bab ii tinjauan umum tentang wanprestasi dan … ii.pdf · 1abdul r saliman, 2004, esensi hukum...

21
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN PERJANJIAN KONSINYASI 2.1 Wanprestasi 2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Wanprestasi Perkataan wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda yang artinya prestasi buruk. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. 1 Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan. Istilah mengenai wanprestasi ini terdapat di berbagai istilah yaitu ingkar janji, cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya. Dengan adanya bermacam-macaam istilah mengenai wanprestsi ini, telah menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestasi”. Ada beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi pendapat tentang pengertian mengenai wanprestasi tersebut. Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu 1 Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15.

Upload: dokhuong

Post on 02-Feb-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN

PERJANJIAN KONSINYASI

2.1 Wanprestasi

2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Wanprestasi

Perkataan wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda yang artinya prestasi buruk.

Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan

kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan

debitur.1

Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih terdapat

bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat

untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan. Istilah mengenai wanprestasi ini

terdapat di berbagai istilah yaitu ingkar janji, cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya.

Dengan adanya bermacam-macaam istilah mengenai wanprestsi ini, telah menimbulkan

kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestasi”. Ada beberapa sarjana yang tetap

menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi pendapat tentang pengertian mengenai

wanprestasi tersebut.

Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi

didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu

1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15.

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

perjanjian. Barangkali dalam Bahasa Indonesia dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk

prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi.”2

R. Subekti mengemukakan bahwa “wanprestasi” itu adalah kelalaian atau kealpaan yang

dapat berupa 4 macam yaitu:3

1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.

2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana

yangdiperjanjikan.

3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat.

4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.

Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa apabila debitur “karena kesalahannya”

tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka debitur itu wanprestasi atau cidera janji. Kata

karena salahnya sangat penting, oleh karena debitur tidak melaksanakan prestasi yang

diperjanjikan sama sekali bukan karena salahnya.4

Menurut J Satrio, wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi

janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan

kepadanya.5

Yahya Harahap mendefinisikan wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak

tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurutselayaknya. Sehingga menimbulkan keharusan

bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau

2 Wirjono Prodjodikoro, 1999, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, h.17.

3 R.Subekti, 1970, Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua,Pembimbing Masa, Jakarta, ( selanjutnya di tulis R.

Subekti 1 ), h. 50. 4 R. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, Cetakan Keempat, Pembimbing Masa, Jakarta, ( selanjutnya di tulis

R. Subekti 2 ), h. 59.

5http://radityowisnu.blogspot.com/2012/06/wanprestasi-dan-ganti-rugi.html,diakses pada tanggal 06 April

2015, pukul 16.43 WITA.

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan

perjanjian.6

Hal ini mengakibatkan apabila salah satu pihak tidak memenuhi atau tidak melaksanakan

isi perjanjian yang telah mereka sepakati atau yang telah mereka buat maka yang telah

melanggar isi perjanjian tersebut telah melakukan perbuatan wanprestasi. Dari uraian tersebut di

atas dapat mengetahui maksud dari wanprestasi itu, yaitu pengertian yang mengatakan bahwa

seorang dikatakan melakukan wanprestasi bilamana “tidak memberikan prestasi sama sekali,

terlambat memberikan prestasi, melakukan prestasi tidak menurut ketentuan yang telah

ditetapkan dalam pejanjian”. Faktor waktu dalam suatu perjanjian adalah sangat penting, karena

dapat dikatakan bahwa pada umumnya dalam suatu perjanjian kedua belah pihak menginginkan

agar ketentuan perjanjian itu dapat terlaksana secepat mungkin, karena penentuan waktu

pelaksanaan perjanjian itu sangat penting untuk mengetahui tibanya waktu yang berkewajiban

untuk menepati janjinya atau melaksanakan suatu perjanjian yang telah disepakati.

Dengan demikian bahwa dalam setiap perjanjian prestasi merupakan suatu yang wajib

dipenuhi oleh debitur dalam setiap perjanjian. Prestasi merupakan isi dari suatu perjanjian,

apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian

maka dikatakan wanprestasi.

Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan

membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang

melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar

tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.

Dasar hukum wanprestasi yaitu:

6 Ibid.

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

Pasal 1238 KUHPerdata: “Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta

sejenis itu,atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini

mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Pasal 1243 KUHPerdata: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu

perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk

memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat

diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.

