bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdf · gerakan pernafasan dan peregangan thorak...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lanjut Usia (Lansia)
Lansia adalah umur untuk populasi orang tua diatas enam puluh tahun
yang disepakati oleh United Nation (UN) (World Health Organization, 2015).
Lansia merupakan bagian dari proses tumbuh kembang manusia. Penuaan bukan
suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang
ditandai dengan penurunan kemampuan dan fungsi tubuh baik secara fisik
maupun psikologis. Penuan alamiah atau fisiologis harus dibedakan dengan
penuan patologis, karena penurunan fungsional manusia tidak hanya disebabkan
oleh proses penuaan saja (penuaan fisiologis) tetapi bisa disebabkan oleh penyakit
atau penuaan patologis (Pudjiastuti dan Utomo, 2003).
Perubahan fisiologis normalnya akan terjadi pada setiap lansia.
Perubahaan fisiologis akan terjadi pada beberapa sistem dalam tubuh manusia,
yaitu sistem kardiovaskular dan respirasi, sistem saraf, sistem indra, sistem
integument dan sistem muskuloskeletal (Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Ismayadi,
2004; Martono, 2009).
Pada sistem kardiovaskular, kemampuan peregangan jantung akan
berkurang, karena perubahan jaringan ikat pada penumpukan lipofusin, ventrikel
kiri mengalami hipertrofi, dan masa jantung bertambah. Arteri pada lansia akan
mengalami penurunan hingga 50% dalam menjalankan fungsinya. Demikian pula
6
dengan sistem respirasi, sistem respirasi pada lansia mengalami perubahan pada
jaringan ikat paru, kapasitas total paru tetap sedangkan volume cadangan paru
bertambah. Pada lansia untuk mengkompensasi kenaikan ruang rugi paru, volume
tidal menjadi bertambah. Udara ke paru-paru lansia berkurang dan terjadi
perubahan pada sendi, kartilago, dan otot thorak mengakibatkan gangguan pada
gerakan pernafasan dan peregangan thorak (Pudjiastuti dan Utomo, 2003;
Ismayadi, 2004).
Pada sistem saraf lansia akan mengalami penurunan koordinasi dan
kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan
persepsi sensoris, respon motorik pada sisitem saraf pusat dan reseptor
proprioseptif mengalami penurunan. Akson, dendrit dan badan sel saraf banyak
mengalami kematian, sedangkan yang hidup mengalami perubahan. Akson pada
medulla spinalis mengalami penurunan 37%. Dendrit mengalami perubahan
menjadi lebih tipis dan kehilangan kontak antar saraf. Daya hantar saraf menurun
10% sehingga gerakan menjadi lamban. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi
kognitif, koordinasi, kekuatan otot, refleks, proprioseptif keseimbangan,
perubahan postur dan peningkatan reaksi (Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Martono,
2009).
Sistem penglihatan pada lansia erat kaitannya dengan presbiopi, lensa
mengalami kehilangan elastisitas dan kaku, otot penyangga lensa lemah dan
mengalami kehilangan tonus sehingga daya akomodasi dan ketajaman penglihatan
berkurang (Ismayadi, 2004; Martono, 2009). Pada sistem pendengaran lansia,
mengalami hilangnya sel-sel pada rambut koklear dan reseptor sensoris primer
7
pendengaran. Terjadinya gangguan pendengaran pada lansia disebabkan karena
koagulasi cairan yang terjadi selama otitis media atau tumor seperti kolesteatoma
(Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Ismayadi, 2004).
Pada sistem integument lansia yaitu atrofi glandula sebasea dan glandula
sudorifera menyebabkan kulit lansia akan menjadi kering. Selain itu kulit lansia
akan mengalami atrofi, kendur, berkerut, dan berbercak, serta mempunyai pigmen
berwana coklat pada kulit yang dikenal dengan liver spot. Faktor lingkungan
menjadi faktor utama yang menyebabkan perubahan kulit pada lansia, seperti
sinar matahari terutama sinar ultra violet (Pudjiastuti dan Utomo, 2003).
Pada sistem muskuloskeletal, jaringan penghubung (kolagen dan elastin)
yang merupakan protein pendukung jaringan kartilago, tulang, tendon, jaringan
ikat dan kulit mengalami perubahan menjadi cross linking yang tidak teratur.
Selain itu, pada sistem muskuloskeletal juga terjadi penurunan hubungan tarikan
linier pada jaringan kolagen dan penurunan tensile strength serta kekakuan dari
kolagen. Kolagen dan elastin yang merupakan jaringan penghubung mengalami
perubahan kualitatif dan kuantitatif sesuai penuaan. Perubahan jaringan
penghubung tersebut menyebabkan terjadinya penurunan fleksibilitas pada usia
lanjut yang nantinya menimbulkan dampak berupa timbulnya nyeri, penurunan
kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan untuk berdiri dari posisi
duduk, kesulitan jongkok dan kesulitan berjalan. Pada lansia, otot-otot juga akan
mengalami atrofi karena selain berkurangnya aktivitas juga akibat gangguan
metabolik atau denervasi saraf, hal ini dapat diatasi dengan memperbaiki pola
hidup (olahraga atau aktivitas yang terprogram). Dampak yang ditimbulkan akibat
8
dari perubahan morfologis otot tersebut adalah penurunan kekuatan otot,
penurunan fleksibilitas, peningkatan waktu reaksi dan penurunan fungsional otot.
Pada jaringan kartilago akan mengalami granulasi dan mulai melunak yang
nantinya akan menjadi rata. Kemampuan kartilago untuk regenerasi akan
berkurang dan kemampuan degenerasinya akan lebih meningkat. Pada lansia juga
akan mengalami penurunan kepadatan tulang dan bertambahnya jaringan
penghubung, penurunan jumlah dan ukuran serat, dan bertambahnya jaringan
lemak pada otot serta berkurangnnya elastisitas pada fasia, ligamen, dan tendon
yang akan memberikan efek negatif pada lansia (Pudjiastuti dan Utomo, 2003;
Ismayadi, 2004; Martono, 2009).
2.2 Pergelangan Kaki (Ankle)
2.2.1 Anatomi Fungsional Ankle
2.2.1.1 Komponen tulang pada sendi pergelangan kaki
Sendi pergelangan kaki dibentuk oleh 3 artikulasi tulang yaitu bagian
distal tulang tibia, bagian distal tulang fibula, dan tulang talus.
A. Tulang tibia
Tulang tibia memiliki bagian proksimal yang lebih besar dan berat dengan
bentuk korpus triangular dan bagian anterior serta batas medialnya terletak lebih
superfisial. Bagian medial dari tulang tibia membentuk malleolus medial (Lippert,
2011). Permukaan lateral dari malleolus medial merupakan artikular facet untuk
tulang talus. Pada sisi lateral dari distal tibia terdapat fibular notch yang
9
berbentuk konkaf triangular, sebagai tempat artikulasi dengan ujung distal fibula
untuk membentuk sendi distal tibiofibular (Neumann, 2010).
B. Tulang fibula
Tulang fibula merupakan tulang panjang dan pipih yang terletak pada lateral
cruris, sejajar dengan tibia. Sebagian besar dari korpusnya merupakan origo dari
otot-otot. Bagian tepi merupakan batas interoseus dengan tepi tajam menghadap
ke medial. Bagian distal dari tulang fibula membentuk malleolus lateral.
Malleolus lateral berfungsi sebagai katrol untuk tendon peroneus longus dan
brevis. Letak malleolus lateral lebih distal daripada malleolus medial. Pada
bagian medial dari malleolus lateral terdapat artikular facet untuk tulang talus
(Neumann, 2010; Lippert 2011).
C. Tulang talus
Tulang talus merupakan dasar mekanika dari aspeks kaki. Tulang talus terdiri
dari korpus, kolumn, dan kaput. Bentuk tulang talus seperti kubah, konveks secara
antero-posterior dan sedikit konkaf secara medial-lateral. Bagian superior dan
kedua sisi korpus berartikulasi dengan tibia dan fibula (Neumann, 2010; Lippert
2011).
2.2.1.2 Persendian regio pergelangan kaki (ankle)
A. Tibiofibular joint
Secara anatomis, tibiofibular joint bagian superior dan inferior terpisah dari
ankle tetapi memiliki peran memberikan gerakan asesori untuk menghasilkan
gerakan yang lebih luas pada ankle sehingga secara fungsional termasuk ke dalam
regio ankle. Tibiofibular superior joint adalah sendi sinovial plane joint yang
10
dibentuk oleh caput fibula dan facet pada bagian postero-lateral dari tepi
condylus tibia. Sedangkan tibiofibular inferior joint adalah sindesmosis dengan
jaringan fibrous (jaringan ikat) antara tibia dan fibula yaitu ligamen interosseous
tibiofibular dan ligamen tibiofibular anterior serta posterior (Anshar dan
Sudaryanto, 2011).
B. Ankle joint
Ankle joint atau talocrural joint termasuk ke dalam sendi sinovial hinge joint
dibentuk oleh malleolus tibia dan malleolus fibula serta talus. Permukaan
superior dan kedua sisi dari talus tertutupi oleh kartilago artikular dan terjepit
diantara malleolus, bagian ini disebut ankle mortise. Ankle mortise merupakan
permukaan yang konkaf, sementara talus merupakan permukaan yang konveks.
Malleolus medial memanjang sampai menutupi sepertiga dari sisi medial,
sedangkan malleolus lateral menutupi seluruh sisi lateral. Jika dilihat dari
superior, posisi malleolus medial lebih ke anterior daripada malleolus lateral.
Korpus dari talus berbentuk seperti baji dengan bagian anterior yang lebih lebar.
Pada gerakan dorsofleksi ankle, bagian anteriornya akan terjepit diantara
malleolus sehingga membatasi gerakannya. Sedangkan pada gerakan plantarfleksi
ankle, bagian posterior yang lebih sempit terjepit diantara malleolus,
memungkinkan pergerakan talus ke lateral karena luas gerak sendi yang lebih
besar daripada dorsofleksi ankle. Karena mobilitas talus pada gerakan
plantarfleksi ankle disertai posisi malleolus medial yang lebih superior, sehingga
memberikan beban tambahan pada ligamen collateral lateral ankle untuk
mempertahankan stabilitas ankle (Anshar dan Sudaryanto, 2011; Lippert, 2011).
11
Ankle joint diperkuat oleh ligamen deltoideum dan ligamen collateral lateral.
Ligamen deltoideum terdiri atas empat ligamen yang mengikat malleolus medial
tibia dengan calcaneus, talus dan navicular yaitu ligamen calcaneotibia, talotibial
anterior, tibionavicular, dan talotibial posterior. Ligamen deltoideum juga
dibantu oleh ligamen spring (ligamen plantar calcaneonavicular) yang
memberikan hubungan horizontal antara os navicular dan proyeksi sustentaculum
tali pada bagian medial calcaneous (Anshar dan Sudaryanto, 2011).
Ligamen collateral lateral terdiri atas tiga ligamen yang menghubungkan
malleolus lateral dangan bagian upper lateral dari colcaneus serta bagian anterior
dan posterior talus, yang terdiri atas ligamen colcaneofibular, talofibular anterior
dan talofibular posterior. Ligamen collateral lateral lebih lemah daripada
ligamen deltoideum (sisi medial), diantara semua ligamen collateral lateral
terdapat ligamen talofibular anterior yang paling lemah (Anshar dan Sudaryanto,
2011).
C. Subtalar joint
Subtalar joint atau talocalcanea joint termasuk kedalam sendi sinovial plane
joint yang dibentuk oleh permukaan inferior talus dan superior calcaneus.
Subtalar joint diperkuat oleh ligamen talocalcanea interosseus, ligamen
talocalcanea posterior, ligamen talocalcanea lateral. Dibantu oleh ligamen
deltoideum (ligamen calcaneotibial dan talotibial posterior) dan ligamen
collateral lateral (ligamen calcaneofibular dan talofibular posterior) (Anshar dan
Sudaryanto, 2011).
12
D. Talonavicular joint
Secara anatomis dan fungsional, talonavicular joint merupakan bagian dari
talocalcaneonavicular joint. Talonavicular jonit diperkuat oleh ligamen
talonavicular dorsal dan ligamen bifurcatum, serta dibantu oleh ligamen
deltoideum (ligamen tibionavicular) (Anshar dan Sudaryanto, 2011).
E. Transversal tarsal joint
Secara fungsional, transversal tarsal joint merupakan gabungan dari 2 sendi
yaitu talonavicular joint (sisi medial) dan calcaneocuboid joint (sisi lateral),
walaupun secara anatomis terpisah. Transversal tarsal joint distabilisasi oleh
ligamen calcaneocuboid (ligamen plantaris yang panjang dan pendek) serta
dibantu oleh ligamen talonavicular dorsal, ligamen bifurcatum dan ligamen
deltoideum (ligamen tibionavicular) (Anshar dan Sudaryanto, 2011).
