bab iii fenomenologi - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/9563/5/bab3.pdf · 48 yang berpikir...
TRANSCRIPT
47
BAB III
FENOMENOLOGI
A. Pengertian
Kata “fenomena”, dalam bahasa Inggris, “phenomenon” bentuk
pluralnya “phenomena” dan kata Yunani “phainomenon” dan kata
phainesthai” yang berarti “to appear”, atau “phainein” yang berarti “to
show”; dalam Kata Inggris. Secara istilah, fenomena merujuk kepada teori
yang menyatakan bahwa pengetahuan itu terbatas pada fenomena fisik dan
fenomena mental. Fenomena fisik merupakan obyek persepsi sedangkan
fenomena mental menjadi obyek introspeksi. Dalam kamus, Dictionary of
Philosopy, Dogobert D. Runes menjelaskan bahwa fenomenalisme
mengasumsikan dua makna; Pertama, menolak ada realitas dibalik fenomena.
Kedua menegaskan bahwa realitas adalah things in them selves, namun
menolak bahwa realitas semacam itu dapat diketahui. Pengertian yang
hampir sama dengan Runes juga kita temukan dalam kamus “Dictionary Of
Philosophy” susunan Peter A. Angeles. Fenomena adalah obyek persepsi atau
obyek yang bisa dipahami; fenomena adalah obyek dan sense experience,
yakni obyek pengalaman indera, fenomena adalah sesuatu yang hadir ke
dalam kesadaran, fenomena adalah setiap fakta atau kejadian yang dapat
diobservasi.
Dalam tradisi filsafat Kontinental mulai dari Descartes, Kant dan
Hegel, kata fenomena memperoleh modifikasi menjadi “fenomenologi”,
kemudian menjadi tema filsafat yang berarti “the thinking subject”, subyek
48
yang berpikir dan ini menjadi fokus diskusi mereka.1 Fenomena merupakan
tema yang menjadi diskusi di wilayah kerja filsafat sampai kepada Husserl
dan tema ini tidak bergerak ke wilayah empirik, konkritnya atau tidak masuk
dalam diskusi sosiologi dan istilah “fenomenologi”, bukan sekedar
“fenornena” yang sering kita temukan dalam kajian sosiologi tetapi bukan
fenomonologi. Sebagaimana telah kami singgung di atas, kata fenomena
berarti fakta atau kejadian yang hadir dalam kesadaran yang dapt diketahui.
Kita mengetahui fenomena yang hadir dalam kesadaran dan tidak bermaksud
mengetahui hakekat di balik fenomena. Apa yang hendak dan bisa kita
ketahui adalah apa yang masuk dalam kesadaran. Kesadaran kita memiliki
beberapa aktivitas atau the acts of consciousness, antara lain aktivitas
imajinatif, aktivitas kognitif, aktivitas interpretatif, aktivitas signifikatif.
Edmund Husserl meneruskan tradisi kontinental ini namun dengan
memberikan pemikiran baru, semisal transendental fenomenologi, reduksi
fenomenologi, epoche, eidetic vision, intentionaliry, content, consciousness,
descriptive psychology dan lain-lain. Husserl menandaskan bahwa
phenomenology is identical with descriptive psychology, yakni a priori
science yang dilawankan dengan genetic psychology yang bersifat empirik.
Husserl menghadapi kenyataan demikian, bahwa dalam wacana filsafat dan
psikologi di Jerman saat itu, fenomenologi yang dia kembangkan dipahami
sebagai disiplin yang berada di bawah psikologi empirik.
1 Ihde, Don, Hermeneutic Phenomenology, (USA, Northwestern University Press, Evanston, 1971) hal, 3.
49
Terhadap wacana yang berkembang di Jerman semacam itu, dia
mengajukan protes. Isi pokok protesnya menyatakan, bahwa fenomenologi
bukan sains yang berkepentingan dengan fakta atau realita dari hal-hal
empirik. Namun protes ini tidak banyak berarti. Karena itu dia tegaskan lagi
dalam bukunya “Ideas” demikian
“Phenomenology will be established not as a science of fact but as a science of essential Being, as eidetic science; its aims at establishing knowledge of essences and absolutely no facts”.2 “Fenomenologi ingin dibakukan tidak sebagai sains tentang fakta, tetapi sebagai sains tentang essential being, sebagai eidetic sciences; tujuannya adalah memantapkan pengetahuan tentang esensi dan benar-benar bukan fakta”.
Pada halaman lain dia mengulangi demikian, “all eidetic sciences is
intrinsically independent of all science of fact”,3 semua sains tentang eidetik
benar-benar bebas dari semua sains tentang fakta. Sejak awal, fenomenologi
yang dia bangun, adalah fenomenologi yang telah dirintis gurunya, Brentano.
