bab ii tinjauan umum tentang upaya hukum … ii.pdf · 28 bab ii tinjauan umum tentang upaya hukum...
TRANSCRIPT
28
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG UPAYA HUKUM KEBERATAN DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK
2.1. Tinjauan Umum tentang Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian
Sengketa Pajak
2.1.1. Dasar Hukum Upaya Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa
Pajak
Payung hukum dari upaya hukum keberatan adalah UU KUP,
yang kemudian diatur secara khusus melalui Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268, selanjutnya
disebut PP Nomor 74 Tahun 2011). Selain itu Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 9/Pmk.03/2013 Tentang Tata
Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, selanjutnya disebut PMK
Nomor 9 Tahun 2013) juga mengatur secara khusus mengenai upaya
hukum keberatan serta cara penyelesaiannya.
Dalam UU KUP, terdapat beberapa pasal yang mengatur
mengenai upaya hukum keberatan, yaitu Pasal 25 yang menjelaskan
29
mengenai ruang lingkup dari upaya hukum keberatan dan tata cara
pengajuan upaya hukum keberatan, Pasal 26 yang menjelaskan
mengenai keputusan keberatan, dan Pasal 26A yang menjelaskan
bahwa tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Tata cara pengajuan
dan penyelesaian keberatan yang kemudian diatur berdasarkan PMK
Nomor 9 Tahun 2013, antara lain mengatur tentang pemberian hak
kepada Wajib Pajak untuk hadir memberikan keterangan atau
memperoleh penjelasan mengenai keberatannya. Apabila Wajib
Pajak tidak menggunakan haknya, proses keberatan tetap dapat
diselesaikan.
Selain melalui PMK Nomor 9 Tahun 2013, dasar hukum dari
upaya keberatan dalam penyelesaian sengketa pajak juga diatur
secara khusus melalui PP Nomor 74 Tahun 2011, khususnya dalam
Bab IV tentang Keberatan, Pembetulan, Pengurangan, Penghapusan,
Pembatalan dan Gugatan. Tetapi mengenai upaya hukum keberatan
dapat ditemukan pengaturannya di dalam Pasal 28 sampai dengan
Pasal 33.
2.1.2. Pengertian Upaya Hukum Keberatan
Perihal keberatan perlu dipahami karena proses awal yang
harus ditempuh jika terjadi persengketaan di bidang pajak untuk
pengajuan banding adalah upaya keberatan. Artinya, sebelum
seseorang wajib pajak atau penanggung pajak ke Pengadilan Pajak
30
untuk mengajukan upaya hukum banding, ia terlebih dahulu
melakukan upaya keberatan ini.31 Kemudian, apabila putusan upaya
keberatan ini ternyata tidak memuaskan wajib pajak atau
penanggung pajak, pengajuan banding ke Pengadilan Pajak perlu
dilakukan.
Upaya keberatan merupakan upaya hukum yang diajukan
oleh wajib pajak atau penanggung pajak sebagai akibat dari adanya
perbedaan penafsiran dan pendirian mengenai ketentuan hukum di
bidang pajak terhadap suatu kasus tertentu.32 Perbedaan ini terjadi
antara wajib pajak atau penanggung pajak dan Direktur Jenderal
Pajak dan jajarannya atas penetapan utang pajak untuk jenis Pajak
Pusat yang pengelolaannya menjadi kewenangan Direktorat Jenderal
Pajak. Perbedaan persepsi juga dapat terjadi antara wajib pajak dan
Kepada Daerah/Kepada Dinas Pendapatan Daerah dan jajarannya di
daerah (baik propinsi maupun kebupaten/kota) atas penetapan
besarnya utang pajak untuk pajak daerah. Atau dapat pula terjadi
perbedaan penafsiran antara wajib pajak dan Direktur Jenderal Bea
dan Cukai dan jajarannya atas penerapan bea masuk, bea keluar,
cukai, dan sanksi administrasi.
Pada hakikatnya, keberatan merupakan upaya hukum biasa
yang berada diluar Pengadilan Pajak yang diperuntukkan untuk
31 Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, PT
Gramedia, Jakarta, h. 27. (Selanjutnya disebut Sri Pudyatmoko I)
32 Ibid., h. 27.
31
memohon keadilan terhadap kerugian bagi wajib pajak.33 Oleh
karena wajib pajak tidak melakukan perbuatan hukum atau
melakukan perbuatan, tetapi terjadi pelanggaran hukum pajak.
Demikian pula terhadap pemotongan pajak atau pemungut pajak
dalam kerangka menegakkan hukum pajak ternyata melakukan
pelanggaran hukum pajak, karena tidak memenuhi kewajiban hukum
yang melekat pada dirinya sebagai pemotong pajak atau pemungut
pajak. Sebaliknya, pemotong pajak atau pemungut pajak berhak
mengajukan keberatan tatkala mengalami kerugian atas tindakan
hukum yang dilakukan oleh pejabat pajak dalam bentuk keberatan.
