bab iii teori dasar - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/6445/15/bab iii.pdf · gambar 3.3...
TRANSCRIPT
1
BAB III
TEORI DASAR
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode yang memanfaatkan luasnya data
hasil akuisisi seismik yang dapat dipergunakan untuk pengolahan data seismik.
Pada proses akuisisi dilakukan pengukuran secara berulang untuk sebuah titik
refleksi di bawah permukaan bumi, sehingga titik tersebut diiluminasi beberapa
kali. Perulangan tersebut dilakukan akibat dari desain akusisi yang terdiri dari
pasangan sumber penerima yang diletakkan pada posisi yang berbeda. Metode ini
yang nantinya dikenal dengan metode seismik multicoverage, dimana hasilnya
akan mendapatkan data yang berasal dari beberapa pasangan sumber dan
penerima yang berbeda untuk satu CMP (Common Mid Point). Jenis dari data ini
kemudian dikumpulkan kembali dalam suatu kesamaan, yang biasanya
dikelompokkan berdasarkan CMP, untuk kemudian dikumpulkan menjadi satu
kumpulan data zero-offset (simulasi ZO) agar lebih mudah dilakukan interpretasi.
Pada dasarnya semua teknik imaging dipergunakan untuk melakukan simulasi ZO.
Metode simulasi ZO yang terkenal hingga saat ini adalah CMP stack dan DMO
stack, dimana kedua metode ini memiliki kesamaan yaitu membutuhkan model
kecepatan. Untuk metode CMP stack memerlukan adanya koreksi NMO, dimana
koreksi NMO tersebut membutuhkan data kecepatan stack yang diperoleh dengan
melakukan analisis kecepatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa simulasi ZO
dengan menggunakan CMP stack sangat membutuhkan adanya model kecepatan.
13
Akibat ketergantungan metode tersebut pada model kecepatan, menyebabkan
seismik imaging dengan ZO bersifat subyektif, sehingga diperlukan adanya suatu
metode baru dimana tidak tergantung pada model kecepatan. Beberapa metode
yang bersifat independen terhadap model kecepatan telah dikembangkan, akan
tetapi pada penelitian ini yang akan dibahas hanya metode common reflection
surface stack (Yona, 2009).
3.1 Metode Stack Konvensional
3.1.1 CMP Stack
Pada akuisi seismik 2D, source dan receiver ditempatkan dalam satu garis lurus.
Posisi CMP didefinisikan sebagai titik tengah antara source dan receiver. Posisi
midpoint xm di lintasan seismik dihitung dari posisi source xs dan receiver xg,
dengan persamaan berikut :
𝑥𝑚 = 𝑥𝑠+𝑥𝑔
2 (3.1)
Pasangan source dan receiver dari posisi CMP yang sama dikumpulkan dalam
satu CMP gather. Jarak antara source dan receiver disebut sebagai offset, titik
tengah antara jarak tersebut didapatkan dari persamaan berikut :
ℎ = 𝑥𝑠−𝑥𝑔
2 (3.2)
Ilustrasi dari pengenalan terhadap koordinat baru ini digambarkan pada Gambar
3.1. Ilustrasi tersebut menggambarkan sebuah desain akusisi yang dilakukan pada
suatu kasus sederhana dimana terdapat satu reflektor datar pada suatu lapisan
medium homogen isotropi.
Berikut ini ilustrasi penggambarannya :
14
Gambar 3.1 Ilustrasi Akuisisi Data Seismik 2D dengan Menggunakan Reflektor
yang Planar pada Medium Homogen Isotropi (Duveneck, 2004)
Ketika akuisisi data seismik dilakukan sepanjang lapisan horizontal di bawah
permukaan yang homogen, refleksi primer dalam penampang common midpoint
gather akan tepat berada di sepanjang fungsi traveltime hiperbola. CMP gather
mengandung semua ray dan mengiluminasi titik yang sama pada sebuah reflektor
dengan offset yang berbeda-beda (lihat Gambar 3.2b).