Fenomenologi adalah ilmu deskriptif dengan cara kerja a priori, ideal science
dan non empirik. Keduanya membedakan antara empirical science dengan a
priori science; keduanya juga memilah antara truth of fact dan truth of
reason. Truth of fact adalah wilayah garapan ilmu empirik semisal dalam
natural science yang berusaha menjelaskan atau memahami fenomena fisik,
termasuk di dalamnya ilmu psikologis empirik. Sementara truth of reason
adalah ilmu deskriptif, a priori, ilmu ideal bukan garapan ilmu empirik tetapi
2 Husserl, Edmun, Ideas, General Introduction to Pure Phenomenology, (New York, Collier Books, 1962) hlm, 39 3 Husserl, Edmun, Ideas, General Introduction to Pure Phenomenology, (New York, Collier Books, 1962) hlm, 56-57
50
garapan filsafat dan dengan cara ini filsafat dapat sejajar dengan ilmu
empirik. Psikologi empirik adalah genetic psychology, dilawankan dengan
deskriptive. Psychology non empirik yang menjadi wilayah garapan
fenomenologi, yakni fenomena psikis dengan pendekatan filosofis bukan
pendekatan ilmiah empirik. Untuk memperoleh peranan praktis dalam
kehidupan umat manusia, filsafat haruslah sejajar dengan sains dalam arti
metode filsafat yang deduktif a priori non empirik harus ditempatkan sejajar
dengan cara kerja ilmiah induktif empirik. Cara kerja model deskriptif ini
tidak kurang ilmiah dibanding dengan cara kerja induktif-empirik, demikian
keduanya menegaskan. Husserl dalam “Ideas” menegaskan kembali, “our
phenomenology should be a theory of essential Being (huruf “B” cetak besar),
dealing not with real, but with transcendentally reduced phenomena”.4
Fenomenologi kami, demikian Husserl, adalah teori mengenai essential
Being, yang tidak mengkaji dunia riil tetapi lebih kepada fenomena yang
dimurnikan, dijernihkan secara transenden. Dalam paragraf di bawah nanti,
konsep di atas dan konsep-konsep lain yang memiliki relevansi dengannya
akan dibahas secara ringkas. Fenomena yang dimurnikan adalah purified
object, istilah lain yang digunakan oleh Husserl, obyek yang telah dimurnikan
dan tercampur dengan beragam persepsi atau penafsiran, tesa atau pun
asumsi-asumsi; semua itu olehnya dikonsepsikan sebagai sesuatu yang
transeden, dilawankan dengan sesuatu yang imanen, yakni pengalaman
empirik.
4 Husserl, Edmun, Ideas, General Introduction to Pure Phenomenology, (New York, Collier Books, 1962) hlm, 40
51
Husserl juga menguraikan dalam bukunya, bahkan memang tidak
semua persepsi pasti harus diragukan, akan tetapi, ada kemungkinan kita
terbuka untuk meragukan persepsi tertentu. Sikap meragukan ada di dalam
dunia kebebasan kita yang sempurna, in the realm of our perfect freedom.5
Jika di tanah keberadaannya, Jerman dan dalam kalangan para filsuf
yang berbahasa Jerman saja terjadi salah paham terhadap fenomenologi, maka
kita yang demikian terjarak jauh dari fenomenologi baik jarak waktu, jarak
bahasa, jarak ide maupun jarak konsep, sangatlah wajar jika di sebagian dari
kita terkena salah paham tentang fenomenologi. Husserl mengeluh karena
masih sering terjadi salah faham terhadap fenomenologi yang dia rumuskan
termasuk sebagian dari mahasiswanya. Dari sekian mereka yang berusaha
menjelaskan atau menafsirkan doktrin fenomenologi Husserl, De Boer dapat
ditunjuk sebagai salah seorang dari mereka yang memberikan gambaran
fenomenologi relatif obyektif. Husserl sering mengeluh atas salah faham
terhadap fenomenologi yang dia bangun. Inilah yang menjadi latar belakang
De Boer menyusun desertasinya dalam bahasa Belanda. Disertasi ini
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Theodore Plantinga
dengan judul “The Development of Husserl Thought”. Buku ini menjadi
rujukan utama dari tulisan kami tentang fenomenologi. De Boer tidak
memandang fenomenoogi Husserl dan neo-Kantianisme atau dari sudut
eksistensialisme atau dari sudut aliran filsafat yang lain. Dia berpihak pada
obyektivitas keilmuan dengan standard. Dalam meneliti fenomenologi ini dia
5 Husserl, Edmun, Ideas, General Introduction to Pure Phenomenology, (New York, Collier Books, 1962) hlm, 97
52
menerapkan metode genetik. Dia menelusuri teks-teks fenomenologi Husserl
mulai perjalanan awal sampai titik akhir. Dia juga berupaya mengumpulkan
konsep-konsep yang tertulis dengan baik dari Husserl maupun melalui
kerabatnya, isteri dan atau para mahasiswanya yang menyimpan catatan-
catatan penting yang relevan dengan fenomenologi. Hasilnya, seperti dapat
kita baca dalam judul yang berbahasa Inggris tersebut di atas. De Boer
memilah perkembangan pemikiran Husserl menjadi tiga tahap; yakni dari
psikologi deskriptif, lalu deskriptif eidetik kemudian tahap fenomenologi
transendental.
B. Teori dan Konsep Fenomenologi
Berikut ini kita akan masuk ke konsep dan teori fenomenologi.
