bab ii tinjauan umum tentang pekerja, perusahaan …
TRANSCRIPT
20
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERUSAHAAN
DAN KEPAILITAN
2.1.Pekerja
2.1.1. Pengertian Pekerja
Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
selanjutnya disebut sebagai Undang-undang Ketenagakerjaan pasal 1 angka 3
menyebutkan istilah pekerja sebagai pekerja/buruh, pengertian pekerja/buruh menurut
Undang-undang Ketenagakerjaan pasal 1 angka 3 adalah ‘setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain’. Berdasarkan dari pengertian
pekerja menurut Undang-undang Ketenagakerjaan pasal 1 angka 3 dapat diartikan
bahwa pekerja berhak untuk mendapatkan upah. Pengertian ini agak umum namun
maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa
saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain. Penegasan imbalan dalam bentuk lain ini perlu karena
upah selama ini diidentika dengan uang, padahal ada pula pekerja yang menerima
imbalan dalam bentuk barang. Dari pengertian pekerja di dalam Undang-undang
Ketenagakerjaan jelaslah bahwa yang sudah bekerja dapat disebut pekerja/buruh.
Istilah pekerja/buruh yang sekarang disandingkan muncul karena dalam undang-
undang yang lahir sebelumnya yakni Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
21
serikat Buruh/Pekerja menyandingkan kedua istilah tersebut. Munculnya istilah
pekerja/buruh yang disejajarkan disebabkan selama ini pemerintah mengkehendaki
agar istilah buruh diganti dengan istilah pekerja karena istilah buruh selain
berkonotasi pekerja kasar juga menggambarkan kelompok yang selalu berlawanan
dengan pihak majikan. Karena itulah pada Orde Baru istilah Serikat Buruh diganti
dengan Serikat Pekerja.
Serikat pekerja pada saat itu sangat sentralistik sehingga mengekang
kebebasan buruh untuk membentuk organisasi atau serikat serta tidak respon terhadap
aspirasi buruh, itulah sebabnya ketika RUU serikat buruh atau pekerja dibahas terjadi
perdebatan yang panjang mengenai istilah ini, dari pemerintah mengkehendaki istilah
pekerja, sementara dari kalangan buruh atau pekerja mengkehendaki istilah buruh
karena trauma pada masa lalu dengan istilah pekerja yang melekat pada istilah serikat
pekerja. Pada saat itu serikat pekerja dikendalikan untuk kepentingan pemerintah,
akhirnya ditempuh jalan tengah dengan mensejajarkan kedua istilah tersebut, akan
tetapi di dalam praktik di lapangan tidak dapat mensejajarkan begitu saja istilah
pekerja dan buruh .
Dalam praktik di lapangan tidak semua tenaga kerja dapat dikatakan sebagai
buruh karena buruh sering digolongkan sebagai pekerja kasar, salah satu contohnya
adalah seperti pekerja bangunan, pekerja yang bekerja di pabrik, tukang sapu keliling,
sedangkan orang-orang yang bekerja di kantoran seperti bidang administrasi tidak
ingin dikatakan sebegai buruh karena dianggap sebagai orang yang bekerja kasar dan
22
tidak berwibawa. Pekerja secara umum dapat diartikan sebagai orang yang bekerja
pada satu perusahaan atau instansi yang mendapat tugas atau pekerjaan serta upah
sebagai imbalannya. Untuk lebih meyankinkan dengan istilah pekerja yang digunakan
secara umum maka perlu untuk memperhatikan konstitusi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Fundamental Negara, dalam
penjelasan pasal 2 menyatakan ‘yang desebut “golongan-golongan” ialah badan-
badan seperti korporasi, serika pekerja, dan lain-lain badan kolektif’’. Jelas disini
UUD NRI 1945 menggunakan istilah pekerja dan bukan buruh, oleh karena itu,
disepakati penggunaan kata pekerja sebagai pengganti kata buruh, karena mempunyai
dasar hukum yang kuat’.14
Pengertian pekerja dalam hal untuk kepentingan santunan jaminan kecelakaan
kerja dalam perlindungan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) berdasarkan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja,
pengertian pekerja diperluas (penafsiran ekstensif) yakni termasuk :
1. Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah
maupun tidak;
2. Mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah
perusahaan;
3. Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.
