175
oC) bila kandungan α-selulosa yang digunakan rendah.
Pemakian suhu tinggi untuk kandungan α-selulosa tinggi akan menghasilkan
selulosa diasetat dengan kelarutan yang rendah dalam pelarut organik dan
menghasilkan selulosa diasetat dengan warna kekuningan atau kecoklatan serta
viskosistas intrinsik rendah. Lama proses hidrolisis selulosa triasetat berbasis
selulosa pulp dapat mencapai beberapa hari jika dilakukan pada suhu kamar,
tetapi dapat juga dilakukan beberapa jam dengan suhu 40oC - 80
oC
(Bydson,
1995). Reaksi hidrolisis yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 4.
Semakin lama proses hidrolisis dilakukan maka semakin banyak terjadi
reaksi subsitusi gugus asetil oleh gugus hidroksil. Hal ini akan menurunkan kadar
asetil selulosa asetat yang dihasilkan (Desiyarni, 2006). Hasil proses hidrolisis
yang telah dilakukan oleh Desiyarni (2006) menunjukkan bahwa rasio air
terhadap selulosa merupakan faktor yang paling kecil pengaruhnya terhadap kadar
asetil selulosa diasetat. Penambahan air dalam jumlah berlebihan bertujuan untuk
merusak kelebihan anhidrida asetat dari proses asetilasi. Air akan bereaksi dengan
anhidrida asetat sehingga menghasilkan asam asetat. Kelebihan air tersebut
diperlukan untuk reaksi hidrolisis. Reaksi hidrolisis baru segera dimulai jika
anhidrida asetat telah bereaksi semua dengan air. Penambahan air dalam jumlah
berlebihan juga bertujuan untuk menurunkan kandungan asam sulfat yang
terdapat dalam selulosa triasetat dengan cara melarutkan air terlebih dahulu dalam
asam asetat dan penambahan larutan tersebut dilakukan secara perlahan sambil
diaduk untuk menghindari terjadinya penggumpalan selulosa triasetat.
Peningkatan jumlah air yang ditambahkan hingga batas optimum akan
menyebabkan penurunan kadar asetil selulosa asetat. Rasio air optimum yang
dihasilkan oleh Desiyarni (2006) adalah 1,066.
Masih menurut Desiyarni (2006), konsentrasi katalis asam sulfat
berpengaruh relatif kecil terhadap kadar asetil selulosa asetat dibandingkan
pengaruh suhu dan waktu hidrolisis. Konsentrasi asam sulfat berpengaruh negatif
terhadap kadar asetil. Penambahan asam sulfat pada konsentrasi tinggi dapat
Selulosa Tri Asetat
Selulosa Di Asetat Asam Asetat
Gambar 4. Reaksi hidrolisis selulosa triasetat (Report Description-Nexant,
2004).
menghasilkan selulosa asetat yang bersifat mudah rapuh (Shelton et al., 2004),
sehingga penambahan asam sulfat dilakukan relatif kecil dan didapat pada kondisi
optimum sebesar 1,5% dari selulosa yang digunakan. Selain itu, peningkatan suhu
hidrolisis dapat meningkatkan laju rekasi hidrolisis. Reaksi hidrolisis
menyebabkan berkurangnya gugus asetil yang terdapat pada molekul selulosa
triasetat dan suhu termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya
penurunan kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan. Pengendalian suhu
proses hidrolisis selulosa triasetat harus dilakukan dengan baik dan suhu optimum
yang telah dihasilkan oleh Desiyarni (2006) adalah pada suhu 50oC. Variabel lain
yang cukup berpengaruh terhadap penurunan kadar asetil selulosa triasetat selama
proses hidrolisis adalah waktu. Semakin lama proses berlangsung semakin
menurun kadar asetil selulosa asetat yang dihasilkan. Lama hidrolisis berlangsung
tergantung dari kadar asetil yang diinginkan. Ketika derajat substitusi yang
diinginkan telah tercapai, reaksi dihentikan dengan netralisasi menggunakan
katalis garam magnesium, kalsium atau sodium yang dilarutkan dalam asetat
encer (Kirk dan Othmer, 1993). Kadar asetil yang telah didapat oleh Desiyarni
(2006) berkisar 37-42% dengan waktu hidrolisis berlangsung antara 120 menit
sampai 1080 menit.
1.2.4. Pemurnian
Untuk mendapatkan produk selulosa asetat, tahap akhir yang dilakukan
adalah pengendapan yang selanjutnya dicuci dan dikeringkan. Produk yang
diinginkan bisa dalam bentuk serpihan (flakes), atau bubuk (powder). Endapan
selulosa ester yang terbentuk dipisahkan dari larutan dan dicuci guna
menghilangkan sisa asam asetat (Ott et al., 1954).
