bab iii hak asasi manusia dalam konteks...
TRANSCRIPT
50
BAB III
HAK ASASI MANUSIA DALAM KONTEKS
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG -
UNDANGAN
Bab ini membahas Hak Asasi Manusia dalam konteks
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai norma
hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara. Karena letaknya
dalam konstitusi yang merupakan basic law, maka ketentuan-
ketentuan mengenai HAM harus dihormati dan dijamin
pelaksanaannya oleh negara. HAM merupakan landasan etis dan
bersifat moral serta membatasi kebijakan legislasi dalam
membentuk undang-undang, yang bertujuan untuk menghasilkan
produk hukum (Undang-undang) supaya tidak jatuh dari
kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, Hak Asasi Manusia
merupakan fungsi kontrol terhadap undang-undang. Berpegang
pada Hak Asasi Manusia tersebut maka selanjutnya penulis
berargumen bahwa Hak Asasi Manusia adalah norma hukum
tertinggi yang memberikan perlindungan terhadap kemanusiaan
(martabat manusia). Pada dasarnya hakikat penghormatan dan
51
perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi
manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu
keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan
antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum.
Dengan dasar itulah, maka alur pembahasan dalam bab ini
terlebih dahulu akan dijelaskan Hak Asasi Manusia sebagai norma
hukum tertinggi yang memberikan perlindungan terhadap
kemanusiaan (martabat manusia). Kedua, pembetukan peraturan
perundang-undangan tidak boleh melanggar Hak Asasi Manusia
karena itu bertentangan dengan asas kemanusiaan sebagai hukum
yang berfungsi menjadi landasan etis dan bersifat moral yang
membatasi kebijakan legislasi dalam membentuk undang-undang
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No.
12 Tahun 2011.
A. Hak Asasi Manusia adalah Norma Hukum
Tertinggi.
Sub bab ini akan menjelaskan bahwa ketentuan HAM
dalam UUD NRI 1945 merupakan basic law adalah norma hukum
tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara. Hakikat HAM ialah
52
menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh yang
memberikan perlindungan terhadap kemanusiaan (martabat
manusia) dan berfungsi untuk mengawal hak dasar (legal rights).
Oleh karena itu, di sini posisi Hak Asasi Manusia adalah norma
hukum tertinggi sebagai fungsi kontrol terhadap undang-undang.
Untuk itu, pertama-tama yang akan dijelaskan terlebih dahulu
adalah terminologi yang biasanya dipergunakan dalam tradisi
akademik tentang sebutan HAM. Selanjutnya penulis menguraikan
konsepsi tentang HAM yang tumbuh dan berkembang di kalangan
sejarawan Eropa serta menjelaskan HAM di Indonesia.
Beberapa terminologi yang biasanya dipergunakan dalam
tradisi akademik tentang sebutan HAM, satu dengan yang lainnya
masing-masing analog, sehingga dalam menggunakan salah satu
diantaranya telah mewakili yang lainnya. Istilah-istilah
dimaksudkan adalah sebagai berikut:1
1. Human Rights
2. Natural Law
3. Fundamental rights
1 Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam
Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 2.
53
4. Hak-Hak Asasi Manusia
5. Hak Kodrati
Berkenaan hal tersebut, Joko Prakoso dan Djaman Andhi
Nirwanto, sebagaimana dikutip dari A. Manstur Effendy,
mengungkapkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, sehari-hari sering kita mendengar istilah “Hak-hak
Asasi” atau biasa disebut dengan istilah human rights, natural
rights, basic and indubitable freedoms, fundamental rights, civil
rights dan lain-lain.2
Lebih lanjut menurut, A. Manstur Effendy, menyatakan
bahwa selama ini, Hak Asasi Manusia sering juga disebut hak
kodrat, hak dasar manusia, hak mutlak atau dalam bahasa Inggris
disebut natural rights, human rights, dan fundamental rights.
Dalam bahasa Belanda dikenal dengan grond rechten, men
rechten, dan recten van mens. Penggunaan berbagai terminologi
tentang suatu objek kajian keilmuan dalam ranah akademik sudah
menjadi hal yang lumrah dan diterima sebagai suatu pengayaan
2 Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia ....,
Ibid.
