bab iii hasil penelitian dan pembahasan a. …
TRANSCRIPT
72
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pertimbangan Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam
Putusan Nomor 59/Pid.Sus/2012/PN.Tipikor.Smg, Putusan Nomor :
11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan Putusan Nomor : 1616 K/PID.SUS/2013
Sebelum menelaah lebih jauh mengenai putusan Hakim yang
memberikan vonis pemidanaan, pertimbangan Hakim maupun penerapan
sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan terdakwa
Angelina Sondakh dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor :
54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor
: 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1616
K/PID.SUS/2013 (Terdakwa Angelina Sondakh) dikaitkan dengan tujuan
pemidanaan. Peneliti terlebih dahulu akan menyajikan deskripsi kasus sebagai
berikut:
1. Kasus Posisi
ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH sebagai
Anggota Komisi X (sepuluh) DPR RI selanjutnya diangkat sebagai
Anggota Badan Anggaran DPR RI dari Komisi X (sepuluh) sebagaimana
Keputusan DPR RI Nomor: 48/DPRRI/I/2009-2010 yang mempunyai
kewenangan, salah satunya membahas bersama Pemerintah dalam
menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas
anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap Kementrian/Lembaga dalam
menyusun usulan anggaran. Berdasarkan kesepakatan internal di Komisi
X (sepuluh) ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH ditunjuk
menjadi Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Anggaran Komisi (X)
yang bertugas menindak lanjuti kesepakatan anggaran dengan mitra kerja
antara lain Kemendiknas dan Kemenpora yang dibahas melalui Rapat
Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dalam Badan Anggaran DPR RI.
72
73
ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH diajak
Muhammad Nazaruddin merupakan rekan sesama anggota DPR RI dari
Partai Demokrat bertemu dengan Mindo Rosalina Manulang serta
beberapa orang lainnya dari Permai Grup antara lain Gerhana Sianipar,
Clara Mauren, Silvy dan Bayu Wijokongko di Restoran Nippon Kan di
Hotel Sultan Jakarta Selatan. Pada pertemuan itu Muhammad Nazaruddin
memperkenalkan Mindo Rosalina Manulang dan beberapa orang dari
Permai Grup tersebut sebagai Pengusaha. Muhammad Nazaruddin juga
menjelaskan kepada Terdakwa bahwa pada saat dirinya masih menjadi
Pengusaha, mereka bergabung bersama dalam sebuah konsorsium, tetapi
setelah Muhammad Nazaruddin menjadi Anggota DPR RI maka Mindo
Rosalina Manulang yang akan maju menggantikannya untuk nanti
berhubungan dengan Terdakwa dalam rangka mendapatkan proyek-
proyek di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan di
Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Setelah berkenalan
lalu Terdakwa dan Mindo Rosalina Manulang saling bertukar Nomor
Handphone dan PIN (Personal Identification Number) Blackberry dalam
rangka memudahkan hubungan komunikasi selanjutnya.
Menindaklanjuti perkenalan tersebut maka sekitar awal tahun
2010 Mindo Rosalina Manulang menghubungi Terdakwa untuk bertemu
kembali dan Terdakwa mempersilahkan Mindo Rosalina Manulang
menemuinya di Apartemen Bellezza depan ITC Permata Hijau Jakarta
Selatan. Pada pertemuan itu Mindo Rosalina Manulang menanyakan
kesediaan Terdakwa untuk menggiring anggaran di Kemendiknas dan di
Kemenpora, yakni mengusahakan agar program kegiatan berupa Proyek-
Proyek Pembangunan/Pengadaan dan Nilai Anggarannya dapat sesuai
dengan permintaan Permai Grup. Terdakwa kemudian menyanggupi
permintaan tersebut dan meminta agar proyek pada program kegiatan
yang akan diusulkan Permai Grup dibuatkan daftar (list) nya lalu
diserahkan kepada Terdakwa. Selain itu terdakwa juga menambahkan
bahwa khusus untuk proyek pada program pendidikan tinggi di
Kemendiknas harus dilengkapi dengan adanya proposal usulan kegiatan
dari Universitas-Universitas ke Biro Perencanaan Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemendiknas karena apabila usulan
dari universitas belum ada maka tidak bisa dilakukan pembahasan di
DPR Republik Indonesi.
Atas jawaban dari Terdakwa maka beberapa hari kemudian
Mindo Rosalina Manulang melaporkan hal itu dalam rapat di kantor
Permai Grup yang dihadiri Muhammad Nazaruddin selaku pemilik
(owner) Permai Grup. Terhadap laporan Mindo Rosalina Manulang
bahwa Terdakwa bersedia membantu menggiring anggaran di
Kemendiknas dan di Kemenpora, maka Muhammad Nazaruddin
memerintahkan Mindo Rosalina Manulang untuk mengecek ke Biro
Perencanaan Ditjen Dikti Kemendiknas terhadap usulan dari berbagai
Universitas Negeri untuk proyek yang akan dianggarkan Kemendiknas
pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2010
74
maupun Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2011, selain itu
Muhammad Nazaruddin juga memerintahkan Mindo Rosalina Manulang
untuk menemui beberapa Rektor Universitas Negeri terkait pengajuan
proposal usulan Universitas ke Ditjen Dikti Kemendiknas. Sedangkan
terhadap proyek yang akan dianggarkan di Kemenpora maka Muhammad
Nazaruddin memperkenalkan Mindo Rosalina Manulang dengan Wafid
Muharam yang menjabat sebagai Sekretaris Menteri Pemuda dan
Olahraga (Sesmenpora) sekitar bulan Maret 2010 di Restoran Arcadia
Senayan Jakarta, agar Mindo Rosalina Manulang dapat berhubungan
langsung dengan pihak Kemenpora terkait pengajuan usulan proyek
pembangunan Wisma Atlet yang akan dianggarkan pada APBN-P 2010.
Terdakwa selanjutnya kembali bertemu dengan Mindo Rosalina
Manulang sekitar awal bulan Maret 2010 di kantor Terdakwa di Ruang
2301 Gedung Nusantara I kantor DPR RI, yang pada pertemuan itu
Mindo Rosalina Manulang menyampaikan bahwa ia telah melakukan
pengecekan terhadap Proposal Usulan Universitas-Universitas Negeri
yang masuk di Ditjen Dikti Kemendiknas serta hendak menyerahkan
daftar (list) kegiatan sekaligus usulan besarnya anggaran yang diinginkan
Permai Grup, namun Terdakwa mengatakan bahwa ia akan mempelajari
terlebih dahulu dan nanti dikomunikasikan lagi dengan Mindo Rosalina
Manulang. Barulah sekitar pertengahan bulan Maret 2010, Terdakwa
mengadakan pertemuan kembali dengan Mindo Rosalina Manulang di
Plaza FX Senayan dan dalam pertemuan kali ini Terdakwa menyanggupi
permintaan penggiringan anggaran yang diinginkan Permai Grup dengan
meminta imbalan uang (fee) sebesar 7% (tujuh persen) dari nilai proyek
dan fee tersebut sudah harus diberikan kepada Terdakwa sebesar 50%
(lima puluh persen) pada saat pembahasan dilakukan dan sisanya 50%
(lima puluh persen) setelah DIPA turun atau disetujui. Terhadap
permintaan Terdakwa tersebut maka esok harinya Mindo Rosalina
Manulang melaporkan kepada Muhammad Nazaruddin selaku pemilik
(owner) Permai Grup dalam rapat di kantor Permai Grup, lalu
Muhammad Nazaruddin memerintahkan Mindo Rosalina Manulang
untuk menawar sebesar 5% (lima persen) dan imbalan uangnya (fee) baru
bisa diberikan setelah DIPA turun atau disetujui. Beberapa hari kemudian
Mindo Rosalina Manulang kembali menemui Terdakwa di kantor DPR
RI lalu menyampaikan bahwa imbalan uang (fee) dalam rangka
menggiring anggaran tersebut supaya dapat dikurangi menjadi sebesar
5% (lima persen) saja dan akan diberikan kepada Terdakwa setelah DIPA
turun atau disetujui.
Sebagai tindak lanjut upaya menggiring anggaran di
Kemendiknas agar sesuai dengan permintaan Permai Grup, selanjutnya
Terdakwa mengikuti kegiatan pembahasan rapat-rapat di Badan
Anggaran DPR RI yang membahas alokasi Anggaran APBN-P 2010 dan
APBN 2011, bahkan pada pembahasan Anggaran Program Pendidikan
Tinggi Kemendiknas, Terdakwa ikut mengajukan usulan program
kegiatan untuk sejumlah Perguruan Tinggi yang awalnya tidak diusulkan
75
oleh Ditjen Dikti Kemendiknas namun kemudian diusulkan sebagai
usulan aspirasi dari Komisi X (sepuluh). Selain itu Terdakwa juga
beberapa kali memanggil Harris Iskandar dan Dadang Sudiyarto (Kabag
Perencanaan dan Penganggaran Ditjen Dikti Kemendiknas) ke kantor
DPR RI untuk membahas alokasi anggaran yang akan diusulkan
Kemendiknas, serta meminta agar Harris Iskandar dan Dadang Sudiyarto
memprioritaskan pemberian alokasi anggaran terhadap beberapa
perguruan tinggi yang diusulkan Terdakwa.
Bahwa sebagai realisasi dari permintaan imbalan uang (fee)
sebesar 5% (lima persen) dari nilai proyek-proyek yang akan
dianggarkan sebagaimana yang telah dijanjikan kepada Terdakwa
tersebut, maka Permai Grup memberikan sebesar Rp 12.580.000.000,00
(dua belas milyar lima ratus delapan puluh juta rupiah) dan US
$.2.350.000,00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu Dollar Amerika
Serikat) secara bertahap. Terdakwa menyanggupi akan mengusahakan
supaya anggaran untuk proyek pembangunan/pengadaan pada Program
Pendidikan Tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas)
dan program pengadaan sarana dan prasarana di Kementerian Pemuda
dan Olahraga (Kemenpora) dapat disesuaikan dengan permintaan Permai
Grup karena nantinya proyek-proyek tersebut akan dikerjakan oleh
Permai Grup ataupun pihak lain yang telah dikoordinasikan oleh Permai
Grup.
