bab iii metode penelitian · secara geografi kota salatiga terletak di tengah-tengah wilayah...
TRANSCRIPT
83
Bab III
Metode Penelitian
Profil Wilayah Penelitian
Letak Geografi Kota Salatiga
Secara geografi Kota Salatiga terletak di tengah-tengah wilayah
Kabupaten Semarang. Terletak antara 0070 .17’ dan 0070 17’.23
“Lintang Selatan dan antara 1100.27’.56,81” dan 110o.32’.4,64” Bujur
Timur. Secara Morfologis Berada di daerah cekungan, kaki gunung
Merbabu di antara gunung-gunung kecil antara lain: Gajah Mungkur,
Telomoyo dan Payung Rong.
Secara administrasi letaknya dikelilingi wilayah Kabupaten
Semarang. Batas Kota Salatiga dibatasi beberapa desa yang masuk
dalam Wilayah Kabupaten Semarang. Batas-batas tersebut sebagai
berikut; Sebelah Utara: Kecamatan Pabelan: Desa Pabelan, Desa
Pejaten. Kecamatan Tuntang Desa Kesongo, Desa Watu Agung.
Sebelah Timur: Kecamatan Pabelan Desa Ujung-ujung, Desa Sukoharjo
dan Desa Glawan. Kecamatan Tengaran Desa Bener, Desa Tegal Waton
dan Desa Nyamat. Sebelah Selatan: Kecamatan Getasan: Desa
Sumogawe, Desa Samirono dan Desa Jetak. Kecamatan Tengaran: Desa
Patemon, Desa Karang Duren, Sebelah Barat: Kecamatan Tuntang Desa
Candirejo, Desa Jombor, Desa Sraten dan Desa Gedongan, Kecamatan
Getasan Desa Polobogo.
Berdasarkan Relief Kota Salatiga terdiri dari 3 bagian daerah
bergelombang ± 65 %, terdiri dari: Kelurahan: Dukuh, Ledok,
Kutowinangun Lor, Kutowinangun Kidul, Salatiga, Sidorejo Lor,
Bugel, Kumpulrejo dan Kauman Kidul, daerah miring ± 25 %, terdiri
dari: Kelurahan: Tegalrejo, Mangunsari dan Sidorejo Lor, Sidorejo
Kidul, Tingkir Lor, Pulutan, Kecandran, Randuacir, Tingkir Tengah
dan Cebongan dan daerah datar ± 10 %, terdiri dari: Kelurahan:
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
84
Kalicacing, Noborejo, Kalibening dan Blotongan, Tinggi Kota Salatiga
Berketinggian antara: 450 - 825 m dpl (dari permukaan air laut), iklim
Kota Salatiga beriklim tropis dan berhawa sejuk. Curah hujan, Pada
Tahun 2015 jumlah curah hujan adalah 2124 mm, sementara jumlah
hari hujan 84 hari sedangkan curah Hujan rata-rata adalah 25,29
mm/hari.
Penggunaan Lahan
Secara administratif Kota Salatiga terbagi menjadi 4 kecamatan
dan 23 kelurahan. Luas wilayah Kota Salatiga pada tahun 2015 tercatat
sebesar 56,781 km². Luas yang ada, terdiri dari 7,805 km2 (13,75
persen) lahan sawah dan 48,976 km² (86,25 persen) bukan lahan
sawah. Menurut penggunaannya, sebagian besar lahan sawah
digunakan sebagai lahan sawah berpengairan teknis (46,72 persen),
lainnya berpengairan setengah teknis, sederhana, tadah hujan dan
lain-lain. Berikutnya lahan kering yang dipakai untuk tegal/kebun
sebesar 31,46 persen dari total bukan lahan sawah.
Keadaan Iklim
Curah hujan di suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh
keadaan iklim, keadaan topografi dan perputaran/pertemuan arus
udara. Oleh karena itu jumlah curah hujan beragam menurut bulan
dan letak stasiun pengamat. Curah hujan tertinggi tercatat sebesar 460
mm pada bulan April dan hari hujan terbanyak tercatat sebanyak 16
hari pada bulan Januari, Maret dan April.
