bab ii tinjauan umum hak atas tanah dan tanah … ii.pdf · secara etimologi menurut kamus besar...
TRANSCRIPT
39
BAB II
TINJAUAN UMUM HAK ATAS TANAH DAN TANAH TERLANTAR
2.1. Pengertian Tanah dan Dasar Hukum Hak Atas Tanah
Pada umumnya sebutan tanah selalu dikaitkan dengan hak atas tanah yang
diberikan atau dimiliki oleh seseorang, agar dapat dinikmati manfaatnya, dan
digunakan sesuai dengan peruntukkannya. Dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA
menyebutkan tanah sebagai berikut :
(1) Atas dasar menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan
hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian
pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) UUPA, tanah dalam pengertian
yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas
sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran
panjang dan lebar. Tanah diberikan kepada pemegang hak, dengan hak-hak yang
disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan.
Diberikan dan dimilikinya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan
bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi
saja, untuk keperluan apapun pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh
bumi yang ada dibawahnya, air serta ruang yang ada di atasnya. Oleh karena itu
dalam ayat (2) dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan
40
wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang
bersangkutan yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada dibawahnya
dan air serta ruang yang ada diatasnya.
Dengan demikian, hak yang dimiliki terkait hak atas tanah adalah
tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi, tetapi wewenang
menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga
penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang
yang ada diatasnya. Sedalam berapa tubuh bumi itu boleh digunakan dan setinggi
berapa ruang yang ada diatasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan
penggunaannya, dalam batas-batas kewajaran, kemampuan pemegang haknya
serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Secara etimologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanah adalah :
1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali;
2. Keadaan bumi di suatu tempat;
3. Permukaan bumi yang diberi batas;
4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal
dan sebagainya).1
Berdasarkan pengertian etimologi di atas, dapat kita pahami bahwa tanah adalah
permukaan bumi dengan segala kandungan atau bahan yang ada didalamnya.
Secara geologis-agronomis Iman Sudiyat menjelaskan bahwa tanah adalah
lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas yang dimanfaatkan untuk
menanami tumbuh-tumbuhan. Itulah sebabnya kemudian dikenal istilah tanah
1Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, h. 234.
41
garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan.2 Sedangkan yang
digunakan untuk mendirikan bangunan dinamakan tanah bangunan. Kedalaman
lapisan bumi (tanah) adalah sedalam irisan bajak, lapisan pembentukan humus dan
lapisan dalam. Secara yuridis dikatakan bahwa tanah dikualifikasi sebagai
permukaan bumi.3
I Gede Wiranata menjelaskan bahwa tanah mempunyai sifat :
1. Tanah adalah benda yang menyimpan kekayaan yang menguntungkan.
2. Tanah merupakan sarana tempat tinggal bagi persekutuan hukum dan
seluruh anggotanya sekaligus member penghidupan kepada pemiliknya.
3. Tanah merupakan kesatuan dimana nanti pemiliknya akan dikubur setelah
meninggal, sekaligus merupakan tempat leluhur persekutuan selama
beberapa generasi sebelumnya.4
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka pengertian tanah adalah permukaan
bumi (yuridis) yang menyimpan kekayaan untuk mencukupi kebutuhan hidup dan
kehidupan manusia perseorangan dan kelompok (ekonomi). Tanah sebagai tempat
tinggal atau kediaman, tempat mereka mengembangkan kehidupan keluarga
secara turun- temurun dan bersifat abadi.
Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan tanah diartikan dalam dua arti
yaitu :
1. An immovable and indestructible three-dimensional area consisting of a
portion of the earth’s surface, the space above and below the surface and
2Sodiki, Achmad, 1997, Pembaharuan Hukum Pertanahan Nasional Dalam Rangka
Penguatan Agenda Landreform, Arena Hukum, Jakarta, h. 19. 3Iman Sudiyat, 1982, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah di Berbagai Masyarakat
Sedang Berkembang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, h.11. 4I Gede Wiranata, 2004, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke Masa,
Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 224-225
42
everything growing on or permanently affixed to it. (area tiga dimensi
yang tidak dapat dipindahkan dan yang tidak dapat dihancurkan yang
terdiri atas bagian di atas permukaan tanah, ruang diatasnya dan bagian
yang berada di bawah permukaan tanah dan segala sesuatu yang tumbuh
diatasnya dan terikat secara permanen)
2. An estate or interest in real property (sebuah perumahan atau keuntungan
dari kepemilikan lahan dan bangunan).5
Sejalan dengan hal tersebut, Peter Butt yang dikutip dalam buku Ida
Nurlinda memberi pemahaman yang lebih luas terhadap pengertian tanah, yaitu
bahwa “land is not only the face of the earth, but everything under it or over it”6
(tanah tidak hanya berarti permukaan tanah, tetapi segala sesuatu di atas dan di
bawahnya). Sementara itu, National Land Code of Malaysia memberikan
pengertian yang luas terhadap tanah yaitu :
a. That surface of the earth and all substances forming that surface
(Permukaan dari bumi dan semua substansi yang membentuk permukaan
tersebut) ;
b. The earth below the surface and all substances there in (Bagian bawah
permukaan dan segala sesuatu di dalamnya) ;
c. All vegetation and other natural product, whether or not requiring the
periodical application of labour to their production and whether on or
below the surface (Semua vegetasi dan produk alami baik yang
memerlukan proses pengerjaan secara periodik maupun yang tidak, di atas
maupun di bawah permukaan tanah) ;
d. All things attached to the earth or permanently fastened to anything
attached to the earth, whether on or below the surface ; and (Segala
sesuatu yang melekat di bumi atau terikat secara permanen pada apapun
yang menempel di bumi, di atas maupun di bawah permukaan bumi; dan)
e. Land covered by water (Tanah yang tertutupi oleh air).7
Pasal 4 Land Titles Act Singapura 1993 juga mendefinisikan tanah secara luas,
yaitu sebagai berikut :
5Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, seventh edition, USA : West
Publishing, Minnesota. Page. 67. 6Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria Perspektif Hukum, Edisi I, PT.
Raja Grafindo Persada, h.36. 7Boedi Harsono, Op.cit., hal.21.
43
The surface of any defined parcel of the earcth, and all substances
thereunder, and so much of the column of air above the surface as is reasonably
necessary for the proprietor’s use and enjoyment, and includes any estate or
interest in land all vegetation growing thereon and structures affixed thereto or
any parcel of airspace or sub-terranean space held aparat from the surface of the
land as shown in an approved plan subject to any provisios to the contrary the
proprietorship of land includes natural rights to air, light, water and support and
the right of access to any highway on which the land abuts (Banyak kolom udara
di atas permukaan yang penting untuk keperluan dan kenyamanan pemilik dan
juga termasuk beberapa lahan atau semua tanaman yang dikembangbiakkan di
atas dan struktur yang disertakan bersamanya atau beberapa bagian berupa tempat
udara atau tempat subteranian dibuat terpisah dari permukaan tanah seperti yang
terlihat disebuah perencanaan yang sudah disetujui dimana mengacu pada
beberapa penyediaan terhadap perbedaan hubungan antar pemilik lahan termasuk
hak atas udara, cahaya, air dan hak untuk mengakses ke segala lahan yang
letaknya bersebelahan).8
Berdasarkan pemaparan di atas ada persamaan hakiki tentang pengertian
tanah dalam arti yuridis adalah permukaan bumi. Hal ini dapat diketahui dalam
Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (4) UUPA yang menyebutkan :
- Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 2 UUPA ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain
serta badan-badan hukum.
- Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh
bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.
2.2. Hak Penguasaan Atas Tanah
Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik dan
dalam arti yuridis, juga beraspek perdata dan beraspek publik. Dalam arti fisik
secara nyata pemegang hak menguasai tanah. Penguasaan dalam arti yuridis
8Ibid
44
dilandasi oleh hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi
kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang
menjadi haknya. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang memberikan
kewenangan untuk menguasai tanah haknya secara fisik, namun pada
kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain, misalnya tanah yang
dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara
fisik, atau tanah tersebut dikuasai pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik
tanah berdasarkan penguasaan yuridisnya berhak menuntut diserahkannya
kembali tanah itu secara fisik kepadanya. Pengertian penguasaan dan menguasai
tersebut di atas dipakai dalam aspek perdata.
Pengertian penguasaan dan menguasai dalam aspek publik tercermin
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kemudian dalam Pasal 2 UUPA
menyatakan :
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi
wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada
ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
45
masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil
dan makmur;
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.
UUPA menetapkan tata jenjang/hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam
Hukum Tanah Nasional yaitu :
1. Hak Bangsa,
2. Hak menguasai dari Negara,
3. Hak ulayat masyarakat Hukum Adat,
4. Hak-hak perorangan/individual.
1. Hak Bangsa
Hak Bangsa diatur dalam Pasal 1 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUPA
yang berbunyi :
(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat
Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa
Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan hukum antara bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang
angkasa termaksud dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang bersifat
abadi.
Hak Bangsa merupakan hak penguasaan tanah tertinggi dimana hak-hak
penguasaan atas tanah yang lain, secara langsung ataupun tidak langsung
46
bersumber padanya. Hak Bangsa mengandung dua unsur, yaitu unsur kepunyaan
dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan serta
penggunaan tanah bersama yang dimilikinya.
Hak Bangsa atas tanah bersama tersebut bukan hak pemilikan dalam
pengertian yuridis. Yang menjadi subjek Hak Bangsa adalah seluruh rakyat
Indonesia sepanjang masa yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia, yaitu generasi-
generasi terdahulu, sekarang dan generasi-generasi yang akan datang.
Tanah Hak Bangsa meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah negara
Republik Indonesia. Hak Bangsa merupakan hubungan hukum yang bersifat
abadi, artinya selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia
masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia masih ada pula,
dalam keadaan yang bagaimanapun, tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat
memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.
2. Hak Menguasai Negara
Pengertian “dikuasai” negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 ayat
(3) UUD NRI 1945, tidak dijelaskan secara rinci dalam penjelasan, baik
penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal UUD NRI 1945. Hal ini
memungkinkan hak menguasai negara itu ditafsirkan atas berbagai pemahaman,
tergantung dari sudut pandang dan kepentingan yang menafsirkan.
Mengacu pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 tersebut di
atas, berarti hak menguasai negara meliputi semua tanah, tanpa terkecuali.
47
Notonagoro menetapkan adanya tiga macam bentuk hubungan langsung antara
negara dengan bumi, air, dan ruang angkasa, yaitu sebagai berikut :9
1. Negara sebagai subjek, yang dipersamakan dengan perorangan, sehingga
dengan demikian hubungan antara negara dan tanah itu mempunyai sifat
privat-rechtelijk. Hak negara terhadap tanah sama dengan hak
perseorangan dengan tanah.
2. Negara sebagai subjek, diberi kedudukan tidak sebagai perorangan, tetapi
sebagai negara. Dengan demikian, negara sebagai badan kenegaraan,
sebagai badan yang publiek-rechtelijk. Dalam hal ini negara tidak
mempunyai kedudukan yang sama dengan perorangan.
3. Hubungan antara Negara langsung dengan tanah ini tidak sebagai subjek
perseorangan dan tidak dalam kedudukannya sebagai negara yang
memiliki akan tetapi sebagai negara yang menjadi personifikasi dari rakyat
seluruhnya sehingga dalam konsepsi ini negara tidak terlepas dari rakyat,
negara hanya menjadi pendiri, menjadi pendukung kesatuan dan persatuan
rakyat. Bentuk ini masih dapat diadakan dua macam bentuk, yaitu :
a. Memegang kekuasaan terhadap tanahnya atau
b. Hanya memegang kekuasaan terhadap pemakaiannya.
Mengacu pada pendapat Notonagoro di atas, maka bentuk hubungan
antara negara dengan bumi, air dan ruang angkasa yang sesuai dengan makna hak
menguasai negara adalah bentuk hubungan yang ketiga. Hubungan tersebut adalah
hubungan yang bersifat abadi, dalam arti bahwa selama bangsa Indonesia masih
ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa itu masih ada, maka hubungan itu
tidak akan terputus oleh kekuasaan apapun.
Sejalan dengan pendapat Notonagoro, Iman Soetikno menyatakan bahwa
hak menguasai negara masuk kedalam bentuk hubungan negara sebagai
personifikasi seluruh rakyat, karena jika ditinjau dari sudut perikemanusiaan, hal
itu sesuai dengan sifat mahluk sosial. Dengan demikian negara mempunyai dua
hak yaitu :10
9Notonagoro, 1984, Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, PT. Bina
Aksara, Jakarta, h. 101. 10
Iman Soetikno, Op.Cit., h. 20
48
1. Hak Communes, apabila Negara sebagai personifikasi yang memegang
kekuasaan atas tanah dan sebagainya.
2. Hak Imperium, apabila Negara memegang kekuasaan tentang pemakaian
tanah saja.
Kewenangan negara untuk menguasai tersebut, menurut Pasal 2 ayat (2)
UUPA memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan Bangsa
Indonesia, untuk pada tingkatan tertinggi :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang
dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang
angkasa.
