bab iii

46
10 BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Bell’s palsy 3.1.1 Definisi Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals. 7 Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. 7 3.1.2 Epidemiologi Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun

Upload: nabilah-vs-zombies

Post on 04-Sep-2015

224 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

bab III

TRANSCRIPT

39

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA3.1Bells palsy3.1.1DefinisiBell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals.7Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. 73.1.2EpidemiologiBells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.8,9Sedangkan di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan. 8,93.1.3Anatomi saraf fasialisSaraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf, yaitu akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil dan lebih lateral) (gambar 1). Akar motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi membawa serabut- serabut motorik ke otot- otot ekspresi wajah. Saraf intermedius yang berasal dari nukleus salivatorius anterior, membawa serabut-serabut parasimpatis ke kelenjar lakrimal, submandibular, dan sublingual. Saraf intermedius juga membawa serabut- serabut aferen untuk pengecapan pada dua pertiga depan lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna (gambar 2).Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan saraf vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang memiliki panjang 1 (cm), dibungkus dalam periosteum dan perineurium.

Gambar 1. Nukleus dan Saraf Fasialis11Gambar 2. Perjalanan saraf fasialis12Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi) memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen yang berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara vestibula dan cochlea dan mengandung ganglion genikulatum. Karena kanal paling sempit berada di segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi pembengkakan saraf, paling sering menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada ganglion genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang sedikit yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan ganglion genikulatum, memasuki fossa cranial media secara ekstradural, dan masuk kedalam foramen lacerum dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini mendukung kelenjar lakrimal dan palatina.Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang dinding medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan percabangannya ke musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih ke arah distal, terdapat percabangan lainnya yaitu saraf korda timpani, yang terletak 6 mm diatas foramen stylomastoideus. Saraf korda timpani merupakan cabang yang paling besar dari saraf fasialis, berjalan melewati membran timpani, terpisah dari kavum telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa. Saraf tersebut kemudian berjalan ke anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis dan didistribusikan ke dua pertiga anterior lidah.10

The facial nerve provides motor innervation to all the muscles of facial expression and the three muscle derivatives of the second pharyngeal arch (posterior digastric, stapedius, and stylohyoid). It parasympathetically fires three of the four glands in the head: the submandibular and sublingual salivary glands, and the lacrimal gland (A). Other parasympathetic fibers stimulate mucous secretion in the nose and palate. Taste fibers from the anterior two-thirds of the tongue follow the path of the lingual branch of cranial nerve (CN) V until just before entering the cranium as a distinct chorda tympani nerve (B).Gambar 3. Saraf fasialis13Korda timpani mengandung serabut- serabut sekretomotorik ke kelenjar sublingual dan submandibularis, dan serabut aferen viseral untuk pengecapan, Badan sel dari neuron gustatori unipolar terletak didalam ganglion genikulatum, dan berjalan malalui saraf intermedius ke traktus solitarius.10Gambar 4. Saraf fasialis ekstrakranial10

Gambar 5 : Perjalanan saraf fasialis yang memperlihatkan distribusi motorik, sensorik dan parasimpatis14

3.1.4PatofisiologiTerdapat lima teoriyang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bells palsy, yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori Iskemik vaskuler. Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis. Teori infeksi virus. Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1). Teori herediter. Bells palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis. Teori imunologi. Dikatakan bahwa Bells palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi. Teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Burgess et al mengidentifikasi genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bells palsy.15,16,17Murakami et al.18 menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bells palsy yang dilakukan dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al. menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atau herpetika dapat diadopsi.19,20. Gambaran patologi dan mikroskopis menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular saraf.Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai masuk angin atau dalam bahasa inggris cold. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).21Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.21

