bab iii revisi kelima

32
BAB III DASAR TEORI 3.1 Kriteria Keruntuhan Keruntuhan (failure) adalah suatu proses dimana material berubah dari satu perilaku menjadi kondisi perilaku yang lain. Kriteria keruntuhan merupakan hubungan tegangan dan regangan yang memberi sifat terjadinya keruntuhan batuan dan ditentukan berdasarkan hasil-hasil percobaan (eksperimen). Untuk membahas kriteria keruntuhan dikenal dua metode yaitu cara analitik dan cara empirik. Metode analitik meliputi : 1. Kriteria keruntuhan Mohr – Coulomb 2. Kriteria keruntuhan Tresca 3. Kriteria keruntuhan Drucker – Prager 4. Kriteria keruntuhan Von Mises 5. Kriteria keruntuhan Griffith Metode empirik meliputi : 1. Kriteria Bieniawski 2. Kriteria Protodyakonov 3. Kriteria Hoek dan Brown Sedangkan dalam penelitian kali ini kriteria keruntuhan yang digunakan adalah kriteria keruntuhan Mohr – Coulomb. 3.1.1 Teori Mohr Teori Mohr menganggap bahwa : 13

Upload: leonardus-aji-wicaksono

Post on 04-Jul-2015

1.210 views

Category:

Documents


27 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab III Revisi Kelima

BAB III

DASAR TEORI

3.1 Kriteria Keruntuhan

Keruntuhan (failure) adalah suatu proses dimana material berubah dari satu

perilaku menjadi kondisi perilaku yang lain. Kriteria keruntuhan merupakan

hubungan tegangan dan regangan yang memberi sifat terjadinya keruntuhan batuan

dan ditentukan berdasarkan hasil-hasil percobaan (eksperimen). Untuk membahas

kriteria keruntuhan dikenal dua metode yaitu cara analitik dan cara empirik.

Metode analitik meliputi :

1. Kriteria keruntuhan Mohr – Coulomb

2. Kriteria keruntuhan Tresca

3. Kriteria keruntuhan Drucker – Prager

4. Kriteria keruntuhan Von Mises

5. Kriteria keruntuhan Griffith

Metode empirik meliputi :

1. Kriteria Bieniawski

2. Kriteria Protodyakonov

3. Kriteria Hoek dan Brown

Sedangkan dalam penelitian kali ini kriteria keruntuhan yang digunakan adalah

kriteria keruntuhan Mohr – Coulomb.

3.1.1 Teori Mohr

Teori Mohr menganggap bahwa :

- Untuk suatu keadaan tegangan σ1 > σ2 > σ3, (intermediate stress) tidak

mempengaruhi failure batuan,

- Kuat tarik tidak sama dengan kuat tekan.

Teori ini didasarkan pada hipotesis bahwa tegangan normal dan tegangan

geser yang bekerja pada permukaan rupture memainkan peranan pada proses failure

batuan. Untuk beberapa bidang rupture dimana tegangan normal sama besarnya,

maka bidang yang paling lemah adalah bidang yang mempunyai tegangan geser

paling besar sehingga kriteria Mohr dapat ditulis sebagai berikut :

13

Page 2: Bab III Revisi Kelima

τ = f(σ) ………………………………………………………………….(1)

Untuk keadaan tegangan σ1 > σ2 > σ3 yang diposisikan pada bidang (τ ,σ),

terlihat bahwa lingkaran Mohr (σ1, σ3) mempengaruhi kriteria failure. Failure terjadi

jika lingkaran Mohr menyinggung kurva Mohr (kurva intrinsik) dan lingkaran

tersebut disebut lingkaran failure (lihat gambar 3.1).

Gambar 3.1

Kriteria Mohr

Kurva Mohr merupakan envelope dari lingkaran-lingkaran Mohr pada saat

failure. Kurva ini tidak dapat dinyatakan dengan sebuah rumus yang sederhana,

melainkan didapat dari hasil percobaan dengan menggambarkan envelope dari

beberapa lingkaran Mohr pada saat failure, pada berbagai kondisi tegangan. Kriteria

Mohr juga dapat digunakan untuk mempelajari kekuatan geser (shear strength) di

dalam patahan, kekar atau jenis-jenis diskontinuitas lainnya.

