bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
9
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Kondisi Bonding Antar Lapis Perkerasan
Sebuah struktur perkerasan jalan terdiri dari beberapa lapis material yang berbeda
yang menghasilkan suatu tingkat daya lekat (adhesion) tertentu antar lapis
perkerasannya. Kerusakan jalan akibat penggeseran (slippage failure) telah secara
luas dilaporkan oleh para peneliti (Tschegg et al., 1995; Lepert et al. , 1992;
TRRL, 1979). Penggeseran (slippage) dan pengelupasan lapis perkerasan adalah
salah satu fenomena akibat lemahnya tingkat daya lekat antar lapis perkerasan
(West et al., 2005). Kondisi kerusakan ini adalah lokal dan tidak merupakan
kerusakan struktur jalan keseluruhan, walaupun begitu hal tersebut menyebabkan
jalan tidak dapat melayani lalu lintas (Brown dan Brunton, 1984). Kerusakan jalan
tipikal yang disebabkan oleh lemahnya daya lekat antar lapis permukaan jalan adalah
retak slippage (Romanoschi dan Metcalf, 2001). Hal ini sering terjadi pada daerah
pengereman dan membeloknya kendaraan.
Kondisi daya lekat antar lapis perkerasan sangat penting dalam perencanaan, analisis
dan evaluasi struktur perkerasan jalan. Daya lekat yang kuat akan menyebabkan
setiap lapis perkerasan akan bekerja bersama-sama dalam menerima beban lalu lintas.
Sebaliknya tidak adanya daya lekat (debonding) antar lapis perkerasan akan
menyebabkan masing-masing lapis perkerasan bekerja sendiri-sendiri akibat tidak
adanya geser yang kontinyu pada interface (Hakim, 2002).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan daya lekat antar lapis perkerasan
(Hachiya dan Sato, 1998). Pertama, interval waktu konstruksi antar lapis perkerasan.
Kekuatan daya lekat akan menaik apabila interval waktunya makin pendek.
Sebaliknya, kekuatan daya lekat akan menurun apabila interval waktunya makin
panjang. Kedua, diaplikasikannya tack coat antara lapis perkerasan. Terkait dengan
tack coat ini, curing time dari tack coat sangat berpengaruh terhadap kekuatan daya
10
lekat. Kekuatan daya lekat sesudah curing 24 jam lebih besar dibandingkan sesudah
curing 1 jam. Selain itu diaplikasikannya material tack coat jenis baru, seperti
Rubberized Emulsified Asphalt, akan mendapatkan kekuatan daya lekat yang
diharapkan. Ketiga, faktor adanya kotoran seperti karet atau tanah pada lapis
perkerasan yang akan di overlay. Adanya kotoran ini akan menurunkan kekuatan
daya lekat antar lapis perkerasan
Pemberian tack coat sebelum lapisan perkerasan jalan baru digelar di atas lapisan
jalan yang lama adalah teknik yang biasa digunakan untuk menghasilkan daya lekat
yang kuat. Saat ini aplikasi pemberian tack coat untuk beberapa negara berbeda-beda
karena perbedaan spesikasi tack coat dan metoda pelaksanaan pekerjaannya.
Kondisi daya lekat (adhesion) antar lapis perkerasan berpengaruh terhadap kinerja
perkerasan jalan melalui pengaruh tingkat tegangan tertentu yang dialami oleh bahan
dan material jalan (Uzan et al., 1978)
.
Studi yang dilakukan oleh Van Cauwelaert et al. (1989) menyebutkan bahwa gesekan
sebagian (partial friction) adalah representasi terbaik dari kondisi interface insitu
antar lapis perkerasan tetapi tidak ada data percobaan untuk mengkuantifikasi
parameter ini yang telah dilaporkan. Irwin (1992) melaporkan berbagai macam
metodologi untuk mengevaluasi struktur perkerasan masih belum sensitif terhadap
derajat daya lekat (degree of bonding) antara lapis perkerasan jalan. Brown dan
Brunton (1984) menyatakan bahwa relatif masih sedikit yang diketahui mengenai
tegangan geser aktual pada interface lapis perkerasan, sehingga diperlukan banyak
penelitian untuk mempelajari masalah tersebut.
Saat ini, sebagian besar desain perkerasan lentur jalan raya mengasumsikan bahwa
daya lekat yang sangat kuat (full bond) terjadi antar lapis perkerasan (Brown dan
Brunton, 1985). Pada kondisi yang sebenarnya, kondisi daya lekat ini tidak diketahui
dan berada pada rentang mulai daya lekat yang sangat kuat (full adhesion) sampai
11
dengan tidak adanya daya lekat sama sekali (zero adhesion), tergantung pada
material properties dan kualitas konstruksinya (Kruntcheva et al., 2005).
Terkait dengan kondisi bonding antar lapis perkerasan beraspal, analisis numerik
telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Uzan et al.(1978) dengan
menggunakan program BISAR menjelaskan bahwa perubahan paling besar dalam
tegangan atau regangan tarik radial terjadi ketika shear reactian modulus (Ks)
bervariasi antara 100 dan 10.000 MN/m3. Sehingga untuk kasus interface yang
bervariasi dari sangat licin (full slip) sampai dengan sangat kasar (full bond),
regangan tarik radial pada bagian bawah lapis permukaan terjadi paling tinggi dan
regangan tarik radial pada bagian atas lapis bawahnya berbalik menjadi compressive.