Atas dasar kewenangan tersebut mengatur kedalam tersebut, negara dapat
melakukan :
a. Membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan
penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya untuk keperluan yang bersifat politis, ekonomis,
dan sosial ( Pasal 14 ayat (1) UUPA ), sedangkan pemerintah daerah juga
harus membuat perencanaannya sesuai dengan rencana pemerintah pusat (
Pasal 14 ayat (2) UUPA ).
b. Menentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang dapat
diberikan dan dipunyai oleh perorangan (baik sendiri maupun bersama-
sama) atau badan hukum (Pasal 4 UUPA). Hal ini berarti bahwa bagi
perorangan atau badan hukum tertentu dimungkinkan mempunyai hak
milik privat atas tanah.
c. Berusaha agar sebanyak mungkin orang mempunyai hubungan dengan
tanah, dengan menentukan luas maksimum tanah yang boleh dimiliki atau
dikuasai perorangan (Pasal 7 dan 17 UUPA), mengingat tiap-tiap Warga
49
Negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
suatu hak atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri
sendiri maupun keluarganya (Pasal 9 ayat (2) UUPA).
d. Menentukan bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai suatu
hak atas tanah, mengusahakan tanah itu sendiri dengan beberapa
perkecualian (Pasal 10 UUPA). Hal ini untuk menjaga jangan sampai ada
tanah absentee;
e. Berusaha agar tidak ada tanah terlantar dengan menegaskan bahwa semua
hak atas tanah berfungsi sosial, dan mencegah kerusakannya merupakan
kewajiban siapa saja yang mempunyai hak atas tanah (Pasal 6 dan
Pasal 15 UUPA).;
f. Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Misalnya hak
guna usaha, hak guna bangunan, sewa-menyewa, sebagaimana tersebut
dalam Pasal 16 UUPA.;
g. Mengatur pembukaan tanah, pemungutan hasil hutan (Pasal 46 UUPA)
dan penggunaan air dan ruang angkasa (Pasal 47 dan 48 UUPA).;
h. Mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air
dan ruang angkasa (Pasal 8 UUPA).;
i. Mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia, untuk
menjamin kepastian hukum (Pasal 19 UUPA).11
Sedangkan dalam hal kewenangan ke luar, negara dapat melakukan :
a. Menegaskan bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan
ruang angkasa dalam wilayah Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa, dan karenanya bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3) UUPA). Hal ini
berarti hubungan tersebut tidak dapat diputus oleh siapa pun.
b. Menegaskan bahwa orang asing (bukan WNI) tidak dapat mempunyai
hubungan penuh dan kuat dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung di wilayah Indonesia. Hanya WNI yang dapat
mempunyai hubungan yang sepenuhnya dan terkuat di seluruh wilayah
Indonesia (Pasal 21 UUPA).12
11
Ibid., h. 51 12
Ibid., h. 52
50
Dalam kaitannya dengan kewenangan, negara bukanlah pemilik sumber
daya agraria yang ada dalam wilayah negara Republik Indonesia, melainkan
hanya sebagai “penguasa”. Kalaupun negara hendak dikatakan sebagai pemilik
maka harus dipahami dalam konteks hukum publik (Publiekrechtstelijk), bukan
sebagai pemilik (eigenaar) dalam pengertian yang bersifat keperdataan
(privaatrechtstelijk). Artinya, negara memiliki kewenangan secara yuridis formal
sebagai pengatur, perencana, pelaksana dan pengendali kegiatan-kegiatan
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya
agraria lainnya.
Negara memperoleh kewenangan untuk menguasai bumi, air, dan ruang
angkasa karena tidak semua permasalahan atau urusan dapat diselesaikan sendiri
oleh masyarakat. Kewenangan negara untuk menyelesaikan kepentingan
masyarakatnya menurut Maria Sumardjono dibatasi oleh dua hal, sebagai berikut:
1. Pembatasan oleh Undang-Undang Dasar. Pada prinsipnya, hal-hal yang
diatur oleh negara tidak boleh berakibat terhadap pelanggaran hak-hak
dasar manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar.
2. Pembatasan yang bersifat substantif. Pembatasan ini berkaitan dengan
pertanyaan apakah peraturan yang dibuat itu relevan dengan tujuan negara
yang diatur dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA, yaitu semua aturan agraria
harus ditujukan pada sebesar-besar kemakmuran rakyat, sedangkan ruang
lingkup pengaturannya dibatasi Pasal 2 ayat (2) UUPA.13
13
Maria S.W. Soemardjono, 1998, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep
Penguasaan Tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, 14 Februari, Yogyakarta,(Selanjutnya disebut Maria S.W. Soemardjono
II), h. 6-7.
51
Bagir Manan memaknai ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan
dua aspek kaidah yang terkandung di dalamnya yaitu kaidah “hak menguasai
negara” dan kaidah “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Kedua aspek kaidah ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena
keduanya merupakan satu kesatuan sistemik. “Hak menguasai negara merupakan
instrumen (bersifat instrumental), sedangkan “dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat,” merupakan tujuan. Selanjutnya disebutkan wewenang
menguasai tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dari pendapat tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa timbulnya
istilah “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” merupakan
konsekuensi logis dari adanya istilah “dikuasai negara”. Kewenangan untuk
menguasai sumber daya agraria yang dimiliki oleh negara hanyalah dalam rangka
mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat demi tercapainya kesejahteraan
sosial masyarakat Indonesia yang menjadi tujuan negara.14
Keterkaitan antara kaidah “hak menguasai negara” dengan “sebesar-besar
kemakmuran rakyat” akan menimbulkan kewajiban negara sebagai berikut :
a. Segala bentuk pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya, harus secara nyata dapat meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
b. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam
dan di atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung
14
Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. Ketiga, Pusat Studi
Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, h. 231.
52
di dalamnya, dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung
oleh rakyat.
c. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan
rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan akses terhadap
bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Ketiga aspek tersebut di atas harus menjadi arahan atau acuan dalam menentukan
dan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Dalam UUPA pengertian hak ulayat secara eksplisit tidak ditemukan.
Hanya saja dalam Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa :
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan
hak ulayat dan hak-hak serupa dengan itu dari masyarakat-masyarakat hukum
adat, sepanjang memurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Menurut Boedi Harsono, hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan
kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang
terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama
penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.15
Secara teknis yuridis, Sumardjono mengatakan hak ulayat merupakan
hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa
wewenang atau kekuasaan untuk mengurus dan mengatur tanah dan isinya,
15
Boedi Harsono, Op.Cit., h. 19
53
dengan daya laku baik ke dalam maupun ke luar masyarakat hukum adat itu.16
Dengan demikian hak ulayat merupakan hak yang spesifik dan khas, yang
keberadaannya tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari masyarakat hukum
adat itu sendiri. Meskipun hak ulayat merupakan hak suatu komunitas masyarakat
hukum adat, tetapi masyarakat hukum adat tetap membuka peluang akan adanya
pihak lain di luar komunitas tersebut untuk memanfaatkan hak ulayat tersebut,
dengan berbagai persyaratan. Hak ulayat suatu masyarakat hukum adat, berisi
wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman,
bercocok tanam), persediaan tanah (pembuatan pemukiman/persawahan
baru), dan pemeliharaan tanah;
b. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah
(memberikan hak tertentu pada subjek tertentu);
c. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dengan
perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah.17
Isi wewenang hak ulayat tersebut menyatakan bahwa hubungan antara masyarakat
hukum adat dengan tanah dan wilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan
hubungan milik, sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara Negara
dengan tanah menurut Pasal 33 ayat ( 3 ) UUD 1945.
4. Hak-hak Individual Atas Tanah
Hak atas tanah sebagai individual yang memberi kewenangan untuk
memakai, dalam arti menguasai, menggunakan, dan/atau mengambil manfaat
tertentu dari suatu bidang tanah tertentu, yaitu berupa :
a. Hak-hak atas tanah
16
Maria S.W. Soemardjono I, Op. Cit., h. 26 17
Boedi Harsono, Op.Cit. h.286.
