bab ii tinjauan pustaka.pdf
TRANSCRIPT
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencemaran Air Sungai
Air adalah molekul yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia
untuk dan demi peradapan manusia. Dari air bermula kehidupan dan karena air
peradapan tumbuh dan berkembang. Air mempertahankan suhu tubuh,
mendistribusikan nutrisi ke seluruh tubuh, melembabkan persendian, dan
membantu pencernaan makanan. Air juga merupakan unsur alam terpenting kedua
bagi kehidupan makhluk hidup setelah oksigen, maka air harus selalu tersedia
dalam jumlah yang cukup, mudah didapatkan dan memenuhui persyaratan untuk
dikonsumsi.
Manusia mendapatkan air dari sumber-sumber air, baik yang ada
dipermukaan tanah maupun air yang ada dalam tanah. Meskipun jumlah air di
bumi relatif tetap sebesar ± 1.4 miliar km3, namun 97.1% berada di laut yang
merupakan air yang mengandung kadar garam cukup tinggi, sekitar 2.15%
tersimpan dalam bentuk es dan yang mempunyai potensi untuk dipergunakan
manusia secara langsung maupun tidak langsung hanya 0.617%, dan 0.017
terdapat di sungai dan danau dan 0.600 berupa air tanah (Pramono 1999; PJT-I
2005). Menurut Machbub (1999), indeks ketersediaan air rata-rata (Average
Water Availability Index, WAI) dunia adalah 7.6 (1000 m3/kapita/tahun),
sementara di Asia hanya 4.0. WAI Indonesia adalah 16.8 lebih tinggi dari nilai
rata-rata WAI Asia, namun penyebarannya tidak merata. Pulau Jawa yang luasnya
mencapai tujuh persen dari total daratan wilayah Indonesia hanya mempunyai
4.5% dari total potensi air tawar nasional, namun pulau ini dihuni oleh sekitar
65% total penduduk Indonesia. Kondisi ini menggambarkan potensi kelangkaan
air di Pulau Jawa sangat besar. Jika dilihat ketersediaan air per kapita per tahun,
di Pulau Jawa hanya tersedia 1750 m3 per kapita per tahun, masih di bawah
standar kecukupan yaitu 2000 m3 per kapita per tahun. Jumlah ini akan terus
menurun sehingga pada tahun 2020 diperkirakan hanya akan tersedia sebesar
1200 m3
Secara alamiah sumber-sumber air merupakan kekayaan alam yang dapat
diperbaharui dan mempunyai daya generasi, namun akibat peningkatan beban
pencemaran oleh berbagai sumber akibat pertumbuhan penduduk, industri,
peternakan dan pertanian serta kegiatan lainnya telah menyebabkan pencemaran
per kapita per tahun.
12
sumber-sumber air (Cheng et al. 2003; KLH 2005a). Untuk menentukan tingkat
kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi tercemar atau kondisi baik suatu
sumber air dalam waktu tertentu dilakukan dengan membandingkan baku mutu
air yang ditetapkan. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 1990, sumber
air menurut kegunaan/peruntukannya digolongkan menjadi empat, yaitu:
1. Golongan A, yaitu air yang digunakan sebagai air minum secara langsung
tanpa pengolahan terlebih dahulu;
2. Golongan B, yaitu air yang dapat dipergunakan sebagai air baku untuk
diolah sebagai air minum dan keperluan rumah tangga;
3. Golongan C, yaitu air yang dapat dipergunakan untuk keperluan perikanan
dan peternakan; dan
4. Golongan D, yaitu air yang dapat dipergunakan untuk keperluan pertanian,
dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri dan listrik negara.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001, mutu air
diklasifikasikan menjadi empat kelas, yaitu:
a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air
minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut;
b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan,
air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan
ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan
tersebut;
d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi,
pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air
yang sama dengan kegunaan tersebut.
Air secara sangat cepat menjadi sumber daya yang makin langka dan tidak
ada sumber penggantinya karena dari jumlah air yang mungkin dapat
dimanfaatkan manusia, ternyata masih menghadapi beberapa permasalahan
mendasar yaitu: (1) adanya variasi musim dan ketimpangan spasial ketersediaan
air; serta (2) terbatasnya jumlah air segar di planet bumi yang dapat dieksplorasi
13
dan dikonsumsi; sedangkan jumlah penduduk dunia yang terus bertambah
menyebabkan konsumsi air segar meningkat secara drastis. Pemakaian air global
meningkat lima kali lipat pada abad yang lalu ketika penduduk dunia meningkat
dari satu setengah sampai enam miliar orang, dan ketersediaan air perkapita
diperkirakan akan menurun dengan sepertiganya pada beberapa dekade
mendatang ketika penduduk dunia mencapai hampir sembilan miliar orang di
tahun 2025.
Indonesia termasuk sepuluh negara kaya air, namun krisis air diperkirakan
akan terjadi juga akibat kesalahan pengelolaan air yang tercermin dari tingkat
pencemaran air yang tinggi, pemakaian air yang tidak efisien, fluktuasi debit air
sungai yang sangat besar, kelembagaan yang masih lemah dan penerapan
peraturan perundang-undangan yang tidak memadai. Pencemaran air berhubungan
dengan masalah limbah yang tergantung pada sifat-sifat kontaminan yang
memerlukan oksigen, memacu pertumbuhan algae, penyakit dan zat toksik.
Pencemaran terhadap sumber daya air dapat terjadi secara langsung dari saluran
pembuangan (sewer) atau buangan industri dan secara tidak langsung melalui
pencemaran air dan limpasan dari daerah pertanian dan perkotaan (non-point
sources. Menurut Effendi (2003), bahan pencemar memasuki sungai dapat
melalui atmosfer, tanah, limpasan pertanian, limbah domestik dan perkotaan,
pembuangan limbah industri, dan lain-lain.
2.1.1 Sumber Pencemaran Air Sungai
Sumber pencemaran yang masuk ke badan perairan, dibedakan atas
pencemaran yang disebabkan oleh alam (misal letusan gunung berapi, tanah
longsor, banjir) dan pencemaran karena kegiatan manusia. Sumber bahan
pencemar yang masuk ke perairan dapat berasal dari buangan yang
diklasifikasikan sebagai: (1) point source discharges (sumber titik) dan (2) non
point source (sumber menyebar). Sumber titik atau sumber pencemaran yang
dapat diketahui secara pasti dapat merupakan suatu lokasi tertentu seperti dari air
buangan industri maupun domestik serta saluran drainase. Pencemar bersifat lokal
dan efek yang diakibatkan dapat ditentukan berdasarkan karakteristik spasial
kualitas air. Sumber pencemar yang berasal dari sumber menyebar berasal dari
sumber yang tidak diketahui secara pasti. Pencemar masuk ke perairan melalui
14
run off (limpasan) dari permukaan tanah wilayah pertanian yang mengandung
pestisida dan pupuk, atau limpasan dari daerah permukiman dan perkotaan.
Pencemaran air sungai dapat berasal dari berbagai sumber pencemar antara
lain dari limbah industri, limbah rumah tangga, limbah pertanian dan lain-lain.
Limbah-limbah dimaksud dapat berupa zat, energi, dan atau komponen lain yang
dikeluarkan atau dibuang akibat sesuatu kegiatan baik industri maupun non-
industri. Menurut Effendi (2003), pencemaran air diakibatkan oleh masuknya
bahan pencemar berupa gas, bahan-bahan terlarut, dan partikulat, sedangkan
menurut Simonovic (2006) sumber pencemar air di dunia yang paling dominan
adalah limbah manusia, limbah industri dan bahan kimia, dan limbah pertanian
(pestisida dan pupuk). Bentuk-bentuk bahan pencemar tersebut mencakup bahan
organik industri, bahan asiditas, logam berat, amonia, nitrat, dan fosfat dan residu
pestisida dari pertanian. Davis dan Cornwell (1991) dalam Effendi (2003)
mengemukakan beberapa jenis pencemar dan sumbernya dalam Tabel 1.
Tabel 1 Beberapa jenis pencemar dan sumbernya
Jenis Pencemar
Point Source Non Point Source
Limbah Domestik
Limbah Industri
Limpasan Daerah
Pertanian
Limpasan Daerah
Perkotaan 1. Limbah yang dapat
menurunkan kadar oksigen
2. Nutrien 3. Patogen 4. Sedimen 5. Garam-garam 6. Logam yang toksik 7. Bahan organik yang toksik 8. Pencemaran panas
- - - -
- -
- -
1) Limbah Industri
Kegiatan industri memiliki potensi sangat besar untuk menimbulkan
terjadinya pencemaran air. Limbah industri adalah bahan buangan sebagai hasil
sampingan dari proses produksi industri yang dapat berbentuk benda padat, cair
maupun gas yang dapat menimbulkan pencemaran. Data dari Departemen
Perindustrian (2007) dalam KLH (2008a) menunjukkan bahwa air limbah industri
dibuang/terbuang ke sumber-sumber air di sejumlah daerah di Indonesia terutama
di pulau Jawa. Diperkirakan 250 ribu ton limbah industri dilepaskan ke sumber-
sumber air pada tahun 1990, dan pada tahun 2010 diproyeksikan meningkat
15
menjadi 1.2 juta ton per tahun (KLH 2008a). Tabel 2 menyajikan limbah yang
dihasilkan oleh jenis kegiatan industri.
Tabel 2 Kegiatan dan jenis limbah yang dihasilkan No Jenis Kegiatan Limbah yang Dihasilkan
1 Industri pangan Limbah organik, suspended solid, minyak dan lemak, logam berat, sianida, klorida, amoniak, nitrat, fosfor, dan fenol
2 Industri minuman Limbah organik, suspended solid, settleable solid, TDS, minyak dan lemak, warna, jumlah coli, bahan beracun, suhu, kekeruhan dan buih
3 Industri makanan Limbah organik, minyak dan lemak, logam berat, nitrat, fosfor, dan fenol
4 Industri percetakan Limbah organik, total solid, suspended solid, TDS, minyak dan lemak, logam berat, sulfit, amoniak, nitrat, fosfor,warna, jumlah coli, coli faces, bahan beracun, suhu, kekeruhan, klorinated benezoid.
5 Perkayuan & motor Limbah organik, logam berat, dan bahan beracun
6 Industri pakaian jadi Limbah organik, suspended solid, TDS, minyak dan lemak, logam berat, warna, bahan beracun, suhu, klorinated benezoid, dan sulfida
7 Industri plastik Limbah organik, total solid, settleable solid, TDS, minyak dan lemak, seng, sianida, sulfat, amoniak, fosfor, urea anorganik, bahan beracun, fenol, dan sulfida
8 Industri kulit Total padatan, penggaraman, sulfida, kromium, endapan kapur, dan limbah organik
9 Industri besi dan logam
Limbah organik, suspended solid, minyak dan lemak, logam berat, bahan beracun, sianida, pH, klorida, sulfat, amoniak, dan fenol
10 Aneka industri Limbah organik, suspended solid, settleable solid, TDS, minyak dan lemak, warna, jumlah coli, bahan beracun, suhu, kekeruhan, dan amoniak
11 Pertanian Pestisida, bahan beracun, dan logam berat
12 Perhotelan Deterjen, zat padat, bahan organik, nitrogen, fosfor, warna, jumlah coli, bahan beracun, dan kekeruhan
13 Rekreasi Limbah organik, kekeruhan, dan warna
14 Kesehatan Bahan beracun, logam berat, limbah organik, jumlah coli
15 Perdagangan Limbah organik, suspended solid, settleable solid, TDS, minyak dan lemak, amoniak, urea, fosfor, warna, jumlah coli, bahan beracun, dan kekeruhan
16 Pemukiman Deterjen, zat padat, limbah organik, nitrogen, fosfor, kalsium, klorida, dan sulfat
17 Perhubungan darat Logam berat, bahan beracun, dan limbah organik
18 Perikanan darat Limbah organik
19 Peternakan Limbah organik, suspended solid, klorida, nitrat, fosfor, warna, bahan beracun, suhu, dan kekeruhan
20 Perkebunan Limbah organik, suspended solid, TDS, minyak dan lemak, kromium, kalsium, klorida, sulfat, amoniak, natrium, nitrat, fosfor, urea anorganik, coli faces, suhu.
Sumber: Donald dan Klei (1979) dalam Taufik (2003).
16
Limbah industri dapat berupa bahan sintetik, logam, dan bahan beracun
berbahaya yang sulit diurai oleh proses biologi. Pada umumnya air limbah
industri mengandung air, pelarut organik, minyak, padatan terlarut, dan senyawa
kimia terlarut. Kandungan kimia limbah dapat berupa bahan organik atau
anorganik, dari air kotor yang tidak berbahaya hingga mengandung logam
beracun dan endapan organik. Limbah industri juga dapat mengandung logam dan
cairan asam yang berbahaya, misalnya limbah yang dihasilkan industri pelapisan
logam yang mengandung tembaga dan nikel serta cairan asam sianida, asam borat,
asam kromat, asam nitrat dan asam fosfat. Limbah tersebut bersifat korosif dan
dapat mematikan tumbuhan dan hewan air. Selain itu, limbah industri yang lebih
berbahaya adalah yang mengandung logam berat seperti merkuri (Hg), kromium
(Cr), timbal (Pb), kadmium (Cd), dan arsen (As). Logam berat tersebut bersifat
menetap dan mudah mengalami biomagnifikasi (Arisandi 2004). Apabila logam
berat mencemari air yang selanjutnya terkonsumsi oleh organisme, seperti ikan
dan biota perairan lainnya, maka akan mengumpul dalam waktu yang lama yang
bersifat sebagai racun yang akumulatif.
Di Jawa Timur, jumlah industri yang secara langsung mempengaruhi sungai
Brantas dan anak sungai utama termasuk Kali Surabaya adalah 483 industri
dengan total beban BOD mencapai 125 ton/hari (Harnanto & Hidayat 2003;
Masduqi & Apriliani 2008). Industri-industri tersebut dibagi menjadi 8 kelompok
berdasarkan pencemar utama yang dihasilkan, yaitu: (1) industri pulp dan kertas;
(2) pabrik gula; (3) industri kimia; (4) industri pertanian dan derivatifnya; (5)
industri tekstil; (6) industri minyak dan deterjen; (7) industri makanan; dan (8)
industri cat dan metalurgi.
Menurut Machbub et al. (1988), industri yang membuang limbah anorganik
berupa logam terlarut adalah industri pipa, industri keramik, dan industri sepeda.
Sedangkan industri yang membuang bahan pencemar organik dalam jumlah
besar ke Kali Surabaya adalah industri kulit, industri bumbu masak/MSG, industri
kertas, industri gula, dan industri minuman dengan beban BOD dan COD seperti
disajikan pada Tabel 3.
17
Tabel 3 Industri yang membuang limbah organik ke Kali Surabaya
No. Jenis Industri Beban Pencemar (kg/hari)
BOD COD
1.
2.
3.
4.
5.
Industri kulit
Industri bumbu masak/MSG
Industri kertas
Industri gula
Industri minuman
150.4
478.7
277.5
4,321.0
865.7
250.5
768.9
17,268.0
6,417.4
1,286.9
Sumber: Machbub et al. (1988).
Menurut Novita (2000), industri utama yang diperkirakan menyumbang
beban polusi terbesar selama ini ke Kali Surabaya adalah industri kertas, yaitu PT.
Surya Agung Kertas, PT. Surabaya Mekabox, PT. Suparma, dan PT. Adiprima
Suraprinta. PT. Miwon yang memproduksi MSG, penyedap makanan juga
diperkirakan menyumbang beban polusi cukup besar. Industri dan jenis produk
yang dihasilkan dari 41 industri dapat dilihat pada Tabel 4.
Berdasarkan survei daya dukung Kali Surabaya terhadap beban pencemaran
yang dilakukan Terangna et al. (1992), diketahui bahwa kandungan kromium 0-
1.29 mg/l, tembaga 0-1.86 mg/l, seng 0.06-15.69 mg/l dan timbal sebesar 0-1.38
mg/l. Menurut Danazumi & Bhici (2010), sumber point sources polutan logam
berat yang utama adalah air limbah dari industri logam, pertambangan,
pengalengan, farmasi, pertisida, kimia organik, karet dan plastik, dan produk
kayu, sedangkan menurut Wijayanto (2005) industri-industri yang memberikan
efluen Hg dan logam berat lainnya adalah industri yang memproses klorin,
produksi soda kaustik, metalurgi dan elektroplating, industri kimia, industri tinta,
industri kertas, penyamakan kulit, industri tekstil dan perusahaan farmasi.
2) Limbah Domestik / Kegiatan Pemukiman
Limbah domestik (sewage) adalah bahan buangan sebagai hasil sampingan
non-industri, melainkan berasal dari rumah tangga, kantor, restoran, tempat
hiburan, pasar, dan lain-lain yang dapat menimbulkan pencemaran. Limbah
domestik dapat berupa sampah organik dan sampah anorganik serta larutan yang
kompleks terdiri dari air (biasanya di atas 99%) dan padatan berupa zat organik
serta anorganik. Sampah organik adalah sampah yang dapat diuraikan atau
didegradasi oleh bakteri atau melalui proses kimia dan fisika. Contohnya sisa nasi,
18
sayuran, buah-buahan, dan daun-daunan. Sampah anorganik seperti plastik, kaca,
logam, karet, kertas, dan kulit, tidak dapat diuraikan oleh bakteri.
