bab iii kolestasis kak ii

5
BAB III ANALISIS KASUS Telah dilaporkan seorang anak perempuan usia 3 bulan datang ke RS M. Djamil dengan keluhan tampak kuning sejak usia 8 hari, buang air kecil seperti teh pekat, dan buang air besar seperti dempul. Ketiga keluhan yang disampaikan oleh orang tua merupakan gejala klinis yang dapat ditemukan pada kolestasis. Tanpa memandang etiologinya, gejala klinis utama pada kolestasis bayi adalah ikterus, tinja akholis, dan urine yang berwarna gelap. Selanjutnya akan muncul manifestasi klinis lainnya, sebagai akibat terganggunya aliran empedu dan bilirubin, seperti yang dapat ditunjukkan oleh gambar dibawah ini. Pada pemeriksaan laboratorium kimia klinik awal didapatkan

Upload: nidya-yunaz

Post on 13-Jul-2016

12 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

d

TRANSCRIPT

Page 1: Bab III Kolestasis Kak II

BAB III

ANALISIS KASUS

Telah dilaporkan seorang anak perempuan usia 3 bulan datang ke RS M. Djamil dengan

keluhan tampak kuning sejak usia 8 hari, buang air kecil seperti teh pekat, dan buang air besar seperti

dempul. Ketiga keluhan yang disampaikan oleh orang tua merupakan gejala klinis yang dapat

ditemukan pada kolestasis. Tanpa memandang etiologinya, gejala klinis utama pada kolestasis bayi

adalah ikterus, tinja akholis, dan urine yang berwarna gelap. Selanjutnya akan muncul manifestasi

klinis lainnya, sebagai akibat terganggunya aliran empedu dan bilirubin, seperti yang dapat

ditunjukkan oleh gambar dibawah ini.

Pada pemeriksaan laboratorium kimia klinik awal didapatkan peningkatan bilirubin total dan

bilirubin direk, serta peningkatan SGOT dan SGPT. Peningkatan bilirubin direk merupakan tanda

utama terjadinya kolestasis karena terjadinya hambatan aliran bilirubin yang telah dikonjugasi oleh

hepar ke duodenum. Hambatan aliran ini dapat terjadi pada duktus di intra hepatal maupun ekstra

hepatal seperti duktus koligentes pada vesika velea. Peningkatan SGOT dan SGPT menunjukkan

gangguan faal hati yang memperkuat diagnosa awal yaitu proses kolestasis didasari oleh kelainan

pada intra hepatal.

Page 2: Bab III Kolestasis Kak II

Pasien awalnya didiagnosis dengan kolestasis intrahepatal ec infeksi TORCH karena bayi

menunjukkan gejala lain seperti mikrosefali dan pembesaran abdomen akibat hepatomegali. Selain itu

berdasarkan epidemiologi, penyebab terbanyak kolestasis pada bayi adalah kerusakan jaringan hati

akibat infeksi intrauterin, terutama infeksi TORCH. Dari kelima mikroorganisme penyebab TORCH,

citomegalovirus merupakan virus terbanyak yang menyebabkan kerusakan hepar dan sebanyak 85%

ibu hamil di Indonesia memperlihatkan hasi seropositif CMV. Oleh karena itu infeksi TORCH harus

dipikirkan pertama kali pada keadaan ikterik pada bayi.

Pada penelitian di RSUP. Dr Hasan Sadikin Bandung dari Januari 2011 hingga Desember  2012

didapatkan 50 bayi yang terdiri dari bayi laki-laki 30 (60%) dan perempuan 20 (40%), pada usia 1-19

bulan dan terbanyak pada usia 2 bulan 15 (30%). Tingkat bilirubin direk 6,41-18,21 mg/dL, dengan

keseluruhan keluhan kolestasis dengan hepatitis CMV= 50(100%). Untuk memperkuat diagnosis

infeksi citomegalovirus pada pasien diperlukan pemeriksaan penunjang berupa tes serologi IgM dan

IgG terhadap virus CMV. Pada anak telah direncanakan pemeriksaan IgM dan IgG TORCH, namun

keluarga keberatan karena alasan biaya.

Pemeriksaan lain yang dianjurkan pada pasien ini adalah pemeriksaan Pemeriksaan hepatitis

marker, PT, APTT, Alkali posfatase. Pemeriksaan hepatitis marker dianjurkan untuk diperiksa untuk

menyingkirkan diagnosis banding hepatitis neonatal. Karena status hepatitis ibu sebelumnya tidak

diketahui. Jenis pemeriksaan hepatitis marker yang tersedia d RSUP. Dr. M. Djamil adalah

pemeriksaan HbsAg, pemeriksaan ini telah dilakukan dan hasilnya non reaktif. Pemeriksaan hepatitis

marker lainnya seperti marker hepatitis c tersedia di laboratorium luar dan pasien menolak diperiksa

karena alasan biaya. Pemeriksaan kadar PT, APTT juga diindikasikan untuk emlihat faal hepar.