54
Dalam mendefinisikan mengenai hak atas tanah, mengingat bahwa semua
hak atas tanah itu adalah hak untuk memakai tanah, maka semuanya memang
dapat dicakup dalam pengertian dan dengan nama sebutan Hak Pakai. Tetapi
mengingat bahwa dalam masyarakat modern tanah bermacam-macam, maka
untuk memudahkan pengenalannya, Hak Pakai untuk keperluan yang
bermacam-macam itu masing-masing diberi nama sebutan yang berbeda,
yaitu:18
a. Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, yakni
sebagai berikut:
1) Hak Milik, yaitu hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah.
2) Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara dalam jangka waktu tertentu, guna perusahaan
pertanian, perikanan, atau peternakan.
3) Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan
jangka waktu tertentu.
4) Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil
dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang
lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan
ketentuan UUPA.
b. Hak atas tanah wakaf, yang merupakan hak penguasaan atas suatu bidang
tanah tertentu bekas Hak Milik, yang oleh pemiliknya dipisahkan dari
harta kekayaannya dan melembagakannya selama-lamanya untuk
kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya, sesuai ajaran
agama islam. Perwakafan tanah Hak Milik diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, sebagai pelaksanaan Pasal 49 UUPA.
c. Hak Tanggungan adalah satu-satunya hak jaminan atas tanah dalam
Hukum Tanah Nasional yang merupakan hak penguasaan atas tanah yang
memberi kewenangan kepada kreditor tertentu untuk menjual lelang
bidang tanah tertentu yang dijadikan jaminan bagi pelunasan piutang
tertentu dalam hal debitor cedera janji dan mengambil pelunasan dari hasil
penjualan tersebut dengan Hak Mendahulu daripada kreditor yang lain.
18
Urip Santoso, Op.Cit., h. 87
55
Hak-hak perorangan atas tanah (yang meliputi hak-hak atas tanah dan hak jaminan
atas tanah) tersebut di atas, baik secara langsung maupun tidak langsung
bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah. Karena semua tanah dalam
wilayah Republik Indonesia, baik yang berupa tanah hak (tanah tanah yang
dikuasai dengan sesuatu hak atas tanah) maupun tanah negara (tanah yang
langsung dikuasai negara) keseluruhannya diliputi oleh Hak Bangsa Indonesia
maupun Hak Menguasai Negara tanpa kecuali. Boedi Harsono berpendapat bahwa
hak menguasai sebagai Hak Bangsa Indonesia, tanah adalah kepunyaan bersama
rakyat Indonesia.19
Berdasarkan hierarki tersebut di atas dapat diketahui bahwa hak menguasai
negara itu merupakan perwujudan dari hak bangsa yang memberi wewenang
kepada negara untuk mengatur penggunaan, pengusahaan, dan peruntukan tanah,
yang implementasinya dapat diberikan kepada perorangan/individu atau badan
hukum berupa hak-hak atas tanah. Negara mempunyai kewenangan yang penuh
atas tanah negara dalam arti dapat mengatur peruntukan dan penggunaan tanah
negara yang bersangkutan dan oleh karenanya negara dapat pula memberikan
tanah-tanah tersebut kepada pihak lain dengan sesuatu hak atas tanah, yaitu hak-
hak atas tanah yang primer seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan.
19
Boedi Harsono, Op.Cit., h. 24
56
2.3. Pengertian Tanah Terlantar
2.3.1. Tanah Terlantar Menurut Pakar Hukum Agraria
Secara filosofi tanah terlantar sangat bertentangan dengan asas yang
menentukan bahwa tanah merupakan aset atau modal, bahkan tanah merupakan
sumber kehidupan manusia yang berfungsi untuk mensejahterakan kehidupan
manusia.20
Pemberian hak atas tanah haruslah digunakan sesuai dengan hak yang
diperoleh oleh pemegang hak, sehingga tidak dibenarkan tanah tersebut tidak
dikelola.
Beberapa pakar hukum agraria memberikan pengertian mengenai tanah
terlantar. Maria S.W. Sumardjono mengatakan tidak mudah menetapkan tanah
sebagai tanah terlantar, hal tersebut dikarenakan untuk menetapkan tanah sebagai
tanah terlantar harus melihat beberapa aspek sebagai berikut :21
1. Subjeknya apakah perorangan atau badan hukum;
2. Tanah pertanian atau bangunan;
3. Adanya kesengajaan dari subjek atau tidak;
4. Jangka waktu yang harus dilewati untuk dapat disebut sebagai tanah
terlantar.
Asas fungsi sosial hak atas tanah dalam Pasal 6 UUPA meliputi juga
kewajiban memeliharan tanah bagi setiap orang dan badan hukum pemegang hak
atas tanah. Pengertian pemeliharaan tanah secara a contrario berarti mencegah
penelantaran tanah.
20
Maria S.W. Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial Dan
Budaya, Kompas, Jakarta, (selanjutnya disebut Maria S.W. Sumardjono III), h. 9 21
Ibid, h.116
57
Menurut Boedi Harsono penelantaran tanah lebih mengarah kepada
terjadinya peristiwa hukum karena perbuatan manusia sehingga hak atas tanah
menjadi hapus. Boedi Harsono, memberikan contoh untuk perusahaan diberikan
HGU untuk perkebunan oleh pemerintah, namun hak atas tanah tersebut tidak
dipergunakan dengan baik, maka hal tersebut dapat dijadikan alasan untuk
membatalkan hak yang bersangkutan oleh pejabat yang berwenang.
AP. Parlindungan menyatakan tanah terlantar lebih menitikberatkan pada
hukum adat Indonesia yaitu tanah yang diberikan dasar penguasaan haknya telah
berubah bentuk fisiknya akibat ditelantarkan dalam waktu tertentu, sehingga
haknya gugur dan tanah tersebut kembali kepada penguasaan hak ulayat
masyarakat adat. Sedangkan menurut Achmad Sodiki pengertian tanah terlantar
meliputi bagaimana dan oleh siapa status tanah dinyatakan terlantar. Demikian
juga tanah yang jatuh ke tangan negara, yang berarti pemiliknya sama sekali
kehilangan hak atas tanah. Pengertian tanah ditelantarkan menurut Gouw Giok
Siong diartikan keadaan tanah yang tidak dipakai sesuai dengan keadaan, sifat,
dan tujuan pemberian haknya.
Dari pendapat para pakar hukum agraria di atas dapat disimpulkan bahwa
tanah terlantar merupakan keadaan dimana tanah yang diberikan hak
penguasaannya kepada seseorang ataupun badan hukum oleh negara, tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya dalam
waktu tertentu sehingga tanahnya kembali dalam penguasaan negara.