Keberatan bukan merupakan kewajiban melainkan hak yang
diberikan oleh hukum pajak kepada wajib pajak sebagai upaya untuk
mendapatkan atau memperoleh perlindungan hukum melalui
lembaga keberatan.34 Sebagai suatu hak, penggunaan keberatan
tergantung pada kehendak atau kemauan wajib pajak untuk
menggunakan atau tidak hak tersebut karena tidak ada sanksi hukum
yang boleh dikenakan bilamana tidak menggunakan upaya keberatan.
Keberatan tidak boleh disalahgunakan oleh wajib pajak
dalam kaitannya untuk memperoleh keadilan atas kerugian yang
dialaminya. Hal ini didasarkan bahwa penggunaan hak untuk
mengajukan keberatan, terlebih dahulu wajib diataati persyaratan
yang ditentukan oleh UU KUP karena undang-undang ini mengatur
33 Muhammad Djafar Saidi, Op.cit., h. 43.
34 Ibid., h. 44.
32
tentang substansi keberatan.35 Tujuannya agar penggunaan keberatan
oleh wajib pajak tepat pada sasarannya berupa memperoleh keadilan
dalam penyelesaian sengketa pajak, baik terhadap pajak negara
maupun pajak daerah. Dengan demikian, wajib diperhatikan dan
dipenuhi persyaratan pengajuan keberatan sehingga dapat dikabulkan
substansi tuntutan yang terkandung dalam keberatan yang dimaksud.
Ketika terjadi pelanggaran hukum pajak di bidang pajak
negara yang meliputi pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai
barang dan jasa, dan pajak penjualan atas barang mewah, keberatan
diajukan kepada direktur jenderal pajak. Dalam arti, direktur jenderal
pajak memiliki kewengan untuk memeriksa dan memutuskan
keberatan tersebut.36 Akan tetapi, kewenangan direktur jenderal
pajak telah dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk untuk
melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan, misalnya
kepala kantor wilayah atau kepala kantor pelayanan pajak. Kemudian
yang berhak mengajukan keberatan adalah wajib pajak. Hal ini
secara tegas diatur pada Pasal 25 ayat (1) UU KUP yang menegaskan
bahwa, wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada
Direktur Jenderal Pajak.
Keberatan sebagai upaya hukum biasa dalam hukum acara
peradilan pajak, tidak boleh diajukan kepada lembaga keberatan
ketika tidak mempunyai objek yang diperselisihkan. Keberadaan
35 Ibid.
36 Ibid.
33
objek keberatan memberikan legalitas terhadap pihak-pihak yang
bersengketa untuk dapat digunakan dalam kerangka memperoleh
keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum.37 Dasar hukum objek
sengketa bagi pajak negara diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU KUP
yang meliputi atas suatu,
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
e. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Pasal 25 ayat (1) UU KUP menegaskan, apabila wajib pajak
berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau
pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, wajib pajak dapat
mengajukan keberatan hanya kepada direktur jenderal pajak.
keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi ketetapan
pajak, yaitu:
a. Jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan
b. Jumlah besarnya pajak
c. Pemotongan pajak, atau
37 Ibid., h. 60.
34
d. Pemungutan pajak.
Hukum pajak memiliki karakteristik yang berbeda dengan
hukum lainnya, misalnya hukum administrasi maupun hukum
perdata. Walaupun berada dalam kapasitas sebagai hukum positif
yang mengikat para pihak yang bersengketa, baik diluar maupun
didalam lembaga peradilan berdasarkan kompetensi absolut masing-
masing. Karakteristik yang dimiliki hukum pajak tertuju pada pihak
yang bersengketa, baik pada lembaga keberatan maupun pada
pengadilan pajak. Hal ini didasarkan pada peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan yang memungkinkan terjadinya
karakteristik tersebut, tetapi tidak boleh dikategorikan sebagai
penyimpangan di bidang hukum pajak.38 Oleh karena itu, pihak yang
bersengketa kadangkala berada dalam identitas yang sama dalam
suatu sengketa pajak pada salah satu lembaga peradilan pajak, seperti
yang terjadi di lembaga keberatan.
2.1.3. Surat Ketetapan Pajak sebagai Dasar Upaya Hukum Keberatan
Sistem Perpajakan yang dianut oleh Indonesia dan telah
diundangkan adalah Self Asessment System, yang berarti suatu sistem
pemungutan pajak yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib
pajak untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri
pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Dengan demikian penentuan besarnya pajak