54
istilah sebagaimana halnya dengan kajian keilmuan dibidang
HAM.3
Selanjunya, John Locke menyatakan bahwa hak asasi
manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang
Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak
ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini
sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan
manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari
dan dalam kehidupan manusia.4
Marthen Kriale, mengemukakan bahwa HAM adalah hak
yang bersumber dari Allah.5 Jack Donnaly, mengatakan bahwa
HAM adalah yang bersumber dari hukum alam, tetapi sumber
utamanya dari Allah. Selanjutnya juga DF. Scheltens,
mengemukakan bahwa HAM adalah hak yang diperoleh setiap
manusia sebagai konsekuensi ia dilahirkan menjadi manusia.
Karenanya HAM harus dibedakan dengan hak dasar, dimana HAM
berasal dari kata “Mensen Rechten”, sedangkan hak dasar berasal
dari kata “Grond Rechten”.
3 Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia ....,
Ibid, hlm 3 4 Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia ...., Ibid 5 Aswanto. Bahan Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum PPS UNHAS.
55
Pengertian HAM yang diutarakan diatas, lebih menitik
beratkan pada perspektif asal muasal dari HAM, belum menyentuh
secara substansial yang dapat dijadikan pegangan normatif atau
secara yuridis dari pengertian HAM itu sendiri. Oleh karena itu,
ada baiknya jika pengertian HAM dirujuk dari Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya
disingkat UU No. 39 Tahun 1999). Pasal 1 Butir 1 UU No. 39
Tahun 1999, memberikan rumusan pengertian HAM sebagai:
“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.”
Jika HAM merupakan hak yang diperoleh setiap manusia
sebagai konsekuensi ia ditakdirkan lahir sebagai manusia, maka
lain halnya dengan hak dasar, sebagai suatu hak yang diperoleh
setiap manusia sebagai konsekuensi ia menjadi warga negara dari
suatu negara. Dirujuk dari sumbernya, HAM berasal dari Tuhan,
sedangkan hak dasar, asalnya dari negara atau pemerintah. HAM
bersifat universal, sedangkan hak dasar bersifat domestik.
Fungsinya HAM adalah mengawal hak dasar (legal rights)
56
Filosofis HAM adalah kebebasan yang berbasis
penghormatan atas kebebasan orang lain. Artinya, kebebasan
HAM tidak terbatas, oleh karena tatkala memasuki wilayah
kebebasan orang lain maka daya kebebasan itu berakhir. Mengutip
pendapat DF. Scheltens, sebagaimana dikutip oleh A. Manstur
Effendy, mengemukakan bahwa hakikat HAM adalah kebebasan,
akan tetapi kebebasan itu berakhir ketika mulai merambah ke
wilayah kebebasan orang lain.
Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM tersebut,
diperoleh suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang
melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental
sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus dihormati, dijaga dan
dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara. Dengan
demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM
ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui
aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban,
serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan
kepentingan umum.
Selanjutnya penulis menguraikan konsepsi tentang HAM
yang tumbuh dan berkembang di kalangan sejarawan Eropa yang
57
bermula dari Yurisprudensi Romawi yang kemudian meluas pada
etika teori alam (natural law). Tentang hal ini, Robert Audi
mengatakan sebagai berikut: the concept of right arose in Roman
Jurisprudence and was axtended toethics via natural law theory.
Just a positive law makers, confers legal right, so the natural
confers natural right.6 Konsep HAM yang sekarang ini diakui oleh
PBB berasal dari sejarah pergolakan sosial di Eropa. Pertama,
adalah keluarnya Piagam Magna Charta (Inggris) pada tahun 1215
yang membentuk suatu kekuasaan monarki yang terbatas. Hukum
mulai berlaku tidak hanya untuk rakyat, akan tetapi juga berlaku
untuk para bangsawan dan keluarga kerajaan. Piagam Magna
Charta atau disebut juga Magna Charta Libertatum (The Great
Charter of Freedoms) dibuat di masa pemerintahan Raja John
(King John of England) dan berlaku bagi raja-raja Inggris yang
berkuasa berikutnya.
Isi pokok dokumen tersebut adalah hendaknya raja tidak
melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi
seorangpun dari rakyat. Selain Magna Charta juga memuat
6 Robert Audi dalam Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam
Konstitusi-konstitusi Indonesia, Kencana: Jakarta, 2005, hlm. 50.