3.1.2 Kriteria Keruntuhan Mohr Coulomb

Keruntuhan geser suatu batuan tergantung pada kohesi material dan besarnya

tegangan normal yang bekerja pada dinding keruntuhan tersebut. Oleh karena itu

kriteria Mohr – Coulomb didefinisikan sebagai berikut :

τ = C + σ tan ø ……………………………………………………………(2)

Dengan :

τ = tegangan geser

σ = tegangan normal

C = kohesi

14

Page 3: Bab III Revisi Kelima

Ø

Øa

R

tan ø = koefisien geser dalam dari batuan

Berdasarkan Gambar 3.2 tegangan geser dinyatakan dalam rumus :

τ = C + σ tan ø

………………………………………………………….(3)

Gambar 3.2 Selubung Kekuatan Mohr – Coulomb

Dalam sumbu kartesian x dan y :…….…………………………………………………..(4)

dan menurut Mohr :

……………………………………………………(5)

……………………………………………… (6)

Dalam sumbu kartesian x dan y :

....................................................................(7)

Faktor keamanan (safety factor) dengan menggunakan kriteria Mohr –

Coulomb berdasarkan jarak dari titik pusat lingkaran Mohr ke garis kekuatan batuan

15

Page 4: Bab III Revisi Kelima

(kurva intrinsik) dibagi dengan jari-jari lingkaran Mohr (lihat gambar 3.2). Faktor

keamanan (F) ini menyatakan perbandingan keadaan kekuatan batuan terhadap

tegangan yang bekerja pada batuan tersebut.

Dimana :

……….……………………………………………………………………(8)

………………………………………………………….(9)

Jika : F > 1 aman ; F < 1 runtuh ; F = 1 kritis

3.2 Klasifikasi Massa Batuan

Klasifikasi massa batuan adalah salah satu metode pendekatan

yang dapat digunakan untuk desain lubang bukaan bawah tanah.

Selain klasifikasi massa batuan, masih ada metode pendekatan lain

yaitu metode observasi dan metode analitik untuk merumuskan

keseluruhan desain yang sesuai dengan tujuan dan kondisi geologi

di suatu daerah.

Tujuan dari adanya klasifikasi massa batuan adalah sebagai

berikut (Bieniawski, 1989):

1. Mengidentifikasi parameter terpenting yang mempengaruhi

perilaku dari setiap massa batuan.

2. Membagi berbagai massa batuan ke dalam kelompok yang

memiliki perilaku yang sama.

3. Memberikan pengertian dasar tentang karakteristik dari

setiap kelas massa batuan

4. Menghubungkan pengalaman-pengalaman tentang kondisi

batuan pada suatu lokasi kepada kondisi dan pengalaman

yang ditemukan di lokasi lain.

16

Page 5: Bab III Revisi Kelima

5. Untuk mendapatkan data kuantitatif dan petunjuk untuk

desain rekayasa.

6. Menyediakan sebuah dasar umum dalam komunikasi di

antara engineer dan geologist.

Terdapat enam klasifikasi massa batuan yang biasa digunakan

untuk keperluan desain rekayasa batuan. Rock load classification

diusulkan oleh Terzaghi, stand up time classification yang diusulkan

oleh Stini dan Lauffer, Rock Quality Designation (RQD) Index yang

diusulkan oleh Deere dan kawan-kawan, Rock Structure Rating

(RSR) Concept diusulkan oleh Wickham dan kawan-kawan, Rock

Mass Rating (RMR) System oleh Bieniawski dan Q-System oleh

Barton dan kawan-kawan (Bieniawski, 1989).

