bab ii zona maritim hukum laut internasional · a. sumber hukum laut internasional . sejarah hukum...
TRANSCRIPT
16
BAB II
ZONA MARITIM HUKUM LAUT INTERNASIONAL
Pada bab ini, penulis akan menghantarkan pembaca kepada konsekuensi
yuridis kemampuan negara untuk menguasai dan memiliki suatu wilayah laut dan
dan bagaimana perkembangan zona-zona maritim seperti laut teritorial dan zona
lanjutan, landas kontinen dan zona ekonomi ekslusif, dan laut lepas dan kawasan di
mana beberapa konsep baru seperti zona ekonomi eksklusif dan kawasan
merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam sejarah perkembangan hukum
laut internasional sebelumnya seperti Konvensi Den Haag tahun 1930 dan
Konvensi Hukum Laut tahun 1958. Penulis juga akan menerangkan kepada
pembaca secara konseptual yang juga menggunakan pendekatan yurisprudensi di
mana penulis akan menggunakan beberapa putusan internasional yang terkait
dengan perkembangan zona-zona maritim ini.
A. Sumber Hukum Laut Internasional
Sejarah hukum laut internasional mengalami perkembangan yang di mana ia
bertransformasi dari hukum yang tidak tertulis dan secara perlahan menjadi tertulis.
Kodifikasi hukum laut internasional modern berkembang secara gradual dan terjadi
secara bertahap dalam sejarah. Meski tidak berkembang secara spesifik oleh
negara-negara arkais, Roma dan Yunani kuno mengadopsi Rhodian Sea Law yang
pertama kali digunakan oleh bangsa Rhodia di Laut Aegea untuk mengatur
hubungan dagang bangsa Rhodia dengan bangsa lain. Meskipun telah terdapat
kodifikasi-kodifikasi yang mengatur hubungan keperdataan bagi setiap orang yang
memanfaatkan laut, seperti pelayaran dan penangkapan ikan, hal tersebut hanya
17
terjadi dalam aspek keperdataan dan tidak menjangkau esensi hak negara untuk
meletakkan hak wilayah teritorialnya di atas laut. Contoh kodifikasi hukum laut
yang dimaksud penulis tersebut adalah1:
1. The Basilika: kitab hukum maritim yang digunakan oleh Kekaisaran
Romawi Timur (baca: Byzantine) pada abad ketujuh.
2. The Assize of Jerusalem: Kitab hukum maritim yang diciptakan oleh
tentara salib yang menguasai Yerusalem. Tentara salib menciptakan kitab
ini karena membludaknya para pedagang dan pelaut yang datang
mengunjungi Yerusalem. Selain menyusun kitab tersebut, otorita tentara
salib juga mendirikan mahkamah kelautan untuk menangani sengketa
yang terjadi untuk urusan kemaritiman.
3. The Rolls of Oleron: Meski dirundungi ketidakjelasan mengenai asal
muasal kitab ini, para ahli memperkirakan bahwa kitab ini diciptakan pada
era Ratu Eleanor dari Aquitane pada tahun 1160. Kitab ini diciptakan
ketika perdagangan di bagian barat Perancis, tepatnya di pulau Oleron
yang berkembang menjadi pusat perdagangan pada abad ke-12. Selain
kitab tersebut, di sana juga diciptakan pengadilan untuk menyelesaikan
sengketa kemaritiman.
4. The Laws of Wisby: Kitab ini diciptakan oleh pada pedagang Saxon yang
terinspirasi dari The Rolls of Oleron pada abad ke-15.
5. The Hanseatic Code: Kitab ini disusun pada abad ke-17 oleh Liga
Hanseatic setelah pengaruhnya sudah berkurang karena kecemburuan
yang terjadi pada para anggotanya.
1 Colombos, op.cit, h. 31-36
18
6. The Black Book of the Admiralty: Kitab ini disusun di Inggris ketika Raja
Edward III dan secara berturut-turut dikerjakan pada era pemerintahan
Raja Richard II dan Henry IV. Kitab ini sendiri berisikan norma yang
mengatur hukum maritim yang berlaku di Inggris dan merupakan sumber
hukum acara bagi Mahkamah Kelautan Inggris pada saat itu.
7. Consolato del Mare: pada abad keempat belas, dunia mediterania memiliki
hukum maritimnya sendiri yang disusun pada abad keempat belas. Setelah
Kekaisaran Roma runtuh, industri dan perdagangan tumbuh dengan subur
di kota-kota seperti Marseilles, barcelona dan Valencia yang tumbuh
menjadi pusat perdagangan di dunia mediterania.
8. Guidon de la Mer: meski Consolato del Mare telah bertransformasi
menjadi hukum kebiasaan yang berlaku di dunia mediterania pada kurun
waktu abad keempatbelas sampai keenambelas, kodifikasi hukum lain
yang terinsiprasi dari Consolato del Mare ditulis di sebuah kota Perancis
yang dipisahkan oleh Sungai Seine di Normandy, Kitab ini disusun pada
era pemerintahan Raja Louis XIV pada tahun 1681.
Periode ini disebut oleh Colombos sebagai “The Period which marked the
development of maritime law by the adoption of private customary codes …”2 Pada
akhir abad ketujuhbelas, perang tigapuluh tahun berkecamuk di Eropa dan
meluluhlantakkan pengaruh religiusitas di dalam negara. Hal ini disimbolisasikan
dengan lahirnya Perjanjian Westphalia yang memposisikan negara sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi. Akibat hukum dari hal tersebut, dalam analisa
Colombos, mengakhiri tradisi hukum kebiasaan yang berlangsung di eropa selama
2 Ibid. h. 31
19
berabad-abad dan menyebut bahwa “the age of national legislation had begun,
resulting in an everincreasing amount of statutory law in all the principal maritime
nations.”3
Perkembangan hukum laut pada abad ke-16 sampai abad ke-19 ditunjukkan
oleh perseturuan oleh negara-negara eropa ketika isu laut teritorial dan kewenangan
negara di laut bebas (supra bab 2) ditanggapi secara individualistis dan usaha untuk
mencari sumber hukum tersebut terhalang oleh kesulitan-kesulitan baik dari dalam
maupun luar. Mochtar Kusumaatmadja mencatat periode ini dengan menyebut
bahwa “… dorongan yang menyebabkan negara-negara mengendaki kekuasaan
atas laut yang berbatasan dengan pantainya bersumber pada keinginan untuk
mengamankan kepentingan negara dan rakyatnya masing-masing.” 4
Ketiadaan norma hukum internasional ditambah dengan diskresi yang dilakukan
oleh negara-negara maritim untuk menyusun undang-undang kelautan sesuai
dengan kepentingannya sendiri menjadi alasan mengapa hukum laut tidak
berkembang dalam diskursus yang universal namun terjadi dalam hubungan
diplomatik dan hukum kebiasaan yang berlaku di antara negara-negara maritim.
Namun kesulitan-kesulitan untuk menyusun suatu norma hukum internasional
terjadi secara masif pada tahun 1930 ketika Liga Bangsa-bangsa mengadakan
Konferensi Hukum Internasional pada di Den Haag pada bulan maret tahun 1930
untuk membahasan isu-isu hukum internasional. Ada tiga isu utama yang dibawa
oleh konferensi ini, yaitu:
1) Kewarganegaraan (nationality)
3 Ibid. 4 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, 1986, Cetakan ketiga, Binacipta, Bandung,
h. 29
20
2) Perairan teritorial (territorial waters)
3) Tanggung jawab negara untuk kerugian yang ditumbulkan dalam
wilayahnya terhadap pribadi atau kekayaan orang asing (responsibility of
the states)5
Dalam konferensi ini, perdebatan yang terjadi seputar berapa lebar laut
teritorial yang daat dimiliki oleh negara mendapatkan porse yang sangat besar.
Beberapa perwakilan negara maritim mengajukan proposal supaya negara hanya
memiliki lebar laut teritorial selebar 3 mil laut atau 1 marine league dan tidak dapat
mengenakan zona tambahan atau contiguous zone yang bersebelahan dari zona laut
teritorial tersebut, yaitu Australia, Afrika Selatan, Amerika Serikat, Canada, Cina,
India, Inggris, Jepang, dan Belanda. Beberapa perwakilan negara lain menyetujui
lebar laut teritorial sebanyak 3 mil laut namun menghendaki agar adanya zona
tambahan agar negara pantai dapat memiliki kewenangan untuk menjaga wilayah
perairan teritorialnya seperti Belgia, Chile, Islandia, Irlandia, Perancis, Polandia,
dan Yunani. Selain proposal 3 mil laut sebagai lebar laut teritorial, perwakilan
negara lain mengajukan proposal agar negara pantai mendapatkan 4 mil laut seperti
Finlandia. Swedia dan Norwegia mengajukan lebar laut teritorial sebesar 4 mil laut
dengan zona tambahan. Brazil, Kolombia, Italia, Romania, Uruguay, dan
Yugoslavia menghendaki lebar laut teritorial sebesar 6 mil laut. Sebaliknya Kuba
Latvia, Portugal, Spanyol, dan Turki menginginkan lebar laut teritorial sebesar 6
mil laut dengan zona tambahan Pada akhirnya, konferensi tersebut tidak
mendapatkan hasil yang memuaskan karena ketidaksepahaman para pihak terhadap
lebar wilayah laut teritorial yang dapat dimiliki oleh negara pantai.6
5 Ibid, h. 54 6 Ibid, h. 56 & 58
21
Setelah kegagalan konferensi Den Haag pada tahun 1930, PBB menginisiasi
konferensi serupa pada tahun 1958 untuk menyusun kodifikasi hukum laut
internasional yang disebut sebagai Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958
(untuk selanjutnya akan disebut sebagai KHL 1958). Konferensi ini memiliki tujuan
yang sama seperti konferensi Den Haag 1930, yaitu untuk menyelesaikan isu-isu
laut teritorial, konsep zona tambahan, dan zona landas kontinen negara pantai.
Konferensi Hukum Laut Jenewa 1958 diadakan berdasarkan resolusi Majelis
Umum PBB No. 1105 (XI) tanggal 21 Februari 1957. Konferensi ini tidak hanya
ditugaskan untuk menyusun kodifikasi hukum laut dalam aspek hukumnya saja
melainkan juga mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan politik dari
pemanfaatan wilayah laut. Konferensi ini juga memiliki tugas untuk menyelesaikan
isu-isu hukum yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi yang masif di mana
teknologi kelautan dalam bidang penangkapan ikan dan pengeboran minyak sudah
mencapai tahap di mana negara pantai dapat mengeksploitasi sumber daya laut
hayati dan non-hayati dengan ambisius dan ditakutkan efek yang ditimbulkan dari
eksploitasi sumber daya laut hayati dan non-hayati secara tidak bijaksana akan
mengakibatkan efek jangka panjang bagi negara lain yang baik secara langsung
maupun tidak secara langsung terlibat dalam ekploitasi laut. 7 Mochtar
Kusumaatmadja menjelaskan bahwa pada hakikatnya isu ini merupakan isu
ekonomi seperti ia menyatakan
“Masalah yang timbul karena tarikan (tension) antara
bertambahnya kebutuhan umat manusia akan hasil laut dan
kemungkinan memenuhi kebutuhan tadi berkat kemajuan teknik
pada satu pihak dan terbatasnya laut sebagai sumber kekayaan
untuk memunuhi kebutuhan yang bertambah itu pada hakikatnya
merupakan masalah ekonomi.”8
7 Ibid, h. 110-111 8 Ibid, h. 113
22
KHL 1958 menghasilkan empat konvensi yang saling berhubungan satu sama
lain, yaitu:
a) the territorial sea and the contiguous zone;
b) the high seas;
c) fisheries and the preservation of the biological resources of the high seas;
d) the continental shelf.9
Selain empat konvensi ini, KHL 1958 juga mengadopsi sembilan resolusi tentang
‘nuclear experiment on the high seas’; ‘the polution of waters by radioactive
matters’; ‘the preservation of fisheries and the regime of “historical” waters.
Protokol mengenai obligatory settlement disputes juga telah disepakati dalam KHL
1958 dengan memberikan jurisdiksi kepada ICJ (International Court of Justice)
untuk menyelesaikan sengketa mengenai interpretasi dan penerapan Konvensi
Hukum Laut.10
Meskipun banyak sarjana yang menganggap bahwa KHL 1958 adalah sebuah
kegagalan, Harrison memiliki perspektif yang berbeda dengan menyatakan bahwa
“KHL 1958 had taken a significant step forward.”11 Harrison menyatakan bahwa
ketidaksepakatannya untuk memandang KHL 1958 secara skeptis dilatarbelakangi
oleh adanya suatu keadaan politik internasional pada kurun waktu 1960-an bahwa
dunia sedang mengalami proses dekolonisasi.12 Colombos menjelaskan bahwa ada
dua faktor penting yang menjadi alasan mengapa Konferensi ini tidak dapat
menemukan kesepakatan antar negara, yaitu lebar laut teritorial dan batasan
9 Parthiana, op.cit, h. 17 10 Colombos, op.cit, h. 23 11 James Harrison, Evolution of the Law of the Sea: Development in the Law-Making in the Wake of
the 1982 Law of the Sea Convention, Disertasi, University of Edinburgh, 2007, h. 24-25 12 Ibid, h. 26
23
penangkapan ikan.13 Odell melihat adanya suatu fenomena politik internasional
yang saling bertolak belakang mengenai alasan mengapa lebar wilayah laut yang
diklaim oleh negara pantai memiliki perbedaan yang diakibatkan oleh adanya faktor
hegemoni di atas laut.14 Kecenderungan tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan
negara-negara Amerika Latin seperti Chile dan Argentina yang mengklaim laut
teritorial selebar 200 mil laut yang dihitung dari garis pangkal mereka. Sementara
itu, negara dengan kekuatan maritim besar seperti Amerika dan Inggris menanggapi
lebar wilayah laut teritorial yang dapat dikuasai oleh negara pantai sebesar 3 mil
laut15. Hal ini terjadi karena adanya dua pola pikir yang berbeda yang melandasi
mengapa ada dua kutub yang sangat bertentangan ketika lebar wilayah laut teritorial
menjadi dibawa di panggung politik internasional. Inggris dan Amerika berbagi
tradisi hukum yang sama di mana Amerika membawa tradisi common law Inggris
sebagai sistem hukum Amerika. Colombos juga mengungkapkan hal tersebut
dengan menyebut bahwa Amerika memutuskan untuk mengadopsi kebiasaan yang
sama seperti Inggris telah lakukan pada abad ke-19 untuk menetapkan lebar wilayah
laut teritorial sebesar 3 mil laut. Pertanyaan yang menarik dari rasionalisasi seperti
apa yang membuat Inggris memilih 3 mil laut sebagai jarak lebar wilayah laut
teritorial? Justru adalah hal yang tidak rasional apabila negara tidak menetapkan
lebar wilayah laut teritorialnya selebar mungkin seperti yang dapat kita perhatikan
pada klaim yang dilaksanakan oleh Chile pada dekade 50’an. Seperti yang telah
13 Colombos, op.cit, h. 23 14 Rachel Esplin Odell, Maritime Hegemony and the Fiction of the Free Seas: Explaining State’
Claims to Maritime Jurisdiction¸ MIT Political Science Department Research Paper No. 2016-21,
h. 42-43 15 David C. Gompert, U.S and Chinese Interest and Sea Power in the Western Pacific, Rand
Corporation, 2013, h. 69 menekankan hal ini dengan menyatakan bahwa: “Obviously, sea power
figures importantly in U.S. strategic thinking, globally and in the Pacifc, as it has for a century.”
24
penulis ungkapkan pada bagian sebelumnya, doktrin 3 mil laut sebagai lebar
wilayah laut teritorial berkembang pada awal abad ke-19 untuk menanggulangi
klaim-klaim tidak logis yang dapat dilakukan oleh negara lain. Secara filosofis,
penetapan 3 mil laut sebagai lebar wilayah laut teritorial diambil dari principle of
protection di mana pengambilan jarak 3 mil tersebut adalah pengaplikasian jarak
tembar meriam yang kurang lebih berjarak 3 mil laut. Hal ini sangat jauh berbeda
ketika battle of books menjadi pusat perhatian dari diskursus hukum laut yang
notabene mengambil premsi secara metafisik—pendekatan yang digunakan oleh
Grotius dan Welwood—dan idealisme historis—seperti yang digunakan oleh
Selden dalam mare clausum. Dalam kurun waktu dua abad, pranata hukum laut
internasional mengalami perkembangan doktrinal dan praktikal yang sangat
eksplisit di mana pendekatan positivistisme mengambil alih filsafat keilmuan dan
juga turut mempengaruhi dasar filsafat hukum secara keseluruhan. Hal tersebut,
menurut penulis, turut mempengaruhi bagaimana pada abad ke-19 hingga awal
abad ke-20 usaha juris untuk merasionalkan karakter dan dasar hukum bagi klaim
negara untuk meletakkan wilayah teritorial di atas laut disusun.
Untuk mengatasi kegagalan KHL 1958 yang disebabkan oleh kepentingan
negara-negara yang saling bertabrakan satu sama lain, Majelis Umum PBB dengan
resolusi nomor 1307/XIII tangal 10 Desember 1958 meminta kepada Sekretaris
Jenderal PBB supaya memprakarsai penyelenggaraan konferensi hukum laut di
Jenewa yang kedua. 16 Untuk itu diselenggarakanlah Konferensi Hukum Laut
Jenewa kedua (untuk berikutnya akan disebut sebagai KHL 1982) pada tanggal 16
Maret – 26 April 1960 yang secara khusus membahas tentang lebar laut teritorial.
16 Parthiana, op.cit, h. 18
25
Akan tetapi konferensi ini pun tetap mengalami kegagalan sehingga status quo
masih tetap berlangsung.17
Kegagalan demi kegagalan yang melatarbelakangi usaha Komisi Hukum
Internasional PBB untuk mempositifkan hukum laut internasional yang selama ini
berjalan sebagai hukum yang tidak tertulis. Konferensi Hukum Laut III diadakan
berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 2750-C (XXV) tertanggal 17
Desember tahun 1970. 18 Resolusi tersebut mengukuhkan mandat yang telah
diberikan kepada UN Seabed Committee yang dibentuk pada tahun 1967 atas
proposal yang diajukan oleh Malta. UN Seabed Committee ditetapkan menjadi
panitia persiapan bagi suatu Konferensi Hukum Laut yang diadakan pada tahun
1973. Namun, UN Seabed Committee yang diberikan mandat untuk
menyelenggarakan Konvensi Hukum Laut Ketiga pada dasarnya hanya memiliki
agenda berupa penyelesaian isu sumber daya alam bawah laut di kawasan yang
mana berada di luar jurisdiksi negara pantai.19 Menyadari bahwa adanya desakan
dari banyak negara untuk membahas agenda-agenda, resolusi tersebut menyebutkan
bahwa ada perubahan agenda yang sangat substansial:
“[A] broad range of related issues including those concerning the
regimes of the high seas, the continental shelf, the territorial sea
(including the question of its breadth and the question of
international straits) and contiguous zone, fishing and
conservation of the living resources of the high seas (including
the question of the preferential rights of coastal states), the
preservation of the marine environment (including, inter alia, the
prevention of pollution) and scientific research.”
17 Ibid. 18 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia, 2014,
(cetakan kedua), Refika Aditama, Bandung, h. 11 19 H. Gary Knight, Issues before the Third United Nations Conference on the Law of the Sea, 34 La.
L. Rev., 1974, h. 163
26
Oleh karenanya, konferensi ini memiliki tujuh (7) persoalan yang akan dibahas,
yaitu:
1. Pengaturan hukum yang mengatur: “the are and the resources of the seabed
and ocean floor and the subsoil beyond the limits of national jurisdiction.”;
2. Ketentuan-ketentuan mengenai pengaturan laut lepas (high seas) ;
3. Landas Kontinen (Continental Shelf);
4. Laut Teritorial, termasuk masalah ebar laut teritorial dan masalah selat
internasional;
5. Perikanan dan perlindungan sumber daya hayati di laut lepas;
6. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (termasuk pencegahan
pencemaran); dan
7. Penelitian ilmiah kelautan.
Pada sesi pertama konferensi hukum laut ketiga di Caracas, Venezuela,
perbedaan pendapat menciptakan polarisasi kekuatan ekonomi antara negara maju
dengan negara berkembang. Perbedaan tersebut diciptakan oleh karena tingkat
perkembangan teknologi yang dimiliki oleh negara maju memungkinkan mereka
untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi yang efektif dan efesien di dasar laut.
Manifestasi kekuatan ekonomi yang begitu drastis membuat negara-negara
berkembang keberatan atas keinginan negara-negara maju untuk melakukan
pemanfaatan sumber daya alam di dasar laut yang nilai ekonomisnya sangat tinggi.
Meskipun begitu, Hashim Djalal memiliki perspektif lain yang menunjukkan
bahwa keinginan negara-negara maju untuk memanfaatkan mineral bawah laut
hanya akan meningkatkan tensi politik global yang tidak kondusif di mana bahan
tambang seperti apa yang begitu relevan dan bermanfaat bagi masyarakat dunia dan
27
khususnya negara berkembang? 20 Djalal menjelaskan adanya kebutuhan akan
nodul mangan yang menurutnya lebih bermanfaat bagi militer dari pada kebutuhan
primer negara pada dasarnya. Ia menyebut, “The manganese nodules, it was pointed
out, contained properties more suitable for military purposes than for meeting the
basic needs of the developing countries, namely food, clothing, shelter, health, and
education.”21
Secara sederhana, ada beberapa poin fundamental yang membuat KHL 1982
menjadi instrumen hukum yang begitu fenomenal di dalam hukum internasional.