Pemanjangan PT/APTT menunjukkan adanya defisiensi faktor-faktor pembekuan. Faktor pembekuan

sendiri dibentuk di hepar, sehingga defisiensi dari faktor ini menunjukkan terjadinya gangguan fungsi

hepar. Pemeriksaan alkali posfatase (ALP) juga diiindikasikan untuk melihat adanya obstruksi bilier

atau tidak, karena ALP merupakan enzim yang diproduksi terutama oleh epitel hati dan osteoblast

(sel-sel pembentuk tulang baru); enzim ini juga berasal dari usus, tubulus proksimalis ginjal, plasenta

dan kelenjar susu yang sedang membuat air susu. Fosfatase alkali disekresi melalui saluran empedu.

Meningkat dalam serum apabila ada hambatan pada saluran empedu (kolestasis). Tes ALP terutama

digunakan untuk mengetahui apakah terdapat penyakit hati (hepatobiliar), ALP juga meningkat pada

kelainan tulang seperti keganasan.

Pemeriksaan pencitraan seperti USG dan Ct-scan abdomen tetap dianjurkan pada pasien untuk

memvisualisasikan keadaan saluran empedu, apakah terdapat penyumbatan atau tidak.

Ultrasonografi sangat berperan dalam mendiagnosa penyakit yang menyebabkan kholestasis.

Pemeriksaan USG sangat mudah melihat pelebaran duktus biliaris intra/ekstra hepatal

sehingga dengan mudah dapat mendiagnosis apakah ada ikterus onstruksi atau ikterus non

obstruksi. Apabila terjadi sumbatan daerah duktus biliaris yang paling sering adalah bagian

Page 3: Bab III Kolestasis Kak II

distal maka akan terlihat duktus biliaris komunis melebar dengan cepat yang kemudian

diikuti pelebaran bagian proximal.

Hasil pemeriksaan labor pada pasien didapatkan peningkatan ALP 2,9 kali, peningkatan gamma

globulin 10 kali dan hasil USG pada pasien ini menunjukkan keadaan stenosis bilier. Berdasarkan

hasil lab dan pencitraan tersebut menunjukkan keadaan kolestasis ekstrahepatal, bukan intrahepatal.

Peningkatan SGOT < 5 kali yang diperiksa saat pasien pertama kali datang disertai dengan

peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik

Berdasarkan teori, data laboratorik awal kolestasis pada bayi yang membedakan kolestasis

ekstrahepatik dengan intrahepatik :

Kolestasis Ekstrahepatik Kolestasis Intrahepatik

Bilirubin Total (mg/dl) 10,2±4,5 12,1±9,6

Bilirubin Direk (mg/dl) 6,2±2,6 8,0±6,8

SGOT < 5 X N >10 X N />800U/l

SGPT < 5 X N >10 X N />800U/l

GGT >5X N / >6000U/l < 5 X N/N

Hasil laboratorium pada pasien ini :

- Bilirubin total : 9,5 mg/dl; bilirubin direk 8,4 mg/dl

- SGOT 155 u/L (N = <32); SGPT 139 u/L (N = <31)

- GGT meningkat 10 kali

Kesimpulan kolestasis ekstrahepatal

Ditunjang oleh hasil pemeriksaan USG abdomen yang menunjukkan adanya stenosis bilier

Karena pada USG abdomen didapatkan hasil kandung empedu tidak tervisualisasi maka

pencitraan dilanjutkan ke modalitas yang lebih baik yaitu CT-scan abdomen, akan tetapi hasilnya

tidak menunjukkan dilatasi bilier. Hal ini sesuai dengan hasil USG dikarenakan tidak adanya obstruksi

total duktus biliaris, melainkan stenosis, sehingga aliran empedu masih berjalan walaupun sedikit.

Ditunjang juga dengan urobilinogen yang masih positif pada hasil pemeriksaan urinalisis.

Pada pasien diberikan terapi urdafalk dan supplementasi vitamin larut lemak yaitu vitamin

ADEK. Urdafalk merupakan Asam ursodeoksikolat yaitu asam empedu tersier yang mempunyai sifat

hidrofilik serta tidak hepatotoksik bila dibandingkan dengan asam empedu primer serta sekunder. Jadi

asam ursodeoksikolat merupakan competitive binding terhadap asam empedu toksik. Urdafalk

berfungsi sebagai suplemen empedu, hepatoprotektor serta bile flow inducer. Dosis : 10-30

mg/kgbb/hari. Vitamin ADEK disupplementasikan pada pasien ini karena adanya kecendrungan

defisisensi vitami ADEK pada pasien dengan kolestasi sebagai akibat dari menurunnya metabolis

Page 4: Bab III Kolestasis Kak II

lemak oleh karena obstruksi parsial dari aliran asam empedu.

Pada pasien dengan kolestasis, golden period penatalaksaan adalah 60 hari sebelum terjadinya

sirrosis hepatis. Sementara pasien ini telah berumur 66 hari, artinya tatalaksana telah melewati golden

period sehingga prognosis pada pasien ini berdasarkan teori adalah jika dilakukan operasi maka

keberhasilannya hanya 34-43% karena usia > 60 hari. Dan jika tidak dilakukan operasi maka angka

keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan.