bab ii tinjauan pustaxka
TRANSCRIPT
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Layang
Ikan layang merupakan salah satu hasil perikanan lepas pantai yang terdapat
di Indonesia. Ikan ini termasuk jenis pemakan zooplankton, hidup di dekat
permukaan laut (pelagis), berkadar garam tinggi dan membentuk gerombolan
besar. Klasifikasi ikan layang (Saanin 1984) adalah sebagai berikut:
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Percoidea
Famili : Carangidae
Genus : Decapterus
Spesies : Decapterus spp.
Bagian punggung ikan layang berwarna biru kehijauan dan bagian perutnya
berwarna putih perak sedangkan sirip-siripnya berwarna kuning kemerahan.
Bentuk tubuhnya memanjang dan dapat mencapai 30 cm. Pada umumnya, rata-
rata panjang badan ikan layang adalah 20-25 cm. Ikan layang memiliki dua sirip
punggung, dua sirip tambahan di belakang sirip punggung kedua dan satu sirip
tambahan di belakang sirip dubur. Ikan layang memiliki finlet yang merupakan
ciri khas dari genus Decapterus (Saanin 1984). Morfologi ikan layang disajikan
pada Gambar 1.
Gambar 1 Ikan layang ( Decapterus spp).
Ikan layang termasuk ikan pelagis dan dikelompokkan sebagai ikan pelagis
kecil berdasarkan ukurannya. Di perairan Indonesia, terdapat lima jenis (spesies)
6
ikan layang, yaitu Decapterus ruselli, Decapterus macrosoma, Decapterus
kurroides, Decapterus tabl dan Decapterus maruadsi (Burhanudin et al. 1983).
Daerah penyebaran ikan layang di perairan Indonesia adalah Selat Bali, Ambon,
dan Laut Jawa (Suyedi 2001).
Ikan pelagis pada umumnya merupakan filter feeder, yaitu jenis ikan
pemakan plankton dengan cara menyaring plankton yang masuk. Pada siang hari,
ikan pelagis kecil berada di dasar perairan yang membentuk gerombolan yang
padat dan kompak sedangkan pada malam hari ikan ini naik ke permukaan
membentuk gerombolan yang menyebar (Suyedi 2001). Ikan layang merupakan
ikan perenang cepat yang hidup berkelompok di laut yang jernih dan bersalinitas
tinggi. Ikan layang (Decapterus russelli) hidup di perairan dengan salinitas tinggi
yaitu ± 32‰ (Hariati 2005).
Ikan pelagis memiliki proporsi daging merah yang tinggi yaitu berkisar
antara 10-20%, juga memiliki kandungan glikogen yang tinggi di dalam daging.
Pada saat ikan mengalami post-mortem, akan cepat mengalami glikolisis
membentuk dan mengakumulasi asam laktat yang menyebabkan pH daging ikan
turun secara cepat, mencapai pH 5,6 (Shimizu et al. 1992; Matsumoto dan
Noguchi 1992).
Pada umumnya, komposisi kimia daging ikan terdiri dari air 66-84%;
protein 15-24%; lemak 0,1-22%; karbohidrat 1-3% dan bahan anorganik 0,8-2%
(Suzuki 1981). Komposisi kimia daging ikan sangat bervariasi tergantung
spesies, jenis kelamin, umur, musim dan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut
ditangkap. Komposisi kimia daging ikan layang ( Decapterus spp.) disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia daging ikan layang ( Decapterus spp.) dalam 100 g
Parameter Ikan Layang
Kadar Air (% ) 78,58
Kadar Abu (% ) 1,03
Lemak ( % ) 1,90
Protein ( % ) 18,13
TVB (mg N/100g ) 9,79
pH 5,98 Sumber: Chairita (2008)
7
2.2 Tepung Ikan
Tepung ikan adalah produk padat yang dihasilkan dengan jalan
mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau seluruh lemak dalam ikan
(Ilyas 2003). Tepung ikan merupakan sumber protein yang sangat baik,
umumnya berwarna cokelat yang diperoleh setelah melalui proses pemasakan,
pengepresan, pengeringan dan penggilingan. Produksi pembuatan tepung ikan
dalam jumlah yang besar menurut FAO PBB yaitu hampir 90% digunakan
sebagai konsumsi makanan manusia (Green 2010). Tepung ikan memiliki kadar
air tidak lebih dari 4% ( BPOM 2006).
