bab iii peran apoptosis dalam patogenesis ppok-terakhir
DESCRIPTION
peran apoptosis dalam patogenesis ppokTRANSCRIPT
BAB 3
PERAN APOPTOSIS PADA PATOGENESIS PPOK
Peran kerusakan aktif endotel paru dalam patogenesis PPOK sampai saat ini belum
dimasukkan dalam konsep perkembangan penyakit. Konsep patogenesis kehancuran alveolar
secara anatomi yang selama ini berlaku pada PPOK adalah akibat ketidakseimbangan protease-
antiprotease, di mana kelebihan protease dapat mencerna matriks ekstraselular jaringan ikat
parenkim paru, mengubah arsitektur alveolar.12,22 Dalam konsep ini, paparan kronis asap rokok
menyebabkan invasi sel-sel inflamasi saluran napas dengan melepaskan sejumlah besar
protease melebihi antiprotease, menyebabkan kerusakan jaringan dan mengakibatkan
pembesaran ruang udara. Namun teori inflamasi dan proteolisis berlebihan tidak sepenuhnya
menjelaskan mengapa sel alveolar dan struktur dinding septa alveolus hilang.12
Beberapa penelitian menunjukkan adanya mekanisme keempat yang terlibat dalam
patogenesis PPOK. Diduga adanya gangguan keseimbangan antara apoptosis dan penambahan
struktural sel paru, sebagai respon terhadap asap rokok, menyebabkan kerusakan jaringan paru
yang berkembang menjadi emfisema. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan
antara peningkatan gangguan keseimbangan apoptosis dan proliferasi jaringan paru dengan
patogenesis PPOK. Sejumlah penelitian deskriptif yang terbatas pada manusia menunjukkan
peran apoptosis pada PPOK. 8,12
3. 1 Apoptosis
Apoptosis merupakan suatu mekanisme kematian sel secara fisiologis. Apoptosis
bertanggung jawab untuk mengontrol jumlah sel dalam suatu jaringan dan menyingkirkan sel-
sel yang mengancam kehidupan suatu organisme. 15,23 Berbeda dengan nekrosis, yang
merupakan kematian sel akibat iskemia atau pengaruh bahan toksik, apoptosis diawali oleh
interaksi antara ligan dan reseptor yang teregulasi dengan tepat dan dirangkai dengan proses
fagositosis dengan tujuan mengeliminasi sel yang rusak atau sel normal yang tidak diperlukan
lagi. Apoptosis telah dikenal sebagai kematian sel yang terjadi pada pertengahan kehidupan
jaringan. Meskipun ada bentuk lain dari kematian sel seperti nekrosis, tetapi apoptosis berguna
untuk menjaga homeostasis pada differensiasi dan proliferasi vertebra. Oleh karena itu
apoptosis juga disebut sebagai "program kematian sel". 15,24,25
15
Proses apoptosis berlaku pada hampir semua jenis sel, termasuk juga pada sistem imun.
Fungsi apoptosis sangat penting karena apabila terjadi defek apoptosis (baik spontan ataupun
karena mutasi) maka akan berdampak pada sistem imun. Organisme multiselular hidup
memerlukan keseimbangan antara proses proliferasi sel dan kematian sel. Secara umum sel-sel
mengalami kematian melalui salah satu dari dua cara yang telah diketahui tergantung dari
konteks dan penyebab kematiannya. Macam-macam pola kematian sel tersebut meliputi:
nekrosis dan apoptosis. Sel yang mati secara nekrosis biasanya akan membuat respons
inflamasi, berbeda dengan apoptosis akan cepat dibersihkan tanpa menimbulkan respons
inflamasi.8,15
Apoptosis sangat berbeda dari nekrosis jaringan yang disebabkan oleh cedera akut,
dimana pada nekrosis terjadi pembengkakan sel-sel dan akan lisis (diakibatkan oleh perbedaan
tekanan osmotik) dan menyebabkan respon inflamasi. Apoptosis adalah kematian sel per sel,
sedangkan nekrosis melibatkan sekelompok sel. Membran sel yang mengalami apoptosis akan
mengalami penonjolan-penonjolan ke luar tanpa disertai hilangnya integritas membran.
Sedangkan sel yang mengalami nekrosis mengalami kehilangan integritas membran. Sel yang
mengalami apoptosis terlihat menciut, dan akan membentuk badan apoptosis. Sedangkan sel
yang mengalami nekrosis akan terlihat membengkak untuk kemudian mengalami lisis. Sel yang
mengalami apoptosis lisosomnya utuh, sedangkan sel yang mengalami nekrosis terjadi
kebocoran lisosom. Dengan mikroskop akan terlihat kromatin sel yang mengalami apoptosis
terlihat bertambah kompak dan membentuk massa padat yang uniform. Sedangkan sel yang
mengalami nekrosis kromatinnya bergerombol dan terjadi agregasi.23, 25
Peristiwa apoptosis dipicu oleh adanya kerusakan DNA yang gagal diperbaiki,
hipertermia, infeksi, penurunan secara mendadak beberapa faktor pertumbuhan (withdrawal),
dan mekanisme remodeling pada proses tumbuh kembang yang bersifat fisiologis. Sinyal-
sinyal yang berasal dari lingkungan sekitar sel (interselular) dan sinyal-sinyal internal secara
normal menjaga agar mekanisme apoptosis tidak bekerja. Pada keadaan dimana sel telah
kehilangan kontak dengan sekitarnya atau adanya gangguan internal yang tidak dapat diatasi,
maka sel terpicu untuk apoptosis. 15,26
Pada apoptosis terdapat beberapa protein yang terlibat sebagai pro-apoptosis ataupun
anti apoptosis. Sampai saat ini terdapat paling sedikit 15 protein kelompok bcl-2 yang telah
diketahui pada mamalia. Sebagian besar protein-protein tersebut berfungsi meningkatkan
harapan hidup sel (pro-kehidupan atau anti-apoptosis dengan menghambat protein adaptor
16
(protein seperti CED-4) untuk mengaktivasi caspase. Bcl-2 dan protein-protein sitoplasma lain
(yang masih dalam kelompok bcl-2) merupakan regulator utama anti-apoptosis. Yang
termasuk dalam kelompok anti-apoptosis antara lain bcl-2, bcl-xl, bcl-w, mcl-1. Sebagian yang
lain justru berfungsi mencetuskan apoptosis (pro-apoptosis) melalui mekanisme yang tidak
tergantung caspase (caspase-indipendent death). Yang termasuk kelompok pro-apoptosis
antara lain bax, bak,bok,bik,blk.25,26
3.1.1 Proses apoptosis
Proses apoptosis dikendalikan oleh berbagai faktor yang dapat berasal dari pencetus
ekstrinsik maupun intrinsik. Sebelum terjadi proses kematian sel melalui enzim, sinyal
apoptosis harus dihubungkan dengan jalur kematian sel melalui regulasi protein. Pada regulasi
protein ini terdapat dua metode yang telah dikenali untuk mekanisme apoptosis, yaitu: melalui
mitokondria dan penghantaran sinyal secara langsung melalui adaptor protein. 8,12,15
Proses apoptosis dapat dibagi dalam empat fase yang saling tumpang tindih, yaitu: fase
inisiasi atau induksi heterogen yang bergantung pada stimulus, fase efektor atau komitmen saat
akan diambil keputusan untuk “bunuh diri”, fase degradasi atau eksekusi di mana sel-sel
bersangkutan memperlihatkan gambaran biokimia dan morfologi apoptosis dan fase
eliminasi.15,26
Ada dua jalur klasik besar dalam aktivasi caspase inisiator yang berperan dalam
apoptosis, yaitu: 15,24,26
1. Jalur ekstrinsik dimulai diluar sel, ketika kondisi lingkungan ektraseluler mengharuskan sel
itu mati.