2. Perbandingan Putusan Hakim
No Unsur-Unsur PN PT Kasasi
1 Dakwaan 1) Pasal 12 huruf
a jo Pasal 18
Undang-
undang Nomor
31 Tahun 1999
tentang Tindak
Pidana Korupsi
sebagai mana
diubah dengan
Undang-
undang Nomor
20 Tahun 2001
jo Pasal 64
ayat (1) KUHP
2) Pasal 11 jo
Pasal 18
Undang-
undang Nomor
31 Tahun 1999
tentang Tindak
Pidana Korupsi
sebagai mana
1) Pasal 12
huruf a jo
Pasal 18
Undang-
undang
Nomor 31
Tahun 1999
tentang
Tindak
Pidana
Korupsi
sebagai
mana diubah
dengan
Undang-
undang
Nomor 20
Tahun 2001
jo Pasal 64
ayat (1)
KUHP
2) Pasal 5 ayat
1) Pasal 12 huruf a jo
Pasal 18 Undang-
undang Nomor 31
Tahun 1999
tentang Tindak
Pidana Korupsi
sebagai mana
diubah dengan
Undang-undang
Nomor 20 Tahun
2001 jo Pasal 64
ayat (1) KUHP
2) Pasal 5 ayat (2) jo
Pasal 5 ayat (1)
huruf e jpo Pasal
18 Undang-undang
Nomor 31 Tahun
1999 tentang
Tindak Pidana
Korupsi yang telah
diubah dengan
Undang-undang
76
No Unsur-Unsur PN PT Kasasi
diubah dengan
Undang-
undang Nomor
20 Tahun 2001
jo Pasal 64
ayat (1) KUHP
(2) jo Pasal 5
ayat (1)
huruf e jpo
Pasal 18
Undang-
undang
Nomor 31
Tahun 1999
tentang
Tindak
Pidana
Korupsi
yang telah
diubah
dengan
Undang-
undang
Nomor 20
tahun 2001
jo Pasal 64
ayat (1)
KUHP
3) Pasal 11 jo
Pasal 18
Undang-
undang Nomor
31 Tahun 1999
tentang Tindak
Pidana
Korupsi
sebagai mana
diubah dengan
Undang-
undang Nomor
20 Tahun 2001
jo Pasal 64
ayat (1) KUHP
Nomor 20 tahun
2001 jo Pasal 64
ayat (1) KUHP
3) Pasal 11 jo Pasal 18
Undang-undang
Nomor 31 Tahun
1999 tentang
Tindak Pidana
Korupsi sebagai
mana diubah
dengan Undang-
undang Nomor 20
Tahun 2001 jo
Pasal 64 ayat (1)
KUHP
2 Tuntutan Pasal 11 jo Pasal
18 Undang-
undang Nomor 31
Tahun 1999
tentang Tindak
Pidana Korupsi
sebagai mana
diubah dengan
Undang-undang
Nomor 20 Tahun
2001 jo Pasal 64
ayat (1) KUHP
Pasal 12 huruf
a jo Pasal 18
Undang-
undang Nomor
31 Tahun 1999
tentang Tindak
Pidana
Korupsi
sebagai mana
diubah dengan
Undang-
undang Nomor
Pasal 12 huruf a jo
Pasal 18 Undang-
undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang
Tindak Pidana Korupsi
sebagai mana diubah
dengan Undang-
undang Nomor 20
Tahun 2001 jo Pasal
64 ayat (1) KUHP
77
No Unsur-Unsur PN PT Kasasi
20 Tahun 2001
jo Pasal 64
ayat (1) KUHP
3 Pertimbangan
Unsur yuridis Unsur-unsur di
dalam Pasal 11 jo
Pasal 18 Undang-
undang Nomor 31
Tahun 1999
tentang Tindak
Pidana Korupsi
sebagai mana
diubah dengan
Undang-undang
Nomor 20 Tahun
2001 jo Pasal 64
ayat (1) KUHP
Unsur-unsur di
dalam Pasal 12
huruf a jo
Pasal 18
Undang-
undang Nomor
31 Tahun 1999
tentang Tindak
Pidana
Korupsi
sebagai mana
diubah dengan
Undang-
undang Nomor
20 Tahun 2001
jo Pasal 64
ayat (1) KUHP
Unsur-unsur di dalam
Pasal 12 huruf a jo
Pasal 18 Undang-
undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang
Tindak Pidana Korupsi
sebagai mana diubah
dengan Undang-
undang Nomor 20
Tahun 2001 jo Pasal
64 ayat (1) KUHP
4 Faktor yang
memberatkan
Dapat memicu
tindak pidana
korupsi berikunya
dalam
penggiringan
pemenangan
tender proyek,
perbuatan
terdakwa tidak
mendukung
program
pemerintah dalam
memberantasa
tindak pidana
korupsi,
perbuatan
terdakwa dapat
merenggut hak
sosial dan hak
ekonomi
masyarakat,
terdakwa
merupakan wakil
rakyat dan publik
figure, tidak
mengakui dan
Dapat memicu
tindak pidana
korupsi
berikunya
dalam
penggiringan
pemenangan
tender proyek,
perbuatan
terdakwa tidak
mendukung
program
pemerintah
dalam
memberantasa
tindak pidana
korupsi,
perbuatan
terdakwa dapat
merenggut hak
sosial dan hak
ekonomi
masyarakat,
terdakwa
merupakan
wakil rakyat
78
No Unsur-Unsur PN PT Kasasi
menyesali
perbuatanya
dan publik
figure, tidak
mengakui dan
menyesali
perbuatanya
5 Faktor yang
meringankan
Terdakwa berlaku
sopan dalam
persidangan,
terdakwa
merupakan orang
tua tungal dan
mempunyai
tanggungan
keluarga yakni
anak-anak yang
masih kecil,
terdakwa belum
pernah dihukum
dan masih berusia
muda, terdakwa
memiliki jasa
pernah mewakili
bangsa dan negara
Indonesia di
forum nasional
dan internasional
dan terdkawa
pernah
mendapatkan
penghargaan dari
Menteri Sosial
Republik
Indonesia
Terdakwa
berlaku sopan
dalam
persidangan,
terdakwa
merupakan
orang tua
tungal dan
mempunyai
tanggungan
keluarga yakni
anak-anak
yang masih
kecil, terdakwa
belum pernah
dihukum dan
masih berusia
muda,
terdakwa
memiliki jasa
pernah
mewakili
bangsa dan
negara
Indonesia di
forum nasional
dan
internasional
dan terdkawa
pernah
mendapatkan
penghargaan
dari Menteri
Sosial
Republik
Indonesia
6 Putusan
Penjara 4 tahun 6 bulan 4 tahun 6
bulan
12 tahun
Denda Rp. 250.000.000,- Rp.
250.000.000,-
Rp. 500.000.000,-
Uang
Pengganti
Rp. 12.580.000.000,-
dan US$ 2.350.000,-
79
B. Analisis Pertimbangan Putusan Perkara Ditinjau dari Kajian
Pemidanaan
1. Pertimbangan berat ringannya pidana dalam Penjatuhan putusan
yang dilakukan oleh majelis hakim
Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya
dalam pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum
untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan terbukti atau tidak,
sehingga hakim dapat menjatuhkan sanksi pidana yang tepat sehingga
dapat memberikan efek jera kepada sipelaku. Hal ini memberikan
wacana kepada para hakim dalam merumuskan vonis penjatuhan sanksi
pidana kepada para pelaku kejahatan agar yang dijatuhkan sesuai dengan
rasa keadilan masyarakat.
Suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
apabila perbuatan tersebut telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari pasal
atau aturan yang mengatur dimana perbuatan tersebut dinyatakan
dilarang. Dalam hal adanya suatu dugaan tindak pidana, penegak hukum
harus dapat menyidik untuk memperoleh kejelasan bahwa perbuatan
yang dilakukan oleh pelaku benar merupakan suatu tindak pidana. Proses
hukum lalu berlanjut dengan penerapan sanksi untuk mengetahui
peraturan apa saja yang telah dilanggar serta sejauh mana perbuatan
pelaku melanggar perturan tersebut. Pada akhirnya, setelah melalui
proses pembuktian, diputuskanlah sanksi pidana yang akan diterapkan
kepada pelaku.
80
Kasus yang Penulis uraikan di atas merupakan kasus korupsi yang
diduga dilakukan oleh Angelina Sondakh. Akibat perbuatan tersebut,
Negara mengalami kerugian sebesar Rp 12.500.000.000,- dan sebesar
US$ 2.350.000,- sebagai imbalan (fee) kepada terdakwa terkait upaya
menggiring anggaran proyek Wisma Atlit Kemenpora dan proyek-proyek
Universitas Kemendiknas yang diberikan secara bertahap berdasarkan
catatan pengeluaran kas Permai Grup.
Penuntut umum merupakan instansi yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan
dan penetapan pengadilan.1 Salah satu yang menjadi tugas penuntut
umum adalah membuat surat dakwaan yang nantinya akan menjadi dasar
landasan pemeriksaan kasus tersebut pada proses peradilan. Maka dari
itu, surat dakwaan harus disusun dengan cermat dan jelas. Hal ini secara
tegas diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa
surat dakwaan harus memenuhi syarat materiil yang harus menguraikan
secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan.2
Pemilihan bentuk surat dakwaan harus dilakukan dengan
berpedoman pada hasil penyidikan atas tindak pidana yang dilakukan
1 Yahya Harahap, Op. Cit., h. 385 2 PAF Lamintang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Pembahasan
Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, CV. Sinar Baru,
Bandung, 1984, h. 315
81
oleh terdakwa. Jika terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana, maka
dapat digunakan dakwan biasa atau tunggal. Jika terdakwa melakukan
tindak pidana yang lebih dari satu rumusan tindak pidana pada Undang-
Undang dan belum dapat dipastikan ketentuan mana yang telah
dilanggar, maka jaksa dapat menyusun surat dakwaan alternatif atau
subsidair. Dalam hal terdakwa melakukan perbarengan tindak pidana
(concursus) yang tiap-tiap tindak pidana tersebut berdiri sendiri, maka
dapat digunakan jenis dakwaan kumulatif.