58
penegasan bahwa “tiada seorangpun boleh ditangkap atau
dipenjarakan atau diusir dari negerinya atau dibinasakan tanpa
secara sah diadili oleh hakim-hakim yang sederajat dengannya”
(judicium parjum suorum).7
Kedua, adalah keluarnya Bill of Right pada tahun 1628
yang berisi penegasan tentang pembatasan kekuasaan raja dan
dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap
siapapun tanpa dasar hukum yang jelas. Ketiga, adalah deklarasi
kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence)
pada 1778. HAM di Amerika Serikat yang sebenarnya tidak
terlepas dari beberapa rumusan sebelumnya seperti Virginia Bill of
Right. Dalam deklarasi ini dapat ditemukan kalimat “kita
menganggap kebenaran-kebenaran berikut ini sebagai eviden
berikut saja, bahwa semua manusia diciptakan sama, bahwa
mereka dianugerahi oleh pencipta mereka dengan hak-hak
tertentu yang tidak tak terasingkan”.8 Hal ini kemudian diperkuat
dengan dicantumkannya ketentuan mengenai setiap orang
dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk
7 Robert Audi dalam Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia ..., Ibid, hlm.
52 8 Di unduh dari http://kasmanpost.blogspot.com/2007/02/sejarah-ham.
Dikunjungi pada tanggal 03 September 2017, pukul 19.30 WIB.
59
hidup dan mengejar kebahagiaan, serta keharusan mengganti
pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar
tersebut.
Keempat, adalah Deklarasi tentang Hak Manusia dan
warga negara yang dikeluarkan di Perancis waktu pecahnya
Revolusi Perancis (1789) dan secara mendalam dipengaruhi oleh
pernyataan-pernyataan hak asasi dari Amerika. Deklarasi inipun
masih mencoba mengkaitkan keasasian hak-hak tersebut dengan
Tuhan. Hal ini terlihat ketika Majelis Nasional Perancis
membacakan deklarasi ini didahului dengan kalimat “di hadapan
wujud tertinggi dan di bawah perlindungan-Nya”.
Meskipun semangat revolusi Perancis begitu menggebu
untuk mengobarkan tendensi anti Kristen dan mengedepankan
semangat pencerahan (Aufklarung), namun mereka tetap
mendasarkan pemikiran tentang Hak Asasi Manusia pada kodrat
Tuhan. Pemikiran-pemikiran kaum foundationalism masih sangat
mempengaruhi deklarasi tentang Hak Asasi Manusia dan warga
negara Perancis sebagaimana dalam Declaration of
Independence/Deklarasi Kemerdekaan di Amerika Serikat.
Dengan menitik beratkan pada kelima hak asasi pemilikan harta
60
(property), kebebasan (liberty), persamaan (egalite), keamanan
(security), dan perlawanan terhadap penindasan (resistence
al’oppresstion).
Kelima, adalah Deklarasi Universal tentang Hak Asasi
Manusia yang diproklamirkan dalam sidang umum PBB pada 10
Desember 1948. Hal yang baru dalam deklarasi ini adalah adanya
pergeseran pendasaran HAM dari kodrat Tuhan kepada pengakuan
akan martabat manusia. Diawal deklarasi disebutkan “Menimbang
bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang
sama serta tak terasingkan dari semua anggota masyarakat
merupakan dasar untuk kebebasan, keadilan, dan perdamaian di
dunia.
Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia ini
memiliki perbedaan mendasar dari deklarasi sebelumnya. Louis
Henkin dan James W. Nickel dalam making senses of Human Rihgt
(1996) menyebutkan bahwa manifesto Hak Asasi Manusia
Mutakhir telah melunakkan individualisme dalam teori-teori klasik
mengenai hak-hak kodrati (sebagai hak yang berasal dari Tuhan),
dan lebih menekankan sifat persamaan (egaliterianisme). Setelah
61
ini, penegakan HAM menjadi semakin gencar di seluruh dunia.
HAM telah mengalami internasionalisasi.9
Dengan latar belakang tersebut di atas, maka menurut
Philipus M.Hadjon,10 Hak Asasi Manusia konsep Barat yang pada
dasarnya adalah pembatasan terhadap tindakan-tindakan negara
dan organ-organnya dan peletakan kewajiban negara terhadap
warganya sehingga prinsip yang terkandung dalam konsep hak
asasi manusia adalah tuntutan (claim) akan hak terhadap negara
dan kewajiban yang harus dilakukan oleh negara.
HAM di Indonesia yang bermula dari sejak negara
Indonesia diproklamirkan menjadi negara merdeka, para pendiri
Republik Indonesia sepakat bahwa negara berlandaskan pada
hukum yang diartikan sebagai konstitusi dan hukum tertulis yang
mencerminkan penghormatan kepada HAM. Undang-Undang
Dasar ialah piagam tertulis yang sengaja diadakan dan memuat
segala apa yang dianggap oleh pembuatnya menjadi asas
fundamental dari negara tersebut. Yang menjadi asas fundamental
dari negara Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Negara
9 Di unduh dari http://kasmanpost.blogspot.com/2007/02/sejarah-ham.
..., Ibid. 10 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia,
Bina Ilmu, Surabaya, 2010, hlm. 61
62
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD
Tahun 1945). Dalam UUD Tahun 1945 ditegaskan bahwa sistem
pemerintahan negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (maachstaat).