58
2.3.2. Pengertian tanah terlantar menurut hukum adat
Tanah sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan
moneter, baik secara individu maupun masyarakat dalam suatu persekutuan di
wilayah tertentu. Persekutuan hukum desa atau daerah bukan persekutuan hukum
belaka, tetapi merupakan suatu persekutuan usaha dengan tanah sebagai modal,
dimana semua anggota masyarakat pada prinsipnya mempunyai kewajiban untuk
mengolah tanah dengan baik.
Dalam hukum, melaksanakan kewajiban dengan benar oleh seseorang
pemegang hak atas tanah adalah merupakan perwujudan prestasi dari sebuah
hubungan hukum yang timbul. Apabila pelaksanaan kewajiban didapati tidak
sesuai dengan tujuan pemberian hak, sehingga tanah tidak terpelihara, tidak
terawat, bahkan tidak produktif, tanah itu dapat disebut tanah terlantar. Kalau
demikian keadaannya, maka tanah dikuasai kembali oleh persekutuan hukum, dan
kemudian hak pengelolaannya diberikan kepada pihak lain.
Konsep tanah terlantar menurut hukum adat dapat ditemukan dalam
pengertian-pengertian tanah terlantar menurut Hukum Adat. Berikut pengertian
tanah terlantar dalam beberapa wilayah Hukum Adat di Indonesia :22
1. Sulawesi Selatan (Bugis)
Dalam masyarakat Bugis, tanah terlantar disebut dengan istilah Tona
Kabu, Tona Kallanggelung Amo. Adapun kriteria tanah yang
dikategorikan sebagai tanah tersebut adalah tanah sawah yang ditinggalkan
selama 10 tahun atau lebih. Hal itu dilihat melalui indikasi-indikasi yaitu
pematang-pematangnya tidak kelihatan lagi, dan semua tanda-tandanya
sudah hilang secara keseluruhan.
22
Abdul Malik, 1983, Sejarah Adat Indonesia, Bina Cipta, Jakarta, hlm. 54.
59
2. Bengkulu
Dalam masyarakat Bengkulu, tanah terlantar disebut dengan Tanah Sakueh
Dajurawi. Adapun yang disebut sebagai Tanah Sakueh Dajurawi adalah
tanah ladang yang ditinggalkan sesudah menuai.
3. Jambi
Dalam masyarakat Jambi, tanah terlantar disebut dengan istilah Balukar
Toewo, yaitu tanah ladang yang ditinggalkan selama 3 tahun atau lebih.
4. Sumatera Utara
Dalam masyarakat Sumatera Utara, tanah terlantar disebut dengan istilah
Soppalan, yaitu tanah bekas yang ditinggalkan dan telah ditumbuhi alang-
alang, tanah bekas ladang yang belum lama ditinggalkan dan telah menjadi
semak, tanah yang sengaja ditelantarkan untuk penggembalaan ternak
masyarakat, dan tanah yang baru sekali dibuka kemudian terlantar.
5. Aceh
Di Aceh, apabila pada sebidang tanah sama sekali tidak ada aktivitas
pemanfaatan tanah itu selama 3 bulan, maka hak okupasi dan hilang tanah
kembali kepada Hak Ulayat.
6. Maluku
Di Maluku, tanah dinyatakan terlantar apabila dalam jangka waktu 10-15
tahun tidak dimanfaatkan dan tanah kembali menjadi Hak Pertuanan
(ulayat).
7. Kalimantan Selatan (Banjar)
Di Kalimantan Selatan, tanah bekas ladang yang ditinggalkan 2 musim
atau lebih akan kembali menjadi padang atau tanah tanpa pemilik.
Dari perbandingan pengertian tanah terlantar di atas, menunjukkan bahwa
terdapat banyak istilah yang digunakan dengan menunjukkan asal daerah di mana
mengenal adanya tanah terlantar. Berdasarkan karakter terlantarnya, menurut
Hukum Adat sebidang tanah dapat disebut sebagai tanah terlantar apabila:23
1. Tanah (sawah, tegalan, ladang) yang sudah pernah dibuka dengan ciri-ciri:
a. 1 (satu) kali panen;
b. belum lama dibuka kemudian ditinggalkan;
c. menjadi semak belukar;
d. batas-batas tanah garapannya tidak jelas lagi;
e. ditinggalkan selama 2 musim/10-15 tahun/3 tahun/beberapa waktu.
23
Ibid, h. 56
60
2. Ditinggalkan oleh pemilik atau penggarapnya.
3. Kembali kepada hak ulayatnya/masyarakat adat.
4. Tanah kembali tanpa pemilik.
Tanah terlantar menurut Hukum Adat dapat dirumuskan sebagai tanah
sawah atau ladang yang ditinggalkan oleh pemilik atau penggarapnya dalam
beberapa waktu tertentu (3 s.d. 15 tahun) sampai tanah sawah atau ladang itu
menjadi semak belukar, maka tanah tersebut kembali kepada Hak Ulayat atau
masyarakat adat. Jadi menurut Hukum Adat, tanah terlantar lebih mengarah pada
keadaan fisik tanah yang sudah tidak produktif dan tidak bertuan (karena
ditinggalkan oleh pemegang haknya), namun secara yuridis tidak jelas
kedudukannya karena tidak disebutkan siapa yang berwenang untuk menetapkan
suatu bidang tanah adalah terlantar. Melihat adanya konsekuensi berupa
kembalinya tanah kepada Hak Ulayat atau masyarakat adat, maka pada umumnya
dalam masyarakat Hukum Adat yang berhak menyatakan tanah terlantar adalah
ketua masyarakat adatnya. Sehingga kewenangan ada pada ketua masyarakat adat.
Di samping hal-hal tersebut di atas, dalam sistem hukum adat juga dikenal
suatu lembaga hukum adat yang disebut dengan lembaga rechtsverwerking.
Rechtsverwerking dalam ranah hukum perdata memiliki makna sebagai pelepasan
hak, yaitu hilangnya hak bukan karena lewatnya waktu, tetapi karena sikap atau
tindakan seseorang yang menunjukan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan
suatu haknya tersebut. Dalam hukum tanah adat, rechtsverwerking diartikan
sebagai prinsip bahwa dalam hal terdapat seseorang dalam sekian waktu tertentu
membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain
61
yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut
kembali tanah tersebut. Ketentuan dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak
atas tanah karena ditelantarkan sejalan dengan lembaga ini.24
Lembaga rechtsverwerking dalam hukum adat ini juga digunakan untuk
mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah di
Indonesia. Dalam sistem publikasi negatif, walaupun suatu bidang tanah telah
terdaftar atas nama seseorang, jika ada pihak lain yang dapat membuktikan
sebaliknya (dapat membuktikan bahwa tanah tersebut sebelumnya adalah
kepunyaannya) maka sertipikat atas tanah yang didaftar tersebut dapat dibatalkan.