2.1.2 Bentuk – Bentuk Wanprestasi

Adapun bentuk – bentuk dari wanprestasi yaitu :7

a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur

tidak memenuhi prestasi sama sekali.

b. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap

memenuhi prestasi tetap tidak tepat waktunya.

c. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Debitur yang memenuhi prestasi Tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak

dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:8

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.

7 J. Satrio,1999, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, ( Selanjutnya di tulis J. Satrio 2 ), h.84.

8 Ibid.

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya.

3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang

- kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak

diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.

Menurut Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu

telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang

harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila

sudah ada somasi (ingebrekestelling). Adapun bentuk – bentuk somasi menurut Pasal 1238

KUHPerdata adalah:

1. Surat perintah.

Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan

surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat

– lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploitjuru Sita”.

2. Akta.

Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta Notaris.

3. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri.

Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya

wanprestasi.

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan

kewajibannya dapat dilakukan Secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian

dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut kepengadilan maka sebaiknya diberikan

peringatan secara tertulis.

Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur

melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fataltermijn),

prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.

2.1.3 Pengaturan Wanprestasi Dalam KUHPerdata

Pasal 1235 KUHPerdata:

“dalam tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termasuk kewajiban si berhutang

untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak

keluarga yang baik, sampai pada saat penyerahan.”

Penyerahan menurut Pasal 1235 KUHPerdata dapat berupa penyerahan nyata maupun

penyerahan yuridis.

Dalam hal ini debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya dan ada unsur

kelalaian dan salah, maka ada akibat hukum yang atas tuntutan dari kreditur bisa menimpa

debitur, sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata, juga

diatur pada Pasal1237 KUHPerdata.

Pasal 1236 KUHPerdata:

“si berhutang adalah wajib untuk memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berhutang,

apabila ia telah membawa didinya dalam keadaan tidak mampu menyerahkan bendanya, atau

telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya”.

Pasal 1243 KUHPerdata:

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai

diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap

melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau

dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.

Pasal 1236 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata berupa ganti rugi dalam arti:

1. Sebagai pengganti dari kewajiban prestasi perikatannya.

2. Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya atau disertai ganti rugi atas dasar cacat

tersembunyi.

3. Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita kreditur.

4. Tuntutan keduanya sekaligus baik kewajiban prestasi pokok maupun ganti rugi

keterlambatannya.

Pasal 1237 KUHPerdata:

“dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu

semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang. maka sejak debitur lalai,

maka resiko atas obyek perikatan menjadi tanggungan debitur.”

Pada umumnya ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah uang tertentu. Dalam hal

menentukan total, maka kreditur dapat meminta agar pemeriksaan perhitungan ganti rugi

dilakukan dengan suatu prosedur tersendiri yang diusulkan.Kalau debitur tidak memenuhi

kewajiban sebagaimana mestinya, maka debitur dapat dipersalahkan, maka kreditur berhak untuk

menuntut ganti rugi.

2.2 Perjanjian Konsinyasi

2.2.1 Pengertian Perjanjian

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

Dalam ilmu hukum yang kita pelajari menjelaskan bahwa suatu perjanjian dan perikatan

itu merujuk pada dua hal yang berbeda, perikatan ialah suatu hal yang lebih bersifat abstrak,

yang mana lebih menunjuk dalam hubungan hukum pada suatu harta kekayaan antara dua orang

ataupun dua pihak atau lebih. Perikatan lebih luas dari perjanjian, yang mana tiap-tiap perjanjian

adalah perikatan, tetapi perikatan belum tentu seuatu perjanjian. Dengan demikian berarti suatu

perjanjian ini juga akan melahirkan suatu hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta

kekayaan bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.9

Pada umumnya didalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, suatu perikatan itu

lahir dari suatu bentuk perjanjian yang di buat antara mereka yang saling mengikatkan diri dalam

perjanjian tersebut, dan tak dapat dipungkiri pula bahwa suatu perjanjian memiliki peran penting

dalam berkegiatan didalammasyarakat baik dibidang ekonomi, sosial maupun politik sekalipun.

Eksistensi sebuah perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat ditemukan landasannya

pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat dengan KUH

Perdata) yang menjelaskan bahwa: “ Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena

undang-undang”. Selain ketentuan diatas, juga terdapat Pasal lain yang menjelaskan terkait hal

diatas seperti pada Pasal 1313 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa: “Suatu persetujuan adalah

suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau

lebih”. Kemudian terdapat pula pengertian perjanjian menurut para sarjana, menurut Subekti,

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua

orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.10

Selain dari pengertian dari Subekti tadi,

terdapat pengertian dari seorang R.Setiawan yang menyatakan bahwa Persetujuan adalah suatu

9 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan yang lahir Dari Perjanjian, Ed. I, Cet.II, PT.