Penjatuhan putusan yang dilakukan oleh majelis hakim terhadap
pelaku tindak pidana didasarkan pada surat dakwaan yang telah disusun
oleh jaksa. Selain harus berdasarkan pada fakta-fakta yang terungkap di
persidangan. Dalam menjatuhkan putusan, hakim wajib berpedoman
pada hasil pembuktian atas kasus tersebut diikuti dengan pertimbangan
hakim terhadap terdakwa bahwa terdakwa telah terbukti melanggar Pasal
11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64
ayat (1) KUHP.
Sebelum penjatuhan putusan, hakim wajib mempertimbangkan
hal-hal yang dapat memberatkan ataupun meringankan. Perbuatan
terdakwa merupakan perbuatan berlanjut sesuai dengan Pasal 64 KUHP
yang berbunyi :
“Jika beberapa perbuatan perhubungan, sehingga demikian harus
dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, maka hanya
ada satu ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing
– masing perbuatan itu menjadi kenjahatan atau pelanggaran, jika
82
hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan
terberat hukuman utamanya ”.
Menurut putusan hakim yang telah disebutkan di atas, hakim
menyatakan terdakwa Angelina Sondakh terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Secara Berlanjut”
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Putusan hakim yang memilih untuk menjatuhkan pidana
berdasarkan dakwaan ketiga yang menggunakan Undang Undang PTPK
menurut Penulis adalah hal yang tepat. Menurut analisis penulis,
pemberian fee terkait upaya menggiring anggaran proyek Wisma Atlit
Kemenpora dan proyek-proyek Universitas Kemendiknas yang diberikan
secara bertahap berdasarkan catatan pengeluaran kas Permai Grup,
merupakan tindak pidana yang dilakukan dalam ruang lingkup korupsi,
maka dari itu, Undang Undang PTPK memiliki kekhususan yang lebih
dibandingkan KUHP.
Selain pemilihan dakwaan yang dijatuhkan kepada terdakwa,
Penulis turut mencermati sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maupun hakim Pengadilan Tinggi
Jakarta terhadap terdakwa Angelina Sondakh. Pada amar putusan, hakim
menjatuhkan pidana penjara 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan dan
denda sebesar Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah)
subsider 6 (enam) bulan kurungan. Sanksi pidana juga yang dijatuhkan
83
oleh hakim Mahkamah Agung dengan pidana penjara 12 (dua belas)
tahun dan denda sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) serta
uang pengganti sebesar Rp. 12.580.000.000,- dan US$ 2.350.000,-.
Putusan tersebut didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
hakim, termasuk dalam hal-hal yang memberatkan dan meringankan
terdakwa, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan negara
akan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana yang layak,
patut setimpal dan adil sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya
dalam dakwaan ketiga Penuntut Umum yang terbukti di persidangan dan
pidana tersebut juga sebagai pembinaan bagi diri Terdakwa.
Setelah diuraikan pertimbangan-pertimbangan di dalam
menentukan putusan persidangan maka dikaitkan dengan putusan tindak
pidana korupsi dengan terdakwa Angelina Sondakh, di mana dalam
dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, selain merumuskan uraian
pasal yang didakwakan serta pembuktianya didalam surat tuntutan, jaksa
penuntut umum juga telah merumuskan hal hal yang meringankan dan
memberatkan hukuman terdakwa Angelina Sondakh.
Hal-hal yang memberatkan dari diri terdakwa:
a. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program Pemerintah yang saat
ini sedang giat-giatnya memberantas tindak pidana korupsi akan
tetapi justru memanfaatkan jabatannya selaku Anggota DPR-RI
untuk melakukan tindak pidana korupsi;
b. Perbuatan terdakwa telah merenggut hak sosial dan hak ekonomi
masyarakat karena anggaran yang telah ditetapkan tidak sepenuhnya
digunakan untuk kepentingan masyarakat;
c. Terdakwa yang merupakan wakil rakyat dan publik figur justru tidak
memberikan teladan yang baik kepada masyarakat;
d. Terdakwa tidak mengakui dan tidak menyesali perbuatannya;
84
Sedangkan hal-hal yang meringankan dari diri terdakwa:
a. Terdakwa bersikap sopan di persidangan;
b. Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga yakni seorang anak yang
masih kecil;
c. Terdakwa belum pernah dihukum dan relatif masih berusia muda
sehingga diharapkan dapat memperbaiki diri;
Putusan pengadilan yang berupa penjatuhan pidana harus disertai
pula fakta-fakta yang digunakan, untuk mempertimbangkan berat
ringannya pidana, sebagaimana ditentukan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana.
Memorie Van Toelichting dari Strafwetboek tahun 1886,
memberikan pedoman untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana
sebagai berikut:
Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap
kejadian harus memperhatikan keadaan obyektif dan subyektif
dari tindak pidana yang dilakukan, harus memperhatikan
perbuatan dan pembuatannya. Hak-hak apa saja yang dilanggar
dengan adanya tindak pidana itu? Kerugian apakah yang
ditimbulkan? Bagaimanakah sepak terjang kehidupan si pembuat
dulu-dulu? Apakah kejahatan yang dipersalahkan kepadanya itu
langkah pertama kearah jalan yang sesat ataukan merupakan suatu
perbuatan, merupakan suatu pengulangan dari watak jahat yang
sebelumnya sudah tampak.”
Pedoman dari Memorie Van Toelichting ini dapat pula
dipergunakan sebagai pedoman untuk mempertimbangkan berat
ringannya pidana dalam praktek peradilan di Indonesia, karena KUHP
pada prinsipnya merupakan salinan dari Strafwetboek tahun 1886. Dalam
perundang-undangan Indonesia juga terdapat ketentuan-ketentuan yang
merupakan petunjuk ke arah pertimbangan berat ringannya pidana.
85
Bentuk dari suatu putusan tidak diatur dalam KUHAP. Namun
jika diperhatikan bentuk-bentuk putusan, maka bentuknya hampir
bersamaan dan tidak pernah dipermasalahkan karenanya sebaiknya
bentuk-bentuk putusan yang telah ada tidak keliru jika diikuti.
Mengenai isi putusan, ditentukan secara rinci dan limitatif dalam
Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang rumusannya sebagai berikut:
Surat putusan pemidanaan memuat.
a. Kepala putusan yang ditulis: Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan
keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di
sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang
memberatkan dan meringankan terdakwa.
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali
perkara diperiksa oleh hakim tunggal.
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua
unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya
dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang
bukti.
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu dan keterangan di
mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggap
palsu.
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan.
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera.
Mengenai proses pengambilan putusan secara singkat diawali
dengan Ketua Sidang/Ketua Majelis yang menyatakan bahwa
86
pemeriksaan tertutup (Pasal 182 ayat (2) KUHAP), maka Hakim
mengadakan musyawarah yang dipimpin Ketua Sidang/Ketua Majelis
yang mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai
hakim yang tertua. Pertanyaan dimaksud adalah bagaimana pendapat dan
penilaian hakim yang bersangkutan terhadap perkara yang dihadapi.
Hakim yang bersangkutan mengutarakan pendapat dan uraiannya
dimulai dengan pengamatan dan penelitiannya tentang hal formil barulah
kemudian tentang hal materiil, yang kesemuanya didasarkan atas surat
dakwaan penuntut umum.
Hal-hal formil yang dimaksud misalnya sebagai berikut.
a. Apakah pengadilan negeri di mana majelis hakim bersidang
berwenang memeriksa perkara tersebut atau tidak.
b. Apakah surat dakwaan telah memenuhi syarat-syarat.
c. Apakah dakwaan dapat diterima atau tidak, hal ini berkenaan dengan
ne bis in iden dan verjaring.
Setelah hal-hal formil ini terpenuhi, maka dilanjutkan dengan
materi perkara.
a. Perbuatan mana yang telah terbukti di persidangan, unsur-unsur
mana yang terbukti dan alat bukti yang mendukungnya serta nama
yang tidak terbukti.
b. Apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya
tersebut.
c. Apakah hukuman yang patut dan adil yang dijatuhkan kepada
terdakwa atas perbuatannya.
Setelah masing-masing Hakim Anggota Majelis mengutarakan
pendapat atau pertimbangan-pertimbangan dan keyakinannya atas
perkara tersebut maka dilakukan musyawarah untuk mufakat. Ketua
Majelis berusaha agar diperoleh permufakatan bulat (Pasal 182 ayat (2)
87
KUHAP), akan tetapi jika mufakat bulat tidak diperoleh maka putusan
diambil dengan suara terbanyak.3 Adakalanya para hakim masing-masing
berbeda pendapat atau pertimbangan, sehingga suara terbanyak pun tidak
dapat diperoleh. Jika hal tersebut terjadi maka putusan yang dipilih
adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa seperti
yang disebutkan dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP. Pelaksanaan (proses)
pengambilan putusan tersebut dicatat dalam buku Himpunan Putusan
yang disediakan secara khusus untuk itu yang sifatnya rahasia.
Secara teoritik, setiap pemidanaan harus didasarkan paling sedikit
pada keadaan-keadaan individual yang berkaitan dengan tindak pidana
yang bersangkutan dengan pelaku tindak pidana. Dalam praktinya, hal ini
akan bervariasi baik orang per orang maupun tindak pidana per tindak
pidana dan dengan demikian dapat dimengerti apabila tidak selalu
tercapai. Untuk itu maka diperlukan hal-hal sebagai berikut: 4
a. Perlunya informasi yang lengkap tentang tindak pidana dan pelaku
tindak pidana.