Persentase Luas Penggunaan Lahan Tahun 2015, tanah
pekarangan sebesar 3.160,615 ha, tanah tegal 1.541,013 ha, sawah
teknis 487,825 ha, sawah p. non teknis 292,709 ha, dan lainnya 195,948
ha
Penduduk dan Ketenagakerjaan
Kependudukan
Pada tahun 2015, jumlah penduduk Kota Salatiga sebesar
183.828 jiwa. Jumlah penduduk perempuan lebih besar dibandingkan
penduduk laki-laki, ditunjukkan oleh rasio jenis kelamin (rasio jumlah
Metode Penelitian
85
penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan), sebesar 95,76.
Penduduk Kota Salatiga belum menyebar secara merata di seluruh
wilayah Kota Salatiga. Umumnya, penduduk banyak menumpuk di
daerah perkotaan dibandingkan pedesaan. Pada tahun 2015 rata-rata
kepadatan penduduk Salatiga sebesar 3.237 jiwa setiap km persegi.
Tabel 3. 1 Banyaknya Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin,
Tahun 2015
Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
1 2 3 4
0 - 4 7 400 6 984 14 384 5 - 9 6 893 6 501 13 394 10 -14 6 413 6 209 12 622 15 – 19 8 190 8 594 16 784 20 – 24 9 212 9 264 18 476 25 – 29 7 333 7 437 14 770 30 – 34 7 074 7 190 14 264 35 – 39 6 599 6 841 13 440 40 – 44 6 332 6 767 13 099 45 – 49 5 636 6 478 12 114 50 – 54 5 622 6 163 11 785 55 – 59 4 816 5 010 9 826 60 – 64 2 946 3 039 5 985
65 + 5 462 7 410 12 872
J u m l a h 89 928 93 887 183 815
Sumber : Proyeksi Penduduk, BPS Kota Salatiga 2016
Ketenagakerjaan
Banyaknya pencari kerja yang mendaftar selama tahun 2015
sebanyak 949 orang. Sebagian besar dari pencari kerja tersebut
berpendidikan setingkat SLTA sebesar 57,43 persen, kemudian 26,66
persen berpendidikan Diploma/Perguruan Tinggi, 14,12 persen
berpendidikan setingkat SLTP dan 1,79 persen berpendidikan SD. Dari
tabel di bawah ini menunjukkan tren jumlah pencari kerja dari tahun
2011 hingga 2015 mengalami penurunan yang cukup signifikan
terutama pada tahun 2015. Dinamika ini menunjukkan bahwa kualitas
sumber daya manusia Kota Salatiga cukup berkualitas, sehingga dengan
mudah terserap ke dalam bursa tenaga kerja.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
86
Tabel 3. 2 Banyaknya Pencari Kerja Menurut Pendidikan dan Jenis Kelamin
Tahun 2015
Pendidikan Laki-laki Perempuan Kepadatan
per km2
1 2 3 4
Sarjana 68 100 168 Sarjana muda 40 45 85 SMU 73 47 120
SMK 224 201 425
SPG, SMGA, PGA 0 0 0 SMP 40 94 134 SMP Kejuruan 0 0 0 SD 3 14 17 Tidak Tamat SD 0 0 0
Jumlah
2015 448 501 949
2014 592 787 1379
2013 1285 1971 3256
2012 1154 1652 2806
2011 831 1174 2002
Sumber : Dinas Sosial, Ketenagakerjaan & Transmigrasi Kota Salatiga, 2017
Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan
untuk mendeskripsikan sejauh mana partisipasi PKL Salatiga dalam
perumusan kebijakan pemerintah kota, serta bagaimana model
partisipasinya. Jenis penelitiannya adalah penelitian eksplanatoris,
yaitu penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor apa
saja yang memengaruhi partisipasi PKL dalam perumusan kebijakan
publik serta melalui analisis induktif dapat diperoleh pemahaman yang
komprehensif tentang nilai-nilai yang mengikat di antara PKL kota
Salatiga dan stakeholder sehingga harmoni sosial tetap terjaga dengan
baik.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif yang
lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiono 2008:1).