Tabel 4 Nama industri dan jenis produknya
No Nama Industri Produk Limbah Dominan Jarak dari D.Gnsari
(km) 1. Pers. Tahu Kedurus Tahu BO, PS, PT 2.30 2. Pers. Tahu Gunungsari Tahu BO, PS, PT 2.31 3. Pers. Tahu Halim Jaya Tahu BO, PS, PT 2.34 4. PT Rejeki Baru Capoc seed oil BO, PS, minyak 2.51 5. Pabrik Karet Asean Ring Rubber BO, Zn 2.53 6. PD. Pemotongan Hewan KMS Sapi Potong BO, PS, PT, PD 3.23 7. UD Jawa Jaya Coconut Oil BO, PS, PT 3.36 8. PT Bintang Apollo Spinning Mill BO, PS, PT, Cr 3.35 9. PT Sumber Sarih Coconut Oil BO, PS, minyak 3.64
10. PT Gawerejo Tshirt & Singlet BO, PS, PT, Cr 3.70 11. Pabrik Karet Sriwijaya Rubber bands BO, Zn 3.79 12. Pabrik Mie TLH Vermicelli PS, PT 3.84 13. FA Cemara Agung Coconut Oil BO, PS, minyak 3.94 14. PT. Pakabaya Jaya Korek Api BO, PS, PT, Cd 5.34 15. PT. Jayabaya Raya Domestic Detergent BO, PS, PT 5.49 16. Pers. Tahu Purnomo Tahu BO, PS, PT 5.64 17. CV. Bangun Tiles PD, PS, Pb, Zn, Cd 5.70 18. Pers. Tegel Jombang Tiles PD, PS, Pb, Zn, Cd 5.72 19. Pers. Tahu H. So'ud Tahu BO, PS, PT 6.22 20. UD Sumber Agung Plastic wares PS, PT 6.79 21. Pers. Susu Farida Fresh Milk BO, PS, PT 6.80 22. CV. Sumber Baru Confection BO, PS, PT, Cr 7.05 23. PT IKI Mutiara Ceramic/Glazed Tiles PD, PS, Pb, Zn, Cd 7.05 24. PT Asia Victory (SRB 251) Glazed Ceramic Tiles PD, PS, Pb, Zn, Cd 7.40 25. PT Sarimas Permai Coconut Oil BO, PS, PT 7.70 27. PT Suparma (SRB 054) Paper mill BO, PS, PT, Hg 8.80 28. PT Spindo (SRB 250) Galvanized water pipe PS, PT 9.00 29. PT Kedawung Setia Enamel Hg, Cd, Cr, Pb, Cu 9.10 30. PT Surabaya Wire Steel Wire PS, Hg, Cr, Pb, Cu 9.30 31. PT Surabaya Mekabox Paper mill BO, PS, PT, Hg 10.60 32. PT Priscolin Minyak goreng BO, PS, minyak 10.65 33. PT Wijaya Indah Makmur
Bycycle Industry Bycycle PS, PT, Cr, Pb, Cu 12.10
34. PT Sinar Surya Sosro Kencono Bottle & Cardboard tea BO, PS, PT 13.05 35. PT Timur Megah Steel Mur baut PS, Hg, Cr, Pb, Cu 14.50 36. PT Haka Surabaya Leather Kulit BO, PS, PT, Cr 15.95 37. PT Miwon Indonesia MSG BO, PS, PT 16.60 38. PT Surya Agung Kertas Paper mill BO, PS, PT, Hg 17.20 39. PT. Hueychyi Tekstil BO, PS, PT, Cr 17.60 40. PT. Sidomulyo Ternak Babi BO, PT, PS, PD 21.05 41. Pers. Tahu Sidomakmur Tahu BO, PS, PT 21.15
Sumber: diolah dari Fardiaz (1992), Novita (2000), Ahalya et al. (2004), Arisandi (2004), Rezazee et al. (2005), Wijayanto (2005), Ginting (2007), Widowati (2008). Ket: BO = bahan organik; PS = padatan tersuspensi; PT = padatan terlarut; PD = padatan terendap.
19
Sampah organik yang dibuang ke sungai dapat mengakibatkan deplesi
jumlah oksigen terlarut dalam air sungai, karena sebagian besar oksigen akan
digunakan bakteri untuk menguraikan bahan organik menjadi partikel yang lebih
sederhana yaitu karbondioksida, air, dan gas lainnya. Apabila sampah anorganik
yang dibuang ke sungai, cahaya matahari dapat terhalang dan menghambat proses
fotosintesis dari tumbuhan air dan alga, yang menghasilkan oksigen.
Berkaitan dengan pencemaran air dari kegiatan domestik, data statistik
lingkungan hidup 2006/2007 (KLH 2008a) menunjukkan banyak penduduk
(rumah tangga) masih memadati bantaran sungai. Di Indonesia rumah tangga
yang bertempat tinggal di sepanjang bantaran sungai pada tahun 2005 tercatat
sebanyak 118,891 rumah tangga dengan jumlah terbanyak adalah DKI Jakarta,
Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Data statistik tersebut juga menyebutkan
bahwa sekitar 7.66 persen rumah tangga di Indonesia pada tahun 2004 masih
membuang sampahnya ke sungai. Menurut Salim (2002), beban pencemaran
domestik untuk setiap orang berbeda-beda. Setiap orang di Indonesia diperkirakan
akan mengeluarkan BOD sebesar 25 g/orang/hari dan COD sebesar 57
g/orang/hari, sedangkan untuk parameter nitrogen dan fosfor serta parameter lain
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Komposisi beban pencemar limbah domestik
Parameter Unit Beban Pencemaran
BOD COD Nitrogen: - N-NH- N-NO
3
- N-NO2
- N-organik 3
- N-total Fosfor: - ortho-fosfat - Total P - Deterjen (MBAS) - Fenol - Coli Fecal
g/orang/hari g/orang/hari
g/orang/hari g/orang/hari g/orang/hari g/orang/hari g/orang/hari
g/orang/hari g/orang/hari g/orang/hari g/orang/hari g/orang/hari
25 57
1.83 0.006 0.97 8.3 11.1
-
1.1 0.63
0.006 14 x 1012
Sumber: Salim (2002).
Komponen limbah domestik dapat mencakup mikroorganisme, zat padat,
dan bahan organik maupun anorganik. Komposisi bahan organik dalam limbah
20
domestik menurut Tebbut (1992) dalam Effendi (2003) dan Sugiharto (2005)
ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Komponen penyusun limbah domestik.
Limbah domestik menyediakan lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan
mikroba terutama golongan bakteri, serta beberapa virus dan protozoa.
Kebanyakan mikroba tidak berbahaya dan dapat dihilangkan dengan proses
biologi yang mengubah zat organik menjadi produk akhir yang stabil, namun
beberapa limbah domestik dapat mengandung organisme patogen. Jumlah zat
padat dalam limbah cair adalah residu limbah cair setelah bagian cairnya
diuapkan dan sisanya dikeringkan hingga mencapai berat yang konstan.
Kandungan bahan organik dan anorganik limbah domestik dapat berupa: (1)
nitrogen dan fosfat dalam limbah dari aktivitas manusia dan fosfat dari deterjen,
(2) klorida dan sulfat, yang berasal dari air dan limbah yang berasal dari manusia;
(3) karbonat dan bikarbonat, biasanya terdapat dalam bentuk garam kalsium dan
magnesium; dan (4) zat toksik seperti sianida dan logam berat seperti arsen (As),
kadmium (Cd), krom (Cr), tembaga (Cu), merkuri (Hg), dan timbal (Pb).
Limbah domestik merupakan salah satu sumber bahan organik, nutrien dan
mikroorganisme yang mencemari air kali surabaya. Pertumbuhan penduduk yang
cepat dan arus urbanisasi menyebabkan terkonsentrasinya pemukiman pada
daerah perkotaan seperti surabaya dengan kepadatan penduduk pada tahun 2000
mencapai 8,149.9 orang/km2 (Bapedal 2006). Jumlah beban limbah domestik
pada daerah padat penduduk dapat melebihi kapasitas asimilasi sungai terutama
pada musim kemarau.
Limbah domestik
Air (99.9%) Padatan (0.1%)
Organik (70%) Anorganik (30%)
Protein (65%)
Karbohidrat (25%)
Lemak (10%)
Butiran
Garam
Logam
21
Pada tahun 2002, jumlah penduduk yang tinggal di DAS brantas mencapai
15.5 juta. Populasi penduduk yang menempati daerah perkotaan sekitar 25 persen
dari keseluruhan populasi penduduk DAS brantas, akibatnya beban pencemaran
akibat limbah domestik dapat diestimasi dengan mengalikan beban pencemaran
akibat limbah domestik per kapita dengan populasi penduduk di daerah tersebut,
di mana untuk daerah perkotaan beban BOD adalah 46 gram BOD/orang/hari,
sedangkan untuk daerah perdesaan 35 gram BOD/orang/hari. Total beban limbah
domestik yang dihasilkan pada tahun 2002 sekitar 515 ton BOD/hari (Harnanto &
Hidayat 2003).
3) Limbah Lainnya
Sumber pencemar air sungai lain di luar limbah industri dan domestik
adalah kegiatan pertanian dan timbulan sampah di tempat pembuangan akhir
(TPA) sampah. Kegiatan pertanian memberikan kontribusi terhadap pencemaran
air (non point sources). Limbah pertanian yang paling utama adalah pupuk kimia
dan pestisida. Pupuk kimia dan pestisida digunakan petani untuk perawatan
tanaman, namun pemakaian yang berlebihan dapat menyebabkan pencemaran air.
Limbah pupuk mengandung fosfat yang dapat merangsang pertumbuhan gulma
air seperti ganggang dan enceng gondok penyebab timbulnya eutrofikasi.
Pestisida biasa digunakan untuk membunuh hama. Limbah pestisida mempunyai
aktivitas dalam jangka waktu yang lama dan ketika terbawa aliran air ke luar dari
daerah pertanian dapat mematikan hewan yang bukan sasaran seperti ikan, udang
dan biota air lainnya.
Timbulan sampah di TPA akan menghasilkan lindi yang umumnya
mengandung beberapa logam berat. Lindi sampah ini dapat masuk ke dalam tanah
atau ikut terbawa dalam aliran sungai sehingga berpotensi menimbulkan
pencemaran air sungai (Setyaningrum 2006).
2.1.2 Bahan Pencemar Air Sungai
Menurut Effendi (2003), bahan pencemar (polutan) adalah bahan-bahan
yang bersifat asing bagi alam atau bahan yang berasal dari alam sendiri yang
memasuki suatu tatanan ekosistem sehingga mengganggu peruntukan ekosistem
tersebut. Bahan pencemar yang memasuki perairan terdiri atas campuran berbagai
pencemar yang dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu:
22
1) Limbah Penyebab Penurunan Kadar Oksigen Terlarut (DO)
Semua limbah yang dioksidasi terutama limbah domestik termasuk dalam
kategori limbah penyebab penurunan kadar oksigen terlarut. Selain itu, bahan-
bahan buangan dari industri pengolahan pangan, rumah pemotongan hewan, dan
pembekuan ikan juga masuk dalam kategori limbah ini. Oksigen sangat penting
bagi kelangsungan hidup organisme pada ekosistem perairan. Kadar oksigen
terlarut minimum 5 mg/l diperlukan bagi kelangsungan hidup ikan di perairan
(Effendi 2003). Oleh karena kelarutan oksigen di air relatif rendah maka kadar
oksigen terlarut cepat sekali mengalami penurunan apabila pada perairan terdapat
limbah organik dengan kadar cukup tinggi.
2) Senyawa Organik
Bahan-bahan organik baik bahan alami maupun bahan sintesis masuk ke
dalam badan air sebagai hasil dari aktivitas manusia. Bahan organik alami
umumnya berupa limbah yang dapat membusuk atau terdegradasi oleh
mikroorganisme, sehingga dapat mengakibatkan semakin berkembangnya
mikroorganisme dan mikroba patogen pemicu timbulnya berbagai macam
penyakit.
Setiap bahan organik memiliki karakteristik fisika, kimia dan toksisitas yang
berbeda. Beberapa contoh bahan organik yang bersifat toksik terhadap organisme
akuatik adalah minyak, fenol, pestisida, surfaktan, dan PCB (poliklorobifenil).
Berbeda dengan senyawa organik alami, senyawa organik sintetis umumnya tidak
dapat diuraikan secara biologis sehingga dapat bertahan dalam waktu lama di
dalam badan air serta bersifat kumulatif. Sumber limbah organik diperairan
adalah limbah domestik (rumah tangga dan perkotaan), limbah industri kimia,
tekstil, plastik, dan lain-lain.
3) Senyawa Anorganik
Senyawa anorganik terdiri atas logam dan logam berat yang pada umumnya
bersifat toksik. Dengan demikian bahan buangan anorganik umumnya berupa
limbah yang tidak dapat membusuk dan sulit didegradasi oleh mikroorganisme.
Masuknya bahan buangan anorganik pada ekosistem akuatik akan
mengakibatkan peningkatan jumlah ion logam di dalam air dan jika buangan
tersebut banyak mengandung ion kalsium dan magnesium dapat menimbulkan
kesadahan pada air.
23
Logam berat merupakan kelompok logam yang tidak dapat didegradasi oleh
tubuh, bersifat toksis walaupun pada konsentrasi rendah, dan keberadaannya
dalam lingkungan perairan telah menjadi permasalahan global lingkungan hidup.
Berdasarkan data dari United State Environmental Protection Agency, logam
berat yang merupakan polutan perairan yang berbahaya adalah antimon (Sb),
arsen (As), kadmium (Cd), kromium (Cr), tembaga (Cu), timbal (Pb), merkuri
(Hg), nikel (Ni), selenium (Se), kobalt (Co), dan seng (Zn) (www.chem-is-try.org).
Logam-logam berat menjadi berbahaya disebabkan sistem bioakumulasi, yakni
peningkatan konsentrasi unsur logam tersebut dalam tubuh makluk hidup
mengikuti tingkatan dalam rantai makanan. Akumulasi konsentrasi logam berat di
alam mengakibatkan konsentrasi logam berat di tubuh manusia menjadi tinggi,
karena jumlah logam berat yang terakumulasi lebih cepat dibandingkan dengan
jumlah yang terekresi/terdegradasi, sementara jumlah yang terakumulasi setara
dengan jumlah logam berat yang tersimpan dalam tubuh ditambah jumlah yang
diambil dari makanan, minuman atau udara yang terhirup.
Terdapat banyak sumber penyebab pencemaran logam berat, antara lain gas
alam, proses industri, penambangan, outomobil, kebakaran hutan, dan gunung
berapi, namun penyebab signifikan pencemaran logam berat di perairan adalah
buangan limbah industri dan kegiatan penambangan yang menghasilkan limbah
tailing, yaitu produk samping kegiatan penambangan, reagen sisa, dan hasil
pengolahan pertambangan yang tidak diperlukan yang selanjutnya dibuang ke
sungai atau laut dan masuk ke ekosistem akuatik yang terus mengkontaminasi
lingkungan di sekitar area pembuangan limbah.
4) Pestisida
Pestisida masuk ke dalam badan air melalui limpasan (run off) dari daerah
pertanian yang banyak mengandung pestisida. Pestisida dibedakan menjadi tiga
kelompok, yaitu pestisida organoklor, pestisida organofosfor, dan pestisida
karbamat. Pestisida bersifat toksik dan bioakumulasi. Selain itu, pestisida juga
bersifat persisten atau bertahan dalam waktu lama di perairan.
Keberadaan pestisida pada ekosistem akuatik mengikut i pola rantai
makanan, semakin tinggi posisi organisme dalam rantai makanan maka semakin
tinggi kadar pestisida yang dihasilkan oleh proses bioakumulasi dan
biomagnifikasi. Pestisida cenderung terakumulasi pada lapisan lemak yang
terdapat dalam tubuh makhluk hidup.
24
2.2 Kualitas Air Sungai
Kualitas air terkait dengan sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat,
energi atau komponen lain di dalam air. Kualitas air juga menggambarkan
kesesuaian air untuk penggunaan tertentu, misalnya untuk air minum, perikanan,
irigasi, industri, rekreasi, dan sebagainya. Kualitas air dinyatakan dengan
beberapa parameter, yaitu parameter fisika, kimia, dan biologi. Setiap penggunaan
air memiliki persyaratan kualitas air tertentu. Oleh karena itu, pada umumnya
kualitas air ditunjukkan dengan adanya beberapa kombinasi parameter kualitas air.
2.2.1 Karakteristik Fisik
Karakteristik fisik yang biasa digunakan untuk menentukan kualitas air
meliputi suhu, konduktivitas, padatan terlarut, padatan tersuspensi, salinitas, dan
lain-lain.
1) Suhu
Suhu air sangat berkaitan dengan kualitas perairan. Semakin tinggi suhu
perairan maka semakin menurun kualitasnya karena kandungan oksigen terlarut di
perairan semakin kecil. Air sering digunakan sebagai medium pendingin pada
berbagai proses industri atau pembangkit tenaga listrik. Buangan air panas
kemudian dikembalikan ke tempat asalnya yaitu sungai atau sumber air lainnya.
Sungai yang besar dan arus yang deras akan dapat menetralkan air panas tersebut
dengan cepat, tetapi jika buangan air panas dalam jumlah besar akan dapat
merusak ekosistem di dalam sungai atau danau yang dikenal dengan polusi
termal (Darmono 2001).
Menurut Effendi (2003), suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim,
lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara,
penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu
berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Kenaikan suhu
akan menimbulkan beberapa akibat sebagai berikut (Fardiaz 1992; Kristanto
2002; Effendi 2003):
a. Jumlah oksigen terlarut di dalam sungai menurun;
b. Peningkatan viskositas, evaporasi dan volatilisasi;
c. Kecepatan reaksi kimia meningkat;
d. Peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air;
e. Peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba;
25
f. Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu.
Pada umumnya setiap kenaikkan suhu perairan sebesar 10 o
Padatan terlarut (dissolved solid) adalah padatan-padatan yang mempunyai
ukuran lebih kecil daripada padatan tersuspensi. Padatan terlarut terdiri atas
senyawa-senyawa anorganik dan organik terlarut dalam air yang tidak tersaring
dengan kertas saring millipore dengan ukuran pori 0.45 μm. Penyebab utama
terjadinya TDS adalah bahan anorganik berupa ion-ion yang umum dijumpai di
C menyebabkan
terjadinya peningkatan konsumsi oleh organisme akuatik 2–3 kali lipat.
Peningkatan suhu disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga
keberadaan oksigen seringkali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi
organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi, akibatnya
ikan dan hewan air akan mati karena kekurangan oksigen.