Gagasan negara yang berlandaskan konstitusi dan hukum juga
secara jelas terekam dalam perdebatan di sidang pleno konstituante
pada saat membahas falsafah negara atau dasar negara, HAM dan
pemberlakuan kembali UUD 1945 antara kurun waktu tahun 1956-
1959.
Dalam rentangan berdirinya bangsa dan negara Indonesia
telah lebih dulu dirumuskan dari Deklarasi Universal Hak-Hak
Asasi Manusia (DUHAM) PBB, karena Pembukaan UUD 1945
dan pasal-pasalnya diundangkan pada tanggal 18 Agustus 1945,
adapun Deklarasi PBB pada tahun 1948. Hal tersebut merupakan
fakta pada dunia bahwa bangsa Indonesia sebelum tercapainya
pernyataan HAM sedunia oleh PBB, telah mengangkat dan
melindunginya dalam kehidupan bernegara yang tertuang dalam
UUD NRI 1945. Hal ini juga telah ditekankan oleh para pendiri
negara, misalnya pernyataan Moh. Hatta dalam sidang BPUPKI
sebagai berikut:
63
“Walaupun yang dibentuk itu negara kekeluargaan,
tetapi masih perlu ditetapkan beberapa hak dari
warga negara agar jangan sampai timbul negara
kekuasaan (Machsstaat atau negara penindas).”
Deklarasi bangsa Indonesia pada prinsipnya termuat dalam
naskah Pembukaan UUD NRI 1945, dan Pembukaan UUD NRI
1945 merupakan sumber normatif bagi hukum positif Indonesia
terutama penjabaran dalam pasal-pasal UUD NRI 1945. Dalam
Pembukaan UUD NRI 1945 alinea kesatu dinyatakan bahwa
“kemerdekaan ialah hak segala bangsa”. Dalam pernyataan
tersebut terkandung pengakuan secara yuridis hak asasi manusia
tentang kemerdekaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 PBB
DUHAM. Dasar filosofi HAM tersebut bukanlah kebebasan
individualis, melainkan menempatkan manusia dalam
hubungannya dengan bangsa (makhluk sosial) sehingga HAM
tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban asasi manusia. Kata-kata
berikutnya adalah pada alinea ketiga Pembukaan UUD NRI 1945,
sebagai berikut: “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan
dengan didorong oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya”.
64
UUD Tahun 1945 sebelum diubah dengan perubahan
kedua pada tahun 2000, hanya memuat sedikit ketentuan yang
dapat dikaitkan dengan pengertian HAM. Pasal yang biasa
disebutkan dengan pengertian HAM yaitu Pasal 27 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat
(1), dan Pasal 34. Dari semua pasal tersebut, istilah HAM tidak
dijumpai namun yang ditemukan adalah hak dan kewajiban warga
negara. Meskipun UUD Tahun 1945 adalah hukum dasar tertulis
yang di dalamnya memuat hak-hak dasar menusia serta
kewajibannya yang bersifat dasar pula, seharusnya mengenai
HAM dicantumkan secara tegas dalam UUD Tahun 1945. Namun
jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh hanya satu ketentuan
saja yang memang memberikan jaminan konstitusional atas HAM
yaitu Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan, “negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaan itu.” Sedangkan ketentuan yang lain, sama sekali
bukan rumusan tentang HAM, melainkan hanya kententuan
mengenai hak warga negara atau the citizen rights atau biasa juga
disebut the citizen constituonal rights. Hak konstitusional warga
65
negara hanya berlaku bagi orang yang berstatus sebagai warga
negara, sedangkan bagi orang asing tidak dijamin. Satu-satunya
yang berlaku bagi tiap-tiap penduduk, tanpa membedakan status
kewarganegaraannya adalah Pasal 29 ayat (2) tersebut.
Selain itu, ketentuan Pasal 28 dapat dikatakan memang
terkait dengan ide HAM. Akan tetapi, Pasal 28 UUD Tahun 1945
belum memberikan jaminan konstitusional secara langsung dan
tegas mengenai adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul
serta kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
bagi setiap orang, Pasal 28 hanya menentukan hal ihwal mengenai
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan itu masih akan diatur lebih lanjut
dan jaminan mengenai hal itu masih akan ditetapkan dengan
undang-undang.
