bab iii etika perkawinan mangkunegara iv a. biografi...
TRANSCRIPT
36
BAB III
ETIKA PERKAWINAN MANGKUNEGARA IV
A. Biografi Mangkunegara IV
Mangkunegara IV hidup pada tahun 1811-1881. Ia dilahirkan pada
hari Senin Pahing tanggal 8 Sapar tahun Jimakir Windu Sancaya 1738 atau
tahun Masehi 3 Maret 1811 dengan nama Raden Mas Sudira. Raden Mas
Sudira atau Mangkunegara IV adalah cicit (cucu dari cucu) almarhum
Mangkunegara I atau Raden Mas Said. Dia adalah cucu dari almarhum
Mangkunegara II atau Hadiwijaya.1 Kakek Sudira dari pihak ayah adalah
Hadiwijaya yang bertempat tinggal di Kartasura yang kemudian karena
gugur dalam pertempuran melawan kompeni Belanda di Kaliabu, maka
terkenal dengan sebutan Hadiwijaya Seda Kaliabu (Hadiwijaya yang gugur
di Kaliabu). Kekeknya dari pihak ibu adalah Mangkunegara II, anak
kandung Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Raden Mas Said
atau Pengeran Samber Nyawa. Sejak usia sepuluh tahun Mangkunegara IV
mendapat pelajaran kesusastraan.
Pada usia lima belas tahun ia mendapat prajurit legiun
Mangkunegaran. Ia dididik kakeknya Mangkunegara II. Setelah berumur
sepuluh tahun, oleh kakeknya ia diserahkan kepada sarengat alias pangeran
Rio, saudara sepupu yang kelak menjadi Mangkunegara III. Pengeran Rio
diserahi tugas untuk mendidik Sudira tentang membaca, menulis berbagai
cabang kesenian dan kebudayaan serta ilmu pengetahuan lainnya. Lima
tahun ia belajar dengan tekun di bawah bimbingan Pengeran Rio. Usia 22
tahun dia dinikahkan dengan putri Kanjeng Pangeran Harya Suryamataram.2
Pada usia mudanya ia sangat tertarik pada pelajaran agama, lalu ia
berguru kepada para ulama sampai mengenai aturan ibadah haji. Dalam hal
1Suwaji Bastomi, Karya Budaya KGPAA Mangkunegara I-VIII, IKIP Semarang Press,
Semarang, 1996, hlm. 55 2Ibid., hlm. 55
37
ini ia didorong oleh perasaan cemas tentang kehidupan pada hari akhir
kelak. Namun belum cukup sempurna menuntut pelajaran agama, ia telah
dipanggil untuk menerima tugas mengabdi kepada pemerintah.3
Pancaran kewibawaan dari R.M.H. Gandakusuma menyebabkan
beliau mendapat kepercayaan, terpilih menjadi pembantu terdekat dan
terpercaya Sri Mangkunegara III. Pada awalnya diangkat menjadi Pepatih
Dalem, kemudian diangkat menjadi Ajudan Dalem, dan terakhir ditetapkan
menjadi Komandan Infanteri Legiun Mangkunegaran dengan pangkat
mayor. Selanjutnya dijadikan menantu dan dikawinkan dengan puteri sulung
K.G.P.A.A. Mangkunegara III yang bernama B.R.AJ. Dhunuk.4 Pada usia
43 tahun diangkat untuk menggantikan Mangkunegara III yang wafat, dan
diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Prabu Prangwadana.
Karena kepribadiaannya yang kuat, cita-citanya yang tinggi, wawasannya
luas, kewibawaannya dalam keprajuritan, keterampilannya dalam
pemerintahannya, kedalaman perasaannya dalam agama dan seni budaya.
Mangkunegara IV wafat Pada tanggal 8 Sapar tahun Jimakir yang
bertepatan dengan tanggal 2 September 1881 Sri Mangkunegara IV wafat di
Surakarta dan jenazahnya dimakamkan di Astana Girilayu.5 Dalam usia 70
tahun 1811-1881 tiga hari setalah hari meninggalnya, pada tanggal 5
September 1881 diangkat penggantinya bernama Suyitno dan semua
bergelar orang wadana sebelum menjadi Mangkunegara V, anak tertua dari
permaisuri yang berasal dari puteri Mangkunegara III.
Berbagai tanggapan bermunculan berkenaan dengan meninggalnya
Mangkunegara IV, satu diantaranya dari C.A.L.J. Jeekela Residen Surakarta.
Dia, menyatakan bahwa : Mangkunegara IV bukan saja pemimpin pribumi
yang berkemampuan luar biasa, tetapi juga contoh yang jarang ditemukan di
3Moh. Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-serat Piwulang),
Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hlm. 14 4Yusro Edi Nugroho, Serat Wedhatama Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respons
Pembaca, Mimbar Offset, Yogyakarta, 2001, hlm. 20-21 5Ibid., hlm. 21
38
kalangan mereka yang bersemangat tinggi dan mampu bekerja secara
sistematis, ia benar-benar ahli dalam menerapkan metode bangsa Eropa.
Mangkunegara IV mempunyai arti yang amat besar, bukan saja bagi
kerajaan Mangkunegara, tetapi juga bagi Gubernamen Belanda. Dengan
meninggalnya Mangkunegara IV, pemerintah belanda merasa kehilangan
seorang tokoh terkemuka pribumi, seorang yang pantas disebut manusia
besar. Seorang yang setia menempati janji, seorang kepala pemerintahan
yang cakap dan berkemampuan keras dan giat bekerja, seperti yang
diungkapkan dalam laporan Verslag 1882.6
Prestasi yang diperoleh Mangkunegara IV antara lain :
1. Bidang tata pemerintahan, mempertegas batas wilayah Mangkunegaran.
2. Bidang pertahanan militer mengharuskan setiap kerabat Mangkunegaran
yang telah dewasa untuk bekerja sebagai pegawai raja, yakni setelah
mengikuti pendidikan militer 6 sampai 9 bulan.