2. Jalur intrinsik apoptosis dimulai ketika terjadi suatu trauma didalam sel, trauma ini dapat
mengakibatkan nekrosis dan respons inflamasi, tetapi mesin apoptosis ini ada untuk
memastikan bahwa sel yang rusak itu dibungkus dan dibersihkan dengan tujuan mencegah
inflamasi.
3.1.1.1 Jalur ekstrinsik
Jalur ekstriksik sendiri terdiri dari 3 jalur yang berasal dari luar sel, yaitu jalur yang
diinisiasi oleh reseptor kematian, jalur efektor sel T sitolitik dan jalur deplesi faktor
pertumbuhan.
17
Jalur pertama adalah diaktifkannya sinyal ekstraselular yang diperantarai oleh ikatan
tumor nekrosis faktor (misalnya Fas ligan, TNF-α) untuk reseptor kematian pada permukaan sel
(misalnya Fas, TNFR). Reseptor yang tergolong dalam reseptor kematian adalah CD 95 (juga
disebut Fas atau APO D dan TNFRI disebut juga p55 atau CD 120ai. Jalur kematian ini
diinisisi oleh pengikatan reseptor kematian pada permukaan sel pada berbagai sel.15,24
Reseptor kematian (death reseptor), yakni reseptor permukaan sel yang dapat
meneruskan sinyal awal apoptosis melalui ikatan dengan ligannya yang spesifik (death ligand),
mempunyai peran penting dalam apoptosis aktif. Mungkin FasL dilarutkan menjadi sFasL oleh
metaloproteinase matriks (MMP's). Pada pengikatan Fas/FasL terjadi oligomerisasi dari
reseptor yang mengakibatkan bagian intraseluler dari CD95 menggumpal dan dikenal dengan
sebutan “death domain”. Protein lain yang kemudian direkrut dari sitoplasma dan berfungsi
juga sebagai “death domain” adalah FADD (Fas associated death domain). FADD merupakan
molekul adaptor yang berperan merekrut caspase. Untuk mempermudah proses ini molekul
FADD mengandung molekul pengikat yang disebut DED (death effector domain) yang juga
dimiliki oleh procaspase-8, sehingga keduanya dapat saling berikatan. 15,25,26
FADD ini melekat pada reseptor kematian dan mulai berikatan dengan bentuk inaktif
dari caspase 8 melalui DEDs untuk membentuk kompleks. Molekul pro-caspase 8 ini
kemudian dibawa ke atas dan kemudian pecah menjadi caspase 8 aktif. Aktivasi caspase-8
memulai kaskade caspase melalui proses efektor caspase 3, 6, dan 7 yang kemudian memotong
protein substrat. Pemotongan dari substrat caspase ini memulai karakteristik morfologi dan
gambaran biokimia apoptosis. Caspase-8 mengaktivasi caspase-3, yang akhirnya melaksanakan
apoptosis dengan melepaskan DNAse caspase- yang diaktifkan CAD dari inhibitornya (ICAD)
yang menyebabkan fragmentasi DNA. Mekanisme yang penting lainnya, caspase-8 juga dapat
membelah ikatan pro-apoptosis, yang kemudian, melalui interaksi dengan Bax dan Bak,
translokasi pada mitokondria dan menyebabkan pelepasan sitokrom C (Cyt C) (lihat gambar
5.)8,26 Jalur ini dapat dihambat oleh protein FLIP, tidak menyebabkan pecahnya enzim pro-
caspase 8 dan tidak menjadi aktif.20,25
Jalur yang kedua dari jalur ekstrinsik ini adalah melalui jalur efektor sel T sitolitik. Sel
T sitotoksik dapat melepaskan granzim B dan perforin, suatu protein pembentuk pori. Granzim
B secara langsung dapat mengaktifkan caspase-3 melalui belahan tengah. Mekanisme ini juga
dapat memotong caspase-8. Setelah caspase-3 diaktifkan dimulailah rangkaian caspase yang
kemudian memotong protein substrat.15,26
18
Jalur yang ketiga dari jalur ekstrinsik adalah jalur deplesi faktor pertumbuhan. Faktor
pertumbuhan diekspresikan oleh sel-sel yang berada disekitarnya. Bila sinyal faktor
kelangsungan hidup ini berkurang, akan memicu pelepasan Cyt C melalui aktivasi Bax dan
Bak. Selanjutnya Cyt C akan mengaktivasi jalur caspase yang selanjutnya memotong protein
substrat (Gambar 5).15
Gambar 5. menunjukkan skematis dari lima jalur berbeda yang terlibat dalam apoptosis.15
3.1.1.2 Jalur intrinsik
Sinyal apoptosis yang datang dari dalam sel biasanya berasal dari nukleus akibat
kerusakan DNA yang diinduksi irradiasi, obatan atau stres lainnya. Kerusakan DNA pada
kebanyakan kasus diakibatkan oleh aktivasi faktor transkripsi p53 yang mempromosikan
ekspresi anggota pro-apoptosis Bcl-2 dan supresi antiapoptosis Bc1-2 dan Bcl-XL. Organela
19
Gambar 1.