1.3. Polietilen Glikol (PEG)
Penambahan bahan aditif pada membran berguna untuk meningkatkan
atau memodifikasi sifat-sifat mekanik, kimia, dan fisik membran (Kim et al.,
1989). Polietilen glikol (PEG) merupakan salah satu diantara zat aditif yang sering
ditambahkan pada pembuatan membran yang berfungsi sebagai porogen untuk
meningkatkan keteraturan bentuk pori-pori pada membran sehingga struktur pori
lebih rapat dan membran yang dihasilkan semakin bagus.
Polietilen glikol (PEG) adalah senyawa hasil kondensasi dari oksietilen
dan air dengan rumus molekul H(OCH2CH2)nOH, dimana n merupakan bilangan
(jumlah) rata-rata pengulangan grup oksietilen mulai dari 4 sampai 180. Bilangan
yang mengiringi dibelakang PEG menunjukkan berat molekul rata-rata daripada
PEG, seperti PEG dengan n = 80 akan mempunyai berat molekul rata-rata sekitar
3500 Dalton dan dicantumkan sebagai PEG 3500. Sedangkan senyawa dengan
berat molekul rendah terdiri dari n = 2 sampai n = 4 seperti diethylene glycol,
triethylene glycol, dan tetraethylene glycol , merupakan senyawa-senyawa murni.
Senyawa dengan berat molekul rendah sampai 700 bersifat cairan kental,
tidak berwarna, tidak berbau dengan titik beku -10 ºC (diethylene glycol),
sementara senyawa-senyawa hasil polimerisasi dengan berat molekul yang lebih
tinggi yaitu sampai 1000 berbentuk padat seperti lilin dengan titik didih mencapai
67 ºC untuk n = 180. Sifat-sifat fisika PEG dapat dilihat pada Tabel 6 (Wikipedia,
2007). Keistimewaan dari PEG adalah senyawa tersebut bersifat larut dalam air
(Chou et al., 2007). PEG juga larut dalam berbagai pelarut organik dari golongan
hidrokarbon aromatik, seperti metanol, benzen, dichlorometane dan tidak larut
dalam dietil eter dan heksan. Sifat-sifat lain daripada PEG adalah merupakan
senyawa yang tidak beracun, netral, tidak mudah menguap dan tidak iritasi.
Pelarut PEG banyak digunakan sebagai emulsifier dan detergen, humectants, dan
pada bidang farmasi (Wikipedia, 2007).
Tabel 6. Sifat-sifat fisika dan kimia polietilen glikol (PEG)*
Polietilen glikol
Nama kimia Polietilen glikol
Rumus kimia C2nH4n+2On+1
Berat molekul 44n + 18 g/mol
Bilangan CAS [25322-68-3]
Densitas 1,1 – 1,2 g/cm3
Titik leleh bervariasi
Titik didih xx.xoC
Titik api 182 – 287 oC
aSumber: Wikipedia, Encyclopedia (2007)
2. Proses Pembuatan Membran
Penggunaan membran berbahan baku selulosa diasetat di industri terus
meningkat, dan berdampak pada peningkatan kebutuhan selulosa diasetat.
Membran ini digunakan oleh industri selain pada proses produksi juga untuk
pengolahan limbah (Benziger et al., 1999; Shibata, 2004). Membran yang
diproduksi umumnya dalam bentuk datar, meskipun terdapat bentuk-bentuk lain
seperti bentuk tubular dan serat berlubang (hollow fiber).
Tujuan pembuatan membran adalah memodifikasi material/polimer
dengan teknik yang sesuai sehingga didapatkan membran yang memiliki
morfologi/struktur untuk tujuan separasi tertentu. Hal ini menunjukkan material
membran membatasi teknik pembuatan membran. Misal : teknik sintering
digunakan untuk pembuatan membran keramik, teknik inversi fasa untuk
membran polimer organik yang larut dalam pelarut dan teknik leaching untuk
membran gelas (Scott dan Hughes, 1996). Membran selulosa diasetat sebagian
besar dibuat dengan teknik inversi fasa meliputi empat tahap yaitu pembuatan
larutan cetak yang homogen, pencetakan, penguapan sebagian pelarut atau
koagulasi parsial, dan pengendapan polimer dalam koagulan atau bukan-pelarut
(Mulder, 1996; Radiman dan Eka, 2007). Inversif asa merupakan proses
perubahan polimer secara terkendali dari fasa cair ke fasa padat melalui fasa
transisi. Pada tahap tertentu selama proses pemisahan, salah satu fasa cair akan
memadat membentuk matriks padatan. Pengendalian tahap awal fasa transisi akan
menentukan morfologi membran yang dihasilkan.