Raja Grafindo Persada,Jakarta, h.2.

10 R. Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, cet.21, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya di tulis R. Subekti 4), h.15.

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

perbuatan, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya

menyebutkan persetujuan sepihak saja, dan sangat luas karena dengan dipergunakan perkataan

perbuatan tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.11

Melalui beberapa pengertian terkait perjanjian tadi maka jelaslah bahwa memang suatu

perikatan lahir dari sebuah perjanjian atau persetujuan. Namun daripengertian perjanjian dalam

Pasal 1313 KUH Perdata diatas masih terdapat ketidakjelasan didalamnya, hal ini disebabkan

dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum

pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam

doktrin. Menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum

berdasarkan kata sepakat untu menimbulkan akibat hukum. Definisi ini, telah tampak adanya

asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).

Menurut Teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan

perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat

untuk menimbulkan akibat hukum. Dalam teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian

semata-mata, tetapi juga harus melihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. 12

Ada

tiga tahap dalam membuat perjanjian, menurut teori baru, yaitu :

a. Tahap Pra-Contractual, yaitu tahap terjadinya penawaran dan penerimaan.

b. Tahap Contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak,

c. Tahap Post-Contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

11

R.Setiawan, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, h.49. 12

Salim HS, 2014, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia (buku kesatu), Sinar Grafika,

Jakarta, (selanjutnya di tulis Salim HS 4) h. 15-16.

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

Kemudian muncul kembali pendapat dari para sarjana terkait pengertian perjanjian yaitu menurut

Charless L.Knapp dan Nathan M. Crystal mengatakan yaitu,

“contract is an agreement between two or more persons- not merely a shared belief, but common

understanding as to something that is to be done in the future by one or both of them” (Charless

L. Knapp dan Nathan M. Crystal, 1993: 2).

Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, tidak hanya memberikan

kepercayaan tetapi secara bersama-sama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa

mendatang oleh seseorang atau keduanya dari mereka.13

Sesungguhnya banyak sekali pendapat dan sumber yang memberi pengertian tentang

perjanjian itu sendiri, seperti dalam Black’s Law Dictionary, yang diartikan dengan “contract is

an agreement between two or more person which creates an obligation to do or not to do

particular thing.” Artinya kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, yang

mana kontrak itu menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu secara sebagian (Black’s Law Dictionary, 1979: 291).

Melalui beberapa penjelasan diatas menjelaskan beberapa pengertian tentang perjanjian

serta terkait perjanjian yang merupakan salah satu sumber dari perikatan menegaskan kembali

bahwa perjanjian melahirkan sebuah perikatan, sehingga menciptakan kewajiban pada salah satu

atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut. Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam

perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan

prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut.14

Jika ditelaah secara baik-baik pada Pasal 1313 KUH Perdata menjelaskan bahwa suatu

perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya pada orang lain, hal ini berarti dari

13

Ibid.

14 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h. 91.

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

sebuah perjanjian dapat menimbulkan suatu kewajiban atas suatu prestasi dari satu atau lebih

pihak kepada salah satu atau lebih pihak lainnya yang memiliki hak atas prestasi tersebut.

Dengan demikian dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan,

dengan kewajiban berprestasi yang saling bertimbal balik. Debitor disatu sisi menjadi kreditor

pada sisi yang lain juga pada saat yang bersamaan, dan ini merupakan suatu karakteristik khusus

dari perikatan yang lahir dari suatu perjanjian.