Kesimpulannya adalah distribusi tegangan atau regangan secara signifikan
dipengaruhi oleh besaran dari interface.
Brown dan Brunton (1984) meneliti pengaruh daya lekat yang lemah antara lapis
perkerasan. Program komputer BISAR telah digunakan untuk menganalisis suatu
struktur perkerasan. Sebagai kasus referensi, suatu struktur perkerasan dianalisis
dengan interface sangat kasar. Kemudian struktur dianalisis kembali dengan interface
sangat licin dan akhirnya dianalisis dengan interface kasar sebagian. Brown dan
Brunton (1984) menyimpulkan bahwa daya lekat sebagian pada interface akan
mengurangi usia perkerasan (pavement life) secara signifikan.
Hakim, et al. (2000) meneliti pengaruh daya lekat antara lapis permukaan (surface
coarse) dan binder coarse terhadap usia perkerasan untuk empat jenis struktur
perkerasan teoritis yang disebut perkerasan lemah, sedang, kuat dan sangat kuat.
Lendutan permukaan didaerah pembebanan dimonitor dengan besarnya dua regangan
kritis. Rata-rata terjadi penurunan usia perkerasan sebesar 20% pada nilai shear
reaction modulus mendekati nilai 10.000 MN/m3. Penurunan lebih jauh lagi sampai
dengan 50% terjadi ketika daya lekat tidak ada sama sekali (Kruntcheva et al., 2005).
12
Penelitian yang cukup signifikan yang menggambarkan interaksi antar lapis
perkerasan, adalah diperkenalkannya Interlayer Reaction Complex Modulus (Crispino
et al, 1998). Untuk meneliti fenomena interaksi antar lapis perkerasan, suatu
percobaan didesain dan dilakukan menggunakan peralatan yang dirancang khusus dan
dapat menghasilkan beban dinamik sinusoidal. Untuk merepresentasikan interaksi
antara lapis perkerasan digunakan horizontal restraint yang berupa model Kelvin
yang bersifat viscoelastic. Beban sinusoidal diekspresikan dengan persamaan : tiet ωττ max)( = ; sedangkan perpindahan antar lapis perkerasan s(t) diekspresikan
dengan persamaan : )(max)( ϕω −= tiests .
Dengan mengambil definisi modulus sebagai perbandingan antara tegangan (beban)
dengan regangan (perpindahan), maka dapat dinyatakan suatu Interlayer Reaction
Compleks Modulus (KI*) dengan suatu persamaan :
ϕτ
ϕτττ
ϕω
ω
sincos)()(*
max
max
max
max
max
max
si
sese
tstKI ti
ti
+=== −
dimana :
τmax adalah amplitudo tegangan geser sinusoidal
smax adalah nilai maksimum pergeseran antar lapis specimen perkerasan
ϕ adalah sudut fase antara tegangan geser dan perpindahan
Hakim et al (2000) dengan menggunakan analisis numerik mengidentifikasi rentang
bonding teoritis dengan bantuan software BISAR yang menghasilkan kondisi
bonding dalam parameter Bond Stiffnes (Ks) yang dapat dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu : de-bonding Ks ≤ 100 MN/m3 ; intermediate case 100 ≤ Ks < 10.000 MN/m3
dan full bonding Ks ≥ 10.000 MN/m3.
II.2 Model Matematis Bonding
Solusi numerik dari sistem perkerasan multilayer memerlukan informasi dari kondisi
batas antar lapis perkerasan untuk memperkirakan respons struktur akibat beban.
Kondisi batas dari interface antar lapis perkerasan ini dapat berupa full bond, artinya
(II.1)
13
mempunyai daya lekat yang kuat sehingga terjadi tegangan geser yang sama antara
dua sisi interface, atau sebaliknya kondisi tidak ada daya lekat sama sekali sehingga
tidak ada tegangan geser yang akan ditransfer antar lapis perkerasan. Oleh karena itu
diperlukan model fundamental untuk menggambarkan kondisi interface ini.
Pertimbangkan interface sebagai lapis tipis (thin layer) dengan ketebalan t, tegangan
geser τ, terjadi pada interface menghasilkan regangan geser γ, berdasarkan dari
persamaan berikut ini :
τ = G . γ
G adalah modulus geser dari material interface.
Untuk pergerakan horizontal yang kecil dari lapis interface, regangan geser dapat
didefinisikan sebagai :
Dimana Δu adalah pergeseran horizontal relatif pada dua sisi dari interface, sehingga
persamaan (II.2) menjadi :
⇔ utG
Δ⋅=τ
⇔ τ = Ks . Δu
dimana Ks = tG adalah modulus geser reaksi horizontal pada interface.
Persamaan ini merupakan persamaan konstitutif dari Goodman yang menggambarkan
prilaku dari interface (Goodman et al., 1968).
tuΔ
=γ
(II.2)
tuG Δ
⋅=τ
(II.3)
(II.4)
14
Romanoschi dan Metcalf (2001) mendefinisikan model interface dengan Model
Mekanis. Model mekanis dari interface adalah menyatakan hubungan antara
pergerakan geser sepanjang bidang interface dengan tegangan geser dan normalnya.
Beberapa model mekanis telah dikembangkan untuk menggambarkan prilaku
mekanik dua massa batuan yang berbeda. Selama pergeseran, interface mengalami 2
macam pergeseran relatif, yaitu pertama pergeseran normal yang membuat
pergerakan antar dua lapis makin berjauhan dan kedua pergeseran tangensial terhadap
bidang interface. Dari model mekanis ini kemudian dapat dikembangkan model
konstitutifnya.