Gambar 3.2 Geometri Seismik Refleksi (a) Common Source Gather (b) CMP
Gather (Mann, 2002)
Inilah ide dasar metode stack CMP konvensional yang diungkapkan oleh Mayne
(1967), dimana trace-trace dari offset yang berbeda-beda mengandung informasi
untuk titik yang sama pada reflektor horizontal. Informasi yang banyak ini dapat
15
dijumlahkan secara konstruktif untuk menghasilkan sebuah penampang stack
dengan rasio sinyal terhadap noise yang tinggi.
3.1.2 Koreksi NMO/ DMO
Dalam kasus konvensional yang didekati dengan 2 medium di bawah permukaan
diwakili oleh fungsi traveltime :
𝑡2 𝑥 = 𝑡02 +
𝑥2
𝑣𝑁𝑀𝑂2 (3.3)
dimana t(x) adalah waktu tempuh dengan fungsi offset, t0 adalah waktu penjalaran
zero offset, dan x adalah jarak antara source dan receiver.
Untuk kasus reflektor dengan medium homogen, parameter yang berpengaruh
hanya kecepatan medium saja. Sedangkan pada kasus reflektor yang memiliki
kemiringan, fungsi traveltime merupakan kombinasi dari unit kecepatan dan dip
yang dikenal dengan nama Dip Move Out. Parameter ini bergantung pada
kemiringan reflektor dan kecepatan medium itu sendiri.
Berikut ini ilustrasi penggambaran Dip Move Out :
Gambar 3.3 Geometry CS Gather (a) dan CMP Gather (b) pada Reflektor yang
Memiliki Dip (Muller, 1999)
16
Untuk model 2D yang terdiri dari satu reflektor yang memiliki kemiringan dip Φ,
seperti yang tergambar dalam Gambar 3.3, fungsi traveltime terhadap offset
untuk model diatas adalah sebagai berikut :
𝑡2 ℎ = 𝑡02 +
4ℎ2
𝑣𝑁𝑀𝑂2 (3.4)
dimana kecepatan NMO diturunkan dari persamaan kecepatan berikut :
𝑣𝑁𝑀𝑂 =𝑣
𝑐𝑜𝑠∅ (3.5)
dimana h adalah half offset antara source dan geophone (receiver), v adalah
kecepatan medium dan t0 adalah waktu tempuh zero offset, t(h) adalah waktu
tempuh dengan fungsi offset. Beda waktu tempuh antara t(h) dan t0 dinamakan
ΔtNMO atau koreksi NMO. Koreksi NMO adalah koreksi waktu tempuh karena
pengaruh offset.
Kecepatan NMO disebut juga sebagai apparent velocity atau stacking velocity.
Adanya sudut Φ menyebabkan kurva waktu tempuh menjadi lebih datar daripada
waktu tempuh untuk lapisan horizontal. Oleh karena itu, kecepatan NMO akan
selalu lebih besar jika dibandingkan dengan kecepatan interval medium. Inversi
kecepatan yang didasarkan pada moveout ini akan menghasilkan kecepatan
medium apparent yang lebih tinggi daripada kecepatan medium yang sebenarnya,
sehingga untuk kasus seperti ini, koreksi NMO masih akan menyisakan residual
NMO. Pada kasus lapisan horizontal, kecepatan NMO akan sama dengan
kecepatan interval medium. Pada kasus perlapisan yang memiliki kemiringan
planar, CMP gather akan mengalami situasi yang disebut smearing, dimana tiap
titik refleksi dalam satu CMP gather tidak akan tepat berada di titik CMP yang
dimaksudkan. Fenomena ini dengan jelas diperlihatkan dalam Gambar 3.4. Pada
17
gambar tersebut terlihat bahwa tiap titik refleksi dalam satu CMP gather tidak lagi
berada dalam satu titik, namun tersebar dalam sebuah area tertentu. Dalam kasus
lapisan miring yang planar, situasi ini bisa diatasi dengan menggunakan koreksi
DMO (Dip Move Out). Namun, untuk kasus lapisan miring yang berbentuk
melengkung, atau pada kasus medium yang tidak homogen, koreksi ini menjadi
tidak tepat lagi. Meskipun telah dilakukan koreksi NMO dan DMO, smearing dari
titik refleksi residual masih terjadi. Efek ini akan makin besar apabila dijumpai
bentuk reflektor yang makin melengkung atau medium yang makin tidak
homogen.