Namun sebelum masuk membahas fenomenologi secara singkat, pada
paragraf ini penulis hendak mengajak sejenak untuk turun satu tingkat dari
tangga ilmiah ke konteks tipifikatif dalam keseharian. Dalam keseharian kita,
struktur ide pengalaman punya peranan cukup signifikan. Keseharian kita
dengan demikian, juga dapat dianalisis secara struktural. Apa yang akan kita
kerjakan esok hari, sebenarnya, telah terstruktur di hari ini. Dan ketika esok
hari telah hadir, kita sebenarnya tak lain selain merealisasikan struktur yang
telah kita buat. Jika dianalisis menjadi demikian, makan pagi jam 8.00,
berangkat ke kantor, menyelesaikan pekerjaan, mengerjakan hari ini,
menemui orang spesial di tempat yang spesial untuk membicarakan hal-hal
spesial. Pokok pembicaraan itu tentang pinjam meminjam, menghadiri
53
undangan rapat dan seterusnya. Setelah menganalisis, lalu kita jelaskan
masing-masing unit tersebut. Kita menjelaskan tentang makan, kita
menjelaskan kantor tempat kerja, kita menjelaskan pokok pembicaraan
pinjam-meminjam. Demikianlah, analisis dan penjelasan menjadi dua sisi dari
satu mata uang riset. Analisis struktural ini juga diberlakukan pada bahasa,
struktur logika, struktur kognisi.
Analisis struktural dalam pendekatan fenomenologi sudah tentu harus
memperhatikan konsep-konsep yang dikandung dalam fenomenologi. Apa
yang pertama kali harus kita pahami adalah tentang fokus kajiannya.
Fokus kajian atau fokus penelitian fenomenologi adalah struktur
kesadaran atau struktur pengalaman. structural consciousness atau structural
experience; struktur kesadaran atau struktur pengalaman. Dari sini,
fenomenologi sering disederhanakan sebagai “the science of consciousness”
ilmu tentang kesadaran. Menurut doktrin fenomenologi, kesadaran atau
pengalaman manusia itu terstruktur sedemikian rupa yang terdiri dari struktur
dasar dan struktur-struktur lain yang muncul dari struktur dasar ini. Struktur
dasar kesadaran adalah intensionalitas, yakni mengarah ke kesadaran
mengarah ke suatu obyek. Struktur dasar ini memunculkan supra struktur
seperti persepsi, imajinasi, berfikir, signifikansi, interpretasi, interes, cita-
cita, kehendak dll. Apa yang dimaksud dengan signifikansi adalah membuat
makna. misalnya, melihat suatu kondisi tertentu, seorang pimpinan tersentak
untuk merancang memperbaiki kondisi agar bermakna. Dalam keseharian,
54
kita sering berkomunikasi dengan pihak lain dan sering pula terlontar
ungkapan, “hidup yang bermakna” atau “apa makna hidup ini sesungguhnya”.
Di samping sebagai struktur dasar, intensionalitas menghubungan
kesadaran dengan dunia luar diri (obyek). Dunia luar diri yang pada awalnya
sebagai “things in them selves” berubah menjadi “obyek yang
intensionalitas”. Ketika dunia luar tidak masuk dalam kesadaran,
fenomenologi mengatakan bahwa obyek itu sebagai things in themselves”.
Namun setelah kesadaran kita mengarah kepada obyek, maka jadilah mereka
sebagai obyek yang terintensionalitas; obyek yang diarah oleh kesadaran6.
Banyak orang masuk supermall, tetapi obyek yang diarah berbeda-beda.
Fenomenologi mengkonstruk proses gerak dari “things in themselves menjadi
things in the consciousness yang di dalamnya memiliki aktivitas “mengarah-
ke”, directedness toward atau sering disebut “intentional ”. Fenomenologi
juga mengembangkan beberapa konsep yang dapat diberlakukan untuk
penelitian empirik. Beberapa konsep yang dimaksud antara lain; kesadaran
temporal (dalam proses waktu; semisal waktu subuh, isya, maghrib, waktu
membayar spp, waktu pemilihan, waktu penghitungan), kesadaran spatial
(proses dalam tempat, inisal, ketika bertempat di masjid, di warung atau di
dalam pesawat maka kesadaran kita selalu menyertainya; apa yang harus atau
seharusnya kita lakukan jika tempat kita adalah masjid? dan lain-lain.
Kesadaran, demikian fenomenologi, merupakan basis dari realitas dan
idealitas; the consciousness is the basis of reality and ideality.
6Lihat Khozin Afandi, Abata Hermeneutika, pidato pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2008, hlm. 16; lihat juga Stanford Encyclopedia of Philosophy.
55
Konsep-konsep lainnya adalah kesadaran diri, kesadaran
berkomunikasi, kesadaran berbahasa, kesadaran akan peran diri, kesadaran
diri dalam lingkungan dan situasi, kesadaran memahami konsep orang lain,
kesadaran saling menghormati dstnya. Temporal-spatial dalam wawasan
fenomenologi bertindak sebagai situasi yang menjadi latar belakang
pengalaman kita dalam bermasyarakat. Sejumlah pengalaman kita peroleh
dari kondisi-kondisi yang melatari diri kita. Temporal-spatial bisa dalam
bentuk organisasi, lembaga, LSM, YLKI, LBH, partai politik. Melihat
kenyataan bahwa partainya kalah bersaing dengan partai partai lainnya,
muncul kesadaran pimpinan. Dari kesadaran ini, muncul persepsi, pemikiran,
perancangan, imajinasi, kehendak dll.