Secara umum pembuatan membran secara inversi fasa melibatkan tiga
komponen utama, yaitu: polimer, pelarut, dan bukan pelarut. Selain menggunakan
bahan dasar tersebut, biasanya ditambahkan bahan aditif lain untuk meningkatkan
sifat permukaan membran. Kekentalan larutan dari campuran komponen tersebut
tergantung pada berat molekul dan kosentrasi polimer, jenis pelarut, dan aditif.
Pada Tabel 7 dapat dilihat berbagai hasil penelitian pembuatan membran selulosa
diasetat yang telah dilakukan secara inversi fasa.
Tabel 7. Hasil pembuatan membran selulosa asetat secara inversi fasa
No. Peneliti / Judul Polimer Membran Jenis Membran / Keterangan
1. Idris, A. et al. (2001) / Effect
of Methanol Concentration on
the Performance of Asymetric
Cellulose Acetate Reverse
Osmosis Membranes Using
Dry/Wet Phase Inversion
Rechnique.
- Selulosa diasetat komersial
(kadar asetil 39,8%)
- konsentrasi polimer: 25%,
27%.
- Reverse Osmosis /
- Pelarut: Aseton (37%;
36,5%; 31,5%)
- Bukan-pelarut: Metanol
(13%, 10%)
- Swelling agent:
Formamide (37,5%; 31,5%;
24%; 36,5%)
- Koagulasi: 4oC, 24 jam
2. Darwis et al. (2003)/
Pembuatan Membran Filtrasi
dari Selulosa Mikrobial.
Selulosa asetat dari selulosa
mikrobial (nata de coco)
dengan kadar asetil 43,17-
47,99%.
- Mikrofiltrasi /
- Pelarut: Formamida
- Bukan-pelarut: Air
- Aditif: PEG
- Koagulasi: suhu kamar
3. Mahendran, R. et al. (2004) /
Cellulose Acetate and
Polyethersulfone Blend
Ultrafiltration Membranes.
Part I: Preparation and
Characterizations
- Selulosa asetat komersial
(kadar asetil 39,99%) +
Polietersulfon
- Konstrasi total polimer
17,5% dengan berbagai
perbandingan
- Ultrafiltrasi
(membran komposit) /
- Pelarut: DMF
- Bukan-pelarut: Air
- Aditif: PEG 600 Da
- Larutan cetak: 40oC, 3-4 jam
- Koagulasi: suhu kamar, 1-2
jam
4. Idris, A. et al. (2005) / The
Effect of Curing Temperature
on the Performance of Thin
Film Composite Membrane.
- Selulosa asetat komersial
(kadar asetil 39,8%)
dengan konsentrasi 25%
- Polisulfon (15%)
- Ultrafiltrasi (membran
komposit)
- Pelarut SA: Aseton (45%)
Formamida (30%)
- Pelarut PS: PVP (18%),
NMP (67%)
- Bukan-pelarut: Air
- Koagulasi: 2-3oC
5. Desiyarni (2006) /
Perancangan Proses
Pembuatan Selulosa Asetat
dari Selulosa Mikrobial untuk
Membran Ultrafiltrasi.
- Selulosa asetat dari
mikrobial (nata de coco)
dengan kadar asetil:
37,21%; 38,11%; 39,19%;
40,22%
- Konsentrasi SA: 12%,
14%, 16%, 18%, 20%.
- Ultrafiltrasi (membran datar)
- Pelarut: DMF
- Bukan-pelarut: Air
- Larutan cetak: suhu kamar,
24 jam
- Koagulasi: 2oC, 10
oC, 18
oC
26oC (24 jam)
6. Chou, W. L. et al. (2007) /
Effect of Molecular Weight
and Concentration of PEG
Additives on Morphology and
Permeation Performance of
Cellulose Acetate Hollow
Fiber.
- Selulosa asetat komersial
(kadar asetil 39,8%)
dengan konsentrasi 25%
- Ultrafiltrasi (membran
hollow fiber) /
- Pelarut: DMF (75%)
- Bukan-pelarut: Air
- Aditif: PEG (1, 10, 40 kDa)
- Larutan cetak: suhu kamar
- Koagulasi: 25oC, 50
oC, 75
oC
7. Radiman, C.L. dan Eka, I.
(2007) / Pengaruh Jenis dan
Temperatur Koagulan
terhadap Morfologi dan
Karakteristik Membran
Celulosa Asetatat.