3.2.1 Konsep Terzaghi

Terzaghi mengklasifikasikan batuan berdasarkan dari beban yang

diterima oleh penyangga kerangka baja (steel arches), sebagai fungsi dari lebar dan

tinggi lubang bukaan (lihat Gambar 3.3)

Gambar 3.3

Konsep Tinggi Runtuh Terzaghi

3.2.2 Konsep Geomekanik (Rock Mass Rating Systems)

17

Page 6: Bab III Revisi Kelima

Klasifikasi massa batuan diperlukan dalam suatu rancangan terowongan

pada tambang bawah tanah, dimana perhitungan sifat-sifat teknis dari massa batuan

menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Untuk mencapai hal tersebut, deskripsi

secara kualitatif dinilai tidak mencukupi untuk dipergunakan dalam pehitungan

rancangan sehingga kemudian harus dikembangkan secara kuantitatif dalam bentuk

nilai (bobot) tertentu. Salah satu sistem klasifikasi massa batuan yang umum

digunakan saat ini adalah klasifikasi geomekanika atau dikenal juga dengan sistem

RMR (Rock Mass Rating). Sistem ini telah dikembangkan dan dimodifikasi oleh

Bieniawski selama tahun 1972-1973 sehingga dapat memenuhi standar dan prosedur

internasional.

RMR merupakan hasil total penjumlahan dari pembobotan yang dilakukan

untuk setiap parameternya. Terdapat 6 parameter yang digunakan untuk klasifikasi

ini, yaitu :

1) Kuat Tekan Uniaksial

2) Rock Quality Designation (RQD)

3) Spasi Diskontinuitas

4) Kondisi Diskontinuitas

5) Orientasi Diskontinuitas

6) Kondisi Air Tanah

Setiap parameter RMR memiliki nilai pembobotan yang dibuat berdasar

pengalaman dan database di berbagai lokasi tambang. Setiap parameter akan

mendistribusikan massa batuan ke dalam lima kelas. Bobot dari semua parameter

dijumlahkan untuk memperoleh bobot total massa batuan. Selanjutnya pengaruh

orientasi kekar dan kemiringan akan mengkoreksi bobot total sehingga diperoleh

bobot terkoreksi. Dalam menerapkan sistem RMR ini, massa batuan dibagi menjadi

bagian-bagian berdasarkan struktur geologi dan tiap bagian akan diklasifikasikan

secara terpisah. Batas antara bagian pada umumnya berupa struktur geologi mayor

atau perubahan dari jenis batuan (Wattimena, 2006). Parameter-parameter yang

digunakan dalam klasifikasi geomekanika, dijelaskan sebagai berikut :

1. Kuat Tekan Batuan Utuh

18

Page 7: Bab III Revisi Kelima

Ada dua cara untuk mendapatkan kuat tekan batuan utuh yaitu pengujian di

lapangan dengan point load test dan pengujian di laboratorium menggunakan

Uniaxial Compressive Strength Test (UCS).

a) Point Load Test

Uji Point Load dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan batuan

secara tidak langsung di lapangan. Dari uji point load didapat: indeks point load

(Is) dan kuat tekan σc. Conto batuan yang digunakan adalah batuan berbentuk

silinder dengan diameter = 50 mm(NX = 54 m) dan tidak beraturan.

Is = F/D2 ……………………………………………………….(10)

Is(50)= k (F/D2 ) dimana k = (D/50) x 0.45 …………………..(11)

Keterangan :

Is = Point load strength index (index franklin)

P = Beban maksimum sampai perconto pecah

D = Jarak antara dua konus penekan

Pada conto batuan yang berbentuk tidak beraturan, nilai Index Strength (Is)

dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Is =

PD

e2 ................................................................................................................(4.1)

De2= 4 WDπ .........................................................................................................(4.2)

F=( De50 )

0, 45

.......................................................................................................(4.3)

Is(50)= IsxF.......................................................................................................(4.4)

Dengan :

Is(50) = Point load strength index (indeks Franklin)