Dalam hal ini kewaspadaan sangat diperlukan, sebab
pemidanaan harus benar-benar memperhitungkan segala fakta yang
relevan. Situasi peradilan seringkali diwarnai oleh kondisi buatan
(artificial situations) yang berkaitan dengan perbuatan yang
dipertimbangkan lebih dahulu baru kemudian keadaan-keadaan yang
berkaitan dengan si pelaku. Laporan sosial si pelaku sangat
dibutuhkan dan dalam hal-hal tertentu laporan medis juga
diperlukan.
b. Analisis terhadap informasi yang telah diperoleh tentang tindak
pidana, hakikat dakwaan, tingkat gravitas tindak pidana, dalam hal
ini akan diperhitungkan pula baik hal-hal yang memperberat maupun
yang meringankan tindak pidana.
3 Leden Marpaung. Op cit. h. 130 4 Muladi dan Barda Nawawi, Op cit., h. 211
88
Hal-hal yang memperberat yaitu:
a. Pegawai negeri yang melanggar suatu kewajiban jabatan yang
khusus ditentukan oleh peraturan perundang-undangan atau pada
waktu melakukan tindak pidana mempergunakan kekuasaan,
kesempatan atau upaya yang diberikan kepadanya karena
jabatannya;
b. Seseorang melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan
bendera kebangsaan, lagu kebangsaan atau lambanga negara
republik indonesia;
c. Seseorang melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan
keahlian atau profesinya;
d. Orang dewasa melakukan tindak pidana bersama dengan anak di
bawah umur 18 tahun;
e. Tindak pidana dilakukan dengan kekuatan bersama, dengan
kekerasan atau dengan cara yang kejam;
f. Tindak pidana dilakukan pada waktu ada huru-hara atau bencana
alam;
g. Tindak pidana dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya.
h. Terjadinya pengulangan tindak pidana.
Sedangkan hal-hal yang meringankan yaitu:
a. Seseorang yang melakukan tindak pidana dan pada waktu itu
berumur 12 tahun atau lebih tetapi masih di bawah umur 18 tahun;
b. Seseorang mencoba melakukan atau membantu terjadinya tindak
pidana;
c. Seseorang setelah melakukan tindak pidana dengan sukarela
menyerahkan diri kepada yang berwajib;
d. Seorang wanita hamil muda melakukan tindak pidana;
e. Seseorang setelah melakukan tindak pidana dengan sukarela
memberi ganti kerugian yang layak atau memperbaiki kerusakan
akibat perbuatannya;
f. Seseorang melakukan tindak pidana karea kegoncangan jiwa yang
sangat hebat sebagai akibat yang sangat berat dari keadaan pribadi
atau keluarganya;
g. Pertimbangan yang berkaitan dengan pandangan korban dan
masyarakat.
Pertimbangan ini tidak harus mempengaruhi secara absolut
terhadap kalkulasi pemidanaan, sebab informasi yang berkaitan
dengan tindak pidana dan si pelaku merupakan faktor yang sangat
diperhitungkan. Kelemahannya yang sangat menonjol dalam hal ini
adalah sifat sentimentil dari pandangan ini.
Namun demikian, pandangan si korban dan masyarakat dan
sampai seberapa jauh kompensasi yang telah diberikan misalnya
kepada korban merupakan bahan pertimbangan pemidanaan yang
sangat penting. Dalam kaitannya dengan kedudukan korban dalam
sistem peradilan pidana, tidak menganut procedural right model
yang menempatkan korban sebagai pihak ketiga dalam sistem
89
peradilan tetapi cenderung untuk menggunakan services model,
sebab yang utama adalah bagaimana melayani dan membantu si
korban dalam rangka access to justice.
1) Perhatian terhadap setiap asas pemidanaan dan petunjuk-
petunjuk baik yang bersumber dari perundang-undangan,
yurisprudensi maupun dari kecenderungan-kecenderungan lain
seperti resolusi-resolusi internasional dan sebagainya.
2) Perhatian terhadap bobot pemidanaan baik yang bersifat umum
maupun yang bersifat khusus yang telah diputuskan oleh
pengadilan yang sama atau pengadilan yang lain.
Sekalipun Indonesia tidak menganut asas stare decisis
melalui apa yang dinamakan dengan the binding force of
precedent, tetapi yurisprudensi dari pengadilan dan Mahkamah
Agung merupakan keputusan-keputusan hakim yang perlu
diperhitungkan, khususnya dalam kasus-kasus yang memerlukan
penafsiran dan penjelasan dari yang lebih ahli seperti kasus-
kasus tindak pidana berat dan yang berkaitan dengan
pemidanaan yang bersifat kumulatif.
3) Pertimbangan terhadap tujuan pemidanaan yang hendak
ditetapkan.
Tujuan pemidanaan yang hendak diterapkan dirumuskan
antara lain sebagai berikut:
(1) Mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman
masyarakat;
(2) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan
berguna;
(3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkanm
rasa damai dalam masyarakat;
(4) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
4) Pertimbangan tentang hal-hal yang meringankan yang melekat
pada si pelaku tindak pidana seperti:
(1) Karakter yang baik;
(2) Rasa penyesalan yang dalam;
(3) Mengaku bersalah;
(4) Rekor pekerjaan yang baik;
(5) Masalah keluarga;
(6) Umur;
(7) Tidak cakap;
(8) Kemungkinan stres emosional;
(9) Kondisi fisik yang cacat;
(10) Pendapatan yang sangat rendah;
(11) Akibat provokasi.
90
5) Apabila lebih dari satu pidana diterapkan, perlu dilakukan
pemeriksaan atau peninjauan tentang sampai seberapa jauh efek
keadilan tercapai.
6) Apabila pidana yang pantas jauh lebih berat atau lebih ringan
dari pidana yang bersifat normal, maka harus diberikan alasan-
alasan yang jelas.
a. Teori Pemidanaan
Apabila mendasarkan pada teori pemidanaan di mana di
dalamnya terdapati teori absolut, yang menyatakan bahwa pidana
dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu
kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan
akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada
orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari
pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
Oleh karena itu, pemidanaan terhadap Angelina Sondakh merupakan
akibat dari perbuatannya yang merugikan negara dan masyarakat
ditambah dengan jabatannya yang seharusnya berperan sebagai
pelopor pemberantasan tindak kejahatan (korupsi) malah melakukan
tindak kejahatan (korupsi) tersebut.
Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan
jelas dalam pendapat Immanuel Kant bahwa “Pidana tidak pernah
dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan
tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi
masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena
orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.
91
Teori pemidanaan penganut teori retributief, salah satunya
Nigel Walker, para penganut teori retributif ini dapat pula dibagi
dalam beberapa golongan sebagai berikut:5
1) Penganut teori retributif yang murni (The pure retributivist)
yang berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan
dengan kesalahan si pembuat;
2) Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang
dapat pula dibagi dalam:
a) Penganut teori retributif tidak murni (the limiting
retributivist) yang berpendapat bahwa pidana tidak harus
cocok/sepadan dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh
melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan
terdakwa;
b) Penganut teori retributis yang distributif (retribution in
distribution) atau disingkat dengan teori distributif yang
berpendapat bahwa pidana janganlah dikenakan pada orang
yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus
cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip tiada
pidana tanpa kesalahan dihormati tetapi dimungkinkan
adanya pengecualian midalnya dalam hal “strict liability”.
Berkaitan dengan pemidanaan terhadap terdakwa Angelina
Sondakh, penjatuhan pemidanaan oleh Majelis Hakim Mahkamah
Agung yang lebih berat daripada pemidanaan dari peradilan tingkat
di bawahnya mendasarkan pada teori teori retributis yang distributif
(Retribution in distribution) atau disingkat dengan teori distributif
yang berpendapat bahwa pidana janganlah dikenakan pada orang
yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan
dan dibatasi oleh kesalahan, karena jelas ancaman pidana terhadap
tindak pidana korupsi lebih dari apa yang menjadi vonis Majelis
Hakim Mahkamah Agung, namun Majelis Hakim Mahkamah Agung
5 Ibid. h. 64
92
lebih mempertimbangkan kepada faktor-faktor yang memperberat
terdakwa sebagai seorang pemimpin yang seharusnya menjadi leader
di dalam pemberantasan korupsi dan menjadi teladan bagi
masyarakat karena secara teoritik, setiap pemidanaan harus
didasarkan paling sedikit pada keadaan-keadaan individual yang
berkaitan dengan tindak pidana yang bersangkutan dengan pelaku
tindak pidana. Meskipun dalam praktiknya, hal ini akan bervariasi
baik orang per orang maupun tindak pidana per tindak pidana dan
dengan demikian dapat dimengerti apabila tidak selalu tercapai.
b. Teori tanggung jawab hukum
Ditinjau dari teori tanggung jawab hukum, maka pemidanaan
terhadap Terdakwa Angelina Sondakh merupakan tanggung jawab
subjek hukum atau pelaku yang telah melakukan perbuatan melawan
hukum atau perbuatan pidana sehingga menimbulkan kerugian.
Tanggung jawab atau verantwoordelijkeheid adalah
kewajiban memikul pertanggungjawaban dan memikul kerugian
yang diderita (bila dituntut) baik dalam hukum maupun dalam
bidang administrasi.
Tanggung jawab hukum adalah jenis tanggung jawab yang
dibebankan kepada subjek hukum atau pelaku yang melakukan
perbuatan melawan hukum atau tindak pidana sehingga yang
bersangkutan dapat dituntut membayar ganti rugi dan atau
menjalankan pidana.
93
c. Teori Keadilan
Apabila dilihat dari bingkai keadilan berdasarkan Teori
Keadillan Hans Kelsen dalam yang memandang bahwa hukum
sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat
mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga
dapat menemukan kebahagian didalamnya.
Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat
positifisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan
aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nialai umum, namun
tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap
individu, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sudah memandang kejahatan ini sebagai kejahatan yang luar biasa
hingga harus diundangkan tersendiri secara khusus bahkan dengan
dengan membangun lembaga ad hoc yakni KPK. Sebagai tindak
pidana khusus maka ancaman hukuman di dalam Undang-undang
pemberantasan korupsi berusaha mengakomodir nilai-nialai umum,
namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan
tiap individu.