Dalam membuat ataupun melaksanakan suatu perjanjian tidak dapat dilakukan dengan

sembarangan, namun dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian patutnya kita

mengetahui asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian, adapun asas-asas umum hukum

dalam perjanjian tersebut antara lain:

a. Asas Kebebasan Berkontrak, asas ini memiliki landasan hukumnya pada Pasal 1338 ayat

1 KUH Perdata yang menyatakan “semua persetujuan yang dibuat secara sah, berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” yang juga menjelaskan bahwa

setiap orang bebas membuat perjanjian yang isisnya apa saja yang ia kehendaki.

b. Asas Konsensualitas, asas ini memiliki landasan hukumnya pada Pasal 1320 angka 1

yang dalam bunyi Pasalnya menyatakan salah satu sahnya suatu perjanjian jika adanya

kesepakatan antara mereka yang mengikatkan diri, hal ini dapat di artikan bahwa kata

sepakat berarti telah terjadi konsensus secara tulus tidak ada kekilapan, paksaan atau

penipuan (Pasal 1321 KUH Perdata).

c. Asas Kepercayaan, ketika seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain,

menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan

memenuhi prestasinya dikemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian

tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, para pihak

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat

sebagai undang-undang.15

d. Asas Kedudukan yang Sama atau Seimbang, asas ini dapat dikatakan memiliki dasar

hukumnya pada Pasal 1320 ayat 2 KUH Perdata yaitu “Kecakapan untuk membuat

perjanjian”. Hal ini dijabarkan kembali dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu tentang

cakap dalam membuatsuatu perjanjian oleh orang yang sudah dewasa menurut Pasal

1330 KUH Perdata dan tidak berada dibawah pengampuan seperti pada Pasal 1433 KUH

Perdata. Karena apabila seseorang yang normal membuat perjanjian dengan orang yang

tidak normal dalam hal fisik maupun psikologis, berarti terjadi akan ketidakseimbangan

dimana kondisi orang yang secara fisik dan psikologis kuat berhadapan dengan orang

yang secara fisik dan psikologis lemah, jadi suatu perjanjian dapat dibuat apabila terdapat

suatu kedudukan yang seimbang diantara mereka yang akan mengikatkan diri dalam

perjnjian tersebut.

e. Asas Itikad Baik, asas ini dapat dilihat dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang

berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik ini

menyatakan bahwa sesungguhnya para pihak antara pihak kreditur dan pihak debitur

haruslah melaksanakan suatu perjanjian dengan dilandasi itikad baik didalamnya.

f. Asas Kepastian Hukum, bahwa pada Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan dalam suatu

perjanjian sebagai produk hukum haruslah memiliki suatu kepastian hukum, yang mana

kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya bahwa suatu perjanjian yaitu memiliki

kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

15

Mariam Darus Badrulzaman,dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung,

h.87.

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

g. Asas perjanjian mengikat para pihak, asas ini memiliki landasan hukum pada Pasal 1338

KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian berlaku (mengikat) sebagai undang-

undang, dan pada Pasal 1339 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian mengikat

juga untuk segala sesuatu karena sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan dan

kebiasaan. Secara umumnya suatu perjanjian akan bersifat mengikat para pihak yang ikut

dalam perjanjian tersebut untuk saling melaksanakan kewajibannya masing-masing

sesuai yang disepakati dalam perjanjian tersebut.16

Pada dasarnya asas-asas umum dalam hukum perjanjian tersebut udah sepatutnya digunakan

dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian.

Selain dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian dengan melihat beberapa asas-

asas umum dalam hukum perjanjian, juga suatu hal yang wajib di penuhi dalam melaksanakan

suatu perjanjian yaitu memperhatikan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.

Dalam ilmu hukum kontrak (Law Of Contract) di Amerika ditentukan adanya empat

syarat sahnya perjanjian, yaitu : (a).Adanya penawaran (offer) serta penerimaan (acceptance),

(b). Adanya penyesuaian kehendak (meeting of minds), (c). Adanya prestasi (konsiderasi), dan

(d). Adanya kewenangan hukum para pihak (competent legal parties) dan pokok persoalan yang

sah (legal subjectmatter). 17

Sedangkan dalam hukum eropa kontinental seperti kita, syarat

sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menjelaskan terkait empat

syarat sahnya suatu perjanjian antara lain :

16

I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum

Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, h.49.

17

Salim HS, 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika Offset, Jakarta, (selanjutnya di

tulis Salim HS 5 ), h.161.