lain selain mitokondria dan nukleus seperti retikulum endoplasmik (RE) dan lisosom juga
terlibat pada jalur sinyal apoptosis, dan juga nampaknya terdapat ratusan protein lainnya
mempunyai peranan dalam faktor jaringan pro-dan antiapoptosis.16,23
Jalur intrinsik pertama berasal dari mitokondria yang merespon sinyal stres fisik dan
kimia dengan melepaskan Cyt C.6 Mitokondria merupakan organela sel yang mengandung
genom 16 kb yang terbungkus membran dari dalam dan luar oleh sejumlah protein, termasuk
Cyt C, yang terletak di antara kedua membran ini. Cyt C merupakan bagian integral dari rantai
respirasi yang berada dan larut diantara membran luar dan dalam mitokondria. Mitokondria
berperan penting dalam meregulasi apoptosis, melalui lepasnya Cyt C, hilangnya potensial
transmembran mitokondria akibat gangguan oksidasi reduksi sel serta peran dari Bcl-2 pro dan
anti apoptosis.15,16
Faktor pertumbuhan dan sinyal lainnya dapat merangsang pembentukan protein anti
apoptosis. Protein anti apoptosis yang utama adalah: Bcl-2 dan Bcl-x, yang pada keadaan
normal terdapat pada membran mitokondria dan sitoplasma. Pada saat sel mengalami stres,
Bcl-2 dan Bcl-x menghilang dari membran mitokondria dan digantikan oleh pro-apoptosis
protein, seperti Bak, Bax, Bim. Sewaktu kadar Bcl-2, Bcl-x menurun, permeabilitas membran
mitokondria meningkat, beberapa protein dapat mengaktifkan kaskade caspase. Salah satu
protein tersebut adalah Cyt C yang diperlukan untuk proses respirasi pada mitokondria. 16,26
Jalur mitokondria ini terjadi oleh karena adanya permeabilitas mitokondria dan
pelepasan molekul pro-apoptosis ke dalam sitoplasma, tanpa memerlukan reseptor kematian.
Sinyal apoptosis di mitokondria termasuk pelepasan Cyt C dari ruang intermenbran
mitokondria ke sitosol berguna dalam pembentukan apoptosome yang mengandung Cyt C, . Di
dalam sitosol, Cyt C berikatan dengan protein Apaf-1 (apoptosis activating faktor-1) dan
mengaktivasi caspase-9. Apoptosom akan mengaktivasi caspase 9 yang merupakan inisiator
caspase lainnya yang selanjutnya akan memperantarai kaskade caspase melalui aktivasi
caspase-3. 16,26,27
Faktor proapoptosis mitokondria lainnya adalah Smac yang bekerja sebagai
penghambat IAPs penghambat aktivitas caspase. IAPs adalah keluarga protein dengan
aktivitas sebagai antiapoptosis dengan menghambat caspase secara langsung. Ekspresi IAP
dapat ditingkatkan responnya terhadap sinyal pertahanan seperti yang datang dari reseptor
growth factor, aktivasi dari transkripsi faktor NF-kB, yang berarti menekan sinyal apoptosis.
Antiapoptosis keluarga Bcl-2 seperti Bc1-2 dan Bc1-XL yang bekerja meniadakan aksi protein
20
BH-3 seperti Bid, juga proapoptotis Bax dan Bak, selanjutnya dapat menghambat kejadian
proapoptosis mitokondria.16,26,27 Protein mitokondria lainnya seperti apoptosis inducing faktor
(AIF) memasuki sitoplasma dengan berbagai inhibitor apoptosis yang pada keadaan normal
berfungsi menghambat aktivasi caspase.15
Gambar 6. Jalur kematian Intrinsik yang diperantarai jalur mitokondria 15
Jalur kedua dari jalur intrinsik dapat berasal dari retikulum endoplasmik sekarang
dikenali sebagai suatu organel penting yang meregulasi jalur apoptotik intrinsik. RE merupakan
gudang kalsium intraselular utama, berfungsi untuk pelipatan protein yang tepat. Sinyal
apoptosis karena stres RE tergantung pada pelepasan kalsium, walaupun mekanisme pastinya
belum diketahui. Protein pengikat kalsium Annexin V telah terbukti diperlukan pada apoptosis
yang diinduksi stres RE.16
Jalur RE menginduksi apoptosis sebagai reaksi terhadap stres. Jalur apoptosis melalui
RE diisiasi dengan merangsang jalur mitokondria atau dengan langsung menargetkan inti sel.
Pada tikus, kedua caspase 7 dan 12 terkait dengan jalur ini. Caspase-12 diaktifkan sebagai
21
respon terhadap sinyal stres seperti hipoksia. Inisiasi jalur ini berbeda, dilakukan dengan cara
berkumpul lebih lanjut ke hilir dengan mengaktivasi caspase-3. Efektor caspase-3 memotong
ICAD (inhibitor CAD) dan melepaskan dari CAD (caspase- DNAase diaktifkan). CAD
translocate dari sitoplasma ke nukleus dan sekarang dapat bertindak sebagai endonuklease aktif
dan fragmen DNA.15, 27,28
3.1.1.3 Eksekusi
Berbagai perangkat efektor kematian, misalnya enzim protease, nuklease dan
transglutaminase merupakan eksekutor yang menyebabkan fragmentasi berbagai struktur sel,
setelah sebelumnya didahului oleh rangkaian aktivasi kaskade kelompok enzim caspase,
kemudian terjadi aktivasi nuklease dan protease.16
Nuklease (endonuklease) memotong rantai DNA pada daerah internukleosom. Karena
setiap nukleosom besarnya 180-200 bp maka pemotongan tersebut menghasilkan fragmen
DNA yang panjangnya adalah kelipatan 180-200 bp menjadi unit-unit nukleosom. Degradasi
DNA setelah terjadi aktivasi caspase pada apoptosis terjadi melalui berbagai macam cara. Pada
elektroforesis DNA ini tampak sebagai DNA–ladder.16,27 Protease memfragmentasi protein dari
sitoskeleton dan berbagai struktur sel lainnya, sedangkan transglutaminase menyebabkan
crosslinkage dari berbagai struktur sel sehingga mengkerut.
Setelah sel menerima sinyal yang sesuai untuk apoptosis, selanjutnya organela-organela
sel akan mengalami degradasi yang diaktivasi oleh caspase proteolitik. Sel yang mulai
apoptosis, secara mikroskopis akan mengalami perubahan sebagai berikut: 16,29
a. Sel mengkerut dan lebih bulat, karena pemecahan proteinaseous sitoskeleton oleh
caspase.
b. Sitoplasma tampak lebih padat.
c. Kromatin mengalami kondensasi dan fragmentasi yang padat pada inti (pykotik).