Poin-poin tersebut adalah:
a) Diakuinya batas laut teritorial selebar 12 mil laut22 dan zona tambahan
selebar 24 mil laut23 yang dihitung dari garis pangkal negara pantai—baik
penarikan garis pangkal yang menggunakan metode garis pangkal normal
maupun lurus;
b) Diakuinya konsep selat internasional di dalam jurisdiksi negara pantai
sebagai bagian dari hak lintas damai yang dimiliki oleh kapal yang berlayar
di atas laut;24
c) Diakuinya konsep negara kepulauan dengan memperbolehkan negara
kepulauan untuk menarik garis pangkal lurus yang menghubungkan pulau-
pulaunya yang mana hal ini mengakibatkan adanya konsep baru berupa
perairan kepulauan yang diciptakan oleh garis pangkal tersebut;25
20 Hashim Djalal, Indonesia and the Law of the Sea, 1995, Centre for Strategic and International
Studies, Jakarta, h. 7 21 Ibid. 22 Pasal 3 KHL 1982 23 Pasal 33 ayat (2) KHL 1982 24 Pasal 38 KHL 1982 25 Pasal 46 KHL 1982
28
d) Diakuinya konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sebagai konsep baru
yang belum pernah ada dalam KHL 1958 maupun KHL 1982 di mana
dalam konsep ini negara tidak memiliki kedaulatan di atas ZEE. Namun
negara memiliki hak berdaulat yang bertujuan untuk “exploring and
exploiting, conserving, and managing, the natural resources, whether
living or non-living, or the sea-bed and subsoil and the superjacent waters,
and with respect to other activities for the economic exploitation and
exploration of the zone, such as production of energy from the water,
currents and winds.”;26
e) Melebarnya hak berdaulat negara atas Landas Kontinennya hingga 200 mil
laut dan 350 mil laut.27
B. Zona Maritim sebelum dan setelah KHL 1958 dan KHL 1982
Perkembangan hukum laut internasional tidak dapat dilepaskan dari pada
sumber hukum kebiasaan internasional yang dipraktikkan oleh subyek hukum
internasional. Konsep dan prinsip yang berkembang di dalam hukum laut
internasional menciptakan apa yang kini kita sebut sebagai zona maritim yang
menciptakan alas hak, hak dan kewajiban, dan tanggung jawab yang berbeda di
tiap-tiap zona maritim hukum laut internasional. Oleh karena itu, penulis
berpendapat bahwa memperbandingkan dua sumber hukum positif hukum laut
internasional, yakni KHL 1958 dan KHL 1982 bertujuan sebagai sarana eksplanasi
penulis atas sifat dan karakteristik tiap-tiap zona maritim yang telah diatur di dalam
dua hukum positif tersebut. Meski berdasarkan Pasal 311 ayat (1) KHL 1982 telah
diamanatkan bahwa “This convention shall prevail, …, over the Geneva Convention
26 Pasal 55 KHL 1982 27 Pasal 76 KHL 1982
29
on the Law of the Sea of 29 April 1958”, KHL 1982 masih menggunakan prinsip-
prinsip yang telah diadopsi oleh KHL 1958. Beberapa hal baru diperkenalkan di
dalam KHL 1982 dan beberapa konsep aturan yang terdapat di dalam KHL 1958
telah diperbaiki dan dilengkapi oleh KHL 1982.
a. Laut teritorial dan Zona Tambahan Negara Pantai dan Negara Kepulauan
a) Konsep dan Teori Laut Teritorial dan Zona Tambahan
Analisa terhadap hubungan yang diciptakan antara wilayah laut dengan negara
menghasilkan suatu pemahaman yang kiranya mengimplikasikan suatu
ketidakterpisahan antara daratan (garis pantai) dengan wilayah laut yang
menghubungkannya. Tetapi seorang bisa menyusun suatu argumentasi dengan
menyatakan bahwa hubungan dengan wilayah laut saja tidak dapat menciptakan
hak bagi negara pantai untuk menguasai dan meletakkan klaim laut teritorial di
atasnya. 28 Seperti yang kita pahami dalam diskursus mare liberum dan mare
clausum, hubungan yang tak terpisahkan antara laut dengan manusia tidak dapat
dipisahkan dengan suatu klaim atas hak milik yang menutup pemanfaatan wilayah
tersebut bagi pihak kedua yang, dengan niat baik, memanfaatkan dan menggunakan
sebagian wilayah laut untuk kepentingannya. Klaim atas hak teritorial yang
dimaknai secara negatif29 mengimplikasikan irasionalitas yang, menurut penulis,
28 Hal ini dapat kita pahami jika kita menggunakan pendekatan Grotian yang menunjukkan suatu
bagian bumi yang tidak dapat dimiliki oleh satu pihak karena karakter kebermanfaatannya yang
dinikmati oleh umat manusia secara umum. 29 Shaw menjelaskan bahwa kedaulatan teritorial memiliki 2 (dua) aspek, yaitu aspek positif dan
aspek negatif di mana yang pertama memberikan hak eksklusif bagi negara untuk mengurus
wilayahnya sendiri dan yang kedua menekankan kewajibannya untuk melindungi kedaulatan
teritorial negara lain. Malcom N. Shaw, International Law, (edisi kelima), Cambridge University
Press, Cambridge, 2003, h. 412. Schwarzenberger sendiri memberikan tambahan penjelasan bahwa
kedaulatan dan jurisdiksi teritorial memiliki hubungan yang komplementer. Tambahnya, memahami
kedaulatan teritorial secara negatif mengindikasikan eksklusifitas yang hanya dimiliki oleh negara
tersebut. Sementara dalam aspek positifnya, Schwarzenberger mengatakan: “It serves to divide
between nations the space upon which human activites are employed, in order to assure them at all
points the mninimum of protection of which international law is the guardian.”
30
mengeliminasi hak pihak kedua untuk turut serta memanfaatkan laut sebagai bagian
dari kehidupannya. Hal tersebut dapat diperhatikan dari argumen Welwood yang
mempertahankan kemampuan Kerajaan Inggris untuk menguasai dan meletakkan
klaim laut teritorial atas wilayah laut yang mengelilingi pulau-pulaunya demi
melindungi hak melaut bagi nelayan Inggris yang menggantungkan hidupnya dari
lautnya yang terikat secara historis dan batiniah.30 Namun kritik terhadap eksistensi
laut teritorial kemudian dapat diperhatikan dengan menyatakan bahwa apakah yang
kemudian membedakan antara kemampuan negara untuk mendapatkan suatu
wilayah teritorial di daratan dengan lautan? Bukankah diskursus klasik yang
menghantarkan hukum laut internasional mengindikasikan beberapa poin penting
yang, meskipun mengurangi intervensi negara terhadap pemanfaatan wilayah laut,
lebih humanis ketika norma dan doktrin hukum laut disusun? Bagaimana kemudian
hukum internasional menyintesiskan dilema laut teritorial? Untuk menjawab hal
tersebut, terlebih dahulu mari kita kaji lebih dalam mengenai doktrin dan
yurisprudensi hukum internasional terhadap eksistensi wilayah teritorial.
Periode dekolonialisasi pada awal abad ke-19 dibarengi dengan lahirnya
negara-negara baru yang memerdekakan dirinya dari pemerintah kolonial31 dan
pada saat yang bersamaan hal tersebut juga turut dibarengi dengan
berkembangannya teoritisasi dan konseptualisasi doktrin kedaulatan secara masif.
Pada analisasi hobbesian, kita memahami hubungan antar negara dijalankan secara
anarkis dan hal tersebut dibarengi dengan persaingan antar negara untuk bertahan
30 Hugo Grotius, The Free Sea, terjemahan oleh Richard Hakluyt, 2004, Indianapolis: Liberty Funds
h. 152 31 Shaw, op.cit, h. 178
31
hidup dari ancaman yang datang dari negara lain32. Doktrin kedaulatan negara
berkembang sebagai konsekuensi politik dan legalistik pasca perang tiga puluh
tahun yang dipositifkan melalui perjanjian Westphalia yang memposisikan negara
sebagai postulat politik tertinggi. Hal yang turut terjadi di saat yang sama adalah
pada prospek sekularisme yang juga turut melanda perancis pada abad ke-17 ketika
revolusi Perancis menghantarkan gelombang republikanisme di Eropa. Posisi
negara sebagai pemegang kedaulatan menciptakan posisi negara sebagai pemegang
kedaulatan yang dalam hal ini meniadakan sovereign lain yang memposisikan diri
di atas pemegang kedaulatan negara.
Dalam aspek hukum konvensi Montevideo tahun 1933 tentang Hak dan
Kewajiban Negara memberikan 4 (empat) unsur determinan yang, menurut penulis,
menguatkan peran negara sebagai subjek hukum internasional—apabila hal
tersebut dimengerti secara ortodoks. Keempat unsur tersebut adalah:
a) A permanent Population;
b) A defined territory;
c) Government; and
d) Capacity to enter into relations with other states.33
32 Pandangan ini tercipta oleh karena perdebatan teoritis untuk memisahkan struktur teori
positivisme dan konstruktivisme dalam kajian politik internasional di mana dalam tahap ini, unsur
gemeinschaft (dalam pendekatan sejarah) dan geselschaft (dalam pendekatan fungsional) sebagai
dasar rasional hubungan antar subjek internasional menciptakan sebuah pola karakter hubungan
internasional. Karakter natural law yang mendeskripsikan nation-state pada era abad pertengahan,
diajukan kembali sebagai sebuah raison de systeme oleh Bull dengan menggunakan term
“Neomedievalism” di mana karakter negara-bangsa menciptakan sebuah bentuk hierarki identitas
yang berkorespondensi dengan situasi sosiologis masyarakat. Sebagai kajian lebih lanjut, lihat Barry
Buzan, International System to International Society: Structural Realism and Regime Theory Meet
the English School, International Organization, Vol. 47, No. 3, 1993, h. 335-336. 33 Peter Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, (edisi ketujuh),
Routledge, New York, 1997, h. 75
32
Opini dari The Arbitration Commission of the European Conference on Yugoslavia
memberikan pernyataan yang turut membantu memahami definisi negara dengan
menyatakan bahwa, “the state is commonly definend as a community which consist
of a territory and a population subject to an organised political authority … such a
state is characterised by sovereignty.” 34 Vattel, di dalam magnum opus-nya,
Introduction to the Law of Nations, menyebutkan bahwa, “A nation or a state is, …,
a body politic, or a society of men united together for the purpose of promoting
their mutual safety and advantage by their combined strength.”35 Namun hal yang
menarik dari unsur-unsur yang terdapat di dalam Konvensi Montevideo adalah
tidak adanya unsur kedaulatan yang tertuang secara implisit maupun eksplisit. Kita
memahami bahwa dalam hal ini adanya penduduk yang tetap, wilayah yang
definitif, adanya pemerintah, dan kemampuannya untuk berhubungan dengan
negara lain adalah unsur fundamental berdirinya suatu negara. Lalu di mana posisi
kedaulatan sebagai unsur fundamental sebuah negara? Bukankah dengan hal ini,
kedaulatan hanyalah unsur politis yang menentukan kemampuan negara-negara
hegemon untuk mempengaruhi negara yang lebih lemah?
Adalah suatu hubungan yang tak terpisahkan antara wilayah teritori dengan
kedaulatan. Sebagaimana Shaw menjelaskan terlebih dahulu bahwa kedaulatan
utamanya berada di tangan pemerintah negara tersebut, kedaulatan pemerintah
untuk menjalankan kekuasaannya harus dilaksanakan di atas suatu wilayah
teritorial. Shaw, dengan mengutip Oppenheimer, mengatakan bahwa, “Without
territory a legal person cannot be a state.”36 Hubungan antara wilayah teritorial
34 Shaw, op.cit, h. 178 35 Emer de Vattel, The law of nations, Liberty Fund Inc., Indiana, 2008, h. 81 36 Shaw, op.cit, h. 409
33
dengan kedaulatan dikonseptualisasikan oleh Glahn dengan menyatakan bahwa, “A
state has an unquestioned right to exercise sovereign authority throughtout the
extent of its territory.”37 Tidak hanya kedaulatan, yurisdiksi juga merupakan unsur
fundamental yang muncul sebagai konsekuensi negara yang memegang kedaulatan
tertinggi. Yurisdiksi yang dimiliki oleh negara merupakan aspek vital yang dimiliki
oleh negara. Shaw memberikan penjelasannya tentang yurisdiksi sebagai berikut:
“Jurisdiction concerns the power of the state under international
law to regulate or otherwise impact upon people, property and
circumstances and reflects the basic principles of state
sovereignty, equality of states and non-interference in domestic
affairs.”38
Namun terhadap usaha untuk mendefinisikan jurisdiksi, Malanczuk mengatakan
bahwa, “’Jurisdiction’ is a word which must be used with extreme caution.”39 Saat
kemudian kita menggunakan kata ‘yurisdiksi’, penggunaan kata tersebut harus
diperhadapkan secara bersama-sama dengan konsep teritori. Hal tersebut tidak
dapat dipisahkan satu sama lain namun keberadaannya sangatlah berbeda satu sama
lain.
Kini kita dapati definisi-definisi sarjana hukum internasional yang telah
meletakkan batu fondasi untuk memahami konteks teritorial. Namun definisi
tersebut tidak akan menjelaskan apa-apa tanpa kemudian kita memahami
rasionalisasi dibalik hal itu. Kita membutuhkan rasionalisasi yang tepat untuk
membangun kerangka teori dan konsep wilayah teritorial. Meski definisi-definisi
telah disajikan oleh penulis, bagaimana kita dapat memahami konteks yang
jurisdiksi, wilayah teritorial, dan kedaulatan. Penulis berargumen bahwa
37 Gerhard von Glahn, Law Among Nations: An Introduction to public International Law, (edisi
keempat), Macmillan Publishing Co., Inc., New York, h. 315 38 Shaw, op.cit, h. 572 39 Malanczuk, op.cit, h. 109
34
kedaulatanlah yang menciptakan hak teritorial dan hal tersebut harus dipahami
bersama-sama dengan yurisdiksi yang dikuasai oleh negara dan bukan sebaliknya.
Kedaulatan merupakan suatu konsep yang ambigu dimana penggunaan konsep
tersebut sangat bergantung kepada ‘apa yang sedang dibicarakan’. Starke
menanggapi hal ini dengan mengatakan bahwa, “Kedaulatan lebih merupakan suatu
istilah sastra daripada suatu pengertian hukum yang dapat didefinisikan secara
tepat.”40 Schwarzenberger menjelaskan bahwa kedaulatan memiliki dua kutub yang
saling berseberangan satu sama lain, yaitu kedaulatan dalam aspek internal dan
kedaulatan politik. Kedaulatan dalam aspek internal berkonsentrasi pada aktor yang
memegang otoritas tertinggi di dalam negara. Namun dalam terminologi kedaulatan
politik, Schwarzenberger menelaskan bahwa kedaulatan politik adalah ‘potent
reality’ di mana ketiadaan international order yang efektif dan lemahnya
suprastruktur internasionial menciptakan suatu sistem masyarakat internasional
yang tidak terorganisir.41 Vattel sendiri memberikan pengertian yang menyetarakan
kedudukan otoritas politik tertinggi di suatu negara dengan pemegang kedaulatan
atau ia yang dimana kedaulatan tersebut diletakkan padanya.42 Unsur esensial lain
dijelaskan oleh majelis hakim palmas case yang menjelaskan esensi kemerdekaan
sebagai unsur determinan yang menciptakan karakter subjek hukum suatu negara.
Dikatakan bahwa, “Sovereignty in the relations between States signifies
independence. Independence in regard to a portion of the globe is the right to
exercise therein, to the exclusion of any other State, the functions of a State.”43
40 J.G Starke, Pengantar hukum internasional 1, terjemahan, (edisi kesepuluh), Sinar Grafika,
Jakarta, h. 132-133 41 Georg Schwarzenberger, International Law, Edisi ketiga, Stevens & Sons Limited, London, 1957
h. 114 42 Vattel, op.cit, h. 81 43 Island of Palmas case (1928), II R.I.A.A 829, p. 839.
35
Oleh karenanya, menurut penulis, Majelis hakim palmas case memberikan dua
unsur penting, yaitu 1) kedaulatan adalah hak eksklusif di mana ketika negara yang
berdaulat menjalin hubungan dengan negara lain, kedaulatan tersebut menciptakan
kemerdekaan yang memisahkannya dengan negara lain; 2) kemerdekaan yang
diakibatkan karena kedaulatan memberikan konsekuensi berupa dikuasainya suatu
bagian bumi untuk dipisahkan dengan negara lain yang mana karena dipisahkannya
bagian bumi tersebut, fungsi negara dapat dijalankan. Meskipun begitu, Malanczuk
memberikan kritikan yang menarik terhadap penggunaan terma kedaulatan. Beliau
mengatakan, “It would be far better if the word ‘sovereignty’ were replaced by the
word ‘independence’.” 44 Malanczuk sendiri memberikan alasan mengapa
penggunaan terma kedaulatan sebaiknya diganti sebagai berikut:
“In so far as ‘sovereignty’ means anything in addition to
‘independence’, it is not a legal term with any fixed meaning, but
a wholly emotive term. Everyone knows that states are powerful,
but the emphasis on sovereignty exaggerates their power and
encourages them to abuse it; above all, it preserves the
superstition that there is something in international cooperation
as such which comes near to violating the intrinsic nature of a
‘sovereign’ state.45
Sebagai sebuah terma yang menjelaskan suatu otoritas politik tertingi di dalam
negara dan sebagaimana hal tersebut memberikan hak yang eksklusif terhadap
negara untuk mengurus dirinya sendiri tanpa adanya intervensi dari negara lain,
maka dikuasainya suatu bagian tertentu di muka bumi merupakan konsekuensi logis
terhadap terciptanya kedaulatan. Hubungan antara kedaulatan dengan suatu bagian
tertentu di muka bumi disebut sebagai “Kedaulatan Teritorial.”
Untuk dapat menjalankan fungsinya sebagai subjek hukum internasional,
negara harus memiliki suatu wilayah tertentu di mana ia melaksanakan
44 Malanzcuk, op.cit, h. 17 45 Ibid. h. 17-18
36
jurisdiksinya. Seperti yang telah dijelaskan oleh Shaw, wilayah teritori barangkali
merupakan konsep fundamental yang ada di dalam hukum internasional.46 Di dalam
wilayah teritorialnya, negara menjalankan yurisdiksinya di atas suatu wilayah
teritorial yang terbatas seperti yang telah dijelaskan oleh majelis hakim North
Atlantic Coast Fisheries (1910), “One of the essential elements of sovereignty is
that it is to be exercised within the territorial limits, and that, failing proof to the
contrarty, the territory is counterminous with the sovereignty.”47
Laut teritorial berkembang sebagai suatu doktrin hukum laut internasional
ditengah argumen mare liberum yang memposisikan ketidakmungkinan laut untuk
dimiliki dan dikuasai oleh negara. Anand menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi
karena negara harus memiliki ‘exclusive jurisdiction and control in a part of the
sea adjacent to its coastline for the protection of its security and interest’.48 Jessup,
di dalam Anand, juga menekankan hal ini dengan menekankan terciptanya suatu
prinsip yang berbeda terhadap suatu wilayah laut di garis pantai dengan
mengatakan:
“…the new principle of freedom, when it approached the shore,
met with another principle, the principle of protection, not a
residuum of the old claim, but a new independent basis and
reason for modification, near the shore, of the principle of
freedom. The sovereign of the land washed by the sea asserted a
new right to protect his subjects and citizens against attack,
against invasion, against interference and injury, to protect them
against attack threatening their peace, to protect their revenues,
to protect their health, to protect their industries. This is the basis
and the sole basis on which is established the territorial zone that
is recognized in the international law of today.”49
46 Shaw, op.cit, h. 409-410 47 North Atlantic Coast Fisheries Case (1910) XI R.I.A.A 167, p. 180 48 R.P. Anand, Origin and the Development of the Law of the Sea: History of International Law
Revisited, Martinus Nijhoff, Den Hague, 1982, h. 137 49 Ibid.
37
Untuk menambah penjelasan yang dapat menerangkan kerangka teoritis laut
teritorial, John Colombos menerangkan tiga alasan negara memiliki laut teritorial:
i. The security of the state demands that it should have exclusice
possession of its shores and that it sould be able to protect its
approaches;
ii. For the purpose of furthering is commercial, fiscal and political interest,
a state must be able to supervise all ships entering, leaving or anchoring
in its territorial waters;
iii. The exclusive exploitation and enjoyment of the product of the sea
within a state’s territorial waters is necessary for the existence and
welfare of the people on its coast50.