Pendekatan kualitatif relevan dengan topik penelitian ini, karena lebih
sesuai dipergunakan untuk mengungkap sesuatu yang ada di balik
fenomena (Straus dan Corbin, 2003:57). Penelitian kualitatif sifatnya
Metode Penelitian
87
deskriptif analitik. Data yang diperoleh seperti hasil pengamatan, hasil
wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen, dan catatan lapangan
disusun oleh peneliti di lokasi penelitian.
Peneliti segera melakukan analisis data dengan memperkaya
berbagai informasi yang diperoleh, mencari hubungan,
membandingkan, menemukan pola atas dasar data asli. Hasil analisis
data berupa pemaparan mengenai situasi yang diteliti yang disajikan
dalam bentuk uraian naratif. Hakikat pemaparan data pada umumnya
menjawab pertanyaan-pertanyaan mengapa dan bagaimana suatu
fenomena terjadi. Untuk itu peneliti dituntut memahami dan
menguasai bidang ilmu yang ditelitinya sehingga dapat memberikan
justifikasi mengenai konsep dan makna yang terkandung dalam data.
Pendekatan kualitatif ini lebih banyak menampilkan data
deskriptif, berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari orang-orang
ataupun responden yang dapat diamati (Moleong, 2001). Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang mampu menghasilkan kejelasan, dapat
diverifikasi, serta mengandung makna yang dapat dijadikan replikasi
dari suatu perangkat data kualitatif, apapun kejadian-kejadian
sebelumnya (Miles dan Huberman, 1992: 278).
Setiap penelitian selalu membutuhkan data karena itu dalam
penelitian inipun membutuhkan data primer dan data sekunder baik
dari para informan maupun dari dokumen-dokumen berupa jurnal
ilmiah, buku, media cetak, dan peraturan daerah. Untuk melengkapi
semua data yang dibutuhkan maka tekniknya dimulai dengan observasi
lapangan, yaitu datang langsung ke lokasi penelitian dan melihat secara
saksama serta mencatat semua fenomena di lapangan yang menjadi
fokus penelitian. Setelah itu dilanjutkan dengan proses wawancara
terhadap para informan melalui verifikasi, sehingga yang menjadi
informan adalah mereka yang terlibat langsung dengan PKL serta aktif
dalam proses partisipasi. Langkah selanjutnya adalah menganalisis teks
dan dokumen yang sesuai dengan kasus yang dibahas dalam penelitian
sehingga dapat diperoleh konklusinya secara ilmiah.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
88
Lokasi dan Unit Analisis
Penelitian ini dilakukan pada PKL di Kota Salatiga, Jawa
Tengah yang menempati lokasi tempat berjualan sesuai dengan
Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2003. Lokasi yang diperuntukkan
bagi PKL terdiri atas lokasi inti dan lokasi pengembangan. Dari kedua
lokasi dimaksud, yang masuk dalam lokasi inti yaitu kawasan Jalan
Diponegoro, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Patimura, Jalan Taman
Pahlawan, Jalan Kalinyamat, dan Jalan belakang Pasar Raya II.
Sedangkan lokasi pengembangan sesuai dengan rencana detail tata
ruang kota adalah Jalan Cemara, Jalan Turen, Jalan dr. Muwardi, Jalan
Buksuling, Jalan Pungkursari, Jalan Pemotongan, Jalan Sukowati, Jalan
Adisucipto, Lapangan Pancasila, Jalan Hasanudin, Jalan Merak, Jalan
Kartini, Jalan Imam Bonjol dan Jalan Johar.
