bab iv dunia orang maluku a. pengantar
TRANSCRIPT
60
BAB IV
DUNIA ORANG MALUKU
A. Pengantar
Bab ini berisikan data penelitian, baik itu data hasil wawancara di
lokasi penelitian dan juga data pustaka yang diteliti oleh penulis terkait
dengan topik yang dikaji. Untuk tempat penelitian, bertempat di wilayah
Maluku (Ambon). Metode penelitian yang digunakan untuk membahas isi
dalam bab ini adalah metode penelitian kualitatif, sehingga dalam
pembahasan pada bab ini, penulis berusaha untuk mendiskripsikan secara
jelas pemahaman masyarakat Maluku tentang falsafah hidop orang
basudara, nilai-nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang
basudara dan pemaknaan falsafah hidop orang basudara dalam
kehidupan keagamaan dan sosial.
B. Pemahaman Falsafah Hidop Orang Basudara
Dalam dunia orang Maluku, ada sebuah falsafah hidup yang telah
menjadi kosmologi1 manusia Maluku. Disebut sebagai kosmologi manusia
Maluku, karena falsafah hidup tersebut tidak hanya sekedar menjadi
pandangan hidup yang berlaku dalam teritori atau clan-clan tertentu di
Maluku, namun berlaku dalam pandangan dunia masyarakat Maluku yang
1 Kata kosmologi di sini merujuk pada pandangan dunia masyarakat Maluku.
61
tak terbatas pada teritori maupun clan-clan tertentu. Kosmologi hidup
tersebut dikenal dengan sebutan falsafah hidop orang basudara.2
Falsafah hidop orang basudara bukanlah sebuah pandangan hidup
dunia Maluku yang tiba-tiba ada dari kekosongan, melainkan lahir dari ide
abstrak yang tidak terlepas dari kesadaran manusia Maluku untuk dapat
hidup bersama dalam konteks Maluku yang begitu majemuk. Awal jejak-
jejak kesadaran tersebut dapat dijumpai dalam unit yang lebih kecil dalam
struktur masyarakat, yaitu keluarga.
Mengapa keluarga? Karena tak dapat dipungkiri bahwa sebagai sebuah
unit terkecil dalam struktur masyarakat, keluarga membentuk begitu
banyak perbedaan dalam anggota keluarga, bahkan membentuk sebuah
hierarkhi tanpa disadari. Taruhlah sebagai contoh, sebuah keluarga
memiliki tiga orang anak, itu berarti dalam keluarga tersebut ada yang
disebut anak sulung, anak tengah dan anak bungsu yang hidup dengan
perilaku mereka masing-masing.
Proses hidup bersama ketiga anak tersebut tentunya berbeda-beda
sesuai dengan perilaku mereka masing-masing. Bahkan terkadang, akibat
perbedaan perilaku tersebut, kerapkali terjadi gesekan hidup antara adik-
kakak dalam keluarga. Di samping itu, sebenarnya penyebutan anak
2 Hasil wawancara dengan pdt Jacky Manuputty di Amahusu, tanggal 26
Agustus 2017, pukul 12:54 WIT.
62
sulung, anak tengah dan anak bungsu sendiri melahirkan suatu bentuk
hierarkhi pada ketiga anak tersebut, meskipun penyebutan tersebut
didasari pada waktu kelahiran mereka. Hierarkhi tersebut lebih jelas terasa
ketika anak pertama selalu diprioritaskan dalam segala hal, dan hal ini
tentu menimbulkan sebuah perbedaan kesenjangan yang mana jika
dibiarkan terus-menerus maka akan terjadi konflik di dalam keluarga.
Untuk mengatasi masalah tersebut (dalam konteks orang Maluku),
maka digagaslah sebuah ide orang basudara. Dengan adanya gagasan
orang basudara, maka meskipun di dalam keluarga terbentuk sebuah
perbedaan dan hierarkhi (diantara anak) yang kemudian membeda-
bedakan mereka, namun mereka dapat hidup bersama. Oleh sebab itu,
gagasan orang basudara menjadi sebuah bingkai dalam mencapai
keinginan manusia Maluku untuk dapat hidup bersama di dalam
perbedaan, baik dalam keluarga maupun lingkungan sosial dan agama. Hal
ini juga ditegaskan oleh Rony Tamaela bahwa, hidop orang basudara
menjadi sebuah bingkai untuk menata hidup bersama di Maluku.3
Di satu sisi, ide orang basudara yang digagas dengan kesadaran penuh
tersebut kemudian diwujudkan lewat pranata-pranata lokal seperti; Pela-
3 Hasil wawancara dengan pdt Rony Tamaela di Salatiga, tanggal 29 Oktober
2017, pukul 20.00 WIT.
63
Gandong,4 Kalwedo,
5 Duan-Lolat,
6 dan Ain Ni Ain
7 sebagai wujud nyata
dari ide abstrak manusia Maluku yang ingin hidup bersama dalam konteks
dunianya yang begitu majemuk.
4 Bagi Jozef Hehanussa gandong (berasal dari kata kandung atau kandungan)
dan pela pada dasarnya berbeda. Namun pada kemudian hari, kedua pemaknaan ini
sering disamakan. Di satu sisi, pela merupakan sebuah relasi antar manusia di Maluku,
khususnya Maluku Tengah yang bersifat komunal. Bahkan menurut bahasa asli negeri-
negeri di Maluku Tengah, pela memang bisa diartikan sebagai sahabat (sahabat yang
dipercaya) atau saudara karena mereka yang berada di dalam ikatan pela menganggap
satu dengan yang lain, tanpa memandang usia dan kedudukan, sebagai sahabat, bahkan
lebih dari sekedar sahabat yaitu sebagai saudara. Dengan demikian, pela selalu dipahami
sebagai sebuah nama dari ikatan atau hubungan yang dibangun antara dua (atau lebih)
negeri. Jozef Hehanussa, Pela dan Gandong: Sebuah Model Untuk Kehidupan Bersama
Dalam Konteks Pluralisme Agama di Maluku, Gema Teologi, Jurnal Teologi Kontekstual
Vol 33 No 1 UKDW (2009), 4-5.
Lebih jauh Bartels dalam bukunya membagi pela menjadi 3 bagian: (1) Pela
keras yaitu aliansi yang terbentuk akibat perang atas keadaan di mana suatu kampung
dengan sukarela datang memberi pertolongan pada kampung yang lain pada saat yang
kritis, misalnya dilanda bencana alam. Pakta ini juga yang biasa dikenal dengan nama
pela tuni (persekutuan asli atau otentik) terbagi atas pela batu karang dan pela tumpah
darah. Pela batu karang umumnya diangkat selama perang dan kadang-kadang disebut
sebagai “pela perang”. Pela tumpah darah diangkat setelah darah tertumpa atas
pertengkaran antar kampung. (2) Pela gandong atau pela dari rahim yaitu hubungan
yang didasarkan pada hubungan geneologis di antara klan-klan atau kampung-kampung
sekutu. Dengan mengangkat sumpaah ikatan itu diformalkan untuk seluruh kampung dan
sejak saat itu mereka dianggap sebagai satu pela penuh. (3) Pela tempat sirih yaitu suatu
hubungan yang tidak diikat lewat pengangkatan sumpah tetapi melalui ritual tukar
menukar tempat sirih dan makan sirih. Dieter Bartels, di Bawah Naungan Gunung
Nunusaku, Jilid I (Kebudayaan), (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017), 182-
183.
Namun ada satu ikatan pela yang belum disebutkan oleh Bartels, yaitu pela
kaweng (nikah). Pela kaweng merupakan salah satu bentuk pela yang terdapat di wilayah
Maluku Tengah, dan hanya tiga negeri (kampung) saja yang mempraktekkan pela ini,
yaitu Noloth, Haruku, dan Sameth. Memang pada dasarnya pela melarang negeri
(kampung) yang berpela untuk saling menikah, karena negeri (kampung) tersebut
merupakan saudara. Namun pela kaweng (nikah) merupakan salah satu bentuk pela yang
menginjinkan bahkan mengharuskan negeri (kampung) yang mempunyai ikatan pela ini
menikah. Sejarah terbentuknya pela ini, ketika akan diadakan pernikahan antara Markus
Risaluang Huliselan dari negeri (kampung) Noloth dengan Ayu Horepati Ferdinandus
dari negeri (kampung) Haruku, tiba-tiba Ayu Horepati Ferdinandus meninggal. Kendati demikian acara nikah tetap digelar dan dilakukan pemberkatan oleh pendeta yang
merupakan utusan zending Belanda. Setelah acara nikah selesai, diangkat sumpah untuk
menjalin ikatan pela kaweng (nikah) antara Noloth, Haruku dan Sameth. Hasil
wawancara dengan pdt Jan Z Matatula di Kairatu, tanggal 26 Agustus 2017.