14 Zaeni Asyhadie, 2013, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 39.
23
2.1.2. Hak Pekerja Dalam Perusahaan
Hak pekerja penting untuk dipenuhi oleh perusahaan dalam berlangsungnya
hubungan kerja, karena hak merupakan suatu hal yang mutlak harus didapatkan oleh
pekerja, hak-hak pekerja sudah tersebar diberbagai peraturan perudang-undangan,
hak juga harus diimbangi dengan kewajiban yang dijalankan oleh pekerja, hak-hak
pekerja yaitu sebagai berikut:
1. Dalam pasal 86 ayat 1 Undang-undang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa setiap
pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
1) Keselamatan dan kesehatan kerja. Untuk mewujudkan perlindungan terhadap
keselamatan kerja, maka pemerintah telah melakukan upaya pembinaan
norma dibidang ketenagakerjaan, atas dasar itu maka dikeluarkanlah Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Walaupun namanya
Undang-undang keselamata kerja, namun cakupan materinya termasuk juga
masalah kesehatan kerja, karena keduanya tidak dapat dipisahkan, jika
keselamatan kerja sudah terlaksana dengan baik maka kesehatan kerja pun
akan tercapai.
2) Moral dan kesusilaan
3) Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
agama.
2. Pekerja berhak untuk mendapatkan upah, Undang-undang ketenagakerjaan pasal
88 ayat (1) menyatakan ‘setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan
24
yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’. Berdasarkan
kebijakan tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan untuk
melindungi pekerja/buruh. Kebijakannya adalah adanya upah minimum, upah
kerja lembur, upah tidak masuk kerja karena berhalangan, upah tidak masuk kerja
karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, upah karena menjalankan
hak waktu istirahat kerjanya, bentuk dan cara pembayaran upah, denda dan
potongan upah, hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah, struktur dan
skala pengupahan yang proporsional, upah untuk pembayaran pesangon, dan upah
perhitungan pajak penghasilan
3. Dalam hal perusahaan melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), pekerja
berhak mendapatkan haknya menurut pasal 156 Undang-undang Ketenegakerjaan
yaitu uang pesangon dalam bentuk uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai
akibat PHK yang jumlahnya disesuaikan dengan masa kerja pekerja yang
bersangkutan, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak.
4. Pekerja juga memiliki hak untuk mogok kerja, ‘secara yuridis mogok kerja diakui
sebagai hak dasar pekerja dan serikat pekerja yang dilakukan secara sah, tertib,
dan damai, sebagai akibat gagalnya perundingan’.15
15 Lalu Husni, op cit. h. 163.
25
2.2. Perusahaan
2.2.1. Pengertian Perusahaan
Pengertian perusahaan menurut Molengraaff adalah ‘keseluruhan perbuatan
yang dilakukan secara terus menerus bertindak ke luar untuk memperoleh
penghasilan dengan memperniagakan atau menyerahkan barang-barang atau
mengadakan perjanjian-perjanjian perniagaan’.16 Perusahaan menurut Abdul R Salim
adalah ‘bidang usaha yang menjalankan kegiatan dibidang perekonomian yaitu
bidang keuangan, industri, dan perdagangan, yang dilakukan secara terus menerus
atau teratur (regelmatig), terang-terangan (openlijk), dan dengan tujuan memperoleh
keuntungan dan atau laba’.17 Selain dari pendapat sarjana, pengertian perusahaan
dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, menurut Undang-
undang Nomor 3 tahun 1982 tantang Wajib Daftar Perusahaan dijelaskan bahwa
Perusahaan adalah ‘setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang
bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan
dalam wilayah Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau
laba’. Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal
1 angka 6 pengertian perusahaan adalah:
1. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
16 Janus Sidabalok, 2012, Hukum Perusahaan Analisis Terhadap Pengaturan Peran
Perusahaan dalam Pembangunan Ekonomi Nasional di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, h.3. 17 Abdul R Salim, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan Contoh Kasus),
Kencana Renada Media Group, Jakarta, h. 100.