38 Ibid., h. 52.
35
yang terutang berada pada wajib pajak sendiri, sedangkan tugas
aparatur perpajakan adalah melaksanakan pengendalian tugas,
pembinaan, penelitian, pengawasan dan penetapan sanksi.39 Y. Sri
Pudyatmoko mengatakan bahwa sistem self assessment ini umumnya
diterapkan pada jenis pajak yang memandang wajib pajaknya cukup
mampu untuk diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan
menetapkan utang pajaknya sendiri.40
Dalam rangka penerimaan negara melalui pajak tentu saja
self assessment system harus diawasi agar wajib pajak menghitung
dan/atau melaporkan pajak yang terutang dengan benar dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itu ada
instumen berupa berkas yang digunakan untuk menghitung dan
menetapkan pajak tersebut. Intrumen yang dimaksud adalah Surat
Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan
untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek
pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban,
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.41
Setiap wajib pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam
bahasa Indonesia dan menandatangani serta menyampaikan ke
39 Djamaludidin Gede, 2002, Hukum Pajak, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta, h. 32.
40 Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Pengantar Hukum Pajak, Lembaga Penerbit Andi,
Yogyakarta, h. 145. (Selanjutnya disebut Sri Pudyatmoko II).
41 Ibid., h. 133.
36
kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat wajib pajak terdaftar atau
dikukuhkan. Sebagai salah satu bentuk diterapkannya self assement
system, dimana wajib pajak tidak lagi dilayani dan bersifat pasif,
melainkan sudah harus bersikap aktif, yang dalam hal ini bahkan
mengambil sendiri blanko SPT tersebut di tempat yang ditetapkan.
Blanko SPT yang telah diambil oleh wajib pajak itu harus diisi
dengan lengkap, jelas dan benar.
Setelah SPT diisi, wajib pajak menandatangani SPT tersebut
untuk kemudian menyampaikannya kembali ke Kantor Direktorat
Jenderal Pajak tempat wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan. SPT
yang sudah diisi dapat dikembalikan secara langsung oleh wajib
pajak atau disampaikan kembali melalui pos. kebenaran ini SPT
sangat penting karena merupakan dasar penetapan utang pajak dari
wajib pajak yang bersangkutan. oleh karena itu kesalahan dalam
pengisian SPT yang menimbulkan kerugian negara di dalam undang-
undang dianggap sebagai sebuah tindakan pidana.42
Untuk kepentingan tax compliance tersebut pemerintah
melakukan evaluasi SPT, setidaknya dalam hal:
a. Terdapat data dari pihak luar tentang ketidakbenaran SPT;
b. System score pengisian SPT mengindikasikan SPT tidak
benar;
42 Ibid., h. 136.
37
c. Berdasarkan bank data pemerintah (dalam hal ini Direktorat
Jenderal Pajak) menimbulkan pertanyaan bahwa SPT tidak
benar;
d. SPT menetapkan lebih bayar.
Terhadap SPT yang akan dilakukan penetapan jumlah pajak
yang terutang tersebut maka outputnya adalah surat ketetapan pajak
yang terdiri dari Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Tagihan Pajak.
Ketatapan pajak sebagai suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh
Direktur Jenderal Pajak selaku pejabat administrasi negara dapat
menimbulkan sengketa antara wajib pajak dan aparatur pajak, dan
salah satu upaya hukum yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan
sengketa ini adalah upaya hukum keberatan.
2.1.4. Prosedur Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian
Sengketa Pajak
Berikut adalah prosedur penyelesaian sengketa pajak melalui
upaya hukum keberatan sesuai dengan ketentuan PMK Nomor 9
Tahun 2013.
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada
Direktur Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat
Ketetapan Pajak Nihil, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau
38
Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib Pajak
hanya dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi dari surat
ketetapan pajak, yang meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak,
atau terhadap materi atau isi dari pemotongan atau pemungutan
pajak. Dalam hal terdapat alasan keberatan selain mengenai materi
atau isi dari surat ketetapan pajak atau pemotongan atau pemungutan
pajak, alasan tersebut tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian
keberatan. Keberatan diajukan oleh Wajib Pajak dengan
menyampaikan Surat Keberatan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) PMK Nomor 9 Tahun
2013, pengajuan keberatan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya,
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
2. Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak
yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut
penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang
menjadi dasar penghitungan;
3. 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan
pajak, untuk 1 (satu) pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu)
pemungutan pajak;
39
4. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat
ketetapan pajak diterbitkan; atau pemotongan atau pemungutan
pajak oleh pihak ketiga;
5. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal
Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat
Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang
KUP; dan
6. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 Undang-Undang KUP.
Pengajuan keberatan untuk Tahun Pajak 2008 dan
sesudahnya, memiliki ketentuan yang sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1), namun terdapat tambahan dimana Surat
Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat
Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan
tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP. Dalam hal
Surat Keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan tersebut, Wajib Pajak dapat
melakukan perbaikan atas Surat Keberatan tersebut dan
menyampaikan kembali sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7, Surat Keberatan yang tidak
40
memenuhi persyaratan tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan
Surat Keputusan Keberatan.