64
Untuk membuktikan bahwa gagasan orang basudara benar-benar
menjadi sebuah ide yang diwujudkan dalam pranata-pranata lokal tersebut,
Jamez Pakniany menegaskan bahwa, Kalwedo sebagai pranata lokal
5 Aholiab Watloly, menegaskan bahwa kata Kalwedo pada dasarnya tidak
memiliki akar kata dalam Bahasa asli di Maluku Barat Daya (MBD) tetapi sebuah kata
sifat murni yang berarti SELAMAT, DAMAI, dan hidup BAE-BAE (baik-baik) dalam
segala hal. Jadi watak kebudayaan MBD adalah Kalwedo, yaitu budaya tanpa kekerasan
(un violence), budaya keramahan, kelemahlembutan hidup, budaya saling menjaga dan
menghidupkan, (sintesis bipolar), budaya hidup (honoly atau hioly) sebagai saudara
(inanara-amasiali). Aholiab Watloly, Menggali Nilai Filsafat Kalwedo, Bulletin Kanjoli
Vol.6 No. 5 (2012), 10-12. 6 Max Syauta dalam tulisannya tentang Duan-Lolat dalam perspektif sosial, etik,
dan teologi menulis bahwa, Duan-Lolat merupakan sebuah sistem kekerabatan di wilayah
Maluku Tenggara Barat (MTB). Duan-Lolat sendiri terdiri dari dua entitas, yaitu Duan
(tuan) dan Lolat (hamba). Di satu sisi, dalam perkawinan Duan menjadi pemberi
perempuan dan Lolat menjadi peneriman perempuan. Dalam prakteknya Duan-Lolat
sangat menekankan aspek saling melengkapi dan membutuhkan antara Duan
(tuan/pemberi perempuan) dan Lolat (hamba/penerima perempuan). Oleh sebab itu,
dengan sikap saling melengkapi dan membutuhkan tersebut, Duan-Lolat telah menjadi
perekat kehidupan bagi masyarakat MTB dengan perbedaanya. Max Chr. Syauta, Duan-
Lolat dalam perspektif sosial, etik, dan teologi dalam buku Delapan Dekade GPM,
(Salatiga: Satya Wacana University Press dan Gereja Protestan Maluku (GPM), 2015),
188-201. 7 Elly Esra Kudubun, menulis bahwa nilai budaya Ain Ni Ain yang dimiliki
orang Kei (Maluku Tenggara) setara maknanya dengan “persatuan” yang menjadi ruh sila
ketiga Pancasila, sekaligus menjadi fabric of society kepulauan Kei. Ain dalam Bahasa
Kei berarti “satu”, namun bukan dalam pengertian satu yang tunggal melainkan satu yang
jamak. Hal ini dikarenakan dalam Bahasa Kei, satu (tunggal) adalah “sa”. Sedangkan Ni
berarti “punya atau memiliki”. Dengan demikian Ain Ni Ain secara harafiah berarti “satu
memiliki satu”. Seseorang atau sekelompok orang menempatkan/memandang orang lain
(liyan) sebagai saudaranya. Atau dengan makna lain, Ain yang sudah ada (yang asli)
menempatkan menerima dan menempatkan Ain (yang datang) sebagai saudaranya,
bahkan sebagai saudara kandung. Elly Esra Kudubun, AIN NI AIN: Kajian Sosio-Kultural
Masyarakat Kei Tentang Konsep Hidup Bersama Dalam Perbedaan, Cakrawala Vol 5
No 2 (2016), 169.
Lebih jauh, Yuditha Gianti Tildjuir menulis bahwa, ain ni ain merupakan salah
satu ungkapan tradisional masyarakat Kei yang secara turun temurun diwarisi oleh
leluhur kepada generasi penerus. Ain ni ain inilah yang membentuk karakter masyarakat
Kei sejak dulu sebab ungkapan ini mengandung nilai-nilai luhur yang positif. Ungkapan
tradisional ain ni ain turut membangun kehidupan masyarakat yang toleran, saling
mengasihi, saling menghormati, kesatuan dan persatuan, persaudaraan, dan perdamaian.
Ungkapan ini dimaknai sebagai bentuk persaudaraan yang dalam pengertiannya merujuk
pada adanya solidaritas masyarakat Kei terhadap sesamanya baik dalam keadaan senang
dan terutama dalam keadaan susah. Yuditha Gianti Tildjuir, Ain Ni Ain Sebagai
Pendekatan Konseling Perdamaian, Tesis Program Studi Sosiologi Agama UKSW
(2017), 2.
65
masyarakat Maluku Barat Daya (MBD) memiliki nilai-nilai kebersamaan
yang mampu untuk menyatukan masyarakat ditengah perbedaan. Nilai-
nilai kebersamaan tersebut merujuk pada cara hidop orang basudara.8 Di
samping itu, bagi Tari, Duan-Lolat sebagai pranata lokal Maluku
Tenggara Barat (MTB) juga memiliki gagasan orang basudara, karena
Duan-Lolat pada dasarnya mengandung esensi dasar dari cara hidop orang
basudara yaitu saling memberi dan saling menerima.9
Di satu sisi, Tjak Sapulette menegaskan bahwa Pela-gandong sebagai
pranata lokal masyarakat Maluku Tengah, juga mengandung gagasan
orang basudara. Hal ini dapat dijumpai dalam nilai-nilai yang terkandung
di dalam Pela-gandong yang merujuk pada kesetaraan sebagai dasar dari
hidop orang basudara.10
Bahkan bagi Haurissa April, gagasan orang
basudara juga terdapat di dalam Ain Ni Ain sebagai pranata lokal
masyarakat Maluku Tenggara. Gagasan tersebut dapat dijumpai dalam
nilai-nilai dan juga praktek hidop orang basudara dalam bingkai Ain Ni
Ain.11
8 Hasil wawancara dengan Jamez Pakniany via telfon di Salatiga, tanggal 30
Oktober 2017, pukul 14.00 WIT. 9 Hasil wawancara dengan Tari via telfon di Salatiga, tanggal 30 Oktober 2017,
pukul 15.00 WIT. 10
Hasil wawancara dengan pdt Tjak Sapulette via telfon di Salatiga, tanggal 31
Oktober 2017, pukul 17.00 WIT. 11
Hasil wawancara dengan April Haurissa di Salatiga, tanggal 27 Oktober 2017,
pukul 15.00 WIT.
66
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat dikemukakan bahwa
gagasan orang basudara sebagai sebuah ide abstrak yang digagas secara
sadar untuk dapat hidup bersama dalam konteks Maluku yang begitu
kompleks, benar-benar diwujudnyatakan dalam pranata-pranata lokal pada
masing-masing daerah di Maluku, dan wujud nyata tersebut kemudian
menjelma menjadi sebuah habitat atau karakter manusia Maluku yang
dikenal dengan falsafah hidop orang basudara. Hal ini juga ditegaskan
oleh Aholiab Watloly dan kawan-kawan bahwa falsafah hidop orang
basudara adalah sebuah tabiat, karakter atau habitus asli orang Maluku
yang telah menjadi sebuah tenaga budaya dalam kesadaran kolektif yang
terus diturunkan dari generasi ke generasi sebagai identitas orang
Maluku.12
Dari pernyataan di atas, ada dua hal menarik yang ditemukan;
pertama, jika bertolak dari pemikiran Durkheim tentang kesadaran
kolektif,13
maka falsafah hidop orang basudara adalah sebuah fakta sosial
nonmaterial14
yang berfungsi sebagai sebuah pegangan atau prinsip hidup
yang dapat merangkul dan mempersatukan manusia Maluku yang begitu
kompleks, baik agama, suku, budaya dan status sosial. Hal tersebut
12
Aholiab Watloly dkk, Perdamaian Berbasis Adat Orang Basudara,
(Yogyakarta: Kanisius, 2017), 7. 13
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi “Dari Teori
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern”,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2014), 19. 14
Fakta sosial nonmaterial menurut Durkheim yaitu, budaya dan institusi sosial
yang melahirkan nilai-nilai moral.