3.1.5Manifestasi klinisGejala Bells palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari). Pasien juga mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan sensorik. Kadang- kadang diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan. Kelum-puhan saraf fasialis dapat terjadi secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 17 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit. 22,6Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah. Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan menggunakan sistim House-Brackmann dan metode Freyss. Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak lesi saraf fasialis dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes gustometri.5,23Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bells palsy dapat berbeda.19 Bila lesi di foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bells phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu.Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut mulut.Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama.Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan.3.1.6DiagnosisAnamnesisAnamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan penyakit, ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan untuk membedakannya dengan penyakit lain yang menyerupai. Pada Bells palsy kelumpuhan yang terjadi sering unilateral pada satu sisi wajah dengan onset mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit yang progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang.Pemeriksaan FisikDari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi saraf fasialis perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi SSP (supranuklear) juga dapat menyebabkan paralisis saraf fasialis, hanya perbedaannya dari lesi perifer tidak dijumpainya paralisis dahi pada sisi yang terlibat dan dapat menutup mata dengan baik (lagophtalmus tidak dijumpai) dan disertai dengan defisit neurologis lainnya, sekurang-kurangnya kelumpuhan ekstremitas pada sisi yang kontralateral.Pemeriksaan fungsi saraf motorik :Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10 otot-otot tersebut dari sisi superior adalah sebagai berikut :1.Fungsi Saraf M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis M. Piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata kuat-kuat M. Zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut kedepan sambil memperlihatkan gigi M. Businator : diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi M. Orbikularis Oris : diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul M. Triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir kebawah M. Mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang tertutup rapat ke depan.SKALA UGO FISCHDinilai kondisi simetris atau asimetris antara sisi sehat dan sisi sakit pada 5 posisi:PosisiNilaiPersentase (%)0, 30, 70, 100Skor

Istirahat20

Mengerutkan dahi10

Menutup mata30

Tersenyum30

Bersiul10

Total

Penilaian persentase: 0 % : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunter 30 % : simetris, poor/jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke asimetris komplit daripada simetris normal. 70 % : simetris, fair/cukup, kesembuhan parsial yang cenderung ke arah normal 100% : simetris, normal/komplitDiagnosa Klinis :Ditegakkan dengan adanya paresis N.VII perifer dan bukan sentral. Umumnya unilateralDiagnosa Topik :Letak LesiKelainan motorikGangguan pengecapanGangguan pendengaranHiposekresi salivaHiposekresi lakrimalis

Pons-meatus akustikus internus+++ tuli/hiperakusis++

Meatus akustikus internus-ganglion genikulatum+++Hiperakusis++

Ganglion genikulatum-N. Stapedius+++Hiperakusis+

N.stapedius-chorda tympani++++

Chorda tympani+++

Infra chorda tympani-sekitar foramen stilomastoideus+

2. Tonus: Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan terhadap kesempurnaan mimic / ekspresi muka. Fungsi tonus sangat penting sehingga diadakan penilaian pada setiap tingkatan kelompok otot muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan bahwa tonus yang jelek memberikan gambaran prognosis yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu seluruhnya terdapat lima tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan. Apabila terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua (-2) pada setiap tingkatan tergantung dari gradasinya.243. Gustometri: Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda timpani,salah satu cabang saraf fasialis.Kerusakan pada N VII sebelum percabangan kordatimpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan). Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah,kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada lidahpenderita. Hal ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat. Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bubuk akantersebar melalui ludah ke sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh untuk menyatakan pengecapanyang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.254. Salivasi: Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi kelenjar submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen no 50 kedalamduktus Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam jus lemon ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah pada kedua tabung. Volume dapat dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya aliran ludahsebesar 25 % dianggap abnormal. Gangguan yang sama dapat terjadi pada jalur inidan juga pengecapan, karena keduanya ditransmisi oleh saraf korda timpani.65. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex: Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan fungsi serabut-serabut pada simpatis dari saraf fasialis yang disalurkan melalui saraf petrosus superfisialis mayor setinggi ganglion genikulatum. Kerusakan pada atau di atas saraf petrosus mayor dapat menyebabkan berkurangnya produksi air mata.Tes Schimer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata. Cara pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm panjang 5-10cm pada dasar konjungtiva. Setelah tiga menit, panjang dari bagian strip yang menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya. Freys menyatakan bahwa kalau ada bedakanan dan kiri lebih atau sama dengan 50% dianggap patologis.66. Refleks Stapedius: Untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik impedans meter, yaitu dengan cara memberikan ransangan pada muskulus stapedius yang bertujuan untuk mengetahui fungsi N. stapedius cabang N.VII.257. Uji audiologik :Setiap pasien yang menderita paralisis saraf fasialis perlu menjalani pemeriksaan audiogram lengkap. Pengujian termasuk hantaran udara dan hantarantulang, timpanometri dan reflex stapes. Fungsi saraf cranial kedelapan dapat dinilai dengan menggunakan uji respon auditorik yang dibangkitkan dari batang otak. Uji inibermanfaat dalam mendeteksi patologi kanalis akustikus internus. Suatu tuli konduktif dapat memberikan kesan suatu kelainan dalam telinga tengah, dan dengan memandang syaraf fasialis yang terpapar pada daerah ini, perlu dipertimbangkan suatu sumber infeksi. Jika terjadi kelumpuhan saraf ketujuh pada waktu otitis media akut, makamungkin gangguan saraf pada telinga tengah. Pengujian reflek dapat dilakukan pada telinga ipsilateral atau kontralateral dengan menggunakan suatu nada yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu gerakan reflek dari otot stapedius. Gerakan ini mengubah tegangan membrane timpani dan menyebabkan perubahan impedansi rantai osikular. Jika nada tersebut diperdengarkan pada belahan telinga yang normal, dan reflek ini pada perangsangan kedua telinga mengesankan suatu kelainan pada bagianaferen saraf kranialis.258. Sinkinesis: Sinkinesis menetukan suatu komplikasi dari kelumpuhan saraf fasialis yang sering kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai berikut : Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi normal nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari gradasinya. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi, kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah. Penilaian seperti pada (a). Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar mulut. Nilai satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak simetris.