Prinsip ini, meski tidak terdapat di dalam mare liberum, dijelaskan di dalam
karyanya yang lain yang berjudul De jure belli ac pacis di mana Grotius mengakui
bahwa kedaulatan di atas laut
‘acquired in the same way as sovereignty elsewhere, that is,
...through the instrumentality of persons and of territory. It is
gained through the instrumentality of persons if, for example, a
fleet … is stationed at some point of the sea; by means of a
territory, in so far as those who sail over the part of the sea along
the coast may be constrained from the land no less than if they
should be upon the land itself.’51
Sebagai perwujudan principle of protection dan terdapatnya kemampuan
negara untuk menguasai wilayah laut, Bynkershoek menyusun suatu tesis yang
kemudian berevolusi di dalam praktik negara-negara secara umum pada abad ke-
18 yang dituangkan di dalam De dominio maris dissertatio. 52 Bynkershoek
menyusun suatu tesis bahwa lebar laut teritorial dapat diukur dari garis yang ditarik
50 John Colombos, op.cit, h. 87 51 Anand, op.cit, h. 138 52 I Wayan Parthiana, op.cit, h. 9
38
pada pantai pada waktu air laut surut dengan mengikuti atah atau lekukan pantai
tersebut. Garis inilah yang kemudian disebut sebagai garis pangkal biasa (normal
base-line). Sedangkan mengenai lebar laut teritorial tersebut, Bynkershoek
berpendapat bahwa jarak tersebut diukur dari jarak tembak sebuah meriam yang
ditembakkan dari garis pantai.53 Titik jatuhnya peluru dari meriam itulah yang
menentukan batas luar dari lebar laut teritorial negara pantai yang bersangkutan,
yaitu sepanjang 3 (tiga) mil laut atau 1 marine league. 54 Secara sederhana,
Bynkershoek merumuskan hal tersebut dengan menyatakan, “the dominion of the
lands ends where the power of the arms ends,” 55 bahwa dengan demikian
kemampuan untuk meletakkan hak laut teritorial berakhir ketika proyeksi kekuatan
yang berasal dari daratan tersebut berakhir. Fulton dalam kesempatan yang berbeda
memiliki pendapat yang sama terkait hubungan antara daratan dengan lautan bahwa
laut harus ‘menghormati’ daratan. 56 Hal ini dapat dilihat dari praktik yang
dilakukan oleh pemerintah Inggris yang menuntut setiap kapal yang melintasi
perairannya untuk menurunkan benderannya dihadapan bendera Inggris.57
Oleh karenanya, apabila laut mengenakan status sebagai bagian dari wilayah
teritorial, dan apabila statusnya tidak dibedakan dengan daratan, maka jurisdiksi
yang berada di tangan pemerintah berdaulat yang dilaksanakan di daratan juga
berlaku pada wilayah teritorial suatu negara di atas wilayah lautnya58. Kedaulatan
jurisdiksi yang dimiliki oleh negara, oleh karenanya, merupakan hak absolut yang
53 Ibid 54 Colombos, op.cit, h. 92 55 Anand, op.cit, h. 138 56 Ibid, h.109 57 Anand mencatat hal ini dengan menjelaskan bahwa kebiasaan yang dilaksanakan oleh Inggris ini
disebut sebagai prinsip “The Honour of the Flag.” Ibid, h. 108 58 Schwarzenberger sendiri berada pada posisi ini dengan menyatakan bahwa, “In principle, no
difference exist between the rights whih a State exercises over is land territory and the rights which
it possesses wihin its maritime territory. Schwarzenberger, h. 317.
39
dimiliki olehnya dan tidak dapat diintervensi oleh negara lain—apabila intervensi
tersebut dimaksudkan sebagai suatu perbuatan dengan dalih niat buruk yang dapat
merugikan negara pemilik laut teritorial tersebut. Colombos mengutip satu kritik
yang menarik tentang alasan mengapa negara dapat meletakkan suatu wilayah laut
teritorial. Pradelle menyebut bahwa negara pantai bukanlah pemilik (ownership)
maupun sovereign yang berdaulat di atas laut teritorialnya. Pradelle menjelaskan
bahwa laut hanyalah “a bundle of servitudes” bagi negara tersebut.59 Sehingga
dalam hal ini kita dapat mengimplikasikan bahwa laut ‘menghamba’ pada daratan;
bahwa dalam hubungan tersebut, daratan—metafora atas negara—berada pada
posisi yang mendapatkan manfaat atau keuntungan dari pada ‘hambanya’ tersebut.
Secara prinsip, jurisdiksi yang dimiliki oleh negara hanya berlaku pada wilayah
teritori di mana ia berada, 60 meski tidak menutup kemampuan negara untuk
meletakkan jurisdiksinya di luar wilayah teritorialnya seperti kapal61 dan pesawat62
asal benderanya yang melintasi suatu wilayah teritorial negara lain maupun laut
bebas dengan niat baik, atau individu yang berada di suatu wilayah teritorial negara
lain yang dilindungi kekebalan hukum karena ia merupakan perwakilan negara di
negara sahabat maupun negara lain. Di dalam Lotus Case, Hakim Max Huber
menjelaskan bahwa hukum internasional tidak melarang negara untuk “exercising
jurisdiction in its own territory.”63 Hal ini akan menjadi isu lain apabila hukum
internasional mengatur larangan bagi negara untuk “extend the application of their
59 Colombos, op.cit, h. 89 60 Shaw, op.cit, h. 574 61 Colombos, op.cit, h. 285 62 Hal ini mengacu pada pasal 17 The Chigago Convention on International Civil Aviation yang
menyebutkan bahwa, “Aircraft have the nationality of the state in which they are registered,
although the condition for registration are a matter of domestic law.” Ibid, h. 466 63 S.S. Lotus (Fr. v. Turk.), 1927 P.C.I.J. (ser. A) No. 10 (Sept. 7), p. 19
40
laws and the jurisdiction of their courts to person, property and acts ‘outside their
territory, and if , as an exception to this general prohibition. 64 Namun hingga saat
ini, sepanjang pengetahuan penulis, hukum internasional tidak melarang negara
untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri sepanjang tidak bertentangan dengan
hak dan kewajibannya.
Selain menjadi dasar dari diciptakannya teori laut teritorial, principle of
protection juga menjadi dasar dari diciptakannya konsep zona tambahan atau
contiguous zone (secara berturut-turut akan disebut sebagai zona tambahan). Zona
ini lahir sebagai bagian dari penerapan principle of protection yang dimiliki oleh
negara pantai untuk melindungi wilayah teritorial dari perbuatan-perbuatan yang
dapat mengancam laut teritorialnya. Sebagai suatu konsep, Anand menjelaskan
bahwa alasan mengapa negara pantai membutuhkan adanya zona tambahan adalah
untuk memiliki “some autorithy in the area beyond a comparatively narrow
maritime belt for the special interest, and for the infringement of their customs,
fiscal, and sanitary regulations within their territorial sea.” 65 The Harvard
Research Committee menjelaskan alasan lain mengapa zona tambahan diperlukan
bagi negara pantai adalah bahwa, “that the contiguous zone, as distinct from the
marginal sea, constituted the best solution for the problem of adjacent waters and
the need to keep the territorial sea as narrow as possible.”66 Varghese menjelaskan
bahwa di zona tambahan negara tidak memiliki kedaulatan secara penuh, namun
64 Ibid. 65 Anand, op.cit, h. 141 66 Ibid. h. 143
41
negara memiliki kewenangan untuk menjalankan pengawasan dan melindungi
dirinya dari perbuatan yang mengancam laut teritorialnya. 67
b) Laut teritorial dan Zona Tambahan dalam perbandingan KHL 1958 dan KHL
1982
Perbedaan mendasar yang menjadi unsur pembeda antara KHL 1958 dan KHL
1982 adalah bagaimana KHL 1982 telah mencapai kesepakatan berapa lebar laut
teritorial yang dapat dimiliki oleh negara pantai. Hal yang mana tidak dapat dicapai
ketika KHL 1958 diselenggarakan di Jenewa. Meskipun KHL 1958 tidak dapat
mencapai kesepakatan mengenai lebar laut teritorial yang dapat dimiliki oleh
negara pantai,68 beberapa pasal di dalam Konvensi Hukum Laut Teritorial dan Zona
Tambahan KHL 1958 justru tetap dilanjutkan tanpa merubah esensi konseptual dan
teoritis dari tiap konsep yang dimasukkan ke dalam KHL 1982. Hal tersebut dapat
diperhatikan di dalam tabel berikut:
KHL 1958 KHL 1982
Pasal 1 ayat (1)
“The sovereignity of a state extends,
beyond its land territory and its internal
waters, to a belt of sea adjacent to its
coast, described as territorial sea.”
Pasal 2 ayat (1)
“The sovereignty of a coastal State
extends, beyond its land territory and
internal waters and, in the case of an
archipelagic State, its archipelagic
waters, to an adjacent belt of sea,
described as the territorial sea.”
Berdasarkan pasal tersebut, negara/negara pantai memiliki kedaulatan di atas
wilayah daratan dan perairan pedalamannya. Namun kedua pasal tersebut
menjelaskan dengan eksplisit bahwa negara memiliki kedaulatan di atas laut yang
67 Rose Varghese, Territorial Sea and Contiguous Zone—Concept and Development, Cochin
University Laws Review Vol. IX, 1985, h. 456 68 Knight, op.cit, h. 158
42
berseberangan wilayah pesisirnya yang ditutup oleh suatu garis imajiner.69 Suatu
zona perairan yang mana telah disebutkan oleh pasal tersebut disebut sebagai laut
teritorial. Selain itu, perubahan fundamental dalam pengaturan laut teritorial pada
KHL 1982 dan KHL 1958 adalah dimasukkannya konsep ‘archipelagic state’ dan
’archipelagic waters’ sebagai sebuah konsep yang diperjuangkan oleh negara-
negara kepulauan seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina ketika konvensi hukum
laut ketiga dijalankan di jenewa. Adapun Pasal 46 huruf (a) KHL 1982 mengatur
bahwa negara kepulauan adalah “A state constituted wholly by one or more
archipelagos and many other island.” Hal ini berimplikasi pada hak negara
kepulauan untuk turut menikmati dan memanfaatkan haknya atas laut teritoral, zona
tambahan, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif di atas wilayah
archipelagic water-nya.
Sebagai konsekuensi atas kedaulatan negara atas suatu wilayah laut yang
berseberangan dengan pesisirnya, hukum laut internasional mengatur bahwa negara
dapat meletakkan suatu garis imajiner di atas laut sebagai penanda batas kompetensi
yuridis negara pantai atas suatu wilayah laut. Terkait hal ini, KHL 1958 dan KHL
1982 mengatur bahwa:
KHL 1958 KHL 1982
Pasal 3
“Except where otherwise provided in
these articles, the normal baseline for
measuring the breadth of the
territorial sea is the low-water line
along the coast as marked on large-
scale charts officially recognized by the
coastal state.”
Pasal 5
“Except where otherwise provided in
this Convention, the normal baseline
for measuring the breadth of the
territorial sea is the low-water line
along the coast as marked on large-
scale charts officially recognized by the
coastal State.”
69 Parthiana, op.cit, h. 72
43
Pasal 4 ayat (1)
“In localities where the coastline is
deeply indented and cut into, or if
there is a fringe of islands along the
coast in its immediate civiniy, the
method of straight baselines joining
appropriate points may be employed
in drawing the baseline from which the
breadth of the territorial sea is
measured.”
Pasal 7 ayat (1)
“In localities where the coastline is
deeply indented and cut into, or if
there is a fringe of islands along the
coast in its immediate vicinity, the
method of straight baselines joining
appropriate points may be employed
in drawing the baseline from which the
breadth of the territorial sea is
measured.”
KHL 1982 dan KHL 1958 sama-sama menggunakan dua metode penarikan
garis pangkal laut teritorial yang dikembangkan dalam praktik internasional negara-
negara pantai. Dua metode tersebut adalah garis pangkal normal dan garis pangkal
lurus.
Garis pangkal normal berkembang sebagai perbaikan atas kelemahan prinsip
cannon shot rule yang diusulkan oleh Bynkershoek. Prinsip cannon shot rule
memiliki beberapa unsur penting yang menjadi dasar mengapa negara memiliki hak
atas suatu zona maritim yang bersebelahan dengan pesisirnya: a) negara berhak
melindungi diri dari ancaman pihak lain atas national integrity-nya, b)
diletakkannya meriam di atas sebuah benteng yang dibangun di pesisir pantai
menunjukkan bahwa negara pantai dapat memaksakan setiap orang asing yang
berada di dalam jangkauannya untuk patuh terhadap hukum yang berlaku di negara
pantai tersebut, c) negara pantai berhak untuk menindak perbuatan kriminal
maupun keperdataan atas setiap perbuataan yang terjadi dalam jangkauan laut
teritorialnya, dan d) garis pangkal penarikan wilayah laut teritorial dihitung dari
batas air surut pesisir pantainya. Menurut penulis sendiri, keberadaan meriam
sebagai penanda kedaulatan negara pantai merupakan metafora atas kemampuan
44
negara untuk melaksanakan kedaulatan dan yurisdiksinya di atas laut teritorialnya.
Karena apabila kemampuan negara untuk melaksanakan kewenangannya di atas
laut teritorial harus direpresentasikan oleh keberadaan meriam ataupun setiap
instrumen mekanis agar kewenangan tersebut terwujudkan, secara pragmatis hal
tersebut sangat tidak praktis dan tidak realistis. Hal ini diimplikasikan dari kritik
yang dihadirkan oleh sejumlah yuris bahwa keberadaan sebuah meriam maupun
instrumen membutuhkan posisi yang strategis dan apabila penempatan meriam
adalah representasi dari kedaulatan negara pantai, maka hak negara pantai atas laut
teritorial hanya dapat terjadi apabila pada suatu bagian daratan dari pesisir pantai
negara tersebut terdapat meriam. Hal lain yang menyebabkan prinsip ini menjadi
lemah adalah apabila prinsip ini dilaksakan secara literal, maka apabila meriam
yang dimilikinya dapat menembakkan proyektil lebih dari 3 mil laut, lebar wilayah
laut teritorial yang dapat diklaim oleh negara pantai adalah mengikuti seberapa jauh
meriamnya dapat menembakkan proyektilnya. 70 Oleh karenanya prinsip ini
menutup fakta bahwa perkembangan zaman dan teknologi mengakibatkan meriam
dapat menembakkan proyektil lebih jauh dari 3 mil laut. Contoh dari pada hal
tersebut adalah pada kemampuan negara-negara skandinavia yang dapat
meletakkan klaim laut teritorial selebar 4 hingga 6 mil laut yang diakibatkan dari
kemampuan meriam yang ia miliki dapat menembakkan proyektil lebih jauh dari 3
mil laut.71 Namun berjalannya waktu, prinsip cannon shot rule bertransformasi
dalam ruang dan waktu di mana ia tidak lagi diterapkan secara literal. Pada abad 18
hingga 19, Inggris mengeluarkan beberapa undang-undang yang menetapkan hal
ini secara positif hingga pada tahun 1878 Inggris mengesahkan The Territorial
70 Anand, op.cit, h. 138 71 Kusumaatmadja, op.cit, h. 31
45
Water Jurisdiction Act yang menyatakan bahwa ‘territorial sea of Her Majesty’s
Dominion’ yang dimiliki oleh Kerajaan Inggris adalah sejauh 1 league atau 3 mil
laut.72 Selain dari pada kebiasaan yang dilakukan oleh Inggris, Amerika juga turut
mengadopsi prinsip tersebut dalam praktinya dengan mengadopsi prinsip 3 mil laut
sebagai batas klaim wilayah laut teritorialnya seperti yang diungkapkan oleh
Menteri Dalam Negeri Amerika Serikat pada tahun 1862, Mr. Steward, sebagai
berikut: “this government dheres to, recogniss and insists upon the principle that
the maritime jurisdiction of any nation covers a full marine league from its coast.”73
Prinsip cannon shot rule juga turut mengembangkan metode penarikan garis normal
karena selain menetapkan lebar laut teritorial, prinsip ini juga menetapkan adanya
suatu garis imajiner yang diposisikan ketika air surut. Metode ini bertransformasi
sebagai suatu hukum kebiasaan yang dipatuhi secara tidak langsung oleh negara
pantai pada kurun waktu abad 19 sampai abad pertengahan abad 20.
Selain metode garis pangkal normal, KHL 1982 dan KHL 1958 juga mengenal
metode garis pangkal lurus sebagai salah satu metode penarikan garis pangkal lebar
laut teritorial. Namun berbeda dengan metode garis pangkal normal, metode garis
pangkal lurus merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh Norwegia sebagai solusi
atas ketidakmungkinan menarik garis pangkalnya dari bibir pantainya. Norwegia
mengeluarkan firman raja (royal decree) tertanggal 12 Juli 1935 yang berisi
mengenai delimitasi wilayah laut teritorialnya dan suatu zona khusus perikanan
Norwegia selebar 4 mil laut dengan cara menarik garis lurus pada titik-titik terluar
dari apa yang disebut sebagai ‘skjaergaard’, yaitu suatu fitur bebatuan, pulau-pulau
72 Colombos, op.cit, h. 94 73 Ibid, h. 96
46
kecil, batu karang, dan karang yang berjejer dari bibir pantainya.74 Penggunaan
metode garis pangkal lurus oleh Norwegia bisoa disebut menantang kebiasaan yang
telah lama dipraktekkan oleh negara pantai bahwa penarikan garis pangkal
seharusnya menggunakan metode normal dan hal ini mengakibatkan Inggris
melayangkan gugatan terhadap Norwegia pada tanggal 28 September 1949 di
Pengadilan Internasional. Pemerintah Inggris menghendaki mahkamah agar
“to declare the principles of international law to be applied in
defining baselines, by refenrence to which the Norwegian
Government is entitled to delimit a fisheries zone, extending to
seaward 4 sea miles from those lines and exclusively reserved for
its own nationals, and to define the said baselines in so far as it
appears necessary, in the light of the arguments of the parties, in
order to avoid further legal differences between them.”75
Dalam putusannya sendiri, mahkamah memutuskan bahwa penggunaan garis
pangkal lurus yang digunakan oleh Norwegia tidak melanggar prinsip-prinsip
umum hukum internasional mengenai bagaimana seharusnya negara menarik garis
pangkalnya. Norwegia sendiri tidak menampik bahwa terdapat aturan hukum
internasional yang mengatur delimitasi zona perikanannya 76 yang di mana
mahkamah berpendapat bahwa zona perikanan ini menciptakan zona laut
teritorial. 77 Namun, akibat kondisi geografis Norwegia yang tidak
memungkinkannya untuk menggunakan garis pangkal normal, maka metode ini
pun diterapkan dan dipositifkan oleh pemerintahan Norwegia sebagai sebuah
hukum positif. Dalam memutus sengketa ini, Mahkamah berpendapat bahwa, demi
kepentingan penarikan garis pangkalnya, batas air surut yang dijadikan sebagai
peletakan titik-titik yang menghubungkan garis pangkal adalah sebuah praktik yang
74 Kusumaatmadja, op.cit, h. 98 dan Fisheries case, judgment of December 18th, I95I:
I.C. J. Reports 1951, p. 116, h. 125 75 Ibid, h. 118 76 Ibid, h. 126 77 Ibid, h. 125
47
digunakan oleh negara pantai78 dan kondisi geografis Norwegia dengan keberadaan
‘skjaergaard’ menyulitkan Norwegia untuk menerapkan metode garis pangkal
normal.79
Selain dari pada dua metode penarikan garis pangkal laut teritorial tersebut,
KHL 1982 memperkenalkan metode lain sebagai solusi atas diterimanya konsep
negara kepulauan oleh KHL 1982, yaitu konsep penarikan garis pangkal kepulauan
atau archipelagic baseline. Selain dari pada yang diatur di dalam KHL 1982, negara
kepulauan, selayaknya negara pantai, memiliki kemampuan yang sama untuk
menggunakan garis pangkal normal dan garis pangkal lurus untuk menarik garis
pangkal lebar laut teritorialnya. Khusus mengenai pengaturan tentang negara
kepulauan, Pasal 47 ayat (1), 47 ayat (2), Pasal 48, dan Pasal 121 ayat (1) dan (3),
lalu Pasal 5 dan Pasal 7 KHL 1982 mengatur bahwa negara kepulauan, pertama-
tama, dapat menggunakan metode normal baseline dan straight baseline. Pasal 47
ayat (1) KHL 1982 sendiri menyatakan bahwa:
“An archipelagic State may draw straight archipelagic baselines
joining the outermost points of the outermost islands and drying
reefs of the archipelago provided that within such baselines are
included the main islands and an area in which the ratio of the
area of the water to the area of the land, including atolls, is
between 1 to 1 and 9 to 1.”
Lalu Pasal 47 ayat (2) KHL 1982 menyatakan:
“The length of such baselines shall not exceed 100 nautical miles,
except that up to 3 per cent of the total number of baselines
enclosing any archipelago may exceed that length, up to a
maximum length of 125 nautical miles.”
Perlu diperhatikan ketentuan Pasal 47 ayat (1) bawa negara kepulauan dapat
menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari
pulau-pulau terluar dan karang-karang kering terluar dari kepulauan dengan syarat
78 Ibid, h. 128 79 Ibid, h. 133
48
perbandingan antara wilayah laut dan wilayah darat, atol adalah 1:1 sampai 1:9.
Dilanjutkan kemudian dalam Pasal 47 ayat (2), panjang dari garis pangkal tersebut
tidak boleh melebihi 100 mil laut terkecuali 3% dari dari jumlah keseluruhan garis-
garis pangkal dapat melebihi 100 mil laut hinga suatu kepanjangan maksimum 125
mil laut.80 Mengenai hak negara pantai atas akses laut, Pasal 47 ayat (5) menyatakan
bahwa penggunaan metode garis pangkal kepulauan tidak boleh diterapkan apabila
hal tersebut dapat memotong hak negara pantai atas akses ke laut teritorial, zona
ekonomi eksklusif, dan laut lepasnya. Lalu dalam Pasal 47 ayat (5), negara
kepulauan tidak dapat meletakkan titik garis pangkal di atas elevasi surut apabila di
atas elevasi surut tersebut tidak terdapat mercusuar atau instalasi sejenis yang secara
permanen berada di atas permukaan laut dan seluruh atau sebagian berada di dalam
wilayah laut teritorial dari pulau terdekat.