Produksi tepung ikan di Indonesia mencapai 57.010 ton dengan nilai
ekspornya adalah sebesar 39.945 ton (BPS 2011). Tepung ikan mengandung nilai
gizi yang tinggi terutama kandungan protein yang kaya akan asam amino
esensial, yaitu lisin dan metionin. Tahap pembuatan tepung ikan teri untuk bahan
pangan seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Bagan alir pembuatan tepung ikan teri untuk pangan
(Dullah et al. 1985).
Ikan Teri
Sortasi
Pemasakan Pengeringan
Penggilingan basah Penggilingan
Pengeringan Tepung ikan
Segar
Penggilingan kering
Tepung ikan
8
2.3 Mutu tepung Ikan
Tepung ikan dengan mutu yang tinggi mempunyai tekstur tepung ikan
halus, bebas benda asing dan serangga, baunya khas tepung ikan, berwarna coklat
kekuningan khas tepung ikan. Mutu tepung ikan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu bahan baku yang digunakan, metode pengolahan serta cara dan lama
penyimpanan. Proses pembuatan yang semakin baik diharapkan dapat
meningkatkan kualitas dan rendemen tepung yang dihasilkannya sehingga dapat
meningkatkan dan memenuhi kebutuhan tepung ikan dalam negeri (Annafi 2009).
Proses pembuatan tepung ikan menggunakan metode konvensional, yaitu
persiapan bahan baku, pemasakan, pengepresan, pengeringan dan pengangin-
anginan. Mutu tepung ikan yang dihasilkan tergantung pada jenis dan kesegaran
bahan mentah yang diolah dan juga teknologi pengolahannya (Annafi 2009).
Pengolahan tepung ikan pada dasarnya adalah perubahan bentuk dari ikan
utuh menjadi tepung ikan melalui tahap-tahap pemasakan, pengepresan,
pengeringan dan penggilingan (Mulki 2005), sedangkan teknologi pengolahannya
dapat ditentukan berdasarkan ketersediaan bahan mentah yang akan diolah.
Komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis ikan, mutu bahan baku
yang digunakan dan cara pengolahannya. Tepung ikan yang bermutu harus
mempunyai komposisi seperti yang tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2 Syarat mutu tepung ikan sebagai bahan pangan
Zat gizi Kandungan (%)
Air 10-12
Lemak 8-12
Protein 45-65
Abu 20-30
Serat 1,5-3
Calcium (Ca) 2,5-7,0
Fosfor 1,6-4,7
NaCL 2-4 Sumber: BSN (1996)
Tepung ikan akan lebih baik mutunya bila bahan mentah yang dipakai
terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah berasal dari
ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak mengandung
9
lemak (Ilyas 2003). Kebanyakan tepung ikan mengandung kadar air 18%, lemak
5-10% dan protein sebesar 60-65%.
2.4 Singkong
Singkong atau ubi kayu (Manihot esculenta CRANTZ) merupakan sumber
utama kalori di daerah tropis dan biasanya terdapat pada daerah dataran tinggi.
Menurut Oluwole et al. (2007), singkong merupakan sumber utama kalori di
daerah tropis yang dapat diproses menjadi beberapa makanan dan mengandung
senyawa sianogen.