Fenomenologi juga berbicara tentang deskripsi. Ia memilah antara
deskripsi fenomenologi dengan deskripsi “the man in the street”. Penulis
merasa tidak mampu menemukan apa makna sebenarnya dari istilah di atas.
Apakah the man on the street berarti orang-orang jalanan? Siapakah orang-
orang jalanan itu? Apakah kernet MPU, kernet bus, bakul sayur mayur,
tukang becak. Atau istilah itu berarti “orang awam”. Ciri deksripsi the man in
the street adalah mereka hanya sebatas membuat deskripsi apa adanya. Dan
deskripsi fenomenologi berbeda dari deskripsi semacam apa yang bisa
dilakukan the man in the street. Aron Gurwitsch, ilmuwan sejawat Alfred
Schutz (perintis fenomenologi sosiologi) menandaskan, “if you do not use
phenomenological methods, you are not doing phenomenology”7. Analisis
7http//en. Wikipedia,org/wiki/Phenomenological Sociology.
56
deskriptif yang dikehendaki oleh fenomenologi dapat kita temukan dalam
Wikipedia the free encyclopedia, yakni “an analytical description of acts of
intentional consciousness. The object of such an anlysis is the meaningful
lived world of everyday life”.
C. Pendekatan Fenomenologi Husserl
Husserl adalah pendiri dan tokoh utama dan aliran filsafat fenomenologi.
Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam sejarah fenomenologi, pemikirannya
banyak dipengaruhi oleh Franz Brentano, terutama pemikirannya tentang
“kesengajaan”. Bagi Husserl fenomenologi adalah ilmu yang fundamental dalam
berfilsafat. Fenomenologi adalah ilmu tentang hakikat dan bersifat a priori. Dengan
demikian, makna fenomena menurut Husserl berbeda dengan makna fenomena
menurut Immanuel Kant. Jika Kant mengatakan bahwa subjek hanya mengenal
fenomena bukan noumena, maka bagi Husserl fenomena mencakup noumena
(pengembangan dan pemikiran Kant).8
Bila dibandingkan dengan konsep kesadaran dari Descartes yang bersifat
tertutup, kesadaran menurut Husserl lebih bersifat terbuka. Husserl juga menolak
pandangan Hegel mengenai relativisme fenomena budaya dari sejarah. Namun dia
menerima konsep formal fenomenologi Hegel, serta menjadikannya sebagai dasar
perkembangan semua tipe fenomenologi. Fenomena pengalaman adalah apa yang
dihasilkan oleh kegiatan dan susunan kesadaran manusia.
Dalam Logical investigations (1900), Husserl menggarisbawahi sebuah
sistem yang kompleks dari filsafat. Sistem tersebut bergerak dari logika ke filsafat
8 Engkus Kuswarno, Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hal. 9
57
bahasa baru kemudian ke ranah ontologi. Pembahasannya tidak berhenti sampai di
sini, dari ontologi bergerak ke “kesengajaan” dan berakhir di fenomenologi
pengetahuan. Barulah di Ideas I (1913), Husserl mengkhususkan
pembahasannya pada fenomenologi, yang definisikannya sebagai ilmu
mengenai pokok-pokok kesadaran (the science of the essence of
consciousness). Selain mengemukakan definisi fenomenologi, Husserl banyak
membahas mengenai ciri-ciri kesadaran dari orang pertama. Sampai saat ini,
kita dapat mengartikan fenomenologi sebagai studi tentang kesadaran dari
beragam pengalaman yang ada di dalamnya.
Menurut Husserl, dengan fenomenologi kita dapat mempelajari
bentuk-bentuk pengalaman dari sudut pandang orang yang mengalaminya
secara langsung, seolah-olah kita mengalaminya sendiri. Fenomenologi tidak
saja mengklasifikasikan setiap tindakan sadar yang dilakukan, namun juga
meliputi prediksi terhadap tindakan di masa yang akan datang, dilihat dari
aspek-aspek yang terkait dengannya. Semuanya itu bersumber dari
bagaimana seseorang memaknai objek dalam pengalamannya. Oleh karena itu
tidak salah apabila fenomenologi juga diartikan sebagai studi tentang makna,
di mana makna itu lebih luas dari hanya sekedar bahasa yang mewakilinya.
Dalam Ideas I, Husserl merepresentasikan fenomenologi sebagai
belokan transedental. Ia menentang metode “Transcendental Idealism” dan
Kant, untuk mencari kemungkinan-kemungkinan dari kondisi “kesadaran dan
pengetahuan”, selain juga untuk mencari realitas di balik fenomena.
58
Pencarian ini mengantarkannya pada metode epoché (dan bahasa Yunani
yang berarti menjauh dan percaya).
Husserl berpendapat bahwa ilmu positif memerlukan pendamping
pendekatan filsafat fenomenologis. Pemahamannya diawali dengan ajakan
kembali pada sumber atau realitas yang sesungguhnya. Untuk itu perlu
langkah-langkah metodis “reduksi” atau menempatkan fenomena dalam
keranjang (bracketing) atau tanda kurung. Melalui reduksi, terjadi penundaan
upaya menyimpulkan sesuatu dari setiap prasangka terhadap realitas. Adapun
langkah-Iangkah metodis yang dimaksud adalah Reduksi Eidetis, Reduksi
Fenomenologi, dan Reduksi Transedental.