Wajib Pajak kemudian menyampaikan Surat Keberatan ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau
tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan yang dapat dilakukan:
1. Secara langsung
2. Melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
3. Melalui cara lain.
Sebelum menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, Direktur
Jenderal Pajak berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) meminta
Wajib Pajak untuk hadir guna memberikan keterangan atau
memperoleh penjelasan mengenai keberatan Wajib Pajak melalui
penyampaian Surat Pemberitahuan Untuk Hadir yang dilampiri
dengan pemberitahuan daftar hasil penelitian keberatan dan formulir
surat tanggapan hasil penelitian keberatan. Apabila Wajib Pajak
tidak menggunakan haknya untuk hadir maka sesuai dengan
ketentuan Pasal 15 ayat (4), Wajib Pajak dibuat berita acara
ketidakhadiran dan proses keberatan tetap diselesaikan tanpa
menunggu kehadiran Wajib Pajak.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12
(dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus
memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan. Keputusan atas
keberatan yang diajukan diterbitkan berdasarkan laporan penelitian
41
keberatan, yang dapat berupa mengabulkan seluruhnya,
mengabulkan sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah
pajak yang masih harus dibayar yang dituangkan dalam Surat
Keputusan Keberatan.
2.2. Tinjauan Umum tentang Sengketa Pajak dan Peradilan Pajak
2.2.1. Dasar Hukum Pengadilan Pajak
Pengadilan pajak berbeda dengan pengadilan lainnya. Banyak
perbedaan yang mendasar, misalnya administrasinya masih berada
dibawah kewenangan Departemen Keuangan, serta hakimnya pun
masih bersifat hakim ad hoc.43 Pengadilan pajak merupakan
pengadilan yang khusus bertugas menyelesaikan sengketa pajak yang
timbul dalam pelaksanaan undang-undang perpajakan, dengan
mengutamakan proses penyelesaian yang adil. Dalam melaksanakan
operasionalnya, pembentukan pengadilan pajak yaitu berdasar pada
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
UU Pengadilan Pajak mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP).
43 Ibid., h. 99.
42
UU Pengadilan Pajak dibentuk dan disusun berdasarkan
beberapa peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,
diantaranya:44
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang berarti
keberadaan Pengadilan Pajak tidak bisa keluar dari kerangka
pelaksanaan kehakiman bagi pencari keadilan di bidang
perpajakan termasuk bea dan cukai.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah
Agung. Digunakannya UU Mahkamah Agung sebagai landasan
pembentukkan Pengadilan Pajak menunjukkan bahwa Pengadilan
Pajak termasuk badan peradilan yang berada dalam pembinaan
dan pengawasan Mahkamah Agung sebagai instansi tertinggi
jajaran peradilan di Indonesia.
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah dan
ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pada
Pasal 27 UU KUP ini mengamanatkan dibentuknya Badan
Peradilan Pajak. UU KUP adalan undang-undang yang memuat
ketentuan-ketentuan formal dalam kaitannya dengan pelaksanaan
UU PPh dan UU PPn.
44 Ibid.
43
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994
tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 sebagaimana telah
diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2006 tentang Kepabeanan.
6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2007.
7. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah.
8. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.
9. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan.
Berdasarkan adanya landasan dari berbagai undang-undang
tersebut, maka tentunya cakupan operasional pekerjaan yang
dilakukan di Pengadilan Pajak bukan hanya masalah perpajakan saja,
namun juga dalam hal pajak pusat, pajak daerah, bea dan cukai dan
pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa. Dengan demikian
masyarakat yang menginginkan keadilan terkait dapat bersidang di
Pengadilan Pajak.
44
2.2.2. Pengertian Sengketa Pajak dan Peradilan Pajak
Dalam menjalankan kegiatan usaha (bisnis) sehari-hari, para
pengusaha tentu tidak terlepas dan pengawasan aparatur pemerintah
sesuai bidang usaha atau pekerjaannya masing-masing. Demikian
juga aparatur pajak (fiskus) tentu akan mengawasi semua pengusaha
(termasuk orang pribadi) khususnya pengawasan dalam rangka
pemeriksaan pajak guna menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya atau untuk tujuan lain
sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU KUP. Sebagai
produk akhir dari pemeriksaan tersebut, tentu akan diterbitkan surat
ketetapan pajak yang bisa berupa kondisi kurang bayar (Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar/SKPKB) atau kurang bayar tambahan
(Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan/SKPKBT), lebih
bayar (Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar/SKPLB) ataupun nihil
(Surat Ketetapan Pajak Nihil-SKPN). Dari ketiga kondisi ketetapan
pajak tersebut yang paling tidak disukai oleh wajib Pajak adalah
kondisi kurang bayar, karena Wajib Pajak harus membayar
kekurangan pembayaran pajak yang seharusnya terutang berdasarkan
hasil pemeriksaan yang dilakukan, padahal Wajib Pajak sudah
merasa benar ketika menyampaikan laporan perpajakannya setiap
bulan atau setiap tahun ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Surat ketetapan pajak yang kurang bayar inilah yang sering
kali menimbulkan sengketa atau perselisihan antara Wajib Pajak
45
dengan fiskus (aparatur pajak pemeriksa pajak). Namun, tidak
tertutup kemungkinan terbitnya SKPLB atau SKPN juga bisa
menimbulkan sengketa antara Wajib Pajak dengan fiskus. Hal ini
bisa terjadi apabila fiskus menertibkan SK.PLB dengan nilai lebih
kecil dan nilai SKPLB yang diharapkan Wajib Pajak.
Dengan demikian, maka upaya hukum untuk menyelesaikan
sengketa yang dapat dilakukan oleh wajib Pajak adalah keberatan,
banding, gugatan dan peninjauan kembali. Upaya hukum keberatan
atas ketetapan pajak diajukan ke Direktorat Jenderal pajak.
Sedangkan upaya hukum banding dan gugatan diajukan ke
Pengadilan Pajak. Khusus untuk upaya hukum Peninjauan Kembali
(PK) diajukan ke Mahkamah Agung.
Pengertian sengketa pajak diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU
Pengadilan Pajak bukan dalam UU KUP yang sebenarnya
merupakan payung hukum (kaderwet) bagi peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan. Adapun pengertian sengketa pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU Peradilan Pajak
adalah,
“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang
perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan
pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan
Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan,
termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan
Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”
46
Berdasarkan pengertian sengketa pajak tersebut, ternyata
hanya tertuju kepada upaya hukum banding dan upaya hukum
gugatan sebagai kewenangan absolut pengadilan pajak. Sengketa
pajak dalam bentuk banding dan gugatan hanya merupakan sengketa
pajak dalam arti sempit karena masih ada sengketa pajak yang tidak
termasuk didalamnya.45 Misalnya, sengketa pajak yang
penyelesaiannya melalui keberatan sebagai upaya hukum biasa.
Dengan demikian, sengketa pajak dalam arti luas meliputi sengketa
pajak yang diajukan dalam bentuk keberatan, banding, dan gugatan
pada lembaga peradilan pajak.
Muhammad Djafar Saidi memberi pengertian sengketa pajak
sebagai perselisihan antara pembayar pajak, pemotong pajak, atau
pemungut pajak dengan pejabat pajak, ataukah pembayar pajak
dengan pemotong pajak atau pemungut pajak.46 Sementara yang
menjadi objek sengketa pajak adalah penerapan undang-undang
pajak yang tidak sesuai dengan kaidah hukum pajak sehingga
menimbulkan kerugian, baik terhadap pembayar pajak, pemotong
pajak, atau pemungut pajak.
Mengenai timbulnya sengketa pajak, berintikan pada dua hal
yang sangat prinsipil.47 Pertama, tidak melakukan perbuatan hukum
sebagaimana yang diperintahkan oleh kaidah hukum pajak. Kedua,
45 Muhammad Djafar Saidi, Op.cit., h. 28.
46 Ibid., h. 29.
47 Ibid., h. 30.
47
melakukan perbuatan hukum, tetapi tidak sesuai dengan kaidah
hukum pajak. Pihak-phak yang terkait dengan timbulnya sengketa
pajak adalah wajib pajak, pemotong pajak atau pemungut pajak,
penanggung pajak, dan pejabat pajak. Pihak-pihak tersebut adalah
sumber timbulnya sengketa pajak karena kurangnya kesadaran
hukum dalam pelaksanaan atau penegakan hukum pajak.
Waktu berakhirnya sengketa pajak merupakan kajian hukum
pajak sebagai hukum positif. Sebenarnya sengketa pajak berakhir
ditentukan oleh instrumen hukum yang terdapat dalam hukum
pajak.48 Inisiatif untuk menyelesaikan sengketa pajak lebih besar
datang dari pejabat pajak dibandingkan dengan wajib pajak. Dalam
arti, wajib pajak hanya bersifat pasif sehingga pejabat pajak harus
berinisiatif melakukan penagihan pajak dengan menggunakan
instrumen hukum yang disediakan. Instrumen hukum pajak yang
dapat digunakan bagi pejabat pajak untuk menyelesaikan sengketa
pajak adalah:
1. Surat ketetapan pajak;
2. Surat ketetapan pajak kurang bayar;
3. Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan;