Kromatin berkelompok dibagian perifer, di bawah membran inti menjadi massa padat
dalam berbagai bentuk dan ukuran.
d. Membran inti menjadi terputus (discontinue) dan DNA yang ada didalamnya pecah
menjadi frgamen-fragmen (karyoheksis). Degradasi DNA ini mengakibatkan inti
terpecah menjadi beberapa unit nukleosomal.
e. Membran sel memperlihatkan tonjolan-tonjolan yang tidak beraturan/blens pada
sitoplasma.
22
f. Sel terpecah menjadi beberapa fragmen, yang disebut dengan apoptotic bodies
g. Apoptotic bodies ini akan difagosit oleh sel yang ada disekitarnya.
3.1.1.4 Pengangkatan sel yang mati (tahap eliminasi)
Sel yang mati pada tahap akhir apoptosis mempunyai suatu fagositik molekul pada
permukaannya (contoh: phosphatidylserine). Phosphatidylserine ini pada keadaan normal
berada pada permukaan kutosolik dari membrane plasma, tetapi pada proses apoptosis
tersebar pada permukaan ekstraseluler melalui scramblase. Molekul ini merupakan suatu
penanda sel untuk fagositosis oleh sel yang mempunyai reseptor yang sesuai, seperti
makrofag. Selanjutnya sitoskeleton memfagosit melalui engulgment pada molekul tersebut.
Pengangkatan sel yang mati melalui fagosit terjadi tanpa disertai dengan respon inflamasi.16,29
Gambar 7. Tahap eminasi, dimana apoptotic body dibersihkan oleh makrofag
3.2 Peran apoptosis pada patogenesis PPOK
23
Secara singkat pada bab sebelumnya dikatakan bahwa makrofag alveolar yang diaktifkan
akan melepaskan elastase yang dapat menghancurkan jaringan paru yang mengalahkan
aktivitas antiprotease. 29,30 Namun karena banyaknya perokok dan pasien dengan inflamasi
parenkim paru yang berat, seperti pneumonia dan sindrom distress pernapasan (ARDS) tetapi
tidak secara bermakna berkembang menjadi emfisema, hipotesis ini mungkin tidak sepenuhnya
dapat menjelaskan hilangnya jaringan paru akibat rokok yang menginduksi emfisema.22,23
Pada awal tahun 1950, para peneliti mempelajari faktor potensial lainnya yang
berkonstribusi dalam patogenesis emfisema. Faktor pertama diduga akibat adanya
pemangkasan cabang arteri yang didapat pada spesimen patologis pasien emfisema. Para
peneliti mendapatkan kurangnya vaskularisasi paru pasien emfisema serta alveoli yang hampir
avaskular.22
Pada pasien PPOK terjadi peningkatan apoptosis sel epitel alveolar dan sel endotel paru
tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan proliferasi. Hasil bersihan kerusakan jaringan paru
ini berkembang menjadi emfisema. Data penelitian pada hewan percobaan diduga terdapat
peran Vascular Endothelial Growth Faktor (VEGF) dalam induksi apoptosis sel struktural
paru. Sedangkan mediator lain apoptosis, seperti caspase-3 dan ceramide, bisa menyebabkan
apoptosis dan berkembang menjadi emfisema. 8
Liebow dkk, dalam penelitiannya mengemukakan hipotesis pertama tentang atropi
vaskular sebagai konsep emfisema. Sebelum menemukan hubungan antara emfisema panacinar
dengan defisiensi alfa-1-antitrypsin akibat genetik, berdasarkan pada pemeriksaan histologi
emfisema paru, mereka menunjukkan septa alveolar pada emfisema sentrilobular tampaknya
sangat tipis dan hampir avaskular. 8,22 Mereka menyatakan bahwa penipisan alveolar mungkin
akibat penurunan suplai darah. Mereka menganggap pengurangan pasokan darah melalui
pembuluh darah kecil prekapiler menginduksi hilangnya septa alveolar. 28,29 Beberapa peneliti
kembali pada perkembangan hipotesis awal vaskular dan emfisema, mengusulkan hilangnya
jaringan paru pada emfisema mungkin melibatkan hilangnya endotel kapiler dan sel epitel yang
progresif melalui proses kematian sel terprogram, apoptosis.30
Seperti halnya pada apoptosis yang berlangsung fisiologis, apoptosis yang terjadi dalam
patogenesis PPOK dapat terjadi melalui jalur intrinsik maupun ekstrinsik. Patogenesis
apoptosis pada PPOK melibatkan interaksi dengan mekanisme patogenesis lain. Apoptosis
dianggap bagian akhir dari patogenesis PPOK, dimana semua mekanisme patogenesis akan
berhilir pada apoptosis.
24
3.2.1 Apoptosis sel endotel
Endotelium vaskular paru berfungsi sebagai penjaga pintu gerbang beredarnya sel
inflamasi dan sel efektor imunitas. Endotel vaskular juga berperan aktif dalam menjaga sistem
umpan balik sistemik dan lokal (parakrin), dengan cara mengelolah secara aktif sinyal-sinyal
mediator. Septa alveolar paru, (terdiri dari endotelium, epitel dan interstitium yang tipis)
membentuk penghalang udara-darah tempat terjadi pertukaran udara. Membran basal endotel
dan epitel tampaknya saling menyatu untuk memperluas lebih dari setengah perimeter panjang
kapiler, membentuk septum alveolar-kapiler. Septa ini adalah tempat yang ideal untuk transfer
udara karena luas permukaan yang tersedia maksimal untuk pertukaran udara dengan jarak
difusi yang minimal. Karena hubungan yang erat antara komponen septum, sel endotel yang
matur terus berinteraksi dengan sel epitel yang bersebelahan dalam mempertahankan struktur
alveolar. Endothelium-dependent growth of pulmonary vascular structures (vaskulogenesis)
terjadi selama fase awal pengembangan paru dan sangat penting dalam pembangunan struktur
paru-paru, khususnya alveoli fungsional. Hambatan vaskulogenesis/angiogenesis dapat
menurunkan perkembangan alveolarisasi paru. Karena hubungan yang erat antara komponen
septa, sel-sel endotel yang matur melanjutkan diri untuk berinteraksi dengan sel epitel
disebelahnya agar dapat menjaga struktur alveolus.22
Salah satu kunci yang berfungsi sebagai mediator dalam kontak antar sel-sel tersebut
untuk menjaga homeostasis septa adalah faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), suatu
mitogen yang poten dan sebagai faktor angiogenik yang terlibat dalam pengembangan dan
pemeliharaan sel endotel vaskular serta permeabilitas dan vasodilatasi vaskular. VEGF ini
disediakan dalam hampir semua jaringan, bertindak sebagai faktor kelangsungan hidup yang
ampuh untuk sel endotel, menghambat terjadinya apoptosis baik in vitro maupun in vivo.