Dengan menempatkan fenomena dalam tanda kurung, berarti kita
menempatkan perhatian kita dalam struktur pengalaman sadar. Kata
kuncinya adalah membedakan apakah kesadaran itu bagian dari kesengajaan,
ataukah karena terhubung langsung dengan sesuatu. Misalnya kesadaran kita
akan sebatang pohon, dengan menempatkan pohon dalam tanda kurung, maka
perhatian kita tidak harus kepada pohon secara fisik, namun bisa pada pohon
dari makna pohon yang ada dalam struktur pengalaman kita. Inilah yang oleh
Husserl dinamakan dengan pengertian Noema dan Noematic dari
pengalaman. Melalui reduksi transedental, Husserl menemukan adanya esensi
kesadaran yang disebut intensionalitas. Setiap aktivitas intensionalitas
(neotic) termasuk aktivitas menyadari sesuatu. Pengertian kesadaran selalu
dihubungkan dengan kutub objektifnya, yakni objek yang disadari. Yang
paling penting dalam reduksi ini, bukan terletak pada persoalan menempatkan
59
penampakan fenomena dalam tanda kurung, melainkan pada bagaimana
subjek memberikan interpretasi terhadap objek selanjutnya.9
Pengamatan Husserl mengenai struktur intensionalitas kesadaran,
merumuskan adanya empat aktivitas yang inheren dalam kesadaran, yaitu (I)
objektifikasi, (2) identifikasi, (3) korelasi, dan (4) konstitusi. Penyelidikan
Husserl selanjutnya berhasil menemukan adanya dunia yang dihayati. Adapun
struktur-strukturnya hanya dapat diamati dengan cara melepaskan diri dari
prasangka-prasangka teoretis yang berasal dan latar belakang keilmuan yang
telah dimiliki sebelumnya.
Setiap subjek transedental mengkonstitusikan dunianya sendiri,
menurut perspektifnya sendiri yang unik dan khas. Dunia tidak dipahami
sebagai dunia objektif dalam pengertian fisik material, tetapi dunia
sebagaimana dihayati oleh subjek sebagai pribadi. Dengan demikian dalam
pandangan fenomenologi, dunia itu subjektif dan relatif. Tugas
fenomenologilah untuk menggali dunia yang dihayati tersebut, sehingga
hasilnya dapat dijadikan sebagai asumsi ilmu pengetahuan.
Fenomenologi Husserl pada prinsipnya bercorak idealistik, karena
menyerukan untuk kembali kepada sumber asli pada diri subjek dan
kesadaran. Ilmu komunikasi (komunikologi) akan mendapatkan landasan
yang kokoh jika asumsi-asumsi ontologi dan epistemologinya didasarkan
pada pengetahuan tentang esensi kesadaran. Konsepsi Husserl tentang “aku
transedental” dipaharni sebagai subjek absolut, yang seluruh aktivitasnya
9 Munir Misnal, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer, Yogyakarta: Lima, hal. 90
60
adalah menciptakan dunia. Namun Husserl tidak menjelaskan bahwa dalam
kehidupan yang sesungguhnya, subjek atau kesadaran itu selain
mengkonstitusikan dunia, juga dikonstruksikan oleh dunia.
Adapun pokok-pokok pikinan Husserl mengenai fenomenologi, adalah
sebagai berikut ini:
1. Fenomena adalah realitas sendiri (realitas in Se) yang tampak.
2. Tidak ada batas antara subjek dengan realitas.
3. Kesadaran bersifat intensional.
4. Terdapat interaksi antara tindakan kesadaran (noesis) dengan objek yang
disadari (noema).
Fenomenologi Husserl ini mempengaruhi filsafat kontemporer secara
mendalam, terutama sekitar tahun 1950-an. Tokoh-tokoh seperti yang telah
disebutkan sebelumnya (Heidegger, Sartre, Scheler, Marleu-Ponty, dan Paul
Ricoeur), menggunakan fenomenologi untuk memahami realitas. Namun
tidak sedikit juga yang memperdebatkan pemikiran-pemikiran dari Husserl
ini. Termasuk murid pertamanya Adolf Reinach, yang memperdebatkan
apakah fenomenologi harus berhubungan dengan realist ontology, ataukah
tidak. Roman Ingarden, seorang tokoh fenomenologi yang menonjol setelah
Husserl, melanjutkan penentangan Husserl terhadap transcendental idealism-
nya Kant. Walau demikian, ambisi Husserl menjadikan fenomenologi sebagai
cabang filsafat yang mampu melukiskan seluk beluk pengalaman manusia,
semakin menjadi kenyataan.
61
Setelah Schutz berhasil mengintegrasikan fenomenologi dalam ilmu
sosial, para cendikiawan sosial mulai melirik pemikiran fenomenologi yang
paling awal, yakni fenomenologi transendental Husserl.
Husserl sangat tertarik dengan penemuan makna dan hakikat dari
pengalaman. Dia berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara fakta dan
esensi dalam fakta, atau dengan kata lain perbedaan antara yang real dan
yang tidak.