- Selulosa asetat komersial
(kadar asetil 39,8%)
- konsentrasi polimer: 10%
- Mikrofiltrasi /
- Pelarut: Formamida
(10%) dan Aseton (80%)
- Bukan-pelarut: Air dan
2- Propanol
- Koagulasi: 5oC, 15
oC,
25oC (beberapa jam)
Lanjutan Tabel 7. Hasil pembuatan membran selulosa asetat secara inversi fasa
8. Cerqueira, D.A. et al. (2008) /
Characterization of Cellulose
Triacetate Membranes,
Produced from Sugarcane
Bagasse, using PEG 600
Additive.
- Selulosa asetat dari
selulosa ampas tebu
- Aditif: PEG 600 Da
9. Bhongsuwan, D. dan
Bhongsuwan, T. (2008) /
Preparation of Cellulose
Acetate Membranes for Ultra-
Nano-Filtration.
- Selulosa asetat komersial
dengan konsentrasi 20%
- Ultra-Nano-Filtration /
- Pelarut: Formamida
(33%) dan Aseton (47%)
- Bukan-pelarut: Air
- Koagulasi: 2-3oC, 30 menit
- Evaporasi: 20,30,60 detik
10. Vidya, S. et al. (2008). /
Effect of Additive
Concentration on Cellulose
Acetae Blend Membranes
Preparation, Characterization
and Application Studies.
- Selulosa asetat komersial
- Pelarut: DMF
- Bukan-pelarut: Air
- Aditif: PEG 200, PVP
11. Saljoughi, E. et al. (2010). /
Effect of PEG additive and
coagulation bath temperature
on the morphology,
permeability and
thermal/chemical stability of
asymetric CA membranes.
- Selulosa asetat komersial
- Pelarut: NMP
- Bukan-pelarut: Air
- Aditif: NMP (0%, 5%,
10%)
- Koagulasi: 0o, 25
oC
Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa pembuatan membran jenis proses
mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, dan reverse osmosis dengan polimer selulosa asetat
dapat dilakukan secara inversi fasa. Terdapat beberapa parameter yang
mempengaruhi struktur membran, seperti: pemilihan polimer, pemilihan pelarut
dan bukan-pelarut, komposisi larutan cetak, suhu larutan cetak, suhu koagulasi,
dan aditif.
Konsentrasi polimer juga mempengaruhi morfologi dan kinerja membran.
Penelitian yang telah dilakukan Desiyarni (2006), kenaikan konsentrasi selulosa
asetat berbasis selulosa mikrobial dari 12% hingga 20% menghasilkan fluks yang
semakin menurun. Kenaikan konsentrasi polimer awal dalam larutan cetak akan
membuat konsentrasi polimer pada antarpermukaan lapisan membran lebih tinggi.
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa fraksi volume polimer naik sehingga
porositas lebih rendah dan lapisan bagian atas membran menjadi lebih rapat
membuat fluks yang dihasilkan lebih rendah (Mulder, 1996; Mustaffar et al.,
2005). Sementara itu, kadar asetil selulosa asetat menentukan selektifitas
membran. Kadar asetil yang tinggi akan menghasilkan rejeksi yang tinggi dengan
fluks yang rendah dan sebaliknya (Shibata, 2004). Hasil penelitian Desiyarni
(2006) memperlihatkan bahwa permukaan membran selulosa diasetat (SDA) pada
kadar asetil 40,22% terlihat lebih rapat dibandingkan dengan permukaan membran
SDA pada kadar asetil 37,21% sehingga fluks air, dekstran, dan albumin yang
dihasilkan cenderung meningkat. Bobot molekul selulosa diasetat cenderung
meningkat dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat. Bobot molekul
SDA pada kadar asetil 40,22% adalah 36.965, sementara bobot molekul SDA
pada kadar asetil 37,22% adalah 35.875.
Secara umum, membran inversi fasa dapat dibuat dari berbagai polimer.
Namun persyaratan utama bagi polimer yang digunakan adalah dapat larut pada
pelarut yang sesuai atau campuran pelarut. Pelarut yang banyak digunakan adalah
dimetilformamida (DMF). Pemilihan pelarut tersebut juga didasari oleh struktur
morfologi membran yang diinginkan, yaitu berpori atau tidak berpori. Air banyak
digunakan sebagai bukan-pelarut karena dapat mempercepat proses inversi fasa
dibandingkan aseton mau pun etanol (Young dan Chen, 1991). Pelarut DMF
mempunyai kelarutan dan affinitas yang tinggi dalam air dibandingkan aseton dan
etanol sehingga menghasilkan membran berpori.