3. Bidang ekonomi mendirikan pabrik-pabrik yang mendatangkan hasil
seperti pabrik gula di Colomadu dan Tasikmadu pabrik bungkil di
Polokarto, pabrik genteng, kebun karet dan sebagainya.
4. Bidang sosial budaya terkenal sebagai raja yang amat menyukai nilai-
nilai budaya luhur. Bahkan beliau mengarang buku-buku sastra, tarian
jawa dan penciptaan gamelan yang amat besar. Beliau seperguruan
dengan Raden Ngabehi Ranggawarsita.
B. Karya-Karya Mangkunegara IV
KGPAA Mangkunegara IV memerintah kerajaan Surakarta dari
tahun 1864-1881. Dia dikenal sebagai pujangga besar yang sejajar dengan
Ronggowarsito. Atas prakarsa KGPAA Mangkunegara VII, semua karyanya
diterbitkan dalam bentuk Serat Anggitan, dan di tulis dengan huruf jawa.
Mangkunegara IV dikenal sebagai pemikir dan sastrawan jawa yang
hidup pada tahun 1811-1881. Pemikiran-pemikirannya termuat dalam serat
6Moh. Ardani, op.cit., hlm. 25-26
39
piwulang. Dalam khasanah sastra jawa ada berbagai macam bentuk tiga
jenis syair tembang yaitu : tembang mocopat, tembang tengahan dan tembah
gedhe. Tembang macapat meliputi: kinanti, pucung, asmaradana, mijil,
maskumambang, pangkur, sinom, dhandanggula, durma, gambuh dan
megatruh. Pemikiran Mangkunegara IV tertuang dalam serat piwulang yaitu:
serat Warayagnya, Wirawiyata, Sriyatna, Nayakawara, Paliatma, Paliwara,
Palimarma, Salokatama, Darmalaksita, Tripama, Yagatama, dan
Wedhatama.
Kinanti digunakan untuk menyampaikan cerita atau ajaran yang
mengandung pengharapan, jatuh cinta yang penuh suka dan santai supaya
diapat menghibur.
Pucung mengandung rasa seenaknya saja, menyindir dalam
menyampaikan pesan, teka teki lucu dan menyenangkan.
Asmaradana berisi nada yang penuh pesona, sedih atau prihatin
karena gejolak asmaara pada umumnya dinyanyikan oleh orang dewasa
yang sudah lama berpisah dengan seseorang.
Mijil berisi tentang cerita keprihatinan orang yang sedang dilanda
cinta. Maskumambang penyampaian ajaran dengan nada sedih derita dan
prihatin.
Pangkur penyampaian ajaran dengan nada yang serius.
Sinom penyampaian ajaran yang sederhana.
Dhandanggula penyampaian pesan dengan serius tapi santai baik
sedih maupun gembira.
Durma peyampaian ungkapan kekesalan dan kemarahan gejolak hati
dan nafsu.
40
Gambuh berisi tentang penyampaian penjelasan pesan atau
informasi. Megatruh penyampaian rasa susah.7
Sedangkan karya Mangkunegara IV mengambil bentuk syair atau
tembang seperti diatas. Adapun karyanya meliputi :
1. Serat Warayagnya. (Ajaran Perkawinan)
Serat Warayagnya ini berisi tentang etika rumah tangga atau
perkawinan. Perkawinan terbentuk bukan hanya untuk menuruti
dorongan biologis, melainkan untuk menunjukkan tingkat martabat
manusia yang berbudaya dan berperadaban yang ditandai dengan
timbangan akal pikiran yang sehat dan kesetiaan kepada hukum dan
peraturan yang berlaku. Oleh karena itu perkawinan harus berbasarkan
suka sama suka antara kedua colon mempelai dan tidak atas paksaan
orang lain maupun orang tua. Serat ini mengambil bentuk tembang
dhandhanggula terdiri dari 10 bait.
2. Serat Wirawiyata (Ajaran Keberanian Berjuang)
Serat Wirawiyata ini berisi nasehat dan pelajaran yang ditujukan
pada keluarganya dan rakyat Mangkunegaran pada umumnya terutama
para prajurit untuk bersikap memiliki tekat yang bulat jangan ragu atau
bimbang, serta setia patuh menjaga kehormatan. Kedudukan yang
beraneka ragam pada hakekatnya sama dalam meraih keberhasilan cita-
cita. Serat ini terdiri dari 56 bait yang berbentuk 42 bait sinom dan 14
bait pangkur.
3. Serat Sriyatna. (Ajaran Kekuasaan )
Serat Sriyatna berisi harapan bagi keselamatan negara dan
nasehat/petunjuk pada keluarga dan rakyatnya hendaknya memandang
suatu jabatan sebagai amanat yang harus dipertanggungjawabkan sesuai
dengan keahliaannya. Untuk menunjangnya diperlukan sifat-sifat
7Mangkunegara IV, Serat Wedhatama, Effhar dan Dahara Prize, Semarang, 1994, hlm.
10-13
41
diantaranya : tidak mengganggu dan menyakiti orang tua dan sesama
manusia, tidak sombong, mempertebal iman, menerima nasib serta tidak
menuruti hawa nafsu sendiri dan gemar mendekatkan diri dan berdo’a
kepada Tuhan. Serat ini terdiri dari 15 bait yang berbentuk nyanyian
(tembang) dhandanggula.