4. Surat ketetapan pajak lebih bayar;
5. Surat ketetapan pajak nihil;
6. Surat tagihan pajak;
48 Ibid., h. 37.
48
7. Surat paksa;
8. Surat keputusan keberatan;
9. Putusan banding;
10. Putusan gugatan; dan
11. Putusan peninjauan kembali.
Sengketa pajak tidak hanya boleh diselesaikan di luar
lembaga peradilan pajak, tetapi dapat pula dilakukan pada saat
berlangsungnya pemeriksaan sengketa pajak dalam lembaga
peradilan pajak.49 Hal ini disebabkan karena terdapat kaidah hukum
pajak yang membuka peluang untuk itu, tetapi bukan merupakan
perbuatan melanggar hukum pajak. Berakhirnya sengketa pajak
selama dalam pemeriksaan sebelum diputuskan melalui lembaga
peradilan pajak bukan merupakan pelanggaran hukum pajak, bahkan
menguntungkan dari aspek penegakkan hukum pajak. Oleh karena
tujuan penegakkan hukum pajak adalah menyelesaikan sengketa
pajak tanpa melakukan pelanggaran hukum pajak dan memberikan
perlindungan hukum kepada wajib pajak.50
Sengketa pajak mengenal adanya sengketa yang terjadi
karena menurut fiskus apa yang diberitahukan tidak sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan atau perhitungannya berseberangan
dengan ketentuan seperti yang telah diatur dalam akuntansi
perpajakan. Pelanggaran atau kesalahan tersebut dapat dibagi
49 Ibid., h. 39.
50 Ibid., h. 40.
49
menjadi dua kategori, sengketa yang terjadi karena pelanggaan atau
kesalahan formal, yaitu sengketa yang bersifat formal dan berkisar
kepada tidak dipatuhinya (sifat complience) tata laksana dan/ atau
adanya perbedaan penafsiran atas penerapan ketentuan-ketentuan
perundang-undang perjakan/kepabean atau cukai misalnya kesalahan
dasar hukum yang ditetapkan oleh Wajib Pajak atau pejabat
perpajakan, jangka waktu, belum dipenuhinya jumlah pembayaran
yang telah ditentukan atau wajib dibayar, hal ini sepanjang tidak ada
kerugian yang diderita negara. Sengketa karena kesalah atau
pelanggaran material, berkisar kepada materi yang disengketakan
dan atas pelanggaran ini dapat dikenakan sanksi administrasi berupa
denda dan kemungkinan atas pelanggaran yang dilakukan terjadi
kerugian negara. Misalnya, perbedaan antara jumlah yang
diberitahukan dan koreksi pajak atas dasar perhitungan fiskus atau
terbit nota pembetulan atas Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka
Impor yang harus dibayar, pengenaan nilai pabean yang terlalu
tinggi/rendah, dan kesalahan penrapan klasifikasi barang yang
menyebabkan bea masuk yang hams dibayar masih kurang.
Salah satu perangkat hukum yang memberi jaminan
perlindungan hukum atas hak-hak wajib pajak adalah Badan
Peradilan Pajak. Untuk memudahkan pemahaman tentang peradilan
pajak, terlebih dahulu akan diberikan definisi tentang peradilan.
Menurut Apeldoorn, peradilan ialah memutuskan perselisihan oleh
50
suatu instansi yang tidak mempunyai kepentingan dalam perkara
maupun tidak merupakan bagian dari pihak yang berselisih, tetapi
berdiri sendiri diatas perkara, dan menyelesaikan pokok perselisihan
dibawah suatu peraturan umum.51 Sedangkan peradilan pajak adalah
implementasi acara prosedur, proses dan sistem kegiatan pengadilan
dalam memutus kasus perpajakan dan konsekuensi hukumnya.52
Berdasarkan pengertian peradilan dari ahli hukum dan unsur-unsur
dari suatu peradilan diatas dapat disimpulkan bahwa, pengertian
peradilan pajak dalam arti luas adalah suatu proses penyelesaian
semua bentuk sengketa pajak, baik oleh pejabat administrasi pajak
maupun oleh badan peradilan pajak yang independen, yang
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. Merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh negara dalam arti
sistem dengan wadah atau tempat yang bernama pengadilan;53
2. Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum,
seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah,
dan sebagainya khususnya di bidang hukum pajak;
3. Adanya suatu perselisihan hukum pajak yang nyata, seperti
keberatan terhadap Surat Ketetapan Kurang Bayar, pemotongan
atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
51 Rochmat Soemitro, 1964, Masalah Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di
Indonesia, Eresco, Bandung, h. 6.
52 Bahari U, 2001, Pengantar Hukum Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.165.
53 Sudarsono, 1992, Kamus Hukum, Cetakan I, Rineka Cipta, Jakarta, h. 349.
51
peraturan perundang-undangan perpajakan dan atas pelaksanaan
undang-undang penagihan berdasarkan Undang-Undang
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa;
4. Ada sekurang-kurangnya dua pihak yang bersengketa, seperti
wajib pajak melawan Direktur Jenderal Pajak mengenai pajak-
pajak pusat atau wajib pajak melawan Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I mengenai pajak-pajak daerah.
5. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan
perselisihan, yaitu badan peradilan pajak yang mempunyai
wewenang memutus perselisihan-perselisihan di bidang
perpajakan.