Penambahan bahan aditif pada larutan cetak dapat dilakukankan dalam
pembuatan membran yang berfungsi sebagai porogen. Terdapatnya aditif tersebut
akan mempengaruhi morfologi dan kinerja membran karena dapat menaikkan
viskositas larutan polimer, menambah sifat hidrofilik, membentuk pori membran,
dan menekan pembentukan makrovoid sehingga diperoleh fluks air yang tinggi.
Zat aditif yang sering ditambahkan yaitu Polietilen glikol (PEG), Polivinil
pirolidon (PVP), dan alkohol (Chou et al., 2007; Javiya et al., 2008; Saleh et al.,
2008; Aroon et al., 2010). Terdapat banyaknya parameter yang mempengaruhi
karakteristik membran yang dihasilkan, sehingga kondisi pembuatan membran
masih menarik untuk diteliti sampai saat ini.
3. Mekanisme Pembentukan Membran Berpori
Terdapat beberapa faktor penting yang berpengaruh terhadap morfologi
membran pada pembuatan membran secara inversi fasa. Struktur, porositas, dan
selektivitas membran yang ingin dihasilkan dapat ditentukan melalui pengaturan
komposisi larutan polimer, jenis pelarut dan bukan-pelarut (nonsolvent),
konsentrasi polimer, komposisi cairan dalam bak koagulasi, komposisi larutan
cetak, suhu larutan polimer, dan suhu koagulasi (Schwarz, 1989; Young dan
Chen, 1995; Shibata, 2004). Pelarut yang sering digunakan pada pembuatan
membran selulosa asetat antara lain adalah dimetilformamida (DMF),
dimetilasetamida (DMAc), dioksan, aseton, tetrahidrofuran (THF), dan
dimetilsulfoksida (DMSO). Air merupakan bukan-pelarut yang umum digunakan
pada proses pembuatan membran secara inversi fasa (Mulder, 1996; Cheryan,
1998; Solvay, 2008).
Menurut Cheryan (1998), terdapat dua tipe morfologi membran dari hasil
proses demixing, yaitu: instantaneous demixing dan delayed demixing.
Instantaneous demixing berarti bahwa struktur membran terbentuk segaera setelah
lapisan film dicelupkan ke dalam bukan-pelarut. Sebaliknya delayed demixing
diperlukan beberapa selang waktu sebelum terbentuk struktur membran. Bila
liquid-liquid demixing terjadi secara instantaneous, maka akan terbentuk
membran dengan lapisan atas yang berpori. Hasil mekanisme demixing ini terjadi
dalam pembentukan membran berpori (tipe mikrofiltrasi/ultrafiltrasi). Namun,
bila liquid-liquid demixing terjadi beberapa selang waktu sebelum terbentuk
membran maka akan dihasilkan membran dengan lapisan atas yang dense (rapat)
yang dikenal dengan mekanisme delayed demixing. Hasil mekanisme demixing ini
terjadi dalam pembentukan membran rapat (pemisahan gas/pervaporasi).
Menurut Mulder (1996), apabila larutan polimer terdiri dari polimer
selulosa asetat dengan pelarut DMF atau DMSO serta bukan-pelarut berupa air,
maka pembentukan morfologi membran akan mengikuti mekanisme
instantaneous demixing. Sebaliknya, apabila larutan polimer terdiri dari polimer
dengan THF atau aseton sebagai pelarut dan air sebagai bukan-pelarut maka
pembentukan morfologi membran akan mengikuti mekanisme delayed demixing.
Mekanisme pembentukan pori diawali dengan terjadinya pemisahan fasa,
yaitu fasa kaya akan polimer dan fasa miskin polimer. Fasa kaya akan polimer
akan membentuk padatan, sementara fasa miskin akan polimer akan larut dan
meninggalkan pori. Proses pemadatan lebih cepat dibandingkan proses pelarutan.
Lapisan atas membran terbentuk pertama sekali pada saat larutan cetak dicelupkan
pada bak koagulasi berisi air sebagai koagulan. Pelarut dan aditif yang terdapat
pada larutan cetak dengan cepat berdiffusi dalam larut ke air, sedangkan molekul-
molekul polimer dengan cepat beragregasi untuk membentuk padatan. Oleh
karena padatan yang terbentuk belum sempurna, maka pori yang ditinggalkan
pada padatan membran dari hasil proses pelarutan pelarut dan aditif pada bak
koagulasi sangat kecil. Proses pelarutan pelarut dan aditif pada lapisan bagian
bawah lebih lambat dibandingkan pada lapisan bagian atas. Ketika molekul
pelarut dan aditif larut, proses pemadatan sudah terjadi sempurna dan molekul
meninggalkan meninggalkan jejak sebesar dimensi molekul tersebut dan pori
yang dihasilkan lebih besar dibandingkan pada bagian atas (Young dan Chen,
1995 ; Javiya et al, 2008).