26
maupun milik Negara yang mempekerjakan tenaga kerja atau buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
2. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
Menurut Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial pasal 1 angka 7, perusahaan adalah:
1. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan,milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik Negara yang mempekerjakan pekerja dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain;
2. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
Di Indonesia peraturan tentang perusahaan tersebar diberbagai perundang-
undangan, baik yang secara langsung mengenai perusahan maupun yang secara tidak
langsung. Pengaturan mengenai perusahaan telah ditemukan sejak masa kolonial
yaitu didalam KUHPerdata dan KUHDagang yang mulai berlaku sejak tahun 1847,
yang mengatur perusahaan secara singkat, peraturan perusahaan seperti itulah yang
diwarisi sampai saat ini. Sementara itu setelah kemerdekaan sudah cukup banyak
27
peraturan perundang-undangan lain yang dibuat mengenai perusahaan. Posisi
perusahaan disatu sisi sebagai sumber mata pencaharian (penghasilan) bagi
pengusaha, dan disisi lain perusahana adalah bagian dari pembangunan ekonomi
nasional dalam rangka mewujudkan tujuan negara yaitu meningkatkan kesejahtraan
masyarakat. Bagi pelaku usaha, perusahaan dijadikan sebagai sarana untuk
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya melalui kegiatan menghasilkan dan atau
memperdagangkan barang atau jasa.
Perusahaan yang dipandang sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi
nasional berperan dalam upaya pemerintah meningkatkan kesejahtraan rakyat. Karena
itu perusahaan mengemban misi pembangunan yaitu memajukan kesejahtraan
masyarakat, melalui pelaksanaan kegiatan usaha yang senantiasa bermanfaat bagi
masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh Sudjono Dirdjosiswoeo, ‘bahwa
sekalipun menjalankan perusahaan adalah urusan masing-masing perusahaan, namun
mau tidak mau harus tunduk terhadap undang-undang yang berlaku’.18 Di Indonesia
tidak ada satu undang-undang yang secara komperhensif mengatur seluruh jenis
perusahaan, karena banyak dimensi hukum dari perusahaan itu.19
Pengaturan perusahaan dapat dirinci dalam 2 (dua) kelompok pengaturan
sebagai berikut :
18 Ibid, h. 23. 19 Ibid, h. 18.
28
1. Kelompok pengaturan yang berhubungan dengan eksistensi perusahaan
sebagai sebuah entitas hukum, yaitu menyangkut keberadaan perusahaan
sebagai sebuah organisasi bisnis; dan
2. Kelompok pengaturan perusahaan sehubungan dengan kedudukannya sebagai
pelaku ekonomi, yang menyangkut bagaimana perusahaan itu dikelola dan
dijalankan sehingga sesuai dengan pencapaian tujuan pembangunan
nasional.20
Sehubungan dengan eksistensi perusahaan, sejumlah peraturan yang mengatur
perusahaan di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur perusahaan berbentuk
persekutuan perdata ( Maatschap, partnership).
2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang mengatur perusahaan berbentuk
Persekutuan Firma (Fa), dan Persekutuan Komanditer (CV),
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Perbatas (PT),
mengatur perusahaan berbentuk PT sebagai pengganti ketentuan tentang PT
sebagaimana yang terdapat didalam KUH Dagang. Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas.
4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoprasian,
mengatur tentang badan usaha berbentuk koperasi, mengganti peraturan
20 Ibid.
29
Belanda tentang koperasi. Undang –Undang Nomor 12 Tahun 1967 kemudian
diganti dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian.
5. Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) yang didalamnya menetapkan ada 2 (duan) bentuk BUMN yaitu
Perusahaan Perseorangan (Persero) dan Perusahaan Umum (Perum).
6. Sementara itu mengenai Usaha Perorangan belum mendapat pengaturan dari
undang-undang. Kebiasaanlah yang menjadi dasarnya.
2.2.2. Kewajiban Perusahaan dalam Pembayaran Upah pekerja
Sebagai perusahan yang memberikan lapangan pekerjaan bagi pekerja baik laki-
laki maupun perempun wajib melakukan perjanjian kerja terlebih dahulu, karena hal
tersebut merupakan dasar untuk timbulnya hak dan kewajiban di dalam berjalananya
perusahaan. Perjanjian kerja selalu memuat hal penting yang diinginkan oleh pekerja
salah satunya yaitu pemberian upah bagi pekerja, upah merupaka hak pekerja yang
berbentuk uang atau barang yang wajib diserahkan oleh perusahaan kepada pekerja
sesuai dengan perjanjian kerja yang dilakukan oleh pekerja dengan perusahaan.
Kewajiban perusahaan dalam pembayaran upah pekerja tercantum di dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu:
1. Tercantum dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pasal 28D ayat (2) menyatakan ‘setiap orang berhak untuk bekerja
30
serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja’.
2. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
menyatakan kewajiban perusahaan dalam pemberian upah pekerja yaitu:
a. Pasal 11 menyatakan ‘setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang
sama untuk pekerjaan yang sama nilainya’.
b. Pasal 18 ayat (1) menyatakan ‘pengusaha wajib membayar upah pada waktu
yang telah diperjanjikan anatara pengusaha dengan Pekerja/buruh’.
c. Pasal 29 menyatakan ‘Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh
yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena
melaksanakan tugas serikat pekerja/ serikat buruh sebagaimana dimaksud
dalam pasal 24 ayat (4) c, sebesar upah yang biasa diterima oleh
pekerja/buruh’.
d. Pasal 30 menyatakan ‘pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh
yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena
melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 24 ayat (4) huruf d, sebesar upah yang biasa diterima oleh
pekerja/buruh’.
e. Pasal 31 menyatakan ‘pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh yang
tidak masuk kerja dan/atau tidak melaksanakan pekerjaan karena menjalankan
hak waktu istirahat kerjanya sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (5),
sebesar upah yang biasa diterima oleh pekerja/buruh’.
31
Kewajiban perusahaan dalam pemberian upah kerja secara umum telah jelas
tercantum di dalam peraturan perundang-undangan, yang artinya bahwa hak pekerja
dalam mendapatkan upah kerja telah dijamin berdasarkan dasar hukum yang kuat dan
berhak mempertahankan hal tersebut. Sama halnya ketika perusahaan tempat bekerja
mengalami permasalahan hingga berujung terjadinya kepailitan suatu perusahaan
maka hak pekerja untuk mendapatkan haknya yaitu berupa upah tetap dijamin oleh
peraturan perundang-undangan,
Jadi suatu perusahaan dalam kondisi baik maupun dalam kondisi buruk, hak
pekerja berupa upah yang sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak wajib untuk dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerja, kecuali
dalam hal pekerja tidak melakukan pekerjaannya dengan baik tanpa alasan apapun,
karena berlaku asas No Work No Pay.
