bab ii - universitas negeri makassardigilib.unm.ac.id/files/disk1/4/universitas negeri... · web...
TRANSCRIPT
ISSN : 1858-330X
PEWILAYAHAN TIPE HUJAN DAN ZONA PRAKIRAAN IKLIM (ZPI)KABUPATEN BONE SULAWESI SELATAN
Nasrul, I., Wena AstykaJurusan Fisika Universitas Negeri Makassar
Abstrak
Telah dilakukan penelitian survey untuk mexmbuat pewilayahan tipe hujan dan zona prakiraan iklim di Kabupaten Bone. Penelitian ini menggunakan data curah hujan dasarian tahun 1976-2006 dari 26 pos hujan yang tersebar di kabupaten Bone. Data tersebut diperoleh dari stasiun Klimatologi Klas I Maros. Penelitian ini menggunakan metode clustering di mana tiap-tiap pos hujan dikelompokkan menurut jumlah curah hujan yang hampir sama, dan akan menjadi cluster lain ketika menunjukkan selisih curah hujan yang signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kabupaten Bone terdapat enam cluster di mana masing-masing cluster dibedakan berdasarkan jumlah curah hujan rata-rata dasarian. Pola curah hujan pada semua cluster adalah pola curah hujan lokal.
KATA KUNCI : Curah hujan, Tipe Hujan, Zona Iklim, Cluster, Dasarian
I. LATAR BELAKANG
Wilayah Indonesia umumnya mendapat
curah hujan yang melimpah pada saat monsun
barat terjadi, yaitu sekitar bulan Desember,
Januari, dan Februari, pada saat itulah dapat
dikatakan Indonesia sedang mengalami musim
hujan, dan sebaliknya akan mendapat sangat
sedikit curah hujan pada saat monsun timur
terjadi, yaitu sekitar bulan Juni, Juli, dan
Agustus, dan pada saat itu Indonesia sedang
mengalami musim kemarau. Pola hujan seperti
inilah yang disebut sebagai pola curah hujan
jenis monsun.
Bone merupakan salah satu kabupaten di
Sulawesi Selatan, termasuk dalam wilayah IV
BMG. Secara geografi, kabupaten Bone terletak
pada koordinat antara 4 °4’43” - 5°8’45” Lintang
Selatan dan 119°49’3” - 112°25’9” Bujur Timur,
di mana sebelah utara dibatasi oleh: kabupaten
Wajo dan Soppeng, sebelah selatan: kabupaten
Sinjai dan Gowa, sebelah barat: kabupaten
Maros, Pangkep dan Barru, dan sebelah timur:
teluk Bone.(www.sulsel.go.id)
Luas wilayah kabupaten ini adalah 4.559
km². Topografi wilayah keadaan alam terdiri dari
tiga dimensi, yaitu wilayah pegunungan dengan
ketinggian antara 150 m–350 m dari permukaan
laut, wilayah dataran rendah dan wilayah pantai.
Iklim wilayah kabupaten ini termasuk daerah
beriklim sedang dengan kelembaban udara
sekitar 95 % – 99 % , temperatur berkisar 26°C–
43°C. Pada periode April–September bertiup
angin timur yang membawa hujan, sedang
periode Oktober–Maret bertiup angin barat yang
bersifat kering. Rata-rata curah hujan tahunan
bervariasi, yaitu rata-rata 0-3000 mm.
(www.bppmd-sulsel.go.id)
Kajian berikut ini akan membahas tentang
karakteristik hujan, awal dan panjang musim,
serta bagaimana pola curah hujan di kabupaten
Bone.
II. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hujan
Cuaca adalah keadaan fisik atmosfer
pada suatu saat (waktu tertentu) di suatu
tempat, yang dalam waktu singkat (pendek)
berubah keadaannya, seperti panasnya,
kelembabannya, atau gerak udaranya.
Sedangkan iklim adalah keadaan atmosfer
dalam waktu yang lama (jangka panjang),
meliputi wilayah yang luas. Dewasa ini data dan
informasi iklim sangat berperan dalam
mendukung keberhasilan kegiatan berbagai
sektor, khususnya di sektor pertanian. Di daerah
tropis seperti Indonesia salah satu unsur iklim
JSPF Vol. 8, Januari 2009 | 57
ISSN : 1858-330X
yang sangat berperan adalah curah hujan
karena curah hujan merupakan unsur iklim yang
mempunyai variasi cukup tinggi dalam skala
ruang dan waktu.
Segala bentuk jatuhan dari langit
disebut hidrometeor. Hujan merupakan salah
satu unsur hidrometeor. Hujan didefinisikan
sebagai tetes dengan diameter lebih dari 0,5
mm, intensitasnya lebih dari 1,25 mm/jam. Tetes
hujan dapat mengurangi visibility (jarak
pandang) terutama hujan lebat. Jika diameter
tetes kurang dari 0,5 mm, tampak mengapung
mengikuti arus udara maka disebut virga,
intensitasnya kurang dari 1 mm/jam.
Curah hujan merupakan unsur iklim
yang sangat penting bagi kehidupan di bumi.
Curah hujan didefinisikan sebagai ketinggian air
hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar,
tidak menguap, tidak meresap, dan tidak
mengalir. Curah hujan kumulatif merupakan
jumlah hujan yang terkumpul dalam rentang
waktu kumulatif tersebut. Jumlah curah hujan
dicatat dalam inci atau milimeter (1 inci = 25,4
mm). Jumlah curah hujan 1 mm, menunjukkan
tinggi air hujan yang menutupi permukaan 1 mm
dengan catatan air tersebut tidak meresap ke
dalam tanah atau menguap ke atmosfer
(Tjasyono,2004:17).
a. Jenis hujanAda tiga jenis hujan, yaitu :
1. Hujan konvektif
Terjadi akibat adanya pemanasan radiasi
matahari, udara di permukaan akan memuai dan
naik ke atas. Udara yang naik ini terus
mengalami penurunan suhu, dan sampai
ketinggian tertentu mengalami kondensasi.
Gerakan vertikal udara lembab yang mengalami
kondensasi dengan cepat akan menghasilkan
hujan deras. Awan Cumulonimbus (Cb) yang
terjadi pada umumnya mencakup daerah yang
relatif kecil sehingga hujan deras berlangsung
dalam waktu singkat.
Gambar 1. proses terjadinya hujan konvektif (http://www.gov.mb.ca)
2. Hujan orografi
Gambar 2. proses terjadinya hujan orografi (http://coolweather.co.uk)
Jika gerakan udara melalui pegunungan
atau bukit yang tinggi, maka udara akan dipaksa
naik. Setelah terjadi kondensasi, tumbuh awan
pada lereng di atas angin (windward side) dan
hujannya disebut hujan orografik, sedang pada
lereng di bawah angin (leeward side) udara
yang turun akan mengalami pemanasan dengan
sifat kering, dan daerah ini disebut daerah
bayangan hujan.
3. Hujan konvergensi dan frontal
Jika ada konvergensi pada arus udara
horisontal dari massa udara yang besar dan
tebal, maka akan terjadi gerakan ke atas.
Kenaikan udara di daerah konvergensi dapat
menyebabkan pertumbuhan awan dan hujan.
JSPF Vol. 8, Januari 2009 | 58
ISSN : 1858-330X
Jika dua massa udara yang konvergen
horisontal mempunyai suhu dan massa jenis
berbeda, maka massa udara yang lebih panas
akan dipaksa naik di atas massa udara dingin.
Bidang batas antara kedua massa udara yang
berbeda sifat fisisnya disebut front.
b. Pola Curah HujanSeperti yang telah kita ketahui bahwa
distribusi curah hujan di Indonesia sangat
bervariasi dalam skala ruang dan waktu. Ini
disebabkan oleh faktor posisi geografis,
topografi, dan sirkulasi global di wilayah
Indonesia. Ditinjau dari pola distribusi curah
hujan di Indonesia, secara umum terdapat tiga
pola curah hujan, yaitu:
1. Pola curah hujan monsunal
Pola monsunal terjadi akibat adanya
sirkulasi global (monsun) yang berganti arah
rata-rata setiap enam bulan di wilayah Indonesia
yang dikenal dengan monsun barat dan monsun
timur. Musim hujan pada umumnya terjadi ketika
bertiup angin monsun barat, yaitu pada periode
Oktober sampai Maret dan musim kemarau
ketika bertiup angin monsun timur, yaitu pada
periode April sampai September. Namun secara
mikro di setiap daerah periode musim hujan dan
musim kemarau tidak selalu sama.
Karakteristik dari jenis ini adalah distribusi
curah hujan bulanan berbentuk V dengan jumlah
curah hujan minimum pada bulan Juni, Juli, atau
Agustus. Saat monsun barat jumlah curah hujan
berlimpah, sebaliknya saat monsun timur jumlah
curah hujan sangat sedikit. Monsun disebabkan
oleh adanya efek pemanasan yang berbeda
antara benua dan lautan di sekitarnya yang
berubah secara musiman. Pada musim panas,
benua mempunyai suhu lebih tinggi dari lautan
di sekitarnya dikarenakan sifat-sifat termalnya.
(Prawirowardoyo,1996:76)
2. Pola curah hujan equatorial
Pola equatorial berkaitan dengan
pergeseran matahari yang melintas equator dua
kali dalam setahun. Oleh karena itu pola
equatorial umumnya terdapat di daerah yang
terletak di sekitar equator. Pola equatorial
ditandai dengan terjadinya dua kali puncak
hujan dalam setahun, yaitu sekitar bulan
Maret/April dan September/Oktober.
Distribusi curah hujan bulanan
mempunyai dua maksimum. Jumlah curah hujan
maksimum terjadi setelah equinoks. Tempat di
daerah equator mempunyai pola curah hujan
jenis ini, yaitu sebagian besar Sumatera bagian
utara dan barat, sebagian Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah bagian utara, Kalimantan
Timur bagian utara, Sulawesi Tengah dan
Tenggara, sebagian besar Maluku, dan
sebagian besar Papua. Pengaruh monsun di
daerah equator kurang tegas dibandingkan
pengaruh insolasi pada waktu equinoks.
Equinoks adalah kedudukan matahari tepat di
atas equator, terjadi pada tanggal 21 Maret dan
23 September.
Gambar 3. gambar peredaran semu matahari
3. Pola curah hujan lokal
Pola lokal berkaitan dengan posisi
geografi dan topografi setempat. Distribusi curah
hujan bulanannya kebalikan dari jenis monsun,
yaitu bila daerah berpola monsun mengalami
musim hujan maka di daerah berpola lokal
mengalami musim kemarau dan sebaliknya.
Daerah yang berpola lokal mempunyai distribusi
curah hujan yang cukup tinggi atau sangat
rendah sepanjang tahun. Pola curah hujan jenis
lokal lebih banyak dipengaruhi oleh sifat lokal.
JSPF Vol. 8, Januari 2009 | 59
ISSN : 1858-330X
Daerah yang mempunyai jenis lokal meliputi
sepanjang pantai barat Sumatera, sebagian
besar Kalimantan Barat, sekitar daerah Bogor,
sebagian pantai selatan Jawa Barat, sekitar
Palu, dan bagian tengah Papua.
Pola curah hujan tersebut dapat
digunakan untuk menentukan awal dan panjang
musim wilayah. Musim didefinisikan sebagai
rentang waktu yang mengandung fenomena
(nilai suatu unsur cuaca) yang dominan atau
mencolok (kamus besar bahasa Indonesia),
contohnya musim hujan adalah rentang waktu
dimana hujan banyak terjadi.
2.2 Zona Prakiraan Iklim (ZPI)
Zona prakiraan iklim adalah daerah
yang pola hujan rata-ratanya memiliki
perbedaan yang jelas antara periode musim
kemarau dan musim hujan. Luas wilayah zona
prakiraan iklim tidak selalu sama dengan luas
suatu wilayah administrasi pemerintahan. Satu
wilayah Zona Prakiraan Iklim (ZPI) biasanya
terdiri dari beberapa kabupaten, dan sebaliknya
satu wilayah kabupaten bisa terdiri dari
beberapa ZPI. Dalam periode musim, rentang
waktu ZPI adalah rata-rata panjang musim pada
masing-masing ZPI.
2.3 Metode statistik cluster
Analisis cluster merupakan teknik
mereduksi informasi. Informasi dari sejumlah
objek akan direduksi menjadi sejumlah
kelompok, dimana jumlah kelompok lebih kecil
dari jumlah objek. Objek-objek yang sama
dikelompokkan dalam satu kelompok sehingga
mempunyai tingkat kesamaan yang tinggi
dibandingkan dengan objek dari kelompok lain.
Subash Sharma (1996), mendefinisikan
analisis cluster adalah cara untuk menyatukan
objek ke dalam kelompok atau grup dengan
alasan bahwa setiap kelompok homogen
mempunyai sifat yang sama atau setiap
kelompok berbeda dari kelompok lain,
pendefinisian kesamaan atau homogenitas
kelompok yang ada sangat bergantung kepada
tujuan studi atau penelitian.
Tujuan utama teknik ini adalah melakukan
pengelompokkan berdasarkan kriteria tertentu
sehingga objek-objek tersebut mempunyai
variasi di dalam cluster (within cluster) relatif
kecil dibandingkan variasi antar cluster (between
cluster).
Metode analisis cluster yang populer
adalah hierarchical method (metode hirarki) dan
non hierarchical method (metode non hirarki)
atau positioning method. Dalam metode hirarki
pembagian kelompok dilakukan berdasarkan
hirarki yang ada sehingga jumlah kelompok data
yang terbentuk sangat bergantung pada
karakteristik data, sedangkan pada metode non
hirarki berlawanan dengan metode hirarki yaitu
jumlah kelompok ditentukan dahulu baru
kemudian data dibagi sesuai dengan jumlah
kelompok yang telah ditetapkan. Penelitian ini
lebih sesuai dengan menggunakan metode
pengelompokan hierarchical method.
JSPF Vol. 8, Januari 2009 | 60
Gambar 4 Pola CHa. monsunalb. equatorialc. lokal
ISSN : 1858-330X
Bagaimana pengelompokan data curah
hujan dengan menggunakan metode cluster ini?
Dalam metode ini komponen utama dari seluruh
stasiun disusun dalam bentuk matriks sebagai
berikut:
Stasiun Data (dasarian) 1 2 3 ... n
12...K
Z11 Z12 Z13 ... Z1n Z21 Z22 Z23 ... Z2n
... ZK1 ZK2 ZK3 ... ZKn
Selanjutnya dipandang tiap baris
menyatakan vektor dalam ruang n, maka selisih
dua vektor menyatakan beda nilai komponen
utama dari kedua stasiun yang bersangkutan.
Beda tersebut dinyatakan dalam bentuk :
Di mana
dij : jarak euclid antara stasiun ke i
dengan stasiun ke j
Zi : sifat dari stasiun ke i
Zj : sifat dari stasiun ke j
k : sifat yang menjadi perhatian
n : banyaknya sifat
Untuk menentukan jarak antar sub-sub
kelompok digunakan dengan jarak terjauh atau
disebut dengan complete linkage dengan
notasi:
dengan
dG1G2 : jarak antara sub kelompok I (G1)
dengan sub kelompok II (G2)
max[dij]: jarak euclid maksimum antara stasiun
ke i dengan stasiun ke j
Penggabungan antar stasiun dilakukan
dengan menggabungkan stasiun yang satu
dengan stasiun yang lain yang mempunyai jarak
euclid terkecil. Penggabungan ini dilakukan
terus sampai didapat satu kelompok besar yang
berisi seluruh stasiun. Diagram yang
menunjukkan pengelompokan ini tergambar
dalam dendogram.
Untuk menentukan jumlah kelompok
optimum dapat dilihat dari jarak euclid. Jika jarak
euclid naik secara tajam maka proses
penggabungan dihentikan. Pada step inilah
jumlah optimum diperoleh. Proses
pengelompokan digunakan paket program
Statistika 5.7, modul cluster analysis, sub modul
Joining (tree clustering).
III. METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data curah hujan rata-rata dasarian
tahun 1976-2006 dari 26 pos pengamatan hujan
yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten
Bone. Data diperoleh dari Stasiun Klimatologi
Klas I Maros.
Gambar 5 peta jaringan pos hujan kabupaten
Bone
Pengolahan Data dilakukan dengan
menggunakan metode clustering yaitu
mengelompokkan pos-pos pengamatan hujan
yang mempunyai kesamaan pola curah hujan
dasarian ke dalam sub-sub kelompok.