67
ditegaskan oleh Aholiab Watloly bahwa falsafah hidop orang basudara
menjadi semacam rukun atau pilar dan prinsip essensial manusia Maluku,
untuk membangun kerukunan internal agama maupun antar komunitas
yang berbeda agama, pulau dan bahasa. Oleh sebab itu, falsafah hidop
orang basudara berfungsi untuk merangkul dan menyinergikan aneka
kehidupan yang otonom dalam sebuah sistim pengertian dalam rahim
Kemalukuan.15
Kedua, falsafah hidop orang basudara menjadi sebuah identitas
manusia Maluku yang tidak terlepas dari habitus hidup manusia Maluku,
sehingga manusia Maluku pada dasarnya mempunyai identitas sebagai
orang basudara. Penegasan identitas manusia Maluku sebagai orang
basudara juga ditegaskan oleh Rudi Fofit bahwa, cara hidup orang
basudara pada dasarnya memang ada di setiap wilayah di dunia (cara
hidup yang universal). Meskipun demikian, secara tradisi, sudah lama
orang Maluku hidup dengan cara hidup orang basudara yang terbingkai
dalam falsafah hidop orang basudara, dan itu berarti orang Maluku
mempunyai identitas sebagai orang basudara.16
15
Abidin Wakano, “Maluku dan Keindahan Sejarahnya, Harmoni Kehidupan
Masyarakat Maluku Yang Berbasis Kearifan Lokal” dalam Menggali Sejarah dan
Kearifan Lokal Maluku, (Jakarta: Cahaya pineleng, 2012), 115. 16
Hasil wawancara dengan Rudi Fofid via telfon di Salatiga, tanggal 26 Oktober
2017, pukul 13.00 WIT.
68
Sebagai penyandang identitas orang basudara, manusia Maluku
kemudian mewujudkan identitas tersebut dalam cara hidop orang
basudara. Cara hidop orang basudara digambarkan oleh Abidin Wakano
sebagai cara hidup yang sangat menghargai perbedaan, baik itu suku,
agama maupun golongan, bahkan cara hidup persaudaraan ini bersifat
proeksistensi, karena sama-sama merasa memiliki dan punya tanggung
jawab terhadap yang lain.17
Berdasarkan pernyataan Abidin Wakano, cara
hidop orang basudara yang merupakan perwujudan dari identitas manusia
Maluku sebagai orang basudara, telah menjadi sebuah budaya manusia
Maluku yang sangat menjunjung nilai-nilai kesetaraan, bahkan agama,
suku, serta golongan, tidak dilihat sebagai suatu penghalang untuk dapat
merealisasikan nilai-nilai kesetaraan di Maluku. Hal ini juga ditegaskan
oleh Jacky Manuputty bahwa, falsafah hidop orang basudara
mencerminkan nilai-nilai kesetaraan, bahkan di dalam proses relasi yang
dibangun pun merujuk pada suatu pola relasi yang setara.18
Nilai kesetaraan tersebut juga ditegaskan oleh Aholiab Watloly
bahwa, falsafah hidop orang basudara adalah sebuah ideologi kultural
yang lahir dari tuntutan adanya keinginan yang besar untuk hidup bersama
dalam tatanan kehidupan yang damai dan rukun antar sesama manusia di
17
Abidin Wakano, “Maluku dan Keindahan Sejarahnya, Harmoni Kehidupan
Masyarakat Maluku Yang Berbasis Kearifan Lokal” dalam Menggali Sejarah dan
Kearifan Lokal Maluku, (Jakarta: Cahaya pineleng, 2012), 6. 18
Hasil wawancara dengan pdt Jacky Manuputty di Amahusu, tanggal 26
Agustus 2017, pukul 12:54 WIT.
69
Maluku. Tuntutan hidup tersebut kemudian diwujudkan dengan sikap
hidup yang saling menghormati, saling menghargai dan saling mengakui
perbedaan-perbedaan manusia Maluku sebagai ade-kaka (adik-kakak),
bahkan sikap hidup ini telah menjadi sebuah ritus (perilaku sakral yang
dirayakan setiap hari) yang bersifat mengikat.19
Bertolak dari pernyataan di atas, penulis mendapati empat hal
menarik; pertama, untuk menjawab kebutuhan masyarakat Maluku yang
begitu kompleks demi tercapainya suatu tatanan hidup yang setara, maka
kebutuhan tersebut diwujudkan dalam sikap-sikap hidup positif seperti;
saling menghargai, saling menghormati, serta saling mengakui perbedaan-
perbedaan manusia Maluku, baik itu agama, suku, budaya dan juga status
sosial. Oleh sebab itu, sikap-sikap hidup tersebut wajib dilakukan oleh
manusia Maluku demi terciptanya suatu tatanan hidup yang setara.
Kedua, sebagai masyarakat yang begitu kompleks dari struktur
sosial, agama, dan juga budaya, dalam proses berelasi dan berinteraksi
antar sesama manusia di Maluku, selalu saja ada gesekan-gesekan yang
dipengaruhi oleh kekompleksan dari struktur masyarakat Maluku. Karena
itu, untuk mengatasi gesekan-gesekan yang terjadi akibat kekompleksan
tersebut, manusia Maluku kemudian mulai mengkonsepkan dan
19
Theovania Matatula “Hidop Orang Basudara “Suatu Kajian Teologi Agama-
Agama di Wayame”, (Skripsi Teologi UKIM, 2015), 26.
70
menyepakati nilai20
dan norma21
yang terkristalisasi di dalam falsafah
hidop orang basudara sebagai pengendali manusia Maluku di dalam
proses berelasi dan berinteraksi di dalam lingkungan agama maupun
sosial.
Di satu sisi, apa yang dilakukan oleh manusia Maluku untuk
mengatasi realitas struktur masyarakat yang begitu kompleks, juga
diusulkan oleh Peter M Blau yang adalah seorang sosiolog. Bagi Blau,
nilai dan norma yang disepakati bersama menjadi media kehidupan sosial
dan mata rantai yang menghubungkan transaksi sosial. Keduanya
membuat pertukaran sosial menjadi mungkin, dan mengatur proses
integrasi sosial serta diferensiasi dalam struktur sosial kompleks maupun
perkembangan organisasi sosial reorganisasi yang ada di dalamnya.22
Lebih jauh untuk mempertegas nilai dan norma yang telah
disepakati oleh masyarakat Maluku sebagai pengendali dalam proses
berelasi dan interaksi yang terkristalisasi di dalam falsafah hidop orang
basudara, Nus Sahertian menggambarkan nilai yang merupakan gagasan
ideal tersebut dengan sikap hidup yang terbentuk dalam cara hidup orang
20
Sebuah gagasan ideal yang dikonsepkan oleh masyarakat dan diwujudkan
dalam tindakan konkrit. 21
Aturan-aturan atau kaidah-kaidah yang berlaku di dalam masyarakat, dan
apabila melanggarnya mendapat sanksi atau hukuman. 22
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi “Dari Teori
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern”,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2014), 461.
71
basudara, yaitu: hidup yang saling membantu, saling menyayangi, saling
menghargai dan saling mengasihi.23
Di samping itu, norma dalam falsafah
hidop orang basudara digambarkan oleh Dieter Bartels lewat pranata
lokal pela-gandong sebagai wujud nyata dari falsafah hidop orang
basudara. Bagi Bartels, karena pela-gandong diyakini sebagai
persaudaraan yang kekal, bahkan ikatan pela-gandong dibentuk melalui
sumpah yang sangat kuat dengan disokong oleh kutukan bagi yang
melanggar sumpah tersebut, maka pela-gandong memiliki norma
(aturan/kaidah) hidup yang harus diikuti, salah satunya larangan untuk
menikah antar kampung yang mengangkat sumpah pela-gandong, dan jika
aturan/kaidah hidup ini dilanggar maka pelanggar tersebut mendapat
hukuman yang terdiri dari sakit, kesialan, bahkan kemandulan.24
Oleh sebab itu, falsafah hidop orang basudara bukanlah sebuah
kerangka filosofi hidup manusia Maluku yang kosong dan tidak bernilai,
melainkan merupakan sebuah kerangka filosofi hidup manusia Maluku
yang sangat bernilai serta berisikan nilai dan norma-norma hidup yang
dibentuk dan disepakati bersama oleh Manusia Maluku untuk menjadi
sebuah dasar hidup dalam realitas manusia Maluku yang begitu kompleks.