PKL yang diteliti adalah mereka yang telah diakui pemerintah
dan terdaftar pada Dinas Perdagangan Perindustrian dan Koperasi serta
memiliki tanda daftar usaha (TDU) yang dikeluarkan oleh Walikota
sebagai tanda bukti usaha di tempat yang telah ditetapkan oleh
pemerintah daerah maupun PKL yang tidak terdaftar pada Dinas
Perdagangan Perindustrian dan Koperasi. PKL yang memiliki TDU
terdiri atas: PKL Latengan yaitu pedagang yang menjual bahan
makanan olahan seperti sayur-mayur, bakso, sate, nasi campur, mie
rebus, daging, ikan, tahu, tempe serta makanan kudapan dan minuman.
PKL klitikan adalah pedagang yang menjual kebutuhan pribadi berupa
dompet, jepit rambut, ikat pinggang, sepatu, sendal, kaos kaki, tas,
emas, perak, barang kelontong, reparasi jam atau perhiasan, dan barang
kelontong. PKL buah adalah pedagang yang berjualan berbagai jenis
buah-buahan. PKL pasar pagi adalah pedagang yang berjualan sayur-
mayur dan bahan sembako di sekitar lokasi pasar pagi.
Selain PKL yang menjadi unit analisisnya masuk juga
stakeholder yakni pedagang pasar, pedagang toko, serta Dinas
Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Salatiga. Pemerintah
Kota Salatiga dimasukkan dalam unit analisis karena mengambil
kebijakan melalui Perda Nomor 2 Tahun 2003, dengan mengakomodir
dan mengakui PKL sebagai unit usaha mikro untuk melakukan usaha
Metode Penelitian
89
di kawasan kota dengan memanfaatkan ruang publik secara bergantian
sehingga memberi kesempatan kepada sesama PKL untuk berjualan
pada tempat yang sama.
Teknik Pengumpulan Data
Penelitian kualitatif adalah sebuah metode penelitian yang
naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi alamiah
(natural setting) sebab data yang terkumpul dari lapangan dianalisis
secara komprehensif lebih bersifat kualitatif. Menurut (Sutopo
(2006: 9), metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif secara
umum dikelompokkan ke dalam dua jenis cara, yaitu teknik yang
bersifat interaktif dan non-interaktif. Metode interaktif meliputi
interview (wawancara) dan observasi berperanserta, sedangkan metode
non interaktif meliputi observasi takberperanserta, teknik
kuesioner, mencatat dokumen, dan partisipasi tidak berperan serta.
Pada penelitian ini sumber datanya terdiri dari data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara
mendalam. Sedangkan data sekunder bersumber dari dokumen Satuan
Kerja Pemerintah Daerah Disperindagkop, peraturan daerah, dan
dokumen pendukung lainnya yang penulis peroleh dari Forum
Masyarakat Peduli Salatiga (FMPS). Data primer melalui observasi
dalam istilah sederhana adalah proses peneliti dalam melihat situasi
penelitian. Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi
adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian
atau peristiwa, dan waktu. Alasan peneliti melakukan observasi adalah
untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian,
menjawab pertanyaan, serta membantu mengerti perilaku mereka yang
berperan langsung di lapangan. Pada bagian ini penulis melihat
konteks PKL dan stakeholder di Kota Salatiga secara menyeluruh
sehingga memahami konteks permasalahan secara umum. Observasi
yang dilakukan meliputi lokasi dan sebaran PKL, jam buka jualan, dan
perilaku dalam merespon lingkungan di sekitar mereka, baik terhadap
pejalan kaki, konsumen, dan stakeholders lainnya.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
90
Manfaat dari observasi bagi peneliti adalah untuk lebih
mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi
akan dapat diperoleh pandangan yang holistik. Dengan dilakukannya
observasi akan diperoleh pengalaman langsung, sehingga
memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, jadi tidak
dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumnya. Pendekatan
induktif ini membuka kemungkinan bagi peneliti untuk penemuan
(discovery) terhadap hal-hal baru yang terjadi di lapangan.