P = Beban maksimum sampai contoh pecah, kN

D = Jarak antara dua konus penekan (tebal contoh), mm

19

Page 8: Bab III Revisi Kelima

W = Panjang percontoh batuan, mm

De = Diameter ekuivalen, mm

Hubungan antara kuat tekan dengan index Franklin menurut Bieniawski (1975)

untuk diameter 50 mm adalah

σc = 18 – 23 Is ………………………………………………...(12)

sedangkan untuk diameter lainnya:

σc = (14 + 0.175 D) x Is ………………………………………(13)

b) Uniaxial Compressive Strength Test

Prinsip yang digunakan pada uji ini adalah mengetahui kekuatan batuan

setelah memperoleh gaya dari satu arah (uniaxial). Akibat dari tekanan yang

diberikan, contoh batuan akan menunjukkan perilaku sebagai reaksi atas

tegangan yang diberikan dialaminya. Contoh batuan uji berupa silinder dengan

ukuran 2 < (L/D) < 2.5. Dari hasil uji kuat tekan ini, dapat digambarkan kurva

tegangan-regangan untuk setiap contoh seperti ditunjukkan pada kurva Gambar

3.4.

Gambar 3.4

Kurva Tegangan-Regangan

(Kramadibrata, 2004)

2. Rock Quality Designation (RQD)

20

Page 9: Bab III Revisi Kelima

Rock quality designation (RQD) dikembangkan oleh Deere dan kawan-kawan

(1967) untuk memperoleh perkiraan secara kuantitatif terhadap massa batuan

berdasar hasil inti pengeboran. RQD didefinisikan sebagai persentase dari

bagian inti yang utuh dengan panjang lebih dari 10mm, dalam panjang satu run

pengeboran seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.5.

RQD = ΣxiL

x100 % ………………………………………..(14)

Keterangan :

xi : inti pengeboran dengan panjang > 10 cm

1. L : panjang total pengeboran (m)

Gambar 3.5

Prosedur pengukuran dan perhitungan RQD

(After Deere, 1989)

Saat data lubang bor tidak tersedia, Preist dan Hudson (1976) membuat

suatu formula untuk menghitung nilai RQD berdasarkan data pengukuran kekar.

Priest dan Hudson mengindikasikan bahwa frekuensi bidang diskontinu dapat

21

Page 10: Bab III Revisi Kelima

diketahui nilainya dengan pendekatan berdasarkan distribusi eksponensial

bernilai negatif (lihat Gambar 3.6).

Dengan menggunakan distribusi eksponensial bernilai negatif daripada

nilai spasi bidang diskontinu, hubungan antara teori RQD dengan rata – rata

jumlah kekar permeter dapat diketahui, yaitu dengan persamaan sebagai berikut :

RQD = 100e-0.1λ(0.1λ+1) ……………………….(15)

Keterangan :

λ = Rata – rata jumlah kekar per meter

Gambar 3.6

Histogram Spasi Bidang Diskontinu

3. Spasi Diskontinuitas

Kekar pada massa batuan cenderung akan memperburuk karakteristik

mekanik massa batuan bergantung pada frekuensi atau jarak serta orientasinya.

Jarak antar kekar adalah jarak tegak lurus antar 2 kekar berurutan sepanjang

garis pengukuran kekar (scan line) yang dibuat sembarangan seperti yang

terlihat pada Gambar 3.7.

Gambar 3.7

Prosedur Pengukuran Kekar

22

Page 11: Bab III Revisi Kelima

(Kramadibrata, 1997)

Berikut adalah persamaan untuk menghitung jarak antar kekar (Priest, 1985) :

di+i+1 = Ji+i+1 cos (θi+θi+1)

2………………………………………………………………….(16)

Cos Ѳ = cos ( αn – αs) cos βn cos βs + sin βn sin βs…………………….(17)

αd < 180 αn = αd + 180…………………………………………………(18)

αd > 180 αn = αd – 180………………………………………………….(19)

βn = 90 - βd…………………………………………………………..(20)

Keterangan :

di+i+1 = jarak sebenarnya antara dua kekar yang berurutan dalam satu set (m)

Ji+i+1 = jarak semu antara dua kekar yang berurutan dalam satu set (m)

Θ = sudut normal

αn = arah dip dari garis normal

βn = dip dari garis normal

αd = arah dip dari kekar

βd = dip dari kekar

αs = arah dip scan line

βs = dip dari scan line

Untuk mengurangi bias pada saat pengukuran, misal dikarenakan ada kekar yang

landai berimpit dengan bentangan garis, maka diberikan faktor bobot : W = 1/cosθ.