4. Serat Nayakawara. (Ajaran Pemimpin Penerus Bangsa)
Serat Nayakawara berisi petunjuk kepada Punggawa Mentri
(pimpinan pegawai pemerintah Mangkunagara). Dalam serat ini
punggawa mempunyai pengertian khusus yakni seorang pejabat
semacam kepala daerah yang berasal dari manggala pendukung utama
perjuangan Mas Said melawan Belanda. Setelah Mas Said meraih
kemenangan dan diangkat menjadi Mangkunegara I, mereka diangkat
menjadi kepala daerah tertentu. Kedudukan ini dapat diwariskan kepada
keturuanann masing-masing. Setelah berjalan lebih dari satu abad, sikap
dan perilaku mereka mengalami pergeseran ke arah negatif. Untuk itu
Mangkunegara IV bermaskud memperbaiki kekeliruan mereka
khususnya dan perbuatan pejabat yang lain umumnya. Serat ini terdiri
dari 33 bait yang terdiri dari pupuh pangkur 21 bait dan pupuh
dhandhanggula 12 bait
5. Serat Paliatma (Ajaran Keselamatan Putra Mahkota)
Serat Paliatma berisi petunjuk untuk putera-puteri
Mangkunegara IV dari istri tua R.M.H. Gandakusuma yang wafat, agar
mereka memelihara kerukunan dan menjaga keselamatan calon putera
mahkota Suyitna satu saudara yang berasal dari ibu lain. Serat ini
bernada penyampaian wasiat yang disertai sumpah terhadap siapa yang
melanggar aturan. Serat ini terdiri dari 18 bait yang berbentuk
dhandanggula.
42
6. Serat Paliwara. (Ajaran Pamongpraja)
Serat Paliwara berisi pelajaran dan petunjuk mengenai
kepamongprajaan untuk putera-puterinya khususnya untuk putera
mahkota. Serat ini terdiri atas 13 bait yang berbentuk pupuh
dandanggula 6 bait dan pupuh sinom 7 bait dengan menggunakan bahasa
teka-teki.
7. Serat Palimarma (Ajaran Hukuman Pelaku kejahatan)
Serat Palimarma berisi pelajaran dan peringatan keras terhadap
sanak famili dan keluarga Mangkunegaran yang mengacau kerusuhan
dan keamanan negara. Serat ini terdiri atas 13 bait yang terdiri dari 6 bait
pupuh dandanggula dan 7 bait pupuh sinom.
8. Serat Salokatama (Ajaran Para Pemuda)
Serat Salokatama berisi pelajaran kepada para pemuda yang
ingin meraih kejayaan dengan berperilaku mulai dan keprihatinan,
diantaranya tidak tergesa-gesa dan terburu nafsu dalam mencapai tujuan,
tidak melakukan tindakan yang berlebih-lebihan. Serat ini terdiri dari 31
bait pupuh yang berbentuk mijil.
9. Serat Darmalaksita (Ajaran Perjuangan Sejati)
Serat Darmalaksita berisi tentang petunjuk perilaku dan sikap
dalam mencapai kehidupan yang baik, yaitu astagina (delapan faedah)
dan wulang etri (petunjuk kaum puteri). Serat ini terdiri dari 40 bait,
yang berbentuk 12 bait pupuh dhandhanggula, 10 bait pupuh kinanti dan
18 bait pupuh mijil.
Astagina (delapan faedah) meliputi :
- Menggupayakan secara optimal apa yang dihajatkan menurut kondisi
zamannya.
- Mampu mencarai pemecahan apabila ia menghadapi kesulitan, -Hemat
dan hati-hati mengggunakan dana.
43
- Cermat dan teliti dalam pengematan untuk memperoleh kepastian.
- Menuntut ilmu dan gemar bertanya pada ahlinya.
- Mampu memperhatikan situasi.
- Mencegah keinginan yang tidak bermanfaat dan menambah
pemborosan.
- Bertekat bulat tanpa ragu-ragu.
Kedelapan sikap tersebut mencerminkan sifat-sifat utama. Sikap
yang demikian sebagai kunci keberhasilan apabila dilaksanakan secara
menyeluruh.
Sedangkan wulang etri petunjuk kaum puteri khususnya yang
belum menikah hendaklah bersikap dewasa dengan mengadakan
pengamatan, yang cermat terhadap calon suami, tentang kelakuannya,
wataknya, pantangannya, kehalusan budinya, sebalika pra wanita
menunjukan kepatuhan, kesetian, kemantapan hati dan jujur pada sang
suami.
10. Serat Tripama (Tiga Keutamaan)
Serat Tripama ini berisi tentang keteladanan prajurit dengan
menampilkan tiga tokoh pemimpin dalam pewayangan. Pertama, patih
Suwanda pada raja Arjuna Sasrabau dalam kisah pra Ramayana. Kedua,
Kumbakarna dalam kisah Ramayana menjelang kehancuran Rahwana.
Ketiga, kisah Adipati Karna yang menjadi senopati Kurawa dengan
Arjuna dari Pandawa dalam kisah perang Baratayuda Mahabarata. Serat
ini terdiri atas 7 bait yang berbentuk pupuh dhandanggula.
11. Serat Yogatama (Putra Ideal Mataram)
Serat Yogatama ini berisi bagi putera utama mataram hendanya
memiliki sifat rasa cinta yang sejati pada tumpah darah tanah airnya,
senantiasa mengharap limpahan Rahmat dan Anugerah Tuhan karena
dialah para pemimpin atau raja (wakil Tuhan) ditugasi untuk menjaga
keselataman seluruh tanah air. Oleh karena itu tak mengherankan jika
44
mereka dapat mencapai apa yang mereka inginkan. Serat ini terdiri dari
11 bait yang berbentuk 4 bait pupuh dhandangula dan 7 pupuh kinanti.