Oleh karena itu secara metodologis, fenomenologi bertugas untuk
menjelaskan things in themselves, mengetahui apa yang masuk sebelum
kesadaran, dan memahami makna dari esensi-nya, dalam intuisi dan refleksi
diri. Proses ini memerlukan penggabungan dari apa yang tampak, dan apa
yang ada dalam gambaran orang yang mengalaminya. Jadi gabungan antara
yang nyata (real) dan yang ideal.
Proses transformasi dari pengalaman empiris ke makna esensi ini yang
oleh Husserl dinamakan “Ideation”. Dalam “Ideation” ini, objek yang muncul
dalam kesadaran bersatu dengan objek itu sendiri, untuk menghasilkan makna
yang dijadikan dasar bagi pengetahuan. Dengan demikian makna itu ada
dalam hubungan objek nyata dengan objek dalam kesadaran. Apa yang
muncul dalam kesadaran itulah yang disebut realitas yang sebenarnya.
Sementara apa yang berwujud di dunia adalah hasil belajar.
Berikut adalah komponen-komponen konseptual (unit-unit analisis)
dalam fenomenologi transendental Husserl.
62
1. Kesengajaan (Intentionality)
Konsep kesengajaan dari Hussrel ini sebenarnya bukan konsep
baru dalam filsafat. Ia dapat dilacak sampai pemikiran Anistoteles, atau
awal mulainya pembahasan filsafat dan pengetahuan, berabad-abad
sebelum Husserl lahir. Menurut Aristoteles, kesengajaan adalah orientasi
pikiran terhadap objek tertentu. Husserl pertama kali menemukan konsep
ini dalam tulisan Brentano yang banyak menginspirasinya sehingga
melahirkan fenomenologi. Namun demikian, Husserl memiliki pemikiran
yang berbeda dengan Brentano. Apabila menurut Brentano objek itu harus
selalu ada (berwujud), menurut Husserl objek boleh berwujud boleh tidak.
Keduanya (Brentano dan Husserl) sepakat bahwa kesengajaan selalu
berhubungan dengan kesadaran. Dengan demikian, kesengajaan adalah
proses internal dalam diri manusia, yang berhubungan dengan objek
tertentu (berwujud atau tidak). Oleh karena diawali kesadaran, maka
faktor yang berpengaruh tethadap kesengajaan antara lain kesenangan
(minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek. misalnya kesenangan
terhadap sepak bola akan menentukan kesengajaan untuk menonton
pertandingan sepak bola di televisi.
Dengan konsep kesengajaan ini, Husserl menunjukkan bahwa
untuk menciptakan makna itu harus ada kerja sama antara “aku” dengan
dunia di luar “aku”. Seperti halnya makna kata “komunikasi” yang akan
berbeda pada “aku” yang mahasiswa komunikologi, dengan di “aku” yang
bukan mahasiswa komunikologi. Konsekuensinya, untuk satu objek
63
“real”, bisa menghasilkan bermacam-macam objek dalam persepsi. Hal ini
bergantung pada siapa yang mempersepsi, kapan waktu dipersepsi, dan
sudut pandang bagaimana, latar belakang proses persepsi, harapan,
penilaian, dan titik terbaik pengambilan makna.
Pada sisi lain, persepsi, memori, harapan, penilaian dan sintesis
noemata (makna yang dibuat), memungkinkan manusia untuk melihat
objek walaupun objek itu tidak terlihat lagi. Seperti halnya ketika kita
berpikir mengenai laut, walaupun kita tidak berada di dekat atau melihat
laut.
Kesengajaan itu sendiri, dibangun oleh beberapa konsep pokok,
yang akan dijelaskan berikut ini
a. Identitas dan temporalitas (identity and temporality)
Identitas menjadikan sebuah entitas yang masuk ke dalam
kesadaran sama, walaupun entitas itu sudah pernah menghilang dan
dipanggil kembali. ldentitas berfungsi baik ketika entitas menjadi
eksis melalui persepsi, imajinasi, pemanggilan kembali atau hasrat,
maupun ketika entitas itu hilang dan muncul kembali. ldentitas
menjadi penting karena persepsi itu selalu berbeda-beda, walaupun
untuk objek yang sama. Dengan kata lain, identitas mempertahankan
karakteristik dasar dari sebuah entitas.
Dalam fenomenologi, identitas terdapat pada ilusi untuk
mempertahankan hal-hal pokok dari objek. Sehingga kita masih bisa
mengenali objek, walaupun objek itu tidak terlihat lagi. Di sisi lain,
64
keduniawian merusak identitas ketika mengembalikan ilusi kepada
kesadaran. Husserl menggabungkan keduanya dalam “kesengajaan”.
Walaupun menggunakan cara pandang yang berbeda, objek yang sama
akan muncul dalam kesadaran sesuai dengan aslinya. Sehingga kita
juga dapat menggambarkan keragaman dari kualitas dan objek, tanpa
harus kehilangan karakteristik dasarnya.
Objek yang muncul dalam kesadaran, bisa jadi berturut-turut
muncul juga dalam persepsi, ingatan, dan imajinasi. Kesadaran akan
meyatukan proses yang terpisah-pisah itu, memberikan identitas
kepada kesadaran, dan membuat identitas yang dapat diketahui
menjadi mungkin. Namun tidak kalah pentingnya bagaimana faktor
waktu juga turut mempengaruhi proses identifikasi objek.
b. Simbolis dan intuitif
Simbolis mengacu pada sesuatu yang terlihat dari luar,
sedangkan intuitif mengacu pada kelengkapan untuk memahami
secara keseluruhan. Intuitif ini penting untuk memahami noema dan
noesis, karena dengan intuitif-lah gambaran sebuah objek menjadi
lengkap dan jelas.
c. Tekstur dan struktur
Tekstur pengalaman adalah apa yang terlihat dari objek.