Pemanfaatan dan Peluang Teknologi Membran
Teknologi membran hingga sekarang sudah dikembangkan di berbagai
negara dan memiliki peran penting di industri. Teknologi membran tidak hanya
berhasil menggantikan teknik pemisahan konvensional pada berbagai industri,
namun juga telah terbukti berhasil menghasilkan effluen pada pengolahan limbah
industri dengan kualitas di atas standar baku mutu sehingga memungkinkan
effluent tersebut digunakan kembali sebagai air proses. Pemanfaatan itu
menghasilkan keuntungan dari segi biaya operasional. Selain itu konsumsi energi
teknologi ini sangat rendah karena pemisahan menggunakan membran tidak
memerlukan perubahan fasa sehingga dapat dilakukan pada suhu kamar (suhu
rendah) dan pengaruh ini berdampak terhadap biaya produksi. Penggunaan suhu
rendah dapat mencegah terjadinya kerusakan pada unsur-unsur yang rentan
terhadap panas dan tingkat kemurnian produk yang dihasilkan lebih tinggi dengan
kualitas yang lebih baik ramah lingkungan. Indonesia merupakan salah satu
bagian dari negara di Asia Tenggara yang berpotensi untuk mengembangkan
aplikasi membran. Dari setiap sumber daya alam yang ada juga dapat dijadikan
membran untuk dijadikan suatu produk yang dapat dijual (marketable).
Membran ultrafiltrasi mampu menolak semua padatan terlarut, partikel
koloid, senyawa terlarut dengan berat molekul tinggi seperti polisakarida, warna,
protein, jamur, dan bakteri. Sementara gula, garam-garam mineral, dan air lolos
melewati pori membran. Aplikasi yang sangat luas dibidang bioteknologi (proses
pemisahan produk : enzim, vitamin), biomedikal (pencucian darah dengan ginjal
buatan), industri makanan dan minuman (produk agroindustri), serta pengolahan
limbah cair (Bahan Berbahaya Beracun, B3) dari alkohol, pabrik kertas, pabrik
penyamakan kulit telah banyak dilakukan (Benziger, 1989 ; Shibata, 2004).
Dalam industri minyak atsiri, alternatif metode pemisahan dam pemurnian dapat
dilakukan dengan menggunakan membran filtrasi (LIPI, 2007). Kombinasi proses
ekstraksi minyak atsiri dengan super kritikal CO2 dan pemisahan dengan
membran telah dilakukan untuk pemisahan pelarut dengan minyak tanpa
memerlukan kondisi ektraksi dengan variasi yang besar (Sarmento et al., 2004).
Pada Tabel 8 dapat dilihat berbagai hasil penelitian dengan memanfaatkan
membran selulosa asetat.
Tabel 8. Pemanfaatan membran selulosa diasetat
No. Peneliti Judul Penelitian
1. Hiratsuko, N. et al.
(1996).
Rapid and Highly Sensitive Colloidal Silver Staining on Cellulose
Acetate Membrane for Analysis of Urinary Proteins.
2. Iijima, S. et al.
(1997).
Silmutaneous Analysis of Microheterogeneity of Immonuglobulins
and Serum Protein Fraction Using High-Voltage Isoelectric
Focusing on Six Celluoce Acetate Membrane.
3. Rahayu, I. et al.
(2000)
Synthesis and Characterization of Cellulose Acetae Hollow Fiber
Membrane and With Additive Variation for Clarification of Guava
Juice.
4. Darmo, H. K. et al.
(2003).
Upaya Penanganan Membran Fouling pada pengolahan Limbah
Textil
5. Notodarmojo, S.
et al. (2004a).
Pengolahan Limbah Cair Emulsi Minyak dengan Proses Membran
Ultrafiltrasi Dua-Tahap Aliran Cross-Flow.
6. Notodarmojo, S. et
al. (2004b)
Penurunan Zat Organik dan Teknologi Membran Ultrafiltrasi
dengan Sistem Aliran Dead-End. Kekeruhan menggunakan(Studi
kasus: Waduk Saguling, Padalarang)
7. Juansah, J. et.al.
(2009).
Peningkatan Mutu Sari Buah Nanas dengan Memanfaatkan Sistem
Filtrasi Aliran Dead-End dari Membran Seluloa Asetat.
8. Aripad. (2009). Pemurnian Virgen Coconout Oil (VCO) dengan Menggunakan
Membran Celulosa Asetat secara Ultrafiltrasi.
Komoditi pertanian di Indonesia sangat beragam, termasuk minyak atsiri.