12. Serat Wedhatama. (Ajaran Keutamaan)
Serat Wedhatama ini berisi tentang pelajaran dan petunjuk
(nasehat) bagi golongan tua dan generasi muda mengenai menuntut ilmu
lahir dan batin, orang yang ingin menyembah Tuhan dengan segenap
daya dan rohaninya (ibadah pada Tuhan), orang yang ingin mendapat
limpahan Anugerah Tuhan (mencapai Rahmat dari Tuhan). Serat ini
terdiri dari 72 bait yang berbentuk 14 bait pupuh pangkur 18 bait pupuh
sinom 15 bait pupuh pucung 25 bait pupuh gambuh. 8
C. Etika Perkawinan Dalam Serat Warayagnya
Di dalam Serat Warayagnya ini berisi fatwa (nasihat, wewarah,
petunjuk) perihal bersuami istri (palakrama, salakirabi) dalam bentuk
tembang (sekar) macapat pupuh Dhandanggula yang terdiri dari 10 bait
(pada). Serat Warayagnya tersirat bahwa perihal perkawinan (palakrama,
salakirabi) dipandang sangat penting bagi kehidupan manusia, dirangkai dan
diungkapkan dalam suatu bentuk tembang macapat Dandanggula sebagai
sarana untuk menyampaikan piwulang dengan cara yang baik yang
ditujukan kepada putra-putri, keturunan, dan generasi penerus.
Dandanggula yang terdiri dari 10 bait dalam Serat Warayagnya
sebagai berikut:
1. Warayagnya wedaring palupi, pinandara macapat sarkara, ing naliko
panitrane, senen ping kalihlikur, sasi saban dhestha be warsi, sang kala
nyatur slira, mumulang mering sunu, jeng gusti pangran dipatya, arya
prabu prangwadana kang amarni, winahya mring pra putra.
2. Kakung putri ing reh palakrami, sumawana kang sami jajaka, tan wun
tembe pikramane, marma tinalyeng wuwus, wasitane mengku pawestri,
8Moh. Ardani, op.cit., hlm. 29-38
45
ywa dumeh yen wong priya, misesa andhaku, mring darbeking wanodya,
palakarama nalar lan kukum kang dadi, yen tinggal temah nistha.
3. Wuryaningreh priya kang rumiyin, lamun arsa angupaya garwa, den
patitis pamilihe, aywakaseseng kayun, mbok manawa kaduwung wuri, ya
bener yen wong lanang, wenang duwekipun, rabiya ping pat sadina,
kena ugo wuruk karepe pribadi, nanging ta tan mangkana.
4. Dadi ora ana becik, ngilangake istiyaring gesang, yen ngarah apa
tekade andarung kadalarung, ngelmu sarak denorak arik, mbuwang
ajining badan, lumuh reh rahayu, tur upama kalakonna, kasangsara
kaduwung anekani, manglah nunutuh driya.
5. Aja nganti mangkana ta kaki, becik apa cinacad sasama, wong gendhak
kalakuwane, sapa kang duwe sunu, wadon aweh sira rabeni, kiraku
noranana, kejaba kebutuh, ala rinabenan koja, becik bangsa wit tan
duwe putu encik, mung iku ciptanira.
6. Kawruhana kaduwunging ati, jalarane mung patang prakara, wong
anom dadi brangtane, dhingin myat warna ayu, kapin pindho melik
wong sugih, kaping tri kawibawaan, lan kaping patipun, kena samabang
sarawungan, rokok kinang winehken lan ujar manis, rinuket mrih
asmara.
7. Wekasane ya kena sayekti, ngadatira wong anom mangkana, keh rabi
dudu niyate, yen kena sutaningsun, arabi jalaran becik, aja rabi
pasongan, nistha yen dinulu, angapesken yayah rena wruhaanira
manugsa neng dunya iki, yen kena kang mangkana.
8. Ingkang dhingin rahayuning dhiri, kinalisna sakehing prakara, myang
sak serik sasamane, kapindho badanipun, aja kambah barang penyakit,
kaping tri aja tansah, susah manahipun, kaping pat arsa darbeya, anak
lanang kang mursid minangka wiji, ndawakken turunira.
9. Mula nora gampang wong arabi, kudu milih wanodya kang kena,
ginawe rewang uripe, sarana ngudi tuwuh, myang ngupaya kang
sandhang bukti, wiwilangane ana, catur upayektu, yogyane kawikanana,
dhingin bobot pindho bebet katri bibit, kaping pat tatariman.
46
10. Papat iku iya uga kanthi, dhingin warna kaping dhone brana, kaping tri
kawibawane, catur pambekanipun, endi ingkang sira senengi, aja
angantiangawang, manawa keduwung, karana milih wanodya, datan
kena den mupakatken sasami, wuruk neng karsanira.9
Terjemahan dari R.M.T Soemarso Ponjosoejitro Abdi Dalam Keraton
Mangunegaran Surakarta pada tanggal 4 September 2003.
1. Waranyagnya memaparkan suri tauladan dituangkan dalam tembang
macapat dhandangula di tulis pada hari senin 22, bulan saban (ruwah)
tanggal 11 tahun Be, 1415 (seribu empat ratus lima puluh satu tahun jawa).
Jeng gusti pangeran dipatya arya prabu prangwadana mengatakan
(menganjurkan) pada para putra.