Dengan begitu, manusia Maluku mengakui realitas Kemalukuannya
23
Hasil wawancara dengan bapak Nus Sahertian di Wayame, tanggal 20
Agustus 2017, pukul 10:50 WIT. 24
Dieter Bartels, di Bawah Naungan Gunung Nunusaku, Jilid I(Kebudayaan),
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017), 178.
72
sebagai manusia Maluku yang begitu kompleks dan menunjukan
keinginan Kemalukuannya untuk hidup bersama dalam kekompleksan
tersebut.
Ketiga, dengan adanya pernyataan dari Aholiab Watloly yang
mengatakan bahwa, sikap hidup yang terkristalisasi di dalam falsafah
hidop orang basudara telah menjadi sebuah ritus yang bersifat sakral dan
dirayakan setiap hari, menunjukan bahwa wilayah sakral bagi manusia
Maluku tidak hanya terbatas pada hubungan manusia dengan Tuhan
semata melainkan lebih dari itu. Bahkan jika bertolak dari tesis Emile
Durkheim yang mengatakan bahwa masyarakatlah yang kemudian
mengkonsepkan yang sakral dan yang profan dalam agama,25
maka
semestinya masyarakat Maluku hanya mengkonsepkan hal sakral di dalam
habitus agama yang di dalamnya manusia berhubungan dengan Tuhan
saja. Namun kenyataannya tidak seperti itu.
Konsep sakral bagi manusia Maluku tidak hanya terbatas di dalam
habitus agama di mana manusia dapat berjumpa dan berhubungan dengan
Tuhan. Namun, lebih jauh manusia Maluku juga mengkonsepkan yang
sakral di dalam habitus sosial lewat sikap hidup yang telah menjadi ritus-
ritus kesakralan berlandaskan nilai serta norma-norma di dalam falsafah
25
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi “Dari Teori
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern”,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2014), 19.
73
hidop orang basudara. Oleh sebab itu, wilayah sakral bagi manusia
Maluku tidak hanya sebatas hubungan manusia dengan Tuhan yang
dipagari dengan dogma-dogma agama, melainkan hubungan manusia
dengan manusia di dalam lingkungan sosial juga merupakan sesuatu yang
sakral.
Keempat, ritus sakral di dalam falsafah hidop orang basudara,
dipraktekan dalam sikap hidup seperti saling menyayangi, saling
menolong, saling menghargai dan menerima, terbingkai di dalam pranata-
pranata lokal adat masyarakat seperti; akta perjanjian Pela-Gandong,
Kalwedo, Duan-Lolat dan Ain Ni Ain yang mengikat kelompok-kelompok
berbeda menjadi satu. Akan tetapi, pengikatan tersebut tidak membuat
sehingga kekhasan (kepercayaan, budaya, suku, dan status sosial) yang
dimiliki oleh masing-masing kelompok tersebut menjadi hilang, namun
kelompok-kelompok yang berbeda tersebut dapat menyatu dalam sebuah
ikatan tanpa harus melepaskan kekhasan masing-masing kelompok. Hal
ini juga didukung oleh Aholiab Watloly dengan menegaskan bahwa,
bentuk dan ragam kearifan lokal berbeda-beda dalam aneka permainan
Bahasa dan cara pengungkapan pada setiap kelompok adat, namun
memiliki ide-ide dan amanat-amanat keluruhan yang sama, seperti
Gandong hati tuang, ain ni ain (kita adalah satu dari satu), ita rua kay-way
(kita dua beradik kakak). Berbagai ungkapan kearifan tersebut mengaskan
74
bahwa hidop orang basudara adalah pusaka kemanusiaan orang Maluku,
yang diabadikan dalam tradisi adatnya.26
Di samping itu, bagi ketua sinode Gereja Protestan Maluku,
falsafah hidop orang basudara merupakan suatu kebenaran Ilahi yang
ditemukan oleh generasi masa lampau Maluku, yang mana di dalam
kebenaran Ilahi tersebut terdapat imogodei (gambar ALLAH). Oleh
karena itu falsafah hidop orang basudara adalah penegasan imagodei
masyarakat Maluku, bahwa karena semua masyarakat Maluku adalah
gambar ALLAH, maka masyarakat Maluku adalah manusia yang setara
dan bersaudara satu dengan yang lainnya.27
Apa yang disampaikan oleh ketua sinode GPM tentang imogodei
sebagai penegasan falsafah hidop orang basudara dari kacamata
kekristenan, semakin mempertegas mengenai wilayah sakral bagi manusia
Maluku. Oleh sebab itu, karena manusia Maluku pada utuhnya adalah
imogodei itu sendiri, maka setiap relasi yang terbentuk dalam ruang-ruang
sosial manusia Maluku bersifat sakral dan mampu untuk mengakomodir
realitas manusia Maluku yang begitu kompleks.
26
Abidin Wakano, “Maluku dan keindahan sejarahnya, harmoni kehidupan
masyarakat Maluku yang berbasis kearifan lokal” dalam Menggali Sejarah dan Kearifan
Lokal Maluku, (Jakarta: Cahaya pineleng, 2012), 112-113. 27
Hasil wawancara dengan ketua sinode Gereja Protestan Maluku, pdt Ates
Werinusa di Ambon, tanggal 21 Agustus tahun 2017, pukul 16:00 WIT.
75
Karena itu bagi Jacky Manuputty, falsafah hidop orang basudara
membentuk sebuah pola relasi seimbang bukan paradoks dalam proses
berelasi di lingkungan agama maupun sosial. Dengan relasi seimbang
tersebut, manusia Maluku secara sadar dapat mengakui kelebihan dan
kelemahannya serta harus saling menerima kelemahan dan kekurangannya
masing-masing di dalam kosmologi manusia Maluku sebagai orang
basudara.28
Lebih jauh, Jacky Manuputty menganalogikan relasi seimbang
tersebut seperti dua utas tali berbeda yang diikat menjadi satu. Tali yang
berbeda merujuk pada sebuah realitas manusia Maluku yang begitu
kompleks, baik budayanya, kepercayaannya, status sosialnya dan juga
sukunya, yang merupakan kekhasan dari manusia Maluku itu sendiri.
Proses mengikat merujuk pada suatu keinginan tali yang berbeda yang
adalah realitas manusia Maluku yang begitu kompleks untuk menjalin
hubungan menjadi saudara seperti kosmologi Manusia Maluku sebagai
manusia bersaudara. Gumpalan dari proses ikatan itu sendiri menunjukan
bahwa meskipun realitas manusia Maluku yang begitu kompleks telah
menjalin relasi, namun relasi tersebut tidak menggeneralisasikan kekhasan
dari realitas manusia Maluku tertentu sebagai sebuah kekhasan yang harus
diikuti oleh semua orang Maluku. Akan tetapi kekhasan dari realitas
28
Hasil wawancara dengan pdt Jacky Manuputty di Amahusu, tanggal 26
Agustus 2017, pukul 12:54 WIT.
76
masing-masing manusia Maluku menjadi kekhasan yang tak terlepas dari
dirinya sendiri dan tidak boleh menjadi kekhasan yang harus diikuti oleh
manusia Maluku lain di dalam relasi yang dibangun.29
Dengan demikian,
pola relasi biner tersebut mampu untuk mengakomodir realitas manusia
Maluku yang begitu kompleks, sehingga manusia Maluku menjadi
manusia yang setara tanpa harus melepaskan yang khas dari manusia
Maluku yang begitu kompleks, baik kepercayaannya, budayanya, status
sosialnya dan juga sukunya.
Bertolak dari pemahaman falsafah hidop orang basudara di atas,
maka secara sederhana dapat dikatakan bawa falsafah hidop orang
basudara adalah suatu kosmologi hidup yang bersifat sakral, dan telah
menjadi paradigma hidup yang terkonsep di dalam kesadaran kolektif
manusia Maluku dari generasi ke generasi. Kosmologi hidup tersebut
beirisikan aturan-aturan hidup yang terpatri di dalam nilai-nilai dan
norma-norma hidup yang dilandasi oleh motif dasar etika yaitu cinta
kasih, etika bersama, rasa senasib dan sepenanggunan yang bertujuan
untuk meruntuhkan tembok-tembok kekompleksan demi menyetarakan
manusia Maluku, serta membawa nilai-nilai inspirasi yang kreatif yang
dapat membangun manusia Maluku menuju ke arah yang lebih baik yang
dipraktekan lewat tindakan saling membantu, saling menghargai dan
29
Hasil wawancara dengan pdt Jacky Manuputty di Amahusu, tanggal 26
Agustus 2017, pukul 12:54 WIT.