Gunanya untuk memenuhi noema dari objek. Menjelaskan tekstur
tidak boleh ada yang terlewat, seperti dari sudut pandang mana, dan
aspek-aspek kualitas yang lainnya. Sementara itu struktur sebagai
65
urutan yang melekat dalam pengalaman, dapat diketahui melalui
refleksi. Menurutnya, yang termasuk ke dalam deskripsi struktur
adalah tindakan sadar ketika berpikir, menilai, membayangkan dan
memanggil kembali ingatan (rekognisi).
Deskripsi struktur mencakup juga desknipsi tekstur, untuk
mencapai inti makna struktural. Jadi terdapat hubungan yang erat
antar keduanya. Karena dalam menjelaskan pengalaman yang
disengaja, penjelasan bergerak dari apa yang dialami, ke
penggambaran secara konkrit dalam terminologi penuh. Dengan kata
lain dari “apa” menjadi “bagaimana”.
d. Perspesi atau konsepsi
Pada dasarnya persepsi dan konsepsi terjadi bersamaan dalam
setiap situasi. Tujuannya untuk membuat objek menjadi lebih jelas
dan penuh makna. Dengan pensepsi terjadi pengisian keperluan
reduksi fenomenologi, sehingga memungkinkan untuk membangun
deskripsi tekstural yang lengkap. Namun ketika proses reflektif
berkembang, fokus perhatian akan berpindah dari persepsi ke
konsepsi, dan tekstur struktur, dan dari makna yang berdekatan ke
makna yang lebih mungkin. Jadi terdapat proses saling mempengaruhi
antara yang real dengan yang ideal.
Pada intinya persepsi dan konsepsi saling bekerja sama untuk
mengungkapkan makna yang tersembunyi. Persepsi pada hal-hal yang
66
menyolok, sedangkan konsepsi mengintegrasikan persepsi dan
kognitif untuk sampai pada makna yang hakiki.
e. Masalah waktu
Bagi manusia waktu adalah misteri. Waktu sangat
mempengaruhi bagaimana kita memandang dan memperlakukan
dunia. Waktu pula yang menciptakan konsep sekarang, kemarin dan
masa depan. Waktu bisa membawa dan membuang, dan waktu tidak
pernah berhenti atau berjalan mundur.
Oleh karena makna itu hasil kerja sama antara ‘objek real’ dengan
‘objek dalam persepsi’, maka kesengajaan dibentuk oleh dua konsep
utama, yaitu noema dan noesis.
2. Noema dan Noesis.
Noesis merupakan bahan dasar pikiran dan jiwa (mind and spirit)
manusia. Noesis juga yang menyadarkan kita akan makna, ketika kita
mempersepsi, mengingat, menilai, merasa, dan berpikir. Noesis adalah sisi
ideal objek dalam pikiran kita, bukan objek yang sebenarnya. Dengan
noesis, suatu objek dibawa dalam kesadaran, muncul dalam kesadaran,
dan secara rasional ditentukan. Lebih jauh manusia berpikir, merasa,
menilai, dan mengingat dengan menggunakan noesis. Deskripsi noesis
adalah deskripsi subjektif, karena sudah ada pemberian makna padanya.
Lawan dari noesis adalah noema, yakni sesuatu yang diterima oleh
panca indera manusia. Menurut Husserl noema itu faithfully and in the
light of perfect self-evidence Dalam arti kata noema itu tetap dan disertai
67
bukti-bukti yang akurat Sebagai contoh buku tidak akan tertukar dengan
kursi, karena kita paham betul bentuk dan kriteria buku yang berbeda
dengan bentuk dan kriteria kursi. Jadi deskripsi noema adalah deskripsi
objektif, berdasarkan pada bagaimana objek tersebut nampak dalam panca
indera kita. Terdapat kaitan yang erat antara noema dan noesis, walaupun
secara prinsip keduanya sangatlah berbeda. Noema akan membimbing
kita pada noesis. Tidak akan ada noesis bila kita tidak memiliki noema
sebelumnya. Jadi pengetahuan itu ada sebelum kita berpikir mengenainya
(a priori).
Dengan demikian, ajakan Husserl untuk kembali kepada yang
sebenarnya dari fenomena, adalah melihat fenomena itu sebagai noesis
(berdasarkan makna yang ada padanya), bukan berdasarkan ciri-ciri fisik
yang ada padanya. Akan tetapi, untuk sampai pada hakikat (esensi)
fenomena, kita harus melihat keduanya (noema dan noesis). Melalui
harmoni antar keduanyalah dapat ditemukan esensi yang sebenarnya dari
fenomena. Sebagaimana halnya telah disinggung dalam kesengajaan,
bahwa makna terletak pada hubungan antara objek real dengan objek
dalam persepsi.
3. Intuisi
Sama halnya dengan kesengajaan yang bisa dilacak dari
Aristoteles. Konsep intuisi ini Husserl ambil dari pemikiran Descartes.