Langkah-langkah pengerjaannya adalah
sebagai berikut :
JSPF Vol. 8, Januari 2009 | 61
ISSN : 1858-330X
1. data curah hujan semua tahun diolah ke
dalam bentuk curah hujan dasarian yaitu
jumlah curah hujan selama sepuluh hari
pertama (tanggal 1 - 10) disebut dasarian I,
sepuluh hari kedua (tanggal 11 – 20)
disebut dasarian II, dan sisanya sebagai
dasarian III dan dicari harga rata-ratanya
tiap dasarian. Hal ini dimaksudkan bahwa
untuk keperluan pertanian diperlukan
analisis yang lebih detail daripada
menggunakan data curah hujan bulanan.
2. Pengelompokan
Data rata-rata curah hujan dasarian semua
pos hujan diolah dengan menggunakan
software cluster analysis sub modul joining.
Grafik hasil pengelompokan ini disebut
dendogram. Kemudian pos-pos hujan
tersebut dikelompokkan menjadi beberapa
cluster. Jumlah cluster ditentukan dari
gambar plot jarak antar kelompok tipe hujan.
Jumlah kelompok optimum dilihat dari jarak
euclid masing-masing step. Jika jarak euclid
naik secara tajam maka proses
penggabungan dihentikan. Pada step inilah
jumlah optimum diperoleh. Sedangkan untuk
melihat anggota masing-masing cluster
dilihat dari dendogram dengan ketentuan
yang mempunyai jarak berdekatan
dikelompokkan menjadi satu cluster.
3. Pola curah hujan wilayah
Dari titik-titik pos hujan sebagai anggota
kelompok dibuat poligon yang menyatakan
daerah yang mempunyai pola hujan yang
sama. Pola curah hujan dasarian wilayah
diperoleh dengan menghitung rata-rata
curah hujan dasarian dari stasiun-stasiun
yang tergabung dalam satu poligon.
Sehingga pada step ini diperoleh rata-rata
curah hujan dasarian tiap kelompok.
4. Pemetaan wilayah hujan
Untuk memperoleh gambaran secara
spasial dilakukan pemetaan pos hujan ke
dalam peta sesuai dengan kategori
kelompoknya.
5. Awal dan panjang musim wilayah
Berdasarkan ketentuan yang dibuat oleh
BMG, awal musim hujan ditandai dengan
jumlah curah hujan dasarian telah lebih dari
50 mm dan diikuti minimal dua dasarian
berikutnya, sebaliknya awal musim kemarau
ditandai dengan jumlah curah hujan
dasarian kurang dari 50 mm dan diikuti
minimal dua dasarian berikutnya. Panjang
musim hujan adalah jumlah dasarian antara
awal musim hujan sampai dengan awal
musim kemarau berikutnya, sedangkan
panjang musim kemarau adalah jumlah
dasarian antara awal musim kemarau
sampai dengan awal musim hujan
berikutnya.
JSPF Vol. 8, Januari 2009 | 62
Data rata-rata curah hujan dasarian
Program cluster analisys
dendogram
Polygon
Pola curah hujan
Peta pembagian cluster
Awal dan panjang musim
analisa
ISSN : 1858-330X
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pengelompokan tipe hujan dilakukan
berdasarkan data rata-rata curah hujan dasarian
tahun 1976-2006 dengan menggunakan
software statistik cluster. Dendogram hasil
pengelompokan dari 26 pos hujan
menggunakan model clustering disajikan pada
gambar 6.
Gambar 6. Dendogram pengelompokan tipe hujan
Plot jarak antar kelompok tipe hujan
pada setiap langkah dari 26 pos hujan disajikan
pada gambar 7.
Gambar 7. plot jarak antar kelompok tipe hujan
Analisis ini menghasilkan 6 kelompok
tipe hujan di Kabupaten Bone. Grafik rata-rata
curah hujan dasarian pada keenam kelompok
tipe hujan tersebut disajikan pada tabel 1.
Peta pembagian cluster di kabupaten
Bone disajikan pada gambar 8.
Gambar 8. peta pembagian zona prakiraan iklim
Tabel 1 distribusi pos hujan dan karakteristik curah hujan rata-rata dasarian untuk setiap cluster
No. cluster
Nama pos hujan
Karakteristik curah hujan rata-rata
dasarian1 Amali Jumlah curah
hujan rata-rata dasarian maksimum 453 mm pada dasarian I Mei dan minimum 0 mm pada dasarian I dan II Agustus, I dan III September, I Oktober
2 Awangpone (AWGPONE), Bontocani (BTCANNI), BPP Lappariaja (LPP), dua Boccoe (BOCC), Palakka (PLK), Talungeng (TLGG), Selli, Unnyi
Jumlah curah hujan rata-rata dasarian maksimum 104 mm pada dasarian I Mei dan minimum 16 mm pada dasarian II Oktober.
3 BPP Kahu, Diperta Watangpone (WTGPONE),
Jumlah curah hujan rata-rata dasarian maksimum 145
JSPF Vol. 8, Januari 2009 | 63
ISSN : 1858-330X
Manera (MNR), PG Camming (PGCAM), Pattirobajo (PTBAJJO), Tonra
mm pada dasarian I Mei dan minimum 9 mm pada dasarian I Oktober.
4 Bake_Ale, Barebbo (BRB), Jaling, Lanca, PG. Arasoe (PG.ARS), Unra
Jumlah curah hujan rata-rata dasarian maksimum 163 mm pada dasarian I Mei dan minimum 25 mm pada dasarian II Oktober.
5 Mare, Pacciro (PCC), Pompanua (PPNUA), Ponre
Jumlah curah hujan rata-rata dasarian maksimum 218 mm pada dasarian III Mei dan minimum 4 mm pada dasarian III Agustus, dan dasarian I Oktober.
6 Biccoin (BCC) Jumlah curah hujan rata-rata dasarian maksimum 390 mm pada dasarian I Mei dan minimum 2 mm pada dasarian II September.
Berikut ini adalah rata-rata periode musim kemarau pada tiap cluster :
Tabel 2. rata-rata periode musim kemarau pada tiap cluster
Daerah cluster
Awal musim
Akhir musim
Panjang musim
(dasarian)
Jumlah curah hujan (mm)
Cluster 1
Juni III Maret III 28 629
Cluster 2
Agustus I
Februari I
November III
Maret I
124
281181
Cluster 3
Agustus I
Maret II 23 643
Cluster 4
September I
November I
7 40
Cluster 5
Juli I Maret III 27 538
Cluster 6
Juli II Januari I 18 473
Sedangkan rata-rata periode musim hujan pada tiap-tiap cluster disajikan dalam tabel berikut :
Tabel 3. rata-rata periode musim hujan pada tiap cluster
Daerah cluster
Awal musim
Akhir musim
Panjang musim
(dasarian)
Jumlah curah hujan (mm)
Cluster 1
April I Juni II 8 1020
Cluster 2
Desember IMaret III
Januari III
Juli III
614
3471059
Cluster 3
Maret III Juli III 13 1239
Cluster 4
November II
Agustus III
29 2526
Cluster 5
April I Juni III 9 864
Cluster 6
Januari II Juli I 18 2738
PEMBAHASAN Pengelompokan pos-pos hujan dan pemetaannya
Berdasarkan gambar plot jarak antar
kelompok tipe hujan tampak adanya enam
kenaikan jarak yang signifikan, sehingga di
kabupaten Bone terdapat enam
cluster/kelompok tipe hujan. Dari dendogra,
dapat diketahui pengelompokan pos-pos hujan
pada masing-masing cluster, seperti yang
tertera pada tabel 1.
Pada gambar 8 menunjukkan
pembagian zona prakiraan iklim di kabupaten
Bone. Cluster 1 terletak di bagian utara, cluster
2 terpisah menjadi empat bagian yang terletak di
sebelah utara, barat, timur, dan selatan, cluster
3 terbagi atas dua bagian yaitu di sebelah timur
dan selatan, cluster 4 terletak di bagian tengah
utara, cluster 5 ada tiga bagian yang terletak di
sebelah utara, barat, dan tengah timur, dan
cluster 6 terletak di bagian selatan kabupaten
Bone.
Pada hasil pemetaan ZPI, ada cluster yang
letaknya terpisah, ini dikarenakan adanya faktor
lokal yang cukup dominan yang turut
JSPF Vol. 8, Januari 2009 | 64
ISSN : 1858-330X
mempengaruhi distribusi curah hujan pada
daerah setempat, yaitu faktor topografi
setempat. Satu contoh, daerah yang terletak di
windward side mendapat curah hujan yang lebih
banyak daripada daerah leeward side.
Distribusi curah hujan rata-rata pada masing-masing cluster
Dari tabel 1. tampak bahwa distribusi
curah hujan rata-rata pada cluster 1, 5, dan 6
lebih tinggi daripada cluster 2, 3, dan 4. Daerah
yang terletak di daerah pantai mendapat curah
hujan yang cukup banyak karena adanya efek
pemanasan dari air laut, jenis hujannya adalah
hujan konvektif. Cluster 6 adalah daerah yang
mempunyai karakteristik ini. Sedang daerah
yang terletak dekat pegunungan, distribusi curah
hujan rata-ratanya juga cukup banyak karena
pengaruh orografi, jenis hujannya adalah hujan
orografi. Daerah yang mempunyai karakteristik
ini adalah cluster 1 dan cluster 5. Lain halnya
dengan cluster 2, 3, dan 4, daerah ini jumlah
curah hujan rata-ratanya lebih rendah. Ini
karena sebagian besar daerah cluster tersebut
terletak di daerah dataran rendah di mana
daerah dataran rendah mendapatkan sedikit
curah hujan.
Rata-rata periode musimDari tabel 2, rata-rata awal musim
kemarau paling cepat adalah pada dasarian III
Juni terjadi pada daerah cluster 1, diikuti oleh
daerah cluster 5 pada dasarian I Juli, cluster 6
pada dasarian II Juli, cluster 2 dan 3 pada
dasarian I Agustus, dan terakhir cluster 4 pada
dasarian I September.
Panjang musim kemarau dan jumlah
curah hujan pada musim kemarau bervariasi
pada masing-masing cluster.
Sedangkan berdasarkan tabel 3, rata-
rata awal musim hujan paling cepat adalah pada
daerah cluster 6 yaitu pada dasarian II Januari,
diikuti oleh daerah cluster 2 dan 3 pada dasarian
III Maret, cluster 1 dan 5 pada dasarian I April,
dan terakhir cluster 4 pada dasarian II
Nopember .
Panjang musim hujan bervariasi dengan
jumlah curah hujan rata-rata lebih dari 1000 mm,
kecuali pada daerah cluster 5.
Periode musim pada cluster 1
Dari grafik 1, tampak bahwa jumlah
curah hujan rata-rata kurang dari 50 mm terjadi
pada dasarian III Juni - dasarian III Maret
dengan curah hujan minimum terjadi pada bulan
Agustus - September. Sedang untuk jumlah
curah hujan rata-rata lebih dari 50 mm terjadi
pada dasarian I April - dasarian II Juni. Pola
curah hujannya adalah pola curah hujan lokal.
cluster1
0
100
200
300
400
500
1 6 11 16 21 26 31 36dasarian
jum
lah
cura
h hu
jan
Grafik 1. distribusi CH rerata dasarian cluster 1
Periode musim pada cluster 2
cluster 2
020
406080
100120
1 6 11 16 21 26 31 36
dasarian
jum
lah
cura
h hu
jan
Grafik 2. distribusi CH reta dasarian cluster 2
Dari grafik 2, tampak bahwa jumlah
curah hujan rata-rata kurang dari 50 mm terjadi
pada dasarian I Agustus - dasarian III November
dan dasarian I Februari - dasarian I Maret
JSPF Vol. 8, Januari 2009 | 65
ISSN : 1858-330X
dengan curah hujan minimum terjadi pada bulan
September - Oktober. Sedang untuk jumlah
curah hujan rata-rata lebih dari 50 mm terjadi
pada dasarian I Desember - dasarian III Januari
dan pada dasarian III Maret – dasarian III Juli.
Pola curah hujannya adalah pola curah hujan
lokal.