Gambar 6: Pasien dengan (A) lesi saraf fasialis perifer (B) lesi supranuklear6Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang mungkin bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila ditemukan adanya otitis rnedia yang aktif dan massa di kelenjar parotid, kemungkinan paralisis fasialis dihubungkan dengan kelainan- kelainan tersebut, dan bukan suatu Bells palsy.Umumnya pasien Bells palsy tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang. Namun, bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan berikut dapat dianjurkan, seperti:1. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance lmaging (MRI) diindikasikan jika tanda fisiknya tidak khas, tidak ada perbaikan paralisis fasial setelah 1 bulan, adanya kehilangan perdengaran, defisit saraf kranial multipel dan tanda- tanda paralisis anggota gerak atau gangguan sensorik. Adanya riwayat suatu kedutan pada wajah atau spasme yang mendahului kelumpuhan wajah diduga karena iritasi tumor harus dilakukan juga imaging.2. Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan pendengaran, tes audiologi dapat dilakukan untuk menyingkirkan neuroma akustikus.3. Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda- tanda keterlibatan sistemik tanpa perbaikan lebih dari empat minggu3.1.7Diagnosa BandingBeberapa penyakit juga memiliki gejala paralisis fasialis yang identik dengan Bells palsy. Penyakit ini juga memiliki gejala lainnya yang membedakannya dari Bells palsy (Tiemstra dkk, 2007). Penyakit- penyakit tersebut adalah:1. Lesi struktural di dalam telinga atau kelenjar parotid (seperti cholesteatoma, tumor saliva) Pasien dengan tumor memiliki perjalanan penyakit yang panjang, dan berprogresif secara lambat dalam beberapa minggu atau bulan dan gejala sering bertahan tanpa ada penyembuhan. Terlibatnya hanya satu atau dua cabang distal dari saraf fasialis juga menduga tumor, penyakit telinga tengah yang aktif atau suatu massa di kelenjar parotid.2. Guillain Barre Syndrome (GBS)Guillain Barre Syndrome merupakan suatu poliradikuloneuropati inflamasi yang bersifat akut. Gangguan berupa paralisis fasialis bilateral dapat dijumpai pada 50% kasus GBS. Klinis lainnya adalah kelumpuhan pada saraf motorik ekstremitas, dan pernafasan. Refleks tendon negatif pada daerah yang terlibat3. Lyme diseasePasien dengan Lyme disease juga memiliki riwayat terpapar dengan kutu, adanya ruam- ruam di kulit dan arthralgia. Saraf fasialis yang sering terlibat adalah bilateral. Penyakit ini endemis di daerah tertentu, seperti di negara- negara bagian utara dan timur Amerika Serikat, di pertengahan barat (Minnesota dan Wisconsin), atau di Califomia atau Oregon selama musim panas dan bulan- bulan pertama musim gugur. Di daerah- daerah ini merupakan lokasi geografis dimana vektor kutu ditemukan. Gangguan ini juga dikenali dengan baik di Eropa dan Australia6 4. Otitis mediaOtitis media memiliki onset yang lebih bertahap, dengan disertai nyeri telinga dan demam65. Ramsay Hunt Syndrome (komplikasi herpes zoster)Pasien dengan Ramsay Hunt Syndrome memiliki suatu prodromal nyeri dan sering berkembang erupsi vesikel pada kanal telinga dan faring. Penyakit ini disebabkaan oleh virus herpes zoster, dengan klinis berupa paralisis fasialis, atau gangguan pendengaran atau keseimbangan6. SarcoidosisPasien dengan sarcoidosis memiliki gejala paralisis fasialis bilateral dan uveitis. Sarcoidosis merupakan penyakit granulomatosa dari asal yang tidak ditentukan yang melibatkan banyak sistem organ. Diagnosis dibuat berdasarkan temuan klinis beserta dengan biopsi jaringan yang terlibat oleh sarcoid67. Melkerson Rosenthal Syndrome (MRS)Melkerson Rosenthal Syndrome merupakan suatu trias dari gejala edema orofasial berulang, paralisis fasialis berulang, dan lingua plicata (fissured tongue). Edema orofasial merupakan gambaran yang selalu dijumpai pada pasien MRS, sedangkan yang lainnya masing- masing terjadi pada setengah pasien. Trias lengkap ini hanya dijumpai pada seperempat kasus. Penyakit ini umumnya dimulai pada dekade kedua, dan manifestasi biasanya terjadi secara berurutan dan jarang terjadi secara bersamaan.