Gambar 3.4 Reflection Point Smear (a) Kumpulan Ray Setiap Titik CMP Gather
(b) Detail yang Menunjukkan Titik Refleksi Tiap CMP Gather (Mann et al.,
2007)
Setelah dilakukan koreksi NMO yang menyebabkan reflektor berbentuk hiperbola
menjadi terlihat datar, kemudian dilakukan proses stacking yang bertujuan untuk
meningkatkan rasio sinyal terhadap noise. Stacking trace bisanya dilakukan
berdasarkan CDP, dan mengambil asumsi bahwa sinyal mempunyai fase yang
sama dan noise random mempunyai fase acak, maka stacking akan memperkuat
amplitudo sinyal dan membebaskan sinyal dari noise yang inkoheren.
18
Gambar dibawah ini menunjukkan proses stacking yang dapat terjadi dalam
pengolahan data seismik :
Gambar 3.5 Proses Stacking Dalam Pengolahan Data Seismik (Yilmaz, 2001)
Gambar model geologi 2 lapis datar (kiri) dengan gelombang refleksi dan
gelombang multiple (tengah), gather yang didapatkan dari proses akuisisi (kanan).
Setelah dilakukan koreksi NMO, maka even refleksi akan menjadi datar dan
multiple akan tetap miring karena kecepatan multiple yang lebih rendah dari
kecepatan medium.
3.2 Operator CRS Stack
Metode ini memanfaatkan multicoverage data seismik untuk melakukan proses
stacking. Jika pada metode konvensional hanya memilih beberapa CMP gather
untuk dilakukan proses stacking, maka pada metode ini menggunakan informasi
dari seluruh trace yang ada dalam rekaman seismik. Selain itu, alasan mendasar
mengapa metoda baru dalam stacking ini diusulkan karena alasan tidak tepatnya
pendekatan titik dari reflektor sebagai operator stacking. Proses stacking dengan
menggunakan operator stacking konvensional, tidak mampu mengaproksimasi
19
respon refleksi dengan tepat. Gambar di bawah ini menunjukkan perbedaan antara
operator stack konvensional dan operator CRS :
Gambar 3.6 Operator Stacking dari NMO/ DMO Stack (Muller, 1998)
Gambar 3.7 Operator Stacking dari CRS Stack (Hubral et al., 1999)
20
Bagian bawah dari Gambar 3.6 dan Gambar 3.7 adalah model geologi berupa
antiklin dengan kecepatan overburdennya homogen. Bagian atas menggambarkan
data seismik (multicoverage) yang diklasifikasikan berdasarkan common-offset
gather (warna biru). Pada bagian atas ini ditampilkan juga operator stack
konvensional (Gambar 3.6) dan operator stack CRS (Gambar 3.7) yang
berwarna hijau yang digunakan untuk melakukan stack, sehingga dihasilkan titik
P0. Kurva berwarna jingga yang melewati titik P0 adalah lintasan common
reflection point (CRP) dari titik CRP pada reflektor. Lintasan CRP ini juga yang
digunakan sebagai jalur untuk proses stack pada metode konvensional. Lintasan
CRP yang berwarna jingga ini didapatkan dari perpotongan antara operator DMO
dengan data common-offset yang berwarna biru. Dapat disimpulkan bahwa titik P0
didapatkan dengan menjumlahkan amplitudo sepanjang lintasan jingga untuk
metode konvensional. Pada CRS, titik P0 ini didapatkan dengan menjumlahkan
amplitudo pada semua lintasan CRP yang berwarna hijau (Ariesty, 2012).