Dengan diterapkannya lembaga rechtsverwerking, maka walaupun
seseorang berhak atas suatu bidang tanah, jika telah ditelantarkan selama lebih
dari 20 tahun kemudian dikuasai juga dikelola dengan baik dan berdasarkan itikad
baik oleh orang lain, maka hak seseorang tersebut secara hukum telah hapus dan
beralih kepada orang lain yang menguasai dan mengelola dengan baik
berdasarkan itikad baik tersebut. Dan apabila orang tersebut mensertipikatkan
sebidang tanah tersebut dan dalam 5 (lima) tahun setelah disertipikatkan tidak ada
gugatan dari pihak manapun, maka hak atas sebidang tanah tersebut tidak dapat
diganggugugat lagi oleh siapa pun. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.25
Lembaga rechtsverwerking digunakan dalam sistem hukum tanah di
Indonesia baik sebelum berlakunya UUPA maupun setelah berlakunya UUPA.
24
Arie S. Hutagalung, 2000, Penerapan Lembaga “Rechverwerking” Untuk Mengatasi
Kelemahan Sistem Publikasi Negatip Dalam Pendaftaran Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum
Indonesia, Jakarta, h. 82 25
Ibid. h. 90
62
Hal ini terbukti dari banyaknya kasus-kasus rechtsverwerking yang telah diputus
oleh Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tinggi di Indonesia. Tanah terlantar
menurut yurisprudensi tidak lepas dari pendapat para hakim di Indonesia
berdasarkan kewenangannya memberikan keputusan atas peristiwa yang terjadi
dan masuk ke pengadilan. Pendapat hakim ini disimpulkan dalam pertimbangan-
pertimbangan yang diberikan dalam memutuskan hukumnya mengenai kasus
tanah terlantar.
Dalam keputusan pengadilan dalam berbagai kasus tanah yang terjadi,
untuk memberikan keputusan atas status tanah Hak Milik yang dibiarkan selama
kurun waktu tertentu tidak dikerjakan oleh pemegang haknya, sikap hakim dalam
mengambil keputusan banyak memilih untuk menggunakan lembaga
rechtsverweking yang dikenal dalam Hukum Adat yaitu dianggap telah
melepaskan haknya (rechtsverwerking). Contoh putusan mengenai
rechtverwerking :
1. Putusan Mahkamah Agung tanggal 24 Mei 1958 No. 329/K/Sip/1957.
Pelepasan hak (rechtsverwerking) terjadi apabila sebidang tanah yang
diperoleh secara merimba, selama 5 tahun berturut-turut dibiarkan saja
oleh yang berhak, maka hak atas tanah itu dianggap telah dilepaskan dan
tanah itu oleh Kepala Persekutuan Kampung dapat diberikan kepada orang
lain. Kalau yang berhak adalah orang yang belum dewasa yang
mempunyai ibu, maka ibunya itu tidak boleh membiarkan tanahnya tidak
dikerjakan.
63
2. Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 No. 210/K/
Sip/1055.32 Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh karena para
penggugat dengan mendiamkan tanahnya sampai 25 tahun harus dianggap
menghilangkan haknya (rechtsverwerking). Mahkamah Agung
berpendapat bahwa pembeli sawah patut dilindungi oleh karena dapat
dianggap bahwa ia beritikad baik dalam membeli sawah itu dari seorang
ahli waris dari almarhum pemilik sawah.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tersebut dapat dijelaskan bahwa
ada anggapan hukum telah terjadi pelepasan hak manakala dalam kurun waktu
tertentu secara berturut-turut (dalam kasus tersebut 5 tahun dan 25 tahun),
pemegang hak atas tanah membiarkan tanahnya tidak dikerjakan/diusahakan
sebagai tanah yang produktif. Perbuatan demikian itu tidak boleh dan akan
menyebabkan hak atas tanah berakhir.
Perbuatan membiarkan tanah tidak dikerjakan seperti pada kasus di atas
dapat dikategorikan ke dalam perbuatan menelantarkan tanah. Jadi, terhadap
kondisi tanah hak yang sama-sama tidak dipergunakan dalam kurun waktu
tertentu, hakim dapat menggunakan lembaga rechtsverwerking. Hal ini sekaligus
dipakai sebagai dasar bagi pejabat tata usaha negara membatalkan hak atas tanah
karena ditelantarkan. Tetapi tidak selalu berakhirnya hak atas tanah karena
ditelantarkan identik dengan pelepasan hak, karena pelepasan hak yang dimaksud
oleh UUPA adalah karena tidak terpenuhinya syarat subjektif untuk mendapatkan
hak atas tanah yaitu harus warga negara Indonesia dan badan hukum yang
64
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 30 ayat
(1) dan ayat (2) UUPA).
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tanah terlantar
menurut pendapat hakim merujuk pada ketentuan tanah terlantar menurut Hukum
Adat dengan ciri- ciri:
- Keadaan fisik tanah yang pernah dibuka, kemudian dibiarkan tidak terawat
oleh pemiliknya sehingga menjadi ditumbuhi alang-alang. Apalagi jika
didukung oleh kenyataan tanah tersebut dikelilingi oleh tanah- tanah yang
ditanami kepunyaan teman-teman pemegang hak.
- Untuk kasus orang yang mengerjakan tanah dengan tanpa izin pemilik
tanah bukan berarti hendak menimbulkan hak baru tetapi semata-mata agar
tanah tersebut produktif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama-
sama keluarganya.
- Jika terjadi tanah terlantar, harus diikuti tindakan pemberdayaan agar
bermanfaat bagi masyarakat sehingga tidak ada lagi tanah terlantar.
2.3.3. Pengertian Tanah Terlantar Menurut Peraturan Perundang-undangan
A). Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA).
Ada perubahan paradigma dari Hukum Agraria kolonial yang berciri tanah
dikelola atau diusahakan untuk menghasilkan produk yang dapat diperdagangkan
dan mendapat untung sebanyak-banyaknya, ke Hukum Agraria Nasional yang
berciri pengelolaan sumber daya tanah untuk kesejahteraan rakyat. Alasan
filosofisnya ialah bahwa tanah itu adalah karunia Tuhan kepada umat manusia
65
(rakyat Indonesia) untuk diusahakan dikelola guna memenuhi kebutuhannya, agar
tercapai kesejahteraan atau kemakmuran bersama dengan berkeadilan. Jadi, ada
kewajiban dari individu atau masyarakat untuk mengerjakan atau mengusahakan
tanah sebaik-baiknya sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau sesuai dengan
tujuannya (kemakmuran) itu.
Berdasarkan hakikat yang ada pada Hukum Agraria Nasional (UUPA)
tersebut, semua pihak, terutama para pemegang hak atas tanah, perlu mengerti dan
menjaga agar tidak terjadi tanah terlantar. Beberapa ketentuan dalam UUPA yang
berkaitan tanah terlantar adalah sebagai berikut:
1. Pasal 27 huruf a angka 3, menyatakan bahwa Hak Milik atas tanah hapus
bila tanahnya jatuh kepada Negara karena ditelantarkan. Kemudian dalam
penjelasannya dinyatakan bahwa tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja
tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
daripada haknya.
2. Pasal 34 huruf e, menyatakan bahwa Hak Guna Usaha hapus karena
ditelantarkan.
3. Pasal 40 huruf e, menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena
ditelantarkan.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa setiap hak atas
tanah yang diberikan atau diperoleh dari negara (Hak Milik, Hak Guna Bangunan,
Hak Guna Usaha) hapus apabila ditelantarkan. Artinya, ada unsur kesengajaan
melakukan perbuatan tidak mempergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat
dan tujuan haknya.