Teori keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam
hukum nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan
hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum (law
umbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional lainnya sesuai
tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat
94
terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan
hukum tersebut.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertimbangan Hakim dalam
Tujuan Pemidanaan (pengambilan keputusan)
a. Pertimbangan Yuridis
1) Pengadilan Negeri
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan
bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi Unsur-unsur di
dalam Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai mana diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat
(1) KUHP di mana menurut pendapat majelis hakim bahwa
berdasarkan fakta-fakta diperoleh fakta bahwa terdakwa telah
menerima hadiah atau janji berupa uang untuk pemenuhan 5%
dari nilai proyek di mana janji tersebut diberikan oleh Permai
Group/Mindo rosalina Manulang kepada terdakwa dan dapat
dibuktikan atas janji tersebut dilakukan penyerahan sejumlah
uang sebanyak 4 (empat) kali dengan jumlah sebesar Rp.
2.500.000.000 (dua milyar lima juta rupiah) dan US $ 1.200.000
(satu juta dua ratus ribu dular amerika) di mana merupakan
realisasi janji yang diberikan oleh Permai Group melalui saksi
Mindo rosalina kepada terdakwa maka dapat disimpulkan bahwa
pemberian hadiah atau janji tersebut adalah dalam hubungan
95
dengan usulan atau pembahasan proyek di Kementrian
Pendidikan sehingga dengan perbuatan terdakwa merupakan
tindak pidana dari Dakwaan Ketiga yakni melanggar Pasal 11 jo
Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
2) Pengadilan Tinggi
Setelah Majelis Hakim tingkat banding memeriksa dan
meneliti serta mencermati dengan seksama berkas perkara
beserta turunan resmi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 54/Pid.B/TPK/2012 /PN.Jkt.Pst tanggal 10 Januari 2013,
serta memori banding dari penuntut umum maka majelis hakim
tingkat banding sependapat dengan pertimbangan majelis hakim
tingkat pertama yang telah mempertimbangkan dengan tepat dan
benar menurut hukum dan pertimbangan tersebut diambil alih
serta dijadikan sebagai pertimbangan majelis hakim tingkat
banding dalam memutus perkara ini serta menjadi bagian dan
dianggap telah memuat dalam putusan.
3) Kasasi
Pertimbangan yuridis dari majelis hakim tingkat kasasi
adalah sebagai berikut:
Pertama, judex facti (Pengadilan Tinggi) telah salah atau keliru
dalam menilai dan menerapkan ketentuan mengenai
alat bukti elektronik sebagaimana yang ditentukan
dalam Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2008 tentang
96
Informasi dan Transaksi Elektronik, maka patut dan
selayaknya putusan judex facti (Pengadilan Tinggi)
dibatalkan, dengan pertimbangan alat bukti tersebut
tidak memenuhi syarat formil dan materiil.
a) Syarat Formil
Persyaratan formil alat bukti elektronik diatur dalam Pasal 5
ayat (4) dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor: 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu:
Informasi atau Dokumen Elektronik tersebut bukanlah:
(1) Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk tertulis;
(2) Surat beserta Dokumennya yang menurut Undang-
Undang harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris atau
akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta,
Penggeledahan atau penyitaan dan tetap menjaga
terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
b) Syarat Materil
Persyaratan materil alat bukti elektronik diatur dalam: Pasal
5 ayat (3) Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa:
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
ini.
Kedua, judex facti (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah
menerapkan hukum dalam menyimpulkan tugas,
tanggung jawab, fungsi dan wewenang Pemohon
Kasasi II/Terdakwa terkait proses pembahasan dan
persetujuan Anggaran Ditjen Dikti Kemendiknas pada
APBN Perubahan Tahun Anggaran 2010 dan APBN
Tahun Anggaran 2011.
Ketiga, judex facti (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah
menerapkan hukum dalam membuktikan penerimaan
dan penyerahan sejumlah uang Rp. 2.500.000.000,00
(dua milyar lima ratus juta rupiah) dan sebesar US $
1.200.000,00 (satu juta dua ratus Dollar Amerika
Serikat) dan dalam membuktikan penyerahan sejumlah
uang dimaksud yang dilakukan oleh Kurir Pengantar
Uang maupun Kurir Penerima Uang, dengan cara
mengesampingkan hukum pembuktian, lalai
memperhatikan dan menilai pembuktian, dan tidak
memperhatikan secara seksama fakta-fakta hukum
maupun bukti-bukti yuridis yang diperoleh di
persidangan perkara a quo, sebagaimana pertimbangan
judex facti (Pengadilan Negeri) pada halaman 308 s/d
313 putusan.
97
Keempat, judex facti (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah
menerapkan hukum dalam menafsirkan
pertanggungjawaban hukum yang dibebankan kepada
Pemohon Kasasi II/Terdakwa dan judex facti salah
dalam menafsirkan pertemuan di Restoran FX Senayan
Jakarta antara Pemohon Kasasi II/Terdakwa, saksi
Mindo Rosalina Manulang, dan saksi Harris Iskandar
sehingga perbuatan Pemohon Kasasi II/Terdakwa
disimpulkan telah melakukan penggiringan anggaran
dalam pembahasan APBN Perubahan Tahun Anggaran
2010 dan APBN Tahun Anggaran 2011 pada Ditjen
Dikti Kemendiknas, dengan cara mengesampingkan
hukum pembuktian dan tidak memperhatikan secara
seksama fakta-fakta hukum dan bukti-bukti yuridis
yang diperoleh di persidangan perkara a quo,
sebagaimana pertimbangan judex facti (Pengadilan
Negeri) pada halaman 292 s/d 296 butir 9 putusan atas
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
Mengenai alasan ke-1: Bahwa alasan kasasi Terdakwa tidak
dapat dibenarkan, karena perbuatan Terdakwa yang
secara aktif melakukan upaya menggiring Anggaran
Kemendiknas agar Proyek-proyek Pembangunan dan
Pengadaan dan Nilai Anggarannya sesuai dengan
permintaan Permai Grup lalu Terdakwa mendapat uang
Rp12.580.000.000,00 (dua belas milyar lima ratus
delapan puluh juta rupiah) dan US $ 2.350.000,00 (dua
juta tiga ratus tiga puluh ribu Dollar Amerika Serikat)
merupakan tindak pidana Korupsi;
Mengenai alasan-alasan ke-2 sampai dengan ke-4 : Bahwa
alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh
karena alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil
pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu
kenyataan, alasan semacam itu tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat
kasasi, karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya
berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan
hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan
sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili
tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang,
dan apakah Pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(Undang-Undang No.8 Tahun 1981);
98
Berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan
judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi II/Terdakwa tersebut harus ditolak.
Memperhatikan Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 UUPTPK jo
Pasal 64 ayat (1) KUHP serta peraturan perundang-undangan yang
lain maka Majelis Hakim di Mahkamah Agung menjatuhakn pidana
menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi II/Terdakwa
Angelina Sondakh dan mengabulkan permohonan kasasi I : Penuntut
Umum pada KPK serta membatalkan putusan Pengadilan Tinggi
Jakarta No. 11/Pid.TPK/2013/PT.DKI tanggal 22 Mei 2013 yang
telah menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.
54/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst tanggal 10 Januari 2013.
Mahkamah Agung juga menjatuhkan pidana tersendiri dalam
putusannya :
1) Menyatakan terdakwa Angelina Sondakh terbukti secara sah dan
menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara
berlanjut;
2) Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 12 (dua belas) tahun dan denda sebesar Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila
benda tersebut tiak dibayar diganti dengan pidana kurungan
selam 8 (delapan) bulan;
3) Menghukum pula terdakwa untuk membayar uang pengganti
sebesar Rp. 12.580.000.000,- dan US$ 2.350.000,- dengan
ketentuan jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling
lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh
Jaksa dan di lelang untuk membayar uang pengganti dan dengan
ketentuan dalam hal terpindan tidak mempunyai harta yang
99
mencukupi membayar uang pengganti tersebut, maka akan
diganti dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun.
Berdasarkan dari putusan di atas, maka dapat diketahui
bahwa Mahkamah Agung menjatuhkan pidana lebih berat dari pada
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi
Jakarta menggunakan teori pemidanaan pembalasan (absolut).
Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien)
sebagaimana dikemukakan oleh Kant dan Hegel, bahwa hukuman itu
adalah suatu akibat dilakukannya suatu kejahatan. Sebab, melakukan
kejahatan maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat
mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang
berlawanan dengan keadilan harus menerima pembalasan. Manfaat
hukuman bagi masyarakat bukanlah hal yang menjadi pertimbangan
tetapi hukuman harus dijatuhkan.
Dari teori pemidanaan pembalasan tersebut di atas, maka
nampak jelas bahwa pidana merupakan suatu tuntutan etika. Setiap
kejahatan harus disusul dengan pidana. Sejalan dengan itu,
dijelaskan bahwa: “Menurut etika Spinoza, tiada seorang pun boleh
mendapat keuntungan karena kejahatan yang telah dilakukan (ne
malis ex pediat esse malos)”.6 Pidana harus memenuhi 3 (tiga) syarat
:7
6 Andi Hamzah, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Indonesia, Akademika
Presindo, Bandung, 1993, h. 32
7 Ibid, h. 33
100
1) Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan
yang bertentangan dengan etika, yaitu sah bertentangan dengan
kesusilaan dan tata hukum obyektif.
2) Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi.
3) Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan berat delik,
ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.
Dari pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa dasar
dijatuhkannya hukuman ANGELINA PATRICIA PINKAN
SONDAKH melakukan perbuatan korupsi, itu tidak lain karena
kejahatan itu sendiri. Adapun akibat positif maupun negatif dan
pemidanaan itu bukanlah merupakan tujuan. Tujuan yang
sebenarnya adalah penjara atau penderitaan.