2.3.Kepailitan
2.3.1. Pengertian Kepailitan
Membahas mengenai kepailitan maka akan timbul pertanyaan, apakah
sebenarnya yang dimaksud dengan kepailitan itu? Arti yang orisinil dari bangkrut
atau pailit adalah ‘seorang pedagang yang bersembunyi atau melakukan tindakan
tertentu yang cendrung untuk mengelabuhi pihak kreditornya. 21 Dalam
Ensklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang disebut
21 Munir Fuady, 2005, Hukum Kepailitan dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h.8.
32
dengan pailit atau bangkrut, antara lain adalah ‘seseorang yang oleh suatu
pengadilan dinyarakan bankrupt, dan yang aktivanya atau warisannya telah
diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya’. 22 Menurut Retnowulan
Sutantio kepailitan adalah “eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan
hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atau semua
harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit,
maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua
kreditor, yang dilakukan dengan pengawasan pihak berwajib”. 23 Berdasarkan
pengertian kepailitan menurut Retnowulan Sutantio dapat disimpulkan bahwa
kepailitan dimaksudkan untuk mencegah penyitaan dan eksekusi yang dimintakan
oleh kreditor secara perorangan, dan kepailitan hanya mengenai harta benda
debitor, bukan pribadi, yang artinya ia tetap cakap untuk melakukan perbuatan
hukum di luar hukum kekayaan.
Selain dari pengertian kepailitan menurut pendapat para sarjana, dalam pasal 1
angka 1 Undang-undang Undang-Undang Kepailitan dan PKPU memberikan
pengertian kepailitan adalah ‘sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dan dibawah pengawasan
Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini’. Pada prinsipnya,
22 Ibid. 23 Retnowulan Sutantio, 1996, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, Seri Varia
Yustisia, h.85.
33
pengaturan masalah kepailitan merupakan suatu perwujudan dari pasal 1131 dan
pasal 1132 KUHPerdata.
Pasal 1131 menyatakan ‘segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak
maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada
dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan’.
Pasal 1132 menyatakan “kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama
bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-
benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya
piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-
alasan yang sah untuk didahulukan”. Asas yang terkandung dalam kedua pasal
tersebut adalah :
1. “Setiap kreditor berhak atas setiap bagian kekayaan debitor untuk
pembayaran piutangnya. Jadi apabila debitor tidak membayar utangnya
dengan sukarela atau tidak membayar walaupun telah ada putusan
pengadilan yang menghukumnya untuk melunasi utangnya, atau karena
tidak mampu untuk membayar seluruh utangnya, maka semua harta
bendanya disita untuk dijual dan hasil penjualan itu dibagi-bagikan antara
semua kredito menurut perimbangan besar kecilnya piutang masing-
masing kreditor, kecuali apabila diantara para kreditor ada alasan-alasan
yang sah untuk didahulukan.
34
2. Semua kreditor memiliki hak yang sama tanpa memperhatikan siapa yang
lebih dahulu menjadi kreditor bagi debitor yang bersangkutan”.24
Setelah memahami pengertian kepailitan, maka sayarat untuk mengajukan
permohonan kepailitan penting untuk dipahami. Untuk dapat mengajukan
permohonan kepailitan tercantum dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor
37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
menyatakan ‘debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik yang permohonannya sendiri
maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya’. Dapat ditarik kesimpulan
bahwa suatu perusahaan dapat dinyarakan pailit apabila terdapat utang minimal
satu utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, adanya debitor, adanya
kreditor, kreditor lebih dari satu.
2.3.2. Harta Pailit
Pengertian terhadap harta pailit tidak terdapat penjeleskan secara khusus apa
yang dimaksud dengan harta pailit, akan tetapi terdapat peraturan yang menyinggung
mengenai harta pailit, dalam pasal 16 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU
menyatakan ‘kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau
pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun
24 Kartono, 1985, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, PT Pradnyana Paramita, Jakarta,,
h.9.
35
terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali’. Berdasarkan
pasal 16 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU tersebut dapat dianalisis
mengenai apa yang dimaksud dengan Harta Pailit, bahwa terjadinya pengurusan dan
pemberesan oleh kurator merupakan tanda bahwa debitor sudah diputus pailit
dan/atau PKPU, artinya adanya harta pailit disebabkan oleh putusan pailit dan/atau
PKPU terhadap debitor pailit. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa harta pailit
merupakan harta milik debitor pailit yang timbul setelah adanya putusan pailit oleh
pengadilan niaga.