Perubahan kedua UUD Tahun 1945, pengaturan mengenai
HAM tercantum dalam satu bab tersendiri yaitu dalam Bab XA
dengan 10 pasal serta 24 ayat yaitu Pasal 28A sampai dengan Pasal
28J terkait jaminan HAM dan penegakan hukum untuk menjamin
tegaknya HAM sebagai sebuah pilar negara hukum. Rumusan
mengenai HAM ini sangat lengkap yang mencakup seluruh aspek
66
HAM yang diakui secara universal. Seluruh HAM yang tercantum
dalam Bab XA UUD NRI 1945 keberlakuannya dapat dibatasi.
HAM dapat dibatasi juga diperkuat dengan Pasal 28J sebagai pasal
penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang HAM.
Sistematika pengaturan mengenai HAM dalam UUD NRI 1945 ini
sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal
Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal
pembatasan HAM sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2)
yang berbunyi: “in the exercise of his rights and freedoms,
everyone shall be subject only to such limitations as are
determined by law solely for the purposes of securing due
regocnition and respect for the rights and freedoms of others and
of meeting the just requirements of morality, public order and the
general walfare in a democratic society.”
HAM harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki
kewajiban dan tanggung jawab yang juga bersifat asasi. Setiap
orang, selama hidupnya sejak sebelum kelahiran, memiliki hak dan
kewajiban yang hakiki sebagai manusia. Pembentukan negara dan
pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak boleh menghilangkan
prinsip hak dan kewajiban, sebagai warga negara. Setiap orang di
67
manapun ia berada harus dijamin hak-hak dasarnya. Pada saat yang
bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib
menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya.
Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini
merupakan ciri penting pandangan bangsa Indonesia mengenai
manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
HAM yang diatur dalam perubahan kedua UUD NRI 1945
tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur
dalam Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945. Pembatasan HAM di
Indonesia telah memberikan kejelasan bahwasannya tidak ada satu
pun HAM di Indonesia yang bersifat mutlak dan tanpa batas. HAM
dalam UUD NRI 1945 dapat diklasifikasikan menjadi empat
kelompok, yaitu hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan
budaya, hak atas pembangunan dan hak khusus lain, serta tanggung
jawab negara dan kewajiban asasi manusia. Selain itu, terdapat hak
yang dikategorikan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun (non derogable rights) yang meliputi hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
68
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar yang berlaku surut.
Sebelum perubahan UUD NRI 1945, pada tahun 1998-
1999 yaitu pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, telah
dikeluarkan Ketetapan MPR RI Nomor XVII/1998 mengenai
HAM yang di dalamnya tercantum Piagam HAM Bangsa
Indonesia dalam Sidang Istimewa MPR RI 1998, dan dilanjutkan
dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Kedua peraturan perundang-undangan tersebut telah
mengakomodir DUHAM. Apa yang termuat dalam perubahan
UUD NRI 1945 (Pasal 28A s/d Pasal 28J) adalah merujuk pada
kedua peraturan perundang-undangan tersebut, dengan perumusan
kembali secara sistematis. Kecurigaan bahwa konsep HAM yang
diadopsi oleh bangsa Indonesia selama ini dari Barat diantisipasi
oleh amandemen pada Pasal 28J UUD NRI 1945 yang mengatur
adanya pembatasan HAM. Karena itu, pemahaman terhadap Pasal
28J pada saat itu adalah pasal mengenai pembatasan HAM yang
bersifat sangat bebas dan indvidualistis itu dan sekaligus pasal
mengenai kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi juga
kewajiban asasi. Ketentuan HAM dalam UUD NRI 1945 yang
69
menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi oleh
negara. Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuan-
ketentuan mengenai HAM harus dihormati dan dijamin
pelaksanaanya oleh negara. Karena itulah pasal 28I ayat (4) UUD
NRI 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan,
penegakkan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara
terutama pemerintah.
Pengaturan mengenai HAM dalam UUD NRI 1945 yaitu
bahwa antara hak dan kewajban warga negara adalah seimbang.