Operator CRS stack untuk seismik 2D merupakan fungsi dari tiga atribut
kinematik wavefield disebut juga atribut CRS. Secara matematis, persamaan
traveltime hiperbolik yang digunakan dalam perhitungan metode CRS stack
dituliskan pada persamaan berikut (H¨ocht et al., 1999; Tygel et al., 1997) :
(3.6)
Persamaan diatas dapat dijabarkan menjadi :
(3.7)
Dimana t0 merupakan traveltime, v0 merupakan kecepatan di dekat permukaan, xm
merupakan koordinat dari midpoint, x0 merupakan koordinat dari zero offset, h
NIPN
mmmhypR
hv
t
Rxx
v
txx
vthxt
1cos21)(
cos2sin2),( 2
0
2
02
0
0
2
0
2
0
0
0
2
NIPN
mmmhyp
R
h
R
xx
v
txx
vthxt
22
0
0
2
0
2
0
0
0
2 cos2sin2),(
21
merupakan koordinat dari half offset dan tiga parameter terakhir (RN, RNIP, dan )
atau atribut kinematik wavefield merupakan parameter permukaan CRS stack pada
titik x0, dimana ketiganya merepresentasikan lokasi, orientasi dan bentuk dari
reflektor.
Operator CRS stack untuk seismik 3D merupakan fungsi dari delapan atribut
kinematik wavefront atau atribut CRS. Persamaan traveltime hiperbolik yang
digunakan dalam perhitungan metode CRS stack dituliskan pada persamaan
berikut (Bergler, 2002) :
𝑡ℎ𝑦𝑝 2 ∆𝑚,ℎ = (𝑡0 + 2𝑝0.∆𝑚)2 +
2𝑡0
𝑣0∆𝑚.𝑅𝐾𝑁𝑅
𝑇∆𝑚 +2𝑡0
𝑣0ℎ.𝑅𝐾𝑁𝐼𝑃𝑅
𝑇ℎ (3.8)
Persamaan di atas dapat dijabarkan menjadi :
Dimana : KN =
1
𝑅𝑁001
𝑅𝑁01
1
𝑅𝑁011
𝑅𝑁11
KNIP =
1
𝑅𝑁𝐼𝑃 001
𝑅𝑁𝐼𝑃 01
1
𝑅𝑁𝐼𝑃 011
𝑅𝑁𝐼𝑃 11
R = cos 𝛼sin 𝛼
− sin 𝛼cos 𝛼
(3.9)
Maka :
𝑡ℎ𝑦𝑝 2 𝑥𝑚 − 𝑥0 ,ℎ = 𝑡0 +
2 sin𝛽
𝑣0
cos𝛼
sin𝛼 . 𝑥𝑚 − 𝑥0
2
+ 2𝑡0
𝑣0
𝑥𝑚 − 𝑥0 2.
cos𝛼
sin𝛼 − sin𝛼
cos𝛼 .
1𝑅𝑁00
1𝑅𝑁01
1𝑅𝑁01
1𝑅𝑁11
.𝑅𝑇
+ 2𝑡0
𝑣0 ℎ2. cos 𝛼
sin 𝛼 − sin 𝛼
cos 𝛼 .
1
𝑅𝑁𝐼𝑃 001
𝑅𝑁𝐼𝑃 01
1
𝑅𝑁𝐼𝑃 011
𝑅𝑁𝐼𝑃 11
.𝑅𝑇 (3.10)
Dimana t0 merupakan traveltime, v0 adalah kecepatan di dekat permukaan, Δm adalah koordinat dari midpoint (x, y), R adalah koordinat
dari titik yang digunakan, p0 adalah arah propagasi, h adalah koordinat dari half-offset, KN adalah matrik 2x2 dari curvature pada
gelombang N, dan KNIP adalah matrik 2x2 curvature gelombang NIP. 22
23
3.2.1 Atribut Kinematik Wavefield
Atribut kinematik wavefield merupakan parameter yang menggambarkan lokasi,
orientasi, dan bentuk reflektor, yang dalam kasus CRS ini parameter tersebut
adalah , RN, RNIP. Hubral (1983) memberikan tafsiran fisik mengenai pengertian
atribut CRS berupa dua muka gelombang yang dihasilkan oleh sumber berupa titik
di reflektor dan sumber sepanjang segmen reflektor (exploding reflektor) seperti
pada gambar dibawah ini :
Gambar 3.8 Atribut Kinematik Wavefield (Mann, 2002)
Warna hijau menunjukkan curvature gelombang normal dan warna merah
menunjukkan curvature gelombang NIP. Warna biru menunjukkan besarnya sudut
datang yang dibentuk dari muka gelombang terhadap garis normal. Gelombang
NIP (Normal Incident Point) didefinisikan sebagai gelombang yang dihasilkan
oleh satu titik sumber (disebut sebagai titik NIP) yang menjalar dari reflektor ke
permukaan. Wavefront ini mengerucut menjadi satu titik di reflektor, dengan
asumsi tidak adanya energi yang hilang selama penjalaran gelombang. Dengan
24
asumsi kecepatan konstan, maka parameter RNIP dapat digunakan untuk
menentukan jarak dari reflektor ke titik x0. Sedangkan RN merupakan gelombang
yang menjalar dengan arah normal. Gelombang N dihasilkan oleh sumber berupa
exploding reflektor di sekitar titik NIP. Parameter ini membawa informasi
mengenai bentuk kelengkungan dari reflektor. Kedua gelombang yang
dibangkitkan oleh sumber di titik NIP dan segmen reflektor sekitar titik NIP ini
akan merambatkan energi gelombang pada jalur yang berhimpit dengan raypath
zero offset dan memiliki sudut datang yang diterima pada titik x0 di permukaan.