2) Total Padatan Tersuspensi (TSS) dan Total Padatan Terlarut (TDS)
Menurut Fardiaz (1992) dan Kristanto (2002), padatan tersuspensi
(suspended solid) adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut,
dan tidak dapat mengendap langsung. Padatan tersuspensi terdiri atas partikel-
partikel tersuspensi (diameter >1 μm) yang tertahan pada saringan millipore
dengan diameter pori 0.45 μm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-
jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa
ke dalam badan air. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat
menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas
primer perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya
keseluruhan rantai makanan. Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi
biota di perairan melalui dua cara. Pertama, menghalangi dan mengurangi
penentrasi cahaya ke dalam badan air, sehingga menghambat proses fotosintesis
oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan mengurangi pasokan
oksigen terlarut dalam badan air. Kedua, secara langsung TSS yang tinggi dapat
mengganggu biota perairan seperti ikan karena tersaring oleh insang
Penentuan padatan tersuspensi sangat berguna dalam analisis perairan
tercemar dan buangan serta dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas air,
buangan domestik, maupun menentukan efisiensi unit pengolahan. Padatan
tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air. Oleh karena itu,
pengendapan dan pembusukan bahan-bahan organik dapat mengurangi nilai guna
perairan.
26
perairan. Sebagai contoh, air buangan sering mengandung molekul sabun,
deterjen dan surfaktan yang larut air, misalnya pada air buangan rumah tangga
dan industri pencucian. Beberapa polutan logam berat yang sering mencemari air
buangan dan sangat berbahaya bagi kehidupan di sekitarnya adalah merkuri,
kadmium dan timbal.
3) Konduktivitas
Konduktivitas atau daya hantar listrik (DHL) adalah gambaran numerik dari
kemampuan air untuk menghantarkan aliran listrik. Pada suatu perairan, semakin
banyak garam-garam terlarut yang dapat terionisasi, nilai DHL semakin tinggi.
Perairan alami memiliki nilai DHL sekitar 20 – 1500 μS/cm, sedangkan perairan
laut memiliki nilai DHL sangat tinggi karena banyak mengandung garam terlarut.
Limbah industri memiliki nilai DHL mencapai 10000 μS/cm.
2.2.2 Karakteristik Kimia
Karakteristik kimia yang biasa digunakan untuk menentukan kualitas air
meliputi pH, DO, BOD, COD, NH3, NO3-, NO2
-, PO43-
Oksigen terlarut (DO) merupakan kebutuhan vital bagi kelangsungan hidup
organisme suatu perairan. Oksigen terlarut dimanfaatkan oleh organisme perairan
melalui respirasi untuk pertumbuhan, reproduksi, dan kesuburan (Salmin 2005).
, kadar logam berat, dan
lain-lain.
1) Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH menunjukkan tingkat keasaman atau kekuatan asam dan basa
dalam air. Derajat keasaman air penting untuk menentukan nilai daya guna
perairan baik bagi keperluan rumah tangga, irigasi, kehidupan organisme perairan
dan kepentingan lainnya (Moelyadi 1998). Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain aktivitas biologis misalnya fotosintesis dan respirasi organisme,
serta suhu dan keberadaan ion-ion dalam perairan.
pH merupakan salah satu parameter penting dalam pemantauan kualitas air.
Perubahan pH dalam perairan akan mempengaruhi perubahan dan aktivitas
biologis. Pertumbuhan organisme perairan dapat berlangsung dengan baik pada
kisaran pH 6.5 – 8.5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan,
misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah (Effendi 2003).
2) Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO)
27
Di samping itu, oksigen terlarut juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan
organik dan anorganik dalam proses aerobik. Menurunnya kadar oksigen terlarut
dapat mengurangi efisiensi pengambilan oksigen oleh biota air, sehingga dapat
menurunkan kemampuan untuk hidup normal dalam lingkungan hidupnya.
Kelarutan oksigen di dalam air sangat rendah. Kelarutan oksigen di dalam air
sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer.
Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian, dan
berkurangnya tekanan atmosfer. Misalnya kadar oksigen pada suhu 0 oC, 10 oC,
20 oC dan 30 o
Air permukaan yang jernih pada umumnya jenuh dengan oksigen terlarut,
karena adanya proses difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses
fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar
oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen
C masing-masing adalah 14.6, 11.3, 9.1 dan 7.6 mg/l (Milono
1998).
Oksigen merupakan elemen yang sangat penting di dalam pengendalian
kualitas air, karena oksigen sangat esensial bagi kehidupan biologis organisme air.
Pembuangan limbah ke dalam perairan akan menentukan keseimbangan oksigen
di dalam sistem. Menurut Rahayu dan Tontowi (2005), besarnya oksigen terlarut
dalam air menunjukkan tingkat kesegaran air di lokasi tersebut; apabila kadar
oksigen terlarut rendah maka ada indikasi telah terjadi pencemaran oleh zat
organik. Hal ini terjadi karena semakin banyak zat organik yang dapat diuraikan
oleh mikroorganisme, semakin banyak pula oksigen yang diperlukan oleh
mikroorganisme. Menurut Odum (1996), kandungan oksigen terlarut yang
tertinggi akan diperoleh pada sungai yang relatif dangkal dan berbatu atau pada
lokasi yang mempunyai turbulensi air yang relatif tinggi. Kadar oksigen terlarut
yang disyaratkan sesuai PP 82/2001 untuk peruntukan air baku air minum dan
pembudidayaan ikan air tawar masing-masing adalah 6 dan 3 mg/l.
Sumber oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat
di atmosfer, arus atau aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh
tumbuhan air dan fitoplankton. Difusi oksigen atmosfer ke air bisa terjadi secara
langsung pada kondisi air stagnant (diam) atau terjadi karena agitasi atau
pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau angin. Difusi oksigen dari
atmosfer ke perairan pada hakekatnya berlangsung relatif lambat, meskipun
terjadi pergolakan massa air atau gelombang.
28
yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik
dan anorganik.
Kandungan oksigen terlarut merupakan hal penting bagi kelangsungan
organisme perairan, sehingga penentuan kadar oksigen terlarut dalam air dapat
dijadikan ukuran untuk menentukan mutu air. Menurut Lee et al.(1978),
kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator
kualitas perairan, seperti terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Kriteria kualitas air berdasarkan kandungan DO (Lee et al. 1978)
No. Kriteria Kualitas Air Kandungan DO (mg/l)
1.
2.
3.
4.
Tidak tercemar dan tercemar sangat ringan
Tercemar ringan
Tercemar sedang
Tercemar berat
> 6.5
4.5 – 6.4
2.0 – 4.4
< 2.0
3) Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand, BOD5)
Kebutuhan oksigen biokimia adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme anaerobik di dalam lingkungan air untuk mendegradasi bahan
buangan organik yang ada dalam lingkungan air tersebut dalam waktu lima hari
(Wardhana 2001). BOD merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada
suatu perairan. Menurut Rahman (1996), BOD menunjukkan jumlah bahan
organik yang ada di dalam air yang dapat didegradasi secara biologis. Perairan
dengan nilai BOD5 tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh
bahan organik dan menurunnya kualitas perairan. Nilai BOD berbanding lurus
dengan jumlah bahan organik di perairan. Bahan organik akan distabilkan secara
biologik dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan
anaerobik. Mikroorganisme aerob di dalam air yang berfungsi sebagai perombak
bahan organik hanya dapat menjalankan fungsinya bila terdapat oksigen yang
cukup. Pemanfaatan oksigen oleh mikroorganisme aerobik melalui proses
oksidasi dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan
sampai pada tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob yang
dapat mengakibatkan kematian organisme akuatik. Lee et al. (1978) menyatakan
bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan nilai BOD-
nya, seperti disajikan pada Tabel 7.
29
Tabel 7 Status kualitas air berdasarkan nilai BOD5
No.
(Lee et al. 1978)
Kriteria Kualitas Air Kandungan BOD5 (mg/l)
1.
2.
3.
4.
Tidak tercemar
Tercemar ringan
Tercemar sedang
Tercemar berat
≤ 2.9
3.0 – 5.0
5.1 – 14.9
≥ 15.0
BOD memberikan gambaran seberapa banyak oksigen yang telah digunakan
oleh aktivitas mikroba selama waktu yang ditentukan. Analisis BOD adalah suatu
analisis empirik yang mencoba mendekati secara global proses-proses biokimia
atau mikrobiologis yang benar-benar terjadi di alam atau perairan, sehingga uji
BOD berlaku sebagai simulasi suatu proses biologis, yaitu oksidasi senyawa
organik yang terjadi di perairan secara alami. Kriteria BOD untuk air baku air
minum, pembudidayaan ikan air tawar, dan air pertanian masing-masing adalah 2,
6, dan 12 mg/l.
4) Kebutuhan Oksigen Kimia (Chemical Oxygen Demand, COD)
Kebutuhan oksigen kimia (COD) menggambarkan jumlah total oksigen
yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang
dapat didegradasi secara biologi maupun yang sukar didegradasi menjadi CO2
dan H2O. Semakin tinggi nilai COD, semakin tinggi pula pencemaran oleh zat
organik (Rahayu & Tontowi 2005). Berdasarkan kemampuan oksidasi, penentuan
nilai COD dianggap paling baik dalam menggambarkan keberadaan bahan
organik baik yang dapat didekomposisi secara biologis maupun yang tidak. Pada
umumnya sumber oksigen yang digunakan adalah K2Cr2O7
Senyawaan nitrogen di perairan dapat berbentuk gas nitrogen (N
dalam suasana asam.
Menurut UNEP (1992) dalam Effendi (2003), nilai COD pada perairan yang tidak
tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan pada perairan yang tercemar
dapat lebih dari 200 mg/l dan pada limbah industri dapat mencapai 60000 mg/l.
Kriteria COD untuk air baku air minum adalah 10 mg/l.
5) Amonia, Nitrat, dan Nitrit
2), amonia
terlarut (NH3), nitrit, nitrat, senyawa amonium, dan senyawa bentuk lain yang
berasal dari limbah pertanian, pemukiman, dan industri. Senyawaan nitrogen
tersebut sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen bebas dalam air. Pada saat
kadar oksigen rendah, nitrogen akan bergerak menuju amonia, sedangkan pada
30
saat kadar oksigen tinggi, nitrogen akan bergerak menuju nitrat (Hutagalung &
Rozak 1997).
Amonia dan nitrat menjadi sumber nitrogen utama di perairan. Kadar nitrat
di perairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi dari amonium. Amonia
merupakan produk utama dari penguraian limbah nitrogen organik (protein dan
urea) yang keberadaannya menunjukkan terjadinya pencemaran oleh senyawa
tersebut (Manahan 2005). Proses penguraian tersebut dikenal dengan istilah
amonifikasi (Novonty & Olem 1994), dengan persamaan reaksi berikut:
N-organik + O2 amonifikasi NH3-N
Secara kimia, keberadaan amonia di dalam perairan dapat berupa amonia
terlarut (NH3) dan ion amonium (NH4+). Amonia bebas (NH3
2 NH
) yang tidak
terionisasi bersifat toksik bagi organisme akuatik. Persentase amonia bebas
meningkat dengan meningkatnya pH dan suhu perairan. Menurut Effendi (2003),
toksisitas amonia terhadap organisme akuatik dipengaruhi oleh pH, kadar oksigen
terlarut, dan suhu. Pada pH rendah amonia akan bersifat racun jika jumlahnya
banyak, sedangkan pada kondisi pH tinggi amonia akan bersifat racun meskipun
kadarnya rendah. Penurunan kadar oksigen terlarut akan meningkatkan toksisitas
amonia dalam perairan. Kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari
0.1 mg/l. Kadar amonia bebas yang tidak terionisasi pada perairan tawar
sebaiknya tidak lebih dari 0.2 mg/l. Jika kadar amonia bebas lebih dari 0.2 mg/l,
perairan bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan.
Nitrat adalah bentuk utama dari senyawa nitrogen di perairan dan
merupakan nutrien bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Ion nitrat yang terlarut
mempunyai bentuk paling stabil dari senyawa nitrogen di permukaan air yang
berasal dari oksidasi senyawa nitrogen. Konsentrasi nitrat di suatu perairan diatur
dalam proses nitrifikasi, yaitu proses perubahan amonia menjadi nitrit kemudian
nitrat (Rahman 1996).
3 + 3 O2 Nitrosomonas 2 NO2- + 2H+ + H2
2 NO
O + Energi
2- + O2 Nitrobacter 2 NO3
- + Energi
Reaksi nitrifikasi tersebut merupakan suatu reaksi kemosintesis yang
memanfaatkan bakteri nitrogen. Menurut Novonty dan Olem (1994), faktor yang
berpengaruh pada reaksi nitrifikasi adalah pH, kadar oksigen terlarut, bakteri
nitrifikasi, dan suhu.
31
Pada perairan alami, kadar nitrat umumnya kurang dari 0.1 mg/l. Kadar
nitrat yang lebih besar dari 5 mg/l menunjukkan terjadinya pencemaran
antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja (Effendi 2003).
Menurut Manahan (2005), ion nitrit terdapat dalam air sebagai an
intermediate oxidation state dari nitrogen, yaitu bentuk peralihan antara amonia
dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi). Menurut
Boyd (1988) dalam Effendi (2003), proses denitrifikasi yang terjadi di perairan
sesuai reaksi berikut:
NH
NO
3(g)
3-(l) NO2
-(l)
N
2O(g) N2(g)
Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis
perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut sangat rendah.
Menurut Effendi (2003), sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan limbah
domestik. Kadar nitrit di perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi
nitrat. Di perairan alami, kadar nitrit sekitar 0.001 mg/l dan tidak melebihi 0.06
mg/l. Kadar nitrit yang lebih dari 0.05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme
perairan yang sangat sensitif.
6) Fosfat
Ortofosfat dan polifosfat merupakan bentuk senyawaan fosfat yang umum
ditemukan di perairan. Di samping bentuk anorganik, senyawa fosfat juga
ditemukan dalam bentuk organik, misalnya asam nukleat, gula fosfat, polifosfat,
dan bentuk senyawa fosfat organik lainnya. Senyawa fosfat di perairan dapat
berasal dari sumber alami (seperti erosi tanah, buangan dari hewan, dan lapukan
tumbuhan) dan dari limbah industri, limbah pertanian, dan limbah domestik.
Keberadaan fosfat yang berlebihan di badan air menyebabkan suatu
fenomena eutrofikasi (Masduqi 2004). Untuk mencegah kejadian tersebut, air
limbah yang akan dibuang harus diolah terlebih dahulu untuk mengurangi
kandungan fosfat sampai pada nilai tertentu (baku mutu efluen 2 mg/l). Dalam
pengolahan air limbah, fosfat dapat disisihkan dengan proses fisika-kimia maupun
biologis.
32
Ortofosfat yang merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat adalah
bentuk fosfor yang paling sederhana di perairan. Reaksi ionisasi asam ortofosfat
ditunjukkan dalam persamaan berikut:
H3PO4 H+ + H2PO4
H
-
2PO4- H+ + HPO4
HPO
2-
42- H+
+ PO43-
Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara
langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis
membentuk ortofosfat terlebih dahulu sebelum dapat dimanfaatkan sebagai
sumber fosfor. Setelah masuk ke dalam tumbuhan, misalnya fitoplankton, fosfat
anorganik mengalami perubahan menjadi organofosfat. Fosfat yang berikatan
dengan feri (Fe2(PO4)3) bersifat tidak larut dan mengendap di dasar perairan.
Pada saat terjadi kondisi anaerob Fe3+ mengalami reduksi menjadi Fe2+ yang
bersifat larut dan melepaskan fosfat ke perairan, sehingga meningkatkan
keberadaan fosfat di perairan (Brown diacu dalam Effendi 2003).
Kandungan fosfat di perairan meningkat terhadap kedalaman. Menurut
Hutagalung dan Rozak (1997), kandungan fosfat yang rendah dijumpai di
permukaan dan kandungan fosfat yang lebih tinggi dijumpai pada perairan yang
lebih dalam. Senyawa ortofosfat merupakan faktor pembatas bila kadarnya di
bawah 0.009 mg/l. Berdasarkan kadar ortofosfat, perairan diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu: perairan oligotrofik yang memiliki kadar ortofosfat 0.003 –
0.1 mg/l; perairan mesotrofik yang memiliki kadar ortofosfat 0.011 – 0.03 mg/l;
dan perairan eutrofik yang memiliki kadar ortofosfat 0.031 – 0.1 mg/l.
7) Logam Berat Merkuri, Timbal, dan Kadmium
Logam berat adalah kelompok logam yang memiliki kerapatan yang tinggi
dan secara umum merupakan elemen yang berbahaya di permukaan bumi.
Menurut Hutagalung dan Rozak (1997), logam berat merupakan kelompok logam
yang mempunyai densitas lebih besar dari 5 g/cm3. Istilah logam berat juga sering
digunakan untuk memerikan logam-logam yang memiliki sifat toksisitas pada
makhluk hidup. Terdapat 80 jenis unsur kimia di muka bumi ini yang telah
teridentifikasi sebagai jenis logam berat. Secara toksikologi, logam berat dapat
dibagi dalam dua jenis, yaitu:
33
(1) Logam Berat Esensial
Logam berat ini keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan
oleh organisme hidup, namun dalam jumlah berlebihan dapat menimbulkan
efek keracunan. Contoh logam berat jenis ini adalah Zn, Cu, Fe, Co, dan Mn.
(2) Logam Berat Tidak Esensial
Logam berat ini keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui
manfaatnya atau bahkan bersifat racun. Contoh logam berat tidak esensial
adalah Hg, Pb, Cd, dan Cr.
Kontaminasi logam berat dapat berasal dari proses alam seperti perubahan
siklus alamiah mengakibatkan batu-batuan dan gunung berapi memberikan
kontribusi yang sangat besar ke lingkungan. Di samping itu masuknya logam
berat ke lingkungan adalah akibat faktor manusia, seperti pembakaran minyak
bumi, pertambangan, peleburan, proses industri, kegiatan pertanian, peternakan
dan kehutanan, serta limbah buangan termasuk sampah rumah tangga.