Gambar: Pasien dengan Melkerson Rosenthal Syndrome (MRS)3.18Perbaikan Klinis Pasien BelI's palsy umumnya memilki prognosis yang baik. Prognosis tergantung dari waktu dimulainya perbaikan klinis. Perbaikan klinis yang segera dihubungkan dengan prognosis yang baik dan perbaikan yang lambat memiliki prognosis yang buruk. Jika perbaikan klinis dimulai dalam 1 minggu, 88% akan memperoleh kesembuhan sempurna, bila dalam 1-2 minggu 83 % dan dalam 3 minggu, kesembuhan terjadi sekitar 61%.Perbaikan klinis pasien Bells palsy dapat dinilai dengan mudah dengan menggunakan facial grading system. Facial grading system merupakan suatu sistem skor yang digunakan untuk menilai fungsi saraf fasialis. Sistem ini diperlukan dalam menentukan keparahan dari gangguan fungsi wajah, mengikuti progresivitas paralisis fasialis, dan membandingkan hasil pengobatan. Beberapa sistem grading telah diperkenalkan, yaitu House Brackmann (HB) grading system, Sunnybrookscale, dan Yanagihara grading system (Kanerva 2008). Dari ketiga sistem ini yang sering dan telah secara luas digunakan dalam penelitian, terutama di Amerika Serikat dan Eropa adalah HB grading system. House Brackmann grading system telah dipakai sebagai standar oleh American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery dan telah digunakan. Sistem ini didasarkan pada 6 tingkat skor (I-Vl) yang memberikan evaluasi dari fungsi motorik saraf fasialis dan juga evaluasi sekuele .Yanagihara grading system, diperkenalkan oleh Yanagihara pada tahun 1976, menilai 10 aspek fungsi secara terpisah pada beberapa otot fasial yang berbeda. Masing- masing fungsi diberi skor 0-4, dengan skor maksimum 40. Skala terdiri dari fungsi normal (4), paralisis ringan (3), paralisis sedang (2), paralisis berat (1), dan paralisis total (0). Sistem skoring ini tidak menilai efek-efek sekunder. Yanagihara merupakan sistem yang digunakan secara luas di Jepang untuk mengevaluasi fungsi saraf fasial pada Bells palsy, herpes zoster oticus, dan follow up pembedahan neuroma akustikus3 Tabel House Brackmann Facial grading system:

3.1.9 PengobatanKarena etiologi Bells palsy belum jelas, beberapa pengobatan yang berbeda telah digunakan. Secara garis besar, pengobatan Bells palsy dikelompokkan menjadi 3, yaitu: medikamentosa, bedah, dan terapi fisik. Semua pengobatan ditujukan untuk mengurangi inflamasi, edema dan kompresi saraf.