Model konstitutif dari interface dapat diturunkan dengan baik dari data yang
dihasilkan oleh Direct Shear Test pada beban normal yang konstan. Karena beban
normal yang konstan maka coupling antar tegangan dapat diabaikan dan
permasalahan dapat lebih mudah diformulasikan dan dianalisis (Romanoschi dan
Metcalf, 2001).
Gambar II.1 Model Makroskopis dari Interface Antar Lapis Perkerasan Beraspal (Romanoschi dan Metcalf, 2001)
Model makroskopis yang diusulkan disebut dengan Model Dua Tahap, yaitu tahap
pertama adalah tahap dimana shear displacement proporsional dengan shear stress
sesuai dengan kaidah Goodman, derajat kemiringannya disebut Interface Reaction
Modulus (K). Pada tahap pertama ini, shear stress akan terus meningkat sampai
interface mengalami keruntuhan, shear stress maksimum pada saat runtuh disebut
Shear Strength (Smax). Tahap yang kedua adalah tahap setelah interface runtuh,
15
interaksi antar lapis perkerasannya digambarkan sebagai Simple Friction yang
diparameterkan dengan koefisien gesekan, mu. Oleh karena itu Model Dua Tahap ini
mempunyai tiga paramater, yaitu : K, Smax dan mu, seperti diilustrasikan pada
Gambar II.1
II.3 Bond Strength dan Bond Stiffness
Bond Strength dan Bond Stiffness adalah dua parameter yang berbeda yang
menunjukkan kondisi daya lekat pada interface antar lapis perkerasan. Istilah bond
strength terkait dengan tegangan geser (shear stress) maksimum yang dapat dipikul
oleh interface antar lapis perkerasan beraspal tepat pada saat runtuh (West et al.,
2005), sedangkan istilah bond stiffness terkait dengan nilai rasio tegangan geser dan
besar pergerakan gesernya yang terjadi pada interface antar lapis perkerasan beraspal.
Istilah ini dipakai oleh Hakim et al. (2002) untuk menggambarkan modulus geser
reaksi horizontal pada interface seperti yang terlihat pada persamaan II.4.
Pengertian Bond Strength erat kaitannya dengan konsep shear stress yang
menunjukkan prilaku kekuatan geser dari suatu bahan. Istilah Shear Stress (τ) adalah
menunjukkan besarnya respons dari interlayer lapis perkerasaan akibat gaya
horizontal (F) yang diterapkan pada lapisan perkerasan tersebut, seperti terlihat pada
Gambar II.2 berikut :
Gambar II.2 Kasus Shear Stress
F
τ
16
Yang dimaksud dengan Bond Strength (Bs) adalah shear stress maksimum yang
menyebabkan keruntuhan daya lekat antar lapis perkerasan beraspal tersebut.
Persamaan Shear Stress dan Bond Strength adalah sebagai berikut.(West et al., 2005)
τ = Shear Stress (kg/cm2) Bs = Bond Strength (kg/cm2) Fmax = Beban maksimum yang diterima sampel (kg) A = luas penampang melintang sampel (cm2)
Tinjau elemen interface pada Gambar II.3, untuk Bond Stiffness dapat diturunkan dari
persamaan konstitutif dari Goodman et al. (1968) seperti yang dinyatakan pada
persamaan II.7 sebagai berikut :
Gambar II.3 Elemen Interface
τ = G . γ
⇔ τ = G ( Δu / t )
⇔ τ = ( G / t ) . Δ u ; jika Ks = (G / t )
⇔ τ = Ks . Δu .
⇔
dimana Ks adalah Bond Stiffness (MN/m3 atau MPa/m )
AF
=τ
AFBs max=
(II.5)
(II.6)
(II.7) u
Ks Δ=
τ
17
Persamaan II.7 merupakan definisi dari Bond Stiffness sekaligus menunjukkan
hubungannya dengan Shear Stress. Kemiringan dari kurva Shear Stress-Displacement
pada Gambar II.4 adalah merupakan nilai bonding stiffness pada interface antar
lapisan beraspal (Hakim et al., 2000).
Gambar II.4 Kurva Hubungan Shear Stress dengan Bonding Stiffness (Hakim et al., 2000)
II.4 Modulus Tangen dan Modulus Sekan
Salah satu dari beberapa parameter elastis yang dipergunakan untuk analisis
deformasi dari benda padat diberikan oleh kemiringan dari bagian lurus kurva
tegangan regangan (Bowles, 1984). Parameter ini yaitu modulus elastisitas, E, adalah:
Modulus elastisitas merupakan ukuran dari deformasi dan kekakuan material. Apabila
penggambaran tegangan regangan berupa lengkungan, suatu interpretasi akan
uKs Δ
=τ
εσΔΔ
=E (II.8)
18
dibutuhkan dalam memperoleh modulus tangen ataupun modulus sekan seperti
terlihat pada Gambar II.5 berikut :
Gambar II.5 Modulus Tangen dan Modulus Sekan (Bowles, 1984)
Kurva-kurva tegangan regangan untuk material beraspal, merupakan kurva yang tidak
linier atau melengkung sepanjang batas-batas yang harus ditinjau. Walaupun lebih
biasa menyebut ’modulus tegangan-regangan’ dari pada modulus elastisitas. Biasanya
Modulus Tegangan-Regangan diberi subskrip untuk membedakan dengan modulus
elastisitas seperti rumus berikut :
Pada umumnya modulus tangen awal dipakai untuk menghitung Es yang secara tidak
langsung memungkinkan pemakaian batas-batas linier. Terdapat dua metode yang
biasa dipakai untuk menghitung modulus tegangan-regangan dari kurva-kurva
tegangan regangan yang tidak linier :
1. Modulus Tangen, modulus yang berdasarkan kemiringan garis yang
menyinggung kurva tegangan regangan pada satu titik. Modulus tangen awal
merupakan modulus yang paling biasa dipakai (garis singgung terhadap titik
asal), oleh karena kemiringan pada titik tidak sangat berpengaruh oleh faktor
lingkungan.
εσΔΔ
=sE (II.7)
19
2. Modulus Sekan, modulus yang berdasarkan pada kemiringan garis sekan.
Garis Sekan memotong kurva tegangan-regangan pada dua titik. Apabila
dipakai, kedua titik ini biasanya berjarak sama dari tegangan yang bekerja.
Gambar II.6 Contoh Perhitungan Modulus Tangen dan Modulus Sekan (Bowles, 1984)
Collop et al (2003) menggunakan modulus tangen untuk menghitung shear reaction
modulus atau Bond Stiffness pada serangkaian percobaan dengan menggunakan
Leutner Test, seperti yang diilustrasikan pada Gambar II.7
Gambar II.7 Grafik tipikal Shear Stress-Displacement menggunakan Leutner Test
(Collop et al., 2003)
20
II.5 Pengaruh Kondisi Bonding Antar Lapis Perkerasan Terhadap Kinerja Perkerasan.
Pengaruh kondisi interface terhadap kinerja perkerasan terlihat dari percobaan yang
dilakukan terhadap beberapa perkerasan empat lapis. Terdapat beberapa variasi tegangan,
regangan dan lendutan akibat kondisi bonding, seperti terlihat pada Tabel II.1 (Uzan et
al., 1968).
Tabel II.1 .Hasil analisis struktur pada Perkerasan 4-Lapis dengan berbeda kondisi interface (Uzan et al., 1967)
Terlihat pada Tabel II.1 , besarnya tegangan, regangan dan lendutan aktual untuk tiga
kasus kondisi interface yang berbeda dibandingkan dengan tegangan, regangan dan
lendutan untuk kasus daya lekat yang kuat. Terlihat bahwa dalam banyak kasus
tegangan, regangan dan lendutan meningkat jika salah satu kondisi interface berubah
dari rough (daya lekat kuat) menjadi smooth (tidak ada daya lekat sama sekali). Tabel
II.1 tersebut juga menunjukkan bahwa terjadi peningkatan regangan tarik pada bagian
bawah lapis perkerasan yang terletak dekat interface yang mempunyai kondisi
bonding yang telah berubah.
21
Uzan et al. (1967) menunjukkan distribusi regangan radial pada lapis perkerasan
dengan merubah kondisi interface antar dua lapis pertama dengan bantuan program
BISAR. Dinyatakan bahwa perubahan kondisi interface dari daya lekat yang kuat
sampai dengan tidak ada daya lekat sama sekali, regangan tarik radial pada bagian
bawah lapis pertama menjadi tertinggi dan regangan tarik radial pada bagian atas
lapis kedua sebaliknya berubah menjadi tekan. Hasil yang sama juga didapatkan oleh
Shahin et al (1986) seperti terlihat pada Gambar II.8.
Gambar II.8 Regangan horizontal pada sumbu roda tunggal DC-9 (Shahin et al., 1986)
Brown dan Brunton (1984) meneliti pengaruh dari kurangnya daya lekat antar lapis
perkerasan, lihat Tabel II.2. Sebagai referensi kasus, struktur pertama-tama dianalisis
dengan interface sangat kasar yang berarti daya lekat yang kuat. Selanjutnya struktur
di analisis kembali dengan kondisi interface yang kasar sebagian atau licin pada
masing-masing interface yang pertama (bagian atas) dan interface yang kedua
(bagian bawah) secara bergantian. Tabel II.2 menunjukkan persentase usia
perkerasan dengan daya lekat yang lemah terhadap perkerasan dengan daya lekat
yang kuat, sehingga untuk perkerasan dengan daya lekat yang kuat pada kedua
interface menghasilkan nilai 100%. Brown dan Brunton (1984) menyimpulkan bahwa
perkerasan dengan daya lekat yang lemah akan menyebabkan kerusakan lokal yang
22
Note : HRA, Hot Rolled Asphalt DBM, Dense Bitumen Macadam S-base, Subbase W-mix,, Wet mix.
prematur dan perkerasan dengan daya lekat yang sedang pada kedua interface dapat
mengurangi usia perkerasan sampai menjadi 30% nya.
Tabel II.2 Usia perkerasan dengan daya lekat yang lemah yang dinyatakan dengan persentase terhadap perkerasan dengan daya lekat yang kuat
(Brown dan Brunton, 1984).
Hakim (2002) menunjukkan dengan baik pengaruh daya lekat antar lapis perkerasan
terhadap mekanisme keruntuhan perkerasan jalan. Terdapat dua macam mekanisme
keruntuhan pada perkerasan lentur, yaitu rutting dan fatigue cracking. Rutting timbul
dari akumulasi regangan permanen struktur perkerasan. Jika regangan vertikal pada
bagian atas lapis subgrade masih dibawah nilai tertentu, kerusakan rutting tidak akan
terjadi kecuali desain campuran beraspalnya tidak baik serta pemadatan yang kurang
pada saat pelaksanaan. Retak pada campuran beraspal akan timbul dari perulangan
23
regangan tarik maksimum yang terjadi pada bagian bawah lapis campuran beraspal.
Jika retak mulai terjadi, hal ini kemudian akan menyebar keatas dan perlahan-lahan
menyebabkan keruntuhan perkerasan. (O’flaherty, 1985). Hakim (2002) menjelaskan
bahwa jika diasumsikan daya lekat nya tetap tidak berubah selama usia perkerasan
dan tidak sensitif terhadap temperatur, maka perkerasan dengan daya lekat yang
lemah akan menyebabkan kerusakan perkerasan jalan lebih cepat, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar II.9 dan Gambar II.10.
Gambar II.9 Pola Permulaan Retak dan Penyebarannya yang dimulai dari bagian bawah perkerasan (Hakim, 2002)
Gambar II.10 Pola permulaan retak dan penyebarannya yang dimulai dari permukaan perkerasan (Hakim, 2002)
Gambar II.9 menunjukkan bahwa pada perkerasan dengan daya lekat yang lemah
masing-masing lapis perkerasan bekerja sendiri-sendiri sehingga jika terjadi retak
akibat lemahnya subgrade akan menyebabkan keretakan pada dua lapis yang
bersamaan sehingga kerusakan jalan akan lebih cepat terjadi. Sebaliknya Gambar
24
II.10 menunjukkan bahwa jika retak dimulai dari permukaan perkerasan dan
menyebar terus ke lapis interface yang daya lekatnya lemah, hal ini mungkin akan
berlanjut menyebar ke arah horizontal yang menyebabkan penggeseran (slippage)
lapis perkerasan dan retak tidak akan berlanjut ke lapis dibawahnya.
Kruntcheva et al.(2005) melakukan studi teoritis untuk mendapatkan pemahaman
yang mendalam tentang konsekuensi dari daya lekat yang lemah terhadap kinerja
perkerasan lentur. Dua pendekatan pemodelan yang berbeda telah dilakukan. Yang
pertama adalah struktur perkerasan dianalisis dengan program BISAR yang
melibatkan kondisi interface dengan tingkat daya lekat yang berbeda-beda serta
beban statis standar horizontal dan vertikal ganda. Hasilnya menunjukkan bahwa
kondisi daya lekat antar lapis binder coarse dengan base dapat mengurangi usia
perkerasan menjadi sampai dengan 80% nya. Untuk kondisi daya lekat yang lemah
antara surface coarse dan binder coarse, usia perkerasan sangat sensitif terhadap
beban horizontal yang diakibatkan oleh lalu lintas. Yang kedua adalah dengan
menggunakan pemodelan linear dan non linear elemen hingga dua dimensi untuk
mengevaluasi kinerja struktur perkerasan yang mempunyai derajat daya lekat yang
bervariasi dengan pembebanan vertikal dan horizontal.
Romanoschi dan Metcalf (2001) menunjukkan dengan suatu pendekatan analitis
tentang pengaruh beban horizontal dan kondisi interface terhadap usia perkerasan
menggunakan metoda elemen hingga dengan bantuan progam ABAQUS. Struktur
perkerasan yang ditinjau adalah struktur perkerasan empat lapis, yang tersusun dari
lapis atas ke bawah terdiri dari lapis wearing, binder, granular base dan subgrade,
lapisan wearing dan binder berupa campuran beraspal. Sejumlah empat belas kasus
terkait kombinasi beban horizontal dan kondisi interface yang dianalisis dengan
mengevaluasi stress dan strain nya. Dari nilai strain yang didapat untuk setiap kasus
dihitung usia perkerasannnya dengan model fatigue cracking yang merupakan nilai
maksimum dari regangan tekan vertikal pada bagian atas lapis subgrade yang
kemudian digunakan untuk menghitung jumlah perulangan beban sampai terjadi
25
keruntuhan. Analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa beban horizontal secara
signifikan berpengaruh pada nilai regangan horizontal pada lapis permukaan beraspal
dan sedikit berpengaruh pada regangan vertikal pada bagian atas subgrade. Akhirnya
kombinasi beban horizontal dan kondisi interface yang kasar sebagian berpengaruh
terhadap terjadinya pengurangan usia perkerasan sebesar 15 kali dibandingkan
dengan struktur perkerasan standar yang hanya dibebani beban vertikal dan kondisi
interface yang daya lekatnya sangat kuat.
Ziari dan Khabiri (2007) melakukan studi pengaruh kondisi interface terhadap usia
perkerasan lentur. Model persamaan dari SHELL terkait dengan regangan tekan
vertikal pada bagian atas subgrade digunakan untuk menghitung usia perkerasan dari
sisi serviceability life. Selain itu model fatigue yang diturunkan dari percobaan
laboratorium juga digunakan dalam evaluasi usia perkerasan ini dari sudut fatigue
life. Program komputer Kenlayer digunakan untuk memodelkan interface kasar dan
licin dan akhirnya pendekatan elemen hingga digunakan untuk mengevaluasi struktur
perkerasannya untuk menghitung tegangan dan regangan yang terjadi. Terdapat
empat kasus yang ditinjau dari struktur perkerasan empat lapis dengan dua kondisi
interface yang masing-masing dikombinasikan, seperti terlihat pada Tabel II.3.