Klasifikasi spasi kekar menurut Deere, dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1

Pemerian Spasi Kekar (ISRM suggested methods)

23

Page 12: Bab III Revisi Kelima

4. Kondisi Bidang Diskontinu

Untuk memeriksa kondisi bidang diskontinu pada batuan, ada beberapa hal

yang diamati yaitu :

a. Pemisahan

Pemisahan adalah lebar celah kekar pada pada bidang diskontinu. Deskripsi

pemisahan dapat dilihat pada Tabel 3.2.

b. Kemenerusan

Kemenerusan bidang diskontinu dapat diukur secara kasar dengan mengamati

panjang kemenerusan bidang pada batuan yang tersingkap. Deskripsi

kemenerusan dapat dilihat pada Tabel 3.3.

c. Tingkat Pelapukan

Seberapa besar tingkat pelapukan yang dialami oleh batuan dapat ditentukan

dengan melihat perubahan warna pada butir batuan dengan bantuan alat palu

geologi. Deskripsi tingkat pelapukan dapat dilihat pada Tabel 3.4

d. Kekasaran

Kekasaran permukaan bidang diskontinu akan mempengaruhi kemungkinan

tergelincirnya suatu blok batuan. Kekasaran dapat dilihat dengan mengamati

permukaan bidang diskontinu, (Tabel 3.5).

e. Material Pengisi

Rekahan bidang lemah mungkin sekali untk diisi oleh material lain seperti :

kuarsa, lanau, kalsit dan lain-lain. Keberadaan material pengisi akan

memberikan pengaruh terhadap kuat geser dari bidang diskontinuitas.

Tabel 3.2

Pemerian Pemisahan Kekar (ISRM suggested methods)

24

Page 13: Bab III Revisi Kelima

Tabel 3.3

Klasifikasi Kemenerusan Menurut ISRM (1978)

Tabel 3.4

Pemerian Tingkat Pelapukan Batuan (ISRM suggested methods)

Tabel 3.5

25

Page 14: Bab III Revisi Kelima

Kekasaran permukaan bidang geser (Barton and Brandis, 1990)

5. Kondisi Air Tanah

Kondisi air tanah ditentukan dengan mengamati atap dan dinding teowongan

secara visual, dan selanjutnya dapat dinyatakan dengan keadaan umum : kering,

lembab, air menetes atau air mengalir.

6. Orientasi Bidang Diskontinu

Arah umum bidang diskontinu merupakan kedudukan relatif dari bidang

diskontinu terhadap sumbu lintasan terowongan. Orientasi bidang diskontinu

dianggap menguntungkan jika berarah tegak lurus terhadap sumbu terowongan.

Dan akan memberikan kerugian jika berarah sejajar terhadap arah sumbu

terowongan. Arah umum biasa dinyatakan dengan strike/dip atau dip/dip

direction. Setiap arah dan kemiringan orientasi bidang diskontinu seperti yang

dapat dilihat pada Gambar 3.6, mempunyai bobot pada penentuan klasifikasi

massa batuan yang dapat dilihat pada Tabel 3.7.