Sudut datang tersebut merupakan parameter atau emergence angle. Parameter
ini memiliki kaitan erat dengan kemiringan reflektor.
3.2.2 Strategi Pencarian Atribut CRS Stack 2D
Berikut tahapan pencarian atribut CRS stack 2D (Muller, 1998) :
1. Pencarian penampang CMP stack (Automatic CMP stack) dilakukan secara
otomatis yang didapatkan dari penjumlahan tiap sampel prestack data
menggunakan kecepatan stacking NMO. Proyeksi persamaan 3.6 terhadap domain
h-t akan menghasilkan operator CRS dalam CMP gather. Dalam domain xm = x0,
persamaan waktu tempuh menjadi :
(3.11)
Dengan menggunakan persamaan traveltime NMO : (3.12)
dan membandingkan persamaan 3.11 dan 3.12, persamaannya menjadi :
(3.13)
2
0
2
02
0
2 cos2)( h
Rv
ttht
NIP
hypmCMP
2
22
0
2 4
NMO
xv
htt
2
0
02
cos
2
t
Rvv NIP
nmo
25
Dengan mensubstitusikan persamaan di atas, maka pada tahap ini atribut RNIP
telah didapatkan.
2. Pembuatan penampang ZO Stack yang dibentuk oleh dua parameter atribut
kinematik wavefield, yaitu dan RN.
Bidang ZO (zero offset, h=0) dalam akuisisi di lapangan tidak mungkin dilakukan
karena tidak efisien. Untuk mendapatkan bidang ZO ini, data multicoverage di
stack pada masing-masing data refleksi pada CMP gather yang sama. Substitusi
nilai h0 pada persamaan 3.6 dan akan menghasilkan persamaan di bawah ini :
(3.14)
Jika mengasumsikan gelombang bidang atau plane wave datang ke permukaan
dan memiliki nilai RN, maka akan didapatkan persamaan CRS orde pertama
dalam domain ZO dan dapat menghitung nilai :
(3.15)
Pada kondisi khusus terjadi pada CS atau CR ketika akan mengubah
persamaan 3.6 menjadi :
(3.16)
dengan : (3.17)
Dengan mensubstitusikan nilai dan RNIP ke dalam persamaan hiperbolik CRS
(persamaan 3.6), maka nilai RN didapatkan, sehingga pada tahap ini tiga parameter
pada operator CRS dapat ditentukan.
N
m
mmZOhypR
xx
vtxx
vthxt
2
0
0
2
0
2
0
0
0
2
,
cos2
sin2),(
0
0
0)(),1(
sin2 xx
vtt mxZOhyp m
hxxm 0
2 22
0 02
0 0
0 0
2 cossin( ) 2
m
C m m
CS
t x xt x t x x
v v R
RcsRR NNIP
111
26
3. Penjumlahan inisial stack dengan menjumlahkan data prestack sepanjang
permukaan operator CRS menggunakan tiga parameter stacking CRS untuk tiap
sampel ZO. Analisis koherensi dengan data prestack kembali dilakukan, analisis
ini digunakan sebagai quality control dari hasil initial stack.