2. Laki-laki dan perempuan tentang prekawinan begitu pula para jejaka
kemudian hari tentu akan beristri (kawin). Kemudian akan terikat aturan-
aturan tentang beristri jangan berlagak sebagai laki-laki berkuasa memiliki
apa yang menjadi hak wanita, perkawinan harus di jalankan dengan baik
menurut hukum perkawinan, kalau diabaikan akibatnya tidak baik.
3. Yang dilakukan priya zaman dulu bilamana akan mencari istri agar tepat
memilihnya jangan tergesa-gesa menuruti kata hati sebab kemungkinan
menyesal dikemudian hari, memang sunguh kalau orang laki-laki memiliki
wewenang (kuasa), kawin empat kali sehari menurut kehendak sendiri,
akan tetapi tidak demikian seharusnya.
4. Jadi tiada kebaikan mengabaikan ikhtiar hidup, apa yang akan diraih bila
tekadnya tidak terkendali, ilmu sorak diacak-acak, merosotnya harga diri,
mengabaikan keslamatan umpama terlaksana, kesengsaraan, akhirnya
menyesal kemudian, hakekatnya menyalahkan diri sendiri.
5. Jangan sampai demikian anakku, apa kabaikannya kalau mewndapat cacat
dari sesama, orang yang buruk kelakukannya, siapa yang punya anak
9Kama Jaya, Pilihan Anggitan KGPAA Mangkunegara IV, Yayasan Centhini,
Yogyakarta, 1992, hlm. 147-148
47
perempuan bolehkan jadi sitrimu, menurut saya kira-kira tidak ada, keciali
terdesak kebutuhan, apa kebaikannya diperistri saudagar orang India
(Bombay), lebih baik sebangsa karena tidak akan punya cucu encik hanya
itulah yang kau ciptakan (angan-anganku).
6. Ketahuilah penyesalan karena hanya dari 4 hal orang muda itu mudah
tertarik (kasmaran) pertama melihat kecantikan, kedua kekayaan, ketiga
kewibawaan (kedudukan), dan yang keempat pergaulan, rokok sirih (guna-
guna) dan kata-kata manis (memikat), dipikat supaya kasmaran (jatuh
cinta).
7. Akhirnya sungguh tergiur (kena) itu kebiasaan orang muda, banyak yang
kawin yang sebelumnya bukan kehendaknya, bilamana anak saya sedapat
mungkin kawinlah dengan cara yang baik, jangan kawin karena pengaruh
yang kurang baik, nistha kelihatannya, merendahkan orang tua ketahuilah
manusia hidup di dunia ini sedapat mungkin yang baik.
8. Pertama keslamatan diri, terhindar dari segala perkara, serta jangan
menyakiti hati orang lain (sesama), kedua terhindar dari penyakit, ketiga
jangan selalu, susah hatinya. Keempat mendapatkan (mempunyai) anak
laki-laki yang soleh (mursid) berbudi luhur sebagai benih melestarikan
keturunan.
9. Maka tidak mudah orang kawin itu, harus memilih wanita yang dapat
dijadikan teman sejati dalam hidupnya, sebagai sarana mendapatkan
keturunan, juga mencari sandang pangan, hitungannya ada (pedoman),
empat hal (pangeran) baik kau ketahui, pertama bobot, kedua bebet, ketiga
bibit, keempat tatariman (anugrah dari Raja karena jasa).
10. Empat ini juga menjadi teman, pertama rupa, kedua harta, ketiga wibawa
(kedudukan, kehormatan) keempat watak (budi pekerti). Mana saja yang
kamu minati jangan mangandai-andai sebab kalau menyesal, sekali
memilih wanita, tidak boleh dimufakatkan sesama, apa yang terbaik bagi
kehendakmu pribadi.
48
Penyampaiaan fatwa tersebut sudah didasarkan pertimbagan matang
dan jauh kedepan dan sekaligus sebagai perwujudan tanggungjawab atas
keberlangsungan “Trah Mangkunegara” yang baik, handal, terhormat dan
terpercaya. Hal itu menguatkan suatu sikap batin bahwa perkawinan
merupakan proses pembentukan keluarga pasutri (panunggalan suami istri)
yang diharapkan dapat membuahkan keturunan (trah, anak, titian Tuhan)
untuk menyambung kelangsungan sejarah keluarga khususnya maupun sejarah
manusia pada umumnya.
Pembinaan rumah tangga diarahkan kepada pencapaiaan tujuan
kesejahteran keluarga. Berumah tangga menuntut kedewasaan fisik mental dan
emosional, sehingga apabila terpenuhi aspek-aspek tersebut secara seimbang
tercapailah rumah tangga sejahtera. Seorang yang telah mencapai tingkat umur
dewasa, hendaklah menikah atas dasar pertimbangan kematangan nalar
(pemikiran) dan atas dasar kesadaran hukum atau peraturan yang berlaku.
Perkawinan merupakan suatu moment yang sangat penting sebagai
suatu tanda berakhirnya masa sendirian (lajang) dalam kehidupan seseorang.
Perkawinan yang merupakan ekspresi budaya itu mencerminkan bahwa
perkawinan bukan merupakan peristiwa yang biasa, akan tetapi merupakan
kejadian yang memiliki arti penting yang memerlukan seperangkat aturan-
aturan untuk melaksanakannya.