Seperti yang telah penulis jelaskan pada bagian sebelumnya, konsep negara
kepulauan merupakan sebuah konsep baru yang tidak ditemukan di dalam KHL
1958. Hashim Djalal menyebutkan bahwa ada hal-hal tertentu yang menyebabkan
mengapa konsep negara kepulauan sulit untuk diterima sebagai sebuah prinsip
hukum internasional. Hal ini dipertanyakan oleh Komite Persiapan Konvensi Den
Haag tahun 1930 dalam kuesioner yang disebar dalam konvesi tersebut, yaitu “How
near must island be to one another to cause the whole grop to possess a single belt
of territorial water.” Negara-negara seperti Inggris, Australia, dan Afrika Selatan
mengambil posisi yang mengafirmasi prinsip hukum saat itu dengan menyatakan
bahwa pulau memiliki zona maritim untuk dirinya sendiri. Sebuah proposal bahwa
pulau-pulau dalam negara kepulauan dapat dihubungkan dalam satu garis lurus
80 Sodik, op.cit, 44
49
belum dapat diterima karena ‘irasionalitas’ dalam proposal tersebut. Hal ini
disebabkan karena jarak antara satu pulau dengan pulau lain dapat bervariasi dalam
realitanya. Dalam kesempatan untuk menjawab pertanyaan tersebut, Jepang
memberikan pendapatnya bahwa jarak antara satu pulau dengan pulau lainnya tidak
boleh lebih dari 3 mil laut. 81 Sementara itu Komite Persiapan memberikan
pendapatnya sebagai berikut:
“In the case of a group of island which belong to a single State
and at the circumference of the group are not separated from on
another by more than twice the breadth of the territorial waters,
the belt for the territorial waters shall be measured from the
outermost island of the group. Waters included wihtin the group
shall also be territorial waters.”82
Selain masalah mengenai kemampuan negara kepulauan untuk memiliki suatu
garis pangkal yang menghubungkan tiap-tiap pulaunya, masalah lain yang terjadi
akibat dimasukkannya konsep negara kepulauan adalah mengenai terma yang
digunakan untuk mendefinisikan negara kepulauan. Menurut notulensi dari Komite
Penyusunan, ada dua terma yang digunakan untuk mengkategorikan kepulauan,
yaitu coastal dan mid-ocean di mana Anand memberikan pengertian lain terkait
dengan dua terma tersebut dengan menyebutkan bahwa coastal archipelago adalah
“a formulation of two or more islands, (islets or rocks) which geographically may
be considered as a whole”83 dan mid-ocean archipelago sebagai “situated so close
to a mainland that they may reasonably be considered part and parcel thereof.”84
Perbedaan yang cukup mencolok dari dua definisi tersebut adalah tidak
dimasukkannya jarak sebagai sebuah unsur formil yang membentuk karakter legal
81 Djalal, op.cit, h. 294 82 Ibid. 83 Anand, op.cit, h. 168 84 Ibid.
50
dari kepulauan. Tidak dibutuhkannya jarak ini sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh Filipina dalam note verbale-nya di Sekretariat Jenderal PBB bahwa,
“All waters around, between and connecting the different islands
belonging to the Philippine Archipelago irrespective of their
widths or dimensions, are necessary appurtencances of its land
territory, forming an integral part of the national or inland waters
subject to the exclusive sovereignty of the Phillipines.”85
Adalah suatu kesulitan tersendiri untuk memasukan negara kepulauan sebagai
suatu konsep yang dapat dimasukkan ke dalam hukum internasional positif dan
kritik pun menghampiri konsep ini. Dalam perkara Civil Aeronautics Board v.
Island Airlines yang dilangsungkan di Pengadilan Negeri Hawai, majelis hakim
menyebutkan bahwa, “inter-island waters beyond three mile limit are high seas.”86
Putusan ini memiliki konsekuensi bahwa laut yang menghubungkan pulau-pulau
yang tersusun dalam gugus pulau tersendiri tidak dapat ditutup dengan adanya suatu
garis imajiner yang meletakkan zona maritim kepulauan apabila jarak antara satu
pulau dengan pulau lain lebih dari 3 mil laut; apabila jarak tersebut lebih dari 3 mil
laut, maka laut yang menghubungkan pulau-pulau tersebut disebut sebagai laut
lepas dan sebagai konsekuensinya laut tersebut tidak dapat diklaim sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari pulau. Colombos menyebutkan adanya kemungkinan
untuk menciptakan suatu zona perairan khusus yang menghubungkan pulau-pulau
tersebut dengan menyebutkan:
“If the island is more than three, but not more than six miles from
the coast, then the whole extent of waters would be territorial
since it would be inadvisable to allow any small strip of high seas
between the coast and the island. Where the island is more than
six miles form the shore, but only slightly so, then it would appear
reasonable to permit a State to claim a small extension of its
marginal belt in order to establish a uniform regime of its
territorial waters.”87
85 Ibid. 86 Colombos, op.cit, h. 122 87 Ibid, h. 119
51
Dan oleh karena hal ini, dengan pertimbangan bahwa suatu gugusan pulau yang
terikat secara geografis selayaknya dihubungkan dalam suatu garis lurus yang
menghubungkan titik-titik terluarnya, metode penarikan garis pangkal lurus
berperan sangat penting dalam terciptanya konsep perairan kepulauan yang terpisah
dari konsep laut teritorial maupun laut pedalaman.
Penarikan garis pangkal lurus merupakan sebuah metode yang mengecualikan
negara pantai untuk tidak menggunakan metode garis pangkal normal apabila ada
situasi dan kondisi yang tidak memungkinkannya untuk mengikuti kontur pantai
dalam kondisi normal. Sebagai contoh sederhana, dalam suatu skenario sederhana
dimana sebuah pulau berada di hadapan pesisir pantai dalam jarak 12 mil laut,
bagaimana status perairan yang berada di antara pulau tersebut dengan pesisir
pantainya? Apabila penarikan garis pangkal normal digunakan dalam skenario ini,
maka garis pangkal yang menghubungkan tiap titik-titiknya akan berbenturan
dengan pulau apabila pulau tersebut berada dalam jarak 12 mil laut. Hal ini akan
menjadi lebih rumit apabila pulau tersebut secara legal memiliki laut teritorialnya
sendiri. Apabila garis pangkal yang menghubungkan titik-titik tersebut ditarik dari
pulau yang terpisah dari daratan tersebut, maka zona laut teritorial pulau tersebut
akan berbenturan dengan zona laut teritorial dari daratan pesisir pantai tersebut.
Secara rasional, hal tersebut tidak dimungkinkan untuk terjadi. Oleh karenanya
proposisi rasional untuk memecahkan hal ini adalah menghubungkan titik pasang
surut terluar dari pantai dan titik pasang surut terluar dari pulau dan menciptakan
sebuah zona yang berbeda bagi perairan yang berada di antara daratan pesisir pantai
dengan pulau. Terciptanya garis pangkal lurus yang menghubungkan daratan
pesisir pantai dengan pulau tersebut menciptakan suatu perairan yang, secara
52
logika, ‘dijorokkan’ ke daratan oleh keberadaan garis pangkal tersebut. Makna
dijorokkan ke daratan ini adalah bahwa kondisi tersebut terjadi secara artifisial dan
tidak terjadi karena adanya faktor geografis alamiah. Berdasarkan atas penerapan
metode garis pangkal lurus tersebut, maka setiap zona perairan yang berada di balik
garis pangkal lurus akan disebut sebagai perairan pedalaman. Artinya, keberadaan
zona maritim tersebut memiliki status hukum yang sama dengan keberadaan
pelabuhan maupun roadstead yang diatur di dalam KHL 1958 dan KHL 1982.
Hashim Djalal memandang bahwa penggunaan metode garis pangkal lurus
adalah metode yang paling tepat untuk digunakan oleh negara kepulauan mengingat
bahwa penggunaan metode ini dapat mewujudkan konsep negara kepulauan sebagai
sebuah konsep yang ideal. Hashim Djalal menyatakan bahwa,
“This method is important to us, not only to protect the natural
resources of the archipelago for the benefit of our people, but also
for other non-resources purposes, such as the maintenance of
political stability, the promotion of inter-island communication
and economic relations the preseration of our domestic peace,
good order and security”88
Hashim Djalal menjelaskan bahwa kebutuhan bagi negara kepulauan untuk
menerapkan metode penarikan garis pangkal lurus adalah konsekuensi logis atas
hak negara coastal archipelago atas penerapan garis pangkal lurus.89 Wisnumurti,
di dalam Charlotte Ku, menjelaskan bahwa secara geografis, ada dua hal yang
membedakan antara negara kepulauan dengan negara ‘kontinental’ yang membuat
perlakuan terhadap negara kepulauan menjadi berbeda. Ia menyebutkan bahwa:
"The traditional method of measuring the territorial sea from
the lowwater mark was based on the assumption that the coastal
State possessed a land territory forming part of a continent. In
the case of archipelagos, such a system could not be applied
without harmful effects. An archipelago being essentially a body
of water studded with islands rather than islands with water
88 Djalal, op.cit, h. 318 89 Ibid, h. 300-301
53
around them, the delimitation of its territorial sea had to be
approached from a quite different angle. In the opinion of the
Indonesian Government, an archipelago should be regarded as
a single unit, the water between and around the islands forming
an integral whole with the land territory.”90
Namun, atas penerapan garis pangkal lurus tersebut bagi negara kepulauan
adalah apa status perairan yang ditutup oleh garis pangkal lurus tersebut? Pasal 5
ayat (1) KHL Laut Teritorial 1958 menyebutkan bahwa, “Waters on the landward
side of the baseline of the territorial sea form part of the internal waters of the
water.” Hal ini memberikan konsekuensi bahwa setiap wilayah perairan yang
ditutup oleh garis pangkal—baik garis pangkal normal maupun garis pangkal
lurus—disebut sebagai perairan pedalaman. Apabila negara kepulauan
menerapakan garis pangkal lurus terhadap wilayah perairan kepulauan, maka
wilayah perairan yang menghubungkan tiap-tiap pulau tersebut akan didefinisikan
sebagai perairan pedalaman. Hal ini seturut dengan Pasal 1 ayat (1) KHL Teritorial
1958 dan Pasal 2 ayat (1) KHL 1982 yang menyebutkan bahwa negara pantai
berdaulat atas wilayah perairan yang bersebelahan dengan pesisirnya dan atas laut
pedalamannya. Colombos menjelaskan bahwa laut pedalaman terdiri atas beberapa
fitur, baik artifisial maupun alamiah, seperti teluk, dermaga, pelabuhan, roadstead,
selat, danau, dan sungai. Atas fitur-fitur tersebut, selain terdapat suatu perjanjian
maupun konvensi internasional yang mengecualikan sebaliknya, negara yang ingin
memanfaatkan laut pedalaman ‘cannot … demand any rights for their vessels or
subjects although for reasons based on the interest of international commerce and
navigation.”91 Atas hal ini juga, Anand menjelaskan bahwa perairan kepulauan
90 Lihat Wisnomoerti, Indonesia and the Law of the Sea di dalam The Law of The Sea: Problems
From The East Asian Perspective 392, C. Park & J. Park eds., 1987, h. 392 di dalam Charlotte Ku,
The Archipelagic States Concept and Regional Stability in Southeast Asia, 23 Case W. Res. J. Int'l
L. 463, 1991, h. 469 91 Colombos, op.cit, h. 87-88
54
‘become internal waters subject to the absolute sovereignty of the coastal states,
there would be no right of aerial overflight, and movement of fishing vessels,
warsbips and submarines through, over and under those waters would be seriously
curtailed’. 92 Sebelum adanya KHL 1982, Indonesia memperlakukan perairan
kepulauan sebagai laut pedalaman93 sebagaimana disebutkan di dalam Mochtar
Kusumaatmadja, berdasarkan Deklarasi 13 Desember 1957 yang menyatakan
bahwa:
“Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang
menghubungkan pulau-pulau atas bagian pulau-pulau yang
termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak
memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar
daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan
demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang
berada di bawah kedaulatan mutlak daripada negara Indonesia.
Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal
asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan
kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas
laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis
yang menghubungkan titik-titik ang terlaur pada pulau-pulau
negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-
undang.”94
Dalam hal ini juga, Filipina juga memberikan respon yang sama terhadap
perairan kepulauan yang menghubungkan pulau-pulaunya dengan menyusun suatu
undang-undang pada tahun 1961 yang menyatakan penggunaan ‘straight lines
connecting the outermost points on the low water mark of the outermost islands’
ditujukan untuk mendelimitasi wilayah perairannya.95 Pentingnya penerapan garis
pangkal lurus oleh negara kepulauan tidak hanya memperhatikan aspek
geografisnya saja namun juga aspek-aspek lain, yaitu ‘… historical and
ethnological background, as well as out of practical needs to preserve and promote
92 Anand, op.cit, h. 208 93 Charlotte Ku, op.cit, h. 470. 94 Kusumaatmadja, op.cit, h. 186-18 95 Charlotte Ku, op.cit, h. 470
55
national unity and stability, economic development, defence and security, and the
efficient execution of administration of an archipelagic state’.96
b. Zona Ekonomi Ekslusif dan Landas Kontinen
a) Keberadaan Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen sebagai Solusi atas
Konflik Sumber Daya Alam Hayati dan Non Hayati di Atas Laut
Apabila isu laut teritorial beranjak pada keinginan negara pantai untuk
melindungi dirinya sendiri dari ancaman luar, isu yang melatarbelakangi konsep
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen beranjak pada beberapa
faktor, yaitu: pertama, banyaknya jumlah negara yang menjadi merdeka sehingga
mengakibatkan perubahan peta politik; kedua, kemajuan teknologi sebagai akibat
samping atau tambahan daripada kemajuan-kemajuan dalam teknologi yang terjadi
dengan pesatnya selama perang dunia kedua; dan ketiga, tambahan bergantungnya
bangsa-bangsa pada laut sebagai sumber kekayaan alam, baik kekayaan hayati
maupun kekayaan mineral termasuk minyak dan gas.97 Schrijver menjelaskan hal
ini sebagai berikut, “as a result of awareness among the allied States of their
dependence on the supply of strategic minerals from overseas, oil companies in the
industrialized States began to develop technology enabling them to exploit the
mineral resources of the sea-bed.”98
Li Xiaolu, dengan mempertimbangan aspek geologi, geografi, dan oseanografi,
menjelaskan definisi umum dari landas kontinen sebagai ‘the edge of a continent
that lies under the ocean’.99 John Trumbull, et.al., dalam laporan survey geologis
96 Djalal, op.cit, h. 300 97 Kusumaatmadja, op.cit, h. 81 98 Nicolaas Jan Schrijver, Sovereignty over Natural Resources: balancing rights and duties in an
interdependent world, S.N, University of Groningen, 1995, h. 194 99 Li Xiaolu, The Application of International Law Principle in Practice of the Delimitation of
Continental Shelf, World Maritime University Dissertation, 2013, h. 5
56
yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat menjelaskan landas kontinen ‘extend
from the mean low-water line to the sharp change in inclination that marks the
beginning of the continental slope (the shelf edge)’.100 Perubahan kontur alamiah
tersebut terjadi pada kedalaman 132 meter di bawah permukaan laut dan secara
umum batas yang digunakan untuk menentukan perubahan tersebut terjadi pada
kedalaman 183 meter di bawah permukaan laut dan kemiringan rata-rata inklinasi
landas kontinen tersebut adalah satu perdelapan dari 1o. Secara geologis, kontur
alamiah landas kontinen yang berakhir pada lereng benua, atau continental slope,
‘extend from the outer margin of the continental shelves to the floors of the deep
ocean basins’. Tinggi dari lereng benua tersebut rata-rata adalah 3660 meter dengan
lebar rata-rata adalah 16-32 kilometer. Inklinasi lereng benua terjadi pada
kemiringan 4o sampai 25o.101 Stewart memberikan definisi serupa mengenai landas
kontinen sebagai ‘zones adjacent to a continent (or around an island) and extending
from the low-water line to the depth, usually about 120 m, where there is marked
or rather steep descent toward the great depths.’102 Oleh karenanya, Trumbull,
et.al., menyimpulkan bahwa “The continental shelves are a simple underwater
continuation of the adjacent land, and, as would be expected, their geology is
merely an extension of the geology of the bordering land areas.”103 Sehingga dapat
disimpulkan bahwa landas kontinen adalah bagian yang tak terpisahkan dari daratan.
Namun hal ini menjadian suatu isu lain mengenai bagaimana hukum internasional
mengatur karakter hukum dari landas kontinen.
100 James Trumbull, et.al., An Introduction to the Geology and Mineral Resources of the Continental
Shelf of the Americas, United States Government Printing Office, Washington, 1958, h. 2 101 Ibid. 102 Robert H. Stewart, Introduction to Physical Oceanography, Texas A & M University, 2005, h.
27 103 Trumbul, et.al., op.cit, h. 12
57
Secara normatif, hukum laut internasional lebih dahulu mengenal konsep
landas kontinen dari pada zona ekonomi eksklusif. Mengenai landas kontinen, KHL
1958 sudah mengatur hak negara atas landas kontinennya pada Konvensi Landas
Kontinen 1958. Pasal 1 KHL Landas Kontinen 1958 menjelaskan bahwa landas
kontinen merujuk pada dua (2) fitur, yaitu: “(a) the seabed and subsoil of the subsoil
of the submarine areas adjacent to the coast but outside the area of territorial sea,
to a depth of 200 meters or, beyond that limit, to where the depth of the superjacent
waters admits of the exploitation of the natural resources of the said areas; (b) to
the seabed and subsoil of similar submarine area adjacent to the coast of island.”
Pasal 2 KHL Landas Kontinen 1958 menyatakan bahwa negara pantai memiliki hak
berdaulatan (sovereignty rights) di atas landas kontinen untuk melakukan ekplorasi
dan eksploitasi sumber daya alam yang ada di landas kontinen tersebut. Selain dari
pada hak berdaulat yang diberikan konvensi tersebut kepada negara pantai, KHL
Landas Kontinen 1958 menyatakan bahwa ‘no one may undertake thes activites, or
make a claim to the continental shelf, without the express consent of the coastal
state’ dan atas landas kontinen tersebut, hak berdaulat negara pantai ‘do not depend
on ccoupation, effective or national, or on any express proclamation’. Sebagai
sebuah zona maritim yang mengandung sumber daya alam yang melimpah, KHL
Landas Kontinen 1958 menjelaskan bahwa sumber daya alam yang terdapat di
landas kontinen tersebut terbagi atas: a) mineral dan sumebr daya alam non-hayati
yang terdapat di dasar laut dan tanah; b) sumber daya alam hayati yang
dikategorikan atas spesies sedentary.
Namun mengapa landas kontinen muncul dan bagaimana ia bisa menjadi
sebuah konsep yang terpisah dengan hak negara pantai atas wilayah perairannya?
58
Perhatian pertama terhadap dasar laut dan tanah di bawahnya mulai timbul pada
tahun 1918, yaitu pada waktu Amerika serikat berhasil mengeksploitasi minyak
kira-kira 50 mil dari pantai Teluk Mexico. Tetapi perkembangan hukum yang
penting baru terjadi dengan ditandatanganinya perjanjian antara Inggris dan
Venezuela pada tahun 1942 untuk menentukan garis batas daerah dasar laut masing-
masing di Teluk paria guna memungkinkan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya
alam minyak di teluk tersebut. 104 Perkembangan penting mengenai isu landas
kontinen pertama kali diangkat oleh President Truman untuk dalam deklarasi yang
terkenal, Proklamasi Truman. Dalam proklamasi tersebut, Presiden Truman
menyatakan sebagai berikut:
“Now, therefore, I, Harry S. Truman President of the United
States of America, do hereby proclaim the following policy of
United States of America with respect to the natural resources of
the subsoil and seabed of the continental shelf. Having concern
fot the urgency of conserving and prudently utlizing its natural
resources, the Government of the United States of America
regards the natural resources of the subsoil and seabed of the
continental shelf beneath the high seas but contiguous to the
coast of the United States are appertaining to the United States,
subject to its jurisdiction and control. In cases where the
continental shelf extends to the shores of another State, or is
shared with an adjacent State, the boundary shall be determined
by the United States and the State concerned in accordance with
equitable principle. The character as high seas of the waters
above the continental shelf and the right to their free and
unimpeded navigation are in no way thus affected.”105
Lauterpacht, dengan dikutip oleh Anand, menyatakan bahwa Proklamasi Truman
sebagai ‘as one of the decisive acts in history, ranking with the discoveries of
Colombus at a turning points of human destiny’.106 Selain itu, Proklamasi Truman
menyumbangkan prinsip-prinsip hukum baru yang menandakan perkembangan
104 Sodik, op.cit, h. 108-109 105 Kusumaatmadja, op.cit, h. 82 106 Anand, op.cit, h. 165
59
yang fundamental atas konsep landas kontinen. Hal tersebut diuraikan di dalam
North Continental Shelf Case sebagai berikut: “the Truman Proclamation stated
that such boundaries ‘shall be determined by the United States and the State
concerned in accordance with equitable principles’. These two concepts, of
delimitation by mutual agreement and delimitation in accordance with equitable
principles, have underlain al1 the subsequent history of the subject,”107
Mochtar Kusumaatmadja mengungkapkan bahwa tindakan pemerintah
Amerika serikat ini didasarkan atas pendapat ahli-ahli geologi minyak bumi bahwa
bagian-bagian tertentu dari dataran kontinen di luar batas 3 mil mengandung
endapan-endapan minyak bmi yang sangat berharga. Tindakan ini memungkinkan
untuk mengeksploitasikan secara teratur suatu daerah di bawah permukaan laut (sub
marine area) yang luasnya 750.000 mil persegi yang ditutup oleh air yang
dalamnya tidak lebih dari 100 fathom atau sekitar 180 meter di bawah permukaan
laut.108 Selain dari kepentingan ekonomi atas landas kontinen, Presiden Truman
memberikan justifikasi bahwa hak negara pantai atas wilayah landas kontinen
tersebut terjadi karena natural extension dari wilayah daratan Amerika Serikat.