Berdasarkan hasil observasi maka penulis mulai memetakan
siapa yang menjadi motor penggerak partisipasi serta bagaimana
keterlibatan aktor lainnya dalam proses partisipasi semenjak awal
sampai akhir. Hal lainnya yang penulis dapatkan dari observasi adalah
wilayah-wilayah yang diminati dan dijadikan tempat beroperasi para
PKL, serta berbagai kegiatan yang dilakukan dalam proses partisipasi
sejak tahun 2002 sampai saat ini.
Setelah melakukan observasi, langkah selanjutnya penulis
melakukan wawancara dengan para informan kunci sebagai pelaku
utama atau aktor partisipasi sejak tahun 2002 yang terdiri dari;
pedagang kaki lima, Kepala Dinas Disperindagkop, Kepala Bidang PKL
dan Pasar Disperindagkop, Kepala Seksi PKL Disperindagkop, mantan
ketua pansus penyusunan peraturan daerah penataan pedagang kaki
lima DPRD Kota Salatiga, pedagang pasar, pengurus FMPS, pengemudi
becak, pedagang toko, dan masyarakat sekitar. Pokok wawancara
meliputi; kedudukan PKL di Kota Salatiga, dinamika proses partisipasi
PKL dan stakeholder dalam penyusunan Perda No. 2 Tahun 2003
tentang Penataan Pedagang Kaki Lima, dampak dari partisipasi yang
telah dibangun pada tahun 2002 terhadap kondisi eksisting dan
dinamika PKL saat ini, pendekatan pemerintah daerah dalam
melakukan pembinaan dan penguatan PKL dan pedagang. Selain itu,
mendapatkan informasi terkait dinamika PKL saat ini, baik dalam
mengorganisir diri melalui paguyuban maupun peran dan kedudukan
pemerintah daerah melalui Disperindagkop dan Satpol PP dalam
melakukan penguatan dan pemberdayaan PKL.
Metode Penelitian
91
Berikut tahapan yang dilakukan oleh penulis dalam melakukan
penggalian data baik itu data historis maupun data terkini. Langkah
awal, penulis melakukan identifikasi pelaku historis yang terlibat aktif
dalam proses perumusan kebijakan publik terkait penataan PKL. Dari
hasil identifikasi tersebut, PKL menemukan tokoh kunci yaitu
pengurus Forum Masyarakat Perduli Salatiga (FMPS), yaitu sebuah
organisasi masyarakat yang melakukan pendampingan secara intensif
terhadap persoalan PKL di Salatiga. Melalui tokoh kunci ini, informasi
penting terkait proses dan sejarah latar belakang muculnya persoalan
penataan PKL, hingga bagaimana PKL beserta stakeholder
menggorganisir diri mereka sendiri, untuk terlibat aktif dalam
penyusunan Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2003 tentang Penataan
Pedagang Kaki Lima. Berikut kutipan hasil wawancara dengan tokoh
kunci FMPS;
“Permasalahan PKL diawali dengan terbakarnya pasar induk di Pasar Raya pada sekitar tahun 2001-2002, ini yang kemudian menyebabkan banyak pedagang berjualan di sepanjang pinggir jalan Jenderal Sudirman. Lapak mereka hampir menutupi sebagian bahu jalan akibat banyaknya bangunan semi permanen. Persoalan mulai muncul ketika setelah Pasar direnovasi, pedagang yang berjualan di pinggir jalan direlokasi menempati bekas kios mereka dulu, sedangkan bekas lapak mereka semi permanen yang terletak di bahu jalan tidak langsung dibongkar dan ditertibkan oleh pemda, sehingga ditempati oleh pedagang baru. Ditambah modus oknum untuk memperjual belikan lapak tersebut. Dari sinilah kemudian bermunculan PKL dan konflik antara PKL dengan pedangan pasar, karena mereka merasa omzet menurun akibat adanya PKL. Konsumen lebih suka membeli di PKL karena letaknya di bawah, sedangkan lapak dagangan mereka yang terletak di lantai 2 pasar sepi pembeli.”