Kebebasan HAM terhadap manusia lainnya dibatasi oleh undang-
undang. Pembatasan atas pelaksanaan HAM hanya dapat
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis. HAM di
Indonesia bersumber dan bermuara pada Pancasila yang artinya
HAM mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni
Pancasila. Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa
pelaksanaan HAM tersebut harus memperhatikan garis yang telah
70
ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa
Indonesia, melaksanakan HAM bukan berarti melaksanakan
dengan sebebas-bebasnya melainkan harus memperhatikan
ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa
Indonesia yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya
memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara mutlak
tanpa memperhatikan hak orang lain. Pengaturan HAM dalam
UUD NRI 1945 mengatur hak-hak dasar setiap warga negara di
dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, sipil, serta hak atas
pembangunan. Setiap warga negara seimbang antara hak dan
kewajibannya. Pengaturan mengenai HAM dalam UUD NRI 1945
adalah seimbang antara hak dan kewajiban.
Dari uraian-uraian diatas HAM dinormakan dalam hukum
dasar negara (konstitusi) Grondrechtten sebagai Grodnorm dalam
tataran negara yang kemudian secara hierarki diturunkan pula
penormaannya untuk dijewantahkan pada peraturan undang-
undang dalam arti yang luas. Menurut Masyur A Efendi, Hukum
dan HAM merupakan suatu kesatuan yang sulit dipisahkan,
keduanya seperti dua sisi dalam satu mata uang artinya apabila
suatu bangunan hukum dibangun tanpa HAM yang merupakan
71
pengawal bagi hukum dalam merealisasikan perwujudan nilai-nilai
keadilan, kemanusiaan, maka hukum tersebut menjadi alat bagi
penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya (abuse of power).
Sebaliknya apabila HAM dibangun tanpa didasarkan atas suatu
komitmen hukum yang jelas, maka HAM tersebut hanya akan
menjadi bangunan yang rapuh dan mudah untuk disimpangi.11
B. Pembetukan Peraturan Perundang - Undangan
Tidak Boleh Melanggar Hak Asasi Manusia.
Pada bagian sub bab ini penulis akan menjelaskan bahwa
pembentukan peraturan perundang-undangan tidak boleh
melanggar HAM karena itu bertentangan dengan asas
kemanusiaan sebagai hukum yang berfungsi menjadi landasan etis
dan bersifat moral yang membatasi kebijakan legislasi dalam
membentuk undang-undang sebagaimana yang diatur dalam Pasal
6 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011. Namun terlebih dahulu
penulis akan menguraikan pengertian, fungsi, tujuan dan makna
peraturan perundang-undangan.
11 Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi ..., Op.Cit., hlm.
5.
72
Peraturan ialah suatu konsep yuridis (legal concept) untuk
mengabstraksi pengertian tentang keseluruhan kaidah (rules;
norms) tertulis dan ditetapkan oleh otoritas yang berwenang yaitu
negara. Untuk membedakan peraturan yang dibuat oleh negara
dengan peraturan yang tidak dibuat oleh negara maka dalam
bahasa teknis-yuridis buku di Indonesia ditambahkan ejektif
‘perundang-undangan’ (sehingga lengkapnya disebut ‘Peraturan
Perundang-undangan’). Definisi Peraturan Perundang-undangan
menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 adalah peraturan
tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum
dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan. Konsep Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana didefinisikan oleh UU No. 12 Tahun 2011
tersebut menurut Peter Mahmud Marzuki yang dikutip dari Titon
Slamet Kurnia adalah meliputi legislasi dan regulasi.12
Fungsi peraturan perundang-undangan ialah menetapkan
kaidah atau memberikan bentuk formal terhadap kaidah yang
12 Titon Slamet Kurnia, Sistem Hukum Indonesia, CV Maju Mndur,
Bandung, 2016, hlm.32.
73
dilakukan kepada para subjek hukum. Secara teoritis peraturan
perundang-undangan merupakan instrumen untuk melakukan
positivisasi kaidah yang dilakukan oleh otoritas yang berwenang.13
Dalam pandangan Martin Krygier, peraturan perundang-undangan
merupakan “deliberately made laws” dengan pengertian: “They
are made at a particular time. They express the will of a particular,
identifiable person or body of person.”14 Arti penting dari
peraturan perundang-undangan ialah untuk menjadikan kaidah
tersebut memiliki kekuatan mengikat yang lebih jelas. Misalnya:
dapat dibedakan dengan kaidah-kaidah lain seperti moralitas,
adanya lembaga yang akan memastikan dikenakannya sanksi
kepada pelanggaran, dan sebagainya.15
Kaidah merupakan keharusan (a must; an ouqht). Dimensi
dari keharusan tersebut bersifat aktif maupun pasif. Dimensi aktif
yaitu perintah, yang artinya keharusan untuk melakukan sesuatu.