VEGF memiliki dua reseptor tirosin kinase utama, VEGFR-1 (Flt1) dan VEGFR-2
(KDR/Flk1), yang terdapat pada sel endotel vaskular dan sel-sel hematopoietik, dengan
VEGFR-2 bertanggung jawab atas sebagian besar mitogenik, angiogenik dan permeabilitas
yang meningkatkan sifat VEGF.22,23
VEGF yang berlimpah diekspresikan dalam jaringan paru-paru normal, dimana tempat
utamanya adalah pada sel epitel alveolar dengan reseptor yang terdapat pada perbatasan sel
endotel. Selama pengembangan, ekspresi VEGF oleh jaringan mesenkim dan sel-sel epitel di
percabangan saluran napas memandu diferensiasi sel endotel dan angiogenesis, dan
menghambat VEGF di paru-paru menyebabkan kematian sel endotel paru. Septa alveolus
25
sebagai lokasi komunikasi antar sel yang sangat tergantung dengan VEGF ini menyebabkan
perkembangan konsep baru dalam patogenesis pembesaran ruang udara pada PPOK. 22,23
3.2.1.1 Peran faktor pertumbuhan endotel dalam patogenesis PPOK
Ekspresi utama VEGFR-2 pada sel endotel septa alveolar diteliti lebih mendalam. Sel
epitel jalan napas mungkin memiliki peran penting dalam mengatur pemeliharaan struktur dan
fungsi pembuluh darah, serta perbaikan dan remodeling struktur alveolar melalui ekspresi
VEGF. VEGF bertindak sebagai faktor kelangsungan hidup potensial sel endotel, menghambat
apoptosis baik in vitro dan in vivo.22
Peningkatan apoptosis sel epitel sebagai tempat utama produksi VEGF, mungkin
dinilai sebagai sebab terjadinya penurunan ekspresi VEGF. VEGF berfungsi menginduksi
ekspresi protein antiapoptotik dan VEGF bertindak sebagai faktor kelangsungan hidup untuk
sel endotel. Jika jumlah VEGF berkurang dan sinyal transduksi melalui VEGF R2 terganggu,
maka sel-sel endotel alveolar bisa mati. Kegagalan mikrosirkulasi yang diakibatkan kerusakan
sel endotel lebih lanjut dapat menyebabkan kematian sel pneumosit, sehingga menambah
lingkaran setan kerusakan sel paru (Tsao dan rekan 2004).23,31
Yokohori dkk, (2004) juga menemukan sebagian kecil sel dinding alveolar mengalami
apoptosis dan proliferasi secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan emfisema pada
perokok dan bukan perokok asimtomatik. Pasien dengan emfisema juga menunjukkan
peningkatan indeks Bax yang bermakna. Diduga protein Bax yang berlebih ini terlibat dalam
proses apoptosis dinding sel alveolar. 22
Imai dkk, menjelaskan adanya peningkatan apoptosis sel (sel epitel alveolar, sel
endotel dan sel mesenkimal), serta peningkatan subunit caspase-3 yang diaktifkan (sebagai
salah satu caspase penting dalam apoptosis) pada jaringan paru penderita emfisema. Ekspresi
pro-apoptosis protein Bax dan Bad terdeteksi pada pasien emfisema, tetapi tidak terjadi pada
pasien kontrol. Anti-apoptosis protein Bcl-2 tidak terdeteksi baik kontrol normal atau jaringan
paru-paru penderita emfisema. Menariknya, peningkatan proliferasi sel ditemukan pada paru-
paru emfisematous.22,30
Penelitian Tuder dan Voelkel berisi serangkaian percobaan yang mengulang konsep
atrofi vaskular dari emfisema dengan sepenuhnya menggunakan pendekatan baru. Mereka
menjelaskan bahwa apoptosis sel endotel, diinduksi oleh hal yang menghambat faktor sinyal
kelangsungan hidup VEGF. Hambatan VEGF dapat menyebabkan penurunan vaskularisasi,
26
menginduksi apoptosis sel alveolar dan menyebabkan pembesaran ruang napas, sebagai ciri
khas emfisema. Blokade Kronis reseptor VEGF in vivo (dengan inhibitor farmakologis spesifik
reseptor VEGF SU5416) pada tikus hanya 3 minggu menghasilkan kematian dinding sel
alveolar, pembesaran saluran napas dan pemangkasan cabang vaskular paru - semua tanpa
proses peradangan atau fibrosis.12,32 Kerusakan septa alveolar yang disebabkan oleh blokade
reseptor VEGF merupakan akibat dari peningkatan apoptosis sel alveolar dan bukan akibat
hambatan proliferasi selular normal. Pemberian caspase inhibitor akan mencegah apoptosis
kedua sel septa alveolar dan mencegah pembesaran ruang udara. Studi ini juga menunjukkan
bahwa emfisema dapat disebabkan oleh faktor non-inflamasi dan hambatan kronis reseptor
VEGF menyebabkan apoptosis sel endotel paru dan menjadi emfisema.28,29,32
Gerber dkk, menemukan bahwa pengobatan mencit dengan larutan protein chimeric
VEGFR2, efektif menetralkan VEGF dan mencegah pembesaran ruang udara. Sedangkan Tang
dkk, menemukan bahwa ablasi target VEGF paru pada tikus (dengan menggunakan strategi
transfeksi Cre-lox) mengakibatkan penurunan kadar baik VEGF maupun VEGFR2, seiring
kerusakan septa alveolar dan hilangnya elastisitas rekoil. Secara bersama-sama, studi ini
menunjukkan bahwa sinyal VEGF diperlukan dalam pemeliharaan struktur alveolar dan