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

a. Adanya kesepakatan antara mereka yang mengikatkan dirinya, maksud dari kesepakatan

itu adalah terjadinya suatu persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih

dengan pihak lainnya.

b. Adanya kecakapan untuk membuat perikatan, maksud dari kecakapan disini adalah

kecakapan dalam bertindak yaitu kecakapan atau kemampuan untuk melakukan suatu

perbuatan hukum, perbuatan hukum itu sendiri adalah suatu perbuatan yang akan

menimbulkan akibat hukum. Jadi orang yang akan mengadakan suatu perjanjian adalah

harus orang yang sudah cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum

sebagaimana ditegaskan dan ditentukan pada KUH Perdata, disana dijelaskan bahwa

orang cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Untuk

ukuran kedewasaan seseorang itu sendiri juga dijelaskan yaitu berusia 21 tahun dan atau

sudah kawin (dijelaskan dalam Pasal 1330 KUH Perdata). Sedangkan orang yang tidak

berwenang melakukan perbuatan hukum yaitu : (1). Anak dibawah umur, (2). Orang yang

masih dibawah pengampuan, (3). Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang

ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang - undang

dilarang untuk membuat persetujuan tertentu (dijelaskan dalam Pasal 1330ca KUH

Perdata).

c. Adanya suatu persoalan atau obyek tertentu, maksudnya adalah dalam membuat dan

melaksanakan suatu perjanjian haruslah ditentukan suatu obyek atau persoalan yang jelas

yang akan diperjanjiakan di dalam perjanjian itu nantinya, obyek ataupun persoalan

tersebut biasanya berupa prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur

dan apa yang menjadi hak kreditur.18

18

Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty, h.36.

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

d. Adanya suatu sebab yang tidak terlarang atau sebab yang halal, memang tidaklah terdapat

penjelasan terkait suatu sebab yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun Hoge

Raad pada tahun 1927 memberi pengertian suatu sebab yang halal (orzaak) sebagai suatu

yang menjadi tujuan para pihak. Kemudian pengertian lebih lanjut terkait suatu sebab

yang halal dijelaskan pada Pasal 1335 hingga 1337 KUH Perdata, yang mana Pasal 1335

menjelaskan bahwa : “Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu

sebab yang palsu atau terlarang tidaklah mempunyai kekuatan hukum.”19

Untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi keempat syarat tersebut. Jika salah satu

syarat atau beberapa syarat bahkan semua syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian itu tidak sah.

Jadi, syarat sahnya suatu perjanjian berlaku secara komulatif, dan bukan limitatif.20

Sedangkan

dalam Pasal 1337 KUH Perdata pun disebutkan hal yang dilarang, Maksudnya suatu sebab yang

terlarang apabila bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Suatu perjanjian didalamnya terdiri atas subyek dan obyek perjanjian. Dalam hal ini akan

lebih membahas terkait subyek dari perjanjian itu sendiri, pada dasarnya subyek dari perjanjian

itu ialah seseorang atau pihak yang melaksanakan perjanjian tersebut. Yang mana didalam suatu

perjanjian pasti terjadi suatu hubungan hukum diantara para pihak dalam perjanjian tersebut

yaitu ada yang sebagai kreditur dan ada yang sebagai debitur. Seorang kreditur ialah seseorang

atau pihak yang berhak atas sesuatu (prestasi), sedangkan debitur ialah seseorang atau pihak

yang berkewajiban untuk memenuhi sesuatu (prestasi) yang diperjanjikan dalam perjanjian

tersebut. Suatu perjanjian tidak dapat dilakukandengan hanya satu subyek, melainkan perjanjian

19 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h.161

20 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, h.51

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

dapat dilakukan dengan adanya dua subyek atau lebih, karena jika hanya suatu pernyataan

sepihak saja tidak akan bisa menimbulkan suatu perjanjian.

Sesuai dengan yang telah dibahas sebelumnya bahwa dalam perjanjian terdapat subyek

dan obyek perjanjian, kini akan dibahas lebih dalam terkait obyek perjanjian itu sendiri, bahwa

sesungguhnya jika subyek dalam perjanjian itu ialah orang atau pihak yang melaksnakan

perjanjian, maka obyek dari perjanjian itu sendiri ialah hal yang diperjanjikan didalam suatu

perjanjian atau yang biasa dikenal dengan istilah prestasi. Yang mana dalam hal ini seorang

debiturberkewajiban memenuhi suatu prestasi dan seorang kreditur berhak atas prestasi tersebut.