Hal ini karena ANGELINA PATRICIA PINKAN
SONDAKH melakukan perbuatan korupsi sehingga mengakibatkan:
1) Menimbulkan kerugian negara sebesar Rp. 12.580.000.000,00
(dua belas milyar lima ratus delapan puluh juta rupiah) dan US $
2.350.000,00 (dua puluh juta tiga ratus lima puluh ribu Dollar
Amerika Serikat);
2) Perbuatan korupsi bersama-sama / terorganisasi; Terakwa
melakukan perbutan bersama-sama dengan Muhammad
Nazarudin, Mindo Rosalina Maulang dan Wafid Muharam.
Kesengajaan yang ditujukan dalam hal kerjasamanya untuk
mewujudkan tindak pidana, ialah berupa keinsyafan/kesadaran
seseorang peserta terhadap peserta lainnya mengenai apa yang
diperbuat oleh masing-masing dalam rangka mewujudkan tindak
pidana yang sama-sama dikehendaki.
3) Tersangka selaku Anggota DPR RI tidak memberi teladan
kepada masyarakat.
4) Korupsi dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa (extra
ordenery crime). Korupsi bukan lagi sebuah kejahatan yang
biasa, dalam perkembangannya korupsi telah terjadi secara
sistematis dan meluas. Menimbulkan efek kerugian negara dan
dapat menyengsarakan rakyat. Karena itu korupsi kini dianggap
sebagai kejahatan luar bisa (extra ordinary crime). Korupsi juga
dapat memberikan dapak negatif demokrasi, bidang ekonomi
dan kesejahteraan umum negara. Dampak negatif terhadap
demokrasi korupsi mempersulit demokrasi dan tata
101
pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara
menghancurkan proses formal. Secara umum, korupsi
mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena
pengabaian prosedur penyedotan sumberdaya, dan pejabat
diangkat atau dinaikkan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat
yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan
dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi. Dampak
negatif terhadap bidang ekonomi, korupsi juga mempersulit
pembangunan ekonomi karena tidak efisien yang tinggi. Dalam
sektor private korupsi meningkatkan ongkos niaga karena
kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos managemen dalam
negoisasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan
perjanjian atau karena penyelidikan. Dampak negatif terhadap
kesejahteraan umum, Korupsi politis ada di banyak negara.
Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman
besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti
kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi
sogok, bukan rakyat luas.
Pertimbangan yang meringankan terdakwa dikesampingkan
oleh Mahkamah Agung antara lain:
1) Terdakwa belum pernah di hukum.
2) Terdakwa relatif masih muda, sehingga diharapkan dapat
memperbaiki perbuatannya dimasa yang akan dating;
3) Berjasa mewakili bangsa dan negara dalam forum nasional
maupun internasional.
b. Pertimbangan Sosiologis
Dalam penjatuhan putusan pidana, majelis hakim telah
mempertimbangkan mengenai keadaan yang melingkup terhadap
terdakwa yaitu hal-hal yang memberatkan dan meringankan
sehingga penjatuhan pidana terhadap terdakwa telah
mempertimbangkan segala aspek yaitu rasa keadilan untuk
masyarakat, negara dan terdakwa sendiri.
Faktor-faktor yang memberatkan bagi terdakwa adalah
bahwa perbuatan terdakwa dapat memicu tindak pidana korupsi
102
berikutnya dalam penggiringan pemenangan tender proyek,
perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam
memberantas tindak pidana korupsi, perbuatan terdakwa dapat
merenggut hak sosial dan hak ekonomi masyarakat, terdakwa
merupakan wakil rakyat dan publik figure, tidak mengakui dan
menyesali perbuatanya. Sedangkan pertimbangan yang meringankan
bagi terdakwa adalah Terdakwa berlaku sopan dalam persidangan,
terdakwa merupakan orang tua tungal dan mempunyai tanggungan
keluarga yakni anak-anak yang masih kecil, terdakwa belum pernah
dihukum dan masih berusia muda, terdakwa memiliki jasa pernah
mewakili bangsa dan negara Indonesia di forum nasional dan
internasional dan terdakwa pernah mendapatkan penghargaan dari
Menteri Sosial Republik Indonesia.
Jadi dalam hal ini terpidana ANGELINA PATRICIA
PINKAN SONDAKH melakukan perbuatan korupsi, apa yang
dirumuskan Majelis hakim benar-benar sudah sesuai dengan muatan
hukum dan kesesuaian dengan Pasal Undang-Undang Tipikor sudah
tepat. Karena terbukti dalam Putusannya tersebut Hakim
menambahkan masa hukuman menjadi 5 tahun penjara dan dalam
Pasal 11 Undang-Undang Tipikor hukuman minimalnya adalah 4
tahun pidana penjara.
Berdasarkan dari pernyataan-pernyataan perkara korupsi
yang telah dikemukakan di atas jelas bahwa tindakan korupsi adalah
103
suatu tindakan yang sama sekali tidak mencerminkan
prikemanusiaan, merupakan tindakan amoral, suatu tindakan yang
dapat menghancurkan moral suatu bangsa, bahkan mengakibatkan
suatu bangsa tak ada harga diri lagi dihadapan bangsa-bangsa lain.
Akibat dari hukuman-hukuman yang telah ada untuk para
koruptor mungkin belum sepenuhnya membuat orang merasa jera
untuk melakukan tindakan korupsi, hal itu dikarenakan bahwa
hukuman tindak pidana korupsi masih dianggap lemah, oleh karena
itu perlu adanya hukuman tambahan sebagaimana seperti yang telah
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam Pasal 10
huruf b angka 1 disebutkan adanya pidana tambahan berupa
pencabutan hak-hak tertentu. Pasal tersebut kemudian didukung oleh
Pasal 35 ayat (1) yang menyebutkan, hak terpidana dapat dicabut
dengan putusan hakim, diantaranya hak memegang jabatan pada
umumnya atau jabatan tertentu, hak memasuki hukuman bersenjata,
serta hak memilih dan dipilih dalam pemilu.
Seperti diberitakan, jaksa KPK menuntut Djoko Susilo
dengan pidana penjara 18 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider satu
tahun kurungan. Djoko dibebani kewajiban membayar uang
pengganti kerugian negara sebesar Rp 32 miliar subsider 5 tahun
kurungan. Tak hanya itu, jaksa Jaksa KPK juga memohon majelis
hakim juga menjatuhkan hukuman tambahan yaitu tak boleh
memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Hal ini dilakukan sebagai
104
terobosan untuk membuat koruptor jera. Selama ini, praktik politik
indonesia masih memberikan tempat kepada bekas narapidana
korupsi bahkan diantara mereka dipromosikan dengan jabatan baru.8
Senada juga dikemukakan Peneliti Indonesia Corruption
Watch, Abdullah Dahlan, menyatakan “sudah saatnya pelaku korupsi
diberi sanksi hukum dan sanksi politik, koruptor itu telah berhianat
membawa mandat publik dalam jabatan publiknya sehingga wajar
jika ada hukuman tambahan agar tak lagi menduduki jabatan
publlik”.9 Ini termasuk salah satu dari anggota masyarakat yang
tidak berkenan dengan dibolehkannya mantan pejabat
publik/terpidana korupsi untuk dapat menduduki jabatan publik
tersebut, sebagaimana yang dilakukan Angelina Sondakh dalam
putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun mahkamah
agung.
c. Pertimbangan Filosofis
Pertimbangan filosofis dalam pemidanaan terhadap Angelina
Sondakh pada Putusan Kasasi yang lebih berat dibandingkan dengan
putusan peradilan tingkat di bawahnya,
Secara fiolosofis mengenai lamanya pidana penjara diatur
dalam Pasal 12 KUHP:
(1) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
8 http://choiceoflaw.blogspot.com/2015/02/hukuman-bagi-mantan-koruptor.html,
diakses pada tanggal 21 Maret 2015 9 www.kpk.go.id yang diposting pada 22 Agustus 2013, diakses pada tanggal 17 Maret
2015
105
(2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu
hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk
dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang
pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana
penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu,
begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui
karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan Pasal
52.
(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-sekali tidak boleh
lebih dari dua puluh tahun.
Pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum
pidana penjara adalah paling sedikit satu hari dan paling lama dua
puluh tahun kecuali apabila hakim memilih pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, maka pidana seumur hidup dapat dijatuhkan.
KUHP juga dalam setiap rumusan pasal demi pasal terdapat
maksimum khusus pidana penjara untuk masing-masing tindak
pidana.
Di dalam hukum pidana positif Indonesia, hakim mempunyai
kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (strafsoort)
yang dikehendaki, sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif
di dalam pengancaman pidana di dalam undang-undang.10 Di
samping itu, hakim juga mempunyai kebebasan untuk memilih
beratnya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang
ditentukan oleh undang-undang hanyalah maksimum dan
minimumnya. Misalnya, dalam Pasal 12 ayat (2) KUHP yang
menyatakan bahwa pidana penjara selama waktu tertentu paling
10 Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit. h. 56
106
pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-
turut. Sedangkan untuk pidana kurungan di dalam Pasal 18 ayat (1)
KUHP menyatakan bahwa kurungan paling sedikit adalah satu hari
dan paling lama satu tahun.
Menurut Ruslan Saleh seperti yang dikutip oleh Muladi dan
Barda Nawawi, dalam batas-batas maksimal dan minimal tersebut,
hakim bebas bergerak untuk mendapatkan pidana yang tepat. Lebih
jauh lagi, Sudarto menyatakan sebagai berikut:
“KUHP kita tidak memuat pedoman pemberian pidana
(strafttoemetingsleiddraad) yang umum, ialah suatu pedoman
yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat
asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam
menjatuhkan pidana, yang ada hanya aturan pemberian
pidana (straftoemetingsregels)”.
Selain dalam KUHP yang tidak ada pedoman pemidanaan
(straftoemetingsleiddrad), hakim dalam menjatuhkan pidana
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang ada di dalam
benaknya itu, yang memberatkan dan meringankan saja di luar
Undang-undang. Misalnya terlalu muda, cara ia melakukan atau
yang lain.