Pemikiran tentang etika perkawinan dapat dilihat dalam serat
Warayagnya. Serat Warayagnya ini menjelaskan sebuah etika perkawinan
yang terbentuk harus mempunyai dasar dan tujuan. Dasarnya adalah
kedewasaan nalar yang mendalam bukan semata-mata menuruti dorongan
nafsu biologis saja. Sebagaimana tertuang dalam Serat Warayagnya bait 2
berikut ini:
Kakung putri ing reh palakrami, sumawana kang sami jajaka, tan wun tembe pikramane, marma tinalyeng wuwus, wasitane mengku pawestri, ywa dumeh yen wong priya, misesa andhaku, mring
49
darbeking wanodya, palakarama nalar lan kukum kang dadi, yen tinggal temah nistha.10
Dapat diartikan bahwa bagi putera dan putri yang telah dewasa yang
menghajatkan pedoman berumah tangga, demikian pula khususnya bagi yang
masih bujangan, apabila kelak tiba saat perkawinanya jangan asal bicara saja
tentang nikah, tetapi perhatikan petunjuk bagaimana memperlakukan istri,
jangan hanya karena kamu laki-laki, lalu merasakan berkuasa, terhadap harma
milik perempuan, berumah tangga itu yang dijadikan pedoman nalar yang
sehat dan hukum yang berlaku, jika keduanya ditinggalkan niscaya
mengakibatkan keniscayaan.
Pelaksanaan tanggung jawab dan pengambilan hak masing-masing
suami istri memerlukan kedewasaan agar terlaksana secara seimbang dan
serasi. Semua itu akan berjalan menurut semestinya, manakala keduanya
bukan saja mempunyai rasa cinta kasih, melainkan juga mempunyai
kematangan nalar dan kesadaran hukum yang menandai kedewasaannya
(palakrama nalar lan kukum kang dadi). Tidaklah mengherankan jika perkara
nikah memerlukan kedewasaan seperti yang diungkapkan diatas.
Selain itu dalam melaksanakan perkawinan tidak boleh tergesa-gesa
harus suka sama suka tanpa ada paksaan, dengan tujuan untuk
melangsungkan peradaban manusia yang berbudaya sesuai dengan aturan
agama. Membentuk rumah tangga hendaklah berhati-hati, teliti, niat yang
mantap, selalu berikhtiar yang bersifat lahiriah dengan mempertimbangkan
empat sifat yaitu: bobot, bibit, bebet dan tariman. Pesan-pesan ini
diungkapkan Mangkunegara IV dalam bait berikut:
Mula nora gampang wong arabi kudu milih wanodya kang kena
ginawe rewang uripe sarana ngudi tuwuh lan ngupaya kang sandang
10KGPAA. Mangkunegara IV, Piwulang Budi Luhur Jilid I, Drs. Harmanto Bratasiswara
(Peny), Kantor Rekso Pustaka Kabupaten Rekso Budaya Pura Mangkunegaran Surakarta Kerjasama Dengan The World Bank Jakarta, 1998, hlm. 1
50
bukti wewilanganeana catur upayeku yogyane kawinkanana dihin
bobot pindo bebet ping tri bibit kaping pat tariman.11
Dalam rangka penciptaan etika perkawinan, seseorang sebelum
menikah perlu mengindahkan cara memilih calon istri yang memenuhi empat
sifat: (bobot, bebet, bibit, dan tariman). Yang pertama kualitas diri (berbobot
dan bermutu), kedua kepribadiaan yang baik, ketiga keturunan, keempat
bersifat suka menerima apa yang ada (dengan tidak banyak tuntutan). Mencari
calon istri yang memenuhi empat sifat itu tidak mudah, namun harus ia
upayakan dengan segala kesungguhan hati, apabila ia ingin mendapatkan
teman hidup yang dapat membantu mencari nafkah dan akan melahirkan
keturunan.12
Persiapan itu dilakukan secara dini dan melalui satu urutan yang
panjang agar proses perkawinan itu dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan.
Dalam adat jawa berlaku pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam
perkawinan, khususnya dalam memilih calon menantu.
Bibit yang dimaksud adalah benih, benih yang baik akan menghasilkan
keturunan yang baik pula. Bebet dapat diartikan sebagai tingkah laku, sifat dan
sikap yang dihubungkan dengan faktor keturunan. Bobot dapat diartikan
dengan status atau kedudukan, tetapi tidak harus dikaitkan dengan
kepemilikan materi, ini lebih tepat kalau diartikan sebagai kualitas
seseorang.13
Bobot dalam ranbu-rambu pra-perkawinan selengkapnya berbunyi
“bobot kang mitayani”, dan berkaitan dengan “ajining calon penganten”.
Maksudnya adalah harga diri calon penganten yang terpercaya untuk
11Mangkunegara IV, Serat Warayangnya, Bait 9, hlm. 2 Terjemahnya: “Maka tidak mudah orang hendak beristri, ia harus memiliki wanita yang dapat menjadi teman hidup, menjadi sarana memperoleh keturunan, dan juga dalam usaha mencarai nafkah, syaratnya (wanita dimaksud) memenuhi jumlah bilangan empat perkara hendaklah diupayakan itu, seyogyanya kamu ketahui, yaitu pertama berbobot, kedua keturunan, ketiga bakal berketurunan, yang keempat bersifat suka menerima.”
12Moh. Ardani, op. cit., hlm. 206-207 13Rohmani Rusdi, Manipulasi Hidup (Tragedi Harta, Tahta dan Wanita), PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1995, hlm. 63-64
51
menegakkan kehidupan berumah tangga. Syarat harga diri terpercaya ini
diacukan pada pasangan calon penganten dengan merujuk pada beberapa
prasarana hidup yang meliputi: kekayaan, kekuatan, pekerjaan, usaha, mata
pencaharian, pergaulan, status sosial dan sebagainya.
Dengan merujuk pada berbagai aspek kekuatan hidup calon penganten,
diharapkan agar rumahtangganya yang dibangun menjadi keluarga yang
kokoh, sentosa, makmur, tenteram, dan sejahtera.
