bab ii tinjauan teori a....
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Kecemasan
1. Pengertian
Cemas dalam bahasa latin “anxius” dan dalam bahasa Jerman “angst”
kemudian menjadi “anxiety” yang berarti kecemasan, merupakan suatu kata
yang dipergunakan oleh Freud untuk menggambarkan suatu efek negatif dan
keterangsangan. Cemas mengandung arti pengalaman psikis yang biasa dan
wajar, yang pernah dialami setiap orang dalam rangka memacu individu
untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi sebaik – baiknya (Hawari,
2000).
Kecemasan (ansietas/ anxiety) adalah gangguan alam perasaan (affectiv)
yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam
dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality
Testing Ability), kepribadian masih tetap utuh, perilaku dapat terganggu tetapi
masih dalam batas – batas normal. Ada segi yang disadari dari kecemasan itu
sendiri seperti rasa takut, tidak berdaya, terkejut, rasa berdosa atau terancam,
selain itu juga segi – segi yang terjadi di luar kesadaran dan tidak dapat
menghindari perasaan yang tidak menyenangkan (Jadman, 2001).
8
Cemas atau ansietas merupakan reaksi emosional yang timbul oleh
penyebab yang tidak spesifik yang dapat menimbulkan perasaan tidak
nyaman dan merasa terancam. Keadaan emosi ini biasanya merupakan
pengalaman individu yang subyektif yang tidak diketahui secara khusus
penyebabnya. Cemas berbeda dengan takut, seseorang yang mengalami
kecemasan tidak dapat mengidentifikasikan ancaman. Cemas dapat terjadi
tanpa rasa takut namun ketakutan tidak terjadi tanpa kecemasan (Kaplan HI
& Sadock BJ, 1998).
2. Teori Predisposisi dan Presipitasi Kecemasan
Beberapa teori yang mengemukakan faktor pendukung terjadinya
kecemasan menurut Stuart dan Sundeen (1998) antara lain:
a. Teori Psikoanalitik
Menurut pandangan psikoanalitic, kecemasan terjadi karena adanya
konflik yang terjadi antara emosional elemen kepribadian yaitu id, ego
dan super ego. Id mewakili insting, super ego mewakili hati nurani,
sedangkan ego mewakili konflik yang terjadi antara kedua elemen yang
bertentangan. Dan timbulnya merupakan upaya dalam memberikan
bahaya pada elemen ego.
b. Teori Interpersonal
Menurut pandangan interpersonal kecemasan timbul dari perasaan
takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal.
9
c. Teori Behaviour
Berdasarkan teori behaviour (perilaku), kecemasan merupakan
produk frustrasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan
seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
d. Teori Prespektif keluarga
Kajian keluarga menunjukkan pola interaksi yang terjadi didalam
keluarga kecemasan menunjukkan adanya interaksi yang tidak adaptif
dalam sistem keluarga.
e. Teori Prespektif Biologis
Kesehatan umum seseorang menurut pandangan biologis merupakan
faktor predisposisi timbulnya kecemasan.
Menurut Stuart & Sundeen (1998) faktor pencetus (presipitasi) yang
menyebabkan terjadinya kecemasan antara lain:
a. Ancaman terhadap Integritas biologi seperti:
1) Penyakit
Berbagai penyakit fisik terutama yang kronis yang
mengakibatkan invaliditas dapat menyebabkan stres pada diri
seseorang, misalnya : penyakit jantung, hati, kanker, stroke dan
HIV/AIDS.
2) Trauma fisik
3) Pembedahan
10
b. Ancaman terhadap Konsep Diri seperti:
Proses kehilangan, perubahan peran, perubahan lingkungan,
perubahan hubungan dan Status sosial ekonomi.
3. Faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan
Tingkat kecemasan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terkait
meliputi hal berikut:
a. Potensi stresor
Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang itu
terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk
menanggulanginya.
b. Maturasi (kematangan)
Individu yang matang yaitu yang memiliki kematangan kepribadian
sehingga akan lebih sukar mengalami gangguan akibat stres, sebab
individu yang matang mempunyai daya adaptasi yang besar terhadap
stressor yang timbul. Sebaliknya individu yang berkepribadian tidak
matang akan bergantung dan peka terhadap rangsangan sehingga sangat
mudah mengalami gangguan akibat adanya stres.
c. Status pendidikan dan status ekonomi
Status pendidikan dan status ekonomi yang rendah pada seseorang
menyebabkan orang tersebut mengalami stres dibanding dengan mereka
yang status pendidikan dan status ekonomi yang tinggi.