Beranjak dari premis tersebut, Presiden Truman menyimpulkan bahwa dibawah
hukum internasional, “States have inherent sovereign rights to their land
territory”109 dan karena hak yang timbul atas dan berlanjut secara alamiah tersebut,
maka ‘the sovereignty of coastal states like U.S. extended to the underwater
107 North Sea Continental Shelf, Judgment, I.C.J. Reports 1969, p. 3, para. 47 108 Kusumaatmadja, op.cit, h. 84 109 Anna Cavnar, Accountability and the Commission on the Limits of the Continental Shelf:
Deciding who owns the Ocean Floor, IILJ Emerging Scholars Paper 15, 2009, h. 5
60
prolongation of that territory and coastal countries could control to the shelf and
its resources’.110
Penulis sendiri mengamati bahwa Proklamasi Truman menyumbangkan
beberapa poin penting atas konsep landas kontinen, yaitu: a) negara memiliki
kepentingan atas sumber daya alam yang ada di dasar laut dan tanahnya; b) negara
bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya tersebut dan bertanggung jawab atas
pelestarian sumber daya tersebut; c) negara memiliki hak atas landas kontinen yang
berlanjut dari daratannya dan memiliki yurisdiksi dan kontrol atas landas kontinen
tersebut; d) delimitasi landas kontinen yang bersebelahan dengan negara lain
diselesaikan melalui perjanjian yang didasari atas principle of equitable atau prinsip
kewajaran; dan e) wilayah perairan di atas landas kontinen tersebut tidak akan
menghalangi karakter laut lepas dan hak negara atas lintas damai melalui wilayah
perairan tersebut.
Selain melahirkan konsep landas kontinen, isu kekayaan sumber daya laut juga
melahirkan konsep Zona Ekonomi Eksklusif (selanjutnya akan disingkat menjadi
ZEE) sebagai suatu konsep hukum yang lebih modern dari pada konsep landas
kontinen. Dalam perkembangannya, konsep ini tidak termanifestasikan sebagai
sebuah konsep khusus dalam KHL 1958 dan KHL 1982. Namun, konsep ini dikenal
dalam kebiasaan internasional sebagai suatu zona perikanan khusus yang dimiliki
oleh negara pantai. Konferensi hukum laut internasional tahun 1958 mengatur hak
dan kewajiban negara atas suatu wilayah perikanan dalam salah satu konvensinya
yang disebut KHL 1958 tentang Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Hayati di
Laut Lepas. Sama dengan kondisi yang melatarbelakangi terbentuknya landas
110 Ibid.
61
kontinen sebagai bagian dari hukum laut internasional, perkembangan teknologi
juga menjadi alasan yang sama mengapa konsep zona ekonomi eksklusif tercipta.
Secara normatif, hal ini dapat diperhatikan dari pertimbangan KHL 1958 yang
menyebutkan bahwa: “… the development of modern techniques for the
exploitation of the living resources of the sea, increasing man’s ability to meet the
need of the world’s expanding population for food, has exposed some of these
resources to the danger of being exploited.” Konflik sumber daya alam yang
tercipta karena kepentingan negara-negara pantai atas suatu wilayah perikanan di
laut lepas, berdasarkan KHL 1958, hanya diatur secara arbitratry antara para pihak
yang berkepentingan. Hal ini tentunya tidak menyelesaikan isu kepetingan ekonomi
negara namun juga umat manusia di mana perkembangan teknologi menciptakan
suatu kondisi di mana kemampuan manusia untuk mengeksploitasi sumber daya
tersebut telah meningkat.
Zona ekonomi eksklusif adalah inovasi signifikan dari KHL 1982 yang
membedakannya dari KHL 1958 ketika KHL 1958 meletakkan dasar fundamental
atas laut teritorial, landas kontinen, laut lepas, dan perikanan. Beckman dan
Davenport menjelaskan signifikannya konsep ini sebagai sebuah prestasi KHL
1982 dengan menyebut
“The negotiations were characterized by the traditional
dichotomy between coastal States and the major maritime powers
that has always shaped the law of the sea. The consensus
ultimately reached reflects a carefully constructed balance which
reflects both legal doctrine and political realities.”111
Odell menjelaskan bahwa, dalam realita politik internasional, kepentingan ekonomi
yang dimiliki oleh negara berkembangan menjadikan alasan mengapa negara-
111 Robert Beckman dan Tara Davenport, The EEZ Regime: Reflection after 30 Years, Papers from
the Law of the Sea Institute, UC Berkeley–Korea Institute of Ocean Science and Technology
Conference, Mei 2012, h. 3
62
negara berkembang justru menginginkan suatu wilayah laut yang luas di mana hal
ini berbanding terbalik dengan negara-negar maju yang menginginkan wilayah
teritorial yang lebih sempit. Odell sendiri berargumen bahwa “Developing State will
argue for wide territorial sea and/or exclusive economic zones with expansive
sovereign ownership and regulatory control.”112 Hal ini disebabkan karena negara
berkembang berada dalam kondisi yang menuntutnya untuk menjaga dirinya dari
ancaman negara-negara maju. Odell menjelaskan hal ini sebagai berikut:
“Security-craving states would ideally prefer to claim expansive
jurisdiction alone their own coasts while insisting that other
states can only claim limited jurisdiction at sea, particularly if
they perceive threats from other naval powers or if they perceive
a need to project power to other states’ coasts to protect their
security.”113
Patuzi menjelaskan bahwa zona ini sangat kaya akan kandungan sumber daya alam
hayati dan non-hayati. Beliau menjelaskan sebagai berikut:
“If all coastal states thus exercised their jurisdiction over their
own EEZ, some 38 million square nautical miles would become
their “economic patrimony”. It should be mentioned that the
ocean represents 71% of the total surface of the earth and that
32% of that falls under the jurisdiction of coastal states.
Consequently inside these economic zones would lie 90% of
global fshing, 87% of oil deposits and 10 % of polymetallic
nodules.”114
Oleh karena itu, Odell menyimpulkan bahwa negara-negara berkembang “desiring
expansive jurisdiction along their coasts or limited jurisdiction along others’ coasts
are incentivized to advocate expansive or limited jurisdiction as international
norms that apply to all states, including themselves.”115 Hal ini seturut dengan
112 Odell, op.cit, h. 8 113 Ibid, h. 18 114 Patuzi, op.cit, h. 149 115 Odell, op.cit, h. 18
63
praktik negara-negara Amerika Latin yang mengajukan klaim wilayah teritorial
hingga 200 mil laut.
b) Kedaulatan dan Hak Berdaulat Negara Pantai di atas Landas Kontinen dan
Zona Ekonomi Eksklusif
Apabila laut teritorial adalah perwujudan keinginan negara atas keamanan dan
landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif sebagai keinginan negara atas
pemanfaatan nilai ekonomi dari sumber daya alam yang ada di suatu wilayah laut,
apakah negara pantai memiliki kedaulatan atas landas kontinen dan zona ekonomi
eksklusif yang sama seperti laut teritorial? Apabila tidak ada perbedaan di antara
dua hal tersebut, mengapa negara pantai memperlakukan dua konsep ini secara
berbeda? Apakah pemanfaatan nilai ekonomi dari suatu wilayah laut dapat menjadi
dasar bagi negara untuk meletakkan klaim kedaulatan teritorial di atas suatu
wilayah laut tersebut?
Secara singkat, jawaban dari pertanyaan tersebut adalah tidak. Negara pantai
tidak dapat menggunakan dasar pemanfaatan nilai ekonomi dari suatu wilayah laut
sebagai dasar baginya untuk meletakkan hak kedaulatan teritorial di atas wilayah
laut tersebut. Hal ini disebabkan karena karakter utama dari laut teritorial adalah
‘sea adjacent to its coast’ yang hanya dimaksudkan, secara literal, sebagai suatu
wilayah laut yang berbatasan dengan pesisir pantainya. Negara pantai hanya dapat
meletakkan hak kedaulatan teritorial di atas laut teritorial atas suatu wilayah laut
yang bersebarangan dengan wilayah daratannya.116 Sementara itu, landas kontinen
dan zona ekonomi eksklusif tidak menggunakan hal tersebut sebagai alas hak
negara pantai. Seperti yang telah penulis jelaskanya pada bagian sebelumnya,
116 Pasal 2 ayat (1) KHL 1982
64
secara alamiah, hak negara pantai atas zona landas kontinennya timbul karena
landas kontinen tersebut adalah ‘natural prolongation of its land territory’ yang
hanya dapat dimaksudkan sebagai suatu wilayah daratan yang berlanjut dari pesisir
pantai hingga ke dalam laut.117
Lalu, apakah yang dimaksud dengan hak berdaulat (sovereign right) negara
pantai atas wilayah landas kontinennya? Brilmayer, dengan mengutip O’Connel,
menyebutkan bahwa Inggris berargumen bahwa negara pantai dapat meletakkan
kedaulatan di atas landas kontinen dengan dasar pemanfaatan sumber daya alam di
landas kontinen.118 Hal ini hanya dapat menjadi dasar hukum bagi negara pantai
untuk meletakkan kedaulatan di atas wilayah tersebut karena landas kontinen
adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan daratan negara pantai dan hal tersebut
memiliki konsekuensi hukum berupa negara pantai dapat meletakkan hak
kedaulatan teritorial dengan dasar pendudukan atas wilayah tersebut secara fisik.
Hal ini, dalam pandangan Brilmayer, diakibatkan karena diskursus hukum pada
tahun 1950-1960an turut dipengaruhi oleh keenganan negara-negara berkembangan
untuk menganut doktrin ini sebagai alokasi zona landas kontinen dalam hukum laut
internasional.119 Negara-negara maju menguasai dan mengontrol perkembangan
teknologi di mana negara-negara berkembang berada pada posisi yang sulit untuk
berkompetisi secara adil dengan negara-negara maju.
Dalam perkembangannya juga, putusan-putusan pengadilan internasional turut
mendukung perspektif ini. Dalam pertimbangan hakim pada sengketa North Sea
Continental Shelf, mahkamah mempertimbangkan bahwa delimitasi landas
117 Pasal 76 ayat (1) KHL 1982 118 Lea Brilmayer, Land and Sea: Two Sovereignty Regime in Search of a Common Denominator,
Faculty Scholarship Series, Paper 2523, 2001, h. 710 119 Ibid, h. 711
65
kontinen tidak didasari atas penguasaan fisik atas wilayah tersebut, berikut
argumentasi mahkamah:
“The rights of the coastal state in respect of the area of the
continental shelf that constitutes a natural prolongation of its
land territory into and under the sea exist, ipso facto and ab
initio, by virtue of its sovereignty over the land, and as an
extension of it in an exercise of sovereign rights for the purpose
of exploring the seabed and exploiting its natural resources.”120
Putusan lain yang turut menguatkan tesis ini terdapat dalam putusan mahkaman
pengadilan intenasional di dalam sengketa antara Tunisia v. Libya yang
menyebutkan sebagai berikut:
The 'ab initio' doctrine ... was adopted at the Geneva Conference
as a means of protecting coastal States which had not made a
proclamation of their continental shelf rights and had no means
of exploring or exploiting their resources . . . . All coastal States
accepted the doctrine without hesitation mainly because of its
negative consequences, namely, that it prevented a rush and grab
for sea-bed resources being undertaken by a few States on the
basis of the Grotian dogma of 'freedom of the sea.' It is for this
reason that the 1958 Convention does not subordinate the
acquisition ab initio of sovereign rights to actual exploitation or
occupation, or even to a proclamation of these rights.121
Di dalam dua putusan ini, kita dapat memperhatikan bahwa hak negara atas landas
kontinen tidak terjadi karena ‘physical occupation’ dari negara pantai namun ia
timbul ab initio dan ipso facto ketika negara itu ada. Sehingga secara sederhana
dapat dipahami bahwa hak negara pantai atas zona tersebut tidak memerlukan
pernyataan atau suatu proklamasi, seperti yang dapat dilihat dapat Proklamasi
Truman, tetapi hak negara atas landas kontinen tersebut terjadi sebagai akibat
negara tersebut berdiri. Hal ini juga dinyatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja
sebagai berikut: “Fakta geologis berdekatannya suatu daerah di bawah permukaan
laut dengan pantai suatu negara itu saja sudah cukup untuk memberikan hak kepada
120 North Sea Continental Shelf, Judgment, I.C.J. Reports 1969, p. 3, para. 19 121 Concerning the Continental Shelf (Tunis. v. Libyan Arab Jamahiriya), 1982 I.CJ. 123 (Feb. 24)
(separate opinion of Judge Jimenez de Arechaga), para. 82
66
negara pantai itu atas kekayaan alam yang terdapat dalam landas kontinen.”122
Komentar hakim Jimenez terhadap sengketa landas kontinen antara Tunisia dan
Libya juga menekankan perilaku negara-negara maju yang menyalahgunakan
doktrin Grotian atas prinsip freedom of the seas sebagai dasar negara pantai untuk
memanfaatkan sumber daya alam di wilayah tersebut. 123 Hashim Djalal juga
menekankan perilaku negara maju atas penyalahgunaan prinsip freedom of the seas
dengan menyebutkan sebagai berikut:
“The teaching of Grotius, while useful to the Dutch and the East
India Company, resulted in the colonization of Indonesia for
more than three centuries. Indonesia was not an isolated case; in
fact the conquest of what have now become independent
developing countries was to a large extent facilitated by the
principles of the freedom of the seas as practiced at the time.”124
Gidel, di dalam Anand, juga menyebutkan bahwa prinsip freedom of the seas tidak
perlu dilaksanakan dan dipahami sebagai suatu dogma yang baku yang tidak dapat
berubah seiring berjalannya waktu. Beliau menyebut sebagai berikut: “the principle
of the freedom of the high seas need not remain absolute should the satisfaction of
legitimate interests require that freedom to be waived. If the freedom of the seas
had had to remain sacrosanct, the suppression of piracy would never have been
accepted.”125 Timpangnya kekuatan negara-negara berkembang dengan negara-
negara maju juga mengakibatkan pergeseran makna kedaulatan yang didasari atas
kepentingan ekonomi negara pantai di mana Anand memandang bahwa hal ini
adalah alasan mengapa negara-negara berkembang lebih memilih mengajukan
klaim kedaulatan teritorial yang sangat luas hingga mencapai 200 mil laut demi
122 Kusumaatmadja, op.cit, h. 87 123 Concerning the Continental Shelf (Tunis. v. Libyan Arab Jamahiriya), 1982 I.CJ. 123 (Feb. 24)
(separate opinion of Judge Jimenez de Arechaga), para. 70 124 Djalal, op.cit, h. 80 125 Anand, op.cit, h. 166
67
melindungi kepentingan negaranya dari pihak asing yang dapat mengeksploitasi
sumber daya alam tersebut demi kepentingan negaranya sendiri.126
Konsep Zona Ekonomi Eksklusif, menurut Djalal, dapat diklasifikan menjadi
beberapa bagian, yaitu: 1) konsep wilayah; 2) konsep sumber daya alam; 3) konsep
lingkungan; 4) konsep penelitian saintifik; 5) konsep mendirikan instalasi, struktur,
dan pulau buatan; dan, 6) konsep tentang hak dan kewajiban negara di zona
ekonomi eksklusif.127 Secara umum, sumber daya alam yang terdapat di dalam zona
ekonomi ekslusif terdiri dari mineral, garam, bahan-bahan kimia tertentu, dan yang
paling penting dari keberadaan zona ekonomi eksklusif adalah perikanan. 128
Penulis dalam hal ini memandang bahwa dalam perkembangannya, hak negara
pantai atas sumber daya perikanan di wilayah menjadi dasar mengapa konsep ini
tercipta. Hal ini juga ditekankan oleh Knight dengan menyatakan bahwa alasan
mengapa konvensi-konvensi hukum laut yang telah dilaksanakan tidak mencapai
hasil yang mencerahkan adalah karena ‘the failure of the First and Second
Conference to produce solutions to the critical questions of the breadth of the
territorial sea and the nature of fishing rights in coastal areas, and because of the
advance of the technology in other areas of ocean space use …’129
Di dalam KHL 1958 tentang perikanan tidak dijelaskan mengenai di mana
suatu zona perikanan tersebut berada maupun berapa lebar zona perikanan yang
negara pantai kuasai. Pasal 1 ayat (1) KHL 1958 menjelaskan secara implisit bahwa
setiap negara memiliki hak atas warga negaranya yang menangkap ikan di laut lepas
dan apabila ada dua negara atau lebih yang melakukan kegiatan penangkapan ikan
126 Ibid, h. 188 127 Djalal, op.cit, h. 134-135 128 Ibid, h. 135 129 Knight, op.cit, h. 158
68
di suatu wilayah laut lepas maka, berdasarkan Pasal 4 KHL 1958 tentang Perikanan,
negara-negara tersebut akan menyelesaikan masalah tersebut melalui suatu
Perjanjian yang mengatur berapa banyak tangkapan yang dapat dieksploitasi oleh
negara tersebut dan tetap mengindahkan konservasi lingkungan hidup atas
ekploitasi tersebut. Meski KHL 1958 tidak mengatur berapa lebar wilayah
perikanan tersebut, Pasal 6 ayat (1) KHL 1958 tentang Perikanan menjelaskan
bahwa negara pantai memiliki ‘special interest in the maintenance of the
productivity of the living resources in any area of the high seas adjacent to its
territorial sea’. Maka dari itu, negara pantai cenderung memandang bahwa suatu
wilayah laut yang berseberangan dengan laut teritorial sebagai suatu ‘zona khusus’
yang tunduk pada kebiasaan yang berlaku di negara tersebut. Suatu zona khusus ini,
dalam pandangan sarjana hukum internasional, disebut sebagai historic fishing
right.130
Bernard menjelaskan secara eksplisit bahwa ada perubahan yang fundamental
dalam hak negara pantai untuk mengeksploitasi sumber daya hayatinya ketika KHL
1982 mentransformasikan hukum laut internasional secara masif. Isu ini terangkat
kembali ketika konflik laut tiongkok selatan semakin memanas ketika Tiongkok
menggunakan historic fishing right sebagai dasar klaim wilayah teritorial mereka.
Namun penggunaan terma historic right tersebut perlu dibedakan dengan konsep
historic water yang memang sudah diatur di dalam KHL 1982 meski hanya terbatas
pada teluk bersejarah/historic bays. Bernard menjelaskan bahwa historic water
sebagai ‘water over which the coastal state, contrary to the generally applicable
130 Leonardo Bernard, The Effect of History Fishing Rights In Maritime Boundaries Delimitation,
Papers from the Law of the Sea Institute, UC Berkeley–Korea Institute of Ocean Science and
Technology Conference, Mei 2012, h. 2
69
rules of of international law, clearly, effectively, continuously, and over a
substantial period of time, exercise sovereign rights with the aqcuiescence of the
community of States’.131 Dalam fisheries case antara Inggris dan Norwegia, majelis
hakim menjelaskan bahwa: “By ‘historic water’ are usually meant waters which
are treated as internal waters but which would not have that character were it not
for the existence of an historic title.”132 Sementara itu, historic right adalah klaim
untuk ‘exercise certain rights, usually fishing rights, in what are usually deemed to
be international waters’.133 Mengenai historic rights ini, putusan ICJ atas sengketa
Qatar v. Bahrain mengenai delimitasi laut teritorialnya menjelaskan bahwa historic
rights yang tercipta karena pemanfaatan suatu wilayah laut secara terus menerus
tidak menciptakan kedaulatan namun menciptakan suatu karakter ‘quasi-territorial
rights’ dan mahkamah menyimpulkan bahwa pemanfaatan tersebut tidak dapat
serta merta menciptakan suatu wilayah laut yang dapat menggeser delimitasi
wilayah laut teritorial dengan dasar historic rights.134 Bernard sendiri menjelaskan
hal ini sebagai berikut:
“It would be easier for a State to provide evidence of historic
fishing activities in an area of water as opposed to trying to
establish an historic exercise of sovereignty over the area. It is
important to remember that a State’s claim to historic rights does
not mean that this right gives the claiming State sovereignty over
the relevant body of water.”135
Oleh karena itu, dapat dijelaskan bahwa eksplorasi, eksploitasi, dan konservasi
sumber daya alam hayati dan non-hayati di suatu wilayah laut adalah berbeda
dengan kemampuan negara untuk meletakkan kedaulatannya di suatu wilayah laut
131 Bernard, op.cit, h. 3 132 North Atlantic Coast Fisheries Case (1910) XI R.I.A.A 167, p. 130 133 Bernard, op.cit, h. 4 134 Qatar v. Bahrain, op.cit, para. 236 135 Bernard, op.cit, h. 4
70
yang bersebelahan dengan wilayah daratannya. Pada laut teritorial, negara pantai
melaksanakan kedaulatan dan yurisdiksinya secara penuh di mana hal ini memiliki
konsekuensi bahwa setiap perbuatan yang terjadi di atas laut teritorial, tanpa
memandang kewarganegaraan dari orang yang melakukan perbuatan tersebut,
berada di bawah yurisdiksi negara pantai. Oleh karena itu, zona ekonomi eksklusif
memiliki dasar hukum yang berbeda dari laut teritorial di mana konflik kepentingan
atas sumber daya alam yang berada di wilayah laut adalah alasan mengapa konsep
ini diciptakan.