Menyinggung mengenai harta pailit, menurut pasal 21 Undang-undang
Kepailitan dan PKPU menyatakan ‘kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada
saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama
kepailitan’. Ketentuan pasal 21 Undang-undang Kepailitan dan PKPU tersebut yang
menyinggung mengani harta pailit sejalan dengan ketentuan pasal 1131 KUHPerdata
yang menyatakan ‘seluruh harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun yang
tidak bergerak, dikemudian hari menjadi tanggungan (agunan) bagi seluruh utang
debitor’. ‘Harta kekayaan debitor bukan saja terbatas pada harta kekayaan berupa
barang-barang tetap seperti tanah, tetapi juga barang-barang bergerak seperti
perhiasan, mobil, mesin-mesin dan bangunan’.25 Termasuk ‘bila di dalamnya barang-
barang yang berada di dalam penguasaan orang lain, yang terhadap barang-barang itu
25 Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, h.50.
36
dibitor memiliki hak, seperti barang-barang debitor yang disewa oleh pihak lain atau
yang dikuasai oleh orang lain secara melawan hukum atau tanpa hak’.26
Mengenai ketentuan pasal 21 Undang-undang Kepailitan dan PKPU tidak
berlaku terhadap beberapa harta debitor pailit, yang disebutkan dalam pasal 22
Undang-undang Kepailitan dan PKPU, yaitu
a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitor
sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang
dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang
dipergunakan oleh debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30
(tiga puluh) hari bagi debitor dan keluarganya yang terdapat di tempat itu;
b. Segala sesuatu yang diperoleh debitor dan pekerjaannya sendiri sebagai
penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu
atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas; atau
c. Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban
member nafkah menurut undang-undang.
Pailitnya debitor tidak terlepas dari harta bersama suami istri, bagi yang tunduk
terhadap KUHPerdata pasal 119 ayat (1) mengenal asas bahwa mulai saat perkawinan
dilangsungkan, berlaku percampuran atau persatuan harta kekayaan antara suami dan
istri, sepanjang tidak diperjanjikan lain dalam suatu perjanjian antara suami dan istri.
26 Ibid.
37
Menurut pasal 62 Undang-undang Kepailitan dan PKPU mengenai harta kekayaan
suami atau istri ketika terjadinya kepailitan menyatakan:
(1) Dalam hal suami atau istri dinyatakan pailit maka istri atau suaminya berhak
mengambil kembali semua benda bergerak dan tidak bergerak yang
merupakan harta bawaan dari istri atau suami dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan.
(2) Jika benda milik istri atau suami telah dijual oleh suami atau istri dan
harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur dalam
harta pailit, maka istri atau suami berhak mengambil kembali uang hasil
penjualan tersebut.
(3) Untuk tagihan yang bersifat pribadi terhadap istri atau suami maka kreditor
terhadap tagihan harta pailit adalah suami atau istri.
Dalam hal debitor pailit telah melaksanakan perkawinan dengan persatuan harta
menurut ketentuan pasal 241, pasal 62, pasal 63 Undang-undang Kepailitan dan
PKPU, maka menurut pasal 64 ayat (1) ‘kepailitan suami atau istri yang kawin dalam
suatu persatuan harta, diperlakukan sebagai kepailitan persatuan harta tersebut’ dalam
artian bagi perbuatan hukum yang mengakibatkan terikatnya harta persatuan tersebut,
tidak perlu diindahkan siapakah diantara suami atau istri itu yang melakukan
perbuatan hukum itu. Dengan kata lain, baik utang itu dibuat oleh suami ataupun oleh
istri, maka utang yang menjadi beban harta persatuan dapat dinyatakan pailit bila
salah satu diantara mereka dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga.