Dari informasi awal ini, sebagai dasar dari penulis
mengembangkan pada informasi lanjutan dan tokoh-tokoh kunci
lainnya. Kemudian informan kunci FMPS ini memperkenalkan kepada
beberapa tokoh kunci sejarah yang terlibat dalam perumusan Perda
Nomor 2 Tahun 2003, yaitu ketua Pansus DPRD Penataan Pedagang
Kaki Lima Kota Salatiga, tokoh pedagang pasar, dan tokoh PKL.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
92
Ketua pansus DPRD yang saat ini telah purna tugas,
menuturkan bagaimana mereka menggunakan hak inisiatif dewan
untuk menyusun peraturan daerah tentang penataan pedagang kaki
lima. Berikut penuturan mantan ketua pansus DPRD tersebut;
“Pansus DPRD Penataan Pedagang Kaki Lima Kota Salatiga terbentuk pada tahun 2003, masa kerja kami hanya beberapa bulan. Pansus ini terbentuk karena keprihatinan kami terhadap persoalan penggusuran PKL yang marak terjadi, padahal menurut kami, PKL mempunyai hak yang sama untuk mencari nafkah dengan catatan tidak bertindak kriminal. Dengan adanya PKL justru membantu masyarakat miskin mendapatkan barang dengan harga murah dibandingkan dengan harga toko. Hanya saja ini melanggar aturan berjualan di bahu jalan, sehingga mengganggu banyak pengguna jalan dan yang lainnya.”
Selanjutnya ketua pansus DPRD Kota Salatiga tersebut
menegaskan bahwa Perda Nomor 2 Tahun 2003 tentang Penataan
Pedagang Kaki Lima, ini adalah perda yang paling partisipatif
dibandingkan dengan peraturan daerah lainnya yang pernah
dirumuskan oleh DPRD Kota Salatiga selama periode menjabat.
Informasi yang diperoleh ini kemudian dilanjutkan, masih
didampingi informan kunci FMPS bertemu dengan informan kunci
PKL yang terlibat dalam proses sejarah perumusan perda tersebut,
berikut sepenggal hasil wawancara lapangan;
“Kami menjadi PKL sebenarnya terdesak oleh kondisi ekonomi. Kami tidak punya pekerjaan tetap, bingung mau kerja apa, dari pada bertindak kriminal lebih baik menjadi PKL, eee kemudian lama kelamaan sudah jadi pekerjaan tetap sampai sekarang. Dulu waktu pertama jadi PKL tidak enak, karena kami ketakutan kena gusur trantib (Satpol PP). Jadi jualannya tidak tenang, beda dengan sekarang tidak ada penggusuran, kami juga sudah tertib berjualan. Memang dulu PKL juga salah, jualan sembarangan di trotoar atau pinggir jalan. Jadi mengganggu ketertiban umum.”
Informasi yang masuk kemudian diperkuat dengan studi
dokumenter milik FMPS terdiri dari dokumen analisis dan
perencanaan strategis penataan pedagang kaki lima di Salatiga,
Metode Penelitian
93
executive summary: workshop partisipasi publik dalam perumusan
Perda tentang Penataan Pedagang Kaki Lima, naratif akademik pokok-
pokok pikiran perumusan peraturan daerah tentang PKL, peta sebaran
PKL, dan beberapa dokumen relevan lainnya.
Melalui studi dokumenter ini penulis melakukan verifikasi data
dan informasi dengan para pelaku sejarah yang terlibat langsung dalam
perumusan kebijakan penataan PKL. Penulis menemukan konsistensi
dan kecocokan antara informasi yang tertuang dalam dokumen dengan
pengakuan para pelaku sejarah tersebut.
Setelah mendalami sejarah proses terbangunnya partisipasi PKL
dan stakeholder dalam perumusan kebijakan penataan PKL,
selanjutnya penulis mengkaji sejauh mana warisan yang telah dibangun
tersebut mampu bertahan sampai saat ini. Wawancara mendalam
dilakukan dengan Disperindagkop, PKL, pedagang pasar, pengurus
FMPS, pengemudi becak, pedagang toko, dan masyarakat sekitar.