F. Intertarsal joint dan tarsometatarsal joint
Intertarsal joint dibentuk oleh tulang-tulang tarsal yaitu tulang navicular,
cuneiforme medial, cuneiforme intermediate, dan cuneiforme lateral serta
cuboideum. Intertarsal joint termasuk ke dalam sendi plane joint non-axial.
Tarsometatarsal joint terdiri atas lima sendi yaitu tarsometatarsal I – V, yang
dibentuk oleh ossa tarsalia bagian distal (cuneiforme medial, cuneiforme
intermediate, cuneiforme lateral, cuboideum) dengan basis metatarsal I sampai V.
Tarsometatarsal joint juga termasuk ke dalam sendi plane joint non-axial (Anshar
dan Sudaryanto, 2011).
13
G. Metatarsophalangeal joint
Metatarsalsophalanngeal joint terdiri atas lima sendi yaitu
metatarsalsophalanngeal joint I – V. Metatarsalsophalanngeal joint merupakan
modifikasi condyloid joint. Metatarsalsophalanngeal joint 1 (ibu jari kaki)
berbeda dengan lainnya karena lebih besar dan memiliki 2 tulang sesamoid
diantaranya (Anshar dan Sudaryanto, 2011).
H. Interphalangeal joint
Interphalangeal joint pada kaki termasuk kedalam sendi hinge joint. Pada ibu
jari kaki hanya terdapat interphalangeal joint, sedangkan pada jari II – V terdapat
proximal interphalangeal joint dan distal interphalangeal joint (Anshar dan
Sudaryanto, 2011).
I. Arkus plantaris
Arkus plantaris terdiri atas arkus longitudinal medial, arkus longitudinal
lateral, dan arkus transversal serta diperkuat oleh :
1. Bentuk tulang dan saling keterketaitan antara tulang satu dengan tulang
lainnya.
2. Ligamen dan aponeurosis plantaris yang merupakan struktur paling penting
dalam mempertahankan arkus.
3. Otot-otot plantaris yaitu otot tibialis posterior, fleksor hallucis longus,
fleksor digittorum longus dan peroneus longus (Anshar dan Sudaryanto,
2011).
14
Gambar 2.1 Struktur Tulang Pembentuk Foot and Ankle (Wolgin, 2012)
2.2.2 Kemampuan Fungsional Ankle
Kemampuan fungsional ankle merupakan kemampuan fisiologis yang
terdapat pada ankle. Regio ankle dan kaki memiliki beberapa sendi dan regio ini
sangat berperan penting dalam melakukan aktivitas seperti : berjalan, berlari, dan
menumpu berat badan saat berdiri. Ankle merupakan pusat titik tumpu berat badan
pada saat tubuh berdiri, berjalan, berlari, dan melakukan aktivitas fisik lainnya.
Biomekanik dari ankle memiliki fungsi sebagai stabilitator dan juga berperan
menjadi lever struktural yang kaku untuk gerakan tubuh saat berjalan atau berlari
(Miller and Alexander, 2003; Anshar dan Sudaryanto, 2011; Sari, 2014).
Kemampuan fungsional ankle pada lansia tidak jauh berbeda dengan
kelompok umur lainnya. Beberapa bentuk aplikasi dari kemampuan fungsional
15
ankle pada lansia meliputi pola jalan, menumpu berat badan saat berdiri dan
aktivitas fisik lainnya. Keseimbangan, kekuatan dan fleksibilitas sangat
diperlukan untuk mempertahankan postur tubuh yang baik pada lansia. Gangguan
kemampuan fungsional ankle pada lansia dapat disebabkan oleh gangguan
musculoskeletal dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis.
Semakin meningkatnya usia seseorang maka akan diikuti dengan penurunan
fungsi sistem tersebut. Penurunan kinerja tersebut secara tidak langsung
mempengaruhi kualitas aktivitas sehari – hari yang dilakukan oleh lansia
(Ismayadi, 2004; Urruela and Egol, 2011; Soliman and Brogan, 2014).
2.2.3 Penurunan Kemampuan Fungsional Ankle pada Lansia
Dalam sistem muskuloskeletal pada lansia terjadi perubahan pada jaringan
penghubung (kolagen dan elastin) menjadi cross linking yang tidak teratur. Cross
linking yang tidak teratur tersebut menyebabkan penurunan fleksibilitas otot
sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk
meningkatkan kekuatan otot, kesulitan untuk berdiri dari posisi duduk, kesulitan
jongkok dan kesulitan berjalan. Hal tersebut menyebabkan penurunan mobilitas
pada lansia yang berpengaruh terhadap kerja otot dan dapat menimbulkan
terjadinya muscle imbalance (Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Sari, 2014).