Ketidakmampuan negara pantai untuk meletakkan kedaulatan teritorial di
landas kontinen juga berlaku pada wilayah maritim negara pantai di zona ekonomi
eksklusif. Hal ini dapat disederhanakan dengan menyebut bahwa ketidakmampuan
faktor kepentingan ekonomi sebagai alasan bagi negara untuk meletakkan
kedaulatan teritorial di zona ekonomi eksklusif. Hoyle menjelaskan hal ini dengan
mengatakan bahwa, “Thereon, national interest are the main reason of the state
benefit of its citizen.” 136 Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, isu
penangkapan ikan adalah embrio dari konsep zona ekonomi eksklusif. Schrijver
mengatakan bahwa, “Apart from economic reasons, the establishment of fishery
zones became imperative as awareness increased of the growing depletion of
fishery resources through overfishing and the need to take conservation
measures.”137
136 Oscar Garrido-Lecca Hoyle, How exclusive is the Exclusive Economic Zone : contemporary
analysis of the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, World Maritime University
Dissertations, 2013, h. 32 137 Nicolaas Jan Schrijver, op.cit, h. 198
71
Pada praktiknya negara-negara pantai di amerika latin dan afrika sebelum
KHL 1982 berlangsung menggunakan istilah ‘patrimonial sea’138 untuk menyebut
sebuah wilayah perairan yang bersebelahan dengan laut teritorialnya di mana pada
laut patrimonial ini, negara pantai memiliki yurisdiksi atas wilayah laut tersebut dan
hal ini menjadikan alasan bagi negara-negara pantai untuk meletakkan klaim
kedaulatan wilayah laut teritorial hingga 200 mil laut. Argumentasi Brilmayer
dalam hal ini melihat bahwa karakter kesejarahan tidak dapat menciptakan
hubungan antara daratan dengan lautan—metafora hubungan negara dengan
wilayah laut teritorialnya. Ia menjelaskan bahwa, “The primary determinant is not
a history of use or occupation but legal rules and ‘equity’.”139 Apabila memang
demikian, lalu mengapa negara pantai tidak memiliki alas hak untuk meletakkan
kedaulatan teritorial di zona ekonomi eksklusif? Beckman dan Davenport
menjelaskan bahwa pada konverensi hukum laut ketiga, meski pada awalnya
negara-negara dengan kekuatan maritim yang kuat menginginkan agar hasil dari
konvensi hukum laut ini dapat melindungi kepentingan ekonomi dan politik
mereka, pada akhirnya negara-negara dengan kekuatan maritim seperti Amerika
dan Uni Soviet mengakui klaim negara pantai atas diperluasnya hak dan yurisdiksi
yang dimiliki oleh negara pantai atas wilayah perairan lepas dari pesisir pantainya
dengan catatan bahwa akses dan kebebasan bernavigasi di wilayah laut teritorial
harus dijaga ‘to the greatest extent as possible’.140 Atas hubungan yang diciptakan
antara karakter hukum dan kepentingan ekonomi dari zona ekonomi eksklusif
tersebut, Njenga menyebutkan sebagai berikut:
138 Anand, op.cit, h. 199 139 Brilmayer, op.cit, h. 726 140 Beckman, et.al., op.cit, h. 5.
72
“The exclusive economic zone concept is an attempt at creating a
framework to resolve the conflict of interests between the
developed and developing countries in the utilization of the sea.
It is an attempt to formulate a new jurisdictional basis which will
ensure a fair balance between the coastal states and other users
of the neighbouring waters.”141
Lalu ia juga melanjutkan bahwa, “A system which permitted such inequality was
clearly imbalanced and should be change.” 142 Sehingga dalam hal ini penulis
berpendapat bahwa ketidakmampuan negara pantai untuk meletakkan kedaulatan
teritorial di atas zona ekonomi eksklusif tersebut lebih karena disebabkan konflik
kepentingan ekonomi antara negara maju yang menguasai teknologi dan sumber
daya manusia untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi tersebut dengan negara
berkembangan yang tidak memiliki kemampuan untuk itu. Namun perlu kiranya
kita memperhatikan penjelasan perwakilan Malta di Majelis Umum PBB yang
menyatakan bahwa keberadaan hak berdaulat yang tidak diatur secara limitatif dan
geografis dapat mengakibatkan kerugian yang amat besar. Ia menjelaskan bahwa
hal tersebut dapat mengakibatkan:
“a dramatic escalation of the arms race and sharply increasing
world tensions, caused also by the intolerable justice that would
reserve the plurality of the world's resources for the exclusive
benefit of less than a handful of nations. The strong would get
stronger, the rich richer, and among the rich themselves there
would arise an increasing and insuperable differentiation
between two or three and the remainder. Between the very few
dominant Powers, suspicions and tensions would reach
unprecedented levels.”143
Hal yang serupa juga didapati dari bagaimana perseturuan negara-negara maju
terhadap pemanfaatan nilai ekonomi yang terdapat di landas kontinen di mana
teknologi pengeboran minyak yang dikuasai oleh negara-negara maju
141 Anand, op.cit, h. 199 142 Ibid. 143 Ibid, h. 239
73
mengakibatkan kerugian terhadap lingkungan namun juga terhadap ketimpangan
ekonomi yang antara negara maju dengan negara berkembang.
Hak negara pantai atas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif bukanlah
sebuah perdebatan mengenai kedaulatan negara pantai atas dua wilayah tersebut.
Melainkan hak negara pantai atas sumber daya alam yang ada di dua wilayah
tersebut. Dalam analisa Mochtar Kusumaatmadja terhadap Proklamasi Truman,
proklamasi tersebut memisahkan hak penguasaan sumber-sumber kekayaan dalam
dasar laut dan tanah bawahnya dalam daerah bawah laut yang berbasan dengan
pantai dari keharusan adanya ‘effective occupation’. Dilepaskannya yurisdiksi
negara pantai atas daerah bawah permukaan air yang berbatasan dengan pantainya
ini dan keharusnya adanya ‘effective occupation’ dan dikaitkannya hak penguasaan
ini pada konsep landas kontinen sebagai lanjutan alamiah (natural prolongation)
dari daratan merupakan suatu perkembangan doktrin landas kontinen yang cukup
radikal. Konsep landas kontinen ini pada hakikatnya merupakan suatu
penggerogogtan terhadap kebebasan laut lepas yang menyatakan bahwa di luar
batas laut teritorial tidak ada pihak yang memiliki atau menguasai laut.
Ditetapkannya penguasaan negara atas sea-bed dan sub-soil daerah yang berbatasan
dengan pntainya tanpa ada keharusnya ‘effective occupation’ merupakan
penyangkalan dari doktrin kebebasan laut lepas sepanjang mengenai sea-bed dan
sub-soil dari laut lepas ini. 144 Oleh karena itu, hak negara pantai atas landas
kontinennya adalah hak atas sumber daya alamnya dan hak secara eksklusif hanya
dapat dimiliki oleh negara pantai karena karakter landas kontinen sebagai ‘natural
144 Kusumaatmadja, op.cit, h. 86
74
prolongation of its land territory’. Brilmayer menekankan hal ini dengan
menjelaskan sebagai berikut:
“States, it is said, have "sovereign rights," not "sovereignty," over
the continental shelf. The former term was adopted in order to
denote a status of rights less than full sovereignty and to reinforce
the principle that rights to explore and exploit the resources of
the seabed did not entail rights over the waters above the seabed
or to the airspace.”145
c) Hak dan Kewajiban Negara Pantai atas Landas Kontinen dan Zona Ekonomi
Eksklusif
KHL 1982 mengatur hak dan kewajiban negara pantai di landas kontinen dan
zona ekonomi eksklusif. Mengenai landas kontinen, KHL 1982 mengatur hak dan
kewajiban negara pantai dalam Pasal 77-85. Pasal 77 menyebutkan bahwa negara
pantai memiliki hak berdaulatan untuk melakukan tujuan mengeksplorasi dan
mengeksploitasi sumber daya alam di landas kontinen. Mengenai sumber daya
alam, Pasal 77 KHL 1982 menjelaskan bahwa sumber daya alam terdiri dari “…
mineral and other non-living resources of the seabed and subsoil together with
living organism belonging to sedentary species, that is to say, organism which, at
the harvestable stage, either are immobile on or under the seabed or are unable to
move except in constant physical contact with the seabed or the subsoil.” Lalu
dijelaskan dalam Pasal 77 ayat (2) dan (3) bahwa hak berdaulat negara pantai untuk
mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah tersebut tidak
tercipta karena okupasi, secara penuh maupun sebagian, atau berdasarkan
proklamasi dari negara pantai dan oleh karena itu, apabila negara pantai tidak
mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah tersebut maka tidak ada negara pantai
145 Brilmayer, op.cit, h. 720
75
lain yang dapat melakukan aktivitas tersebut tanpa kesepakatan dari negara pantai
tersebut.
Meski negara pantai memiliki hak berdaulat atas wilayah tersebut, Pasal 78
ayat (1) menjelaskan bahwa hak berdaulat tersebut tidaklah mempengaruhi status
hukum wilayah perairan yang bersebelahan dengannya dan wilayah udara yang ada
di atasnya. Ayat (2) menekankan prinsip ini bahwa setiap kegiatan yang dilakukan
oleh negara pantai di wilayah tersebut tidak akan mempengaruhi hak negara pantai
atas kebebasan berlayar di wilayah tersebut dan negara pantai tidak boleh
menghalangi maupun menginterfensi pelayaran tersebut.
Pasal 79 ayat (1) memberikan hak kepada semua negara untuk memasang
kabel-kabel dan saluran-saluran pipa di atas dasar landas kontinen. Sesuai dengan
itu, ayat 2 menetapkan bahwa dalam melaksanakan hak-haknya untuk melakukan
eksplorasi landas kontinen dan eksploitas dari pada sumber daya alam di landas
kontinen dan mengatur pencegahan, pengurangan dan pengawasan pencemaran
yang berasal dari pipa-pipa, negara pantai tidak boleh menghalangi-halangi
pemasangan kabel-kabel dan saluran-saluran pipa di atas dasar landas kontinen.
Namun demiian, ayat 3 mengharuskan persetujuan dari negara pantai untuk
pemasangan saluran-saluran pipa di atas dasar landas kontinen tersebut. atas dasar
itu, ayat 4 memberikan hak kepada negara pantai untuk menetapkan persyaratan-
persyaratan mengenai pemasangan kabel dan saluran-saluran pipa yang melintasi
wilayah darat atau wilayah laut teritorialnya.
Kemudian berdasarkan Pasal 80 bahwa ketentuan Pasal 60 berlaku mutatis
mutandis terhadap pembuatan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan di landas
kontinen. Selain itu, menurut Pasal 81 bahwa negara pantai mempunyai hak
76
eksklusif untuk mengizinkn dan mengatur pemboran di atas dasar landas kontinen
untuk semau keperluan. Pasal 85 menjamin hak negara pantai untuk melakukan
eksploitasi tanah di bawah dasar lautan yang berdekatan dengan pantainya dnegan
jalan pembuatan terowongan (tunneling) dari darat.
Pasal 82 ayat (1) mengatur kewajiban negara pantai untuk menymbangkan
sebagian dari hasil sumber daya alam landas kontinen yang diambilnya di luar batas
200 mil laut kepada Badan Otorita Internasional. Besarnya subangan itu menurut
ayat (2) adalah 1% dari produksi mulai tahun ke-6 produksi dan kemudian setiap
tahun naik dengan 1% , sehingga konirbusi tersebut maksimum menjadi 7% mulai
tahun produksi ke-12. Akan tetpai menurut ketentuan ayat (3) kewajiban untuk
menyumbangkan tersebut tidak berlaku bagi suatu negara berkembangan
pengimpor jenis barang tambang mineral yang dihasilkan dari landas kontinen.
Mengenai hak dan kewajiban negara pantai di zona ekonomi eksklusif, Pasal
56 ayat (1) huruf (a) KHL 1982 mengatur bahwa negara pantai mempunyai hak-
hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan
sumber daa alam, baik hayati maupun non-hayati dari perairan di atas dasar laut dan
dari dasar laut serta tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk
keperluan eksplorasi dan eksploitasi zona ekonomi tersebut. Pasal 56 ayat (1) huruf
(b) memberikan kewenangan kepada negara pantai untuk memiliki yurisdiksi atas
pembangunan pulau buatan, instalasi, dan struktur, penelitian ilmiah di laut, dan
perlindungan dan perawatan ekosistem laut.
Mengenai hubungan antara masing-masing negara pantai terhadap hak dan
kewajibannya di zona ekonomi eksklusif dapat diperhatikan dalam Pasal 58 di mana
pada ayat (1) mengatur bahwa di dalam zona ekonomi eksklusif, setiap negara,
77
tanpa memandang apakah ia merupakan land-locked states maupun negara dengan
kondisi geografi yang tidak menguntungkan, memiliki hak yang sama atas
kebebasan bernavigasi dan terbang di zona ekonomi eksklusif, memasang kabel dan
pipa bawah laut, dan tindakan-tindakan yang wajar atas pemanfaatan kebebasan
tersebut.
Kewenangan lainnya dari negara pantai terdapat dalam Pasal 60 ayat (1) yang
memberikan hak eksklusif kepada negara pantai untuk mengatur pembuatan,
perizinan, pengoperasian dan penggunaan: a) pulau-pulau buatan; b) instalasi dan
bangunan untu kekgiatan-kegiatan yang ditetapkan dalam Pasal 56; c) instalasi dan
bangunan yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap pelaksanaan hak-hak
berdaulat negara pantai dalam zona ekonomi eksklusifnya. Lalu Pasal 60 ayat (2)
mengatur bahwa atas tiga fitur yang dapat dibangun oleh negara pantai, negara
pantai memiliki yurisdiksi atas bea cukai, fiskal, imigrasi, saniter, keamanaan dan
pengaturan-pengaturan yang terkait dengan keimigrasian. Atas pembangunan tiga
fitur tersebut, negara pantai memilii kewajiban, sebagaimana diatur dalam Pasal 60
ayat (3), untuk memberitahukan kepada negara-negara lain mengenai keberadaan
pulau-pulau buatan, instalasi, dan bangunan tersebut. sehubungan dengan itu, maka
setiap instalasi dan bangunan yang tidak digunakan harus dicabut guna menjamin
keselamatan pelayaran dengan memperhatikan standar-standar internasional yang
diterima secara umum. Pencabutan tersebut dilakukan dengan memperhatikan
kegiatan penangkapan ikan, dan perlindungan lingkungan laut.
Di zona ekonomi eksklusif tersebut, negara pantai mempunyai hak-hak
berdaulat dan yurisdiksi khusus yang terkait dengan pemanaat smbe daya alam ikan
yang berada pada jalur tersebut. Ketentuan yang mengatur hal tersebut diatur di
78
dalam Pasal 61 KHL 1982 yang mengatur bahwa negara pantai diwajibkan untuk
mengambil langkah-langkah konservasi dengan menetapkan jumlah tangkapan
ikan yang diperbolehkan dari sumber daya ikan yang terdapat di dalam zona
ekonomi eksklusifnya. Untuk itu, negara pantai memiliki kewajiban untuk
memperhatikan dampak yang diakibatkan dari penangkapan ikan apabila
penangkapan ikan tersebut tidak memperhatikan dampaknya kepada lingkungan
.146
Untuk mencapai pemanfaatan yang maksimal dari sumber daya ikan tersebut,
Pasal 62 ayat (2) KHL 1982 mengatur bahwa negara pantai harus menetapkan
kemampuannya untuk menangkap dan memberikan kesempatan kepada negara-
negar alain di kawasannya, terutama negara-negara tidak berpantai dan negara-
negara yang secara geografis kurang beruntung untuk memanfaatkan surplus dari
jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan yang tidak dimanfaatkan oleh negara
pantai.
Ketentuan penting yang berkaitan dengan pengaturan mengenai pengelolaan
sumber daya ikan di zona ekonomi eksklufis ditemukan dalam Pasal 62 ayat (4)
huruf (2) yang menetapkan hak negara pantai dalam pengaturan surat izin
penangkapan ikan kepada kapal-kapal perikanan asing dan jenis alat penangkapan
ikan yang boleh digunakan. Dalam pengertian ini, kegiatan penangkapan ian di
zona ekonomi eksklusif hanya dapat dilakukan bila telah memperolah surat izin
penangkapan ikan yang dikeluarkan oleh negara pantai sesuai dengan persyaratan-
persyaratan yang berlaku. Pasal 62 huruf (b) mengatur bahwa negara pantai
146 Yoshinobu Takei, Filling Regulatory Gaps In High Seas Fisheries: Discrete High Seas Fish
Stocks, Deep-Sea Fisheries and Vulnerable Marine Ecosystems, (Disertasi), Universitas Utrecth,
2008, h. 91
79
memiliki kewenangan untuk menetapkan jenis ikan dan jumlah ikan yang akan
ditangkap. Dari penjabaran ini dapat disimpuan bahwa kewenangan negara pantai
untuk membuat peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya
ikan di zona ekonomi eksklusif adalah untuk menjamn pemanfaatannya yang
berkelanjutan. Setiap pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya alam
yang terdapat di dalam zona ekonomi eksklusif harus menaati peraturan perundang-
undangan yang berlaku tentang konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan yang
ditetapkan oleh negara pantai.
c. Laut Lepas dan Kawasan Dasar Laut
a) Evolusi Konsep Laut Lepas dan Hak dan Kewajiban Negara Pantai di Laut
Lepas
Konsep laut lepas telah mengalami perkembangan yang sangat masif
mengingat bahwa sekitar lima abad, negara-negara yang menguasai hegemoni laut
berargumen bahwa ia dapat meletakkan hak kedaulatan teritorial di laut lepas. Pada
bab 2 penulis sudah menyinggung perdebatan ini, namun perdebatan tersebut perlu
dipahami dalam konteks kesejarahannya dan konteks mengapa perdebatan tersebut
terjadi. Pada bagian ini penulis akan memaparkan bagaimana laut lepas berevolusi
dan bagaimana KHL 1982 menerapkan prinsip kebebasan di laut lepas (The
principle of the high seas). Hakim Story menjelaskan karakter hukum dari laut lepas
sebagai berikut: “Upon the ocean, in time of peace, all possess an entire equality.
It is a common highway of all, appropriated to use of all, and no one can vindicate
to himself a superior or exclusive prerogative there.” 147 Dalam perkara lain seperti
kasus United States v. Louisiana et al., menjelaskan karakter hukum dari laut lepas
147 Anand, op.cit, h. 151
80
sebagai berikut: “the high seas, as distinguished from inland waters, are generally
conceded by modern nations to be subject to the exclusive sovereignty of no single
nation.”148
Laut lepas memiliki prinsip res communis di mana ketidakmampuannya untuk
dikuasai dikarenakan kepentingan umat manusia atas laut lepas tidak
memungkinkannya untuk dikuasai, baik sebagian atau seluruhnya, mengingat
penguasaan dan pemilikan laut tersebut dapat menghalang-halangi kepentingan
pihak yang memanfaatkan laut tersebut. Vercruyssen menjelaskan bahwa faktor
politik yang terjadi pada abad kesembilan belas turut mempengaruhi hal ini di mana
ia mengatakan bahwa peran Inggris, sebagai negara adidaya pada waktu itu, begitu
kuat hingga turut mempengaruhi praktik negara maritim terhadap konsep laut lepas.
Kebijakan politik dan ekonomi Inggris dipengaruhi oleh semangat revolusi industri
dan supremasi Inggris di atas laut.149 Colombos juga memiliki pendapat yang sama
mengenai bagaimana Inggris memberikan pengaruh yang kuat terhadap prinsip
kebebasan di atas laut lepas di mana sebagai negara dengan supremasi di atas laut,
ia berhasil menekan perompakan yang marak terjadi di laut mediterania yang jamak
dilakukan oleh para perompak berber di pesisirnya.150 Meski dalam sejarahnya kita
dapat melihat bahwa Inggris memiliki kepentingan yang kuat untuk meletakkan
kedaulatannya di atas laut, perkembangan politik pada abad kesembilan belas
merubah hal tersebut di mana ia adalah proponen prinsip kebebasan di laut lepas.
Colombos menjelaskan sebagai berikut:
“… from the time when England silently dropped her claim to
jurisdiction over the high seas surrounding her coast and strove
148 Colombos, op.cit, h. 64 149 Nikki Vercruyssen, Freedom of the High Seas: Limitation, Problems and Evolution, (Tesis),
Universiteit Gent, 2012, h. 12. 150 Colombos, op.cit, h. 57
81
for the right of her ships to sail freely over the Seven Seas, she
has persistently contended for the emancipation of all the oceans
from the claim of any State to domination, and has taken the
leading part in making the freedom of the seas in time of peace
no mere slogan, but a very real fact.”151
Faktor politik yang melatarbelakangi konsep laut lepas dijelaskan oleh Brilmayer
sebagai kepentingan negara-negara maritim yang memiliki supremasi di laut,
khususnya negara-negara barat. Ia menjelaskan bahwa, “… the western states had
significant economic and military interests in maintaining the freedom of the high
seas, interests that were not shared by the weaker and poorer states.”152
Doktrin mare liberum yang lahir sebagai sintesis juris internasional terhadap
aplikasi hukum internasional di atas laut pada abad keenam belas hingga abad
ketujuhbelas diterima sebagai prinsip hukum internasional ketika KHL 1958
dilangsungkan di Jenewa. Vercruyssen menjelaskan bahwa dalam tahap ini konsep
mare liberum telah menghasilkan dua makna baru, yaitu “… the high seas are
common to all States; no one state could claim national sovereignty.”153 Penjelasan
yang lebih spesifik dapat diperhatikan dari penjabaran Khoei dan Abdollahi yang
menyebutkan bahwa “High seas mentions to all marine areas and world oceans
which are out of internal waters range and territorial seas of coastal states and are
open to all governments and no government could legally apply rule and
qualification.”154 Dari penjelasan tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
laut lepas harus dipisahkan dari laut pedalaman dan laut teritorial negara pantai.