Di dalam air biasanya logam berat berikatan dalam senyawa kimia atau
dalam bentuk ion logam, bergantung pada kompartemen tempat logam tersebut
berada. Biasanya tingkat konsentrasi logam berat dalam air dibedakan menurut
tingkat pencemarannya, yaitu polusi berat, polusi sedang, dan non polusi. Suatu
perairan dengan tingkat polusi berat biasanya memiliki kandungan logam berat
dalam air dan organisme yang hidup di dalamnya cukup tinggi. Pada tingkat
polusi sedang, kandungan logam berat dalam air dan biota yang hidup di
dalamnya berada dalam batas marjinal.
Secara alami, keberadaan logam berat di perairan biasanya ditemukan dalam
jumlah renik (trace), yaitu kurang dari 1 μg/l. Waldichuk dalam Darmono (2001),
melaporkan bahwa konsentrasi logam dalam perairan secara ilmiah berbeda untuk
jenis airnya, karena salah satu logam kandungannya tinggi dalam air tawar dan
logam lain sangat rendah.
Merkuri (Hg) memiliki nomor atom 80, massa molar 200.59 g/mol, titik
lebur -38.9 oC, titik didih 356.6 oC, dan densitas 13.546 g/ml. Logam Hg
berbentuk cair, berwarna putih perak, dan mudah menguap pada suhu ruangan.
Berbagai produk industri yang mengandung Hg, diantaranya adalah pompa
vokum, bola lampu, penambal gigi, barometer, dan termometer.
34
Di alam, Hg ditemukan dalam bentuk unsur merkuri (Hgo), merkuri
monovalen (Hg+1), dan merkuri bivalen (Hg+2). Di perairan Hg mudah berikatan
dengan klor membentuk ikatan HgCl. Merkuri anorganik (HgCl) akan berubah
menjadi merkuri organik oleh peran mikroorganisme yang terjadi pada sedimen di
dasar perairan. Hg juga dapat bersenyawa dengan karbon membentuk senyawa
organomerkuri. Menurut Budiono (2002) diacu dalam Widowati et al. (2008),
merkuri yang masuk dalam lingkungan perairan meliputi: (1) Hg anorganik yang
berasal dari air hujan atau air sungai; (2) Hg organik, misalnya fenil merkuri
(C6H5-Hg), metil merkuri (CH3-Hg+), metoksi-etil merkur i (CH3O-CH2-CH2-
Hg); (3) Hg yang terikat dalam bentuk suspended soil sebagai Hg2+
Menurut Setyorini (2003a), banyak sungai di Indonesia tercemar merkuri,
antara lain kali Cisadane, kali Pongkor, sungai Siak, sungai Ciliwung, dan kali
Banger yang kesemuanya telah melampaui telah melampau ambang batas.
Penelitian Arisandi (2002) di kali Surabaya menyatakan bahwa sumber
pencemaran Hg berasal dari industri pulp dan kertas, industri batu baterai, dan
sampah rumah tangga berupa baterai, lampu neon, dan AC dengan kandungan Hg
melebihi ambang baku mutu dan konsentrasi yang terus meningkat di bandingkan
kandungan Hg di air pada tahun 2001. Kadar Hg dalam air di beberapa lokasi
sepanjang kali Surabaya di daerah Driyorejo sebesar 0.0584 – 0.0892 mg/l, di
Warugunung sebesar 0.0275 – 0.0368 mg/l, di Karang Pilang 0.0134 – 0.0308
mg/l, di Kemlaten 0.0067 – 0.0142 mg/l, dan di Kedurus 0.0049 – 0.0348 mg/l.
Semuanya telah melampaui nilai ambang batas sebesar 0.001 mg/l (Arisandi
2004). Pencemaran merkuri juga terjadi di perairan laut. Hasil penelitian
Pusarpedal (2002) di enam pelabuhan menunjukkan bahwa di dermaga barang
Pelabuhan Baai Bengkulu, kadar Hg mencapai 4.254 μg/l, di dermaga peti kemas
Pelabuhan Tanjung Priok mencapai 2.520 μg/l, di Pelabuhan Tanjung Emas
Semarang sebesar 1.080 μg/l, sedangkan di Pelabuhan Merak Banten, Pelabuhan
; dan (4)
logam Hg yang berasal dari kegitan industri.
Senyawa metil merkuri memiliki kelarutan tinggi dalam tubuh hewan air,
sehingga Hg terakumulasi melalui proses bioakumulasi dan biomagnifikasi dalam
jaringan tubuh hewan air. Menurut Wijayanto (2005), akumulasi Hg dalam tubuh
hewan air disebabkan oleh pengambilan Hg oleh organisme air yang lebih cepat
dibandingkan proses ekresi. Kadar Hg dalam ikan bisa mencapai 100 000 kali dari
kadar Hg dalam air di sekitarnya.
35
Panjang Lampung, dan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya kadar Hg kurang dari
1.5 μg/l (Widowati 2008).
Kadmium (Cd) adalah unsur kimia yang memiliki nomor atom 40, massa
molar 112.4 g/mol, titik leleh 321 oC, titik didih 767 oC, dan densitas 8.65 g/ml.
Kadmium berwarna putih perak, bersifat lentur, tahan terhadap tekanan, tidak
larut dalam basa, dan mudah bereaksi.
Logam Cd banyak digunakan untuk elektroplating dan galvanisasi.
Kadmium juga banyak digunakan sebagai pigmen warna cat, keramik, plastik,
stabilizer plastik, katoda untuk Ni-Cd pada baterai, bahan fotografi, pembuatan
tabung TV, karet, sabun, kembang api, percetakan tekstil, pigmen untuk gelas,
dan untuk pencampur logam lain, seperti nikel, emas, tembaga, dan besi
(Widowati 2008).
Banyak sungai di Indonesia telah tercemar logam kadmium, seperti Kali
Surabaya, Kali Porong, Sungai Musi, dan sembilan sungai di Bekasi yang
terkontaminasi oleh logam Cd melebihi baku mutu (Setyorini 2003b).
Pencemaran Cd juga terjadi di daerah ekosistem pesisir Kenjeran Surabaya.
Berdasarkan hasil penelitian Imron (2007), rata-rata konsentrasi Cd dalam limbah
industri elektroplating adalah 0.0830 mg/l, industri percetakan sebesar 0.0731
mg/l, industri plastik sebesar 0.0060 mg/l, dan industri makanan sebesar 0.0066
mg/l. Kadar Cd di saluran Kenjeran meliputi konsentrasi Cd di sungai sebesar
0.0295 mg/l dan sedimen sebesar 3.8056 mg/l.
Timbal (Pb) adalah logam lunak berwarna abu-abu kebiruan mengkilat serta
mudah dimurnikan dari pertambangan. Timbal memiliki nomor atom 82, massa
molar 207.20 g/mol, titik leleh 328 oC, titik didih 1740 oC, dan densitas 11.34
g/mL. Menurut Darmono (2001), logam Pb mempunyai sifat tahan karat, reaktif,
mudah dimurnikan, bertekstur lunak, dan dengan logam lain dapat membentuk
campuran yang lebih baik daripada logam murninya.
Logam timbal di bumi jumlahnya sangat sedikit, yaitu 0.0002% dari jumlah
kerak bumi bila dibandingkan dengan jumlah kandungan logam lainnya yang ada
di bumi (Palar 2004). Logam Pb banyak digunakan dalam industri baterai,
industri percetakan (tinta), kabel, penyepuhan, pestisida, zat antiletup pada bensin,
zat penyusun patri, dan sebagai formulasi penyambung pipa. Pencemaran timbal
berasal dari sumber alami maupun limbah hasil aktivitas manusia dengan jumlah
yang terus meningkat, baik di lingkungan air, udara, maupun tanah.
36
2.3 Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi
Istilah beban pencemaran dikaitkan dengan jumlah total pencemaran atau
campuran pencemar yang masuk ke dalam lingkungan oleh suatu industri atau
kelompok industri pada areal tertentu dalam periode waktu tertentu. Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, beban pencemaran adalah jumlah
suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau air limbah. Besarnya beban
pencemaran ditentukan melalui pengukuran langsung debit air sungai dan
konsentrasi limbah yang ada di sekitar sungai tersebut. Pada daerah pemukiman,
beban pencemaran biasanya diperhitungkan melalui kepadatan penduduk dan
rata-rata per orang per hari dalam membuang air limbah. Persamaan yang
digunakan untuk menentukan beban pencemaran perairan adalah sebagai berikut:
BP = Q x Ci x (1 x 10-6
PBn
i∑=1
x 12 x 30 x 24 x 3600) (1)
Debit air (Q) dihitung dengan rumus:
Q = a x v (2)
Total beban pencemaran dari suatu sumber ditentukan dengan persamaan:
TBP = (3)
Keterangan: Q = debit air (m3/detik)
Ci = konsentrasi parameter ke-i (mg/l)
BP = beban pencemaran yang berasal dari sumber (ton/tahun)
a = luas bagian penampang basah (m2)
v = kecepatan aliran rata-rata (m/detik)
TBP = total beban pencemaran yang masuk ke perairan.
Kapasitas asimilasi perairan adalah kemampuan perairan dalam memulihkan
diri akibat masuknya limbah tanpa menyebabkan penurunan kualitas lingkungan
yang ditetapkan sesuai peruntukannya (Quano 1993). Kemampuan asimilasi
sangat dipengaruhi oleh adanya proses pengenceran maupun perombakkan bahan
pencemar yang masuk ke perairan.
Pengukuran kapasitas asimilasi bersifat spesifik bergantung pada lokasi,
membutuhkan pengembangan dari model hidrolik dan komputer yang
menggunakan elemen terbatas dari persamaan penyebaran larutan (UNEP 1993).
37
2.4 Kondisi Sungai-sungai di Indonesia
Pencemaran air merupakan persoalan khas yang terjadi di sungai-sungai dan
badan-badan air di Indonesia. Sungai merupakan satu kesatuan antara wadah air
dan air yang mengalir, karena itu kesatuan sungai dan lingkungan merupakan
suatu persekutuan mendasar yang tidak terpisahkan (Sunaryo et al. 2007). Air
mengalir ke Sungai melalui berbagai jalur dan volume air yang mengalir
dipengaruhi oleh sumber air, iklim, vegetasi, topografi, geologi, pemanfaatan
lahan, dan karakteristik tanah. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi
kecepatan aliran dan komposisi kimia dalam air sungai. Sebagian besar sungai di
Indonesia memiliki siklus tahunan yang ditentukan oleh curah hujan, sehingga
terdapat perbedaan volume aliran pada musim hujan dan musim kemarau. Curah
hujan tinggi akan meningkatkan rata-rata ketinggian air sungai dan kecepatan
aliranpun meningkat. Jika sungai tidak mampu menampung kenaikan volume air,
maka air akan mencapai daerah batas sungai saat permukaan tinggi hingga
meluber ke daerah tepi sungai.
Wilayah Indonesia memiliki 6% dari persediaan air dunia atau sekitar 21%
persediaan air Asia Pasifik (KLH 2005a). Namun akibat kecenderungan konsumsi
air naik secara eksponensial, sedangkan ketersediaan air bersih cenderung
menurun akibat kerusakan alam dan pencemaran berbagai permasalahan mulai
muncul. Sumber pencemaran air terutama disebabkan aktivitas manusia dan
dipicu secara kuadratika oleh pertumbuhan penduduk.
Air merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, namun mudah
terkontaminasi akibat berbagai aktivitas manusia. Berbagai macam kegiatan
industri dan teknologi saat ini apabila tidak disertai dengan program pengelolaan
limbah yang baik akan memungkinkan terjadinya pencemaran air. Pencemaran
atau polusi terjadi jika dalam lingkungan hidup manusia baik lingkungan fisik,
biologi dan sosial terdapat suatu bahan pencemar yang ditimbulkan oleh proses
aktivitas manusia yang berakibat merugikan terhadap kehidupan manusia baik
langsung maupun tidak langsung. Menurut Odum (1996), pencemaran air terjadi
akibat adanya perubahan sifat fisik, kimia, dan biologi yang tidak dikehendaki
pada air.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, pencemaran air
adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau
komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun
38
sampai tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai
dengan peruntukannya. Dengan demikian masalah pencemaran air terkait dengan
tiga hal penting, yaitu (1) unsur yang masuk atau dimasukkan ke dalam air, (2)
kualitas dan atau penurunan kualitas air, dan (3) peruntukan air.
Perairan sungai di seluruh Indonesia umumnya menerima sejumlah besar
aliran sedimen baik secara alamiah, buangan industri, buangan limbah rumah
tangga, aliran air permukaan, daerah urban, dan pertanian. Terkadang sebuah
sungai mengalami pencemaran yang berat sehingga air mengandung bahan
pencemar yang sangat besar (Darmono 2001). Menurut Sunaryo et al. (2007), di
kawasan perkotaan pencemaran air pada sungai dan badan air lain terutama
disebabkan oleh sektor domestik, berupa limbah cair dari rumah tangga dan
industri rumah tangga. Tiga penyebab utama tercemarnya sungai atau badan air
adalah:
1. Peningkatan konsumsi atau penggunaan air sehubungan dengan peningkatan
ekonomi dan taraf masyarakat dengan konsekuensi meningkatnya air limbah
yang mengandung berbagai senyawa tertentu;
2. Terjadinya pemusatan penduduk dan industri diikuti dengan peningkatan
buangan yang tertampung di perairan sehingga daya pemulihan diri perairan
terlampaui, akibatnya perairan menjadi tercemar dengan tingkat yang
semakin berat.
3. Kurangnya atau rendahnya investasi sosial ekonomi budaya untuk
memperbaiki lingkungan, seperti investasi untuk sistem sanitasi dan
perlakuan lainnya.
Pada sungai yang besar dengan arus air yang deras, sejumlah kecil bahan
pencemar akan mengalami pengenceran sehingga tingkat pencemaran menjadi
sangat rendah. Hal tersebut menyebabkan konsumsi oksigen terlarut yang
diperlukan oleh kehidupan air dan biodegradasi akan cepat diperbaharui, namun
proses pengenceran, degradasi dan non degradasi pada arus sungai yang lambat
tidak dapat menghilangkan polusi limbah oleh proses penjernihan alamiah. Hal ini
mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut yang pada batas tertentu dapat
menimbulkan persoalan lingkungan yang lebih luas.
Selain menghadapi permasalahan kekritisan air sungai yang dinilai dari
besarnya fluktuasi debit air maksimum dan minimum, kualitas air sungai-sungai
di Indonesia juga telah banyak yang menurun karena pencemaran. Akibatnya air
39
bersih menjadi terbatas. Hasil pemantauan kualitas air di 30 sungai di Indonesia
pada tahun 2005 yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH
2005a) menunjukkan bahwa, lebih dari 50% parameter yang dipantau seperti DO
(dissolved oxygen), BOD (biochemical oxygen demand), COD (chemical oxygen
demand), PO43-, NO3
-, NH3, pH dan TSS (total suspended solid), sudah tidak
memenuhi kriteria mutu air kelas I. Berdasarkan kandungan DO, hanya 30% dari
keseluruhan sampel yang diambil yang memenuhi kriteria mutu kelas I,
sedangkan parameter BOD hanya 19%, parameter COD 37%, PO43- 42%, TSS
55%, NH3
Kali Surabaya bersama dengan Kali Mas dan Kali Wonokromo merupakan
sungai utama di Surabaya yang merupakan DAS Brantas. Kali Surabaya
merupakan anak Kali Brantas yang terbentang sepanjang 41 km mulai Dam
Mlirip sampai Dam Jagir. Aktivitas industri dan rumah tangga di sepanjang
bantaran Kali Surabaya telah menyebabkan degradasi lingkungan yang dapat
menyebabkan penurunan kualitas air. Kali Surabaya berperan penting bagi
kehidupan masyarakat, khususnya yang tinggal di Kota Surabaya. Ini disebabkan
air Kali Surabaya menjadi pemasok utama sumber air baku PDAM yang melayani
lebih dari tiga juta penduduk Kota Surabaya. Selain itu, Kali Surabaya juga
memberikan peranan penting bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai
80%, dan parameter pH 93%. Hasil pemantauan KLH bekerja sama
dengan instansi lingkungan hidup di tingkat provinsi tahun 2007 juga
menunjukkan kecenderungan serupa. Hasil pemantauan kualitas air pada 33
sungai di 30 provinsi tahun 2007 menunjukkan bahwa lebih dari 50% sampel air
yang diambil untuk parameter DO hanya 29% yang memenuhi nilai DO sesuai
dengan kriteria mutu air (KMA) kelas 1, sedangkan parameter BOD hanya 25%,
parameter COD 28%, fenol 18%, fecal coli 29%, dan total coliform 40% (KLH
2008a).
Pada umumnya sungai dapat melakukan proses asimilasi, yaitu proses
membersihkan diri dari polutan yang terjadi karena proses fisik misalnya aliran
air dari faktor lain seperti deoksigenasi dan aerasi. Tetapi sebagaimana sumber
daya alam lainnya, daya dukung sungai akan terlampaui jika tingkat pencemaran
yang ditanggung sungai melampaui daya dukungnya sehingga akan menyebabkan
pencemaran air sungai karena parameter-parameter kualitas air melebihi dari
standar yang ditentukan.
2.5 Gambaran Umum Kali Surabaya
40
sebagai air baku untuk keperluan domestik (mandi, cuci, kakus) penduduk Kota
Surabaya dan sekitarnya, termasuk masyarakat industri yang memanfaatkan air
sungai sebagai salah satu komponen dalam proses produksinya. Menurut BLH
Kota Surabaya (2009), Kali Surabaya memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Sebagai sumber air baku bagi PDAM Surabaya, kegiatan industri,
kawasan perumahan, dan pertanian;
b. Pengendali banjir Kota Surabaya dan sekitarnya, dengan pengaturan debit
di pintu air Mlirip dan Gunungsari;
c. Pemasok air sebagai aliran dasar (base flow) sebesar ± 7.5 m3
d. Sebagai sarana wisata dan olahraga air;
/detik yang
berfungsi untuk pengenceran limbah industri dan limbah domestik dan
mempertahankan ekosistem sungai, baik di Kali Surabaya sendiri maupun
saluran drainase kota;
e. Sebagai sarana transportasi air.