66
Keberadaan Pasal-Pasal dalam UUPA mengenai tanah terlantar belum
dapat dilaksanakan sebelum adanya suatu peraturan operasional untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya, sehingga Pemerintah
mengeluarkan Peraturan pemerintah No. 11 Tahun 2010 yang menggantikan
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan
Tanah Terlantar sebagai peraturan pelaksanaannya.
Sebelum adanya peraturan pemerintah tersebut terdapat beberapa
peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai tanah terlantar, antara lain
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1973 tentang Penguasaan
Tanah Perkebunan Terlantar dan/atau Ditelantarkan di Daerah Propinsi Jawa
Barat. Lahirnya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1973 sebagai
wujud kepedulian atas terlantarnya tanah Hak Guna Bangunan (perkebunan). Hal
itu dimaksudkan untuk segera mengatasi atau meniadakan kondisi lahan
perkebunan yang terlantar, dengan menindak pemegang haknya, berikut
pendayagunaan tanah terlantar tersebut sehingga lahan Hak Guna Bangunan
(perkebunan) memberi kesejahteraan kepada masyarakat sekitar lahan pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya. Jadi, untuk dapat menyatakan suatu
perkebunan sebagai terlantar, adalah apabila diketahui bahwa pemegang hak atas
tanah, tidak mempergunakan atau mengerjakan yang ia peroleh sebagaimana
mestinya. Dengan demikian, berarti pemegang hak atas tanah tidak mengindahkan
kewajiban mengusahakan perkebunan secara baik dan mengabaikan fungsi sosial
atas tanah.
67
Selain keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut, terdapat pula Instruksi
Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1982 tentang Penertiban Tanah di Daerah
Perkotaan yang Dikuasai Oleh Badan Hukum atau Perorangan yang Tidak
Dimanfaatkan atau Ditelantarkan. Dalam instruksi tersebut tugas dibebankan
kepada seluruh gubernur dan bupati/wali kota seluruh Indonesia untuk
menertibkan semua tanah yang ada di daerah perkotaan yang dikuasai oleh badan-
badan hukum atau perorangan.
Adanya peraturan-peraturan tersebut dapat dilihat bahwa upaya untuk
melakukan penertiban terhadap tanah terlantar sudah pernah dilakukan.
Pelaksanaan ketentuan Perundang-undangan tidak hanya bersandar pada “hukum
apa adanya” (the law as it), tetapi harus merespon keadaan sosial atau “hukum
yang seharusnya” (the law as it ought to be). Hukum itu tidak hanya berkembang
dengan logika tertutup, tetapi harus dapat mengambil nilai-nilai baru dari
masyarakat dan dengan memperbarui peraturan sedemikian rupa hingga sesuai
dengan keadaan dewasa ini.26
Pemahaman mengenai tanah yang ditelantarkan menurut UUPA berangkat
dari pemberian hak-hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum, dimana
dengan pemberian tersebut maka kewenangan negara yang berasal dari Hak
menguasai negara dibatasi dan ini berarti bahwa setiap pemegang hak atas tanah
berwenang menggunakan tanahnya sesuai dengan kewenangan yang diberikan
kepadanya baik oleh ketentuan-ketentuan UUPA (Pasal 20 s.d. Pasal 45 UUPA)
maupun peraturan pelaksanaannya, kecuali kalau pemegang hak atas tanah yang
26
George Whitecross Paton, 1951, A Text-Book of Jurisprudence, Oxford at te Clarendon
Press, London, Page 8
68
bersangkutan tidak memenuhi kewajibannya (tanah yang bersangkutan
ditelantarkan) atau melanggar larangan (pembatasan) yang ditentukan (subjeknya
tidak memenuhi syarat), maka sebagai sanksinya hak atas tanahnya menjadi hapus
dan tanahnya menjadi tanah negara.
Selanjutnya, dalam UUPA tidak dikenal adanya tanah sebagai res nulius,
karena jika hak atas tanahnya hapus, maka tanah yang bersangkutan menjadi
tanah negara (tanah kosong). Hal itu artinya tanah tersebut dikuasai secara penuh
oleh negara dalam lingkup Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA) dan
atas tanah tersebut dapat diberikan oleh negara kepada pihak-pihak yang
memerlukannya.
Konsepsi ini sangat berbeda dengan Hukum Tanah Barat yang pernah
berlaku di Indonesia sebelum 24 September 1960, dimana tanah Hak Eigendom
tidak mungkin hapus haknya (selama tidak terkena pencabutan hak atau
dihapuskan oleh negara seperti "Penghapusan Tanah Partikelir" dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1958) sekalipun tidak diketahui lagi pemiliknya, namun
tanah Hak Eigendom tersebut tetap dikelola oleh Balai Harta Peninggalan sampai
jangka waktu tertentu (± 30 tahun). Adanya Balai Harta Peninggalan (Weeskamer)
adalah untuk mencegah terjadinya berlangsungnya res nulius, seperti diatur dalam
Pasal 520 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang intinya menyatakan bahwa
segala benda (yang bergerak atau tidak bergerak) yang tidak ada pemiliknya
menjadi milik negara. Ketentuan Pasal 520 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tersebut sepanjang mengenai tanah hak tidak berlaku lagi sejak tanggal 24
September 1960.
69
B). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah dalam Konsideran huruf b
menyatakan bahwa :
“oleh karena itu pengakuan penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah
perlu lebih diarahkan bagi semakin terjaminnya tertib di bidang hukum
pertanahan, administrasi pertanahan, penggunaan tanah, ataupun
pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup, sehingga adanya kepastian
hukum di bidang pertanahan pada umumnya dapat terwujud”.
Dari ketentuan tersebut, terlihat bahwa pemerintah ingin menegaskan kembali
bahwa penggunaan tanah berdasarkan pada Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai dalam rangka pembangunan nasional diarahkan untuk
terjaminnya atau terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karena itu,
Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 secara rinci dan
jelas mengatur mengenai pemberian hak atas tanah (Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai), objek hak, serta jangka waktu dan lamanya suatu hak
diberikan oleh negara kepada subjek hak.
Apabila pemegang hak tidak melaksanakan kewajibannya, maka
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e, Hak Guna Usaha hapus
karena ditelantarkan. Dalam penjelasannya dinyatakan sesuai dengan penjelasan
yang ada dalam UUPA. Demikian juga tentang hapusnya Hak Guna Bangunan
dalam Pasal 35 ayat (1) huruf e yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan
hapus karena ditelantarkan.
70
Dalam pemberian Hak Pakai, juga diikuti dengan ketentuan tentang
hapusnya Hak Pakai. Pasal 55 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa Hak Pakai
hapus karena ditelantarkan. Meskipun khusus dalam hal Hak Pakai tidak terdapat
ketentuan hapusnya Hak Pakai dalam UUPA. Dari ketentuan-ketentuan yang telah
disebutkan tentang hapusnya hak atas tanah (Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai) dapat disimpulkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 menggunakan istilah ditelantarkan. Pengertian ditelantarkan
mengikuti penjelasan dari UUPA tentang hapusnya Hak Milik, Hak Guna Usaha,
dan Hak Guna Bangunan, kecuali untuk Hak Pakai yang tidak diatur adanya tanah
ditelantarkan dalam UUPA.