11
d. Tingkat pengetahuan
Tingkat pengetahuan yang rendah pada seseorang akan menyebabkan
orang tersebut mudah stres.
e. Keadaan fisik
Individu yang mengalami gangguan fisik seperti cidera, penyakit
badan, operasi, cacat badan lebih mudah mengalami stres. Disamping itu
orang yang mengalami kelelahan fisik juga akan lebih mudah mengalami
stres.
f. Tipe kepribadian
Individu dengan tipe kepribadian tipe A lebih mudah mengalami
gangguan akibat adanya stres dari individu dengan kepribadian B.
Adapun ciri – ciri individu dengan kepribadian A adalah tidak sabar,
kompetitif, ambisius, ingin serba sempurna, merasa buru – buru waktu,
sangat setia (berlebihan) terhadap pekerjaan, agresif, mudah gelisah, tidak
dapat tenang dan diam, mudah bermusuhan, mudah tersinggung, otot –
otot mudah tegang. Sedangkan individu dengan kepribadian tipe B
mempunyai ciri – ciri yang berlawanan dengan individu kepribadian tipe
A.
g. Sosial Budaya
Cara hidup individu di masyarakat yang sangat mempengaruhi pada
timbulnya stres. Individu yang mempunyai cara hidup sangat teratur dan
mempunyai falsafat hidup yang jelas maka pada umumnya lebih sukar
12
mengalami stres. Demikian juga keyakinan agama akan mempengaruhi
timbulnya stres.
h. Lingkungan atau situasi
Individu yang tinggal pada lingkungan yang dianggap asing akan
lebih mudah mangalami stres.
i. Usia
Ada yang berpendapat bahwa faktor usia muda lebih mudah
mengalami stres dari pada usia tua, tetapi ada yang berpendapat
sebaliknya.
j. Jenis kelamin
Umumnya wanita lebih mudah mengalami stres, tetapi usia harapan
hidup wanita lebih tinggi dari pada pria.
4. Faktor-faktor yang dapat mengurangi kecemasan antara lain:
a. Represi, yaitu tindakan untuk mengalihkan atau melupakan hal atau
keinginan yang tidak sesuai dengan hati nurani. Represi juga bisa
diartikan sebagai usaha untuk menenangkan atau meredam diri agar tidak
timbul dorongan yang tidak sesuai dengan hatinya (Prasetyono, 2007).
b. Relaksasi, yaitu dengan mengatur posisi tidur dan tidak memikirkan
masalah (Prasetyono, 2007). Sedangkan Dale Carnegie (2007)
menambahkan bahwa relaksasi dan rekreasi bisa menurunkan kecemasan
dengan cara tidur yang cukup, mendengarkan musik, tertawa dan
memperdalam ilmu agama.
13
c. Komunikasi perawat, yaitu komunikasi yang disampaikan perawat pada
pasien dengan cara memberi informasi yang lengkap mulai pertama kali
pasien masuk dengan menetapkan kontrak untuk hubungan profesional
mulai dari fase orientasi sampai dengan terminasi atau yang disebut
dengan komunikasi teraupetik (Tamsuri, 2006).
d. Psikofarmaka, yaitu pengobatan untuk cemas dengan memakai obat-
obatan seperti diazepam, bromazepam dan alprazolam yang berkhasiat
memulihkan fungsi gangguan neurotransmiter (sinyal penghantar saraf)
di susunan saraf pusat otak (lymbic system) (Hawari, 2001).
e. Psikoterapi, merupakan terapi kejiwaan dengan memberi motivasi,
semangat dan dorongan agar pasien yang bersangkutan tidak merasa
putus asa dan diberi keyakinan serta kepercayaan diri (Hawari, 2001).
f. Psikoreligius, yaitu dengan doa dan dzikir. Doa adalah mengosongkan
batin dan memohon kepada Tuhan untuk mengisinya dengan segala hal
yang kita butuhkan. Dalam doa umat mencari kekuatan yang dapat
melipatgandakan energi yang hanya terbatas dalam diri sendiri dan
melalui hubungan dengan doa tercipta hubungan yang dalam antara
manusia dan Tuhan (Prasetyono, 2007). Terapi medis tanpa disertai
dengan doa dan dzikir tidaklah lengkap, sebaliknya doa dan dzikir saja
tanpa terapi medis tidaklah efektif.