38
2.3.3. Pihak-pihak dalam proses kepailitan
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses kepailitan yaitu terdiri dari pihak
pemohon pailit, debitor pailit, hakim niaga, hakim pengawas, kurator, panitia
kreditor , dan pengurus. Dari semua pihak-pihak dalam proses kepailitan tersebut
akan dibahas satu persatu guna memahami lebih dalam dan mudah dimengerti,
adapun pembahasannya sebagai berikut :
1. Pihak Pemohon Pailit
Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak pemohon
pailit, yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke
pengadilan, yang dalam perkara biasa disebut sebagai pihak penggugat. Menurut
pasal 2 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang maka yang dapat menjadi pemohon dalam suatu
perkara pailit adalah :
1. Pihak debitor sendiri
2. Salah satu atau lebih dari pihak kreditor
3. Pihak kejaksaan jika menyangkut kepentingan umum
4. Pihak Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank
5. Pihak Badan Pengawas Pasar Modal jika debitornya adalah suatu
perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, serta
lembaga penyimpanan dan penyelesaian
39
6. Menteri Keuangan jika debitor perusahaan asuransi, reasuransi, dana
pensiun, atau BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik
2. Pihak debitor pailit
Pihak debitor pailit adalah pihak yang memohon atau dimohonkan ke pengadilan
yang berwenang. Dapat dikatakan sebagai debitor pailit adalah debitor yang
mempunyai 2 atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya 1 utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih. Pihak debitor yang dapat dinyatakan pailit adalah :
1. Kepailita terhadap debitor yang menikah
Menurut pasal 3 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, permohonan
pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor yang menikah, harus atas
persetujuan suami dan isterinya, apabila diantara mereka terdapat
pencampuran harta.
2. Kepailitan terhadap Badan Hukum
Selain manusia, maka badan hukum sebagai subyek hukum yang
mempunyai kekayaan terpisah dari kekayaan peseroan juga dapat
dinyatakan pailit. Dengan pernyataan pailit, organ badan hukum tersebut
akan kehilangan hak untuk mengurus kekayaan badan hukum.
3. Kepailitan terhadap penanggung (Borg)
Menurut ketentuan pasal 1820 KUHPerdata, penanggung adalah pihak
ketiga yang mengikatkan diri pada kreditor untuk memenuhi perikatannya
debitor manakala debitor sendiri tidak memenuhinya lagi. Perjanjian
40
penanggungan ini bersifat accessoir, artinya perjanjian penanggungan baru
ada karena ada perikatan pokoknya yaitu perjanjian utang piutang.
Penganggung baru berkewajiban memenuhi perikatan debitor apababila
debitor tidak dapat memenuhinya kecuali penanggung telah melepaskan
hak istimewa yang dipunyainya seperti diatur dalam pasal 1832
KUHPerdata.
Apabila penanggung telah melepaskan hak istimewanya untuk
menuntut suapaya benda-benda siberutang lebih dahulu disita dan dijual,
dalam hal ini apabila dibitor tidak memenuhi kewajibannya pada kreditor,
kreditor dapat langsung menuntut pada penanggung. Disini yang terjadi
adalah bahwa penanggung telah mengikatkan dirinya bersama-sama
dengan si berutang utama secara tanggung menanggung. Jadi kedudukan
penanggung dan debitor adalah sama-sama sebagai debitor bagi
kreditornya. Kreditor dapat menagih pada siapa saja baik debitor maupun
penanggungnya.
4. Kepailitan terhadap harta warisan
Menurut pasal 197 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, harta
kekayaan orang yang meninggal dunia harus dinyatakan dalam keadaan
pailit, bila seseorang atau beberapa kreditor mengajukan permohonan dan
menguraikan secara singkat pernyataan bahwa orang yang meninggal
tersebut berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya,
ataupun pada saat meninggal, harta peninggalannya tidak cukup untuk
41
membayar utang-utangnya. Permohonan kepailitan terhadap harta warisan
ini dapat diajukan hanya oleh satu orang kreditor, melalui pengadilan niaga
dalam wilayah hukum tempat meninggalnya debitor yang bersangkutan.27
3. Hakim Niaga
Perkara kepailitan diperiksa oleh hakim majelis (tidak boleh oleh hakim
tunggal), baik untuk tingakt pertama maupun tingkat kasasi.