Muscle imbalance menyebabkan otot bekerja menjadi tidak seimbang
dalam mempertahankan kestabilan dan fungsional ankle saat berjalan, berlari,
melompat dan aktivitas lainnya yang melibatkan fungsi pergelangan kaki.
Sehingga otot deep posterior tibia akan bekerja lebih berat saat ankle memasuki
16
fase mid stance ke toe off ketika bejalan dan berlari. Sehingga otot akan cepat
lelah dan beban kontraksi berlebih secara terus menerus (Sari, 2014).
Akibat keadaan lansia yang mengalami penurunan mobilitas menyebabkan
terjadinya keterbatasan gerakan kaki. Gerakan ankle yang terbatas dapat
mengganggu aktivitas yang membutuhkan gerakan ankle yang cukup luas,
sehingga mengalami kesulitan disaat akan memasuki fase mid-stance saat
berjalan, akibatnya gerakan menjadi tidak efisien dan tidak efektif yang
berdampak terhadap penurunan kemampuan fungsional ankle (Saydah, 2013; Sari,
2014).
2.3 Latihan Calf Raises
Latihan calf raises adalah latihan penguatan otot-otot kaki bagian bawah
sekitar regio ankle khususnya calf muscle yang menggunakan beban tubuh
sendiri. Dengan menggunakan beban tubuh sendiri, latihan ini dapat
memaksimalkan kekuatan dari otot sehingga pada otot terjadi peningkatan tonus
otot yang mempengaruhi peningkatan kekuatan otot. Selain itu latihan calf raises
juga mengaktivasi propioceptif, maka dengan latihan ini akan menghasilkan suatu
performance yang lebih baik. Latihan calf raises ditujukan untuk memulihkan
berbagai gerak sendi dan fleksibilitas otot, meningkatkan kekuatan otot dan daya
tahan serta meningkatkan stabilisasi pada ankle, sehingga ankle lebih stabil dan
mencegah terjadinya cedera berulang (He´bert-Losier et al., 2009; Saydah, 2013;
Sari, 2014).
17
Gambar 2.2 Calf Muscle (Malone, 2011)
Latihan calf raises bertujuan untuk menciptakan lengthening dari tendon
achilles dan calf muscle sehingga dapat melepas abnormal crosslink yang
berdampak pada berkurangnya nyeri dan meningkatnya stabilisasi ankle serta
fleksibilitas ankle sehingga terjadinya peningkatan berjalan (Saydah, 2013; Sari,
2014).
Latihan calf raises dilakukan dengan cara, menyiapkan blok atau tangga
terlebih dahulu untuk melakukan standing calf raises. Berdiri dipinggir blok atau
tangga tersebut dengan tangan berpegangan pada tembok. Gerakan pada latihan
calf raises terdiri dari gerakan plantarfleksi dan dorsofleksi ankle. Pada saat
melakukan gerakan plantarfleksi ankle, saat itu ankle sedang mengangkat beban
berat badan sehingga akan terjadi kontraksi konsentrik pada tendon achilles dan
pada otot-otot penggerak plantarfleksi ankle yaitu otot gastrocnemius dan soleus,
yang dibantu oleh otot tibialis posterior, fleksor hallucis longus, fleksor digitorum
longus, serta otot peroneus longus dan brevis (Radford, 2006; He´bert-Losier et
al., 2009; Anshar dan Sudaryanto, 2011; Sari, 2014).
Sedangkan pada otot-otot penggerak dorsofleksi ankle yaitu otot tibialis
anterior, ekstensor hallucis longus, ekstensor digitorum longus, (juga ekstensor
18
jari-jari kaki), dan peroneus tertius akan terjadi kontraksi eksentrik. Saat ankle
kembali kearah gerakan dorsofleksi ankle, maka terjadi kontraksi eksentrik pada
tendon achilles serta pada otot-otot pengerak plantarfleksi ankle. Dan terjadi
kontraksi konsentrik pada otot-otot penggerak dorsofleksi ankle. Latihan ini
bertujuan untuk menciptakan kontraksi eksentrik dari calf muscle sehingga dapat
melepas abnormal crosslink dan dapat menyebabkan fleksibilitas dari jaringan
tersebut membaik. Selain itu, latihan ini juga dapat meningkatkan kekuatan otot
lower leg baik otot-otot penggerak plantarfleksi ankle maupun otot-otot
penggerak dorsofleksi ankle yang berperan dalam gerakan-gerakan ankle saat
berjalan, melompat dan lari, sehingga dapat memaksimalkan fungsional ankle
(Radford, 2006; He´bert-Losier et al., 2009; Anshar & Sudaryanto, 2011).