14
5. Manifestasi Klinik
Ansietas dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan
fisiologis, perilaku dan secara langsung melalui timbulnya gejala sebagai
upaya untuk melawan ansietas. Intensitas perilaku akan meningkat sejalan
dengan peningkatan tingkat kecemasan (Stuart dan Sundeen, 1998).
Berikut tanda dan gejala berdasarkan klasifikasi tingkat kecemasan
kecemasan yang timbul secara umum adalah:
a. Tanda fisik
1). Cemas ringan:
a) Gemetaran, renjatan, rasa goyang
b) Ketegangan otot
c) Nafas pendek, hiperventilasi
d) Mudah lelah
2). Cemas sedang:
a). Sering kaget
b). Hiperaktifitas autonomik
c). Wajah merah dan pucat
3). Cemas berat:
a). Takikardi
b). Nafas pendek, hiperventilasi
c). Berpeluh
d). Tangan terasa dingin
15
4). Panik
a). Diare
b). Mulut kering (xerostomia)
c). Sering kencing
d). Parestesia (kesemutan pada kaki dan tangan)
e). Sulit menelan
b. Gejala psikologis
1). Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri,
mudah tersinggung
2). Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.
3). Sulit konsentrasi, hypervigilance (siaga berlebihan)
4). Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang
5). Gangguan pola tidur, mimpi – mimpi yang menegangkan
6). Gangguan konsentrasi dan daya ingat
7). Libido menurun
8). Rasa menganjal di tenggorokan
9). Rasa mual di perut
6. Tingkat kecemasan
Ansietas sangat berkaitan denagn perasaan tidak pasti dan tidak berdaya.
Keadaan emosi ini tidak memiliki obyek yang spesifik. Kondisi dialami
secara subyektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.
Ansietas berbeda dengan rasa takut yang merupakan penilaian intelektual
16
terhadap sesuatu yang berbahaya. Ansietas adalah respon emosional terhadap
penilaian tersebut. Kapasitas untuk menjadi cemas diperlukan untuk bertahan
hidup, tetapi tingkat kecemasan yang parah tidak sejalan dengan kehidupan
(Stuart dan Sundeen, 1998).
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) membagi ansietas ke dalam 4
tingkatan sesuai dengan rentang respon ansietas yaitu :
a. Ansietas ringan
Ansietas ini adalah ansietas yang normal yang memotivasi individu
dari hari ke hari sehingga dapat meningkatkan kesadaran individu serta
mempertajam perasaannya. Ansietas pada tahap ini dipandang penting
dan konstruktif.
b. Ansietas Sedang
Pada tahap ini lapangan persepsi individu menyempit, seluruh indera
dipusatkan pada penyebab ansietas sehingga perhatuan terhadap
rangsangan dari lingkungannya berkurang.
c. Ansietas Berat
Lapangan persepsi menyempit, individu bervokus pada hal – hal
yang kecil, sehingga individu tidak mampu memecahkan masalahnya,
dan terjadi gangguan fungsional.
d. Panik
Merupakan bentuk ansietas yang ekstrim, terjadi disorganisasi dan
dapat membahayakan dirinya. Individu tidak dapat bertindak, agitasi atau
17
hiperaktif. Ansietas tidak dapat langsung dilihat, tetapi dikomunikasikan
melalui perilaku klien/individu, seperti tekanan darah yang meningkat,
nadi cepat, mulut kering, menggigil, sering kencing dan pening.
Tingkat kecemasan dapat diukur dengan menggunakan Hamilton Rating
Scale for Anxiety (HRS-A) yang sudah dikembangkan oleh kelompok
Psikiatri Biologi Jakarta (KPBJ) dalam bentuk Anxiety Analog Scale (AAS).
Validitas AAS sudah diukur oleh Yul Iskandar pada tahun 1984 dalam
penelitiannya yang mendapat korelasi yang cukup dengan HRS A (r = 0,57 –
0,84).
Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran tingkat kecemasan menurut
alat ukur kecemasan yang disebut HARS (Hamilton Anxiety Rating
Scale). Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan
pada munculnya symptom pada individu yang mengalami kecemasan.
Menurut skala HARS terdapat 14 syptoms yang nampak pada individu yang
mengalami kecemasan. Setiap item yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor
antara 0 (Nol Present) sampai dengan 4 (severe).