4. Hakim Pengawas
Untuk mengawasi pelaksanaan permberesan harta pailit, maka dalam
keputusan kepailitan, pengadilan niaga harus mengangkat seorang hakim
pengawas di samping pengangkatan kurator. Dahulu untuk hakim pengawas
disebut dengan “Hakim Komisaris”. Dalam Undang-undang Nomor 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
ditegaskan bahwa hakim pengawas bertugas dan berwenang mengawasi
pengurusan dan pemberesan harta pailit. Istilah mengawasi di sini sebenarnya
kurang tepat, karena pengawasan adalah bersifat pasif hanya mengawasi satu
kegiatan saja, dalam hal ini kegiatan pengurusan dan pemberesan harta pailit.
Keberadaan hakim pengawas sangat penting serta sangan diperlukan dalam
proses pengurusan dan pemberesa harta pailit, hal ini mengingat tugas dan
tanggung jawab kurator yang sedemikian berat terlebih jika debitor pailit itu
27 Bernadetter Waluyo, 1999, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Mandar Maju, Bandung, h.29.
42
suatu perseroan terbatas. Disamping itu pula hakim pengawas dapat berfungsi
sebagai pengawas tugas-tugas kurator itu sendiri. Karena itu kurator dan
hakim pengawas merupakan dua variabel yang penting dalam pelaksanaan
pengurusan dan pemberesan harta pailit.
5. Kurator
Kurator merupakan salah satu pihak yang memegang peranan dalam
suatu proses perkara kepailitan, dan karena peranannya yang besar dan
tugasnya yang berat tidak sembarangan orang dapat menjadi pihak kurator.
Dalam setiap putusan pailit oleh pengadilan, maka didalamnya terdapat
pengangkatan kurator yang ditunjuk untuk melakukan pengurusan dan
pengalihan harta pailit di bawah pengawasan hakim pengawas. Segera setelah
debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka sipailit demi hukum tidak
berwenang melakukan pengurusan dan atau pengalihan terhadap harta
kekayaannya yang sudah menjadi harta pailit. Kuratorlah yang melakukan
segala tindakan hukum baik pengurusan maupun pengalihan terhadap harta
pilit, di bawah pengawasan hakim pengawas. Dari proposisi ini maka tampak
bahwa kurator sangat menentukan terselesaikannya pemberesan harta pailit.
Karena itu, Undang-undang sangat ketat dan rinci sekali memberikan
kewenanga apa yang dimiliki oleh kurator serta tugas apa saja yang harus
dilakukan oleh kurator.
43
6. Panitia Kreditor
Salah satu pihak dalam proses kepailitan adalah panitia kreditor. Pada
prinsipnya, suatu panitia kreditor adalah pihak yang mewakili pihak kreditor,
sehingga panitia kreditor tentu akan memperjuangkan segala kepentingan
hukum dari pihak kreditor. Ada dua macam panitia kreditor yang ditentukan
dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, yaitu :
1. Panitia kreditor sementara (yang ditunjuk dalam putusan pernyataan
pailit); dan
2. Panitia kreditor tetap, yakni yang dibentuk oleh hakim pengawas
apabila dalam putusan pailit tidak diangkat panitia kreditor sementara.
7. Pengurus
Pengurus hanya dikenal dalam proses penundaan pembayaran, tetapi tidak
dikenal dalam proses kepailitan. Yang dapat menjadi pengurus adalah :
1. Perorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus
yang dibutuhkan dalam rangka mengurus harta debitor pailit dan
2. Telah terdaftara dalam departemen yang berwenang.