Menurut Descartes, yang disebut intuisi adalah kemampuan membedakan
“yang murni” dari yang diperhatikan dan the light of reason alone
68
(semata-mata alasan-alasannya). Intuisilah yang membimbing manusia
mendapatkan pengetahuan, yang bebas dari kesan sehari-hari dari perilaku
ilmiahnya. Dengan kata lain intuisi adalah alat untuk mencapai esensi
dengan memisahkan yang biasa dan objek, untuk menemukan
“kemurnian” yang ada padanya.
Bagi Descartes dan Husserl, setiap manusia adalah mahluk yang
mampu berpikir intuitif (berpikir secara intuisi). Semua hal menjadi jelas
melalui proses intuitif-reflektif, yakni transformasi dari apa yang dilihat
ke dalam apa yang muncul dalam kesadaran. Termasuk reflektif karena,
ketika kita paham mengapa kita memaknai objek demikian, maka secara
tidak langsung kita turut juga memahami intuisi yang ada dalam diri kita.
Singkatnya bagi Husserl, intuisi adalah proses kehadiran esensi
fenomena dalam kesadaran. Intuisilah yang menghubungkan noema dan
noesis. Dengan kata lain intuisi-lah yang mengubah noema menjadi
noesis. Inilah sebabnya mengapa konsep fenomenologi Husserl dinamakan
fenomenologi transendental, karena terjadi dalam diri individu secara
mental (transenden). Dengan demikian ego memiliki peranan yang sangat
penting. Oleh karena ego dan super ego lah yang menggerakkan intuisi,
guna mengubah noema menjadi noesis.
4. Intersubjektivitas
Walaupun Husserl meyakini betul, bahwa proses intuitif reflektif
terjadi karena faktor ego dan super ego, dia tidak menolak sama sekali
faktor intersubjektif yang juga berperan besar dalam pembentukkan
69
makna. Menurutnya makna yang kita berikan pada objek turut juga
dipengaruhi oleh empati yang kita miliki terhadap orang lain. Karena
secara alamiah, kita memiliki kecenderungan untuk membandingkan
pengalaman kita dengan pengalaman inilik orang lain.
Husserl mengatakan bahwa “orang lain” itu ada dalam diri “aku”.
“Aku” dan “orang lain” memiliki kedudukan yang sama. Keduanya saling
behubungan dalam kesengajaan. Pada prinsipnya dalam diri setiap
manusia ada alam yang tidak terbatas yang berhubungan dengan orang
lain selain “aku”. Singkatnya, persepsi yang kita miliki adalah persepsi
kita yang utama, namun dalam persepsi ini termasuk juga persepsi
terhadap orang lain sebagai analogi.
Pada hakikatnya fokus Husserl adalah pada fenomenologi murni,
hakikat, kesadaran murni, dan ego murni dalam diri individu. Tidak ada
pernyataan yang tegas dari kebenaran yang dibuat menyangkut realitas
alamiah. Kant menyatakan bahwa untuk mengetahui sesuatu harus
melalui intuisi. Objek di depan kita dan konsep dari objek itu dalam
pikiran berhubungan melalui intuisi. Bagi fenomenologi transendental,
objek adalah konsep sentral, yang karakteristiknya harus digambarkan
bukan dijelaskan. Adapun tujuan dari penggambaran ini adalah untuk
menangkap secara intuitif hakikat (esensi) dari objek yang ditambahkan
dalam pengalaman.
Husserl menggunakan term transendental sama dengan
penggunaan term kritikal oleh Kant. Transendental mengacu pada
70
penentangan terhadap dogma-dogma yang ada. Farber (1943)12 telah
membuat daftar mengenai fungsi-fungsi fenomenologi transendental,
yakni:
a. Sebagai metode yang utama untuk mendapatkan pengetahuan, karena
fenomenologi transendental dimulai dari things themselves, yang
merupakan pertimbangan final dari semua yang kita ketahui. Dengan
demikian, fenomenologi transendental merupakan pendekatan logika,
kerena mencari dan mengidentifikasikan prasangka-prasangka dan
menempatkannya di sekitar objek.
b. Tidak berhubungan dengan bahan/zat pembuat fakta, namun untuk
menentukan makna. Berurusan dengan esensi nyata dari esensi yang
mungkin.
c. Menawarkan hubungan langsung dengan hakikat dari objek,
berkembang dari makna yang diberikan terhadap objek sampai kepada
deskripsi reflektif.
d. Menghasilkan pengetahuan melalui keadaaan murni subject, sambil
mempertahankan nilai-nilai pikiran dan refleksi diri.
Simpulannya, fenomenologi transendental merupakan studi
mengenal penampakan dari fenomena, seperti yang kita lihat dan muncul
dalam kesadaran. Fenomenologi transendental memberikan kesempatan
untuk menjelaskan fenomena dalam term pembentukkannya, dan makna
71
yang mungkin. Fenomenologi membedakan ciri-ciri utama kesadaran,
hingga sampai pada pemahaman yang hakiki dari pengalaman. 10
10 Hampir semua data dalam bab ini penulis ambil dari catatan Prof. Dr. Abdullah Khozin Afandi, MA. Baik dari blog (akhozinaffandi.blogspot.com) maupun dari tulisan-tulisan beliau di berbagai buku.