blokade faktor ini menyebabkan sel endotel mati karena apoptosis, dan akhirnya terjadi
kerusakan parenkim paru menjadi emfisema.28,29,33
Apa relevansi hal ini dengan emfisema pada manusia? Menindaklanjuti studi hewan ini,
beberapa kelompok penelitian melakukan penelitian ekspresi VEGF pada pasien dengan
emfisema. Mereka menyatakan bahwa penurunan ekspresi VEGF dan/atau VEGFR2 juga
terlibat dalam emfisema pada manusia. Kasahara dkk, membandingkan jaringan paru pasien
emfisema dengan jaringan paru perokok sehat dan kontrol yang bebas asap rokok. Penelitian ini
mendapatkan adanya penurunan ekspresi mRNA protein, baik VEGF maupun VEGFR2 pada
paru-paru emfisema dibandingkan dengan kontrol perokok maupun kontrol yang bukan
perokok. Mereka juga menemukan adanya peningkatan apoptosis epitel dan sel endotel septa
alveolar pada emfisema paru dibandingkan dengan kontrol. Seperti halnya penelitian pada
hewan percobaan, blokade-VEGF menyebabkan apoptosis. Hal ini juga terlihat meningkat pada
emfisema paru pada penelitian manusia, tetapi tidak disertai dengan peningkatan inflamasi
yang berarti. Penelitian ini mendapatkan tidak dijumpainya tanda-tanda peradangan akut dan
kronis yang nyata pada daerah paru emfisematous yang mengalami apoptosis.22,34
27
Dalam studi paralel, peneliti membandingkan tingkat VEGF, spirometri dan transfer gas
pada pasien dengan penyakit paru (PPOK dan kontrol sehat) menemukan tingkat penurunan
VEGF dahak pasien dengan PPOK dibandingkan dengan kontrol. Selain itu, penurunan VEGF
pada pasien dengan PPOK yang emfisema berkorelasi dengan tingkat keparahan hambatan
aliran udara yang diukur dengan FEV1.22
Studi lebih lanjut yang membandingkan kadar VEGF dalam bilasan cairan
bronkhoalveolar (BALF) pasien dengan PPOK dan kontrol yang sehat, mencatat penurunan
tajam ekspresi VEGF baik pada pasien dengan penyakit paru dan perokok sehat dibandingkan
dengan sehat bukan perokok. Pada PPOK,sebelum berkembang menjadi emfisema terjadi
penurunan ekspresi VEGF hampir 10 kali lipat. 23,33
Selain itu, studi manusia telah menghubungkan terjadinya apoptosis pada sel epitel dan
endotel pada septa alveolar pasien dengan emfisema, terdapat korelasi tingkat apoptosis dengan
keparahan penyakit. Selanjutnya, studi yang membandingkan apoptosis sel paru antara kontrol
sehat, perokok sehat dan pasien PPOK telah menunjukkan peningkatan apoptosis sel paru pada
perokok kronis sebelum berkembang menjadi PPOK klinis. 23,29,34
Untuk lebih mengeksplorasi peran apoptosis dalam patogenesis emfisema penderita
PPOK, Aoshiba dkk, melakukan serangkaian penelitian in vivo dan in vitro menggunakan
bahan caspase-3 aktif (merupakan agen apoptosis langsung) dan nodularin (sebuah
serin/treonin inhibitor kinase yang menginduksi apoptosis caspase-dependent). Meskipun
pemberian secara langsung caspase-3 aktif tidak memiliki efek, tetapi pada pemberian
nodularin dan transfeksi sel epitel saluran udara dengan dosis tunggal caspase-3 aktif
menyebabkan apoptosis sel alveolar dan pembesaran saluran napas 2 jam awal setelah
pemberian, dengan efek awetan sampai 15 hari, terutama tanpa adanya inflamasi atau fibrosis.
Menggunakan zymography elastin in situ, penelitian tersebut menemukan peningkatan aktivitas
elastolitik pada BALF hewan percobaan 1 jam awal setelah perlakuan terlokalisasi apoptosis
sel-sel epitel. Transfeksi caspase-3 aktif dan pemberian nodularin, keduanya menyebabkan
hilangnya jaringan elastin dinding alveolar 6 jam awal setelah pemberian seiring dengan
peningkatan produk elastin yang larut dalam BALF. Studi-studi ini adalah yang pertama
memberikan bukti langsung bahwa apoptosis sel alveolar, tanpa inflamasi, dapat memicu
pelepasan elastase yang berarti yang cukup untuk menyebabkan kehancuran elastin dan
menjadi PPOK.22,34
28
3.2.3 Apoptosis dan interaksi dengan patogenesis lain
Mekanisme patogenesis PPOK seperti disebutkan sebelumnya, melibatkan beberapa
mekanisme lain dalam pengembangannya yaitu: inflamasi, ketidakseimbangan proteinase anti-
proteinase dan oksidatif stres. Apoptosis berinteraksi dengan semua jalur, menambah
kompleksitas penyakit (Gambar 8). 12
3.2.3.1 Apoptosis dan inflamasi.
Hubungan antara apoptosis dan inflamasi telah diteliti pada beberapa kelompok
penelitian. Beberapa kelompok penelitian menunjukkan bahwa setidaknya pada hewan
percobaan, apoptosis dinding alveolar atau sel endotel sudah cukup menyebabkan emfisema
paru, bahkan tanpa akumulasi sel-sel inflamasi. 8,12
Dari beberapa penelitian penderita PPOK dan kontrol, didapatkan adanya hubungan
antara infiltrasi sel inflamasi dan interaksi antara sel inflamasi dan mekanisme apoptosis.