Berikut kutipan wawancara dengan Disperindagkop Kota Salatiga:
“Saat ini PKL teroganisir dengan baik dengan diberlakukan tanda daftar usaha. Paguyuban selalu berkoordinasi dengan dinas dan dalam binaan dinas. Jika ada informasi penambahan anggota atau pengurangan anggota sebuah paguyuban PKL selalu diberitahukan kepada kami, sehingga kami dapat memantau terus-menerus perkembangan PKL di Salatiga. Fungsi kami saat ini lebih pada pemberdayaan dan penguatan PKL, kami menempatkan PKL sejajar dengan pedagang pasar, pemilik kios atau toko. Jadi tidak ada diskriminasi perlakuan dan pelayanan.”
Selama proses wawancara dan pencarian data, penulis tidak
menemukan kendala apapun di lapangan. Informan kunci memberikan
respon baik terhadap kehadiran penulis yang akan melakukan
wawancara dengan menyediakan waktu di sela-sela kesibukan mereka
melayani pelanggan. Dokumentasi data dan informasi yang telah
didapatkan baik melalui catatan, rekaman suara, dan foto kemudian
diorganisir berdasarkan pokok-pokok pembahasan dalam masing-
masing bab disertasi ini.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
94
Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menganalisis data yang telah
diperoleh dari wawancara, maupun data-data lapangan serta dokumen
yang kemudian dikaji dalam rangka validitasi data penelitian yang
lebih rasional dan akurat dengan melakukan triangulasi. Triangulasi
merupakan cara pemeriksaan keabsahan data yang paling umum
digunakan. Cara ini dilakukan dengan memanfaatkan sesuatu yang lain
di luar data untuk pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data
itu. Pada dasarnya triangulasi merupakan teknik yang didasari pola
pikir fenomenologi yang bersifat multi perspektif. Artinya, guna
menarik suatu kesimpulan yang mantap diperlukan berbagai sudut
pandang berbeda.
Penulis melakukan verifikasi data yang diperoleh dari FMPS
maupun dari Dinas Perindagkop serta dokumen pendukung lainnya,
dengan semua pihak yang terlibat dalam proses partisipasi. Pihak yang
teribat dalam proses partisipasi adalah pedagang kaki lima, Kepala
Dinas Disperindagkop, Kepala Bidang PKL dan Pasar Disperindagkop,
Kepala Seksi PKL Disperindagkop, mantan ketua pansus penyusunan
peraturan daerah penataan pedagang kaki lima DPRD Kota Salatiga,
pedagang pasar, pengurus FMPS, pegemudi becak, pedagang toko, dan
masyarakat sekitar.
Triangulasi dalam penelitian ini dilalui dengan melakukan
verifikasi terhadap sumber. Dengan cara ini penulis berupaya menggali
kebenaran informasi melalui berbagai narasumber data yang diperoleh
berupa hasil wawancara, observasi, dokumen arsip, dokumen sejarah
dan catatan pribadi ketua-ketua paguyuban dan pengurus FMPS. Dari
proses inilah maka akan menghasilkan validasi data yang lebih akurat
untuk membantu menemukan sudut pandang yang berbeda tentang
fenomena-fenomena sosial berupa konflik dan berbagai permasalahan
lainnya yang muncul sebelum PKL terorganisir serta proses partisipasi
PKL dan seluruh stakeholder dalam perumusan kebijakan penataan
PKL Kota Salatiga setelah terorganisir.
Metode Penelitian
95
Untuk mengetahui tingkat akurasi informasi dari para
narasumber maka penulis juga melakukan penggalian informasi dari
informan yang berbeda untuk mengecek kebenarannya. Dengan cara
tersebut maka semua keterangan dari para narasumber yang penulis
wawancarai dapat diukur tingkat akurasinya, sehingga tidak lagi
diragukan kebenaran informasi yang diperoleh dari para informan.
Dari berbagai informasi serta data yang diperoleh itulah maka penulis
mengkaji secara mendalam untuk menganalisa permasalahan yang
diteliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori sehingga
mampu menghasilkan simpulan yang baik.