a. MedikamentosaModalitas pengobatan medikamentosa yang digunakan pada pasien Bells palsy adalah kortikosteroid dan/ atau antivirus. Jenis kortikosteroid yang paling banyak digunakan pada banyak penelitian Bells palsy adalah golongan prednisolon. Anti VirusHerpes simpleks tipe 1 dan Varicella zoster virus (VZV) merupakan dua virus yang dipercaya bertanggung jawab pada kasus Bells palsy. Reaktivasi dari virus- virus ini dapat menyebabkan inflamasi pada saraf fasialis. Pengobatan anti virus dengan asiklovir dan valasiklovir telah digunakan pada beberapa studi, sering dengan kombinasi dengan prednisolon dan hasilnya beragam. Asiklovir diberikan lima kali sehari. Valasiklovir, merupakan prodrug asiklovir, hanya diberikan tiga kali sehari karena biovaibilitasnya lebih tinggi dari asiklovir. Dijumpai keuntungan menggunakan valasiklovir dibandingkan asiklovir karena obat ini digunakan dengan dosis yang kurang sering, dan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi di serum dan CSF.Untuk memperkirakan keuntungan pengobatan dengan anti virus pada Bells palsy, suatu studi dari Cochrane telah dilakukan, yang mengikutkan 7 uji dengan totalnya 1987 pasien. Studi ini menyimpulkan bahwa tidak terdapat manfaat signifikan dari antivirus bila dibandingkan dengan plasebo pada pengobatan Bells palsy. Empat studi tidak menemukan perbedaan pada tingkat perbaikan klinis antara pengobatan dengan prednisolon dan kombinasi prednisolon asiklovir/ valasiklovir. Satu studi membandingkan prednisolon dengan asiklovir dan menemukan manfaat pengobatan pada kelompok prednisolon. Dua studi lainnya melaporkan manfaat untuk kombinasi prednisolon- asiklovir/valasiklovir dibandingkan dengan prednisolon sendiri, namun studi ini tidak blind.

Metil PrednisolonMetil prednisolon merupakan glukokortikoid sintetik turunan dari prednisolon, yang mempunyai efek kerja dan penggunaan yang sama seperti senyawa induknya. Glukokortikoid sintetik dikembangkan terutama untuk aktivitas anti inflamasi dan imunoseprasannya26FarmakokinetikSteroid secara farmasi disintesis dari cholic acid (yang diperoleh dari sapi) atau steroid sapogenin, terutama diosgenin, dan hecopenin yang ditemukan dalam tumbuhan family Liliaceae dan Dioscoreaceae. Metil prednisolon memiliki nama kimia pregna -1,4-diene-3,20-dione, 11,17,21-trihydroxy-6-methyl- (6,11) dan berat molekul 374,48. Metil prednisolon bersama dengan steroid sintetik lainnya diabsorbsi dengan cepat dan sempurna bila diberikan melalui mulut. Meskipun mereka ditransportasikan dan dimetabolisme dalam pola yang sama dengan steroid endogen, beberapa perbedaan penting tetap dijumpai. Perubahan pada molekul glukokortikoid mempengaruhi aktivitasnya terhadap reseptor glukokortikoid. Seperti aktivitasnya dalam mengikat protein, stabilitas rantai samping, kecepatan ekskresinya, dan produk metaboliknya. Halogenasi pada posisi 9, lepasnya ikatan 1-2 dari cincin A, dan metilasi pada posisi 2 atau 16 memperpanjang waktu paruh lebih dari 50%. Gabungan 1 diekskresikan dalam bentuk bebas. Pada beberapa kasus, obat diberikan adalah prodrug. Contohnya prednison, yang dengan cepat dikonversi menjadi produk aktif prednisolon di dalam tubuh26FarmakodinamikA. Mekanisme kerjaKerja steroid sintetik sama dengan steroid alami (kortisol), yang diperantarai oleh reseptor glukokortikoid yang tersebar luas. Protein-protein ini merupakan anggota dari superfamily reseptor inti termasuk steroid, sterol (vitamin D), tiroid, retinoic acid, dan banyak reseptor lainnya dengan ligand yang tidak ada atau tidak diketahui (orphan receptor). Reseptor intraselluler ini berikatan dengan protein yang stabil, termasuk dua molekul heat shock protein (Hsp90). Kompleks reseptor ini dapat mengaktifkan transkripsi gen di sel target. Steroid dijumpai didalam darah dalarn bentuk terikat corticosteroid binding globulin (CBG), namun memasuki sel sebagai molekul yang bebas. Steroid kemudian berikatan dengan kompleks reseptor, menyebabkan terjadinya suatu kompleks yang tidak stabil dan Hsp90 dan molekul-molekul yang terikat dilepas. Kompleks steroid- reseptor ini dapat memasuki nukleus, berikatan dengan glucocorticoid response element (GRE) pada promoter gen. Glucocorticoid response element (GRE) dibentuk dari dua rangkaian yang mengikat receptor dimer. Kemudian kompleks steroid- reseptor tersebut mengatur transkripsi oleh Ribonucleic acid (RNA) polymerase dan faktor- faktor lainnya yang berhubungan dengan transkripsi. Messenger (m) RNA yang dihasilkan diedit dan dibawa ke sitoplasma untuk produksi protein-protein.26