77
saling menerima yang terbentuk di dalam pranata-pranata lokal seperti;
akta perjanjian Pela-Gandong, Kalwedo, Duan-Lolat dan Ain Ni Ain.
Di samping pemahaman falsafah hidop orang basudara yang
disederhanakan oleh penulis di atas, ada tiga hal menarik juga yang dapat
disimpulkan dari uraian di atas tentang falsafah hidop orang basudara:
1. Falsafah hidop orang basudara adalah kesadaran koletif manusia
Maluku.
Di sebut sebagai kesadaran kolektif, karena falsafah hidop orang
basudara merupakan sebuah cetakan budaya yang terus diturunkan dari
generasi ke generasi sebagai suatu kosmologi manusia Maluku, yang
selalu mengingatkan manusia Maluku untuk selalu melangkah pada suatu
tatanan hidup yang setara, karena pada dasarnya manusia Maluku adalah
orang basudara. Hal ini ditegaskan oleh sekum GPM dengan mengatakan
bahwa, falsafah hidop orang basudara sudah ada di dalam struktur
memori setiap manusia Maluku, tinggal bagaimana manusia Maluku
kembali mengingatkan atau memanaskan struktur memori yang sudah ada
tersebut serta menanggapinya.30
30
Hasil wawancara dengan Sekum GPM, pdt Elifas Tomix Maspaitela di Kantor
sinode GPM, tanggal 22 Agustus 2017, pukul 13.30 WIT.
78
2. Falsafah hidop orang basudara merupakan sesuatu yang sakral.
Falasafah hidop orang basudara bersifat sakral karena pandangan
imagodei dari kacamata Kristen yang ada di dalam falsafah hidop orang
basudara yang melihat semua manusia Maluku pada utuhnya adalah
gambar ALLAH yang hidup itu sendiri. Oleh sebab itu, hubungan-
hubungan yang dibangun maupun relasi-relasi yang dijalin di wilayah
sosial antar sesama manusia Maluku yang tercermin di dalam sikap hidup
merupakan suatu hal yang suci atau sakral.
Lebih jauh di dalam buku perdamaian berbasis adat orang
basudara, Aholiab Watloly dan kawan-kawan melihat sikap hidup yang
terbentuk di dalam falsafah hidop orang basudara merupakan tabiat atau
karakter suci yang selalu dijunjung dan dimuliakan untuk memuliakan
hidup secara bersama. Bahkan bagi mereka pola pikir dan lakon hidop
orang basudara mencirikan sebuah kesakralan dan kesalehan hidup yang
sangat fundamental, yang begitu dihargai dalam adat (aturan hidup) orang
basudara.31
Dengan demikian, sikap hidup di dalam falsafah hidup orang
basudara yang sakral itu mampu untuk menyetarakan semua manusia
Maluku.
31
Aholiab Watloly dkk, Perdamaian Berbasis Adat Orang Basudara,
(Yogyakarta: Kanisius, 2017), 111.
79
3. Dalam falsafah hidop orang basudara, terdapat pola relasi seimbang
yang dapat menyetarakan manusia Maluku.
Pada umumnya dalam satu wilayah yang terdiri dari realitas
manusia yang begitu kompleks, baik itu kepercayaannya, sukunya,
budayanya dan juga status sosialnya, tentu sangat sulit untuk dapat
menciptakan suatu relasi yang setara diantara kekompleksan tersebut.
Bahkan jika kekompleksan tersebut dipetakan di dalam dua sub mayoritas
dan minoritas, cenderung sub mayoritas lah yang selalu memegang
kendali di dalam proses berelasi. Namun hal tersebut berbeda dengan
wilayah Maluku yang manusianya hidup dengan berlandaskan kosmologi
falsafah hidop orang basudara.
Bagi manusia Maluku yang hidup dengan falsafah hidup orang
basudara sebagai kosmologi hidupnya, selalu melihat realitas manusia
Maluku yang begitu kompleks sebagai suatu realitas yang khas dan tidak
terpisahkan dari diri manusia Maluku secara utuh. Oleh karena itu di
dalam proses berelasi, manusia Maluku yang hidup dengan kosmologi
falsafah hidop orang basudara tidak berusaha untuk melepas kekhasan
dari diri manusia Maluku atau memaksa suatu kekhasan tertentu dari
manusia Maluku untuk diikuti oleh manusia Maluku yang lain, melainkan
manusia Maluku dituntut untuk harus saling mengakui dan menerima
masing-masing kekhasan dan berelasi dengan kekhasan yang menjadi
80
bagian dari dirinya tanpa harus melepaskan kekhasan tersebut atau pun
memaksa kekhasan tertentu bagi manusia lain di dalam proses berelasi.
Dengan demikian relasi yang terbentuk di dalam falsafah hidop orang
basudara adalah relasi yang seimbang. Hal ini juga ditegaskan oleh Jacky
Manuputty bahwa falsafah hidop orang basudara membentuk sebuah pola
relasi seimbang di dalam proses berelasi. Dengan relasi seimbang tersebut,
manusia Maluku secara sadar dapat mengakui kelebihan dan
kelemahannya serta harus saling menerima kelemahan dan kekurangannya
masing-masing di dalam kosmologi manusia Maluku sebagai orang
basudara.32
Di satu sisi secara teologi, jika teologi barat dalam kurun waktu
yang begitu lama selalu bersifat esklusif, serta melihat yang sakral hanya
terdapat di dalam habitus kekristenan semata, maka falsafah hidop orang
basudara berbicara sebaliknya. Dalam falsafah hidop orang basudara
ketika manusia yang adalah imagodei itu bersepakat untuk mempercayai
yang Ilahi dalam habitus kepercayaan mereka, maka habitus kepercayaan
mereka itu kemudian merupakan hal sakral yang adalah kekhasan mereka
yang tidak sama dengan yang sakral dalam kekhasan yang lain. Oleh
sebab itu falsafah hidop orang basudara bersifat inklusif untuk saling
32
Hasil wawancara dengan pdt Jacky Manuputty di Amahusu, tanggal 26
Agustus 2017, pukul 12:54 WIT.
81
mengakui dan menerima habitus sakral dalam kepercayaan tertentu
sebagai suatu hal yang khas.
Di sisi lain, pandangan falsafah hidop orang basudara yang
bersifat inklusif untuk mengakui dan menerima yang sakral di dalam
habitus kepercayaan tertentu, juga merupakan pandangan yang sedang
dikembangkan oleh teolog-teolog saat ini untuk mengakui dan menerima
realitas dari habitus kepercayaan lain yang merupakan yang khas dari
mereka. Bahkan jauh sebelum para teolog mengembangkan pandangan
untuk saling menerima di dalam proses berteologi, falsafah hidop orang
basudara telah mengaktualisasikannya di dalam tindakan dan pikiran
manusia Maluku yang lahir dalam kosmologi falsafah ini.
C. Kandungan Nilai Dalam Falsafah Hidop Orang Basudara.
Berdasarkan uraian di atas tentang pemahaman falsafah hidop
orang basudara, terlihat dengan jelas bahwa sebagai kosmologi hidup
manusia Maluku, falsafah hidop orang basudara bukanlah sebuah
kerangka kosong, melainkan sebuah kerangka hidup yang mempunyai
kandungan nilai-nilai positif yang dapat mengantarkan manusia Maluku ke
dalam situasi hidup yang lebih baik. Oleh sebab itu, falsafah hidop orang
82
basudara mengandung nilai-nilai positif seperti; saling melindungi, saling
mengasihi, dan saling mendamaikan.33
Di sisi lain bagi Hery Siahaya, falsafah hidop orang basudara
mengandung suatu tatanan hidup yang saling menghargai serta
menghilangkan sifat-sifat kecemburuan.34
Hal yang mendasari sehingga
Hery Siahaya mengeluarkan pernyataan seperti ini, dikarenakan dalam
realitas manusia Maluku yang begitu kompleks, tentu ada perbedaan yang
terbentuk dalam kelebihan dan kekurangan yang dipengaruhi oleh
kekompleksan tersebut. Oleh sebab itu, nilai yang terkandung di dalam
falsafah hidop orang basudara mampu untuk membuat manusia Maluku
saling mengakui kelemahan masing-masing dan menghargainya serta
tidak mencemburui kelebihan masing-masing, karena kelemahan dan
kelebihan tersebut merupakan sebuah bagian yang tak terpisahkan dari
realitas manusia Maluku sesuai dengan kekhasannya masing-masing.