Dimensi pasif yaitu larangan, yang artinya keharusan untuk tidak
melakukan sesuatu. Kebalikan dari kaidah dalam pengertian
keharusan tersebut adalah kaidah yang mengandung dimensi
13 Titon Slamet Kurnia, Sistem ..., Ibid., 14 Titon Slamet Kurnia, Sistem ..., Ibid., 15 Titon Slamet Kurnia, Sistem ..., Ibid.,
74
kebolehan (a may) untuk menyimpang dari perintah dan larangan.
Untuk pengecualian atas kaidah perintah digunakan kaidah
dispensasi, yaitu kebolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu
yang secara umum diharuskan. Sementara untuk pengecualian atas
kaidah larangan digunakan kaidah izin, yaitu pembolehan khusus
untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.16
Tujuan paling hakiki dan keberadaan peraturan perundang-
undangan adalah untuk menciptakan kepastian hukum. Namun, hal
ini tidak boleh dipahami dengan pengertian bahwa hukum tidak
pasti tanpa adanya peraturan perundang-undangan. Peraturan
perundang-undangan penting untuk menciptakan kepastian hukum
karena peraturan perundang-undangan dapat dibaca, dapat
dimengerti dengan cara yang lebih mudah, sekurang-kurangnya
dapat menghindarkan spekulasi di antara subjek hukum tentang
apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan, tentang apa yang
boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan, tentang apa yang
merupakan hak dan kewajiban.17
16 Titon Slamet Kurnia, Sistem ..., Ibid., 17 Titon Slamet Kurnia, Sistem ..., Ibid., hlm.33
75
Konsep kepastian hukum menurut L.J. van Apeldoorn
mengadung dua segi pengertian. Pertama, dapat ditentukan hukum
apa yang berlaku untuk masalah-masalah konkret. Di sini pihak-
pihak yang berperkara sudah dapat mengetahui sejak awal
ketentuan-ketentuan apa yang akan digunakan dalam sengketa
tersebut. Kedua, kepastian hukum mengandung pengertian
perlindungan hukum, pembatasan terhadap pihak-pihak yang
mempunyai kewenangan yang berhubungan dengan kehidupan
seseorang, dalam hal ini adalah hakim dan pembuat peraturan.18
Hubungan antara konsep kepastian hukum dengan peraturan
perundang-undangan dikemukakan secara lebih eksplisit oleh
Alfred F. Conard: “Laws should be written with more emphasis on
making readers understand what the law commands, and with less
emphasis on controlling the judge by rigid grammatical
constructions.”19 Pendapat Conard rupanya sejalan dengan
pendapat Apeldoorn. Dari pendapat dua ahli tersebut dapat
dirumuskan adanya communis opinio doctorum menyangkut
18 Titon Slamet Kurnia, Sistem ..., Ibid., 19 Titon Slamet Kurnia, Sistem ..., Ibid.,
76
hubungan antara konsep kepastian hukum dan keharusan adanya
peraturan perundang-undangan.
Makna peraturan perundang-undangan semakin penting
dalam konsep negara hukum meskipun harus disadari bahwa
peraturan perundangan-undangan bukan satu-satunya sumber
dalam penataan kehidupan bersama disuatu negara.20 Ketika
negara bermaksud memberlakukan kaidah yang mengikat dan
membatasi kebebasan warga negara, maka penetapan kaidah
dimaksudkan harus melalui peraturan perundang-undangan.
Fungsi peraturan perundang-undangan jika dikaitkan dengan
hukum sebagai sebuah ideal ialah mencegah timbulnya
kesewenang-wenangan oleh penguasa terhadap warga negara.
Hukum pada hakekatnya adalah produk penilaian akal-budi yang
berakar dalam hati nurani manusia tentang keadilan berkenaan
dengan perilaku manusia dan situasi kehidupan manusia.
Penghayatan tentang keadilan memunculkan penilaian bahwa
dalam situasi kemasyarakatan tertentu, orang seyogyanya
20 Titon Slamet Kurnia, Sistem ..., Ibid.,
77
berperilaku dengan cara tertentu, karena hal itu adil atau memenuhi
rasa keadilan.21
Keadilan merupakan nilai abstrak yang perlu perwujudan
dalam bentuk norma hukum sebagai sarana untuk mewujudkan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bermasyarakat.22 Perwujudan
nilai-nilai norma hukum dalam masyarakat terbentuk melalui
aturan perundang-undangan. Aturan perundang-undangan yang
dibentuk harus memenuhi rasa keadilan. Menurut Sajipto
Rahardjo, dalam proses pembuatan rancangan undang-undang
harus memperhatikan peran dari asas hukum. Sistem hukum
termasuk peraturan perundang-undangan yang dibangun tanpa
asas hukum hanya akan berupa tumpukan undang-undang. Asas
hukum memberikan arah yang dibutuhkan. Di waktu-waktu yang
akan datang masalah dan bidang yang diatur pasti semakin
bertambah. Maka pada waktu hukum atau undang-undang
dikembangkan, asas hukum memberikan tuntunan dengan cara
21 Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia, FH UNIKA
Parahyangan, Bandung, 2010, hlm. 88. 22 Mahmutarom HR., Rekonstruksi Konsep Keadilan, Badan Penerbit
UNDIP, Semarang, hlm. 119.