Gambar 7. Mekanisme kerja steroidB. Efek anti inflamasi dan imunosupresifSteroid sintetik terutama dikembangkan sebagai anti inflamasi dan imunosupresif. Steroid mengurangi manifestasi inflamasi melalui pengaruhnya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi dari leukosit perifer dan pengaruhnya supresifnya terhadap sitokin dan chemokin inflamasi dan terhadap lipid lainnya dan mediator glukolipid dari inflamasi. Inflamasi ditandai oleh ekstravasasi, dan infiltrasi lekosit pada jaringan yang terlibat. Kejadian ini diperantarai oleh rangkaian kompleks interaksi antara molekul adhesi lekosit dengan molekul- molekul pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid.27Steroid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan antigen presenting cells (APCs) lainnya. Kemampuan dari sel- sel ini untuk merespon antigen dan mitogen dikurangi. Efek pada makrofag terutama bermakna dan membatasi kemampuannya dalam fagositosis dan membunuh mikroorganisme dan untuk menghasilkan tumor nekrosis factor (TNF-), interleukin-12, metalloproteinase, dan plasminogen activator. Makrofag dan limfosit manghasilkan interleukin-12 dan interferon yang sedikit, induksi penting dari aktivitas sel T helper 1 dan lmunitas selluler Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, steroid mempengaruhi respon inflamasi dengan mengurangi prostaglandin, leukotriene, dan sintesa dari platelet activating factor yarg merupakan hasil dari pengaktifan phospolipase A2. Akhirnya, steroid mengurangi ekspresi cyclooxygenase II, pada sel inflamasi, yang kemudian mengurangi jumlah enzim yang tersedia untuk menghasilkan prostaglandin.27C. Efek Samping dan KontraindikasiPada pemberian jangka pendek, glukokortikoid bebas dari efek samping, bahkan pada dosis yang paling tinggi sekalipun. Pada penggunaan jangka panjang, kemungkinan dapat menyebabkan tanda dan gejala cushing's syndrome (akibat produksi berlebihan dari kortisol). Akibat kerja anti inflamasi, dapat menyebabkan menurunnya resistensi terhadap infeksi, lambatnya penyembuhan luka, memperburuk penyembuhan ulkus peptik. Akibat kerja glukokortikoid terjadi glukoneogenesis, dan pembentukan glukosa yang meningkat, serta katabolisme protein, menyebabkan atrofi otot skeletal, osteoporosis, retardasi pertumbuhan pada bayi, atrofi kulit. Akibat kerja mineralokortikoid sehingga dapat terjadi retensi garam dan cairan (hipertensi, edema) dan kehilangan KCI dengan hipokalemia. Kontraindikasi bila dijumpai tanda- tanda infeksi, kehamilan, ulkus peptikum, dan hipertensi berat27