151 Ibid, h. 60 152 Brilmayer, op.cit, h. 713 153 Vercruyssen, op.cit, h. 13 154 Peyman Hakimzade Khoei & Mohsen Abdollahi, Limitations of Freedom of Navigation on the
High Seas, Specialty Journal of Politics and Law, Vol, 1 (1): 60-66, 2016, h. 60
82
Khoei dan Abdollahi kemudian menguatkan karakter laut lepas dengan
menyebutkan bahwa laut lepas ‘belongs to humanity’.155
Namun, atas prinsip kebebasan di laut lepas tersebut, apakah negara-negara
pantai benar-benar ‘bebas’ untuk berbuatan di wilayah tersebut? Apakah ada
pembatasan atas setiap perbuatan dan peristiwa yang terjadi di laut lepas?
Perbuatan-perbuatan seperti apa yang dapat diangap secara wajar legal dihadapan
hukum internasional? Secara umum, bahkan sebelum usaha untuk
mengkodifikasikan hukum laut internasional dimulai, doktrin kebebasan di laut
lepas tidak benar-benar menjamin bahwa negara pantai ‘bebas’ untuk melakukan
perbuatan berdasarkan diskresinya di laut lepas. Theodora mengungkapkan
karakter laut lepas sebagai berikut:
“Freedom in the high seas creates an open access regime
allowing for its laissez-faire use. The few restrictions that exist
serve only to protect the interests of other states and their exercise
of free use. In that sense, this principle is identified in the law of
the sea as res communis, which allows for the general
exploitation of resources that are available in such abundance or
are so remote that no significant conflicts among current or future
exploiters are expected.” 156
Sehingga pembatasan-pembatasan yang ada di dalam hukum laut internasional
hanya dilakukan secara spesifik dan hal tersebut pun hanya terbatas pada kebiasaan-
kebiasaan yang telah berlaku sebagai hukum kebiasaan internasional, yaitu
kebebasan bernavigasi, kebebasan memasang kabel dan pipa bawah laut, dan
kebebasan mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di laut lepas.
Pada kurun waktu tahun 1927, The Institute of International Law membuat sebuah
155 Ibid, h. 61 156 Varela P. Theodora, Polar Regions, High Seas And The Deep Sea Bed (Global Commons):
International Regulations And Policies For Their Management And Protection Under The Concept
Of The Common Heritage Of Mankind, (Disertasi), University of Piraeus, 2017, h. 31
83
deklarasi yang merumuskan konsekuensi apa saja yang dihasilkan dari prinsip ini,
antara lain sebagai berikut: i) kebebasan bernavigasi di laut lepas bagi kapal yang
tunduk, secara eksklusif, pada hukum yang berlaku sesuai dengan bendera kapal
tersebut; ii) kebebasan untuk menangkap ikan di laut lepas; iii) kebebasan untuk
memasang kabel bawah laut di laut lepas; iv) kebebasan untuk terbang di laut
lepas.157 Anand menekankan bahwa tujuan dari prinsip ini adalah untuk ‘maintain
the minimum public order in the high seas’.158 Pada konferensi Wina tahun 1926,
The International Law Association juga mengungkapkan hal yang sama pada Pasal
1 rancangan ‘Laws of Maritime Jurisdiction in time of peace’ bahwa, “for the
purpose of securing the fullest user of the seas, all States an their subject shall enjoy
absolute liberty and equality of navigation, transport, communications, industry
and science in and on the seas.”159 Dan Pasal 13 mengatur bahwa ‘no State or group
of States may claim any right of sovereignty, privilege or prerogative over any
portion of the high seas or place any obstacle to the free and full use of the seas.”160
Secara normatif, Pasal 1 KHL 1958 mengatur bahwa laut lepas adalah bagian
laut yang tidak termasuk laut teritorial dan laut pedalaman dari suatu negara. Pasal
2 KHL 1958 mengatur bahwa laut lepas adalah terbuka bagi setiap negara dan tidak
ada negara yang dapat meletakkan kedaulatannya di laut lepas namun negara, baik
negara pantai maupun negara non-pantai, memiliki kebebasan untuk melakukan
bentuk-bentuk perbuatan yang terdapat di dalam KHL 1958 sebagai berikut:
o Kebebasan bernavigasi
o Kebebasan menangkap ikan
157 Colombos, op.cit, h. 64-65 158 Anand, op.cit, h. 162 159 Colombos, op.cit, h. 65 160 Ibid
84
o Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut
o Kebebasan untuk terbang di atas laut lepas
Namun di dalam Pasal 2 KHL 1958 juga menjelaskan bahwa dalam pelaksanakan
hak-hak yang suda diakui oleh prinsip-prinsip umum hukum internasional, negara
memiliki kewajiban untuk melaksanakan hal tersebut secara rasional dan
memperhatikan kepentingan negara lain.
KHL 1982 tidak memiliki perbedaan yang fundamental terkait dengan aturan
normatif laut lepas di dalam KHL 1958. Pasal 87 KHL 1982 menegaskan bahwa
laut lepas terbuka untuk semua negara, baik negara pantai maupun land-locked
state. Di atas laut lepas tersebut, negara pantai memiliki hak-hak sebagai berikut:
o Kebebasan bernavigasi
o Kebebasan untuk terbang di atas laut lepas
o Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut
o Kebebasan untuk mendirikan pulau buatan dan instalasi yang diizinkan
oleh hukum internasional
o Kebebasan untuk menangkap ikan
o Kebebasan untuk mengadakan penelitian ilmiah
Pasal 88 KHL 1982 menekankan bahwa laut lepas harus dimanfaatkan secara damai
oleh negara-negara. Pasal 89 KHL 1982 menegaskan prinsip res communis laut
lepas dengan mengatur bahwa tiada satu negarapun yang dapat meletakkan
kedaulatan di atas laut lepas.
Kebebasan bernavigasi (Freedom of navigation) bagi negara pantai maupun
land-locked state merupakan isu fundamental, yang dalam sejarah perkembangan
konsep laut lepas merupakan inti dari perdebatan klasik diskursus hukum laut
85
internasional. Vercruyssen menjelaskan bahwa kebebasan bernavigasi ‘existed in
customary international law long before the LOSC (Law of the Sea Convention)
was created’.161
Lalu apakah negara memiliki yurisdiksi atas kapal yang berlayar di laut lepas?
Mengenai definisi kapal sendiri, Komisi Hukum Internasional, pada tahun 1955,
secara bulat menghapuskan definisi mereka terhadap kapal yang berbunyi: “A ship
is a device capable of traversing the sea, but not the air space, with the equipment
and crew appropriate for the purpose for which it is used.”162 Galea melanjutkan
usaha untuk mendefinisikan kapal dengan menjelaskan bahwa kapal memiliki dua
elemen penting: a) dalam bentuk fisiknya, ia adalah suatu ‘kendaraan’; b) dalam
fungsinya, ia harus bisa ‘berlayar di atas laut.163 Galea mengungkapkan bahwa dua
elemen tersebut sangat penting untuk menentukan apakah suatu obyek yang berada
di laut lepas memang merupakan sebuah kapal atau bukan. Ia menjelaskan sebagai
berikut: “Navigation is of principle importance of a ship. It is the primary funcion
of the object but it is not the primary function of an installation or artificial
platform.”164 Sudah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional di mana
kapal adalah bagian yang tak terpisahkan dari negara apabila ia menerbangkan
bendera asal negara tempat ia berada. Mengapa keberadaan bendera sangat penting
bagi kapal dan utamanya, mengapa ia menjadi bagian penting dari kemampuan
negara untuk meletakkan jurisdiksinya di atas kapal yang mengibarkan bendera
negaranya? Mansell menjelaskan bahwa pada dasarnya bendera merupakan
161 Vercruyssen, op.cit, h. 15 162 Galea, op.cit, h. 46 163 Ibid, h. 46 164 Ibid.
86
‘symbol of nationality’ dan ‘symbol of pride in nationhood’.165 Dalam sejarahnya,
penggunaan bendera sebagai identitas atas kapal pertama kali dipraktikkan oleh
bangsa Viking. Namun pemanfaatan bendera sebagai identitas kapal baru
berkembang sebagai sebuah kebiasaan pada abad pertengahan untuk menunjukkan
dari mana kapal tersebut melepas sauh, dari negara mana ia berasal, hingga
kebangsaannya. 166 Campbell, dengan dikutip oleh Mansell, menjelaskan fungsi
utama dari pengibaran bendera oleh kapal sebagai berikut: “The flag, together with
the marking of the port of registry, are the most obvious manifestation of a ship’s
nationality, and strict requirements and procedures govern the use of national
colours.”167 Oleh karena itu, fungsi bendera sebagai simbol yurisdiksi negara di atas
kapal dapat disebut sebagai usaha untuk memfiksikan yurisdiksi negara di atas
kapal. Galea, dengan mengutip Lord Finlay, menjelaskan bahwa, kapal ‘is not a
person, nor a territory’. 168 Adapun argumen untuk menjelaskan kemampuan
negara untuk meletakkan yurisdiksinya di atas kapal adalah bahwa kapal adalah
‘continuation or prolongation of its territory’.169 Sebagai konsekuensi dari prinsip
kebebasan bernavigasi di laut lepas, Dahl menjelaskan bahwa ada dua argumen
yang berbeda terkait dengan yurisdiksi negara atas kapal di laut lepas. Argumen
pertama menyatakan bahwa ‘flag state jurisdiction is based on the principle of
nationality, i.e. that the vessel has the nationality of the flag state’ dan argumen
kedua menyatakan bahwa ‘vessel is a “floating island” of the state and that it
165 J.N.K Mansell, Flag State Responsibility: Flag State Responsibility: Historical Development and
Contemporary Issues, Springer-Verlag, Berlin Heidelberg, 2009, h. 13 166 Ibid, h. 18 167 Ibid, h. 14 168 Galea, op.cit¸ h. 45 169 Colombos, op.cit, h. 285
87
should be regarded as the territory of the flag state’.170 Namun argumentasi kedua
mendapatkan kritikan keras dari sistem hukum Inggris di mana gagasan untuk
menganggap bahwa kapal adalah ‘floating island’ hanyalah metafora yang
memiliki makna bahwa ‘the flag state has jurisdiction over the vessel in the same
way as it has over its territory’.171 Sumbangan argumentasi fundamental yang
menegaskan bagaimana hukum internasional memandang yurisdiksi negara atas
kapal yang mengibarkan benderanya dapat dilihat dari perkara lotus case sebagai
berikut: “A corollary of the principle of the freedom of the seas is that a ship on the
high seas is assimilated to the territory of the State which it flies, for, just as in its
own territory, that State exercises its authority upon it, and no other States may do
so,”172 dan kemudian selanjutnya menegaskan bahwa, “… by the virtue of the
principle of the freedom of the seas, a ship is placed in the same position as national
territory …”173 Pasal 90 KHL 1982 mengatur hal ini dengan menyebutkan bahwa
setiap negara, baik negara pantai maupun land-locked state, memiliki hak untuk
melayarkan kapal yang berlayar dengan bendera negaranya di laut lepas. Lalu Pasal
91 ayat (1) mengatur bahwa setiap negara mengatur setiap syarat yang diperlukan
bagi kapal untuk memperoleh kewarganegaraan atas kapal, untuk pendaftaran kapal
di wilayah teritorinya, dan untuk mengibarkan benderanya. Dan oleh karena itu
setiap kapal memperoleh kebangsaannya atas bendera negara yang dikibarkannya.
Oleh karena itu harus ada ‘genuine link’ antara negara dan kapal. Pasal 92 KHL
170 Lihat Molenaar, E.J., Coastal State Jurisdiction over Vessel-Source Pollution. Kluwer Law
International, 1998, h. 83 di dalam Charlotte Dahl, Coastal State Jurisdiction Over Foreign Flagged
Vessels Suspected of Piracy, Human Trafficking and Oil Pollution Offences, and the
Interrelationship with Flag State Jurisdiction: a Comparative Analysis, (Tesis), Lund University,
2013, h. 13 171 Ibid, h. 13 172 S.S. Lotus (Fr. v. Turk.), 1927 P.C.I.J. (ser. A) No. 10 (Sept. 7), h. 25 173 Ibid.
88
1982 mengatur mengenai status kapal di laut lepas di mana ayat (1) menjelaskan
bahwa kapal yang sedang berlayar di laut lepas tunduk pada yurisdiksi eksklusif
dari negara kebangsaan kapal tersebut kecuali dalam hal-hal tertentu yag diatur
dengan jelas di dalam perjanjian-perjanjian internasional ataupun di dalam KHL
1982. Dan ayat (2) menjelaskan bahwa sebuah kapal yang berlayar di laut lepas di
bawah bendera dari dua atau lebih negara, dan menggunakannya hanyalah demi
kemudahan saja baginya tidak diperbolehkan menuntut kebangsaan dari salah satu
negara yang benderanya dikibarkan oleh kapal itu. Pasal 93 ayat (1), yang mengatur
mengenai kapal-kapal yang mengibarkan bendera organisasi internasional seperti
PBB, badan-badan khususnya, dan Badan Tenaga Atom International menyatakan
bahwa pasal-pasal terdahulu tidak berlaku terhadap kapal-kapal yang dgunakan
dalam dinas resmi dari Perserikatan Bangsa-bangsa, badan-badan khususnya, dan
Badan Tenaga Atom Internasional. Selanjutnya, Pasal 94 ayat (1) hingga (7)
membebani cukup banyak kewajiban kepada negara bendera. Dengan tunduknya
kapal yang berlayar di laut lepas pada yurisdiksi eksklusif dari negara bendera,
maka negara bendera haruslah mampu menerapkan yurisdiksi eksklusifnya secara
efektif terhadap kapal yang berkebangsaan negara tersebut. sebagai wujud nyata
dari pelaksanaan yurisdiksi ekklusifnya, antara lain dengan melakukan pengawasan
dalam bidang adminisratif, teknis, dan sosial terhadap kapal yang mengibarkan
benderanya.
Dalam praktiknya, hubungan antara kapal dengan negara bendera
menimbulkan pemahaman yang berbeda terkait dengan diperlukanya hubungan
yang murni antara kapal dengan kebangsaannya. Prinsip genuine link sendiri telah
diaplikasikan ke dalam beberapa perkara di dalam ITLOS (International Tribunal
89
of the Law of the Sea) seperti yang dapat diperhatikan dalam putusan M/V Saiga
(No. 2) Case di mahkamah menginterpretasikan prinsip genuine link sebagai
berikut:
“… the purpose of the provisions of the convention on the need
for a genuine link between a ship and its flag State is to secure
more effective implementation of the duties of the flag State,
and not to establish criteria by reference to which the validity of
the registration of ships in a flag State may be challenged by
other States.”174
Mahkamah kemudian menjelaskan bahwa meskipun pada Pasal 94 ayat (2) sampai
(5) menjelaskan secara eksplisit bahwa “… a flag state is required to take exclusive
jurisdiction as envisaged in paragraphs 1”175 dan Pasal 6 yang mengatur bahwa “A
State which has clear grounds to believe that proper jurisdiction and control with
respect to a ship have not been exercised may report the facts to the flag State”176
di mana pasal tersebut membebankan kewajiban kepada negara bendera untuk
‘investigate the matter and, if appropriate, take any action necessary to remedy the
situation’, mahkamah berargumen bahwa, “There is nothing in article 94 to permit
a State which discovers evidence indicating the absence of proper jurisdiction and
control by a flag state over a ship to refuse to recognize the right of the ship to fly
the flag of the flag State.”177 Mahkamah juga menekankan penerapan prinsip ini
yang disesuikan dengan hukum nasional tempat kapal tersebut memperoleh
kebangsaannya dengan menjelaskan sebagai berikut:
“Article 91 leaves to each State exclusive jurisdiction over the
granting of its nationality to ships. In this respect, article 91
codifies a well-established rule of general international law.
Under this article, it is for Saint Vincent and the Grenadines to
174 MIV "SAIGA" (No. 2) (Saint Vincent and the Grenadines v. Guinea), Judgment, ITLOS Reports
1999, p. 10, para. 83 175 Ibid, para. 82 176 Ibid. 177 Ibid.
90
fix the conditions for the grant of its nationality to ships, for the
registration of ships in its territory and for the right to fly its
flag.”178
Kemudian mahkamah melanjutkan sebagai berikut:
“International law recognizes several modalities for the grant of
nationality to different types of ships. In the case of merchant
ships, the normal procedure used by States to grant nationality
is registration in accordance with domestic legislation adopted
for that purpose. This procedure is adopted by Saint Vincent and
the Grenadines in the Merchant Shipping Act.”179
Dalam perkara M/V Virginia G (No. 19) Case, mahkamah menginterpretasikan
pasal 91 ayat (1) sebagai berikut: “… article 91, paragraph 1, third sentence, of the
Convention requiring a genuine link between the flag state and the ship should no
be read as establishing prerequisites or condition to be satisfied for the exercise of
the right of the flag State to grant its nationality to ships.” Mahkamah kemudian
menarik benang merah antara kapal dan kebangsaannya dengan registrasi yang
diwajibkan oleh hukum internasional sebagai berikut:
“In the view of the Tribunal, once a ship is registered, the flag
State is required, under article 94 of the Convention, to exercise
effective jurisdiction and control over that ship in order to
ensure that it operates in accordance with generally accepted
international regulations, procedures and practices. This is the
meaning of ‘genuine link’.”180
Dalam kasus lain seperti The Case of the S.S.”Lotus”, mahkamah menjelaskan
bahwa “… a State is not entitled … to extend the criminal jurisdiction of its courts to
include a crime or offence committed by a foreigner abroad solely in consequence oI the
fact that one of its nationals has been a victim of the crime or offence.”181 Dan mahkamah
menyimpulkan bahwa “… acts performed on the high seas on board a merchant
178 Ibid, para. 63 179 Ibid, para. 64 180 M/V “Virginia G” (Panama/Guinea-Bissau), Judgment, ITLOS Reports 2014, p. 4, para. 113 181 S.S. Lotus (Fr. v. Turk.), 1927 P.C.I.J. (ser. A) No. 10 (Sept. 7), h. 7
91
ship are, in principle and from the point of view of criminal proceedings, amenable
only to the jurisdiction of the courts of the State whose flag the vessel flies.”182
Mahkamah menjelaskan bahwa isu yurisdiksi teritorial atas kapal negara bendera
hanya tercipta antara negara yang memiliki hubungan dengan kapal tersebut—
dalam kasus ini, adalah Perancis dan Turki sebagai negara bendera. Mahkamah
sendiri mempertahankan praktik dan kebiasaan hukum internasional mengenai
yurisdiksi negara bendera di atas kapal sebagai berikut:
"It is certainly true that-apart from certain special cases which
are defined by international law-vessels on the high seas are
subject to no authority except that of the State whose flag they fly.
In virtue of the principle of the freedom of the seas, that is to Say,
the absence of any territorial sovereignty upon the high seas, no
State may exercise any kind of jurisdiction over foreign vessels
upon them.183
Mahkamah melanjutkan bahwa kapal diperlakukan sama seperti wilayah teritorial
negara bendera184 dan setiap perbuatan yang terjadi di kapal tersebut ‘must be
regarded as if it occurred on the territory of the State whose flag the ship flies’185.
Mahkamah kemudian menyimpukan, secara negatif, bahwa “there is no rule of
international law prohibiting the State to which the ship on which the effects of
the'offence have taken place belongs, from regarding the offence as having been
committed in its territory and prosecuting, accordingly, the delinquent.”186
Oleh karena itu, kita dapat menyusun argumen-argumen tersebut ke dalam
runtutan yang lebih sistematis sebagai berikut: Yurisdiksi negara bendera di atas
kapal tercipta ketika kapal tersebut didaftarkan di negara bendera yang
bersangkutan. Oleh karena itu negara memiliki yurisdiksi di atas kapal yang
182 Ibid, h. 7 183 Ibid, h. 25 184 Ibid. 185 Ibid. 186 Ibid.
92
mengibarkan benderanya dan setiap perbuatan yang terjadi di atas kapal berada di
bawah yuridiksi negara bendera tempat kapal tersebut didaftarkan. ‘Genuine link’
yang diatur di dalam KHL 1982 tercipta di saat pendaftaran tersebut dilakukan oleh
kapal. Suatu negara tidak dapat menggunakan dasar bahwa apabila negara bendera
tidak melaksanakan yurisdiksinya di atas kapal tersebut maka yurisdiksi negara
akan hilang sebagai alasan untuk menghapuskan yurisdiksi negara atas kapal.
Yurisdiksi negara di atas kapal tetap ada bahkan ketika negara bendera lalai
melaksanakan kewajiban tersebut.
b) Pemanfaatan Sumber Daya Ekonomi di Dasar Laut Berdasarkan Prinsip
Common Heritage of Mankind
Negara pantai memiliki kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya hayati
dan non hayati di landas kontinennya dengan dasar hak berdaulat yang diberikan
oleh KHL 1982. Namun bagaimana status dasar laut yang berada di luar batas
terluar dari landas kontinennya? Apakah negara pantai tidak boleh meletakkan hak
berdaulat di luar wilayah landas kontinennya?
Sama seperti bagaimana konsep Zona Ekonomi Eksklusif lahir sebagai konsep
yang revolusioner dan solutif terhadap isu kepentingan negara pantai atas wilayah
laut yang berbatasan dengan laut teritorialnya, prinsip common heritage of mankind
lahir sebagai jawaban revolusioner terhadap dasar laut di luar wilayah yurisdiksi
hak berdaulat negara pantai. 187 Sama seperti diskursus yang melatarbelakangi
mengapa negara pantai tidak dapat meletakkan hak berdaulatnya di landas kontinen
dan mengapa negara pantai tidak dapat meletakkan kedaulatan sejauh 200 mil laut
karena kepentingan ekonomi yang amat vital terhadap kepentingan negara,
187 Rudiger Wolfrum, The Principle of Common Heritage of Mankind, ZaoRV 44, 1983, h. 317
93
irasionalitas hak negara untuk meletakkan kedaulatan di dasar laut di luar zona
landas kontinennya dijelaskan oleh Scovassi sebagai berikut:
“The application of the scheme of sovereignty was likely to lead
to a series of competitive extensions of the limits of national
jurisdiction on the sea bed. The application of the scheme of
freedom was likely to lead to a rush towards the exploitation of
economically and strategically valuable minerals falling under a
«frst-come-frst-served» approach.”188
Ketimpangan ekonomi yang dihasilkan dari perebutan wilayah dasar laut oleh
negara maju dan berkembang juga disebutkan oleh Brilmayer dengan menjelaskan
bahwa “Rejection of the ‘first come, first served’ doctrine was based on widespread
unwillingness to accept its distributional consequences. The developing states were
well aware that they would be last to arrive and would probably not be served at
all.” 189 Profesor McDougal dan Burke, dengan dikutip Becker, menjelaskan
bagaimana seharusnya negara memperlakukan dan memanfaatkan sumber daya
alam hayati dan non-hayati yang melimpah sebagai berikut: “… the great bulk of
the oceans of the world should be maintained as a common resource, freely open
to all peoples upon a basis of complete equality in cooperative pursuit of the
greatest possible production and sharing values.”190
Prinsip common heritage of mankind, menurut Noyes, mengambil pemikiran
pasifistis dari konsep hukum romawi kuno mengenai pemanfaatan sumber daya
alam secara kolektif dan pengaruh agama samawi dan buddhisme mengenai
resolusi konflik secara damai, 191 sementara itu Buttigieg menganggap bahwa
188 Tullio Scovassi, The Concept of Common Heritage of Mankind and the Genetic Resources of the
Seabed Beyond the Limits of Nationsl Jurisdiction, Agenda Internacional, Año XIV, N° 25, pp. 11-
24, 2007, h. 12. 189 Brilmayer, op.cit, h. 711 190 Michael A. Becker, The Shifting Public Order of the Oceans: Freedom of the Navigation and the
Interdiction of Ships at Sea, Harvard International Law Journal, Vol. 46, 2005, h. 169 191 John E. Noyes, The Common Heritage of Mankind: Past, Present, and Future, 40 DENV. J.
INT’L L. & POL’Y 447, 2012, h. 457
94
prinsip common heritage of mankind adalah penafsiran alternatif atas hukum
perdata romawi kuno192 maupun prinsip yang melatarbelakangi perang buku antara
prinsip mare liberum dan mare clausum. Noyes menjelaskan bahwa prinsip
common heritage of mankind perlu dipahami berdasarkan situasi politik dan
ekonomi pada periode 1960-1970an sebagaimana ia menjelaskan bahwa “Debates
over the CH (common heritage) principle reflected deep-seated political tensions
between Western developed states and the Third World.” 193 Situasi tersebut
diperkuat dengan tensi politik perebutan manfaat ekonomi di wilayah dasar laut
antara negara maju dan negara berkembang.
Prinsip ini pertama kali dibawah oleh duta besar Malta untuk PBB, Mr. Arvid
Pardo, pada Majelis Umum PBB pada tanggal 1 November 1967,194 meskipun
Wolfrum meragukan apakah benar Arvid Pardo yang mengusulkan prinsip ini
kepada Majelis Umum PBB ataukah Mr. Cocca yang mengajukan prinsip ini ketika
konvensi tentang luar angkasa dilangsungkan pada beberapa bulan sebelum ia
membacakan pidatonya di sidang majelis umum PBB tahun 1967 dilangsungkan.195
Pardo mencoba menarik sebuah kenyataan praktik negara-negara maju bahwa
perkembangan teknologi memungkinkan negara-negara maju mengeksploitasi
sumber daya alam di dasar laut yang lebih melimpah dari pada sumber daya alam
yang ada di daratan. 196 Beberapa negara, menurut Pardo, dapat menggunakan
keunggulan teknologi yang mereka miliki untuk ‘achieve near-unbreakable world
dominance through predominant control over the seabed and the ocean floor’dan
192 Buttigieg, op.cit, h. 81 193 Noyes, op.cit, h. 459 194 Wolfrum, op.cit, h. 312-313 195 Scovassi, op.cit, h. 11 196 Anand, op.cit, h. 195
95
ia kemudian menyimpulkan bahwa usaha negara-negara tersebut dapat
mengakibatkan ‘a competitive scramble for sovereign rights over the land under
the seas and oceans, surpassing in magnitude and in its implication last century's
scramble for territory in Asia and Africa’. Pardo kemudian memberikan saran
bahwa sebelum negara-negara menyelesaikan status hukum negara pantai atas zona
landas kontinennya, wilayah di luar zona tersebut harus disebut sebagai ‘common
heritage of mankind’ untuk dimanfaatkan dengan tujuan yang damai dan
dimanfaatkan sepenuhnya demi kepentingan umat manusia dengan memperhatikan
kondisi negara-negara miskin.197 Colombos menjelaskan ketidakmampuan negara
pantai untuk meletakkan kedaulatan di dasar laut dengan menyebutkan bahwa “It
is incapable of occupation by any State and that its legal status is the same as that
of the waters of the open sea above it.”198 Namun perlu dicatat bahwa eksplanasi
Colombos bersifat permisif di mana ia masih memungkinkan dasar laut untuk
dikuasai oleh negara dengan dasar perjanjian internasional yang bersifat regional
maupun multilateral.199
Scovassi menjelaskan elemen fundamental dari prinsip common heritage of
mankind adalah
“… the prohibition of national appropriation, the destination of
the seabed for peaceful purposes, the use of the seabed and its
resources for the beneft of mankind as a whole with particular
consideration for the interests and needs of developing countries,
the establishment of an international organization entitled to act
on behalf of mankind in the exercise of rights over the
resources.”200
197 Ibid. 198 Colombos, op.cit, h. 67 199 Ibid, h. 67-68 200 Scovassi, op.cit, h. 12
96
Franckx, dengan mengutip Wolfrum, menjelaskan bahwa prinsip common heritage
of mankind dapat dipahami sebagai “… internationalization of common space
outside the national jurisdiction”201 di mana Wolfrum menjelaskan bahwa prinsip
common heritage of mankind harus dipahami dalam konteks kepentingan ekonomi
negara atas sumber daya alam di dasar laut dan usaha untuk mempromosikan
transfer teknologi sebagaimana ia menjelaskan tujuan tersebut ‘existed to make use
of the common heritage principle with respect to the transfer of technology and to
govern the trade of commodities’.202 Noyes mengklasifikasikan unsur-unsur prinsip
common heritage of mankind sebagai berikut:
o Ketidakmampuan negara untuk menguasai, atau melaksanakan kedaulatan,
di atas wilayah tersebut;
o Memberikan hak atas sumber daya alam tersebut demi kepentingan umat
manusia;
o Pemanfaatan wilayah tersebut atas tujuan-tujuan yang damai;
o Perlindungan terhadap lingkungan kawasan tersebut;
o Pemerataan atas keuntungan yang didapat dari eksploitasi sumber daya alam
tersebut dan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan negara
berkembang; dan
o Pengurusan kawasan melalui kepengurusan bersama.203
Hal menarik dari prinsip common heritage of mankind selain ketidakmampuan
negara untuk meletakkan kedaulatannya di atas laut adalah bagaimana prinsip ini
201 Erik Francxk, The International Seabed Authority and the Common Heritage of Mankind: The
Need for States to Establish the Outer Limits of their Continental Shelf, The International Journal of
Marine and Coastal Law 25, p. 543–567, (Selanjutnya disingkat menjadi Franckx II), 2010, h. 544 202 Wolfrum, op.cit, h. 313 203 Noyes, op.cit, h. 450-451
97
mewajibkan negara untuk mendistribusikan manfaat yang didapatnya dari
eksploitasi sumber daya alam di bawah laut. Hal ini diungkapkan oleh delegasi
Afrika Selatan di mana mereka memberikan penekanan pada aspek solidaritas umat
manusia dalam melakukan eksploitasi sumber daya alam di dasar laut di mana
mereka menyebutkan sebagai berikut:
“The common heritage of mankind principle is not solely about
benefit sharing. It is just as much about conservation and
preservation. The principle is about solidarity; solidarity in the
preservation and conservation of a good we all share and
therefore should protect. But also solidarity in ensuring that this
good, which we all share, is for all our benefit.”204
Jaeckel, et.al., mengartikan hal ini dengan menyebutkan bahwa prinsip ini adalah
prinsip yang ‘menantang’ mengingat manfaat ekonomi yang dihasilkan dari
ekploitasi kawasan sangatlah melimpah dan bagaimana eksploitasi kawasan ini
dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang dikhawatirkan oleh para
ilmuwan.205 Distribusi keuntungan tersebut juga ditekankan kembali oleh Jaeckel,
et.al., bahwa tujuan dari pada hal ini adalah untuk menjamin pemanfaatan sumber
daya alam di dasar laut tersebut ‘would not be solely reaped by the handful of
industrialised States that possessed the capacity to make substantial investments to
develop seabed mining technology’206 Kekhawatiran negara-negara berkembang
terhadap ekploitasi berlebihan yang dapat terjadi apabila dasar laut dapat dikuasai
dan dieksploitasi secara ekslusif oleh negara maju diartikulasikan oleh
Schackelford dengan mengutip ungkapan yang digunakan oleh William Forster
Lloyd sebagai ‘Tragedy of the commons’ di mana ungkapan ini memiliki makna
204 Aline Jaeckel, et.al., Conserving the Common Heritage of Mankind – Option for the Deep Seabed
Mining Regime, Marine Policy 78, p. 150–157, 2017, h. 150 205 Ibid. 206 Aline Jaeckel, et.al., Sharing Benefits of the Common Heritage of Mankind – is the Deep Seabed
Mining Regime Ready?, Marine Policy, 2016, h. 2
98
bahwa “unrestricted access to a resource ultimately dooms the resource to over-
exploitation.”207 Hardin, di dalam Schackelford, menjelaskan bahwa kebutuhan
untuk membatasi makna kebebasan adalah isu yang penting sebagaimana ia
menjelaskan sebagai berikut:
“By recognizing resources as commons, and by agreeing that they
require management, Hardin believes that we can preserve and
nurture other more precious freedoms. Thus finding a solution to
resource competition requires recognizing the necessity of
preservation and responsible management through international
cooperation to avoid both over- and under-exploitation.”208
Pada tahap berikutnya, penulis akan menjelaskan bagaimana prinsip common
heritage of mankind diadopsi ke dalam KHL 1982. Karena berbagai pertimbangan
atas isu pengeksploitasian sumber daya alam di kawasan dasar laut, Majelis Umum
PBB pun kemudian mengambil tindakan untuk mengakomodir isu tersebut ke
dalam Resolusi 2467A yang mana resolusi ini menjadi dasar pembentukan Komite
Dasar laut (Seabed Committee). 209 Dalam Konferensi Hukum Laut PBB yang
berlangsung dari tahun 1973 sampai 1982, berbagai pranata hukum laut maupun
aspek hukum laut lainnya dibahas secara intensif. Pada tahap-tahap awal konferensi
tersebut, ia menghasilkan rancangan naskah yang diberi nama Informal Single
Negotiating Texts (ISNT) yang selanjutnya dibahas secara lebih intensif sehingga
menghasilkan naskah dengan nama nama Informal Composite Negotiating Text
(INCT). Pada akhirnya, Konferensi menyepakati naskah finalnya dan memasukkan
207 Scott J. Shackelford, The Tragedy of the Common Heritage of Mankind, Shackelford, Scott J.,
The Tragedy of the Common Heritage of Mankind, stanford environmental law journal, vol. 27,
2008, h. 4 208 Ibid. 209 Edward Guntrip, The Common Heritage of Mankind: An Adequate Regime for Managing the
Deep Seabed, Melbourne Journal of International Law, Vol. 4, 2003, h. 380
99
pranata hukum laut mengenai kawasan dasar laut sebagai bagian dari konvensi yang
tercantum dalam Bab XI Pasal 133-191)210
KHL 1982 menggunakan terma Kawasan untuk mendefinisikan wilayah dasar
laut dan dasar samudera dalam di mana hal ini terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KHL
1982 yang menyebutkan sebagai berikut: “ Area means the seabed and ocean floor
and subsoil thereof, beyond the limits of national jurisdiction.” Terhadap pasal ini,
Parthiana menjelaskan bahwa terdapat suatu kesulitan untuk memahami makna dari
definisi KHL 1982 terhadap definisi Kawasan. Ia menjelaskan bahwa “… jika area
itu hanya terdiri atas dasar laut serta tanah di bawahnya saja, tanpa disertai adanya
dasar samudera-dalam serta tanah di bawahnya maka tidak bisa disebut Kawasan
walaupun terletak di luar yurisdiksi nasional.” 211 Oleh karena itu, Parthiana
memberikan interpretasinya terhadap definisi kawasan sebagai berikut:
o Dasar laut dan dasar samudera-dalam serta tanah di bawahnya; dan
o Dasar laut serta tanah di bawahnya (tanpa ada dasar samudera dalam).212
Kemudian Parthiana menjelaskan bahwa penafsirannya ini dapat menjawab dilema
yang dihadapi dari Pasal 1 tersebut. Artinya, definisi tersebut harus dipisahkan dan
diklasifikasikan meliputi dua macam dasar laut serta tanah di bawahnya.213
KHL 1982 juga telah mengadopsi prinsip common heritage of mankind ke
dalam pasal 136 di mana KHL 1982 menyebutkan bahwa “The Area and its
resources are the common heritage of mankind.” Sebagai konsekuensi dari pasal
tersebut, Pasal 137 ayat (1) menegaskan bahwa tiada satu negara pun yang dapat
meletakkan atau melaksanakan kedaulatan maupun hak berdaulatnya di atas
210 Parthiana, op.cit. h. 218 211 Ibid, h. 219 212 Ibid. 213 Ibid.
100
Kawasan di bagian manapun. Ayat ini juga menegaskan bahwa setiap klaim
kedaulatan dan hak berdaulat atas Kawasan tidak akan diakui. Ayat (2) kemudian
menjelaskan bahwa pemanfaatan sumber daya alam di Kawasan harus digunakan
demi kepentingan umat manusia secara keseluruhan, di mana pihak yang
melaksanakan hal ini adalah Otorita yang diatur di dalam KHL 1982. Ayat (3)
melarang setiap pihak untuk meletakkan klaim, mendapatkan, atau melaksanakan
haknya atas mineral yang dieksploitasi dari Kawasan kecuali hal tersebut sudah
sesuai dengan apa yang diatur di dalam KHL 1982. Apabila bertentangan dengan
ketentuan KHL 1982, maka hak tersebut tidak akan diakui.
Dalam melakukan segala kegiatan di Kawasan, setiap negara harus berperilaku
berdasarkan ketentan bab ini, asas-asas yang tercantum di dalam Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan ketentuan hukum internasional lainnya demi
terpeliharanya perdamaian dan keamanan serta memajukan kerja sama dan saling
pengertian internasional sebagaimana hal ini diatur dalam pasal 138 KHL 1982
yang mengatur kesesuaian tindakan negara dalam hubungannya dengan kawasan.
Ketentuan ini bersifat deklaratif dan normatif belaka, sebab tanpa penegasan
semacam ini pun setiap negara harus berperilaku seperti ini, di mana pun dan kapan
pun. Sebenarnya ketentan ini tidak saja berlaku bagi setiap negara, tetapi juga bagi
badan-badan hukum ataupun perorangan yang melakukan kegiatan di Kawasan
berdasarkan Bab XII KHL 1982 yang mengatur tentang kawasan.214
Pasal 139 ayat (1), (2), dan (3) mengatur tentang tanggung jawab negara untuk
menjamin enaatan dan kewajiban untuk membayar ganti rugi,. Ayat (1)
membenbani pertanggunjawaban kepada negara-negara peserta konferensi untuk
214 Ibid, h. 222
101
menjamin bahwa semua kegiatan yang dilkakukan di kKawasan, baik yang
dilakukan oleh negara-negara peserta itu sendiri, perusahaan-perusahaan dari
negara itu masing-masing, badan-badan hukum yang lain, ataupun orang-
perorangan yang berkewarganegaraan dari negara itu masing-masing harus sesuai
dengan ketentuan Bab X ini. Bahkan ayat ini memperluasanya pada tanggung jawab
yagn sama dari organisasi internasional terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh organisasi internasinal yang bersangkutan di Kawasan. Ayat (2) dari Pasal 139
mengatur tentang kewjaban memberikanganti rugi sebagai akibat dari kelaluaian
negara peserta atau organisasi internasional yang bersangkutan dalam
melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam Bab XI ini. jika kerugian itu
disebabkan oleh tindakan bersamadari negara dan organisasi internasional tersebut,
maka tanggung jawab dalam pemberian ganti rugi kepada pihak yang menderita
kerugian sebagai akibat kelalaian kedua pihak harus dipikul secara bersama-sama
ataupun secara tanggung-renteng dalam pemberian ganti rugi. Suatu negara peserta
tersebut akan dibebaskan dari kewajiban memikul tanggun jawab memberikan ganti
rugi atas perbuatan seseorang yang disponsorinya dalam melakukan kegiatan di
Kawasan apabila negara itu telah menempuh semua langah yang perlu dan tepat
untuk menjamin penaatan yang efektif. Sedangkan ayat (3) mengatur tentang
kewajiban negara-negara peserta yang menjadi anggota dari suatu organisasi
internasional untuk menempuh langkah-langkah yang tepat demi menjamin
pelaksanaan pasal ini yang berkenaan dengan organisasi internasional yang
bersangkutan.
Pasal 140 ayat (1) menyatakan bahwa semua kegiatan di Kawasan harus
dilaksanakan dmei kemanfaatan bagi umat manusia sebagai suatu keseluruhan,
102
tanpa memandang letak geografis dari negara-negara, negara berpantai atau tidak
berpantai, dengan memperhatikan secara khusus kepentingan dan kebutuhan
negara-negara berkembang dan bangsa-bangsa yang belum memperoleh
kemerdekaan secara penuh atau belum berpemerintahan sendiri yang diakui oleh
PBB. Ayat (2) mengamanatkan kepada Otorita, agar mengadakan pembagian secara
adil atas segala finansial dan keuntungan ekoomi lainnya yang dihasilkan dari
kegiatan-kegiatan di Kawasan melalui mekanisme yang sesuai berdasarkan prinsip
non-diskriminasi selanjutnya dalam Pasal 141 ditegaskan tentang penggunaan
Kawasan, bahwa Kawasan harus digunakan oleh semua negara semata-mata untuk
maksud damai, baik negara itu negara berpantai ataupun tidak berpantai tanpa
diskriminasi atas dasar apapun.
Pasal 142 secara khusus menjamin hak dan kepentingan yang sah dari negar-
negara pantai di Kawasan. Kepentingan tersebut antara lain, berkenaan dengan
endapan-endapan sumber daya atau kekayaan di Kawasan yang letaknya melintasi
garis batas yurisdiksi nasional. Dalam kenyataan, boleh jadi terdapat sumber daya
atau kekayaan atau mineral-mineral yang terkandung di dalam Kawasan berada di
bawah garis batas antara landas kontinen sebagai batas luar yurisdiksi nasional dan
Kawasan. Ini yang lazim disebut dengan sumber daya atau kekayaan atau mineral-
mineral yang lintas-batas (transboundary resources). Menurut Pasal 142 ayat (1)
kepentingan-kepentingan yang sah dari negara pantai dalam hal ini harus
diperhatikan. Apa saja kepentingan yang sah dan bagaimana memperhatikannya,
itu sepenuhnya tergantung pada Otorita dan negara atau negara-negara pantai yang
bersangkutan. Akan tetapi ayat (2) sudah memberikan petunjuk tentang cara-cara
tersebut, seperti konsultasi-konsultasi dalam rangka mencegah pelanggaran atas
103
hak-hak dan kepentingan negara pantai. Apabila sampai tereksploitasinya sumber
daya yang berada di dalam yurisdiksi nasional negara pantai oleh kegiatan-kegiatan
di Kawasan, maka haruslah mendapat persetujuan lebih dahulu dari negara pantai
yang bersangkutan. Hak negara pantai untuk mengambil tindakan yang dipandanga
perlu dan yang konsisten berdasarkan ketentuan Konvensi pada umumnya,
ketentuan dari Bab XI ini pada khususnya harus tetap dihormati. Tindakan negara
pantai tersebut dilakukan, misalnya dalam mencegah, mengurangi, atau
menghilangkan ancaman ataupun hal-hal membahayakan garis pantainya ataupun
kepentingan-kepentingannya yang lain yang berkenaan dengan pencemaran
ataupun ancaman pencemaran, atau peristiwa-peristiwa lain yang membahayakan
yang berasal dari ataupun yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan di Kawasan.