78
bagaimana dan ke arah mana sistem tersebut akan
dikembangkan.23
Pembentukan peraturan undang-undang di Indonesia yang
berlaku secara positif sekarang ini adalah UU No. 12 Tahun 2011
yang memuat asas/prinsip hukum dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Asas/Prinsip hukum tersebut di atur dalam
Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 yaitu Asas Pengayoman,
Kemanusiaan, Kebangsaan, Kekeluargaan, Kenusantaraan,
Bhinneka Tunggal Ika, Keadilan, kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum
dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan asas
yang digunakan dalam membentuk suatu peraturan perundang-
undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan sudah
menjadi kewajiban yang mutlak dalam pembentukannya untuk
menggunakan asas/prinsip hukum agar peraturan perundang-
undangan yang dibentuk mempunyai kepastian yang memiliki
keadilan dan manfaat bagi orang banyak. Asas/prinsip hukum
23 Sajipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 140.
79
merupakan landasan bagi terbentuknya peraturan perundang-
undangan yang baik, jika suatu peraturan perundang-undangan
dibentuk dengan tidak mengindahkan Asas/prinsip hukum
tersebut, maka peraturan perundang-undangan tidak akan
memberikan tujuan hukum yang baik, tidak memberikan keadilan
dan manfaat bagi orang banyak.
Dalam pembahasan ini isu terpentingnya adalah bahwa
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tidak boleh
melanggar HAM karena itu bertentangan dengan asas
kemanusiaan sebagai hukum yang berfungsi menjadi landasan etis
dan bersifat moral yang membatasi kebijakan legislasi dalam
membentuk undang-undang sebagaimana yang diatur dalam Pasal
6 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011. Dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik harus mengedepankan
perlindungan Hak Asasi Manusia terutama perlindungan hak
dalam memperoleh keadilan. Karena hukum ada dari manusia dan
untuk manusia sebagai subyek hukum. Peraturan perundangan-
undangan dibentuk untuk manusia sehingga Hak Asasi Manusia
harus diwujudkan dalam perlindungannya yang dilakukan oleh
hukum. Oleh karena itu apabila dalam suatu peraturan perundang-
80
undangan yang telah dibentuk secara sah tidak mengedepankan
HAM sebagai norma hukum tertinggi. Maka, peraturan
perundang-undangan tersebut bukan merupakan produk hukum
yang baik dan dapat dinilai sewenang-wenang. Hal itu dinyatakan
lebih spesifik oleh Roscoe Pound menyangkut proses dalam
rangka establishing an ordered society yang dapat ditempuh lewat
dua sumber sekaligus, yaitu moral dan politik:
Law is a body of ideals, principles, and precepts for
the adjusment of the relations of human beings and the
ordering of their conduct in sociaty. Law seeks to guide
decision as laws seek to constrain action. Law is
needed to achieve and maintain justice. Laws are
needed to keep the peace-to maintain order. Law is
experience developed by reason and corrected by
further experince. Its immediate task is the
administration of justice; the attainment of full and
equal justice to all. The task of laws is one of policing,
of mainteining the surface of order.24
Pernyataan Pound di atas menegaskan kembali tentang
hakikat makna hukum yang bersifat moral; yang berbeda dengan
makna hakikat undang-undang yang bersifat politik atau
kekuasaan. Oleh karena itu dalam hubungan fungsional keduanya,
hukum harus menjadi dimensi etis atau moral dari undang-undang
24 Krisna Djaya Darumurti, Diskresi ..., Op.Cit., hlm. 12
81
supaya undang-undang tidak jatuh dari kesewenang-wenangan.25
Dengan cara pandang demikian maka peraturan perundang-
undangan seharusnya bertumpu pada asas/prinsip hukum (asas
kemanusiaan) yang mengedepankan HAM sebagai norma hukum
tertinggi yang membatasi kebijakan legislasi dalam membentuk
undang-undang.
25 Krisna Djaya Darumurti, Diskresi ..., Ibid.,