Gambar 8. Efek steroid pada proses inflamasi28D. Prednisolon pada Bells palsyPengobatan dengan kortikosteroid (kortison, prednison atau prednisolon) pada Bells palsy diperkenalkan pertama sekali pada tahun 1950 dan telah secara luas digunakan hingga saat ini. Kortikosteroid berperan dalam mengurangi inflamasi, degenerasi, dan regenerasi yang salah dari saraf fasialis.Terdapat dua penelitian yang menggunakan prednisolon dalam pengobatan BeIIs palsy. Penelitian pertama yang dilakukan oleh Engstrom dkk (2008) menggunakan dosis prednisolon oral 60 mg/hari selama 5 hari, kemudian dosis diturunkan 10 mg setiap harinya, dengan total waktu pengobatan 10 hari. Obat diberikan dalam 72 jam setelah onset Bells palsy. Follow up dilakukan antara hari ke 11-17, dan pada 1,2,3,6,12 bulan setelah randomisasi dengan menilai fungsi saraf fasialis menggunakan dua sistem grading, yaitu House Brackmann (HB) grading system dan Sunnybrook scale. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pasien yang mendapatkan prednisolon memiliki waktu yang lebih pendek untuk sembuh sempuma dan outcome setelah 12 bulan yang lebih baik (kejadian sinkinesia yang lebih sedikit) dibandingkan pasien yang tidak mendapat prednisolon. Penelitian lainnya dilakukan oleh Sullivan dkk (2007) yang menggunakan prednisolon dengan dosis 25 mg dua kali sehari selama 10 hari yang diberikan dalam 72 jam setelah onset. Penilaian fungsi saraf fasialis dengan menggunakan HB grading system. Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien yang diberikan prednisolon memperoleh outcome yang lebih baik dengan kesembuhan sempurna sebesar 90 % pada pasien yang diobati dengan prednisolon dan 75% pada pasien yang tidak mendapatkan prednisolon.Dua penelitian systematic review dari Salinas dkk (2010) dan Gronseth dkk (2012) menyimpulkan terdapatnya efikasi dari pemberian kortikosteroid terhadap perbaikan klinis pasien Bells palsy dan tidak didapatkan efek samping yang berbahaya pada penggunaan terapi kortikosteroid tersebut b. BedahBedah dekompresi untuk Bells palsy dimulai pada tahun 1930. Pendekatan bedah yang berbeda telah diajukan. Secara teknik sulit untuk mencapai daerah kompresi pada segmen labirin-meatus dan adanya resiko komplikasi seperti bocornya CSF, infeksi, hilangnya pendengaran, dizziness, dan perdarahan intrakranial. Fisch dan Esslen menekankan pentingnya dekompresi labirin, segmen genikulatum dan timpani dari saraf, dan menyatakan bahwa teknik ini dapat memperbaiki outcome. Sementara May menunjukkan tidak ada perbaikan klinis yang signifikan pada pasien- pasien yang diobati secara bedah yang menggunakan pendekatan transmastoid.Suatu studi Cochrane dari tahun 2011, yang mengikutkan dua uji dengan 69 pasien, menyimpulkan bahwa data dari randomized controlled trials tidak cukup untuk memutuskan manfaat dari dekompresi bedah. Pengobatan ini tidak disokong di Swedia meskipun teknik ini masih dilakukan di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Swiss.c. Rehabilitas fisik kabatA. PrinsipRehabilitasi fisik kabat atau nama lainnya proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF) adalah suatu pendekatan latihan terapi yang mengkombinasikan secara fungsional pola gerakan diagonal denganteknik fasilitasi neuromuskular untuk membangkitkan respon motorik dan memperbaiki kontrol dan fungsi neuromuskular. Pendekatan ini telah secara luas digunakan untuk latihan, dan telah dikembangkan sejak tahun 1940 dan 1950 oleh Kabat, Knott dan Voss.Teknik PNF dapat digunakan untuk mengembangkan kekuatan danketahanan otot, memfasilitasi stabilitas, mobilitas, kontrol neuromuskular dan gerakan- gerakan yang terkoordinasi, dan memberikan dasar untuk pemulihan fungsi otot. Teknik PNF bermanfaat pada keseluruhan rangkaian rehabilitasi dari fase awal penyembuhan jaringan (teknik neuromuskular cocok) hingga ke fase akhir rehabilitasi (gerakan diagonal dengan kecepatan tinggi dapat dilakukan melawan tahanan maksimal). Pendekatan latihan terapi ini menggunakan pola diagonal dan penerapan petunjuk sensorik, khususnya proprioceptif untuk mendapatkan respon motorik yang besar. Pada pendekatan ini telah diketahui bahwa kelompok otot yang lebih kuat dari suatu pola diagonal memfasilitasi kemampuan reaksi dari kelompok otot yang lebih lemah. Teknik dan pola PNF rnerupakan bentuk yang penting dari latihan resistensi untuk mengembangkan kekuatan, tahanan otot dan stabilitas dinamik B. TeknikTeknik ini dapat diterapkan secara luas pada pasien-pasien dengan gangguan muskoloskletal (ekstremitas, leher, tubuh) dan wajah. Pada wajah, secara rasional teknik ini dapat digunakan karena serabut- serabut ototnya paling banyak berjalan secara diagonal, dengan suatu penyebaran yang mudah ke daerah wajah bagian atas karena inervasi saraf