Bebet dalam rambu-rambu pra-perkawinan selangkapnya berbunyi
“bebet kang utama”. Tentang syaratnya terpuji diacukan pada pasangan calon
penganten dengan merujuk pada beberapa persyaratan kepribadiaan, yang
meliputi keturunan, budi pekerti, karakter, tanggungjawab, prestasi, martabat,
pengalaman, cita-cita, kebiasaan, kegemaran, kecenderungan, pergaulan dan
sebagainya.
Dengan merujuk pada aspek kepribadiaan tersebut agar rumahtangga
yang akan dibangun menjadi bangunan keluarga yang bahagia, terhormat, dan
mempunyai keturunan yang handal dan terpuji.
Bebet artinya kepribadiaan orang tua calon mempelai. Maksudnya
bagaimana perilaku keseharian kedua orang tua calon mempelai, agama/budi
pekertinya. Hal ini maksudnya bahwa bagaimanapun anak itu adalah
keturunan dari kedua orang tua mereka, sehingga watak dan keseharian orang
tua akan sangat berpengaruh pada anak-anak mereka.14
Bibit dalam rambu-rambu pra-perkawinan lengkapnya berbunyi “bibit
kang becik”. Dengan merujuk pada beberapa hal yang merupakan persyaratan
diri antara lain dasar dan pembawaan, pendidikan, kecerdasan, kecakapan,
kemampuan, ketampanan, kesehatan jasmani rohani, wajah tampilan dan
sebagainya.
14Artati Agoes, Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat Jawa (Gaya
Surakarta dan Yogyakarta), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 3
52
Dengan merujuk berbagai aspek tersebut disertai harapan supaya di
kemudian hari dari perkawinannya dapat membangun keluarga yang sehat
sejahtera, mempunyai keturunan yang baik, sehat dan membawa penuh
harapan.
Tariman atau tatariman suatu perkawinan dalam bentuk tatariman ini
proses pengambilan calon pasangan dari pemberian orang yang sangat
dihormati, misalnya orang tua, petinggi penguasa dan sebagainya. Pada
dasarnya harus diterima, biasanya dipertimbangkan baik-baik oleh
pemberinya.
Dalam bait 1 sampai 8 digambarkan betapa sulitnya seorang pemuda
memilih wanita yang akan dinikahinya. Dalam memilih wanita ini ia harus
benar-benar teliti dan hati-hati mepertimbangkan dengan tenang, dan tak
terburu nafsu, serta dengan wawasan yang jauh kedepan.
Untuk bait 9 dan 10 menegaskan petunjuk-petunjuk bagaiman seorang
pemuda memilih calon istri yang diinginkan atas dasar pertimbangan pikiran
yang mendalam, dengan tetap mengindahkan tata aturan syara’, bukan atas
dorongan nafsu semata.15
Mangkunegara IV menganjurkan bahwa setiap orang yang akan
melaksanakan pernikahan (berrumah tangga) harus mengindahkan cara
memilih calon istri yang memenuhi empat sifat seperti yang diatas. Mencari
calon istri yang memenuhi empat sifat itu tidak mudah, namun harus ia
upayakan dengan segala kesungguhan hati, apabila ia ingin mendapatkan
teman hidup yang dapat membantu mencari nafkah dan akan melahirkan
keturunan.
15Moh. Ardani, op.cit., hlm. 29
53
Pokok-pokok pikiran yang menjadi inti fatwa perkawinan dalam Serat
Warayagnya antara lain sebagai berikut:16
1. Bersuami istri perlu didasarkan pada penalaran.
Berhubung setiap perkawinan akan menjadi pangkal
berkembangnya keturunan, maka pelaksanaan perkawinan perlu
didasarkan pada penalaran yang matang. Dengan penalaran langkah-
langkah yang ditempuh dalam bersuami-istri sudah disertai pemikiran
yang jernih, sehingga sudah dipertimbangkan untung dan ruginya, baik
dan buruknya. Tanpa penalaran yang jernih terbuka kemungkinan akan
terjadi salah langkah yang akan menimpakan pada berbagai kesalahan,
kenistaan dan penyesalan.
2. Perkawinan dengan memperhatikan pranata hidup.
Perkawinan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia pada
waktunya maupun manusia selanjutnya, maka langkah-langkah yang
ditempuh dalam proses bersuami-istri mau tidak mau harus menyesuaikan
dengan pranata hidup. Pranata hidup yang berlaku yakni pranata yang
dihayati dan dihormati oleh orang yang melakukan bersuami-istri beserta
masyarakat tempat mereka berada.
Ada sejumlah pranata hidup yang perlu diperhatikan dan dihormati
oleh orang-orang yang bersuami-istri, antara lain:
a. Pranata keagamaan; yakni peraturan keagamaan yang mengatur seluk
beluk perkawinan bagi pihak-pihak yang bersuami istri.
b. Pranata adat; yakni adat tata cara yang masih mengakar dalam
kehidupan yang mewarnai dan mengatur tatacara perkawinan bagi
pihak-pihak yang bersuami istri, baik adat yang berlaku dalam
lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitarnya.
16KGPAA. Mangkunegara IV, (ed) Drs. Harmanto Bratasiswara, op.cit., hlm. 4-8
54
c. Pranata sosial masyarakat; yakni pedoman, peraturan, peraturan
pemerintah, undang-undang yang mengatur seluk-beluk perkawinan
bagi orang–orang yang bersuami istri.
3. Perkawinan didasarkan pada pemilihan yang tepat.
Satu diantara faktor-faktor pendukung demi keberhasilan suatu
perkawinan adalah ketepatan menentukan pilihan yang tepat dalam
perkawinannya. Hanya dengan kesabaran, ketelitian, kecermatan, dan
kehati-hatian akan dapat membantu mengambillangkah pemilihan yang
tepat.