Periode musim pada cluster 3
Dari grafik 3, tampak bahwa jumlah
curah hujan rata-rata kurang dari 50 mm terjadi
pada dasarian I Agustus - dasarian II Maret
dengan curah hujan minimum terjadi pada bulan
Agustus - Oktober. Sedang untuk jumlah curah
hujan rata-rata lebih dari 50 mm terjadi pada
dasarian III Maret - dasarian II Juli. Pola curah
hujannya adalah pola curah hujan lokal.
cluster 3
050
100150200
1 6 11 16 21 26 31 36
dasarian
jum
lah
cura
h hu
jan
Grafik 3. distribusi CH rata-rata dasarian cluster 3
Periode musim pada cluster 4
cluster 4
0
50
100
150
200
1 6 11 16 21 26 31 36
dasarian
jum
lah
cura
h hu
jan
Grafik 4. distribusi CHrata-rata dasarian cluster 4
Dari grafik 4, tampak bahwa jumlah
curah hujan rata-rata kurang dari 50 mm terjadi
pada dasarian I September - dasarian I
November dengan curah hujan minimum terjadi
pada bulan September - Oktober. Sedang untuk
jumlah curah hujan rata-rata lebih dari 50 mm
terjadi pada dasarian II November - dasarian III
Agustus. Pola curah hujannya adalah pola curah
hujan lokal.
Periode musim pada cluster 5
Dari grafik 5, tampak bahwa jumlah curah
hujan rata-rata kurang dari 50 mm terjadi pada
dasarian I Juli - dasarian III Maret dengan curah
hujan minimum terjadi pada bulan Agustus -
September. Sedang untuk jumlah curah hujan
rata-rata lebih dari 50 mm terjadi pada dasarian
I April - dasarian III Juni. Pola curah hujannya
adalah pola curah hujan lokal.
cluster 5
0
50
100
150
200
250
1 6 11 16 21 26 31 36
dasarian
jum
lah
cura
h hu
jan
Grafik 5. distribusi CH rerata dasarian cluster 5
Periode musim pada cluster 6
cluster 6
0
100
200
300
400
1 6 11 16 21 26 31 36
dasarian
jum
lah
cura
h hu
jan
Grafik 6. distribusi CH rata-rata dasarian cluster 6
Dari grafik 6, tampak bahwa jumlah
curah hujan rata-rata kurang dari 50 mm terjadi
pada dasarian II Juli - dasarian I Januari dengan
JSPF Vol. 8, Januari 2009 | 66
ISSN : 1858-330X
curah hujan minimum terjadi pada bulan
Agustus - September. Sedang untuk jumlah
curah hujan rata-rata lebih dari 50 mm terjadi
pada dasarian II Januari - dasarian I Juli. Pola
curah hujannya adalah pola curah hujan lokal.
V. KESIMPULAN
1. Berdasarkan jumlah curah hujan rata-rata
dasarian tahun 1976-2006 dari 26 pos
hujan, peta pewilayahan tipe hujan di
kabupaten Bone menghasilkan enam
cluster, dimana masing-masing cluster
mempunyai distribusi curah hujan yang
berbeda.
2. Awal dan panjang musim hujan dan musim
kemarau di kabupaten Bone bervariasi
karena adanya pengaruh faktor lokal yang
cukup dominan.
3. Cluster 1 sampai cluster 6 mempunyai pola
curah hujan yang sama, yaitu pola curah
hujan lokal, di mana distribusi curah hujan
bulanannya kebalikan dari monsun.
Sehingga dapat dikatakan bahwa
kabupaten Bone mempunyai pola curah
hujan lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Hadiyanto, Soeroso. 2002. Penyiapan dan Pelayanan Informasi Iklim Badan Meteorologi dan Geofisika. BMG. Jakarta.
Prawirowardoyo, Susilo. 1996. Meteorologi. Penerbit ITB, Bandung.
Soedjono. 1979. Klimatologi Umum dan Dasar-Dasar Pengolahan Data. Balai Diklat Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Soepangkat. 1992. Pengantar Pengamatan Permukaan Meteorologi Jilid I. Balai Diklat Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.
Swinhoe, Paul. 2005. Orographic Rain and Rain Shadow. http://www.coolweather.co.uk/htdocs/meteorology.htm. Diakses tanggal: 15 Mei 2007.
Tjasyono, Bayong. 2004. Klimatologi. Bandung.
Wilks, Daniel S. 1995. Statistical Methods in the Atmospheric Sciences, An Introduction. Academic Press Inc.
JSPF Vol. 8, Januari 2009 | 67