Pengambilan air Kali Surabaya akan mempengaruhi debit air Kali Surabaya.
Secara umum pengambilan air Kali Surabaya melalui dua cara, yaitu keluar
melalui anak sungai dan pengambilan air langsung di Kali Surabaya. Data
pengambilan air rata-rata untuk kebutuhan industri dan sejenisnya dapat dilihat
pada Tabel 8.
Tabel 8 Data pengambilan rata-rata air Kali Surabaya untuk industri No Nama Perusahaan Alamat Debit
(liter/detik) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
PDAM Ngagel I dan II PDAM Ngagel III Rikat Mas Bakat Mas Kebun Binatang Surabaya Yani Golf PT. Patra PT. Pakuwon Dharma PT. Grand Family View PT. Adibaladhika Agung PT. Semen Gresik PT. Sarimas Permai UD. Wildan Jaya PT. Gawerejo Per. Tahu Legowo Pabrik Es Kali Brantas UD. Sandang Jaya PT. Sumber Niaga Tama Abadi PT. Jaya Ready Mix UD. Bangun Jaya PT. Pakabaya
Ngegel Ngegel Wonokromo Wonokromo Wonokromo Gunungsari Gunungsari Gunungsari Gunungsari Gunungsari Kedurus Kedurus Kedurus Kedurus Kedurus Kedurus Kedurus Kedurus Kemlaten Kebraon 421 Pagesangan
3,343.18 1,970.15
0.32 0.30
20.19 5.88 4.62
42.94 49.04 17.21 58.52
0.55 0.83 1.50 1.15
16.15 0.53 1.15 0.53 0.15 2.88
41
Tabel 8 (Lanjutan) No Nama Perusahaan Alamat Debit
(liter/detik) 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
UD. Tirta Kencana Jaya UD. Sumber Air Per. Tahu Budi Purnomo PT. Jayabaya Raya CV. Suud Jaya PT. Iki Mutiara PT. Karang Pilang Agung PT. Platinum Keramik Ind. PDAM Karang Pilang I PDAM Karang Pilang II PT. Panca Wira Usaha Jatim Per. Plastik Candi Mas PT. Merak Jaya Beton PT. Alam Jaya Per. Tahu Halim Jaya Per. Tahu Soponyono PT. Kedawung Setia CCBI PT. Spindo PT. Sepanjang Agung PT. Waru Gunung Pabrik Tegel LTS PT. Suparma PT. Kedawung Setia Bumi Palapa Genteng & Batu Bata Bambe PT. Surabaya Meka Box Asahi Flat Glass II Asahi Flat Glass III PT. Miwon PDAM Legundi PT. Sinar Sosro PDAM Krikilan PT. Ciputra Surya CV. Indradhanu UD. Karya Luhur PT. Wing Surya PT. Emdeki Utama Surabaya Agung Ind. Kertas PT. Adya Buana Persada PT. Adi Prima Suraprinta PT. Keramik Diamond PT. Prima Elektrik Power CV. Sidomakmur PT. Petrokimia Persh. Tahu Sumber Tani Persh. Kecap Samajaya Persh. Susu Farida Persh. Susu Lani PT. Arica Kharisma Agung
Pagesangan Pagesangan Pagesangan Pagesangan Sepanjang Karang Pilang Karang Pilang Karang Pilang Karang Pilang Karang Pilang Karang Pilang Karang Pilang Karang Pilang Karang Pilang Mastrip 183 Mastrip Waru Gunung Waru Gunung Waru Gunung Waru Gunung Waru Gunung Waru Gunung Waru Gunung Bambe Bambe Bambe Bringin Bendo Tanjungsari Driyorejo Driyorejo Driyorejo Driyorejo Driyorejo Driyorejo Driyorejo Driyorejo Driyorejo Semambung Wringin Anom Wringin Anom Wringin Anom Wringin Anom Legundi A. Yani Gresik Ngelom Ngelom Ngelom Ngelom Ngelom
4.04 1.44 3.19 0.31 2.08 1.88 1.92
19.20 1,585.16 3,403.30
0.32 0.29 0.50 0.23 1.73 1.04 3.83 6.92 0.24 1.47 0.08
181.42 5.47 0.13 0.32 4.75 0.60
12.64 121.77 391.00
6.55 121.27
95.41 2.19
18.14 21.11 50.92
243.65 10.44
218.11 19.60 34.64
1.19 252.19
0.06 0.74 0.17 0.08 0.83
Jumlah 12,392.39
Sumber : PJT I (2008).
42
Menurut Bapedal Jatim (2006), kualitas air Kali Surabaya mengalami
penurunan sejak dimulainya industrialisasi pada awal tahun 1980-an. Penurunan
kualitas air ditandai oleh tingginya kandungan bahan pencemar dalam air Kali
Surabaya hingga melewati kriteria mutu air kelas 1, punahnya biota alami seperti
nyambik, bulus, berbagai jenis burung, ikan dan kerang air tawar, serta seringnya
terjadi kematian ikan secara masal.
Pembuangan air / limbah industri ke sungai akan menyebabkan menurunnya
kualitas air sehingga meningkatkan biaya penyediaan air bersih bagi masyarakat,
terutama masyarakat menengah ke bawah. Air sungai yang terpolusi juga
membahayakan kesehatan dan kehidupan masyarakat yang tinggal dan bekerja di
area sekitar sungai, selama mereka tetap menggunakannya secara langsung. Hal
ini terjadi karena keterbatasan mereka yang tinggal di sepanjang sungai. Sebagian
besar masyarakat yang tinggal di sekitar sungai adalah masyarakat dengan sosial
ekonomi rendah.
Aliran Kali Surabaya secara umum dikontrol oleh Perum Jasa Tirta (PJT)
menggunakan pintu air di Mlirip dengan debit yang diatur dari 80 – 100 m3/detik
selama musim hujan dan 15 – 20 m3
Pada musim kemarau, umumnya mulai dari bulan Mei atau pada waktu yang
dibutuhkan, PJT mengaliri Kali Surabaya dengan air dalam jumlah besar dengan
interval waktu yang pendek. Penggelontoran ini memiliki efek pembersihan
sedimen yang terakumulasi, lumpur, material organik bersama-sama air yang
/detik selama musim kemarau. Sebagian
besar kebutuhan air minum kota Surabaya disuplai dari Kali Surabaya melalui
PDAM Surabaya.
Berdasarkan data Dinas Pengairan PU (1989), suplai air minum dari sungai
ini diperkirakan tidak kurang dari 8000 l/det, 1000 l/det untuk air industri dan
sisanya untuk pertanian, perikanan, dan pengenceran untuk menjaga kualitas air
terutama di daerah kota Surabaya. Kondisi debit Kali Surabaya pada musim hujan
cukup tinggi sehingga dapat melarutkan beberapa kontaminan yang ikut terbuang
dari limbah cair. Pada musim kemarau, dimana debit sangat terbatas, kemampuan
pengenceran dan purifikasi sendiri tidak dapat menjaga kualitas air sesuai dengan
standar peruntukan air baku air minum, meskipun beberapa industri telah
mengolah limbah cair sendiri sesuai standar efluen industri. Hal ini diindikasikan
oleh parameter pencemar sungai seperti BOD, COD dan sebagainya.
43
telah terpolusi di Kali Surabaya. Seluruh material ini akhirnya tercuci ke laut di
Selat Madura.
Berkaitan dengan masalah polusi air di Kali Surabaya, daerah sepanjang
Kali Surabaya merupakan daerah yang cukup padat. Sebagai contoh, hanya ada
dua jalan raya yang melayani lebih dari 60 industri dan 500000 orang. Jalan ini
secara kontinu selalu mengalami perbaikan akibat kendaraan-kendaraan besar dan
truk-truk volume besar yang melayani industri-industri tersebut. Selain itu di
pinggir jalan juga terdapat jalur gas dan air (Dinas Pengairan PU 1989).
Kali Surabaya merupakan sungai yang bertipe sungai tropis di daerah delta,
berlumpur di musim hujan karena erosi dari hulu. Lumpur dari hulu bersama-
sama padatan dan serat dari industri mencemari sungai sehingga meningkatkan
beban padatan. Kualitas air Kali Surabaya yang buruk menyebabkan unit
penjernihan air PDAM mengalami kesulitan untuk mengolah air minum. Lokasi
pengambilan air Kali Surabaya oleh PDAM merupakan tempat menumpuknya
limbah di sepanjang Kali Surabaya. Secara umum Kali Surabaya di hulu masih
baik dari Mojokerto, tetapi setelah melewati daerah Semambung Wetan, di mana
banyak pabrik berdiri, kondisi Kali Surabaya mulai menurun bahkan buruk. Dari
Tabel 9, dapat dilihat kualitas air tempat pengambilan air PDAM Surabaya.
Tabel 9 Data intake PDAM Surabaya
Tahun Karang Pilang Ngagel BOD (mg/l) COD (mg/l) BOD (mg/l) COD (mg/l)
1993 1994 1995 1996 2003 2004 2005 2006 2007 2008
10.0 12.0 12.0 8.6 7.8 4.9 7.1 8.2 7.3 5.7
22.0 24.0 27.0 20.0 24.6 23.9 27.6 24.3 23.9 19.5
9.0 9.0 8.0 11.1 5.1 5.2 6.9 6.6 6.9 6.1
20.0 20.0 30.0 21.0 25.5 22.2 24.8 22.0 20.8 20.4
Rata-rata 8.36 23.68 7.39 22.67 Standar 2.0 10.0 2.0 10.0
Sumber : Dinas Pengairan PU (1997), BLH Kota Surabaya (2009), PJT I (2009).
Di sepanjang Kali Surabaya, saat ini terdapat empat pabrik besar yang
diperkirakan menyumbangkan 80% dari seluruh beban polusi industri yang
mencemari Kali Surabaya, yaitu PT Surya Agung Kertas, PT Surabaya Mekabox,
PT Suparma dan PT Miwon. Keempat industri ini membuang debit limbahnya
mencapai 50000 m3/hari ke Kali Tengah atau langsung ke Kali Surabaya.
44
Industri-industri ini berlokasi di antara Kecamatan Driyorejo (21 km dari Dam
Mlirip) hingga pengambilan air PDAM Surabaya di Karang Pilang (33 km dari
Dam Mlirip) (Dinas Pengairan PU 1989).
Limbah cair dari industri kertas mengandung serat lignin yang tidak dapat
didegradasi secara biologis. Kondisi ini diperburuk dengan adanya polusi terlarut
yang berasal dari bahan aditif pada limbah cardboard yang merupakan bahan
baku proses. PT Suparma telah membangun unit proses penanganan limbah cair
yang terdiri atas unit dissolved air flotation untuk setiap mesin kertas, bak aerasi,
unit flotasi, bak pengendap tahap kedua dan unit filtrasi, namun IPAL yang
dimiliki tidak kontinu dijalankan karena biaya operasional yang cukup mahal.
Beberapa industri di sepanjang Kali Surabaya telah membangun unit penanganan
limbah cair sendiri, namun masih belum mencukupi untuk menjaga agar kualitas
efluen sesuai standar kualitas air sungai.
Kehidupan akuatik di Kali Surabaya telah jauh menurun seperti invertebrata
kecil dan ikan yang merupakan indikator ekologis. Sejumlah spesies dan
komunitas flora dan fauna telah hilang dari Kali Brantas terutama di Kali
Surabaya. Indikator lain adalah matinya tanaman pangan disebabkan telah
terkontaminasinya air irigasi yang diambil dari sungai. Bahkan telah terjadi
kematian di beberapa tambak-tambak ikan, udang di daerah muara DAS Brantas
yang merupakan daerah hilir Kali Surabaya. Kapasitas asimilasi polusi sungai
hanya tinggi pada musim hujan seiring dengan tingginya laju alir dan efek
pengenceran. Akan tetapi pada musim kemarau, sungai kelebihan polutan
organik terlarut ataupun tidak terlarut (Harnanto 2005).
Berdasarkan data rata-rata penggunaan air di DPS Kali Brantas, sekitar
7.5% air digunakan untuk penggelontoran maupun pengenceran, yang selama ini
terutama dilaksanakan di Kali Surabaya. Apabila beban pencemar dapat dikurangi
maka penggunaan air untuk keperluan pengenceran maupun penggelontoran dapat
ditekan dan penggunaannya dapat dialokasikan bagi pemanfaat lain. Perincian
penggunaan air dapat dilihat pada Tabel 10.
Menurut Terangna et al. (1992), Kali Surabaya memiliki tingkat
pencemaran sangat tinggi karena beban pencemaran yang diterima tidak seimbang
dengan daya dukung sungai. Berdasarkan studi daya dukung Kali Surabaya
terhadap beban pencemaran, air limbah industri pada daerah aliran Kali Surabaya
pada umumnya tidak memenuhi persyaratan BOD dan COD berdasarkan Baku
45
Mutu Air Limbah Kep.Men-02/KLH/1/1988. Apabila pengaturan debit sungai
dapat dilakukan melalui pintu bendung, maka dengan kapasitas debit maksimum
sungai sebesar 40 m3
No
/det perbaikan mutu air hanya dapat dilaksanakan sampai
desa Cangkir atau sekitar 10 km ke hilir desa Semambung. Oleh karena itu,
berdasarkan kapasitas daya dukungnya Kali Surabaya tidak mampu lagi
menerima beban tambahan bahkan diperlukan penurunan beban melalui
peningkatan efisiensi pengolahan limbah sebesar 19% - 92% dari hulu ke hilir.
Tabel 10 Rincian penggunaan air Kali Brantas
Uraian Volume (m3 x 1000) 1 2 3 4 5
Irigasi Air minum Industri Penggelontoran Lain-lain
2 373 000 128 170 131 655 233 000 144 185
Total 3 109 910 Sumber: Suprapto dan Indahyani (1995) dalam Novita dan Indarto (2006).
Berdasarkan studi industri oleh Departemen PU (1989), persentase sumber
polusi industri di DAS Brantas adalah 21% berada di hulu Mojokerto, 41%
berlokasi di sepanjang Kali Surabaya dan 38% berasal dari industri yang berlokasi
di Kali Mas, Wonokromo dan Kali Porong. Sumber limbah cair industri terbesar
di DAS Brantas adalah industri kertas dan pulp, pabrik minyak nabati,
penyulingan dan transformasi makanan tradisional termasuk rumah potong hewan.
Menurut Novita dan Indarto (2006) dan Witanto (2006), jumlah industri di
Kali Surabaya dan dianggap potensial sebagai sumber pencemaran kurang lebih
40 buah, terdiri dari berbagai jenis industri yang antara lain industri kimia (9
buah), penyamakan kulit (1 buah), kertas (5 buah), logam (7 buah), minyak (3
buah), makanan-minuman (5 buah), karet (2 buah), keramik (3 buah), sabun (2
buah), sumpit (1 buah), tekstil (1 buah) dan gula (4 buah). Dari jumlah tersebut
yang masuk prioritas Prokasih ada 15 buah. Besarnya beban pencemaran dari
sektor industri yang masuk ke Kali Surabaya bervariasi dari 20.3% hingga 58.9%
(1992-1993) atau dari 34.56% hingga 77.92% (1993-1994).
Pembersihan air limbah menurut Terangna et al. (1992), pada dasarnya
dapat dilakukan secara individual atau sendiri-sendiri oleh masing-masing
industri. Sistem ini sebenarnya telah dimiliki oleh beberapa industri di sepanjang
Kali Surabaya, meskipun demikian sebagian besar belum beroperasi dengan baik.
46
Hal ini terlihat dari pengurangan jumlah beban pencemaran zat organik dari 8.6
ton/hari pada tahun 1986 menjadi 3.7 ton/hari pada tahun 1991. Pengendalian
pencemaran air yang menitikberatkan semata-mata kepada sistem pembersihan air
limbah oleh setiap industri tidak dapat dijadikan jaminan terbebasnya air Kali
Surabaya dari ancaman pencemaran air. Apabila diinginkan agar Kali Surabaya
terbebas sepenuhnya dari pencemaran air, sehingga dapat menjamin mutu sumber
baku air minum sepanjang tahun, maka diperlukan saluran pengumpul air limbah
untuk industri sepanjang Kali Surabaya dan pada ujung saluran pengumpul
tersebut dapat dibangun instalasi pengolahan air limbah secara gabungan (cluster).
Menurut Puslitbang Pengairan (1990), saat ini hanya ada beberapa industri
yang memiliki UPL dan banyak diantaranya tidak memenuhi syarat, sewaktu-
waktu dioperasikan bila ada pemeriksaan, kecuali untuk beberapa industri besar
yang didanai oleh asing serta industri-industri yang berada di lokasi pusat industri.
Motivasi untuk menanamkan modal pada usaha pengendalian pencemaran
umumnya sangat rendah, karena (1) pengawasan pemerintah belum efektif, (2)
cara-cara untuk implementasi dan syarat-syarat penanganan belum dikembangkan,
(3) masih belum cukup ahli yang mampu dalam mengatasi masalah polusi industri
dan sistem desain yang efektif dari segi biaya.
2.6. Bahan Kimia Toksik
Bahan kimia toksik adalah setiap bahan kimia yang mempunyai efek negatif
terhadap organisme hidup. Kapasitas bahan kimia untuk menimbulkan cedera
atau gangguan dinyatakan dalam besaran toksisitas. Toksisitas adalah derajat efek
yang dapat ditimbulkan oleh senyawa-senyawa yang bersifat toksik (racun)
terhadap organisme. Wisaksono (2002), mendefinisikan toksisitas sebagai potensi
bahan kimia untuk meracuni tubuh orang yang terpapar. Toksisitas banyak
dinyatakan dalam LD-50 (lethal doses) dengan satuan mg/kg bb, yaitu jumlah
bahan yang dapat mematikan 50% binatang percobaan. LD-50 memerlukan
informasi jenis binatang percobaan, cara pemberian bahan dan waktu pengamatan.