Sedangkan dalam arti sempit, peradilan pajak adalah proses
penyelesaian sengketa pajak oleh badan peradilan pajak yang
independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Selama ini
badan peradilan pajak telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan
bentuk dan kewenangan dalam menyelesaikan sengketa pajak, yaitu:
1. Majelis Pertimbangan Pajak (1915 s/d 1997), yang mempunyai
kewenangan dalam hal banding pajak;
2. Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (1997 s/d 2001), yang
mempunyai kewenangan banding pajak dan gugatan pelaksanaan
penagihan pajak;
52
3. Pengadilan Pajak (2002), yang mempunyai kewenangan banding
pajak, gugatan pelaksanaan penagihan pajak, dan gugatan
pelaksanaan keputusan perpajakan.
Kemudian Rochmat soemitro merumuskan bahwa peradilan
pajak sebagai suatu proses dalam hukum pajak yang bermaksud
memberi keadilan dalam sengketa pajak baik kepada wajib pajak
maupun kepada pemungut pajak (pemerintah) sesuai ketentuan
undang-undang, dimana proses itu merupakan rangkaian perbuatan
yang harus dilakukan oleh wajib pajak atau pemungut pajak
dihadapan suatu instansi (administrasi atau pengadilan) yang
berwenang mengambil keputusan untuk mengakhiri sengketa.54
Peradilan pajak di Indonesia merupakan peradilan administrasi yang
bersifat khusus di bidang perpajakan. Suatu peradilan dikatakan
sebagai peradilan administrasi jika memenuhi unsur-unsur, yaitu
salah satu pihak yang berselisih harus administrator (pejabat
administrasi), yang menjadi terikat karena perbuatan salah seorang
pejabat dalam batas wewenangnya, dan terhadap persoalan yang
diajukan diberlakukan hukum publik atau hukum administrasi.55
Peradilan administrasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu peradilan
administrasi murni dan peradilan administrasi tidak murni.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, peradilan pajak
54 Dewi Kania Sugiharti, 2005, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, Cetakan1,
Refika Aditama, Bandung, h. 4.
55 Bachasan Mustafa, 1979, Pokok-pokok Administrasi Negara, Alumni, Bandung, h. 114.
53
di Indonesia meliputi, peradilan administrasi murni maupun
peradilan administrasi tidak murni, yaitu:
1. Peradilan administrasi murni, seperti penyelesaian sengketa pajak
(dulu) oleh majelis Pertimbangan Pajak (1915 s/d 1997) dan
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (1997 s/d 2001), dan
(sekarang) oleh Pengadilan Pajak (2002).
2. Peradilan administrasi tidak murni, seperti pembetulan dan atau
pembatalan ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak (Pasal
16 UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara perpajakan).
Seperti umumnya diketahui, sebuah institusi pengadilan
mempunyai kompetensi (kewenangan mengadili) absolut. Dalam
kaitannya dengan kompetensi absolut Pengadilan Pajak, UU
Pengadilan Pajak mengatur hal ini dalam dua pasal, yakni Pasal 31
dan Pasal 32. Disamping menangani banding dan gugatan seperti
diatas, yang juga menjadi kewenangan absolut Pengadilan Pajak
adalah melakukan pengawasan terhadap kuasa hukum yang
memberikan bantuan hukum kepada para pihak yang bersengketa di
Pengadilan Pajak. Hal yang seperti ini tidak diatur dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan juga tidak diatur dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Inilah yang
menjadi kekhususan dari Pengadilan Pajak.
54
Berbeda dengan kompetensi absolut yang menghadapkan
kewenangan mengadili dari suatu pengadilan dengan kewenangan
mengadili dari pengadilan dari lingkungan peradilan lain, maka
kompetensi relatif menyangkut kewenangan mengadili suatu
lembagaa pengadilan terhadap kewenangan mengadili pengadilan
dari lingkungan peradilan yang sama dengan wilayah hukum yang
berbeda. Dalam kaitan dengan hal tersebut, kedudukan dan wilayah
hukum dari sebuah lembaga pengadilan memegang peranan yang
sangat penting. Untuk pengadilan pajak sendiri mengenai hal ini
diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU Pengadilan Pajak. Dari
ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa kedudukan Pengadilan Pajak
adalah di ibukota Negara (Jakarta). Dengan demikian tidak ada
Pengadilan Pajak di daerah. Pengadilan Pajak tidak mengenal sistem
pengadilan tingkat I dan pengadilan banding. Hal tersebut secara
eksplisit diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UU Pengadilan Pajak yang
menjelaskan bahwa Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat
pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak.
Sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan atas
sengketa pajak hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak. Oleh
karenanya putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan gugatan ke
Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, atau Badan
Peradilan lainnya, kecuali putusan berupa “tidak dapat diterima”
yang menyangkut kewenangan/kompetensi. Hanya saja memang ada
55
kemungkinan bagi sengketa pajak tertentu untuk diajukan upaya
hukum luar biasa untuk upaya peninjauan kembali oleh Mahkamah
Agung.