Lebih jauh, untuk menegaskan bahwa falsafah hidop orang
basudara pada dasarnya bukanlah sebuah kosmologi hidup Maluku yang
kosong, melainkan mengandung nilai positif, Aholiab Watloly dalam
tulisannya tentang memperkuat falsafah hidop orang basudara dalam
buku berlayar dalam ombak, berkarya bagi negeri menjelaskan bahwa,
33
Aholiab Watloly dkk, Perdamaian Berbasis Adat Orang Basudara,
(Yogyakarta: Kanisius, 2017), 106. 34
Hasil wawancara dengan pdt Hery Siahay di Poka, tanggal 23 Agustus 2017,
pukul 12:52 WIT.
83
hidop orang basudara menegaskan nilai-nilai solidaritas, kekerabatan,
persaudaraan, dan sikap pengorbanan yang luhur-suci demi basudara
sebagai bentuk kebenaran demi kebaikan hidupnya secara bersama.35
Penegasan Aholiab Watloly dan informan lainnya di atas, semakin
mempertegas bahwa falsafah hidop orang basudara adalah sebuah
kosmologi hidup manusia Maluku yang mengandung banyak nilai positif.
Nilai positif tersebut kemudian membentuk sikap hidup yang dapat
mengantarkan manusia Maluku agar dapat membangun hidup dalam
realitasnya yang kompleks. Oleh sebab itu, penulis mencoba untuk
menampilkan sikap hidup tersebut lewat empat hal mendasar:
Pertama, falsafah ini membentuk sikap hidup yang bertoleran
untuk membuka diri dan menerima, serta menghargai dan menghormati
perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh semua manusia Maluku, baik itu
individu maupun komunitas tertentu sebagai suatu realitas hidup manusia
Maluku yang begitu kompleks, baik itu perbedaan budaya, suku,
kepercayaan, dan juga status sosial.
Kedua, ketika manusia Maluku telah bertoleransi dan membuka
diri untuk menerima perbedaan-perbedaan yang ada sebagai suatu realitas
hidup manusia Maluku, maka ada keinginan yang timbul untuk
35
Aholiab Watloly “Memperkuat Falsafah Hidop Orang Basudara” dalam
Berlayar Dalam Ombak, Berkarya Bagi Negeri, eds by Abidin Wakano dkk, (Ambon:
Ralahalu Institut, 2012), 262.
84
membangun hubungan intim yang berbasis keluarga di dalam perbedaan
tersebut. Artinya, walaupun manusia Maluku berbeda karena
kekompleksannya, namun nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop
orang basudara mendorong manusia Maluku untuk dapat membentuk
sebuah hubungan intim di dalam kekompleksan tersebut. Hubungan intim
yang dapat mengakui dan menerima kekompleksan tersebut sebagai
bagian yang tak terpisahkan dan yang khas dari masing-masing manusia
Maluku, dan hubungan yang mampu melakukannya hanya jika hubungan
tersebut didasarkan pada hubungan yang berbasis persaudaraan.
Ketiga, falsafah ini mencerminkan sikap hidup yang bertanggung
jawab. Artinya, setelah manusia Maluku membangun sebuah hubungan
yang berbasis pada persaudaraan di dalam kekompleksan manusia
Maluku, maka manusia Maluku mempunyai tanggung jawab untuk tetap
menjaga hubungan yang telah dibangun dengan baik. karena itu di dalam
falsafah hidop orang basudara mengandung banyak nilai-nilai positif
sebagai aktualisasi dari proses tanggung jawab terhadap hubungan
persaudaraan yang dibangun.
Keempat, falsafah ini mencerminkan sikap hidup yang sangat
menjunjung rasa solidaritas. Artinya, ketika manusia Maluku yang telah
diikatkan dalam hubungan persaudaraan melihat apa yang terjadi pada
salah satu saudaranya, manusia Maluku tidak hanya sekedar melihat,
85
melainkan manusia Maluku melihat dan turut merasakan apa yang
dirasakan oleh saudaranya, baik itu merasakan penderitaan maupun
kesenangan. Bahkan, jika itu merupakan persoalan maupun penderitaan,
maka manusia Maluku secara bersama akan mencari jalan keluar untuk
mengatasi persoalan maupun penderitaan yang dialami oleh saudaranya.
Berdasarkan empat sikap hidup hasil pembentukan nilai dalam
falsafah hidop orang basudara yang telah penulis tampilkan di atas,
memperjelas bahwa falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi
hidup manusia Maluku mengandung begitu banyak nilai positif yang dapat
mengarahkan, bahkan dapat membawa manusia ke tahapan hidup yang
lebih baik di dalam realitas manusia Maluku yang begitu kompleks.
Namun di satu sisi, penulis mendapati bahwa nilai yang terkandung di
dalam falsafah hidop orang basudara, bukanlah nilai yang berdiri sendiri
atau otonom, melainkan nilai tersebut berkolerasi dengan sifat yang
melekat pada nilai itu. Oleh sebab itu berdasarkan hasil penelitian, penulis
telah memetakan beberapa sifat dari nilai yang terkandung di dalam
falsafah hidop orang basudara, antara lain:
86
1. Nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara bersifat
terbuka.
Sifat terbuka yang disandang oleh falsafah hidop orang basudara
merujuk pada wilayah penggunaan nilai dalam falsafah tersebut. Jika pada
umumnya penggunaan nilai dalam suatu bangunan falsafah hidup hanya
tertuju bagi manusia yang terikat secara langsung di dalam bangunan
falsafah tersebut, maka apa yang ditampilkan oleh falsafah hidop orang
basudara sebagai kosmologi hidup manusia Maluku berbeda.
Sebagai kosmologi hidup manusia Maluku, nilai yang terkandung
di dalam falsafah hidop orang basudara membuka diri untuk dapat
digunakan bukan saja oleh manusia Maluku sebagai manusia yang
dilahirkan dengan kosmologi hidup tersebut, tetapi juga dapat digunakan
oleh manusia lain yang tidak dilahirkan dalam kosmologi hidup falsafah
hidop orang basudara. Hal ini ditegaskan oleh Erik bahwa, ketika
membangun hidup dalam suatu tempat yang begitu plural di Maluku,
falsafah hidop orang basudara mampu untuk menyatukan perbedaan yang
ada, sehingga yang ada bukanlah orang plural tetapi orang basudara.36
Lebih jauh diceritakan oleh Wahyudi bahwa, sebagai seorang
pendatang asal Jawa Timur yang membangun hidup di Maluku, falsafah
36
Hasil wawancara dengan bapak Erik Van Room di Poka, tanggal 23 Agustus
2017, pukul 12.40 WIT.
87
hidop orang basudara mampu untuk mendorong masyarakat lainnya
untuk menerima keberadaan Wahyudi tanpa ada diskriminasi. Bahkan
setelah menikah dengan orang ambon yang mempunyai kosmologi
falsafah hidop orang basudara, Wahyudi kemudian terlebur di dalam
kosmologi tersebut, namun tidak menghilangkan kekhasannya sebagai
seorang Jawa Timur yang beragama Islam.37
Informasi di atas menegaskan bahwa, pada dasarnya Maluku
adalah wilayah yang sangat plural, baik dari segi agama, budaya, suku,
status sosial, bahkan juga manusia yang membangun hidup di Maluku,
dalam artian manusia asli Maluku dan para pendatang. Namun ketika
proses membangun hidup dimulai, falsafah hidop orang basudara
membuka diri untuk dapat dipakai oleh para pendatang yang tidak
menyandang falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi hidupnya,
sehingga baik orang asli Maluku dan pendatang sama-sama terlebur di
dalam hidop orang basudara dan dari peleburan tesebur, mereka bukan
lagi dua entitas yang berbeda (orang asli dan pendatang) tetapi orang
basudara.
Di satu sisi, Sifat terbuka yang disandang oleh falsafah hidop
orang basudara ini, digambarkan oleh Dieter Bartels yang diwujudkan
37
Hasil wawancara dengan bapak Wahyudi di Wayame, tanggal 20 Agustus
2017, pukul 12.00 WIT.
88
dalam soa. Soa merupakan budaya manusia Maluku, khususnya Maluku
Tengah. Soa merupakan pembagian kelompok atau klan dalam negeri atau
kampung tertentu. Di kemudian hari, ada juga banyak kampung yang
menciptakan soa terpisah yang disebut soa pendatang untuk menghimpun
semua pendatang di kampung tanpa memperhitungkan waktu kedatangan
mereka di kampung.38
Izak Lattu dalam desertasinya tentang “Orality and Interreligious
Relationships the Role of Collective Memory in Christian-Muslim Engagements
in Maluku, Indonesia” juga menjelaskan soa yang diciptakan khusus untuk
menghimpun pendatang dari luar yang hendak tinggal di dalam kampung.