Makrofag alveolar penderita dengan PPOK diduga kurang efektif dalam memfagosit apoptosis
sel epitel saluran napas dibandingkan dengan kontrol. Hal Ini mungkin diperantarai oleh
adanya infiltrasi sejumlah neutrofil yang diaktifkan pada penderita PPOK. Telah menunjukkan
bahwa neutrofil elastase memotong reseptor phosphatidylserine pada makrofag, mengakibatkan
gangguan pembersihan sel apoptosis sel dan menyebabkan inflamasi terus berlanjut.8,12
Selain neutrofil dan makrofag, terdapat juga peningkatan limfosit CD8-T di paru
penderita PPOK. Sitotoksik CD8 T-sel ini bisa menyebabkan apoptosis sel epitel alveolar
melalui pelepasan perforins, granzim-B dan TNF-α. 12
29
Gambar 8. Interaksi apoptosis dengan mekanisme patogenesis lain dalam PPOK, termasuk inflamasi, stres oksidatif dan ketidakseimbangan protease-antiproteinase. 1. Neutrofil elastase (NE) memotong reseptor phosphatidylserine pada makrofag, sehingga gangguan bersihan sel apoptosis dan inflamasi berlangsung terus menerus. 2. Sel T Sitotoksik CD8 + menyebabkan apoptosis sel epitel alveolar melalui pelepasan perforins dan granzim-B. 3. Degradasi membrane basalis (BM) oleh MMPs menyebabkan hilangnya sinyal bertahan hidup dan menginduksi apoptosis sel epitel. 4. Apoptosis juga mungkin akan dipengaruhi langsung oleh proteolitik yang merangsang sinyal kematian. MMP-7 sheds mengaktifkan Fas ligan (FasL) yang dihasilkan oleh sel epitel, sehingga mediasi apoptosis. 5. Stres oksidatif dapat menyebabkan penurunan kadar VEGF. Penurunan VEGF mengakibatkan apoptosis sel-sel endotelial alveolar. NE: elastase neutrofil; BM: membran basal; MMPs: metaloproteinase matriks; TIMP: jaringan inhibitor metaloproteinase; α1-AT: α1-anti-tripsin; FasL: Fas ligan; VEGF: faktor pertumbuhan endotel vaskular.12
3.2.3.2 Apoptosis dan ketidakseimbangan proteinase-antiproteinase
Peningkatan aktivitas proteolitik di paru penderita PPOK mungkin mendukung
terjadinya apoptosis dalam beberapa cara. Membran basalis sel paru mengandung sinyal yang
berfungsi untuk kelangsungan hidup sel. Bila terjadi degradasi membran basalis oleh matrik
metaloproteinase akan menyebabkan hilangnya sinyal kelangsungan hidup sehingga dapat
menginduksi terjadinya apoptosis. Apoptosis mungkin akan dipengaruhi oleh proteolitik yang
langsung menginduksi sinyal kematian. Proses apoptosis diinduksi juga oleh hilangnya kontak
antara sel-matriks yang sesuai (disebut Anoikis) yang terlibat dalam homeostasis jaringan
dengan mempertahankan jumlah sel epitel jaringan. 12,32
30
Aoshiba dan rekan menyatakan bahwa adanya kaitan antara sel-matriks ekstrasel yang
memodulasi terjadinya apoptosis epitel bronkial. Selain itu, mereka melaporkan terdapat
aktivitas elastolitik pada apoptosis sel epitel paru pada tikus percobaan yang emfisema. Pada
penelitian ini juga menunjukkan bahwa simpanan MMP-7, aktivasi Fas ligan yang dihasilkan
oleh sel epitel, memediasi apoptosis. 12,33
3.2.3.3 Apoptosis dan stres oksidatif
3.2.4.3.1 Asap rokok dan peran oksidatif stres pada disfungsi endotel dan perkembangan
emfisema
Asap rokok kronis secara in vivo menyebabkan peningkatan apoptosis sel-sel endotel,
sel bronkial dan sel epitel alveolar dan makrofag alveolar. Ekstrak asap secara in vitro dapat
mengaktifkan caspase-3 dan menginduksi apoptosis pada sel endotel paru serta sel epitel
saluran napas. Asap rokok memicu apoptosis pada sel-sel melalui beberapa jalur termasuk
stres oksidatif langsung, VEGF, mitokondria dan kerusakan DNA inti sel, dan limfosit-
dependent atau sinyal reseptor TNF. 7,12
Stres oksidatif sudah lama dikenal memiliki peran dalam apoptosis dan terlibat dalam
pengembangan emfisema, tetapi juga memiliki peran penting dalam pemeliharaan sel normal.
Seperti diketahui, oksidan tidak hanya menyebabkan kerusakan sel dan kematian, tetapi juga
dapat memodulasi jenis kematian: apoptosis versus nekrotik. Stres oksidatif tampaknya
memiliki peran pada apoptosis yang diinduksi asap rokok yang selanjutnya berkembang
menjadi PPOK. Setiap kepulan asap mengandung selain molekul oksidan, juga banyak unsur
lain, termasuk nikotin, yang secara tidak langsung menimbulkan stres oksidatif. Dalam studi in
vivo menunjukkan bukti stres oksidatif, diukur dengan penanda lipid peroksidasi, termasuk
substrat asam-reaktif thiobarbituric dan 4-hidroksi-2-nonenal (4-HNE), pada paru-paru perokok
dan PPOK, dengan kadar yang berhubungan terbalik dengan tingkat keparahan penyakit yang
diukur dengan FEV1. Bahkan penanda peroksidasi lipid, DNA oksidasi dan protein oksidasi
juga terbukti meningkat dalam BALF dan jaringan paru perokok bahkan tanpa adanya PPOK.7
Tuder dkk, menerangkan bahwa stres oksidatif dapat menyebabkan apoptosis sel
endotel dan berlanjut menjadi PPOK dengan jalan menghambat VEGFR. Pada percobaan
mereka didapatkan bahwa apoptosis paru yang terjadi didominasi oleh stres oksidatif. Tetapi
setelah dilakukan hambatan proses apoptosis didapatkan berkurangnya penanda stres oksidatif.