Tabel II.3 Empat kasus kondisi interface (Ziari dan Khabiri, 2007)
Dari empat kasus yang dikembangkan tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa dengan
mengasumsikan kondisi interface yang tidak kasar akan mengurangi usia perkerasan
sampai dengan 25% nya, apabila dibandingkan dengan perkerasan yang diasumsikan
kondisi interfacenya sangat kasar, seperti terlihat pada Gambar II.11
26
Gambar II.11 Fatigue dan Serviceability Life untuk kondisi interface yang berbeda (Ziari dan Khabiri, 2007)
II.6 Pengujian Laboratorium Kondisi Bonding
Pengujian laboratorium untuk mengetahui kondisi bonding antar lapis perkerasan
beraspal biasanya dilakukan dengan menggunakan Direct Shear Test. (Uzan et al.,
1978; Kruntcheva et al., 2006; Mohammad et al., 2005). Pengujian ini biasanya
melibatkan pemberian beban normal disamping pemberian beban geser sampai
keruntuhan daya lekat terjadi. Uzan et al. (1978) melakukan pengujian yang sama
menggunakan kotak geser pada sample persegi dan menemukan bahwa tahanan geser
dari interface menurun secara signifikan dengan meningkatnya temperatur dan
menurunnya tegangan normal. Hasil pengujian lainnya yang didapat dari beberapa
kombinasi material yang diuji mendapatkan kadar optimum dari aplikasi pemberian
tack coat pada kondisi tegangan geser yang maksimum pada interface.
Mohammad et al. (2005) menggunakan shear box yang dikombinasikan dengan
Superpave Shear Tester (SST). Walaupun bentuk luar cetakannya adalah persegi,
specimen yang digunakan pada saat pengujian adalah berbentuk silinder diameter
150mm. Cetakan terdiri dari dua bagian dengan kedalaman 50,8 mm yang sudah
27
dipersiapkan untuk dipasangkan dengan sebuah LVDT (Linear Variable Differential
Transducer) aksial dan geser, seperti terlihat pada Gambar II.12.
Gambar II.12 Cetakan Direct Shear Test yang dimasukkan ke SST (Mohammad et al.,2005)
Pada pengujian dengan SST ini diberikan beban geser dengan tingkat pembebanan
222,5 N/min pada specimen sampai akhirnya runtuh. Dengan SST ini diukur
displacement dari specimen interface menggunakan LVDT, kemudian hasilnya diplot
ke grafik seperti pada Gambar II.13
Gambar 11.13 Hasil pengujian SST tipikal (Mohammad et al., 2005)
Romanoschi dan Metcalf (2001) menggunakan Direct Shear Test dengan beban
normal untuk menguji sampel coring diameter 95 mm untuk memperkirakan besaran
interface dari material perkerasan yang didapat dari full scale test di USA, seperti
28
terlihat pada Gambar II.14. Pengujian dilakukan untuk meneliti interface antara lapis
permukaan (surface coarse) dan binder coarse dengan dan tanpa ditambahkan tack
coat. Terdapat 3 macam suhu dan empat level pembebanan normal yang diterapkan
pada sampel pengujian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada bagian awal
pengujian tegangan geser meningkat secara linear terhadap pergeserannya.
Keruntuhan terjadi ketika tegangan gesernya mencapai maksimum dan setelah runtuh
perilaku gesekan (frictional) diamati. Romanoschi dan Metcalf (2001) menemukan
bahwa walaupun variabilitas dari hasil pengujian sangat tinggi, nilai shear strength
dan shear reaction modulus dari interface yang diuji berturut-turut berada pada
rentang 0.5 – 2.5 MPa dan 200 – 1200 MPa/m
Gambar II.14 Alat Direct Shear Test (Romanoschi dan Metcalf, 2001)
Collop et al. (2003) melakukan pengukuran kondisi bonding dengan menggunakan
Leutner Shear Test. Alat ini dikembangkan di Jerman pada akhir tahun 1970an untuk
secara sederhana melakukan percobaan direct shear pada interface antara dua lapis
campuran beraspal. Pengujian ini dilakukan terhadap sampel silinder dengan diameter
150 mm baik yang dibuat di laboratorium maupun langsung diambil dari lapangan.
Prinsip pengujian adalah dengan menerapkan tingkat pergeseran yang konstan
sepanjang interface dan dihitung gaya gesernya. Beban normal tidak diaplikasikan
pada percobaan ini, seperti terlihat pada Gambar II.15.
29
Gambar II.15 Alat Leutner Shear Test (Collop et al.,2003)
Tingkat pergeseran yang diterapkan pada pengujian ini adalah sebesar 50mm/min
sehingga sistem pembebanan Marshall dan CBR dapat dimanfaatkan. Perlu dicatat
bahwa walaupun Leutner Test mempunyai proses pengujian yang mudah
dibandingkan jenis shear box test dengan pembebanan normal, pengujian ini tetap
rawan terhadap tegangan geser interface yang tidak seragam (Sutanto et al., 2006)
Terkait dengan pengujian dengan Leutner Shear Test, Sutanto et al. (2007)
melakukan modifikasi terhadap alat ini dengan membuat gap pada shear plane
sebesar 5mm untuk memberikan toleransi agar interface dari sample dapat lurus
dengan shear plane alat ini, seperti terlihat pada Gambar II.16
30
Gambar II.16 Diagram skematik dari Leutner Shear Test yang dimodifikasi (Sutanto et al., 2007)
Sholar et al. (2004) mengembangkan alat direct shear test yang sama untuk pengujian
terhadap sample core tanpa beban normal. Tingkat pembebanan yang dilakukan
adalah sebesar 50 mm/min pada temperatur 25 oC dan bukaan antar kotak gesernya
sebesar 4.8mm. Beberapa variabel lain seperti kadar aplikasi tack coat dan pengaruh
air juga diterapkan pada pengujian. Sholar et al. (2004) menemukan bahwa adanya
air pada permukaan tack coat mengurangi nilai shear strength. Selain itu untuk
beberapa kombinasi material, peningkatan aplikasi kadar tack coat akan
meningkatkan shear strength sedangkan kombinasi material lainnya tidak.