Penggambaran tersebut digambarkan oleh Izak Lattu lewat sistim soa
Erang dalam struktur negeri Soya.39
Lebih jauh, Izak Lattu menjelaskan
bahwa, desa Soya40
memiliki dua soa di dalam struktur negerinya, yaitu
soa Erang dan soa Pera.41
Kedua soa ini pada dasarnya berfungsi sebagai
pembagian kelompok marga atau clan di satu negeri, akan tetapi soa
Erang (soa bebas) dikhususkan untuk menjadi soa yang berfungsi untuk
38
Dieter Bartels, di Bawah Naungan Gunung Nunusaku, Jilid I (Kebudayaan),
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017), 190-191. 39
Izak Lattu, “Orality and Interreligious Relationships the Role of Collective
Memory in Christian-Muslim Engagements in Maluku, Indonesia”, PhD. Diss., Graduate
Theological Union, 2014, 125. 40
Negeri Adat di Ambon. 41
Izak Lattu, “Orality and Interreligious Relationships the Role of Collective
Memory in Christian-Muslim Engagements in Maluku, Indonesia”, PhD. Diss., Graduate
Theological Union, 2014, 143.
89
menghimpun semua pendatang yang datang dari luar dan hendak tinggal
di negeri Soya.42
2. Nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara bersifat
universal.
Ada begitu banyak nilai positif yang terkandung di dalam falsafah
hidop orang basudara, seperti saling mengasihi, saling menolong, saling
memaafkan, saling menghargai, saling menjaga dan lain sebagainya.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam falsafah tersebut, bagi penulis
bersifat universal, karena nilai-nilai tersebut dapat ditemukan di semua
wilayah Maluku yang beragam dan juga wilayah di luar Maluku, bahkan
juga ditemukan di dalam ajaran-ajaran agama. Hal ini ditegaskan oleh
Sintia Sangadji bahwa, nilai-nilai di dalam falsafah hidop orang basudara
seperti; saling menyayangi, mengasihi, dan saling membantu, pada
dasarnya juga ada di dalam setiap ajaran agama. Bahkan setiap agama
mengajarkan nilai-nilai tersebut.43
Informasi di atas menegaskan bahwa, nilai yang terkandung di
dalam falsafah hidop orang basudara bersifat universal. Oleh sebab itu,
ketika manusia Maluku yang begitu kompleks ingin menjalin relasi
dengan manusia yang berasal dari dalam atau luar Maluku dengan
42
Izak Lattu, “Orality and Interreligious, 125. 43
Hasil wawancara dengan ibu Sintia Sangadji di Wayame, tanggal 20 Agustus
2017, pukul 13.20 WIT.
90
menggunakan falsafah ini, maka relasi tersebut berjalan dengan baik,
karena nilai-nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang
basudara juga ada di dalam kekompleksan masing-masing manusia yang
berasal dari dalam atau luar Maluku.
3. Nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara bersifat
mengikat tanpa meninggalkan kekhasan masing-masing.
Ketika manusia Maluku ingin bersepakat untuk membangun relasi
yang berbasis pada persaudaraan dengan sesama manusia Maluku yang
lain dalam konstelasi realitas manusia Maluku yang begitu kompleks,
maka tentu saja manusia Maluku yang bersepakat tersebut diikat dengan
nilai hidup yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara
sebagai landasan berelasi. Proses pengikatan itu sendiri tidak membuat
sehingga manusia Maluku yang bersepakat terlepas dari kekhasannya
masing-masing, namun meskipun diikat dengan nilai yang terkandung di
dalam falsafah hidop orang basudara, kekhasan dari masing-masing
manusia Maluku yang bersepakat tersebut tetap menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari diri mereka. Sehingga di dalam proses berelasi sebagai
orang basudara, manusia Maluku dapat menghayati dan
mengaktualisasikan nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang
basudara dengan kekompleksannya masing-masing. Oleh sebab itu, di
dalam proses berelasi di Maluku, orang Kristen Maluku dapat menjalin
91
relasi dengan orang Islam Maluku serta mengaktualisasikan nilai-nilai
yang ada di dalam falsafah hidop orang basudara sebagai landasan di
dalam proses berelasi tanpa harus menjadi orang Islam Maluku, dan juga
sebaliknya.
Nilai yang bersifat mengikat tersebut digambarkan oleh sekum
GPM dengan menceritakan kesan saat GPM melakukan sidang MPL di
Teluti.44
Ketika GPM melakukan sidang MPL di Teluti, para pendeta
diberi tempat tinggal di rumah-rumah basudara muslim. Oleh sebab itu
selama sidang berlangsung, para pendeta yang adalah orang Kristen, hidup
bersama dengan bapa piara dan mama piara45
yang muslim. Dalam
proses hidup bersama tersebut ada hal yang menarik, sebelum para
pendeta pergi ke gereja untuk mengikuti sidang, bapa piara dan mama
piara meminta untuk para pendeta berdoa bagi seisi rumah, dan doanya
adalah doa Bapa Kami.46
Cerita di atas dengan jelas menggambarkan sifat mengikat yang
disandang oleh falsafah hidop orang basudara tanpa meninggalkan
kekhasan dari masing-masing manusia Maluku. Ketika para pendeta
tinggal di rumah muslim, mereka terikat di dalam pusaran arus orang
44
Nama salah satu daerah di Maluku. 45
Orang Maluku (Ambon khususnya) selalu menyebutkan tuan rumah yang
memberikan tempat untuk ditinggali dengan sebutan bapa piara (kepala rumah tangga)
dan mama piara (ibu rumah tangga). 46
Hasil wawancara dengan Sekum GPM, pdt Elifas Tomix Maspaitela di Kantor
sinode GPM, tanggal 22 Agustus 2017, pukul 13.30 WIT.
92
basudara, meskipun demikian para pendeta tetap kristen dan tuan rumah
tetap muslim. Bahkan ketika para pendeta berdoa Bapa Kami bagi seisi
rumah, seisi rumah tersebut tidak berubah menjadi kristen, melainkan
tetap kristen dan muslim.
Bahkan lebih jauh, Elifas Tomix Maspaitela dalam Carita Orang
Basudara “kisah-kisah perdamaian dari Maluku” menceritakan bahwa,
ketika Sumanto AL-Qurtuby yang adalah seorang muslim asal Jawa
datang meneliti di Ambon dan tinggal bersama dengan Elifas yang
seorang kristen, proses tinggal bersama itu kemudian membuat Elifas
mengakui Sumanto adalah saudaranya dan sebaliknya.47
Proses pengakuan
ini merupakan sebuah perwujudan praksis dari falsafah hidop orang
basudara yang mengikat tetapi tidak meninggalkan kekhasan Elifas
sebagai seorang kristen dan Sumanto sebagai seorang muslim.
4. Nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara bersifat
aktif bukan pasif.
Nilai di dalam falsafah ini bersifat aktif, karena nilai di dalam
falsafah ini tidak hanya sekedar menjadi simbol kosmologi hidup manusia
Maluku untuk sekedar diketahui oleh masyarakat luas semata, melainkan
nilai di dalam falsafah ini mampu menggerakan manusia Maluku dengan
47
Elifas Tomix Maspaitella “Sepenggal Kisah Dari Pastori Fajar Hidup” dalam
Carita Orang Basudara, eds by Jacky Manuputty dkk (Ambon: lembaga antar iman
Maluku, 2014), 181-190.
93
sebuah kekuatan yang bersifat melakukan (doing) dan bukan bersifat tidak
melakukan (no doing) yang implementasikan lewat tindakan dan pikiran
yang kreatif dan kritis untuk menanggapi segala sesuatu. Aholiab Watloly
menyebut kekuatan penggerak itu sebagai (invisible hand)48
yang
mendorong manusia Maluku untuk melakukan serta mengupayakan yang
baik ketika terjadi hal-hal yang tidak baik.