Tabel 3.6

Pembobotan Orientasi Ketidakmenerusan

26

Page 15: Bab III Revisi Kelima

Arah jurus memotong sumbu terowongan

Maju searah kemiringan Maju melawan kemiringan

Menguntungkan Sedang Sedang

Arah jurus searah sumbu terowongan

Kemiringan 00-200 tidak memperhatikan

kemiringan

450-900 200-450 450-900 200-450 450-900 200-450

Sangat menguntungkan

Tidak Menguntungkan

Sangat Tidak menguntungkan

Tidak menguntungkan

Orientasi jurus dan kemiringan Sangat Menguntungkan Sedang

Menguntungkan

Pembobotan Terowongan 0 -2 -5 -10 -12

Pondasi 0 -2 -7 -15 -25

Lereng 0 -2 -25 -50 -60

Tidak Mengutungkan

Sangat tidak menguntungkan

27

Page 16: Bab III Revisi Kelima

a. Strike bidang diskontinu tegak lurus dengan

sumbu terowongan dengan arah dip melawan

arah penggalian sebesar 45 – 90°

b. Strike bidang diskontinu tegak lurus dengan

sumbu terowongan dengan arah dip melawan

arah penggalian sebesar 20 – 45°

c. Strike bidang diskontinu tegak lurus dengan

sumbu terowongan dengan arah dip searah

penggalian sebesar 45 – 90°

d. Strike bidang diskontinu tegak lurus dengan

sumbu terowongan dengan arah dip searah

penggalian sebesar 20 – 45°

e. Strike bidang diskontinu sejajar dengan sumbu

terowongan dengan arah dip searah penggalian

sebesar 45 – 90°

f. Strike bidang diskontinu sejajar dengan sumbu

terowongan dengan arah dip searah penggalian

sebesar 20 – 45°

g. Strike bidang diskontinu sejajar dengan sumbu

terowongan dengan arah dip searah penggalian

sebesar 0 – 20°

Gambar 3.8

28

Page 17: Bab III Revisi Kelima

Orientasi Bidang Diskontinu Pada Terowongan

Untuk memperoleh gambaran awal mengenai kondisi batuan dengan RMR

sistem, berikut ini adalah langkah-langkah yang harus ditempuh :

1. Menghitung nilai bobot total batuan dari 5 parameter awal sehingga

diperoleh nilai RMR dasar.

2. Memberikan penilaian dan pembobotan dari kedudukan sumbu terowongan

terhadap jurus dan kemiringan dari bidang-bidang diskontinu.

3. Menentukan nilai RMR terkoreksi dengan cara menjumlahkan bobot RMR

dari langkah pertama dan bobot dari langkah kedua.

4. Memasukan pengaruh peledakan, keberadaan sesar mayor, tegangan insitu

serta perubahan tegangan untuk mendapatkan nilai RMR termodifikasi.

5. Menentukan rekomendasi penyangga dari nilai RMR termodifikasi.

6. Menentukan stand up time dan span maksimum dengan Grafik stand up time

vs span (lihat Gambar 3.9)

Gambar 3.9

29

Page 18: Bab III Revisi Kelima

Grafik Hubungan Stand – Up Time vs Span

3.2.3 Hubungan antara RMR dan Q-System

Ada dua persamaan yang dapat menunjukan hubungan anatara RMR dan

Q-system :

1. Bieniawski (1976), RMR = 9 In Q + 44……………………………..(21)

Persamaan (14) diperoleh berdasarkan studi kasus dari 111 terowongan sipil

2. Abad, et al (1983) RMR = 10.5 In Q +42 ………………………….(22)

Persaman (15) diperoleh berdasarkan studi kasus pada 187 tambang batubara di

Spanyol.

3.3 Filling Material

Filling Slurry (lumpur filing) yang dipakai pada kegiatan Back Filling berasal

dari bahan tailing waste atau ore yang tidak terkonsentrat lagi kemudian diolah

sedemikian rupa menjadi material pengisi yang sesuai dengan standar yang telah

ditentukan. Kegiatan Back Filling adalah kegiatan pengisian material (filling

material) kedalam rongga hasil penambangan dengan maksud agar kegiatan

produksi dapat dimulai kembali. Filling Material yang dipakai dalam kegiatan Back

Filling memiliki standar uji yang layak untuk dipakai. Berdasarkan Klasifikasinya