Singkong dikelompokkan menjadi singkong yang agak manis dan singkong
yang agak pahit sehingga memerlukan pemrosesan yang lebih ekstensif sebelum
dikonsumsi (Fregene et al. 2003; Manu-Aduening et al. 2005). Menurut Agbor-
Egbe dan Lape Mbome (2006) serta Aloys (2006), umbi singkong dapat diproses
menjadi beberapa makanan. Tanaman singkong memiliki banyak kelebihan,
yakni (a) dapat tumbuh pada kondisi yang kurang baik dan iklim yang ekstrim,
seperti tanah masam, (b) mampu berproduksi pada tanah yang subur tetapi tetap
menghasilkan pada tanah yang kurang atau tidak subur, (c) rentang panen yang
panjang, yakni antara 10 hingga 30 bulan, (d) merupakan makanan pokok terbesar
dunia setelah gandum, beras dan jagung, (e) sumber terbesar karbohidrat, (f)
sekitar 500 juta orang bergantung padanya dan (g) memiliki umbi manis dan pahit
(Laswai et al. 2006; Vessia 2008).
Tanaman yang akan digunakan sebagai bahan baku pati (tapioka) harus
memiliki kandungan protein rendah, viskositas (kekentalan) pati tinggi,
kandungan pati tinggi, dan kandungan serat rendah.
Secara tradisional, ubi kayu digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai
makanan pokok seperti halnya beras dan jagung. Ubi kayu merupakan komoditas
tanaman pangan nomor tiga di Indonesia setelah padi dan jagung sekaligus
sumber kalori pangan termurah dan cukup ketersediaannya. Ubi kayu di
Indonesia terutama digunakan untuk bahan pangan (58%), bahan baku industri
(28%), ekspor dalam bentuk gaplek (8%) dan pakan (2%) (DKU 2004). Umbi
ubikayu dari setiap jenis dan cara pengolahan umbi sangat berpengaruh terhadap
komposisi kimianya. Kandungan gizi ubi kayu, gaplek dan tepung tapioka yang
10
dibandingkan dengan beras dan terigu serta tepung ubi kayu untuk jelasnya
disajikan pada Tabel 2 dan standar mutu tepung singkong menurut SNI No.
01.2997.1992 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Kandungan gizi dalam 100 g singkong, beras giling, gaplek, dan
tepung tapioka yang dibandingkan dengan terigu
Zat Makanan Singkong Beras Giling Gaplek Tapioka Terigu
Kalori (kal) 154,00 360,00 338,00 363,00 365,00
Protein (g) 1,00 6,80 1,50 1,10 8,90
Lemak (g) 0,30 0,70 0,70 0,50 1,30
Karbihidrat (g) 36,80 78,90 81,30 83,20 77,30
Zat Kapur (mg) 33,00 6,00 80,00 89,00 16,00
Phospor (mg) 40,00 140,00 60,00 125,00 106,00
Zat Besi (mg) 1,10 0,80 1,90 1,00 1,20
Vitamin B1 (mg) 0,06 0 0 0 0,12
Thiamine (mg) 20,00 0 0 0,40 0
Vitamin C (mg) 30,00 0,12 0 0 0,12
Sumber : Dir. Gizi Depkes diacu dalam DKU (2004)
Tabel 4 Standar mutu tepung singkong menurut SNI No. 01.2997.1992
Uraian Satuan Persyaratan
Keadaan:
Bau
Rasa
Warna
Benda-benda asing
Derajat putih
Abu
Air
Derajat Asam
Asam sianida
Kehalusan
Pati
%,b/b
BaSO4 = 100 %0
%, bb
%, bb
Ml N NaOH/100g
mg/Kg
%
%,
Khas ubi kayu
Khas ubi kayu
Putih
Tidak boleh ada
Min . 85
Maks. 1.5
Maks. 12
Maks 3
Maks. 40
Min. 90
Min. 75
Sumber: (DKU 2004)
2.5 Enbal
Enbal (dalam bahasa daerah Kei) merupakan salah satu makanan pokok
masyarakat Daerah Kei Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual.
Enbal terbuat dari bahan ubi kayu yang telah diparut dan diperas untuk
11
mengeluarkan air dari patinya yang kemudian disebut enbal gepe, lalu diayak
untuk mendapatkan tepung enbal.