Hachiya dan Sato (1998) telah melakukan penelitian pengaruh tack coat terhadap
daya lekat antar material beraspal. Pengujian di lapangan dilakukan dengan
pengambilan core sample dari perkerasan lapangan terbang untuk dilakukan
pengujian geser. Pengujian di laboratorium dilakukan untuk memeriksa bagaimana
karakteristik daya lekat antar lapis perkerasan beraspal dipengaruhi oleh adanya debu
dan kotoran yang melekat di perkerasan lama. Kesimpulan yang didapat antara lain
jarak waktu antara pembuatan lapisan penutup dan lapisan dibawahnya berpengaruh
terhadap bond strength, tegangan akan berkurang jika interval waktunya meningkat
akibat kotoran yang terakumulasi, curing time tack coat berpengaruh terhadap
31
kekuatan geser, kekuatan daya lekat untuk curing time 1 jam kurang dari curing
setelah 24 jam. Selain itu penggunaan material tack coat yang baru juga mendukung
terhadap kekuatan bond strength nya. Beberapa contoh desain sampel untuk berbagai
macam percobaan dapat dilihat pada Gambar II.17
Gambar II.17 Direct Shear Test untuk AC dan Emulsified Asphalt (Hachiya dan Sato, 1998)
Soendiarto (2004) melakukan percobaan Direct Shear untuk sampel perkerasan
komposit pada variasi kadar tack coat dari 0,2 ltr/m2 sampai dengan 0,6 ltr/m2 dan
variasi pembebanan normal maksimum sampai dengan 80 kg. Kadar tack coat
optimum yang memberikan tegangan geser maksimum adalah sebesar 0,4 ltr/m2
untuk aspal emulsi, seperti terlihat pada Gambar II.18.
Gambar II.18 Kurva Tegangan Geser untuk variasi kadar tack coat Aspal Cair (Soendiarto, 2004)
32
West et al. (2005) telah melakukan penelitian yang disponsori The Alabama
Department of Transportation tentang Bond Strength yang meliputi percobaan
laboratorium dan hasilnya dilanjutkan dengan penelitian lapangan. Pada percobaan di
laboratorium, sampel yang digunakan adalah sampel desain Superpave bentuk
silinder dengan diameter 150mm dan tinggi 115mm kemudian di uji dengan alat
Direct Shear seperti terlihat pada Gambar II.18.
Gambar II.18 Alat Direct Shear Test (West et al., 2005)
Variasi percobaan dilakukan terhadap faktor-faktor tipe campuran beraspal, jenis tack
coat, kadar tack coat, beban normal dan temperatur, dengan total sampel sebanyak
324 buah. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa semua faktor mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap nilai bond strength dan temperatur pengujian mempunyai
pengaruh yang paling signifikan. Beban normal mempengaruhi Bond Strength dan
berbeda untuk temperatur tinggi, menengah dan rendah. Pada temperatur yang tinggi
ketika beban normal meningkat maka nilai bond strength juga meningkat. Pada
temperatur rendah dan menengah, bond strength tidak terlalu sensitif terhadap beban
normal yang diberikan. Tahap kedua dari penelitian ini melibatkan pengujian di
lapangan dengan menerapkannya ke tujuh macam proyek yang berbeda. Variasi
dilakukan terhadap kadar tack coat dan jenis tack coat.
33
Santagata dan Canestari (1994) menggunakan suatu alat Direct Shear Test yang
disebut Ancona Shear Testing Research and Analysis (ASTRA) untuk melakukan
studi pengaruh temperatur dan permukaan lapisan perkerasan terhadap prilaku geser
dari interface lapis perkerasan seperti terlihat pada Gambar II.19
Gambar II.19 Direct Shear Test ASTRA (Santagata dan Canestari, 1994)
Beberapa perbaikan telah dilakukan terhadap alat tersebut selama sepuluh tahun
terakhir. Di alat yang disebut ASTRA ini sudah terdapat beban normal pada sampel
selama pengujian geser dengan tingkat pergeseran 2,5mm/min.
Raab dan Partl (2004) menggunakan alat pengujian Layer Parallel Direct Shear
(LPDS) untuk melakukan penyelidikan yang ekstensif terhadap interlayer adhesion
dari sample yang dibuat di laboratorium dengan kadar tack coat yang bervariasi. Alat
LPDS tersebut terlihat pada Gambar II.20. Sampel terpotong material beraspal
dilekatkan kembali dengan mesin gyratory dengan kondisi interface yang licin dan
dikasarkan dengan sanblast. Hasilnya adalah sampel yang smooth (tanpa sandblast)
mempunyai gaya geser yang lebih tinggi dibandingkan sampel yang kasar.