fasialis yang menyilang. Pada teknik ini, terdapat tiga fulcra yang diperhatikan, yaitu atas, tengah dan bawah. Fulcra atas (dahi dan mata) dihubungkan melalui suatu aksis vertikal menuju fulcra pertengahan (hidung), sedangkan fulcra yang lebih bawah (mulut) untuk mengunyah dan artikulasi terletak disepanjang aksis horizontal. Karenanya, kerja fulcra atas wajah juga melibatkan 2 fulcra lainnya.Selama rehabilitasi, terapis memfasilitasi kontraksi neuromuskular dari otot yang terganggu dengan menerapkan suatu regangan yang global kemudian tahanan pada keseluruhan atot dan memotivasi kerja dengan input verbal dan kontak manual. Pada fulcra atas, pengaktifan dari otot frontal, corrugators dan orbicularis oculi dilakukan dengan traksi keatas atau ke bawah, yang selalu berada pada bidang vertikal tergantung pada fungsi khusus yang harus diaktifkan. Pada fulcra tengah, pengaktifan dari otot elevator communis dari ala nasi dan bagian atas bibir juga dikerjakan dengan gerakan traksi, mengikuti garis vertikal. Untuk fulcra bawah, manuver dikerjakan pada m. orbicularis oris dan risorium pada bidang horizontal dan m. mentalis pada bidang vertikal29Secara sistematis, teknik rehabilitasi kabat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:1. Melatih m. orbicularis orisPada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah terapis diletakkan pada sudut mulut kiri/kanan Dilakukan peregangan pada m. orbicularis oris dengan menarik sudut mulut ke arah samping kiri/ kanan Pasien disuruh mencucu sambil diberi tahanan oleh terapis dan ditahan selama 8 kali hitungan2. Melatih m. zygomaticus mayor dan levator labiiPada posisi awal, jari telunjuk dan jari telinga tengah diletakkan pada sudut mulut kiri/ kanan Dilakukan peregangan pada m. zygomaticus mayor dan m. levator labii dengan menekan sudut mulut ke arah medial. Pasien disuruh untuk menarik sudut mulut ke arah luar sambil diberi tahanan oleh terapis selama 8 kali hitungan Gambar 8. Teknik Rehabilitasi Kabat303. Melatih m. dilator nares dan nasalisPada posisi awal, jari telunjuk terapis diletakkan pada kedua ala nasi/ cuping hidung Dilakukan penekanan pada kedua cuping hidung ke arah kaudal Pasien disuruh mengembangkan cuping hidung sambil diberi tahanan oleh terapis selama 8 kali hitungan4. Melatih m. procerusPada posisi awal, jari telunjuk terapis diletakkan di batang hidung pada kedua sisi Dilakukan peregangan pada batang hidung menuju bagian bawah Pasien disuruh dengan menaikkan lipatan nasolabial ke arah atas sambil diberi tahanan selama 8 kali hitungan5. Melatih m. orbicularis oculiPada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah terapis diletakkan di sudut mata pasien Dilakukan peregangan dengan menarik sudut mata ke rah lateral. Pasien disuruh mengerutkan kelopak mata sambil menutup mata dengan kuat dan diberi tahanan selama 8 kali hitungan6. Melatih m. corrugators supercelliPada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah terapis diletakkan di atas alis mata Dilakukan peregangan dan menarik sudut alis ke arah lateral B. Pasien disuruh mengerutkan sudut alis ke arah medial sambil diberi tahanan selama 8 kali hitungan7. Melatih m. frontalisPada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah diletakkan di atas alis mata Dilakukan peregangan pada m. frontalis dengan mendorong alis mata ke arah kaudal/ bawah Pasien disuruh mengerutkan kening sambil diberi tahanan selama 8 kali hitungan8. Melatih m. mentalisPada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah diletakkan pada dagu Dilakukan peregangan dengan menarik dagu ke arah lateral Pasien disuruh mengerutkan bibir bawah sambil diberi selama 8 kali hitungan30C. Rehabilitasi kabat pada BeII's palsyRehabilitasi fisik kabat adalah salah satu bentuk latihan terapi yangtelah digunakan dalam penatalaksanaan pasien Bells palsy. Satu penelitian yang dilakukan Barbara dkk (2010) terhadap 20 orang penderita.Bells palsy, yang dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok pertama (9 orang) diberi terapi medikamentosa (kombinasi steroid dan antivirus) dengan rehabilitasi fisik, sedangkan kelompok kedua (11 orang) hanya diberi medikamentosa. Rehabilitasi fisik yang diberikan adalah berdasarkan konsep Kabat atau disebut juga dengan PNF. Rehabilitasi dimulai pada hari ke- 4 setelah onset paralisis fasialis, dengan satu sesi setiap hari selama 15 hari. Pasien kemudian di follow up selama 15 hari dan dinilai tingkat perbaikannya berdasarkan HB grading system pada hari ke 4, 7 dan 15 setelah onset pengobatan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pasien-pasien pada kelompok pertama yang mendapatkan rehabilitasi fisik secara jelas menunjukkan perbaikan klinis yang lebih cepat dibandingkan kelompok tanpa rehabilitasi fisik.