Nilam merupakan salah satu dari sejumlah besar jenis minyak atsiri yang telah
berhasil disuling di Indonesia. Minyak ini banyak digunakan dalam industri
parfum, sabun, deterjen, dan kosmetika. Industri nilam merupakan penyumbang
devisa terbesar di antara ekspor minyak atsiri yang dihasilkan Indonesia. Ekspor
minyak nilam Indonesia pada tahun 2001 adalah ± 1.88 ton, dan pada tahun 2006
meningkat sebesar empat kali lipat (± 4.984 ton) (BPS, 2006). Sebagai produsen
nilam terbesar di dunia, Indonesia memasok 80% kebutuhan minyak nilam
Amerika. Sisanya yang 20% diimpor oleh Amerika dari Spanyol, Singapura,
Belanda, dan Perancis (Anonymous, 2009). Nanggroe Aceh Darussalam adalah
salah satu sentra produksi minyak nilam di Indonesia. Nahar (2009) dalam survai
yang telah dilakukan pada bulan Mei tahun 2009 ke salah satu daerah pengolahan
minyak nilam di daerah Aceh, tepatnya di Kabupaten Aceh Utara, diperoleh
keterangan dari petani pembuat minyak nilam, bahwa produksi mereka hanya
dihargai Rp. 250.000 – 300.000/Kg oleh petani pengumpul.
Kadar Patchouli Alkohol (PA) merupakan salah satu parameter yang
menentukan mutu minyak nilam. Standar mutu minyak nilam terbaik adalah
mempunyai kadar PA minimal 31% menurut SNI 06-2385-2006, tetapi untuk
standar mutu minyak nilam dalam pasar ekspor internasional yaitu minimal 38%
(Essential Oil Association of USA, 1975). Tuntutan pasar saat ini tentang kualitas
cenderung meningkat, dan industri minyak nilam di Indonesia harus mampu
mengikuti keinginan pasar tersebut. Jadi penyulingan yang dilakukan tidak hanya
terbatas untuk menghasilkan minyak nilam semata, tetapi juga membuat minyak
seperti yang diinginkan oleh pasar. Beberapa pengamatan yang dilakukan oleh
peneliti terhadap rendemen minyak nilam yang dihasilkan petani, diperoleh hasil
yang kurang memuaskan karena kandungan patchouli alcohol masih dibawah
30%, sedangkan kebutuhan pasar kandungan patchouli alcohol minimal 31%.
Permasalahan yang seperti ini sering dihadapi oleh petani minyak nilam karena
produk yang dihasilkan tidak memenuhi standar kualitas sehingga mengakibatkan
rendahnya daya jual. Oleh sebab itu memperbaiki mutu minyak nilam dalam hal
peningkatan kadar patchouli alcohol akan sangat membantu memecahkan
masalah diatas dengan cara melakukan penelitian sehingga didapat kualitas
minyak nilam yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI 06-2385-
2006). Peningkatan patchouli alcohol telah dilakukan dengan metoda distilasi
uap, distilasi aerasi, dan fraksinasi vakum dengan kandungan patchouli alcohol
dalam minyak nilam sekitarr 40% - 76% (Yudistira et al., 2010). Hanya saja pada
metode-metode tersebut operasi bekerja pada suhu tinggi, sehingga memerlukan
sejumlah energi.
Membran selulosa asetat bersifat hidrofilik dan mempunyai sisi aktif yang
bersifat polar, sehingga memiliki peluang untuk dapat berinteraksi dengan gugus
yang bersifat polar pada komponen yang akan dipisahkan. Interaksi antara
molekul/senyawa dengan membran dapat terjadi melalui ikatan kimia, yaitu ikatan
hidrogen. Breaken et al. (2005) menyatakan bahwa hidrofobisitas merupakan
parameter penting yang mempengaruhi retensi untuk molekul-molekul dengan
berat molekul di bawah Molecular Weight Cut Off (MWCO) membran. Patchouli
alkohol merupakan salah satu komponen penyusun minyak nilam yang lebih
bersifat polar dibandingkan komponen penyusun lainnya karena memilki gugus
hidroksil (-OH) Oleh karena antara membran selulosa asetat dan patchouli alkohol
bersifat polar, dan berat molekul masing-masing komponen penyusun mimyak
nilam relatif sama, maka peningkatan patchouli alkohol diduga dapat dilakukan
berdasarkan mekanisme perbedaan hidrofobisitas. Komponen utama serta sifat
fisika yang terdapat dalam minyak nilam tercantum pada Tabel 9.