Imamkhasani (2004), mengelompokkan jenis bahan toksik yang perlu
diwaspadai, antara lain:
1. Toksik (harmful) adalah bahan yang menyebabkan kerusakan sementara
atau permanen pada fungsi organ tubuh;
2. Korosif adalah bahan yang bereaksi terhadap jaringan tubuh;
47
3. Iritan adalah bahan yang menyebabkan iritasi pada jaringan tubuh;
4. Sensitisasi adalah bahan yang menyebabkan alergi;
5. Karsinogenik adalah bahan penyebab kanker;
6. Mutagenik adalah bahan penyebab kerusakan DNA sel;
7. Teratogenik adalah bahan penyebab abnormalitas pada janin.
Jalur masuk bahan kimia ke dalam tubuh dapat lewat pernafasan (inhalasi),
kulit (absorpsi) dan tertelan (lewat usus atau ingestion). Inhalasi merupakan jalur
masuk bahan kimia yang terpenting karena setiap bahan dalam udara dapat
terhisap ke dalam paru-paru. Dampaknya bergantung pada konsentrasi, lama dan
konsentrasi pemaparan serta kecepatan penghisapan. Absorbsi lewat kulit adalah
jalur kedua, di mana zat dapat masuk ke tubuh lewat kulit seperti absorpsi pelarut
organik atau kontak dengan uap konsentrasi tinggi. Proses absorpsi menjadi lebih
intensif apabila zat pelarut tersebut melarutkan lemak pada kulit sehingga bahan
lebih mudah masuk dalam tubuh. Jalur masuk lewat mulut atau tertelan jarang
terjadi, kecuali kontaminasi dalam penyimpanan bahan atau adanya bahan dalam
saluran pernafasan yang terbawa ke tenggorokan dan masuk dalam perut.
Efek paparan bahan kimia terhadap manusia dapat bersifat akut, sub kronik
dan kronik. Efek akut dapat diartikan sebagai paparan jangka pendek pada
konsentrasi tinggi dan dampaknya segera dapat diamati, misalnya sakit, iritasi,
pingsan atau mati. Menurut Rahmadi (2008), toksisitas akut timbul pada selang
waktu yang sangat singkat, yaitu 24 dan 48 jam. Uji toksisitas akut dimaksudkan
untuk menentukan suatu gejala akibat pemberian suatu senyawa dan untuk
menentukan peringkat letalitas senyawa tersebut. Efek subkronik adalah efek
yang ditimbulkan setelah penggunaan bahan-bahan yang bersifat toksik selama
beberapa minggu atau bulan, sedangkan efek kronik adalah akibat pemaparan
jangka panjang (beberapa bulan atau tahun), penyakit yang timbul berkembang
secara perlahan-lahan dan dampak yang ditimbulkan biasanya tidak reversibel.
Uji standar untuk toksisitas akut adalah memberi hewan coba bahan kimia
dengan jumlah yang semakin meningkat dalam kurun waktu 14 hari hingga
binatang percobaan tersebut mati. Dosis yang mematikan untuk inhalasi bahan
kimia dalam bentuk gas atau aerosol juga dapat diuji menggunakan LC-50 (lethal
concentration), yaitu konsentrasi mematikan untuk 50% binatang percobaan. LD-
50 dan LC-50 digunakan secara luas sebagai indeks toksisitas. Kriteria yang
sering dipakai untuk klasifikasi efek toksik akut pada binatang disajikan pada
48
Tabel 11. Wisaksono (2002) dan Soemirat (2005), mengklasifikasikan toksisitas
akut bahan kimia terhadap manusia dengan menggunakan skala Hodge dan
Sterner, seperti ditunjukkan pada Tabel 12.
Tabel 11 Klasifikasi toksisitas akut pada binatang
Toksisitas LD50 LD Oral Mencit (mg/kg bb)
50 LC Dermal Mencit atau Kelinci (mg/kg bb)
50 Inhalasi Mencit (mg/m3/4jam)
Berbahaya
Beracun
Sangat beracun
200 – 2 000
25 – 200
< 25
400 – 2 000
50 – 400
< 50
2 000 – 20 000
500 – 2 000
< 500
Sumber: Wisaksono (2002).
Tabel 12 Klasifikasi toksisitas akut pada manusia
No Tingkat Toksisitas Dosis 1 2 3 4 5 6
Praktis tidak beracun Agak beracun Toksisitas sedang Sangat beracun Luar biasa beracun Super toksik
> 15 g/kg bb 5 – 15 g/kg bb 0.5 – 5 g/kg bb
50 – 500 mg/kg bb 5 – 50 mg/kg bb
< 5 mg/kg bb Sumber: Wisaksono (2002), Soemirat (2005).
Menurut Soemirat (2005), taraf toksisitas (Tabel 12) di atas dapat
digunakan untuk menilai taraf toksisitas suatu racun yang sedang diuji-coba pada
berbagai organisme.
2.7 Dampak Pencemaran Air terhadap Ekosistem dan Kesehatan Manusia
Air sebagai komponen lingkungan hidup akan mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh komponen lainnya. Air yang kualitasnya buruk akan
mengakibatkan kondisi lingkungan hidup menjadi buruk, sehingga akan
mempengaruhi kondisi kesehatan dan keselamatan manusia serta makhluk hidup
lainnya. Penurunan kualitas air akan menurunkan daya guna, hasil guna,
produktivitas, daya dukung, dan daya tampung dari sumber daya air, yang pada
akhirnya akan menurunkan kekayaan sumber daya alam.
Pencemaran sungai oleh limbah industri dan limbah domestik serta akibat
aktivitas manusia lainnya, berlangsung semenjak hadirnya bahan pencemar dalam
air yang selanjutnya mengakibatkan efek pencemaran pada ekosistem sungai
tersebut. Menurut Santosa et al. (2000), akibat terjadinya pencemaran sungai
maka keseimbangan sistem sungai akan bergeser ke arah keseimbangan baru
sehingga akan terjadi perbedaan fungsional dibanding keadaan semula. Perbedaan
49
ini disebut dampak pencemaran pada ekosistem sungai. Sungai yang tercemar air
limbah akan menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut dalam sungai
tersebut. Hal ini akan menyebabkan kehidupan organisme air yang membutuhkan
oksigen terganggu dan mengurangi perkembangannya. Selain disebabkan
kekurangan oksigen, kematian kehidupan di dalam air dapat juga disebabkan oleh
adanya zat beracun. Selain kematian pada ikan-ikan, dampak lainnya adalah
kerusakan pada tanaman/tumbuhan air.
Menurut WHO (2006), bahan pencemar yang menimbulkan ancaman
terbesar pada lingkungan akuatik adalah air kotor, nutrien berlebih, senyawa
organik, sampah, plastik, logam, hidrokarbon, dan hidrokarbon polisiklik
aromatik (PAH). Air kotor yang tidak diolah yang berasal dari limbah domestik
baik berupa limbah cair domestik yang berasal dari air cucian seperti sabun,
deterjen, minyak, dan pestisida maupun limbah cair domestik yang menghasilkan
senyawa organik berupa protein, karbohidrat, lemak, dan asam nukleat akan
mengakibatkan penurunan kualitas air. Menurut Garno (2001), untuk
menguraikan limbah tersebut diperlukan oksigen sehingga selama proses
penguraian limbah oksigen terlarut dalam perairan menurun dengan tingkat
penurunan berbanding lurus dengan jumlah limbah yang diurai. Penguraian
limbah dapat menghasilkan senyawa lain yang berupa nutrien (terutama fosfor
dan nitrogen) dan gas (NH3 dan H2
Kehidupan organisme akuatik bergantung pada kandungan oksigen terlarut
dalam air. Pada saat organisme akuatik mengkonsumsi bahan-bahan organik,
kandungan oksigen terlarut akan menurun. Penurunan kadar oksigen terlarut
umumnya menyebabkan ikan mati. Limbah peternakan dan bahan organik adalah
sumber umum dari bahan-bahan yang butuh oksigen. Limbah organik, logam, dan
nutrien yang dapat teroksidasi semuanya membutuhkan oksigen untuk
mendegradasi bahan-bahan tersebut. Jika kandungan bahan yang butuh oksigen
cukup tinggi, maka oksigen terlarut yang tersedia untuk kehidupan akuatik
menurun yang mengakibatkan organisme akuatik mengalami tekanan atau
kematian. Deplesi oksigen dapat menyebabkan masalah kualitas air pada badan-
S) yang beracun bagi organisme lain. Limbah
organik sebagian besar ada di lapisan bawah badan air, karenanya dampak
penguraian yang berupa penurunan oksigen terlarut dan timbulnya gas-gas
beracun terjadi di lapisan bawah badan air dan mengakibatkan jatah oksigen bagi
biota air berkurang jumlahnya.
50
badan air. Penurunan kadar oksigen dalam air sering mengakibatkan peristiwa
ikan mati masal akibat kekurangan oksigen (Garno 2001; Salim 2002).
Keberadaan nutrien secara berlebihan dapat mengakibatkan pertumbuhan
tak terkendali yang membahayakan kehidupan atau dapat bersifat toksik terhadap
beberapa bentuk kehidupan akuatik. Salah satu hasil penguraian limbah organik
adalah nutrien dalam bentuk fosfor dan nitrogen yang siap diasimilasi oleh
tumbuhan air, termasuk fitoplankton. Pemasukkan/ pembuangan limbah organik
yang terus menerus ke dalam suatu badan air akan memicu pertumbuhan
fitoplankton yang berlebihan sehingga air berwarna hijau pekat, fenomena ini
disebut blooming (Garno 2002). Fenomena blooming pada umumnya kurang
menguntungkan bagi organisme lain, utamanya di malam hari. Hal ini disebabkan
di malam hari fitoplankton memerlukan oksigen untuk respirasi bagi yang hidup
dan dekomposisi bagi yang mati. Pada umumnya, fitoplankton berada pada
lapisan atas badan air. Karenanya, kejadian blooming dapat mengakibatkan
menurunnya kandungan oksigen di lapisan atas badan air di malam hari.
Nitrogen dalam bentuk N-NH3, N-nitrat, dan N-NO2 umumnya berasal dari
penggunaan pupuk secara berlebihan dan dapat memberikan dampak negatif pada
air permukaan jika konsentrasinya cukup tinggi. Molekul amoniak (NH3
Dalam tubuh manusia, nitrit akan bereaksi dengan haemoglobin dan
menghambat aliran oksigen dalam darah. Amonia (NH
) bersifat
sangat toksik terhadap organisme akuatik terutama ikan dan plankton. Amonia
dapat menaikkan pH air. Pada konsentrasi yang tinggi, amonia dapat
menyebabkan eutrofikasi terhadap air. Amonia dalam jumlah besar dapat terurai
menjadi nitrit dan nitrat.
3) merupakan bentuk
senyawaan nitrogen juga dapat memiliki beberapa dampak pada kualitas air
permukaan. Amonia diubah menjadi nitrat dan nitrit dalam proses yang disebut
nitrifikasi. Proses ini memerlukan oksigen dalam jumlah besar dan dapat
membunuh ikan karena jumlah oksigen terlarut dalam air menjadi rendah.
Nitrogen dalam bentuk nitrat mudah larut dalam air, dan keberadaannya secara
alami dalam air pada tingkat yang rendah. Air yang tercemar nitrat dengan
konsentrasi tinggi dapat membahayakan kesehatan terutama pada anak-anak.
Orang dewasa memiliki toleransi nitrat yang lebih tinggi dalam air minum, namun
studi menyarankan bahwa konsumsi air minum yang mengandung nitrat dapat
mengakibatkan beberapa bentuk kanker. Amonia pada konsentrasi 35 mg/l di
51
dalam air akan menimbulkan aroma tidak enak. Konsentrasi 280 mg/m3
Hidrokarbon, bahan kimia organik, dan bahan industri dapat meracuni
kehidupan organisme jika keberadaannya dengan konsentrasi cukup tinggi.
Bahan-bahan ini juga mudah bergerak, berada pada periode tertentu dalam
keadaan toksik, dan terakumulasi pada sedimen. Efek toksik dari logam-logam
renik dapat mempengaruhi kehidupan hewan air. Logam renik yang paling umum
di udara
menyebabkan iritasi tenggorokan, pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat
menyebabkan batuk, sukar bernafas dan mempengaruhi sistem syaraf.
Konsentrasi amonia yang tinggi di dalam darah dapat mempengaruhi sistem
syaraf pusat.
Perairan yang banyak mengandung bahan organik tinggi mempunyai nilai
BOD yang tinggi. Konsentrasi BOD yang tinggi menyebabkan kandungan
oksigen terlarut di dalam air menjadi rendah, akibatnya oksigen sebagai sumber
kehidupan bagi biota air (hewan dan tumbuhan) tidak dapat terpenuhi sehingga
biota air tersebut menjadi mati. Selain itu, konsentrasi BOD yang tinggi juga
menunjukkan jumlah mikroorganisme patogen juga banyak. Mikroorganisme
patogen dapat menimbulkan berbagai macam penyakit pada manusia. Karena itu,
konsentrasi BOD yang tinggi di dalam air dapat menyebabkan berbagai penyakit
bagi manusia (Rahman 1996).
Limbah organik yang mengandung padatan terlarut yang tinggi dapat
menimbulkan kekeruhan dan mengurangi penetrasi cahaya matahari bagi biota
fotosintetik. Sedimen berasal dari partikel-partikel tanah yang ringan yang
terbawa ke dalam aliran air dan danau, partikel-partikel tersuspensi dan padatan
anorganik dan sisa-sisa bahan organik yang memasuki air melalui dasar sungai
dan tumpukan erosi dapat menyebabkan air menjadi keruh, kerusakan habitat
akuatik, pertukaran kontaminan penyerap, tersumbatnya sistem drainase, dan
berdampak langsung pada organisme akuatik. Sedimen-sedimen yang mengisi
aliran air, sungai, danau dan lahan basah dapat mempengaruhi kehidupan akuatik
dengan mematikan telur ikan dan larva. Kekeruhan secara berlebihan mereduksi
penetrasi cahaya dalam air, merusak penglihatan ikan untuk mencari makanan,
menyumbat insang ikan, dan meningkatkan biaya untuk pengolahan air minum.
Sedimen-sedimen halus juga berperan sebagai pemicu terjadinya tranpormasi
pencemar-pencemar lain mendekati permukaan air termasuk nutrien, logam-
logam renik, dan hidrokarbon.
52
ditemukan dari limpasan perkotaan adalah timbale (Pb), seng (Zn), dan tembaga
(Cu). Logam –logam tersebut berasal dari proses galvanisasi, pelapisan krom, dan
operasi industri lainnya di daerah perkotaan.
Kualitas air juga berpengaruh langsung terhadap kesehatan, mengingat sifat
air yang mudah sekali terkontaminasi oleh berbagai mikroorganisme dan mudah
sekali melarutkan berbagai materi. Kondisi sifat air tersebut menyebabkan air
mudah sekali berfungsi sebagai media penyalur atau penyebar penyakit. Menurut
KLH (2005b), peran air sebagai pembawa penyakit menular, meliputi (1) air
sebagai media untuk hidup mikroba patogen, (2) air sebagai sarang insekta
penyebar penyakit, (3) jumlah air bersih yang tersedia tidak cukup, sehingga
manusia yang bersangkutan tidak dapat membersihkan dirinya, dan (4) air sebagai
media untuk hidup vektor penyebar penyakit.
Ada beberapa penyakit yang masuk dalam kategori water borne diseases,
yaitu penyakit-penyakit yang dibawa oleh air. Penyakit tersebut hanya dapat
menyebar apabila mikroba penyebabnya dapat masuk ke dalam sumber air yang
dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Masuknya bahan
pencemar dari sumber pencemar ke manusia pada umumnya tidak terjadi secara
langsung, tetapi lebih banyak melalui media jaring-jaring makanan. Gambaran
perjalanan bahan pencemar sampai ke manusia disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Gambaran perjalanan bahan pencemar limbah sampai ke manusia. Sumber: KLH (2005b)
Domestik
Industri
Pertanian
Pertambangan
Sungai Laut
Air Tanah
Irigasi Tambak
Air Minum
Pertanian Perikanan
Pitoplankton Zooplankton
Ikan, bentos dan lainnya
Manusia
53
Mengalirnya limbah yang mengandung logam berat ke perairan telah
menjadi permasalahan lingkungan yang serius karena berdampak pada kesehatan
manusia dan makhluk hidup lainnya. Polutan tersebut dalam jumlah yang
signifikan masuk dalam sistem akuatik antara lain sebagai hasil aktivitas beragam
industri, seperti elektroplating, industri elektronik, cat, paduan logam, baterai, dan
industri pestisida. Polutan logam berat yang mencemari lingkungan perairan
antara lain arsen (As), kadmium (Cd), kromium (Cr), tembaga (Cu), timbal (Pb),
merkuri (Hg), nikel (Ni), selenium (Se), kobalt (Co), dan seng (Zn).
Menurut Widowati (2008), logam bersifat toksik karena tidak bisa
dihancurkan oleh organisme hidup yang ada di lingkungan sehingga logam-logam
tersebut terakumulasi ke lingkungan, terutama mengendap di dasar perairan dan
membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik.
Keberadaan logam berat dalam air akan membahayakan orang yang
mengkonsumsinya. Kadmium meskipun dalam dosis kecil, bisa menimbulkan
keracunan. Akumulasi kadmium dalam jaringan tubuh akan mengganggu fungsi
ginjal, lambung, dan merapuhkan tulang. Akumulasi timbal dapat merusak
jaringan syaraf, fungsi ginjal, sistem reproduksi, dan gangguan pada otak
sehingga dapat mengakibatkan gangguan kecerdasan dan mental. Demikian pula
merkuri, jika terakumulasi dalam tubuh, akan meracuni sel-sel tubuh, merusak
ginjal, hati, dan saraf, serta menimbulkan cacat mental. Daya racun yang dimiliki
akan bekerja sebagai penghalang kerja enzim, sehingga proses metabolisme tubuh
terputus. Menurut Nordberg et al. (1986), logam berat jika terserap ke dalam
tubuh maka tidak dapat dihancurkan tetapi akan tetap tinggal di dalamnya hingga
nantinya dibuang melalui proses ekskresi. Hal serupa juga terjadi apabila suatu
lingkungan terutama perairan telah terkontaminasi logam berat, maka proses
pembersihannya akan sulit sekali dilakukan.