Filling Material terbagi menjadi :

Well classified tailing : ukuran -10 mikron 4%

Partially classified tailing : ukuran -10 mikron 5-10 %

Poorly classified tailing : ukuran- 10 mikron > 10%

Berdasarkan standar material filling yang digunakan sebagai pondasi akses alat

muat (LHD 3m3) pada kegiatan penambangan, kemampuan daya dukung yang

diperbolehkan sebesar 2,375 kg/cm2. Daya dukung yang tidak sesuai dengan standar

dapat mengakibatkan pondasi pada akses menurun dan membahayakan aktivitas alat

muat.

3.4 Kestabilan Pada Pillar

30

Page 19: Bab III Revisi Kelima

Pillar pada tambang bawah tanah merupakan daerah yang dibatasi oleh

massa batuan penggalian minimal pada dua sisinya, batuan sengaja tidak ditambang

untuk dijadikan penyangga bagi suatu lubang bukaan. Berdasarkan kegunaannya,

pillar dapat di kategorikan menjadi tiga ( 3 ), yaitu :

1. Pillar Penyangga ( Pillar Support )

Pillar penyangga inii di terapkan pada kondisi dimana penyangga utama atap

dibuat dalam bentuk pillar sistem yang tersusun secara baik, contohnya adalah

tambang room pillar. Pillar ini biasanya sederhana dan membutuhkan biaya yang

sedikit.

2. Pillar Pengaman ( Protective )

Pillar ini digunakan untuk mengamankan struktur permukaan di atasnya, lubang

bukaan tambang bawah tanah, dan untuk memisahkan daerah tambang satu

dengan lainnya. Tujuan pembuatan pillar ini untuk memastikan integritas dari

struktur yang hendak diamakan. oleh karena itu factor tegangan dan perpindahan

akibat pembuatan lubang bukaan sangat dipeerhatikan, khususnya pada bagian

yang berhubungan langsung dengan pillar yang akn dibuat. Salah satu kategori

pillar pengaman adalah pillar untuk penghalang atau pembatas air.

3. Pillar pengontrol ( Control )

Pillar ini banyak terdapat pada tambang yang sangat dalam dengan badan bijih

berbentuk tabular dan sering terjadi ledakan batuan ( rock burst ) berdasarkan

waktu. rock burst merupakan pembebsan energi scara mendadak yang tersimpan

di massa batuan ( Salamon, 1983 ). energi akan terbebaskan selama aktivitas

penambangan dan bagian dari energi tersebut tersimpan di massa batuan sekitar

penambangan.

Berdasarkan posisinya pillar dibagi menjadi 3, yaitu pillar yang berada

diantara dua penggalian (sill pillar), pillar yang berada di dalam penggalian (post

pillar) dan pillar yang berada diantara penggalian dan permukaan (Surface Crown

Pillar).

Pada penelitian kali ini kondisi sill pillar berada diantara stope L500 dan

bekas stope L600 yang telah diisi oleh filling material. Filling material akan terus

bertambah seiring kemajuan penggalian pada L600. Sill pillar ini berfungsi menahan

beban filling seperti yang terlihat pada Gambar 3.10. Untuk menentukan tebal Sill

31

Page 20: Bab III Revisi Kelima

Pillar yang aman sesuai batas faktor keamanan 1,5 analisis kestabilan Sill Pillar

menggunakan 2 metode, yaitu metode analitik dan metode empirik.