Suatu prestasi dalam suatu perjanjian adalah dapat berupa barang dan jasa, maksud dari

jasa sebagai obyek perjanjian adalah dengan orang dapat menjual jasa mereka sebagai sesuatu

yang di perdagangkan, bukan hanya itu namun suatu sikap atau tindakan juga dapat dijadikan

sebagai obyek perjanjian. Namun dalam KUH Perdata hanya menyebutkan bahwa sikap pasif

dapat menjadi obyek perjanjian, yang prestasinya dapat berbentuk untuk tidak berbuat sesuatu,

begitu juga kebalikan dari sikap pasif yaitu aktif sama halnya dapat menjadi obyek perjanjian.21

Menurut salah seorang sarjana, Patrik Purwahid, untuk suatu sahnya perjanjian

diperlukannya syarat-syarat tertentu terkait obyek perjanjian itu antara lain:

a. Obyeknya haruslah tertentu atau ditentukan, adalah dalam Pasal 1320 sub 3 dijelaskan

bahwa obyeknya tertentu sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian.

b. Obyeknya haruslah memungkinkan untuk dilaksanakan atau dipenuhi, suatu obyek yang

diperjanjikan haruslah suatu hal yang memungkinkan untuk dilaksanakan atau dipenuhi,

karena jika suatu obyek perjanjian itu ialah suatu hal yang tidak mungkin atau mustahil

21

I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, h.33

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

untuk dilakukan atau dipenuhi dalam kondisi yang ditentukan maka obyek tersebut

tidaklah dapat dijadikan suatu obyek perjanjian.

c. Obyeknya tidaklah suatu yang dilarang (diperbolehkan), sesuai dengan Pasal 1335 Jo.

1337 KUH Perdata yaitu bahwa suatu perjanjian tidak memiliki kekuatan mengikat jika

obyeknya tidak asli atau palsu ataupun suatu hal terlarang. Dikatakan terlarang jika obyek

tersebut dilarang oleh undang-undang ,ataupun bertentangan dengan kesusilaan ataupun

ketertiban umum.

d. Obyeknya dapat dinilai dengan uang, maksudnya ialah sesuai dengan definisi yang

ditentukan untuk suatu perikatan ialah sesuatu yang berhubungan hukum yang

lingkupnya dalam harta kekayaan. 22

2.2.2. PengertianPerjanjian Konsinyasi

Dalam dunia perdagangan memang terdapat bermacam-macam kendala dan cara untuk

memperdagangkan sesuatu, pada kesehariannya jumlah calon pelanggan maupun pelanggan pada

suatu wilayah adalah berbeda dan terbatas adanya, banyak cara dalam meningkatkan

penjualannya, salah satunya dengan memperluas daerah pemasarannya,selain itu ada juga dengan

cara meningkatkan volume penjualan dengan sistem penjualan cicilan, konsinyasi, hingga agen

ataupun cabang. Pada kali ini akan membahas lebih kepada system konsinyasi khususnya pada

perjanjian konsinyasi.

Perjanjian konsinyasi adalah suatu bentuk perjanjian dimana salah satu pihak yang

memiliki sejumlah barang menyerahkan barang tersebut kepada pihak tertentu untuk dijualkan

dengan harga dan syarat yang telah diatur dalam suatu perjanjian. Dalam hal ini pihak atau orang

yang menyerahkan barang (pemilik barang) disebut sebagai konsinyor, sementara pihak atau

22 Patrik Purwahid, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, h.3-4.

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

orang yang menerima barang serahan dari pemilik tadi ialah disebut sebagai konsinyi. Dalam

proses ini barang yang dititipkan oleh konsinyor kepada konsinyi disebut barang konsinyasi.

Dalam kepustakaan hukum perjanjian, terdapat banyak pendapat yang membagi

perjanjian kedalam perjanjian bernama (Nominaat) dan perjanjian tidak bernama (Innominaat).

Yang dinamakan dengan perjanjian bernama adalah perjanjian khusus yang diatur dalam KUH

Perdata, mulai dari Bab V tentang Jual Beli sampai dengan Bab XVIII tentang Perdamaian,

sedangkan yang disebut dengan perjanjian tidak bernama adalah perjanian yang tidak diatur

dalam KUH Perdata. Dalam praktek dunia usaha ini dikenal adanya berbagai macam perjanjian

yang tidak dapat kita temukan dalam KUH Perdata, misalnya perjanjian mengenai sewa guna

usaha, hak opsi leasing, perjanjian titip jual (konsinyasi), bangun-pakai-serah, dan masih banyak

lagi.