Menurut Widowati et al. (2008), toksisitas logam berat dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) bersifat toksik tinggi, terdiri atas unsur Hg,
Cd, Pb, Cu, dan Zn; (2) bersifat toksik sedang, terdiri atas unsur Cr, Ni, dan Co;
dan (3) bersifat toksik rendah, terdiri atas unsur Mn dan Fe. Urutan toksisitas
logam berat terhadap hewan air adalah Hg2+ > Cd2+ > Zn2+ > Pb2+ > Cr2+ > Ni2+ >
Co2+, sedangkan urutan toksisitas terhadap manusia adalah Hg2+ > Cd2+ > Ag+ >
Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+ > Sn2+ > Zn2+.
54
Merkuri (Hg) merupakan satu-satunya logam yang berbentuk cair pada suhu
kamar dan mempunyai titik beku terendah dari semua logam (-39 oC). Merkuri
banyak digunakan untuk berbagai keperluan seperti industri klor-alkali, alat-alat
listrik, cat, katalis, dan industri kertas. Merkuri yang terbuang ke sungai atau
badan air dapat mengkontaminasi ikan dan biota air lainnya termasuk ganggang
dan tanaman air. Ikan-ikan dan biota air tersebut kemudian dikonsumsi manusia
sehingga manusia dapat terakumulasi merkuri di dalam tubuhnya. FDA
menetapkan batasan kandungan merkuri maksimum adalah 0.005 ppm untuk air
dan 0.5 ppm untuk makanan, sedangkan WHO menetapkan batasan maksimum
yang lebih rendah yaitu 0.1 ppb untuk air (Fardiaz 1992).
Peristiwa keracunan Hg telah dikenal cukup lama. Keracunan Hg pertama
sekali dilaporkan terjadi di Minamata, Jepang pada tahun 1953. Kontaminasi
serius juga pernah diukur di Kali Surabaya tahun 1996 dan teluk Buyat tahun
2004. Sebagai hasil dari kuatnya interaksi antara Hg dan komponen tanah lainnya,
penggantian bentuk merkuri dari satu bentuk ke bentuk lainnya, selain gas
biasanya sangat lambat. Proses metilisasi merkuri biasanya terjadi di alam di
bawah kondisi terbatas, membentuk satu dari sekian banyak elemen berbahaya,
karena dalam bentuk ini merkuri sangat mudah terakumulasi pada rantai
makanan. Penggunaan fungisida alkilmerkuri dalam pembenihan tidak diijinkan
di banyak negara, karena berbahaya. Keracunan Hg terutama disebabkan oleh
konsumsi ikan yang tercemar Hg. Tabel 13 menunjukkan lima keracunan merkuri
yang menelan korban cukup banyak dan terjadi sampai tahun 1968.
Tabel 13 Peristiwa keracunan merkuri yang terbesar tahuan 1960-an
Lokasi Tahun Dampak
Minamata - Jepang 1953 - 1960 43 orang meninggal, 68 orang cidera
Irak 1961 35 orang meninggal, 321 orang cidera
Pakistan Barat 1963 4 orang meninggal, 34 cidera
Guatemala 1966 20 orang meninggal, 45 orang cidera
Nigata - Jepang 1968 5 orang meninggal, 25 orang cidera Sumber : Fardiaz (1992), Palar (2004).
Timbal (Pb) masuk ke dalam lingkungan perairan sebagai dampak dari
aktivitas manusia, seperti air buangan dari industri yang berkaitan dengan Pb, air
buangan dari pertambangan biji timah hitam dan buangan sisa industri baterai.
55
Secara alamiah, Pb juga dapat masuk ke badan perairan melalui pengkristalan Pb
di udara dengan bantuan air hujan, proses korofikasi batuan mineral akibat
hempasan gelombang dan angin. Senyawa Pb yang berada dalam perairan dapat
ditemukan dalam bentuk ion-ion divalen atau tetravalen (Pb2+, Pb4+).
Timbal merupakan logam berat yang sangat beracun, dapat dideteksi secara
praktis pada seluruh benda mati di lingkungan dan seluruh sistem biologis.
Lingkungan perairan yang telah kemasukan senyawa atau ion-ion Pb melebihi
konsentrasi ambang, dapat mengakibatkan kematian bagi biota perairan tersebut.
Konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/l dapat membunuh ikan-ikan. Sumber
utama timbal adalah bersal dari komponen gugus alkil timbal yang digunakan
sebagai bahan additive bensin. Komponen ini beracun terhadap seluruh aspek
kehidupan. Timbal menunjukkan beracun pada sistem saraf, hemetologic,
hemetotoxic dan mempengaruhi kerja ginjal. Konsumsi mingguan elemen ini
yang direkomendasikan oleh WHO toleransinya bagi orang dewasa adalah 50
μg/kg berat badan dan untuk bayi atau anak-anak 25 μg/kg berat badan.
Konsentrasi Pb dalam darah dapat dijadikan sebagai indikator gejala keracunan
Pb. Gejala keracunan Pb berkisar antara 60 sampai 100 μg per 100 ml darah untuk
orang dewasa. Tabel 14, menunjukkan konsentrasi Pb dalam darah dibedakan atas
empat kategori, yaitu normal, dapat diterima, berlebihan, dan berbahaya.
Tabel 14 Empat kategori Pb dalam darah orang dewasa
Kategori μg Pb/100 ml Darah Deskripsi
A (Normal) < 40 Tidak terkena paparan atau tingkat paparan normal
B (dapat ditoleransi) 40-80 Pertambahan penyerapan dari keadaan terpapar tetapi masih bisa ditoleransi
C (berlebih) 80-120
Kenaikan penyerapan dari keterpaparan yang banyak dan mulai memperlihatkan tanda-tanda keracunan
D (tingkat bahaya) > 120 Penyerapan mencapai tingkat bahaya dengan tanda-tanda keracunan ringan sampai berat
Sumber: Palar (2004).
Kadmium dan bermacam-macam bentuk persenyawaannya dapat masuk ke
lingkungan, sebagai akibat aktivitas manusia. Kandungan kadmium dapat
dijumpai pada daerah-daerah penimbunan sampah dan aliran air hujan, selain
dalam air buangan. Dalam badan perairan, kelarutan Cd dalam konsentrasi
56
tertentu dapat membunuh biota perairan. Biota-biota yang tergolong bangsa
udang-udangan (crustacea) akan mengalami kematian dalam selang waktu 24 –
504 jam bila dalam badan perairan di mana biota ini hidup terlarut logam Cd atau
persenyawaannya pada rentang konsentrasi 0.005 – 0.15 ppm.
Kadmium (Cd) merupakan logam berat yang berbahaya karena elemen ini
beresiko tinggi terhadap pembuluh darah. Kadmium berpengaruh terhadap
manusia dalam jangka waktu panjang dan dapat terakumulasi pada tubuh
khususnya hati dan ginjal. Secara prinsipil pada konsentrasi rendah berefek
terhadap gangguan pada paru-paru, emphysema dan renal turbular disease yang
kronis. Jumlah normal kadmium di tanah berada di bawah 1 ppm, tetapi angka
tertinggi (1700 ppm) dijumpai pada permukaan sample tanah yang diambil di
dekat pertambangan biji seng (Zn). Kadmium lebih mudah diakumulasi oleh
tanaman dibandingkan dengan ion logam berat lainnya seperti timbal. Menurut
badan dunia FAO/WHO, konsumsi per minggu yang ditoleransikan bagi manusia
adalah 400-500 μg per orang atau 7 μg per kg berat badan.
2.8 Analisis Risiko Kesehatan
Risiko adalah suatu konsep matematis yang mengacu pada kemungkinan
terjadinya efek yang tidak diinginkan akibat pemaparan terhadap suatu polutan
(WHO 2006). Analisis risiko adalah suatu metode untuk menilai dan melakukan
prediksi apa yang akan terjadi akibat adanya pemaparan (exposure) atau
pencemaran (pollution), terhadap zat berbahaya di masa yang akan datang.
Menurut WHO (2006) dalam analisis risiko dievaluasi probabilitas dan sifat dari
efek merugikan yang muncul akibat pemaparan terhadap zat kimia. Lebih lanjut
WHO (2006) menjelaskan bahwa kriteria penting untuk menetapkan prioritas
dalam pemilihan zat kimia untuk pengkajian risiko adalah: (a) indikasi/dugaan
adanya bahan berisiko terhadap kesehatan manusia dan/atau lingkungan; (b)
kemungkinan bahwa tingkatan produksi tertentu dan penggunaan zat kimia dapat
membuka peluang terjadinya pemaparan; (c) kemungkinan persistensinya di
lingkungan; (d) kemungkinan bioakumulasi; dan (e) tipe dan besar populasi yang
mungkin terpapar. Metode analisis risiko digunakan untuk menilai faktor bahaya
yang paling berpengaruh buruk terhadap kesehatan sehingga dapat dilakukan
tindakan pencegahan terhadap menurunnya tingkat kesehatan seseorang akibat
faktor bahaya tersebut.
57
Analisis risiko kesehatan terdiri atas beberapa tahap, yaitu: identifikasi
bahaya, analisis pemaparan, analisis dosis respon, dan karakterisasi risiko
(Soemirat 2000; enHealth 2002; Rahman 2007). Tahapan dalam analisis risiko
disajikan pada Gambar 4.
Identifikasi Bahaya
Analisis Pemaparan Analisis Dosis-Respon
Karakterisasi Risiko
Manajemen Risiko
Gambar 4 Tahapan dalam analisis risiko kesehatan (diringkas dari
enHealth 2002).
1) Identifikasi Bahaya
Identifikasi bahaya adalah proses untuk memperoleh data mengenai masalah
kesehatan yang dapat terjadi akibat adanya suatu bahan yang dapat ditelusuri dari
sumber dan penggunaan risk agent memakai pendekatan agent oriented (WHO
1983 dalam Rahman 2007). Identifikasi bahaya juga bisa dilakukan dengan
mengamati gejala dan penyakit yang berhubungan dengan toksisitas risk agent di
masyarakat yang telah terkumpul dalam studi-studi sebelumnya, baik di wilayah
kajian atau di tempat-tempat lain. Salah satu langkah penting dalam identifikasi
bahaya adalah memilih metode yang tepat sehingga mendapatkan data akurat
mengenai faktor bahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia (CEPA
2001). Data penelitian terhadap manusia merupakan data yang sangat baik dalam
mengevaluasi risiko kesehatan terhadap manusia yang dikaitkan dengan
pemaparan terhadap suatu zat.
2) Analisis Pemaparan
Analisis pemaparan atau exposure assessment adalah proses untuk
memperoleh informasi mengenai frekuensi, durasi, dan pola pemaparan suatu zat
terhadap manusia. Menurut Rahman (2007), analisis pemaparan bertujuan untuk
58
mengenai jalur-jalur pemaparan risk agent agar jumlah asupan yang diterima
individu dalam populasi berisiko dapat dihitung.
3) Analisis Dosis-Respon
Analisis dosis-respon adalah penentuan hubungan antara nilai dosis atau
tingkat paparan suatu bahan kimia dan respon berupa kejadian-kejadian yang
berkaitan dengan efek buruk atau efek yang membahayakan (enHealth 2002).
Analisis dosis-respon dilakukan untuk menetapkan nilai-nilai kuantitatif toksisitas
risk agent untuk setiap bentuk spesi kimianya. Melalui analisis dosis-respon dapat
diperkirakan jumlah zat yang masuk ke dalam tubuh dan pengaruhnya terhadap
kesehatan seseorang. Menurut Soemirat (2000), analisis dosis respon dilakukan
untuk melihat hubungan yang konsisten antara jumlah zat yang masuk (dosis)
dengan respon berupa efek kesehatan. Dosis-respon kuantitatif beberapa zat
toksik ditunjukkan pada Tabel 15.
Tabel 15 Dosis-respon kuantitatif nonkarsinogen dan karsinogen beberapa zat toksik
Risk agent RfD atau RfC (mg/kg bb/hari)
CSF (mg/kg bb/hari)
Efek Kritis (Sumber Data)
Merkuri ( Hg)
1E-4 - Kelainan neuropsikologis perkembangan dalam studi epidemologi (Grandjean et al. 1997; Budz-Jergensen et a.l 1999)
Kadmium (Cd)
5E-4 - Proteinuria paparan kronik pada manusia (USEPA, 1985)
Arsen (As) 3E-4 1.5 Hiperpigmentasi, keratosis dan kemungkinan komplikasi vaskular paparan oral (Tseng 1977; Tsen et al. 1968)
Krom (Cr6+
3E-3 )
- Uji hayati air minum 1 tahun dengan tikus (Mckenzie et al. 1958) dan paparan air minum penduduk Jinzhou (Zhang & Li, 1987)
Bromoform (CHBr3
2E-2 )
7.9E-3 Lesi hepatik uji hayati subkronik gavage oral pada tikus (NTP 1989)
Nitrit (NO2
-1E-1
) - Methemoglobinemia (Walton
1951) Sumber: IRIS (2007). Keterangan: RfD = reference dose, RfC = reference concentration , CSF = cancer slope factor
4) Karakterisasi Risiko
Karakterisasi risiko dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dari
ketiga langkah sebelumnya sehingga dapat diperkirakan efek suatu zat terhadap
59
kondisi kesehatan. Karakteristik risiko kesehatan dinyatakan sebagai tingkat
risiko (risk quotient, RQ) untuk efek-efek nonkarsinogenik dan excess cancer risk
(ECR) untuk efek-efek karsinogenik. Dalam mengkarakterisasi risiko, diperlukan
analisis dengan cara mengembangkan informasi yang diperoleh selama
pemaparan dan penilaian dosis-respon sehingga diperoleh hasil risiko kesehatan
yang diharapkan terjadi pada populasi terpapar (CEPA 2001).
5) Manajemen Risiko
Berdasarkan karakterisasi risiko, dapat dirumuskan pilihan-pilihan
manajemen risiko untuk meminimalkan RQ dan ECR, sehingga RQ < 1 dan ECR
< 10-4 dengan memanipulasi nilai faktor-faktor pemaparan sedemikian rupa
sehingga asupan (intake) lebih kecil atau sama dengan dosis referensi
toksisitasnya. Pada dasarnya hanya ada dua cara untuk menyamakan Ink
dengan
RfD atau RfC atau mengubah Ik
Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP, ada beberapa prinsip yang
harus dipahami di antaranya: decompocition, comparative judgement, synthesis of
priority, dan logical consistency. Penggunaan AHP dimulai dengan melakukan
sedemikian rupa sehingga ECR tidak melebihi E-
4, yaitu menurunkan konsentrasi risk agent atau mengurangi waktu kontak.
2.9 Metode Analisis Hirarki Proses (AHP)
Analytical hierarchy process (AHP) atau analisa jenjang keputusan (AJK),
merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk membuat keputusan yang
efektif melalui strukturisasi kriteria majemuk ke dalam struktur hirarki, menilai
kepentingan relatif setiap kriteria, membandingkan alternatif untuk tiap kriteria
dan menentukan seluruh rangking dari alternatif-alternatif. Menggunakan AHP
persoalan yang kompleks dapat disederhanakan dan dipercepat proses
pengambilan keputusannya. Menurut Marimin (2005), prinsip kerja AHP adalah
penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategis, dan
dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki.
Metode AHP secara efisien umum digunakan dalam meranking kriteria
yang berbeda, tujuan yang berbeda atau alternatif yang berbeda, di mana masing-
masing independen dan tidak terhubung dalam pola matematis tertentu. Data yang
ada bersifat kualitatif yang didasarkan atas aspek-aspek kognetif, persepsi,
pengalaman dan intuisi.
60
decompocition (dekomposisi) masalah kompleks dan kemudian menggolongkan
pokok permasalahannya menjadi elemen-elemen keputusan dalam satu hirarki
tertentu. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan juga dilakukan
terhadap elemen-elemennya sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih
lanjut sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tadi. Karena alasan
ini, maka proses analisis ini dinamakan hirarki (hierarchy). Ada dua jenis hirarki,
yaitu hirarki lengkap dan tidak lengkap. Dalam hirarki lengkap, semua elemen
pada suatu tingkat memiliki semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya. Jika
tidak demikian, dinamakan hirarki tidak lengkap.
Pada tahap comparative judgement, dilakukan penilaian tentang kepentingan
relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di
atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh
terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini akan tampak lebih baik
bila disajikan dalam bentuk matriks yang dinamakan matriks pairwise
comparison. Dalam penilaian kepentingan relatif dua elemen berlaku aksioma
reciprocal, artinya jika elemen i dinilai 3 kali lebih penting dibanding j, maka
elemen j harus sama dengan 1/3 kali pentingnya dibanding elemen-i. Di samping
itu, perbandingan dua angka yang sama akan menghasilkan angka 1, artinya sama
penting. Dua elemen yang berlainan dapat saja dinilai sama penting. Jika terdapat
n elemen, maka akan diperoleh matriks pairwise comparison berukuran n x n.
Banyaknya penilaian yang diperlukan dalam menyusun matriks perandingan
berpasangan adalah n(n-1)/2 karena matriksnya reciprocal dan elemen-elemen
diagonal sama dengan 1. Selanjutnya adalah synthesis of priority, di mana dari
setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari eigen vector-nya untuk
mendapatkan local priority. Karena matriks pairwise comparison terdapat pada
setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesa di
antara local priority. Prosedur melakukan sintesa berbeda menurut bentuk hirarki.
Pengurutan elemen-elemen pertanyaan yang biasa diajukan dalam penyusunan
skala kepentingan. Agar diperoleh skala yang bermanfaat ketika membandingkan
dua elemen, responden yang akan memberikan jawaban perlu pengertian
menyeluruh tentang elemen-elemen yang dibandingkan dan relevansinya terhadap
kriteria/tujuan yang ingin dicapai. Dalam penyusunan skala kepentingan,
didasarkan pada Tabel 16.