Gambar 3.10Kondisi Sill Pillar

3.4.1 Metode Analitik

Penggalian satu atau lebih lubang bukaan bawah tanah akan mengakibatkan

perubahan distribusi tegangan terutama di sekitar dan di dekat lubang bukaan

tersebut, sampai tercapai keseimbangan baru. Besar tegangan yang terjadi di sekitar

lubang bukaan dapat dihitung secara analitik. Metode analitik dikembangkan

berdasarkan model – model matematika dengan berbagai idealisasi. Perhitungan

untuk memperoleh pendekatan terhadap penentuan tebal pillar menggunakan prinsip

kesetimbangan batas, faktor keamanan pada sill pillar dihasilkan dari perbandingan

antara gaya penahan dengan gaya penggerak. Yang termasuk gaya penahan pada sill

pillar yaitu kuat geser pada pilar dan gaya tarik – menarik antar partikel pada filling

(cohesi), sedangkan yang menjadi gaya penggerak adalah gaya geser yang dihasilkan

oleh filling dan pilar itu sendiri. Potensi longsoran yang terjadi pada sill pillar adalah

32

Page 21: Bab III Revisi Kelima

longsoran sliding, karna pilar mendapat gaya vertikal yang dihasilkan oleh filling

material. Gaya yang bekerja pada sill pillar dapat dilihat pada Gambar 3.11.

Gambar 3.11

Gaya pada sill pillar

Berdasarkan gaya yang terdistribusi pada daerah pilar maka dapat ditentukan

faktor keamanan berdasarkan perbandingan gaya penahan dengan gaya penggerak

sebagai berikut :

FK=τ2 . L+c1. L+c2. Lfilling

mvein . gsin α+mfilling. gsin α …………………………………..(23)

3.4.2 Metode Empirik

Metode empirik yang digunakan yaitu dengan Pillar Stability Graph (Grafik

Kestabilan Pilar) yang dibuat oleh Lunder (1994) kemudian dimodifikasi oleh Mah

(1995). Lunder melakukan percobaan pada beberapa pillar di Red Lake Mine dan

Cambell Mine, Placer Dome, hasil percobaan dimodifikasi oleh Mah agar grafik

Pillar Stability Graph dapat diaplikasikan pada sill pillar.

Dalam menentukan faktor keamanan, Grafik Kestabilan Pilar terdiri dari dua

bagian yaitu geometri pilar dan kekuatan batuan. Bagian geometri pilar merupakan

33

Page 22: Bab III Revisi Kelima

nilai perbandingan antara tebal pilar dan tinggi pilar, sedangkan bagian kekuatan

batuan merupakan nilai perbandingan beban pilar dan kuat tekan batuan. Beban pilar

dan kuat tekan batuan didapatkan dari pengujian sampel batuan yang diambil pada

bagian tengah pilar. Dua faktor utama ini ditampilkan dalam Grafik Pillar Stability

Graph (Grafik Kestabilan Pilar) untuk mengetahui nilai Faktor Keamanan.

Nilai beban pillar diketahui dengan pendekatan rumus yang telah dibuat oleh

Hedley dan Grant’s (1972), yaitu :

σ p=γ . H cos2(α )+σh sin2(α )

1−R………………………………………....……

(24)

Keterangan :

σp = Beban Pilar (MPa)

g = Bobot isi batuan (MN/m3)

α = Kemiringan pilar

σh = Tegangan horizontal (MPa)

H = Kedalaman pilar dari permukaan (m)

R = Extraction ratio

Extraction ratio adalah nilai yang menunjukkan hubungan antara luas pilar

pada stope dengan luas kemajuan penggalian. Rumus extraction ratio adalah sebagai

berikut :

R=( w+r ) . (l+r )−(w . l)

(w+r ) .(l+r )……………………………………………………(25)

Keterangan :

R = Extraction ratio

w = Tebal pilar (m)

r = Lebar bukaan (m)

l = Panjang pilar (m)

34

Page 23: Bab III Revisi Kelima

Setelah parameter – parameter diketahui (Beban Pilar, Kuat Tekan, Tinggi

Pilar dan Lebar Pilar), kemudian diplotkan ke dalam Grafik Pillar Stability Graph

(Grafik Kestabilan Pilar) (Lunder,1997) untuk mengetahui nilai faktor

keamanan.Grafik dapat dilihat pada Gambar 3.12.

Gambar 3.12

35

Page 24: Bab III Revisi Kelima

Pillar Stability Graph (Grafik Kestabilan Pilar)

Lunder, 1997

36