C). Menurut PP Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan
Tanah Terlantar
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 dikeluarkan dengan
dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya jumlah tanah terlantar di Indonesia dan
tidak ada upaya penertiban yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam konsideran
huruf b PP No. 36 tahun 1998 disebutkan bahwa dalam kenyataannya masih
terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh perseorangan, badan hukum, atau
instansi yang tidak digunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
haknya.
Dalam konsideran huruf c dinyatakan bahwa sesuai dengan ketentuan
dalam UUPA, hak atas tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya
ditelantarkan. Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998
menyatakan bahwa tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang
71
hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh
dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengertian tanah terlantar juga didefinisikan dalam ketentuan yang
mengatur kriteria tanah terlantar yaitu dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor
36 Tahun 1998 yang menyatakan :
“Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak
dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka
penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut
tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya menurut Rencana Tata
Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau
pembangunan fisik di atas tanah tersebut”.
Lebih lanjut pengertian tanah terlantar disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 yang mengatur mengenai Hak Guna
Usaha yang menyatakan bahwa tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai
dengan keadannya atau sifat dan tujuan haknya, apabila tanah itu tidak diusahakan
sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila diperhatikan, ternyata banyak istilah ataupun pengertian yang
diberikan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 untuk menyatakan
bahwa sebidang tanah adalah terlantar. Kalimat-kalimat yang dipilih dalam
menyatakan tanah terlantar dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998
dapat dikompilasi sebagai berikut:
72
a. Tanah yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan haknya, bila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai
peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku.
b. Tanah yang ditelantarkan oleh pemegang haknya.
c. Tanah yang tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah
pertanian yang baik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
d. Tanah yang sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.
D). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar merupakan peraturan yang menggantikan
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 yang dianggap memiliki banyak
kelemahan. Kelemahan dari PP Nomor 36 Tahun 1998 salah satunya yaitu tidak
mencantumkan dalam berapa tahun tanah dapat dikatakan telah ditelantarkan.27
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010
definisi tanah terlantar tidak diuraikan secara jelas. Hanya saja dalam penjelasan
Pasal 2 menyebutkan bahwa :
“Tanah yang sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, atau Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila
tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan
sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Demikian pula tanah
yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila
27
Perbandingan Antara PP No. 36 Tahun 1998 Dengan PP No. 11 Tahun 2010 Serta
Tantangan Yang Akan Dihadapi Dalam Pelaksanaan Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar, Diakses dari http://garasi.in/perbandingan-antara-pp-no-36-tahun-1998-dengan-pp-no-
11-tahun-2010-serta-tantangan-yang-akan-dihadapi-dalam-pelaksanaan-penertiban-dan-
pendayagunaan-tanah-terlantar.html pada tanggal 19 Januari 2015 pada pukul 09.00 wita
73
tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau
tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang
ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan pemberian hak, surat
keputusan pelepasan kawasan hutan, dan/atau dalam izin/keputusan/surat
lainnya dari pejabat yang berwenang”.
Dari penjelasan Pasal 2 PP Nomor 11 Tahun 2010 tersebut dapat disimpulkan
bahwa tanah terlantar adalah tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan atau tanah yang ada dasar
penguasaannya yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak
dimanfaatkan, sesuai dengan keadaannya, sifat dan tujuan haknya.
E). Menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 2010
tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.
Dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.
4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar pengertian tanah
terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak pakai, dan Hak Pengelolaan, atau
dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak
dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau
dasar penguasaannya.
2.4. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah
Pemanfaatan tanah harus sesuai dengan kepentingan masyarakat banyak,
karena tanah mempunyai fungsi sosial. Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria
menyebutkan bahwa : “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Hal
tersebut menjelaskan bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang,
tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak
74
dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu
menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas.
Tanah tidak hanya berfungsi bagi pemegang hak atas tanahnya saja tetapi
juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya, dengan konsekuensi bahwa penggunaan
hak atas sebidang tanah juga harus meperhatikan kepentingan masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada haknya
sehingga bermanfaat, baik bagi kesejahteraan dan kebahagian yang
mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Namun hal
tersebut bukan berarti kepentingan seseorang terdesak oleh kepentingan
masyarakat atau negara. Diantara dua kepentingan tersebut haruslah seimbang
sehingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan
kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Fungsi sosial hak atas tanah adalah salah satu dari 3 (tiga) kewajiban
dalam UUPA yang bersifat umum yang dibebankan pada setiap pemegang hak
atas tanah, yakni: (a) kewajiban menjalankan fungsi sosial hak atas tanah (Pasal
6); (b) kewajiban memelihara tanah (Pasal 52 ayat (1)); (c) kewajiban untuk
mengerjakan sendiri secara aktif tanah pertanian (Pasal 10).28
Berdasarkan fungsi
sosial hak atas tanah tersebut, maka hak atas tanah yang dimiliki oleh seseorang
ataupun badan hukum tidak hanya mempunyai fungsi bagi pemilik hak itu saja,
tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai konsekuensinya, dalam
mempergunakan tanah yang bersangkutan bukan hanya kepentingan yang berhak
28
Oloan Sitorus dan H. M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia: Konsep
Dasar dan Implementasi, Cetakan Perdana, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, h.79
75
saja yang dipakai sebagai pedoman, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan
kepentingan masyarakat.
Kepentingan umum harus diutamakan daripada kepentingan pribadi,
sesuai dengan asas-asas yang berlaku bagi penyelenggaraan berkehidupan
bersama dalam masyarakat. Walaupun demikian hak individu juga tidak boleh
diabaikan, karena hak individu atas tanah dihormati dan dilindungi oleh hukum.
Jika kepentingan umum menghendaki didesaknya kepentingan individu, hingga
mengalami kerugian maka kepadanya harus diberikan ganti kerugian.29
Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai tanah
untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaan tanahnya,
serta sifat dan tujuan pemberian haknya. Dalam penjelasan Pasal 27 UPPA
menyatakan jika kewajiban itu sengaja diabaikan maka hal tersebut dapat
mengakibatkan hapusnya atau batalnya hak yang bersangkutan. Artinya dalam hal
demikian tanah tersebut termasuk golongan yang ditelantarkan.
Dapat disimpulkan dalam pemanfaatan hak atas tanah untuk fungsi sosial,
wajib diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan yang mempunyai dan
kepentingan masyarakat. Untuk itu perlu adanya perencanaan, peruntukan dan
penggunaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UUPA. Dengan
menggunakan tanah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan oleh Pemerintah
maka dapat dikatakan terpenuhinya fungsi sosial hak atas tanah tersebut.
29
Adrian Sutedi I, Op.Cit., h. 19