4. Pencarian nilai optimasi dengan menggunakan nilai initial sebagai input dan
algoritma The Flexible Polyhedron Search (Nelder dan Mead, 1965) yang diteliti
oleh Jager (1999) untuk proses optimasinya.
Berikut ini penggambaran diagram pengolahan pencarian atribut CRS Stack 2D :
Gambar 3.9 Diagram Alir Strategi Pencarian Atribut CRS Stack 2D (Mann,
2002)
3.3 Metode 3D CRS Stack
Perbedaan utama antara CRS stack 2D dan 3D adalah jumlah atribut yang
digunakan. Metode CRS stack 2D menggunakan tiga atribut yang memberikan
27
informasi mengenai lokasi, orientasi dan bentuk reflektor, yaitu emergence angle
, jari-jari kelengkungan gelombang NIP (RNIP) dan jari-jari kelengkungan
reflektor gelombang normal (RN). Sementara 3D CRS stack memiliki delapan
atribut, yaitu masing-masing tiga buah atribut yang merepresentasikan RNIP dan
RN dalam bidang 3 dimensi dan dua buah atribut azimuth dan dip yang
menggambarkan sudut dari reflektor.
3.3.1 Atribut 3D CRS Stack
Atribut wavefront yang dihasilkan oleh 3D CRS stack adalah elemen dari matriks
simetri 22 kelengkungan gelombang NIP dan N di lokasi sumber atau penerima
bertepatan x0 dari sinar normal (2x3=6 nilai kelengkungan), dan arah propagasi
dari dua gelombang yang muncul pada x0, yaitu 2 sudut (Bergler et al., 2002).
Berikut ini penggambarannya :
Gambar 3.10 Atribut CRS untuk Simulasi Penampang ZO (Hocht, 2002)
28
Sinar normal (garis biru tebal) menghubungkan titik NIP pada reflektor kedua
(grid coklat) dengan permukaan akuisisi (bidang coklat). Permukaan merah dan
hijau mewakili masing-masing hipotesis muka gelombang NIP dan gelombang N
di tiga titik berbeda.
3.3.2 Strategi Pencarian Atribut CRS Stack 3D
Pada dasarnya, strategi yang digunakan untuk pencarian atribut CRS stack 3D
sama dengan 2D. Perbedaannya adalah atribut yang terdapat pada CRS stack 3D
berupa matriks (Bergler, 2004).
1. Konfigurasi CMP, dimana terdapat hubungan linear antara m dan h
(m=(0,0)T). Dengan subsitusi kondisi tersebut ke dalam persamaan 3.8 akan
didapatkan :
𝑡𝐶𝑀𝑃 ,ℎ𝑦𝑝2 ℎ = (𝑡0)2 +
2𝑡0
𝑣0ℎ.𝑅𝐾𝑁𝐼𝑃𝑅
𝑇ℎ (3.18)
Nilai h merupakan perpaduan dari koordinat x dan y, sehingga persamaan di atas
dapat diformulasikan kembali menjadi :
𝑡𝐶𝑀𝑃 ,ℎ𝑦𝑝2 ℎ𝑥 ,ℎ𝑦 = 𝑡0
2 + 𝑚00ℎ𝑥2 + 2𝑚01ℎ𝑥ℎ𝑦 + 𝑚11ℎ𝑦
2 (3.19)
dimana 𝑚00 , 𝑚01 , dan 𝑚11 dapat dijelaskan dengan :
𝑀 = 𝑚00𝑚01
𝑚01𝑚11
=2𝑡0
𝑣0 (3.20)
Ketiga parameter 𝑚00 , 𝑚01 , dan 𝑚11 tersebut berkaitan dengan tiga kecepatan
stack yang dispesifikasikan berdasarkan sudutnya, yaitu = 00, 45
0, dan 90
0.