Gambar 2.3 Latihan Calf Raises (Artamon, 2015)
19
Manfaat pemberian latihan calf raises pada ankle (Saydah, 2013; Sari, 2014) :
1. Meningkatkan fungsional, stabilitas serta keseimbangan ankle
2. Meningkatkan fungsi sensorimotor dan propioceptif
3. Mempertahankan kekuatan otot ankle
4. Meningkatkan fleksibilitas ankle
5. Membentuk dan mengencangkan otot-otot tungkai bawah
6. Memelihara sistem sirkulasi
Prosedur pemberian latihan calf raises (Saydah, 2013; Sari, 2014) :
1. Sebelum melakukan latihan calf raises, pasien terlebih dahulu diberikan
penjelasan tentang bagaimana cara melakukan latihan calf raises dengan
benar dan manfaat atau tujuan dari latihan ini.
2. Kemudian siapkan blok kayu atau gunakan anak tangga sebagai tempat
untuk melakukan latihan calf raises.
3. Terapis memberikan contoh gerakan latihan calf raises yang akan
dilakukan.
4. Kemudian terapis yang bertugas berdiri disamping pasien memberikan
instruksi untuk memulai latihan sesuai dengan yang telah dijelaskan
sebelumnya dan mengawasi pasien selama melakukan gerakan latihan calf
raises.
20
Dosis pemberian latihan calf raises :
Tabel 2.1 Program Pemberian Latihan Calf Raises
Minggu Ke- Frekuensi Intensitas
Repitisi
1 3 x Seminggu Kontraksi selama 3 detik dan
relaksasi selama 6 detik
10 x 3 set
2 3 x Seminggu Kontraksi selama 3 detik dan
relaksasi selama 6 detik
15 x 3 set
3 3 x Seminggu Kontraksi selama 3 detik dan
relaksasi selama 6 detik
15 x 3 set
(Sari, 2015)
2.4 Pengaruh Pemberian Latihan Calf Raises terhadap Kemampuan
Fungsional Ankle pada Lansia
Kemampuan fungsional ankle merupakan kemampuan fisiologis yang
terdapat pada ankle. Pada lansia mengalami penurunan mobilitas yang
menyebabkan terjadinya keterbatasan gerakan kaki karena dalam sistem
musculoskeletal pada lansia terjadi perubahan pada jaringan penghubung (kolagen
dan elastin) menjadi cross linking yang tidak teratur dan terjadi muscle imbalance.
Cross linking yang tidak teratur tersebut menyebabkan penurunan fleksibilitas
otot. Muscle imbalance menyebabkan otot bekerja menjadi tidak seimbang dalam
mempertahankan kestabilan dan fungsional ankle saat berjalan, berlari, melompat
dan aktivitas lainnya yang melibatkan fungsi pergelangan kaki (Miller and
Alexander, 2003; Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Saydah, 2013; Sari, 2014).
Pemberian latihan calf raises akan menciptakan lengthening dari tendon
achilles dan calf muscle sehingga dapat melepas abnormal crosslink,
meningkatkan kekuatan otot lower leg baik otot-otot penggerak plantarfleksi
21
ankle maupun otot-otot penggerak dorsofleksi ankle, meningkatkan stabilisasi
ankle serta fleksibilitas ankle (Saydah, 2013; Sari, 2014).
Pada saat melakukan gerakan latihan calf raises terjadi kontraksi
konsentrik dan eksentrik pada tendon achilles serta pada otot-otot penggerak
plantarfleksi ankle maupun otot-otot penggerak dorsofleksi ankle. Pada kontraksi
eksentrik yaitu gerakan dorsofleksi ankle saat melawan beban terjadi aktivitas
kontraktil. Serat-serat otot-otot plantarfleksor ankle yaitu otot gastrocnemius dan
soleus, yang dibantu oleh otot tibialis posterior, fleksor hallucis longus, fleksor
digitorum longus, serta otot peroneus longus dan brevis serta termasuk tendon
achilles tetap berkontraksi melawan peregangan, dan ketegangan ini menahan
berat badan yang menyebabkan terjadinya lengthening dari tendon achilles atau
calf muscle (Radford, 2006; Anshar dan Sudaryanto, 2011).