34
Gambar II.20 Alat LPDS (Raab dan Partl, 2004)
Review terhadap beberapa pengujian diatas, akan menjadi referensi pada
pengembangan alat pengujian Direct Shear pada penelitian ini.
II.7 Model Elemen Hingga Struktur Perkerasan
Metoda elemen hingga adalah suatu metoda analisis struktur dengan menggantikan
suatu continuum dengan sejumlah elemen-elemen diskrit yang terhingga dan
terhubungkan satu sama lain dengan titik-titik nodal (Kumar, 1986) . Oleh karena itu
untuk penyelesaian analisis struktur perkerasan perlu dikembangkan model
elemennya terlebih dahulu.
Wolff (1982) mengusulkan untuk masalah struktur perkerasan tiga dimensi dapat
didekati dengan model axisimetric dua dimensi dengan mengambil elemen hingga
pada ukuran 2 x 3 meter, seperti terlihat pada Gambar II.21
35
Gambar II.21 Model Axisimetric Struktur Perkerasan (Wolff, 1982)
Kruntcheva et al. (2005) melakukan pemodelan struktur perkerasan lentur lima lapis
dan interface nya menggunakan pendekatan elemen hingga dengan bantuan program
ANSYS yang melibatkan analisis linier dan non linier serta pembebanan vertikal dan
horizontal. Geometri dan besaran perkerasan yang ditinjau dapat dilihat pada Gambar
II.22.
Gambar II.22 Struktur Perkerasan Lentur dan Propertinya (Kruntcheva et al.,2005)
Model perkerasan dibentuk meshing nya menggunakan elemen PLANE82 untuk
analisis linier dan PLANE42 untuk analisis non linier. Untuk memodelkan subgrade
36
yang tak hingga digunakan digunakan elemen SURF19 sepanjang batas bawah model
dengan modulus sama dengan modulus subgrade, seperti terlihat pada Gambar II.23.
Gambar II.23 Meshing Elemen Hingga dari Struktur Perkerasan Yang Ditinjau (Kruntcheva et al., 2005)
Model elemen hingga ini mempunyai ukuran 5m horizontal dan 4,5m vertikal.
Ukuran elemen paling kecil yang digunakan pada model FE tersebut adalah 20mm
dan paling besar 200mm serta formasi elemen sangat halus disekitar area
pembebanan. Kondisi batas model elemen hingga ini adalah pada batas kanan derajat
kebebasannya terikat penuh sehingga UX=UY=0, pada batas kiri yang merupakan
sumbu simetri dari model derajat kebebasannya terikat pada pergerakan horizontal
sehingga UX=0 dan batas paling bawah menggunakan elemen permukaan yang
menumpu pada subgrade yang tak hingga. Untuk memodelkan interface yang daya
lekatnya sebagian, digunakan lapis tipis dengan tebal 5 mm dan melalui serangkaian
simulasi didapatkan modulus elastis yang mewakili daya lekat yang sebagian ini
adalah kurang dari 100 MPa. Hasil dari analisis metoda elemen hingga ini kemudian
divalidasi dengan program BISAR yang menunjukkan kecenderungan yang sama
dalam hal kenaikan berbagai macam parameter yang disimulasikan. Namun nilai-nilai
respons yang diberikan mempunyai perbedaan persentasi yang lebih kecil
dibandingkan hasil program BISAR.
37
Romanoschi dan Metcalf (2001) melakukan analisis struktur perkerasan lentur lima
lapis menggunakan pendekatan elemen hingga dengan bantuan program ABAQUS
yang melibatkan analisis linier dan pembebanan vertikal dan horizontal. Besaran
struktur perkerasan yang ditinjau terlihat pada Tabel II.4.
Tabel II.4 Besaran Struktur Perkerasan
Karena terdapat dua sistem pembebanan yang dimodelkan, yaitu kombinasi vertikal
dan horizontal, dan pembebanan vertikal saja, maka meshing elemen hingga nya ada
dua macam, yaitu Mesh I dan Mesh II dengan ukuran 3,42 m panjang, 3,8 m lebar
dan kedalaman 7,8 m, seperti terlihat pada Gambar II.24.
Gambar II.24 Mesh I (kiri) dan Mesh II (kanan) (Romanoschi dan Metcalf, 2001)
38
Untuk memodelkan kondisi interface, program ABAQUS mempunyai fasilitas untuk
hal ini dengan menggunakan fitur contact interaction. Fitur ini biasanya digunakan
untuk memodelkan friksi antar dua permukaan kaku atau elastis. Dengan fitur ini
kondisi interface yang daya lekatnya parsial dapat dimodelkan.
Lebih jauh lagi, Uddin et al. (1998) melakukan studi analisis dinamis dari kerusakan
struktur perkerasan lentur dengan menggunakan pendekatan elemen hingga tiga
dimensi. Elemen yang digunakan adalah elemen SOLID tiga dimensi dengan bantuan
program komputer ABAQUS, seperti terlihat pada Gambar II.25..
Gambar II.25 Model SOLID dari Struktur Perkerasan (Uddin et al., 1998)
Untuk pemilihan model elemen hingga, sangat tergantung kepada sampai sejauh
mana simplifikasi dari model struktur perkerasan dalam hal faktor pembebanan,
kondisi liniearitas, kondisi anisotropis dari material serta berbagai macam faktor
lainnya terkait asumsi struktur perkerasan tersebut.