Skala HARS pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang
diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standar dalam
pengukuran kecemasan terutama pada penelitian trial clinic. Skala HARS
telah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup tinggi untuk
melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian trial clinic yaitu 0,93 dan
18
0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran kecemasan dengan
menggunakan skala HARS akan diperoleh hasil yang valid dan reliable.
Skala HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) yang dikutip Nursalam
(2003) penilaian kecemasan terdiri dan 14 item, meliputi:
a. Perasaan Cemas firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah
tersinggung.
b. Ketegangan merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu.
c. Ketakutan: takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal sendiri
dan takut pada binatang besar.
d. Gangguan tidur: sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur
tidak pulas dan mimpi buruk.
e. Gangguan kecerdasan: penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit
konsentrasi.
f. Perasaan depresi: hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hobi,
sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.
g. Gejala somatik: nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara tidak
stabil dan kedutan otot.
h. Gejala sensorik: perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka merah
dan pucat serta merasa lemah.
i. Gejala kardiovaskuler: takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras dan
detak jantung hilang sekejap.
19
j. Gejala pernapasan: rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering
menarik napas panjang dan merasa napas pendek.
k. Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun,
mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, perasaan
panas di perut.
l. Gejala urogenital: sering kencing, tidak dapat menahan kencing,
aminorea, ereksi lemah atau impotensi.
m. Gejala vegetatif: mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu
roma berdiri, pusing atau sakit kepala.
n. Perilaku sewaktu wawancara: gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan
dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas pendek
dan cepat.
Cara penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan kategori:
0 = tidak ada gejala sama sekali
1 = Satu dari gejala yang ada
2 = Sedang/ separuh dari gejala yang ada
3 = berat/lebih dari ½ gejala yang ada
4 = sangat berat semua gejala ada
Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan item 1-
14 dengan hasil:
a. Skor kurang dari 6 = tidak ada kecemasan.
b. Skor 7 – 14 = kecemasan ringan.
20
c. Skur 15 – 27 = kecemasan sedang.
d. Skor lebih dari 27 = kecemasan berat
B. Pengetahuan
1. Pengertian
“Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil
penggunaan panca inderanya. Yang berbeda skala dengan kepercayaan
(believes), takhayul (superstition), dan penerangan-penerangan yang keliru
(misinformation)” (Soekanto, 2003).
Pengetahuan merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan, penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba. Sebagian besar pengetahuan merupakan hal yang sangat utuh
terbentuknya tindakan seseorang (over behavior) (Notoadmodjo, 2003).
Karena dalam pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang disadari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng dari pada yang tidak disadari oleh
pengetahuan.
2. Tingkat pengetahuan
Menurut Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2003), Tingkat
pengetahuan di dalam domain kognitif mempunyai enam (6) tingkatan yaitu:
a. Tahu
Tahu bisa berarti kemampuan mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya termasuk didalam pengetahuan. Tingkatan ini
21
adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang telah dipelajari. Oleh
sebab itu tahu merupakan pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja
yang untuk mengukur yaitu menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan
dan sebagainya. Misalnya klien dapat menjelaskan kembali tentang seks
pranikah dengan benar.
b. Memahami
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan
materi yang benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek
yang dipelajari.
c. Aplikasi
Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Disini diartikan
sebagai aplikasi penggunaan hukum-hukum, metode-metode, dan lainnya
dalam kontek situasi lain.
d. Analisis
Merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi ke dalam
struktur tersebut, dan masih ada kaitannya satu dengan yang lain,
kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kerangka kerja
seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, dan
mengelompokkan.
22
e. Sintesis
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian disuatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formasi
baru dari formasi-formasi yang ada.
f. Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-
penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau
menggunakn kriteria-kriteria yang telah ada.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan
a. Pendidikan
Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi
sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya
pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap
seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan (Kuncoroningrat
(1997) dalam Wahit, 2006).
b. Pekerjaan
Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak
merupakan cara mencari nafkah, berulang dan banyak tantangan (Erich
(1996) dalam Wahit, 2006). Seseorang penderita penyakit yang bekerja
seperti biasa akan termotivasi untuk lebih patuh minum obat demi
23
kesembuhannya bila dibandingkan penderita yang tidak bekerja, karena
pekerjaan adalah sumber mata pencahariannya, sumber untuk
memberikan nafkah dan berguna untuk keluarganya walaupun kondisi
tubuh menderita penyakit, tetap bekerja (Hutabarat, 2008).