Selama kontraksi eksentrik, kekuatan otot yang dihasilkan dari otot lebih
tinggi bila dibandingkan dengan kontraksi isometrik dan kontraksi konsentrik. Hal
ini terjadi karena selama kontraksi eksentrik ketegangan yang dihasilkan dari
sliding myofilament meningkat sehingga terjadi peningkatan pada elastisitas
serabut otot yang berdampak pada terlepasnya abnormal crosslink. Selain itu,
pada kontraksi eksentrik pembuluh darah dalam keadaan yang bebas sehingga
memungkinkan nutrisi dan suplai oksigen menjadi tercukupi. Hal ini dapat
mempengaruhi kemampuan fungsional ankle dimana kemampuan fungsional
ankle tersebut akan dapat meningkat dengan pemberian latihan calf raises
(Radford, 2006; Anshar dan Sudaryanto, 2011).
22
2.5 Foot and Ankle Ability Measure (FAAM)
FAAM terdiri dari 2 sub skala yaitu sub-skala fungsi dalam kehidupan
sehari-hari atau activities daily living (ADL) dan sub-skala sports.
Pada sub-skala fungsi dalam kehidupan sehari-hari atau activities daily living
(ADL) terdapat 21 item yaitu :
A1 Berdiri
A2 Berjalan diatas tanah rata
A3 Berjalan diatas tanah rata tanpa sepatu
A4 Berjalan menanjak
A5 Berjalan menurun
A6 Naik tangga
A7 Turun tangga
A8 Berjalan diatas tanah tidak rata
A9 Jalan ditempat
A10 Jongkok
A11 Melangkah dengan jari-jari kaki
A12 Berjalan perlahan
A13 Berjalan 5 menit atau kurang
A14 Berjalan kurang lebih selama 10 menit
A15 Berjalan selama 15 menit atau lebih
A16 Pekerjaan rumah
A17 Aktivitas kehidupan sehari-hari
A18 Perawatan diri
A19 Saat sedang bekerja (berdiri, berjalan)
23
A20 Pekerjaan berat (mendorong/ menarik,mendaki, mengangkat)
A21 Aktivitas rekreasional
Sedangkan pada sub-skala sports terdapat 8 item yaitu :
S1 Berlari
S2 Melompat
S3 Menapak
S4 Memulai dan berhenti dengan cepat
S5 Pergerakan menyilang
S6 Aktivitas dengan efek rendah
S7 Kemampuan untuk menunjukkan aktivitas dengan teknik normal
S8 Kemampuan untuk mengikuti olahraga yang disukai
Pengisian form FAAM, baik pada sub-skala fungsi dalam kehidupan sehari-hari
atau activities daily living (ADL) dan pada sub-skala sports dapat dilakukan
dengan memberi rentang skor 0-4 (Martin et al., 2005) :
0 : Unable to do (tidak dapat melakukan aktivitas dimaksud).
1 : Extreme difficulty (dapat melakukan aktivitas dimaksud dengan bantuan di
2 sisi tubuh).
2 : Moderate difficulty (dapat melakukan aktivitas dimaksud dengan bantuan
di 1 sisi tubuh).
3 : Slight difficulty (dapat melakukan aktivitas dimaksud dengan mandiri tapi
terkadang perlu bantuan).
4 : No difficulty at all (dapat melakukan aktivitas dimaksud dengan mandiri).
24
Penghitungan nilai skor pada FAAM dilakukan dengan cara :
1. Pada sub-skala fungsi dalam kehidupan sehari-hari atau activities daily living
(ADL)
2. Pada sub-skala sports
Keterangan :
- : sampai dengan
Nilai skor akhir untuk masing-masing sub-skala adalah 0-100 dengan pembagian
sebagai berikut :
0-25 : Severely abnormal (fungsional ankle sangat tidak berfungsi normal).
26-50 : Abnormal (fungsional ankle tidak berfungsi normal).
51-75 : Nearly normal (fungsional ankle mendekati fungsi normal).
76-100 : Normal (fungsional ankle normal) (Martin et al., 2005).