29
Sehingga didapatkan solusi :
𝑚00 =4
𝑣𝑠𝑡𝑎𝑐𝑘 (𝜃=0°)2 (3.21)
𝑚11 =4
𝑣𝑠𝑡𝑎𝑐𝑘 (𝜃=90°)2 (3.22)
𝑚01 =4
𝑣𝑠𝑡𝑎𝑐𝑘 (𝜃=45°)2 − 0.5 𝑚00 + 𝑚11 (3.23)
dengan adanya solusi di atas, maka 3 parameter KNIP dari total 8 parameter telah
diketahui.
2. Konfigurasi Zero Offset dimana h=0 untuk mencari 5 parameter yang tersisa.
Dengan mensubsitusi kondisi di atas ke dalam persamaan 3.8 maka akan
dihasilkan persamaan berikut :
𝑡𝑍𝑂 ,ℎ𝑦𝑝2 ∆𝑚 = (𝑡0 + 2𝑝0.∆𝑚)2 +
2𝑡0
𝑣0∆𝑚.𝑅𝐾𝑁𝑅
𝑇∆𝑚 (3.24)
Langkah pertama dalam konfigurasi ini adalah diasumsikan semua turunan dari
bentuk kuadrat dari persamaan 2.24 bernilai 0, yang berarti KN=0 dan gelombang
N diaproksimasi oleh bidang atau plane wave datang pada permukaan, sehingga
persamaan 2.24 akan menjadi :
𝑡𝑍𝑂 ,𝑙𝑖𝑛 ∆𝑚 = 𝑡0 + 2𝑝0.∆𝑚 = 𝑡0 + 𝑎0∆𝑚𝑥 + 𝑎1∆𝑚𝑦 dimana 2p0,x=a0 dan
2p0,y=a1 (3.25)
Setelah diketahui nilai dari a0 dan a1 maka persamaan 3.24 direformulasikan lagi
menjadi :
𝑡𝑍𝑂 ,ℎ𝑦𝑝2 ∆𝑚𝑥 ,∆𝑚𝑦 = (𝑡0 + 𝑎0∆𝑚𝑥 + 𝑎1∆𝑚𝑦)2 + 𝑛00∆𝑚𝑥
2 + 2𝑛01∆𝑚𝑥∆𝑚𝑦 + 𝑛11∆𝑚𝑦2 (3.26)
30
dimana, 𝑁 = 𝑛00𝑛01
𝑛01𝑛11 =
2𝑡0
𝑣0𝑅𝐾𝑁𝑅
𝑇 (3.27)
Dari persamaan di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa solusi untuk konfigurasi
CMP dan ZO hampir sama dengan matriks 2x2 untuk KN maupun KNIP. Kurva
hiperbola yang bergeser sebagai fungsi azimuth dan jarak r (antara trace ZO
pusat dan trace ZO sekitar) diekspresikan pada persamaan ini :
𝑡𝑍𝑂 ,ℎ𝑦𝑝2 𝑟,𝜃 = (𝑡0 + 𝑎 𝜃 𝑟)2 + 𝑏(𝜃)𝑟2 (3.28)
dimana :
untuk =00 :
∆𝑚𝑥 = 𝑟, 𝑎0 = 𝑎 𝜃 = 0° dan 𝑛00 = 𝑏(𝜃 = 0°) (3.29)
untuk =900 :
∆𝑚𝑦 = 𝑟,𝑎1 = 𝑎(𝜃 = 90°) dan 𝑛11 = 𝑏(𝜃 = 90°) (3.30)
dan untuk =450 :
∆𝑚𝑥 = ∆𝑚𝑦 =𝑟
2 ,𝑎0+𝑎1
2= 𝑎(𝜃 = 45°) dan 𝑛01 = 𝑏 𝜃 = 45° −
𝑛00 +𝑛11
2 (3.31)
Dengan menggunakan kedelapan parameter yang telah diketahui dari dua
konfigurasi diatas, CRS stack 3D dapat dijalankan dengan lengkap. Persamaan
3.8, 3.20, 3.25, 3.27 dapat diformulasikan sebagai berikut :
𝑡ℎ𝑦𝑝2 ∆𝑚,ℎ = (𝑡0 + 𝑎.∆𝑚)2 + ∆𝑚.𝑁∆𝑚 + ℎ.𝑀ℎ (3.32)
Berikut ini adalah penggambaran diagram pengolahan pencarian atribut CRS
Stack 3D :