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, bahwa pembagian perjanjian kedalam

perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernaman tidak banyak memberikan banyak arti, oleh

karena pembedaan tersebut pada hakekatnya tidak menyentuh pada konsep maupun suatu

konsepsi tertentu yang dapat dipergunakan secara konsisten.23

Dalam hal ini, suatu perjanjian konsinyasi termasuk dalam suatu perjanjian tidak

bernama, hal ini dikarenakan perjanjian konsinyasi ini muncul, tumbuh serta berkembang dalam

masyarakat itu sendiri dan juga belum dikenal didalam KUH Perdata, dan perjanjian konsinyasi

ini memiliki dasar berlakunya yaitu asas kebebasan berkontrak.24

Perjanjian konsinyasi ialah termasuk dalam jenis perjanjian Innominaat (tidak bernama)

dan jenis perjanjian innominaat ini memiliki pengaturan di dalam Buku III KUH Perdata. Di

23

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h.83 .

24 Salim HS, 2009, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cet.6, Sinar Grafika, Jakarta,

(selanjutnya di tulis Salim HS 6 ),h.28.

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

dalam buku III KUH Perdata, hanya ada satu Pasal yang mengatur tentang kontrak

innominaatini, yaitu pada Pasal1319 KUHPerdata yang berbunyi: “Semua perjanjian, baik yang

mempunyai nama khusus maupun tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada

peraturan umum yang termuat dalam Bab ini dan Bab yang lalu.”25

Dalam penjelasan ini tegas menjelaskan bahwa suatu perjanjian Innominaat walaupun

tidak dikenal atau tak bernama tetaplah harus tundukakan peraturan umum perjanjian dalam

KUH Perdata.

Pada dasarnya perjanjian titip jual yang dikenal dengan istilah perjanjian konsinyasi ini

memiliki dasar berlaku dalam KUH Perdata secara terpisah, yang mana perjanjian konsinyasi ini

memiliki unsur jual beli yang mengambil dasar pada Pasal1457-1460 KUHPerdata, dan juga

disertai dengan suatu bentuk perjanjian penitipan yang menggunakan dasar hukum pada Pasal

1694 -1739 KUHPerdata, dengan demikian suatu perjanjian konsinyasi juga memiliki unsur

essensialiayaitu pada perjanjian jual beli yang merupakan suatu persetujuan dimana penjual

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan kepada pembeli suatu barang sebagai milik dan

menjaminnya pembeli mengikatkan diri untuk membayar sesuai harga yang diperjanjikan

sebelumnnya.

2.2.3 Konsinyasi Sebagai Perjanjian Campuran

Perjanjian konsinyasi merupakan perjanjian penitipan barang yang disertai dengan

pemberian kuasa untuk menjual atas barang yang diserahkan oleh konsinyor kepada konsinyi.

Perjanjian yang demikian adalah perjanjian campuran. Definisi mengenai perjanjian campuran

25

Salim HS I, op.cit, h.5.

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

adalah sebagai berikut, perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai

perjanjian.26

Secara umum sengketa perjanjian campuran dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu

penyelesaian sengketa melalui jalur lembaga peradilan (litigasi), atau melalui jalur penyelesaian

di luar pengadilan (non-litigasi).27

Dasar hukumnya adalah Pasal 16 Undang-undang Nomor 4

Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa pengadilan tidak menutup

usaha menyelesaikan perkara perdata secara perdamaian. Adapun peraturan yang mempertegas

ketentuan tersebut adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa.

2.2.4 Pihak-pihak Dalam Perjanjian Konsinyasi

Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa suatu perjanjian

memiliki subyek dan obyek perjanjian, maka dalam hal ini perjanjian konsinyasi juga memiliki

pihak-pihak dalam perjanjian konsinyasi itu sendiri, yang mana pada umumnya subyek

perjanjian itu ialah dapat berupa manusia dan atau badan hukum, terdapat pihak-pihak yang

mengadakan suatu perjanjian adalah satu pihak yang berhak atas suatu prestasi dan satu pihak

lainnya adalah yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut. Di dalam perjanjian

konsinyasi dalam penjualan minuman beralkohol ini terdapat beberapa pihak-pihak yang menjadi

subyek hukum dalam perjanjian yang terdiri dari :

1. Aj Shop Sanur, yaitu perusahaan yang berkegiatan dalam pendistribusian dan penjualan

barang atau produk

26

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet I(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

2001), hlm. 69.

27 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum

Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Cet I(Denpasar: Udayana University Press, 2010), hlm. 1.

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN … II.pdf · 1Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15. ... pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum

2. Supplier yaitu perusahaan yang berkegiatan dalam hal pengadaan atau penyediaan barang

dan juga sebagai pemasok barang atau produk untuk Aj Shop Sanur.