Bagi masyarakat Maluku Tenggara, enbal memiliki arti penting dan
strategis. Enbal dijadikan makanan pokok sekaligus sebagai media keakraban dan
persaudaraan. Suasana seperti itu semakin terasa pada saat datang dari rantau,
niaga maupun setelah menyelesaikan pendidikan. Enbal dijadikan makanan
utama mengalahkan jenis makanan pokok lainnya (beras dan jagung) atau sebagai
bekal perjalanan dan buah tangan untuk sesama masyarakat Maluku Tenggara
(Tual). Proses pengolahan enbal secara tradisional disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Diagram alir pembuatan tepung enbal cara tradisional.
(komunikasi pribadi).
2.6 Pengeringan
Pengeringan merupakan suatu cara untuk mengeluarkan atau
menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan padat dengan cara
menguapkan sebagian besar air yang dikandungnya menggunakan energi panas.
Singkong segar
Pemarutan Tangan
Pengepresan dengan
papan penjepit
Enbal mentah
Pengayakan
Penepungan
Tepung enbal
12
Biasanya kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai batas tertentu, dimana
mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi pada bahan (Muchtadi 2008).
Tujuan pengeringan pada suatu bahan pangan di antaranya adalah untuk
mempertahankan daya awet dengan cara mengurangi aktivitas air (aw),
mengurangi berat dan volume sehingga menghemat ruang pengangkutan,
pengepakan, serta mempermudah transportasi. Pengeringan juga bertujuan untuk
meningkatkan nilai sensori pada suatu produk pangan, yaitu aroma yang berbeda,
kerenyahan, kekenyalan, dan parameter sensori lainnya (Berk 2009).
Proses pengeringan terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap sebelum pemanasan
(preheating period), tahap kecepatan pengeringan konstan (constant drying-rate
period) dan tahap penurunan kecepatan pengeringan (decreasing drying-rate
period). Tahap pertama, air bebas dan terikat masih berada dalam bahan dengan
tidak mengalami perubahan. Pada tahap kedua, air bebas berada di permukaan
bahan, suhu bahan tetap konstan dan sebanding dengan suhu basah pada udara
panas. Semua panas yang diterima oleh bahan digunakan untuk proses
penguapan. Pada tahap ketiga, tidak ada air bebas pada permukaan bahan,
penguapan telah terjadi di seluruh bagian permukaan sehingga terjadi penurunan
kecepatan pengeringan sampai akhir waktu pengeringan yaitu saat terjadi
kesetimbangan kadar air (Masuda et al. 2006).
Menurut Brooker et al. (2004), beberapa parameter yang mempengaruhi
waktu yang dibutuhkan dalam proses pengeringan, antara lain:
1) Suhu udara pengering
Laju penguapan air bahan dalam pengering sangat ditentukan oleh kenaikan
suhu. Bila suhu pengeringan dinaikkan maka panas yang dibutuhkan untuk
penguapan air bahan menjadi berkurang. Suhu udara pengering berpengaruh
terhadap lama pengeringan dan kualitas bahan hasil pengeringan. Makin tinggi
suhu udara pengering maka proses pengeringan makin singkat. Biaya
pengeringan dapat ditekan pada kapasitas yang besar jika digunakan pada suhu
tinggi, selama suhu tersebut tidak sampai merusak bahan.
2) Kelembaban relatif udara pengering
Kelembaban relatif udara adalah perbandingan massa uap air aktual pada
volume yang diberikan dengan masa uap air saturasi pada temperatur yang sama.
13
Kelembaban mutlak udara berpengaruh terhadap pemindahan cairan dari dalam ke
permukaan bahan. Kelembaban relatif juga menentukan besarnya tingkat
kemampuan udara pengering dalam menampung uap air di permukaan bahan.
Semakin rendah RH udara pengering, makin cepat pula proses pengeringan yang
terjadi karena mampu menyerap dan menampung uap air lebih banyak dari pada
udara dengan RH yang tinggi.