c. Umur
Umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang
tahun (Elizabeth (1995) dalam Wahit, 2006). Perkembangan umur
meliputi perkembangan fisik, kognitif, psikososial. Perkembangan
kognitif meliputi kemampuan berfikir abstrak, dan berkembangnya
pengunaan alasan yang ilmiah, ketidakdewasaan berfikir dalam beberapa
perilaku dan kebiasaan, pendidikan difokuskan untuk persiapan ke
pendidikan yang lebih tinggi dan universitas. Perkembangan psikososial
meliputi pencarian identitas termasuk identitas seksual, hubungan dengan
orang tua baik, pergaulan dengan teman sebaya berdampak positif atau
negatif. (Papalia et al, 2007). Pikiran sehat menyatakan cara berfikir
pemuda berbeda dengan anak-anak dan remaja. Pemuda melakukan
beberapa percakapan yang berbeda, memahami materi yang lebih rumit,
mengunakan pengalaman untuk memecahkan masalah (The Corner,
2010).
d. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik
lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh
24
terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada
dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal
balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap
individu.
e. Mass media/ informasi
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal
dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga
menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.
f. Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali
pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi
masa lalu. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau
pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2003).
g. Sosial budaya
Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa
melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan
demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak
melakukan.
h. Media massa.
Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa
yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi
25
baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti
televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh
besar terhadap pembentukan opini dan kepercayan orang. Dalam
penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa
pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini
seseorang.
C. Kusta
1. Pengertian
Kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya (Depkes RI., 2000).
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi
mycobacterium leprae yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran pernafasan atas, sistem
retikuloendotelial, testis, mata, otot dan tulang, kecuali susunan saraf pusat.
Kerusakan yang terjadi pada fungsi sensorik akan menyebabkan mati rasa
dan bila mengenai kornea yang menyebabkan kurang atau hilangnya reflek
berkedip. Sedangkan yang terjadi pada fungsi motorik akan menyebabkan
otot kaki dan tangan lemah atau lumpuh lalu atropi atau terjadi kontraktur
(Amirudin, M. Dali, et al., 2003).
26
2. Etiologi
Penyebab penyakit kusta adalah kuman yang disebut Mycobacterium
Leprae, yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Sumber penularan penyakit ini adalah penderita kusta multi basiler (MB)
atau kusta basah kepada orang lain dengan cara penularan langsung
(Amirudin, M. Dali, et al., 2003).
Mycobacterium leprae atau kuman hansen adalah kuman penyebab
penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH. Armouer
Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang
dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2 – 0,5 micron. Biasanya ada yang
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan.
Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang armadillo
(http ://id.wikipedia.org/wiki/kusta, tanggal 10 Juli 2008).
3. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien mencerminkan
tingkat kekebalan selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang banyak
dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan
Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok
berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis.
Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk
pemberantasan.
27
a. Tipe Tuberkoloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian
tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau cemntral healing.
Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat
menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsnata. Dapat disertai
penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit
rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman
merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat
terhadap kuman kusta.
b. Tipe Borderline Tubercoloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak
yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau
beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama
tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe
tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak
dekat saraf perifer yang menebal.
c. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam
spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan
bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif.
Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi
28
yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Leso sangat bervariasi,
baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi
punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
d. Tipe Borderline Lepromatosa
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam
jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula
lebih jekas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul
dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan
beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian
tengah tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas
dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti
punched-out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,
hipipigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat
muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada
tempat predileksi.
e. Tipe Lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak
ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah
mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Sedang dibadan mengenai
bagian badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan
ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit
29
yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan
cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis
dan keratis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat
dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat
menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala
stocking dan glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif,
muncul makula dan papul baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan
nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami
degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan
otot tangan dan kaki.
Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi
Ridley dan jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu
tipe Indeterminate (I). lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi
dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi biasanya di
bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat
ditemukan makula hipestesi atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe
ini hanya dapat ditegakkan, bila dengan pemeriksaan histopatologik.
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat
atau tipe dari penyakit tersebut (Djuanda (1990) dalam Hutabarat, 2008).