61
Tabel 16 Nilai skala perbandingan Saaty dalam AHP
Nilai Skala Keterangan 1 Kreteria/Alternatif A sama pentingnya dengan B 3 A sedikit lebih penting dari B 5 A jelas lebih penting dari B 7 A sangat lebih penting dari B 9 A Mutlak lebih penting dari B
2,4,6,8 Apabila ragu-ragu dari dua nilai yang berdekatan
Dalam penilaian menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa
dinamakan priority setting. Consistency ratio (CR) menyatakan ukuran tentang
konsisten tidaknya suatu penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan.
Pengujian ini diperlukan, karena pada keadaan yang sebenarnya akan terjadi
beberapa penyimpangan dari hubungan, sehingga matriks tersebut tidak konsisten
sempurna. Hal ini dapat terjadi karena ketidakkonsistenan dalam preferensi
seseorang.
Keuntungan proses hirarki analitis menurut Marimin (2005) adalah:
a. Konsistensi, mampu melacak konsistensi logis dari pertimbangan yang
digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas;
b. Sintesis, menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap
alternatif;
c. Pengukuran, mampu memberi suatu skala untuk mengukur hal takwujud
dan suatu metode untuk menetapkan prioritas;
d. Kompleksitas, mampu memadukan ancangan deduktif dan ancangan
berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan yang kompleks;
e. Kesatuan, memberikan suatu model tunggal yang mudah dimengerti,
luwes untuk anekaragam persoalan tidak terstruktur;
f. Saling Ketergantungan, mampu menangani saling ketergantungan elemen-
elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
2.10 Metode Perbandingan Indeks Kinerja dan Perbandingan Eksponensial
Teknik perbandingan indeks kinerja (comparative performance index, CPI)
merupakan indeks gabungan yang dapat digunakan untuk menentukan penilaian atau
peringkat dari berbagai alternatif (i) berdasarkan beberapa kriteria (j) (Marimin
2005). Formula yang digunakan dalam teknik CPI adalah:
62
Aij = Xij (min) x 100 / Xij (min) (4) A(i + 1.j) = (X(I + 1.j) )/ Xij (min) x 100 Iij= Aij x Pj
n
Ii = Σ (Iij) j =1 Aij = nilai alternatif ke-i pada kriteria ke – j Xij (min) = nilai alternatif ke-i pada kriteria awal minimum ke-j A(i + 1.j) = nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria ke – j X(i + 1.j) = nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria awal ke – j Pj= bobot kepentingan kriteria ke – j; Iij = indeks alternatif ke-i; Ii = indeks gabungan kriteria alternatif ke –i;
i = 1, 2, 3,…, n; j = 1, 2, 3,…, m
Metode perbandingan eksponensial (MPE) adalah metode untuk menentukan
prioritas alternatif keputusan dengan kriteria majemuk (Eriyatno & Sofyar 2007).
Tahapan dalam menggunakan MPE adalah : (1) menyusun alternatif-alternatif
keputusan yang akan dipilih, (2) menentukan kriteria atau perbandingan kriteria
keputusan yang penting untuk dievaluasi, (3) menentukan tingkat kepentingan dari
setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria, (4) melakukan penilaian
terhadap semua alternatif pada setiap kriteria, (5) menghitung skor atau nilai total
setiap alternatif, dan (6) menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada
skor atau nilai total masing-masing alternatif (Marimin 2005).
Penggunaan MPE mempunyai keuntungan dalam mengurangi bias yang
mungkin terjadi dalam analisis, karena nilai skor menjadi besar dengan adanya
fungsi eksponensial sehingga perbedaan nilai skor lebih nyata. Formulasi
perhitungan skor untuk setiap alternatif dalam MPE adalah:
Total Nilai (TNi ∑=
m
j
TKKij
jRK1
)() = (5)
Dengan : TNi = Total nilai alternatif ke-i
RKij = Derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan ke-i
TKKj = Derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j; TKK > 0; bulat
n = Jumlah pilihan keputusan dan m adalah Jumlah kriteria keputusan
Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan dengan cara wawancara
dengan pakar atau melalui kesepakatan curah pendapat. Penentuan skor alternatif
pada kriteria tertentu dilakukan dengan memberi nilai setiap alternatif berdasarkan
nilai kriterianya.
63
2.11 Model dan Pemodelan Sistem
Model didefinisikan sebagai suatu abstraksi dari sebuah obyek atau situasi
aktual (Eriyatno 2003). Ford (1999) mendefinisikan model sebagai suatu
substitusi dari sistem nyata, sedangkan menurut Grant et al. (1997) model adalah
suatu abstraksi atau representasi dari suatu realitas atau sistem nyata. Sistem nyata
adalah sistem yang sedang berlangsung dalam kehidupan atau sistem yang
dijadikan titik perhatian dan dipermasalahkan. Model dapat dikatakan lengkap
jika dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang dikaji. Menurut Hartrisari
(2007), model merupakan penyederhanaan sistem. Karena sistem sangat
kompleks, tidak mungkin membuat model yang dapat menggambarkan seluruh
proses yang terjadi dalam sistem. Model disusun dan digunakan untuk
memudahkan dalam pengkajian sistem karena sulit dan hampir tidak mungkin
untuk bekerja dalam keadaan sebenarnya. Selain itu model merupakan
representasi yang ideal bagi suatu sistem untuk menjelaskan perilaku sistem.
Model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok
pengkajian atau derajat keabstrakannya (Eriyatno 2003). Hartrisari (2007)
mengelompokkan model dalam dua kategori yaitu model fisik dan model abstrak
atau model mental. Model fisik merupakan miniatur replika dari keadaan
sebenarnya sehingga dapat menggambarkan perilaku sistem dengan variabel yang
sama seperti yang digunakan pada sistem nyata. Model abstrak merupakan model
yang bukan fisik tetapi dapat menjelaskan kinerja dari sistem. Baik model fisik
maupun model abstrak dapat dibagi lagi menjadi model statis dan model dinamis.
Model dinamis memberikan gambaran nilai peubah terhadap perubahan waktu.
Dalam model dinamis, variabel yang tidak berubah dengan waktu disebut
‘parameter’ atau ‘konstanta’. Model statis memberikan informasi tentang peubah
model hanya pada titik tunggal dari waktu (Eriyatno 2003). Model statis tidak
memperhitungkan waktu yang selalu berubah.
Sistem merupakan kombinasi dari bagian-bagian yang membentuk sebuah
kesatuan yang kompleks (Eriyatno 2003). Menurut Muhammadi (2001), sistem
adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas
lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Marimin (2007)
mendefinisikan sistem sebagai suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-
bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam
suatu lingkungan yang kompleks, sedangkan menurut Hartrisari (2007) sistem
64
adalah gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi
dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu. Pemodelan sistem
adalah pembentukan rangkaian logika untuk menggambarkan karakteristik sistem
tersebut dalam format matematis. Proses pemodelan merupakan proses yang
kreatif, tidak linier, namun harus mematuhi disiplin ilmiah dan pemikiran yang
logik serta bersifat iteratif. Prosedur dalam pemodelan adalah menyatakan
kembali permasalahan yang akan diselesaikan sesuai dengan tujuan kajian sistem,
menyusun hipotesis, memformulasikan model, menguji serta menganalisis model.
Menurut Muhammadi (2001) pembuatan model berdasarkan konsep berpikir
sistem dimulai dengan suatu model mental, kemudian dijabarkan dalam suatu
kerangka konsep, pembuatan diagram sebab akibat, pembuatan diagram alir,
simulasi model untuk melihat perilaku, dan akhirnya uji sensitivitas serta analisis
kebijaksanaan.
2.12 Konsep Dasar Sistem Dinamik
Sistem dinamik telah dikenal sebagai metode yang tepat untuk
mengilustrasikan dinamika yang kompleks dan menganalisis implikasi-implikasi
relatif dari suatu kebijakan. Sistem dinamik mengkaji sistem atau proses sebagai
suatu kesatuan yang terdiri atas elemen-elemen yang saling berinteraksi dan
menentukan kinerja sistem secara keseluruhan. Menurut Zhang et al. (2009),
metode sistem dinamik terdiri atas model simulasi dinamik mencakup informasi
umpan balik (feedback) yang membangun interaksi dalam sistem yang ditargetkan.
Melalui simulasi kecenderungan sistem dan identifikasi interelasi dan informasi
hubungan umpan balik antar faktor sistem, model sistem dinamik dapat
memberikan informasi lebih mendetail yang berguna untuk mengungkap
mekanisme yang tersembunyi dan memperbaiki kinerja sistem secara keseluruhan.
Model sistem dinamik terkait dengan tahapan-tahapan tertentu sebagai fungsi
waktu dalam proses simulasi. Pada akhir tiap tahap, variabel-variabel sistem
menunjukkan keadaan sistem yang diperbaharui untuk merepresentasikan
konsekuensi hasil dari tahap simulasi sebelumnya. Kondisi/nilai awal (initial)
dibutuhkan untuk tahap pertama. Dalam sistem dinamik dikenal variable level,
variabel rate, dan varibel auxiliary. Gambar 5, merupakan contoh gambaran
umum diagram alir model dinamik dengan aplikasi program Powersim.
65
?
Rate_Keluar?
Rate_Masuk
?
Auxiliary_1
?
Constant_2
?
Constant_3
?Level_1
?
Constant_1
?
Constant_5
?
Constant_4
?
Auxiliary_2
?
Constant_6
?
Constant_7
Gambar 5 Diagram alir model sistem dinamik menggunakan program powersim.
Level merupakan hasil akumulasi dari aliran-aliran dalam diagram alir dan
menyatakan kondisi sistem setiap saat. Persamaan powersim untuk aliran level
adalah:
Init LEV = kondisi awal
Flow LEV = -dt*(RK) + dt*(RM)
dengan : LEV = level (unit)
RM = rate (laju) masukan
RK = rate (laju) keluaran
dt = interval waktu simulasi (satuan waktu)
Init = initial , nilai awal
Flow = aliran untuk variabel level
Rate merupakan suatu aliran yang menyebabkan bertambah atau
berkurangnya suatu level. Rate terdiri dari dua jenis, yaitu rate masuk dan rate
keluar. Rate masuk akan menambah akumulasi di dalam suatu level dan
dilambangkan dengan katub dan panah yang menuju level, sedangkan rate keluar
ditunjukkan dengan katub yang dihubungkan dengan panah yang menunjuk pada
sink. Simbul awan menunjukkan source dan sink suatu material yang mengalir ke
dalam atau ke luar level.
Aliran informasi dalam Powersim dilambangkan dengan tanda panah yang
tegas. Aliran ini merupakan penghubung antar sejumlah variabel di dalam suatu
sistem. Jika suatu aliran informasi ke luar dari level, aliran tersebut tidak akan
mengurangi akumulasi yang terdapat di dalam level.
Variabel auxiliary adalah suatu penambahan informasi yang dibutuhkan
dalam merumuskan persamaan atau variabel rate. Dengan kata lain variabel
66
auxiliary adalah suatu variabel yang membantu untuk memformulasikan variabel
rate. Variabel auxiliary digambarkan dengan suatu lingkaran penuh. Simbul belah
ketupat dalam Powersim menggambarkan konstanta, yaitu suatu besaran yang
nilainya tetap selama proses simulasi.
2.13 Sistem Dinamik dalam Pengendalian Pencemaran Air
Sistem dinamik merupakan sebuah teori struktur sistem dan sekelompok alat
untuk merepresentasikan sistem yang kompleks dan menganalisis perilaku
dinamiknya (Luo et al. 2005). Sistem dinamik menurut Coyle (1996) adalah
perilaku sistem yang dipengaruhi waktu yang diatur dengan tujuan penggambaran
dan pemahaman sistem melalui model kuantitatif dan kualitatif, bagaimana
perilaku umpan balik mengatur perilakunya, dan perencanaan struktur informasi
umpan balik yang sempurna dan kebijakan kendali melalui simulasi dan
optimisasi. Nandalal & Semasinghe (2006) mengemukakan bahwa sistem
dinamik adalah sebuah metode kompleks dari deskripsi sistem yang menyediakan
alternatif analisis bagi pengambilan kebijakan berdasarkan sifat-sifat sistem.
Manfaat terpenting dalam sistem dinamik adalah untuk menguraikan struktur asal
dari sistem yang dikaji, melihat perbedaan dari sistem nyata berkaitan dengan
satu sistem lainnya, dan untuk menyelidiki perubahan hubungan dalam sistem
ketika melibatkan keputusan yang berbeda. Dalam sistem dinamik, hubungan
antara struktur dan perilaku sistem didasarkan pada konsep informasi umpan balik
dan kontrol (Simonovic 2002). Metode sistem dinamik cocok untuk menganalisis
mekanisme, pola, dan kecenderungan sistem berdasarkan analisis terhadap
struktur dan perilaku sistem yang ruwet, berubah cepat dan mengandung
ketidakpastian. Pengembangan sistem dinamik mencakup beberapa tahap, yaitu:
(a) pemahaman sistem dan batas-batasnya; (b) identifikasi variabel kunci; (c)
representasi proses fisik ke dalam variabel melalui hubungan matematik; (d)
pemetaan struktur model dan simulasi model untuk memahami sifat-sifat sistem;
dan (e) interpretasi hasil simulasi untuk pengambilan keputusan yang efisien.
Akar dalam sistem dinamik adalah berpikir sistem, yaitu sebuah proses
berpikir yang ditemukan oleh Jay Forrester pada tahun 1956. Forrester meragukan
dominasi metodologi analisis di mana masalah-masalah sosial diidentifikasi
secara terpisah, dan solusinya diambil secara spesifik dan sempit yang terfokus
pada tujuan. Forrester memperkenalkan perlunya memahami hubungan antara
67
elemen-elemen berbeda dari sistem sosial yang lebih besar dan menemukan
bahwa relasi dan hubungan lebih penting daripada elemen-elemennya sendiri.
Berpikir sistem dikerjakan melalui pengembangan pandangan terhadap isu-isu
sosial dan lingkungan mencakup hubungan antara masalah yang berbeda dan
untuk mencari pola tingkah laku secara siklis pada jangka waktu yang lama.
Menurut Hariani (2005), berpikir sistem adalah salah satu pendekatan baru
yang dianggap lebih mampu menganalisis masalah kompleks. Berbeda dengan
cara pikir mekanistis yang secara umum menganggap suatu hubungan sebab
akibat yang linear, di mana suatu masalah dianggap hanya disebabkan oleh 1- 2
penyebab. Cara pikir sistem mencoba untuk mengidentifikasi semua masalah
yang muncul dan teramati serta secara konsisten melihat hubungan sebab akibat
dari masalah-masalah tersebut, sehingga diperoleh pola sebab akibat yang
kompleks.
Menurut Eriyatno (2003), pendekatan sistem digunakan untuk pengkajian
suatu perihal yang memenuhi karakteristik: (1) kompleks, di mana interaksi antar
elemen cukup rumit, (2) dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut
waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan (3) probabilistik, yaitu diperlukan
fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Berpikir sistem
sejauh ini merupakan cara yang lebih efektif untuk menyelesaikan masalah-
masalah kompleks.
Pengendalian pencemaran air merupakan suatu sistem yang melibatkan
berbagai elemen, seperti sumberdaya, konsep dan prosedur untuk mencapai tujuan
menekan tingkat pencemaran. Untuk mengatasi masalah pencemaran air
diperlukan metode penyelesaian yang sistematik melalui pendekatan sistem.
Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang
menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin 2007),
sehingga pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih
luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan
dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka
sistem. Pendekatan sistem sangat diperlukan karena permasalahan yang dihadapi
saat ini tidak lagi sederhana dan dapat menggunakan peralatan yang menyangkut
satu disiplin saja, tetapi memerlukan peralatan yang lebih kompehensif, yang
dapat mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu permasalahan
dan dapat mengarahkan pemecahan secara menyeluruh (Marimin 2007). Oleh
68
karena itu, setiap pendekatan kesisteman selalu mengutamakan kajian tentang
struktur sistem baik yang bersifat penjelasan maupun sebagai dukungan kebijakan.
Interaksi antar faktor dalam sistem tidak bersifat linier tetapi mencakup
interaksi umpan balik yang kompleks, sehingga permasalahannya sukar
diselesaikan dengan menggunakan metode operasi riset, namun membutuhkan
metode sistem dinamik untuk penyelesaiannya (Ling 1990).
Model sistem dinamik terbukti telah berhasil diaplikasikan pada sistem
sumberdaya air baik pada tingkat global maupun regional, misalnya TARGETS
(Rotmans & de Vries 1997) dan WorldWater (Simonovic 2002) merupakan dua
model penilaian sumberdaya air global di mana sektor sumberdaya air
dihubungkan dengan aspek pengembangan lainnya dan isu kebijakan yang
berhubungan dengan kependudukan, ekonomi, energi, pencemaran dan
sumberdaya yang tak terbarukan. Peneliti lainnya yang mengaplikasikan model
sistem dinamik antara lain adalah model sistem dinamik Erhai (Guo et al. 2001)
untuk pengelolaan lingkungan danau Erhai di Cina, Simonovic et al. (1997)
mengaplikasikan model sistem dinamik untuk perencanaan dan pengelolaan
sumberdaya air di Yunani, Xu et al. (2002) membuat model sistem dinamik untuk
menganalisis keberlanjutan pengelolaan sumberdaya air Sungai Kuning di Cina,
Simonovic & Rajasekaram (2004) yang mengembangkan model pengelolaan
sumberdaya air secara terintegrasi di Kanada berdasarkan pendekatan simulasi
sistem dinamik, Liu et al. (2005) menggunakan pendekatan sistem dinamik untuk
menyelesaikan masalah kebutuhan air perkotaan yang difokuskan pada faktor
populasi, Zhang et al. (2008) mengembangkan sistem dinamik untuk strategi
perencanaan sumberdaya air di Kota Tianjin dengan menguji interaksi sejumlah
komponen sistem yang dinamis selama 12 tahun, serta Zhang et al. (2009)
membangun model sistem dinamik dengan mengambil faktor populasi, ekonomi,
lingkungan dan faktor kebijakan untuk memprediksi dan menganalisis kebutuhan
dan ketersediaan sumberdaya air perkotaan.