3) Kecepatan udara pengering
Pada proses pengeringan, udara berfungsi sebagai pembawa panas untuk
menguapkan kandungan air pada bahan serta mengeluarkan uap air tersebut. Air
dikeluarkan dari bahan dalam bentuk uap dan harus secepatnya dipindahkan dari
bahan. Bila tidak segera dipindahkan maka air akan menjenuhkan atmosfer pada
permukaan bahan sehingga akan memperlambat pengeluaran air selanjutnya.
Aliran udara yang cepat akan membawa uap air dari permukaan bahan dan
mencegah uap air tersebut menjadi jenuh di permukann bahan. Semakin besar
volume udara yang mengalir, maka semakin besar pula kemampuannya dalam
membawa dan menampung air dari permukaan bahan.
4) Kadar air bahan
Pada proses pengeringan, sering dijumpai adanya variasi jumlah kadar air
pada bahan yang mana variasi kadar air ini akan mempengaruhi lamanya proses
pengeringan, sehingga perlu diketahui berapa persen kadar air pada bahan saat
basah dan pada saat kering.
Pengeringan dapat dilakukan dengan memakai suatu alat pengering
(artificial drying) atau dengan penjemuran (sun drying), yaitu pengeringan dengan
menggunakan energi sinar matahari langsung. Pengeringan buatan (artificial
drying) mempunyai keuntungan karena suhu dan aliran udara dapat diatur
sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan dan kebersihan dapat diawasi
(Winarno dan Fardiaz 1973).
2.7 Pengaruh pengeringan terhadap beberapa sifat bahan
Pengeringan dapat menyebabkan perubahan warna, tekstur, aroma dan
lainnya walaupun perubahan-perubahan tersebut dapat dibatasi seminimal
mungkin dengan cara memberikan perlakuan pendahuluan terhadap bahan pangan
14
yang akan dikeringkan. Pada umumnya, bahan pangan yang dikeringkan berubah
warnanya menjadi coklat. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh reaksi-
reaksi browning, baik enzimatik maupun non-enzimatik. Reaksi browning non-
enzimatik yang sering terjadi adalah reaksi antara asam-asam amino dengan gula
pereduksi (Muchtadi 2008).
Pengurangan kadar air akan menyebabkan kandungan protein, karbohidrat,
lemak dan mineral-mineral pada bahan pangan terkonsentrasi lebih tinggi namun
sejumlah vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang
(Winarno dan Fardiaz 1973). Menurut hasil penelitian Chukwu (2009), jika
dibandingkan dengan bahan baku, ikan jenis tilapia yang telah dikeringkan
mengalami penurunan persentase kadar air, sedangkan persentase kadar protein,
lemak, vitamin A, potassium, serta fosfor mengalami kenaikan.
Jika pengeringan dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi maka dapat
menyebabkan terjadinya case hardening yaitu suatu keadaan di mana bagian
dalamnya masih basah. Hal ini disebabkan suhu pengeringan yang terlalu tinggi
akan mengakibatkan bagian permukaan cepat mengering dan menjadi keras
sehingga akan menghambat penyerapan air selanjutnya. Case hardening juga
dapat disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan kimia tertentu, misalnya
terjadinya pengumpulan protein pada permukaan bahan karena adanya panas atau
terbentuknya dekstrin dari pati yang dikeringkan (Winarno dan Fardiaz 1973).
Pemanasan yang berlebih pada proses pemasakan produk seafood kering dapat
mengakibatkan hilangnya asam amino yang tidak stabil terhadap panas (Pan 1988
diacu dalam Shahidi dan Botta 1994).
Suatu tipe pengeringan memberikan pengaruh terhadap kualitas produk
akhir. Pengeringan dengan suhu tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein.
Denaturasi protein adalah terjadinya modifikasi struktur sekunder, tersier dan
kuartener dari protein tanpa menyebabkan pemutusan ikatan peptida dan
perubahan sekuen asam amino pada struktur protein (Kusnandar 2010).
2.8 Umur Simpan
Pengembangan teknologi pengolahan, pengemasan dan metode lain untuk
mengukur dan meramalkan masa simpan produk makanan sangat penting dan
15
strategis. Semakin tinggi masa simpan produk makanan, semakin jauh jangkauan
pemasarannya sehingga makin ekonomis.