Kemudian adanya disparitas pidana adalah bersumber pada
diri hakim, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Menurut
Hood dan Sparks yang juga disadur oleh Muladi dan Barda Nawawi,
sifat internal dan eksternal pada diri hakim kadang-kadang sulit
dipisahkan, karena sudah terpadu sebagai atribut seseorang yang
disebut sebagai “human equation” atau “personality of the judge”
107
dalam arti luas yang menyangkut pengaruh-pengaruh latar belakang
sosial, pendidikan, agama, pengalaman, perangai dan perilaku
sosial.11 Hal tersebut ditegaskan pula oleh Al Wisnubroto yang
menjelaskan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
hakim dalam mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor
(internal) yang mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan
suatu keputusan, adalah:12
1) Faktor Subyektif
a) Sikap dan perilaku yang apriori
Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara
sejak awal dihinggapi suatu prasangka atau dugaan bahwa
terdakwa bersalah, sehingga harus dihukum atau dinyatakan
sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan
dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern,
yakni asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)
dalam perkara pidana.
Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak dan
tidak adil ini dapat saja terjadi karena hakim terjebak oleh
rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target
penyelesaian yang tidak seimbang.
b) Sikap perilaku emosional
Perilaku hakim yang mudah tersinggung,
pendendam dan pemarah akan berbeda dengan perilaku
hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam
menangani suatu perkara. Hal ini sangat berpengaruh pada
hasil keputusannya.
c) Sikap Arrogence Power
Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya
berkuasa dan pintar melebihi orang lain seperti jaksa,
penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang
berperkara lainnya, seringkali mempengaruhi suatu
keputusan.
11 Ibid., h. 58. 12 Al-Wisnubroto, Hakim dan Peradilan di Indonesia, Cet. I, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, 1997, h. 88-90. Bandingkan pula dengan: Yahya Harahap, Putusan Pengadilan
Sebagai Upaya Penegakan Keadilan,: Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 1989, h.
8.
108
d) Moral
Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital
bagi insan penegak keadilan, terutama hakim. Faktor ini
yang berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap
cobaan-cobaan yang mengarah pada penyimpangan,
penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya. Bagaimanapun
juga, pribasi seorang hakim diliputi tingkah laku yang
didasari oleh moral pribadi hakim tersebut, terlebih dalam
memeriksa serta memutus suatu perkara.
2) Faktor Obyektif
a) Latar belakang sosial, budaya dan ekonomi
Latar belakang sosial seorang hakim mempengaruhi
sikap perilaku hakim. Dalam beberapa kajian sosiologis
menunjukkan bahwa hakim yang berasal dari status sosial
tinggi berbeda cara memandang suatu permasalahan yang
ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal dari
lingkungan status social menengah atau rendah. Selain itu
juga kebudayaan, agama dan pendidikan seorang hakim
juga ikut mempengaruhi suatu putusan hakim. Dan satu hal
lagi yang mempengaruhi perilaku hakim adalah latar
belakang ekonomi. Bisa saja karena desakan ekonomi,
seorang hakim yang pada awalnya memiliki pendirian yang
teguh, memiliki komitmen yang kuat pada idealismenya,
secara berangsur-angsur melemahkan pendiriannya dan
menjadikannya bersikap pragmatis. Pada taraf inilah bisa
saja mendorong hakim berani melakukan “unjustice action”
hanya untuk mendapatkan imbalan materi. Faktor ini tentu
saja tidak bersifat absolut, sebab hakim yang memegang
teguh kode etik kehormatan hakim, tidak dapat dipengaruhi
oleh faktor apapun, termasuk desakan ekonomi.
b) Profesionalisme
Profesionalisme yang meliputi knowledge dan skill
yang ditunjang dengan ketentuan dan ketelitian merupakan
factor yang memengaruhi cara hakim dalam mengambil
keputusan. Masalah ini juga sering dikaitkan dengan kode
etik di lingkungan peradilan. Oleh sebab itu, hakim yang
menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada
etika profesi tentu akan menghasilkan putusan yang lebih
dapat dipertanggungjawabkan karena tujuannya tiada lain
untuk menyelesaikan perkara, menegakkan hukum dan
memberikan keadilan.
Sehubungan dengan faktor tersebut di atas, faktor lainnya ialah
tidak adanya pedoman bagi hakim di dalam menjatuhkan pidana.
109
Disamping itu juga faktor hakim sendiri ketidakjelasan pemahamannya
terhadap makna dari penjatuhan pidana.
Muladi merujuk di dalam observasinya yang dilakukan oleh Reid
mengenai persepsi seorang hakim tentang ras diskriminasi dan
implementasinya di dalam penjatuhan pidana di Amerika Serikat. Dia
menyatakan bahwa pada khususnya orang-orang yang berkulit hitam
(negro) sering diperlakukan tidak adil didalam pemidanaan. Pidana
biasanya lebih berat dan jarang diberikan lepas bersyarat (parole) atau
probation (semacam pidana percobaan).13
Bila dibandingkan dengan pelaku tindak pidana yang berkulit
putih, mereka jarang mendapatkan pengampunan (grasi) dan jarang pula
mendapatkan komutasi (perubahan pidana) sehubungan dengan pidana
mati yang dijatuhkan terhadap mereka.
Dalam kerangka kebebasan hakim untuk menentukan berat-
ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas
maksimal hukuman ataupun untuk memilih jenis hukuman. Dalam
maksimal dan minimal tersebut, hakim pidana adalah bebas dalam
mencari hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa secara tepat.
Selanjutnya, Muladi mengutip Molly Cheang yang berpendapat bahwa
persepsi hakim terhadap “philosophy of punishment” dan “the aims of
13 Ibid., h. 59.
110
punishment” yang dikatakan sebagai “the basic difficulty”, sangat
memegang peranan penting didalam penjatuhan pidana.14
Seorang hakim barangkali berpikir bahwa tujuan berupa
deterrence hanya dapat dicapai dengan pidana penjara. Namun di lain
pihak dengan tujuan yang sama, hakim lain akan berpendapat bahwa
pengenaan denda akan lebih efektif. Nyoman Serikat Putra Jaya
berpendapat bahwa terlaksana tidaknya tujuan pemidanaan itu tergantung
dari pandangan hakim sendiri tentang tujuan pidana. Kalau hakim
menjatuhkan pidana dengan tujuan untuk balas dendam, pasti akan
memberikannya lebih berat. Namun, ada yang lebih ditekankan lagi,
yaitu bagaimana memperbaiki si pelaku menjadi orang baik dan
bagaimana supaya dia kembali kepada masyarakat. Jadi, disini yang
menentukannya adalah bagaimana proses selanjutnya pembinaan di
Lembaga Pemasyarakatan. Karena putusan hakim itu tidak serta merta
mewujudkan tujuan-tujuan pemidanaan.
Hakim di dalam menjatuhkan putusan pemidanaannya, tentunya
memperhatikan hal-hal yang dapat digunakan sebagai pertimbangan
untuk menjatuhkan jenis dan berat ringannya pemidanaan.15 Hal-hal
tersebut adalah hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan
14 Ibid 15 Pertimbangan hakim dalam putusan yang mengandung pemidanaan ada dua, yaitu
pertama, pertimbangan yang bersifat yuridis antara lain: dakwaan jaksa penuntut umum,
keterangan terdakwa dan saksi, barang-barang bukti dan pasal-pasal dalam peraturan hukum
pidana; kedua, pertimbangan yang bersifat non yuridis antara lain: latar belakang perbuatan
terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa,keadaan sosial ekonomi terdakwa dan
faktor-faktor agama terdakwa. Lihat: Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia,
Ed. I, Cet. I, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 124-145.
111
pemidanaan baik yang terdapat di dalam undang-undang maupun di luar
undang-undang.
Penjelasan di atas, maka dalam pertimbangan filosofis bahwa
penjatuhan pidana terhadap Terdakwa Angelina Sondakh dalam tindak
pidana korupsi juga tidak lepas dari faktor yang bersumber dari
pemahaman dari hakim itu sendiri di mana peranan hakim dalam sidang
pengadilan adalah mencari kebenaran materiil tanpa meninggalkan
kebenaran formilnya dari suatu tindak pidana dan menentukan salah satu
atau tidaknya terdakwa, sehingga dengan adanya peranan hakim ini dapat
terciptanya kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya adil. Hakim
bukan hanya memeriksa berkas perkara dan mendengarkan keterangan
dari para pihak saja, sehingga kebenaran materiil dan kebenaran formil
dari suatu perkara dapat ditemukan.
Sistem penyelenggaraan hukum pidana (Criminal Justice System)
pidana menempati posisi sentral, hal ini disebabkan karena keputusan
didalam pemidanaan akan mempunyai konsekwensi yang luas, baik yang
menyangkut langsung terhadap pelaku tindak pidana maupun masyarakat
secara luas, lebih-lebih jika putusan pidana tersebut dianggap tidak tepat.
Hakim sebagai pejabat yang berwenang menjatuhkan putusan
pidana terhadap terdakwa disidang pengadilan, menjadikannya sebagai
faktor yang sangat menentukan terjadinya perbedaan pemidanaan antara
peradilan tingkat pertama, banding dan kasasi. Terjadinya perbedaan
pemidanaan antara peradilan tingkat pertama, banding dan kasasi dalam
112
tindak pidana korupsi yang bersumber dari diri hakim dalam memeriksa
suatu perkara khususnya perkara korupsi.
Terjadinya perbedaan putusan didasarkan pada dakwaan Jaksa
Penuntut Umum dan fakta-fakta dalam persidangan berupa keterangan
saksi-saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti lainnya. Perbedaan
ancaman pidana dapat memberikan keleluasaan hakim dalam memutus
perkara.