2.2.3. Fungsi dan Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak
Pasal 2 UU Pengadilan Pajak menyatakan bahwa, Pengadilan
Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung jawab yang mencari
keadilan dalam sengketa pajak. Pengadilan Pajak juga merupakan
suatu badan peradilan tingkat banding yang berfungsi khusus
menyelesaikan perkara atau sengketa di bidang perpajakan dalam
kerangka pelaksaan kekuasaan kehakiman.56
Pengadilan Pajak merupakan lembaga peradilan yang berada
dibawah Mahkamah Agung, namun administrasinya dilakukan oleh
Departemen Keuangan. Keterkaitan operasional dengan Mahkamah
Agung diatur dalam Pasal 5 UU Pengadilan Pajak, dimana
pembinaan teknis bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah
Agung. Hal ini menunjukkan bahwa Pengadilan Pajak adalah sebuah
peradilan di bidang perpajakan yang telah memenuhi persyaratan
untuk disebut sebagai peradilan murni tidak seperti badan peradilan
pajak yang sebelumnya.
Fungsi yang dilakukan Pengadilan Pajak adalah untuk
bertindak sebagai institusi yang dapat melindungi kepentingan wajib
56 Fidel, Op.cit., h. 100.
56
pajak terhadap kesewenangan Direktorat Jenderal Pajak khususnya
dan pihak pemerintah pada umumnya.57 Dengan demikian pengertian
pelaksanaan pekerjaan yang di emban Pengadilan Pajak sangatlah
luas. Di Indonesia tempat kedudukan Pengadilan Pajak berada di
Jakarta. Namun, dikarenakan banding masalah perpajakan, bea cukai
begitu banyak, maka pelaksanaan persidangan Pengadilan Pajak itu
dapat dilakukan di daerah, misalnya di Yogyakarta maupun di
Makassar.
2.2.4. Tugas dan Wewenang Pengadilan Pajak
Pengadilan Pajak mempunya tugas dan wewenang
memeriksa dan memutus sengketa pajak yang timbul dalam bidang
perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat
pajak yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
yang dapat diajukan banding kepada pengadilan pajak berdasarkan
undang-undang perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan
penagih berdasarkan undang-undang penagihan pajak dengan surat
pajak.
Dalam sengketa pajak yang dijadikan objek pemeriksaan
adalah sengketa yang dikemukakan pemohon banding dalam
permohonan keberatan yang seharusnya diperhitungkan dan
diputuskan dalam keputusan keberatan. Selain itu pengadilan pajak
dapat pula memeriksa dan memutus permohonan banding atau
57 Ibid.
57
keputusan/ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang
sepanjang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait,
dengan demikian dalam hal banding, pengadilan pajak hanya
memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang.
Disisi lain yaitu mengenai gugatan, pengadilan pajak
memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak
atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(2) UU KUP yang mengatur masalah diajukannya gugatan antara
lain yaitu gugatan wajib pajak atau penanggung pajak terhadap
pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan
(SPMP) atau pengumuman lelang, keputusan pembetulan yang
berkaitan dengan surat tagihan pajak (Pasal 16 UU KUP) dan lain
sebagainya, dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.
Kewenangan Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam
Pasal 31 dan Pasal 32 UU Pengadilan Pajak, yaitu:
1. Dalam hal banding Pengadilan Pajak hanya berwenang
memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan yang
dikeluarkan oleh Dirjen Pajak, kecuali ditentukan lain oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu,
Pengadilan Pajak dapat pula memeriksa dan memutus
permohonan banding atas keputusan/ketetapan yang diterbitkan
58
oleh pejabat yang berwenang sepanjang peraturan perundang-
undangan yang terkait mengatur demikian, sebagaimana
dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 31 Ayat (2) UU Pengadilan
Pajak;
2. Dalam hal gugatan, Pengadilan Pajak berwenang memeriksa dan
memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak, atau
keputusan pembetulan, atau keputusan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) UU KUP; dan
3. Pengadilan Pajak berwenang mengawasi kuasa hukum yang
memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang
bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak.
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 dan Pasal 32 UU Pengadilan
Pajak di atas dapat disimpulkan bahwa, kewenangan Pengadilan
Pajak meliputi kewenangan dalam penyelesaian sengketa pajak
(yaitu berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak
dalam hal banding dan gugatan) dan kewenangan dalam mengawasi
kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak
yang bersengketa pada Pengadilan Pajak.
Selanjutnya dalam hal hal gugatan, menurut Pasal 31 Ayat
(3) UU Pengadilan Pajak disebutkan bahwa Pengadilan Pajak
berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa atas
pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau
keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2)
59
UU KUP dan keputusan lainnya menurut peraturan perpajakan yang
berlaku. Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
Ayat (2) UU KUP yang dapat menjadi obyek sengketa dalam hal
gugatan, yaitu:
1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
2. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
3. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan
perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 Ayat (1) dan
Pasal 26; dan
4. Penerbitan surat ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan
yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata
cara yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan
perpajakan.