Pada pemberian senyawa aktivitas antioksidan yang berfungsi mencegah perkembangan
31
apoptosis sel alveolar, mempunyai reaksi umpan balik positif buat interaksi antara stres
oksidatif dan apoptosis. Pada kelompok percobaan tikus lain menunjukkan: apabila terdapat
gangguan ekspresi gen antioksidan, akan meningkatkan jumlah apoptosis septum sel alveolar
(terutama endotel dan epitel paru) dan akan berkembang menjadi emfisema dini dan luas
sebagai respon terhadap asap rokok.7,12
Superoksida dismutase mimesis dapat menghambat ekspresi penanda stres oksidatif
paru dan selanjutnya menghambat apoptosis sel septa alveolar. Inhibisi caspase, dikenal
sebagai agen penghambat apoptosis dan PPOK, juga menurunkan penanda ekspresi stres
oksidatif paru dan memperkenalkan kemungkinan bahwa apoptosis sendiri memberikan
kontribusi terhadap stres oksidatif. Hal ini menciptakan lingkaran umpan balik positif di mana
stres oksidatif menyebabkan apoptosis yang pada gilirannya selanjutnya apoptosis akan
meningkatkan stres oksidatif.7,12,29
Kanazawa dkk, menunjukkan hasil penelitian bahwa pada sputum penderita PPOK
didapatkan adanya peningkatan tingkat stres oksidatif dan kebalikannya terjadi penurunan
kadar VEGF. Perubahan ini meningkat seiring dengan tingkat keparahan penyakit. Hasil
temuan ini memperjelas hubungan antara ketidakseimbangan oxidan-antioxidan dan
homeostasis VEGF pada dinding alveolar paru penderita PPOK. Kanazawa berhipotesis bahwa
cedera sel epitel yang terjadi diperantarai oleh stres oksidatif menyebabkan penurunan kadar
VEGF paru, mengakibatkan perkembangan PPOK. Data ini jelas menunjukkan bahwa proses
apoptosis bukan proses yang berdiri sendiri pada perkembangan PPOK.7
Hubungan yang rumit antara asap rokok menginduksi stres oksidatif dan apoptosis sel
endotel secara jelas ditekankan dalam penelitian pada tikus. Kerentanan stres oksidatif
kemungkinan ditingkatkan oleh penghapusan genetik Nrf2, suatu faktor transkripsi yang
mengatur enzim antioksidan, sehingga meningkatkan risiko terjadinya apoptosis dan PPOK.7,12
Stres oksidatif secara langsung tidak mewakili satu-satunya hubungan antara asap rokok
dan apoptosis. Asap rokok juga turut mengatur ekspresi reseptor VEGF, mengurangi ekspresi
VEGF oleh sel epitel dan menghambat VEGF sebagai kelangsungan hidup sel endotel. Induksi
mitokondria dan kerusakan DNA akibat paparan asap rokok juga menginduksi apoptosis epitel
alveolar dan sel endotel. Akhirnya, asap rokok membangkitkan peradangan alveolar dengan
melepaskan sitokin seperti faktor nekrosis tumor α (TNF-α), interleukin 1B (IL-1B), IL-8,
leukotrin B4 (LTB4) dan faktor pertumbuhan transformasi β (TGF-β), yang telah terbukti
memberikan kontribusi terhadap kerusakan elastolitik paru PPOK.7,8,12
32
Gambar 9. Asap rokok, stres oksidatif dan apoptosis dalam patogenesis PPOK. Oksidatif stres dari asap rokok menyebabkan apoptosis sel epitel alveolar dan penurunan ekspresi VEGF. Hal ini pada gilirannya menginduksi apoptosis sel endotel septum alveolar dengan pelepasan protease, penghancuran matriks ekstraselular (ECM) dan akhirnya unit alveolar hilang.7
Perkembangan dalam pemahaman tentang mekanisme kerusakan paru-paru pada PPOK
menunjukkan adanya mekanisme umpan balik positif yang melibatkan apoptosis, stres oksidatif
dan matriks proteolitik, yang bersama-sama dengan mediator inflamasi membanjiri mekanisme
pertahanan atau pemeliharaan sel endotel alveolar. Penelitian yang sedang berlangsung akan
mengidentifikasi mediator yang berpotensi kritis yang memiliki pranala dan memperkuat
proses-proses yang merusak, dan mungkin dapat muncul sebagai target utama intervensi
terapeutik dalam PPOK. Sebuah hubungan yang berpotensi pada pusat apoptosis sel endotel
yang dikaitkan dengan mediator sinyal inflamasi (TNF- α) dan generasi stres oksidatif adalah
ceramide. Ciramide merupakan suatu sinyal sphingolipid, dikenal sebagai mediator apoptosis
dan cedera jaringan pada organ yang berbeda yang telah terbukti sebagai mediasi blokade
reseptor VEGF-yang menginduksi emfisema pada PPOK dan stres oksidatif pada percobaan
mencit dan tikus.7
33
Gambar 10. Menunjukkan skema apoptosis yang dipengaruhi penurunan VEGF dan dipengaruhi stres
oksidatif.25
3.2.5 Apoptosis diluar Paru
PPOK saat ini dianggap sebagai penyakit multi-komponen dengan manifestasi sistemik di
samping peradangan lokal paru.28 Di samping paru sebagai organ utama yang terkena penyakit,
PPOK juga sering disertai dengan kelainan sistemik.34 Pada PPOK terdapat gangguan
keseimbangan antara proses apoptosis dan regenerasi sel: sementara apoptosis struktur sel paru
berjalan pada pasien PPOK, beberapa sinyal apoptosis juga berlangsung pada sirkulasi sistemik
atau dalam otot rangka penderita PPOK. Pada PPOK terjadi kecenderungan peningkatan sel T
darah perifer sehingga kejadian apoptosis dapat dijelaskan. Peningkatan ini terlihat dari
peningkatan beberapa mediator lain yang terlibat dalam induksi apoptosis sel T, seperti TNF-
α/TNFR1, Fas dan TGFR.8 Para peneliti memberikan hipotesis bahwa meningkatnya apoptosis
sel T tidak seimbang dengan proses homeostasis, kerusakan mekanisme bersihan dan
pelestarian dari respon inflamasi. Takabatake dan rekan menjelaskan bahwa terdapat TNF-α
dan sTNF-R55 lebih tinggi serta terdapat peningkatan kadar R75 dalam sirkulasi penderita
34
PPOK, sedangkan kadar serum Fas ligan yang terlarut (sFas-L), suatu penginduksi apoptosis,
dan kadar Reseptor Fas plasma yang larut (sFas), suatu penghambat apoptosis, tidak meningkat
pada pasien PPOK. 8,12 Peneliti lain menggambarkan terdapat peningkatan yang bermakna kadar
sFas dalam plasma penderita PPOK berat dibandingkan dengan penderita PPOK ringan atau
sedang, sedangkan sFas-L berada dalam batas normal.
Kelemahan otot perifer, akibat atrofi otot biasanya terlihat pada pasien PPOK.
Mekanisme yang mungkin terjadi adalah akibat aktivasi jalur apoptosis yang dapat
menyebabkan penurunan jumlah serat otot. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa
peningkatan apoptosis otot rangka terdapat pada pasien dengan PPOK yang memiliki indeks
massa tubuh rendah (BMI) dibandingkan dengan penderita PPOK dengan BMI normal.
Osteoporosis merupakan manifestasi sistemik lainnya pada penderita PPOK.
Mekanisme tepat yang terlibat belum diketahui dengan pasti. Belum jelas apakah apoptosis
memberikan peranan dalam terjadinya osteoporosis pada penderita PPOK. Sejumlah penelitian
terbatas yang telah dilakukan untuk melihat hubungan ini belum bisa mendapatkan
relevansinya. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar dapat melihat adanya apoptosis di
luar paru yang menyertai apoptosis pada paru penderita PPOK, serta melihat pentingnya
apoptosis dalam perkembangan manifestasi sistemik dalam perjalanan penyakit. 12
35