Pemilihan yang tepat dalam rangka perkawinan meliputi:
a. Pemilihan pasangan yang tepat; yakni perlu dipertimbangkan dengan
pikiran yang jernih, dan diperlukan sikap yang penuh kehati-hatian,
tidak tergesa-gesa, tidak keburu nafsu, dan tidak menonjolkan
kewenangan sebagai lelaki.
b. Cara yang tepat; yakni perilaku orang yang akan bersuami istri perlu
diatur sedemikian rupa sehingga tidak menunjukkan sikap
serampangan, bertindak seenaknya, membabibuta seakan didorong
nafsu keinginan semata-mata. Harus disertai tampilan yang
mengesankan, langkah-langkah yang kena dan cara-cara yang terpuji
sesuai dengan adat dan tingkat peradaban yang berlaku.
c. Landasan yang tepat; yakni pada dasarnya setiap perkawinan
memerlukan landasan tertentu untuk menopang tegaknya suatu rumah
tangga dan keberlangsungan hidup, bahwa yang menjadi dasar kuat
untuk membangun keluarga suami istri adalah perasaan cinta yang
tumbuh dari kedua belah pihak.
4. Niat dan tekat yang kuat
Kehidupan rumah tangga suami istri akan dapat tumbuh tegar dan
berkembang serasi apabila ditopang dengan adanya niat dan tekat yang
kuat serta dilandasi kasih sayang seimbang. Niat merupakan pangkal
55
penggerak (motifasi) yang mendorong seseorang untuk membangun
rumah tangga bersuami istri. Sedangkan tekad merupakan kebulatan hati
(semangat) disertai dengan kesanggupan menjaga dan memelihara
kehidupan bersuami istri menuju cita-cita perkawinan.
Perkawinan yang didasarkan niat dan tekat yang kuat akan menjadi
sentosa, tidak mudah terkena pengaruh negatif, tahan terpaan gangguan
serta cobaan yang kemudian berujung pada keberuntungan, ketenangan,
ketentraman, kemesraan, kesetiaan, kebaggaan, dan kebahagiaan
(kamulyan).
Dapat disimpulkan bahwa di dalam Serat Warayagnya menganjurkan
bahwa perkawinan harus didukung oleh penalaran yang sehat dan jernih, harus
memperhatikan pranata hidup dan adat yang berlaku, sehingga tidak terjadi
salah langkah yang mengecewakan, harus berlandaskan yang kuat dan tepat,
dan perkawinan harus ditopang oleh niat dan tekat yang kuat sehingga
melanggengkan kehidupan rumah tangga bersuami istri.
Selain itu juga memuat beberapa pokok pikiran mengenai hal-hal yang
perlu dihindari di dalam rangka berumahtangga antara lain:17
1. Ora bosenan; bosenan merupakan gejala tidak sehat dalam suatu
kehidupan rumahtangga suamu istri. Dikatakan tidak sehat karena,
bosenan merupakan kerapuhan pada tiang hidup perkawinan yang
mengancam ambruknya rumah tangga.
2. Ora paksaan; bahwa landasan utama dalam membangun keluarga adalah niat pribadi disertai cinta kasih yang tumbuh dari dalam diri masing-masing pihak yang bersuami istri. Sehubungan dengan hal tersebut sudah dinasehatkan di dalam Serat Warayagnya bait 7 yang berbunyi: “…Aja rabi pasongan, nistha yen dinulu, angapesken yayah rena” (janganlah beristri dengan paksaan hal itu menunjukkan kenistaan dan merendahkan martabat orang tua).
17Ibid., hlm. 9-12
56
3. Ora gumampang; perkawinan merupakan pengalaman hidup manusia yang bersifat sakral (suci). Acuannya adalah harapan disertai keyakinan untuk menerima titipan Tuhan yakni putra (keturunan) sebgai penyambung keturunan dan penerus sejarah manusia. Oleh karena itu setiap kali orang menampaki acara perkawinan tidak dapat melakukannya secara mudah (gampang).
Dalam nasihat tersebut ditandaskan bahwa masalah perkawinan
tidaklah mudah untuk dilakukan. Sangat ditekankan seorang pemuda atau
pemudi dalam ketepatan menentukan pilihan, terutama dalam memilih
pasangan. Agar jalannya perkawinan berjalan secara serasi, lancar, selamat,
serta dapat dikaruniai keturunan sebagai penerus sejarah keluarga yang baik
dan penuh harapan. Sehingga perkawinan dapat berhasil membangun rumah
tangga yang bahagia penuh rahmat (sakinah, mawadah, warahmah).
57
DAFTAR PUSTAKA BAB III
Agoes, Artati, Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat
Jawa (Gaya Surakarta dan Yogyakarta), Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2001.
Ardani, Moh., Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-serat
Piwulang), Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995.
Edi, Yusro Nugroho, Serat Wedhatama Sebuah Masterpiece Jawa Dalam
Respons Pembaca, Mimbar Offset, Yogyakarta, 2001.
Jaya, Kama, Pilihan Anggitan KGPAA Mangkunegara IV, Yayasan
Centhini, Yogyakarta, 1992.
KGPAA. Mangkunegara IV, Piwulang Budi Luhur Jilid I, Drs. Harmanto
Bratasiswara (Peny), Kantor Rekso Pustaka Kabupaten Rekso
Budaya Pura Mangkunegaran Surakarta Kerjasama Dengan The
World Bank Jakarta, 1998.
Mangkunegara IV, Serat Wedhatama, Effhar dan Dahara Prize,
Semarang, 1994.
Rusdi, Rohmani, Manipulasi Hidup (Tragedi Harta, Tahta dan Wanita), PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995.