30
4. Masalah Penyakit Kusta
Seseorang yang menemukan dirinya menderita penyakit kusta akan
mengalami shock (trauma psikis). Sebagai akibat dari trauma psikis ini,
penderita akan bersikap antara lain sebagai berikut:
a. Segera mencari pertolongan pengobatan agar segera sembuh.
b. Mengulur waktu dikarenakan ketidaktahuan atau malu bahwa ia atau
keluarganya mengidap penyakit kusta.
c. Menyembunyikan (mengasingkan) diri dari masyarakat sekelilingnya,
termasuk keluarganya sendiri.
d. Mereka berusaha untuk hidup secara berkelompok dengan tujuan :
1). Mendeteksi fasilitas pelayanan kesehatan (rumah sakit).
2). Memperoleh bantuan sosial dari rumah sakit atau masyarakat.
3). Untuk hidup dengan tentram bersama-sama dengan teman senasib dan
sependeritaan (mencari solidaritas).
e. Terjadinya trauma psikis pada penderita disebabkan takut bayangan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya serta perubahan sikap keluarga dan
masyarakat terhadap penderita. Oleh karena berbagai masalah, pada
akhirnya si penderita bersifat masa bodoh terhadap penyakitnya.
Adapun masalah terhadap masyarakat adalah :
a. Pada umumnya masyarakat mengenal penyakit kusta dari tradisi
kebudayaan dan agama, sehingga pendapat tentang kusta merupakan
31
penyakit yang sangat menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan,
kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan cacat.
b. Sebagai akibat dari gejala-gejala dan kurangnya informasi (penerangan)
yang tepat tentang penyakit kusta, masyarakat merasa ngeri, jijik, takut
terhadap penderita kusta.
c. Sebagai akibat dari perasaan dan pandangan masyarakat terhadap
penyakit kusta ini maka timbul hal-hal sebagai berikut:
1). Penderita sulit diterima di tengah masyarakat lingkungan asalnya.
2). Masyarakat menjauhi penderita dan keluarganya.
3). Masyarakat enggan membantu dalam segala bidang.
4). Masyarakat takut dan ingin menyingkirkan penderita.
5). Masyarakat mendorong agar penderita dan keluarga diisolasi
(lokalisasi).
6). Masyarakat merasa terganggu atas kedatangan penderita kusta yang
menjadi pengemis, penyebab penularan dan tuntutan penderita untuk
memperoleh hak-hak istimewa seperti kebal hukum
7). Masyarakat merasa takut sehingga penderita kusta bertindak semena-
mena dalam kehidupan sehari-hari.
32
C. Kerangka Teori Penelitian
Gambar 2.1 Kerangka teori (Sumber: Stuart & Sundeen, 1998; Carpenito, 1998; Borgeat & Suter, 1992; Hawari, 2001; Tamsuri, 2006; Carnegie, 2007; Prasetyono, 2007; Purwanto, 1994, Notoatmodjo, 2003)
Tingkat kecemasan: - Ringan - Sedang - Berat - Panik
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan: a. Potensi stressor b. Usia c. Jenis kelamin d. Tingkat pendidikan e. Tingkat pengetahuan f. Keadaan fisik g. Pendapatan h. Tipe kepribadian i. Sosial budaya j. Maturasi k. Lingkungan atau situasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan: - Pendidikan - Pekerjaan - Umur - Lingkungan - Mass media - Pengalaman - Sosial budaya - Media masa
Tingkat pengetahuan
Karakteristik - Usia - Jenis kelamin - Tingkat pendidikan - Pendapatan
Tingkat kecemasan
pasca didiagnosa
kusta
33
D. Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Indipenden Variabel Dependen
Gambar 2.2. Kerangka konsep penelitian
E. Hipotesis
1. Ada hubungan usia pasien dengan tingkat kecemasan pasca didiagnosa kusta
di poli kusta RSUD Tugurejo Semarang.
2. Ada hubungan jenis kelamin pasien dengan tingkat kecemasan pasca
didiagnosa kusta di poli kusta RSUD Tugurejo Semarang.
3. Ada hubungan tingkat pendidikan pasien dengan tingkat kecemasan pasca
didiagnosa kusta di poli kusta RSUD Tugurejo Semarang.
4. Ada hubungan pendapatan pasien dengan tingkat kecemasan pasca
didiagnosa kusta di poli kusta RSUD Tugurejo Semarang.
5. Ada hubungan tingkat pengetahuan pasien dengan tingkat kecemasan pasca
didiagnosa kusta di poli kusta RSUD Tugurejo Semarang.
Karakteristik pasien: Usia Jenis kelamin Tingkat pendidikan Pendapatan Tingkat kecemasan pasien
kusta
Tingkat pengetahuan