Tabel 9. Komponen utama dalam minyak nilam*
Selain itu, seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan produk pangan
yang lebih berkualitas diperlukan suatu peran teknologi dengan proses pemisahan
No. Komponen Komposisi (%) Berat Molekul Titik Didih
(oC)
1. ß - patchoulene 1,7 – 4,8 204,35 248,83
2. α - gurjunene 0,0 – 5,0
3. α - guaiene 9,9 – 15,2
4. ß - caryophyllene 2,0 – 3,9 204,36 110
5. α - patchoulene 8,5 – 12,7 204,35 245,23
6. Seychellene 5,9 – 9,4 218,38 259,09
7. α - bulnesene 13,2 – 17,2 190,32 242,26
8. ß - guaienepoxide 0,1 – 0,2
9. α - bulnesenepoxide 0,2 – 0,4
10. norpatchoulenol 0,5 – 0,6 208,34 268,88
11. Patchoulol 31,2 – 46,0 222,37 280,37
12. Pogostol 1,9 – 2,7 208,34 274,43
*Maryadhi (2007); Dung et al. (1989)
yang bersifat tidak merusak komponen dan pemakaian energi yang rendah. Proses
pemisahan yang umum dilakukan menggunakan tambahan bahan kimia (filter aid)
sehingga menghasilkan limbah yang menimbulkan biaya pengolahan lingkungan
lebih tinggi.
Gula merupakan salah satu dari sembilan bahan kebutuhan pokok
masyarakat Indonesia. Diharapkan Indonesia dapat mencapai swasembada gula
pada tahun 2014 dan diperkirakan untuk swasembada nasional dibutuhkan sekitar
5,7 ton gula. Usaha untuk mencapai target tersebut dibutuhkan penambahan lahan
seluas 500 ribu hektare (Putri, 2010). Namun untuk memenuhi kebutuhan serta
mencapai target swasembada gula pada tahun 2014 tidak mungkin hanya
mengandalkan dari luas lahan yang ada. Sampai dengan 2009 luas lahan
perkebunan tebu di Indonesia 473 ribu ha atau naik 2,9% dibanding 460 ribu ha
pada 2008 (Market Intelligence, 2010). Disamping teknik penanaman bibit
dengan kualitas baik dan meningkatkan pemupukan, teknik proses pemurnian nira
mentah merupakan salah satu faktor untuk mendapatkan gula kristal dengan mutu
yang baik dan jumlah yang meningkat. Sebelum menjadi gula, tebu harus
melewati beberapa tahapan proses. Pada proses produksi gula hampir semua
tahapan proses merupakan proses pemisahan. Sebagian besar pabrik gula di
Indonesia menggunakan cara sulfitasi, defekasi, dan karbonatasi pada proses
penjernihan nira mentah. Tahapan pada proses penjernihan nira merupakan
tahapan untuk menghilangkan kontaminasi non sukrosa dari nira mentah.
Selanjutnya nira jernih masuk ke tahap kristalisasi dengan terlebih dahulu
dipekatkan dengan mengurangi kadar airnya. Pemurnian dengan metode ini masih
dihadapkan pada tingginya impuritas dalam produk dan besarnya kehilangan
sukrosa. Usaha untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas kristal gula, maka
sistem membran dengan teknik ultrafiltrasi dapat menggantikan proses
konvensional tersebut untuk memisahkan zat warna. Dengan demikian, untuk
memecahkan beberapa masalah terutama kualitas produk dan pemakaian energi,
diharapkan teknologi membran mampu diterapkan di bidang pangan
menggantikan sebagian teknologi konvensional.
Implemantasi teknologi membran akan semakin luas apabila terjadi
pengembangan yang sangat pesat dalam hal material membran, proses produksi
yang semakin baik, produksi membran yang semakin meningkat, serta kualitas
membran yang semakin baik. Keadaan tersebut secara langsung akan berdampak
pada penurunan harga membran sehingga proses membran menjadi lebih
ekonomis. Peluang terhadap suatu hasil agroindustri dapat dapat ditinjau dari dua
pendekatan, yaitu: (1) suplai bahan baku dan (2) permintaan pasar. Pendekatan
suplai bahan baku digunakan karena bahan baku yang tersedia banyak, namun
belum termanfaatkan sehingga nilainya menjadi rendah. Pengolahan suatu bahan
baku akan meningkatkan nilai tambah bahan baku tersebut, sementara pendekatan
permintaan pasar digunakan karena melihat adanya peluang pasar bagi produk
hasil pengolahan bahan baku tersebut. Melihat dari dua pendekatan tersebut dan
pemanfaatan membran yang dapat digunakan pada berbagai bidang, maka
teknologi membran memberi suatu peluang harapan yang baik digunakan pada
proses pemisahan.