Penyimpanan bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan mutu produk
olahan yang disimpan dengan cara menghindari, mengurangi ataupun
menghilangkan berbagai faktor yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas
komoditi tersebut. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan
udara, oksigen, uap air, cahaya akibat mekanis contoh vibrasi, kompresi, dan
abrasi (Arpah 2001).
Umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian diterapkan waktu
kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk
pangan, yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage
Studies (ASS) (Floros dan Gnanasekharan 1993). Metode ESS sering juga disebut
sebagai metode konvensional adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan cara
menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari dan dilakukan
pengamatan terhadap penurunan mutunya sehingga mencapai tingkat mutu
kadaluarsa. Penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati
produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak lagi dapat
diterima oleh konsumen. Metode ESS sering digunakan untuk produk yang
memiliki waktu kadaluarsa kurang dari 3 bulan.
Penentuan umur simpan produk dengan metode konvensional dapat
dilakukan dengan menganalisis kadar air suatu bahan, mengeplotkan kadar air
tersebut pada grafik kemudian menarik titik tersebut sesuai dengan kadar air kritis
produk. Perpotongan antara garis hasil pengukuran kadar air dan kadar air kritis
ditarik garis ke bawah sehingga dapat diketahui nilai umur simpan produk
(Herawati 2008). Penentuan umur simpan produk dapat dipercepat dengan
menggunakan metode Accelerated Storage Studies (ASS), yaitu kondisi
penyimpanan diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat
rusak dan penentuan umur simpan dapat dilakukan ( Arpah dan Syarief 2000).
Penentuan umur simpan produk dengan metode akselerasi dapat dilakukan
dengan dua pendekatan (Herawati 2008), yaitu:
1) Pendekatan kadar air kritis dengan teori difusi menggunakan perubahan kadar
air dan aktivitas air sebagai kriteria kadaluarsa.
16
2) Pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu
menggunakan teori kinetika yang pada umumnya menggunakan ordo nol atau
satu untuk produk pangan.
Analisis penurunan mutu dengan metode akselerasi memerlukan beberapa
pengamatan, yaitu harus ada parameter yang diukur secara kuantitatif dan
parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji organoleptik atau
uji mikrobiologi seperti daya serap O2, kadar peroksida, kadar vitamin C, uji cita
rasa, tekstur, warna, total mikroba dan lain sebagainya. Jenis parameter yang diuji
tergantung pada jenis produknya. Untuk produk berlemak, parameternya
biasanya ketengikan. Produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam
kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba. Produk berwujud
cair, bubuk atau kering yang diukur adalah kadar airnya. Untuk satu produk, tidak
semua parameter yang diuji melainkan salah satunya saja, yakni parameter yang
paling cepat yang mempengaruhi konsumen (Syarief dan Halid 1993).
Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan terbuka pada kondisi
lingkungan. Faktor-faktor lingkungan, yaitu suhu, kelembaban, kandungan
oksigen dan cahaya dapat memicu beberapa reaksi yang dapat menyebabkan
penurunan mutu produk tersebut. Penyimpangan mutu produk dari mutu awalnya
disebut sebagai deteriorasi (Arpah 2001). Produk pangan mengalam deteriorasi
segera setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dari persinggungan produk
dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini
dapat juga diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi, kompresi dan abrasi.
Reaksi deteriorasi pada produk pangan juga dapat disebabkan oleh faktor intrinsik
maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa
reaksi kimia, enzimatis atau lainnya seperti proses fisik dalam bentuk penyerapan
uap air atau gas dari lingkungan (Arpah 2001). Hal ini akan meyebabkan
perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi perubahan tekstur, flavor,
warna, penampakan fisik, nilai gizi maupun mikrobiologis. Data yang diperlukan
untuk menentukan umur simpan produk yang dianalisis di laboratorium dapat
diperoleh dari analisis atau evaluasi sensori, analisis kimia dan fisik serta
pengamatan kandungan mikroba (Koswara 2004).