Pertimbangan Hakim dalam Putusan Perkara Korupsi Angelina
Sondakh secara fiolsofis, Kekuasaan kehakiman di dalam Undang-
Undang Dasar 1945 diatur pada Pasal 24 dan Pasal 24 A, Pasal 24B dan
Pasal 24C p tentang Kekuasaan Kehakiman. Perwujudan amanat ini
dituangkan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Kemudian Pelaksaaan operasional kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung. Kekuasaan yang dimaksud
merupakan suatu kaidah yang berisi suatu hak, yaitu hak untuk
menentukan hukum. Sehingga dapat diartikan kekuasaan sebagai kaidah
yang mengandung makna perkenaan atau kebolehan untuk bertindak.
Motif melakukan suatu tindak pidana bisa menjadi hal-hal yang menjadi
pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara, pada dasarnya
Angelina Sondakh memiliki motif dalam melakukan suatu tindak pidana
korupsi.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan Terdakwa Angelina
Sondakh dilakukan secara bersama-sama dengan fungsinya masing-
113
masing secara sistematis sehingga kasus ini Angelina Sondakh memiliki
perannya masing-masing -masing.
Hal-hal yang meringankan dan memberatkan juga menjadi dasar
berat ringannya suatu putusan. Hal-hal yang memberatkan dan
meringankan penting dicantumkan dalam suatu putusan karena pada
dasarnya itu menjadi pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis.
Kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana korupsi
berbeda-beda satu sama yang lainnya walaupun pasal yang dikenakan
sama tetapi ada perbedaan kerugian yang ditimbulkan dan juga
sebagaimana kerugian tersebut telah dinikmati atau belum sehingga
hakim dalam memutuskan suatu perkara dapat mempertimbangkan aspek
kerugian yang bersifat materiil maupun non materiil yang ditimbulkan
terkait putusan pidana Angelina Sondakh.
Menurut penulis, berdasarkan fakta-fakta di persidangan, Angelia
Sondakh sebagai anggota DPR terdakwa mempunyai kewenangan
membahas pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas
anggaran bersama Pemerintah sebagai acuan bagi setiap
Kementerian/Lembaga dalam menyusun usulan anggaran, berdasarkan
kesepakatan internal di Komisi X, Terdakwa ditunjuk menjadi
Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Anggaran yang bertugas
menindaklanjuti kesepakatan anggaran dengan mitra kerja yakni
Kemendiknas dan Kemenpora melalui Rapat Kerja dan Rapat Dengar
Pendapat dalam Badan Anggaran, Terdakwa kemudian diajak oleh
114
Muhammad Nazaruddin (rekan sesama anggota DPR) bertemu dengan
Mindo Rosalina Manulang dan beberapa orang lainnya dari Permai Grup
yakni Gerhana Sianipar, Clara Mauren, Silvy dan Bayu Wijokongko di
Restoran untuk saling berkenalan sebagai sesama Pengusaha.
Mindo Rosalina Manulang adalah pihak yang nantinya
berhubungan dengan Terdakwa dalam rangka mendapatkan proyek-
proyek di Kemendiknas dan di Kemenpora setelah berbagi nomer hand
phone dan pin BBM.
Setelah pertemuan tersebut Mindo Rosalina kembali bertemu
terdakwa guna menanyakan kesediaan Terdakwa untuk menggiring
anggaran di Kemendiknas dan Kemenpora, untuk kerjasama berupa
Proyek-Proyek Pembangunan/Pengadaan dan Nilai Anggaran yang
disesuaikan dengan permintaan Permai Grup.
Terdakwa menyanggupinya dengan syarat awal Permai Group
harus membuat proposal tentang usulan kegiatan dari Universitas-
Universitas, serta memastikanya ke Biro Perencanaan Ditjen Dikti
Kemendiknas.
Setelah mempelajari berkas yang diajukan Mindo Rosalina,
pertengahan Maret 2010 terdakwa menyanggupi permintaan Permai Grup
dengan meminta imbalan uang (fee) sebesar 7% (tujuh persen) dari nilai
proyek, dengan sistem 50% pada saat pembahasan dilakukan dan setelah
DIPA turun atau disetujui.
115
Terhadap permintaan tersebut Nazaruddin memerintahkan Mindo
Rosalina supaya fee yang diminta terdakwa dapat dikurangi. Terdakwa
akhirnya mau mengurangi fee menjadi 5%.
Setelah disetujui, Terdakwa kemudian memprakarsai pertemuan
Mindo Rosalina Manulang dan Harris Iskandar selaku Sekretaris
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kemendiknas guna mempermudah
upaya penggiringan anggaran di Kemendiknas sesuai dengan permintaan
Permai Grup.
Selanjutnya Terdakwa mengikuti kegiatan pembahasan rapat-
rapat di Badan Anggaran DPR RI membahas alokasi Anggaran APBN-P
2010 dan APBN 2011, dalam rapat Terdakwa mengajukan usulan
program kegiatan sebagai aspirasi dari Komisi X, yang awalnya tidak
diusulkan Kemendiknas.
Terdakwa beberapa kali melakukan komunikasi melalui telepon
ataupun BBM dengan Mindo Rosalina Manulang untuk membicarakan
tindak lanjut dan perkembangan upaya penggiringan anggaran serta
imbalan uang (fee) yang sebelumnya telah dijanjikan, Memenuhi janji
tersebut, maka Permai Grup memberikan sejumlah uang kepada
Terdakwa beberapa kali secara bertahap yakni : pertama, Rp 70 juta - Rp
2 Milyar - Rp 5 Milyar - Rp 5 Milyar - 300.000 Dollar - 750.000 Dollar -
500.000 Dollar – 400.000 Dollar, dan terakhir sebesar Rp 10 Juta Rupiah,
sehingga total keseluruhan uang yang diterima terdakwa dari Permai
Group adalah Rp. 12.580.000.000,00 (dua belas milyar lima ratus
116
delapan puluh juta rupiah) dan US $.2.350.000,00 (dua juta tiga ratus
lima puluh ribu Dollar Amerika Serikat).
Jika mengacu pada Pasal 253 KUHAP, MA memiliki
kewenangan untuk mengadili perkara khususnya dalam perkara pidana
jika: hakim sebelumnya salah menerapkan hukum, hakim sebelumnya
tidak menerapkan hukum acara sebagaimana mestinya atau hakim
tersebut telah melampaui kewenagan yang ia miliki. Berdasarkan Pasal
tersebut jika salah satu syarat atau secara alternatif dapat dipenuhi, maka
MA melalui kewenaganya dapat “mengadili sendiri” perkara yang
bersangkutan. Untuk menjalankan fungsinya tersebut, maka MA akan
atau bisa saja menilai fakta dari perkara yang bersangkutan dari awal
hingga akhir, lalu kemudian membuat putusan sendiri, yang mana
mungkin saja hal itu akan memberikan pidana yang lebih berat atau
bahkan lebih ringan dari putusan hakim pada judex factie sebelumnya
tergantung bagaimana hasil pembuktian yang ia. Jadi Pasal 253 KUHAP
itu harus dipedomani dalam hal kasasi dilakukan dalam kasus pidana.
Kewenangan MA yang demikian adalah sangat penting karena
didalam praktek cenderung hakim judex factie keliru dalam menjalankan
kewenanganya dalam mengadili suatu perkara, misalnya dalam kasus
Angelina Sondakh di atas. Semenjak penyusunan dakwaan telah
ditemukan kesalahan-kesalahan oleh jaksa, sehingga akhirnya putusan
yang dijatuhkanpun menjadi keliru atau tidak tepat.
117
Adapun dakwaan yang dibuat oleh jaksa adalah berbentuk
alternative, padahal seharusnya dakwaan tersebut disusun secara
subsideritas. Karena secara logika dasar saja, jika dakwaan alternative,
maka sifatnya pilihan sehingga hakim yang mengadili perkarapun tidak
harus menggali kebenaran materil masing masing unsur pasal, namun
cukup memilih salah satu saja yang jika menurutnya sudah terbukti,
itulah yang dijadikan dasar memutuskan pidana.
Kesalahan berikutnya, dalam putusan terkait penggunaan Pasal 12
dan Pasal 5 UU Tindak Pidana Korupsi. Secara umum Pasal 12
merupakan delik yang bisa terpenuhi baik secara sengaja ataupun lalai
sedangkan pada Pasal 5 deliknya adalah delik opset sehingga mutlak 5
tahun. Logikanya bagaimana hakim bisa memilih Pasal 5, sedangkan
dalam kasus Anggelina Sondakh jelas suap yang diterima oleh si pelaku
lantaran adanya sikap aktif dari dirinya untuk meminta dan melakukan
serangkaian kegiatan agar ia mendapatkan uang dari si pemberi suap.
Sehingga dengan kondisi demikianlah diperlukan MA sebagai
lembaga yang menjamin bahwa kekeliruan dalam hukum acara pidana
bisa diperbaiki, agar putusan hakim dapat memenuhi rasa keadilan baik
bagi si pelaku dan masyarakat pada umumnya sebagai korban tidak
langsung dari tindak pidana korupsi yang terjadi. Adapun hal yang
mendasari kewenangan pengadilan yang lebih tinggi tersebut untuk
memperbaiki kekeliruan hukum yang terjadi dilakukan oleh MA melalui
tugas dan kewenanganya dalam hal pengaturan dan sebagai lembaga
118
judex factie. (Inilah yang tidak boleh dibatasi seperti apa yang ada
didalam naskah akademis RUU KUHAP Tahun 2012).
Berdasarkan alasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
dalam kasus Angelina Sondakh, Mahkamah Agung memang memiliki
kewenangan untuk menjatuhkan pemidanaan yang lebih berat
dibandingkan dengan yang dijatuhkan oleh Peradilan tingkat
Pertama/Negeri maupun peradilan tingkat banding. Apalagi dalam kasus
Angelina Sondakh terdapat kekeliruan hakim judex factie yang tidak
memberikan pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) tentang sikap
aktif Angelina Sondakh sebagai pelaku dalam tindak pidana suap untuk
mendapatkan uang sebagai imbalan dari penggiringan dana untuk proyek
Nazaruddin.