Untuk mempertegas nilai di dalam falsafah hidop orang basudara
bersifat aktif dan bukan pasif, Rico Rikumahu menegaskan bahwa,
falsafah hidop orang basudara mengajarkan suatu cara
mempersembahkan hidup kepada orang lain. Bahkan cara hidup tersebut
membuat manusia Maluku seperti ada di dalam kompetisi yang berlomba-
lomba untuk melakukan sesuatu kepada orang lain sebelum orang lain
melakukan sesuatu kepada kita, karena orang lain tersebut adalah saudara
kita.49
Berdasarkan uraian tentang nilai yang terkandung di dalam
falsafah hidop orang basudara dan sifat yang disandang olehnya sebagai
sebuah bagian yang tak terpisahkan, maka dapat terlihat bahwa nilai-nilai
yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara bukan hanya
48
Aholiab Watloly “Memperkuat Falsafah Hidop Orang Basudara” dalam
Berlayar Dalam Ombak, Berkarya Bagi Negeri, eds by Abidin Wakano dkk, (Ambon:
Ralahalu Institut, 2012), 246. 49
Hasil wawancara dengan pdt Rico Rikumahu, di Kantor klasis pulau Ambon,
tanggal 25 Agustus 2017, pukul 13.22 WIT.
94
berupa kerangka teori, namun berupa implementasi langsung yang
terbentuk di dalam pikiran dan perbuatan yang dapat mengantarkan
manusia Maluku ke situasi hidup yang lebih baik di tengah-tengah realitas
manusia Maluku yang begitu kompleks. Bahkan sebagai kosmologi hidup
manusia Maluku, nilai-nilai yang terkandung di dalam falsafah ini dapat
menyetarakan manusia Maluku di dalam kekompleksannya.
D. Pemaknaan Masyarakat Maluku Tentang Falsafah Hidop Orang
Basudara Dalam Lingkungan Agama dan Sosial
Sebelum penulis mendeskripsikan bagaimana masyarakat Maluku
memaknai falsafah hidop orang basudara dalam lingkungan agama dan
sosial, penulis akan mendeskripsikan pemaknaan orang basudara di
dalam kerangka falsafah hidop orang basudara terlebih dahulu, karena
pemaknaan orang basudara mempengaruhi pemaknaan dan pengunaan
falsafah hidop orang basudara, baik di dalam lingkungan agama maupun
sosial. Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan bahwa
masyarakat Maluku memahami orang basudara dalam tiga poin:
1. Orang basudara dimaknai berdasarkan ikatan geneologis
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan bahwa orang
basudara kerapkali dimaknai dalam kerangka mata air gen. Artinya
pemaknaan orang basudara ditujukan bagi beberapa individu atau
95
beberapa komunitas tertentu yang memiliki ikatan darah yang
sama/gandong. Hal ini ditegaskan oleh sekum GPM ketika menegaskan
pemaknaan orang basudara dalam ikatan gandong. Bagi sekum GPM,
orang basudara dalam pemaknaan gandong dipahami karena sama-sama
lahir dari satu rahim dan dibesarkan dari satu air susu ibu yang sama.50
Bertolak dari penjelasan di atas, maka penulis menyadari bahwa
pada umumnya manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan
manusia lain untuk dapat melanjutkan hidup. Bahkan lebih intim lagi,
manusia lain itu sering dipahami sebagai sesama manusia yang
mempunyai hubungan latar belakang yang sama, yaitu hubungan gen.
Oleh sebab itu hampir di semua wilayah Maluku, istilah orang basudara
sering dipahami dalam keterkaitannya dengan hubungan gen.
Di sisi lain, M. Noor Tawainela dalam tulisannya tentang Ketika
Hati Nurani Bicara didalam buku Carita Orang Basudara. Dalam tulisan
ini, dia menceritakan bahwa pada saat atap kuburan moyangnya di Tulehu
akan diganti, keluarga dari negeri Waai datang dan turut bersama dalam
50
Hasil wawancara dengan Sekum GPM, pdt Elifas Tomix Maspaitela di Kantor
sinode GPM, tanggal 22 Agustus 2017, pukul 13.30 WIT.
96
proses penggantian atap tersebut, bahkan saat itu tidak ada Islam atau
Nasrani, yang ada hanya ialah basudara dari satu mata air gen.51
Tulisan dari M Tawainela di atas, semakin mempertegas bahwa
istilah orang basudara sering dimaknai dalam konstelasi genetika. Oleh
sebab itu, wilayah penggunaan dari falsafah hidop orang basudara
kerapkali hanya meliputi beberapa individu, maupun komunitas tertentu di
Maluku yang mempunyai hubungan genetika, dan tidak dapat keluar dari
konstelasi genetika tersebut.
2. Orang basudara dimaknai berdasarkan kultur dan teritori
Berdasarkan hasil penelitian, penulis juga mendapatkan bahwa
pemaknaan orang basudara sering didasarkan pada kultur dan teritori
tertentu. Yang dimaksud dengan didasarkan pada kultur dan teritori ialah,
orang basudara dipahami sebagai kumpulan nilai-nilai moral yang
terkandung di dalam warisan budaya (kultur) yang diturunkan oleh orang
tua-tua yang hidup di wilayah Maluku (teritori) pada masa lampau. Oleh
sebab itu, karena semua manusia Maluku hidup dalam teritori yang sama
dan dengan kultur yang sama, maka manusia Maluku pada dasarnya
adalah orang basudara. Hal ini ditegaskan oleh Kanes Amanupunjo
bahwa:
51
M. Noor Tawainela “Ketika Hati Nurani Bicara” dalam Carita Orang
Basudara, eds by Jacky Manuputty dkk, (Ambon: lembaga antar iman Maluku, 2014),
227.
97
Secara adat-istiadat, orang Maluku ni samua orang basudara, karena
ada keterkaitan-keterkaitan adat. Selain itu karena katong juga satu
wilayah Maluku jadi katong di Maluku ni orang basudara (secara
adat-istiadat, orang Maluku ini semua orang bersaudara, karena ada
keterkaitan-keterkaitan adat. Selain itu karena kami juga berada disatu
wilayah Maluku jadi kami di Maluku ini orang bersaudara).52
Dari penegasan di atas, penulis mendapati bahwa nilai yang
terkandung di dalam hidop orang basudara telah terpatri di dalam adat
istiadat yang berakar di wilayah Maluku. Sehingga sebagai manusia
Maluku yang hidup di wilayah Maluku, manusia tersebut harus
mendukung adat istiadat yang berisikan hidop orang basudara yang
berakar di wilayah Maluku. Oleh sebab itu, ketika manusia Maluku
mengaktualisasikan nilai yang berakar di dalam adat istiadat manusia
Maluku, dengan sendirinya nilai-nilai yang diaktualisasikan tersebut
menghubungkan pelaku-pelaku pengaktualisasian tersebut menjadi orang
sudara.
Di satu sisi, pemaknaan falsafah hidop orang basudara yang
terbatas pada kultur dan teritori Maluku, juga ditegaskan oleh Aholiab
Watloly. Dalam tulisannya tentang memperkuat falsafah hidop orang
basudara di dalam buku Berlayar Dalam Ombak, Berkarya Bagi Anak
Negeri, Aholiab Watloly menegaskan bahwa falsafah ini, hidup dan
bertumbuh, serta dewasa dan matang dalam basis-basis geneologis,
52
Theovania Matatula “Hidop Orang Basudara “Suatu Kajian Teologi Agama-
Agama di Wayame”, (Skripsi Teologi UKIM, 2015), 37.
98
teritorian dan sosio-kultural.53
Dengan kedua informasi di atas, maka
falsafah hidop orang basudara kerapkali juga dimaknai dalam kultur dan
teritori Maluku. Oleh sebab itu, wilayah penggunaan falsafah hidop orang
basudara juga terbatas bagi individu dan komunitas yang lahir dan
bertumbuh dengan budaya Maluku.
3. Orang basudara dimaknai keluar dari ikatan gen, kultur dan juga
teritori.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis juga mendapati bahwa
pemaknaan orang basudara dapat melampaui ikatan gen, kultur dan juga
teritori. Zairin Salampessy dalam Carita Orang Basudara “kisah-kisah
perdamaian dari Maluku” menceritakan bahwa, tempat lorong (gang)
rumah miliknya, ditempati oleh orang yang berbeda agama, meskipun
demikian mereka tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Bahkan
Zairin menegaskan bahwa di lorong sempit itu, mereka semua tinggal
dalam relasi kekeluargaan yang akrab, dengan falsafah hidop orang
basudara tanpa memandang dari mana asal daerah, suku, atau pun
agamanya.54
53
Aholiab Watloly “Memperkuat Falsafah Hidop Orang Basudara” dalam
Berlayar Dalam Ombak, Berkarya Bagi Negeri, eds by Abidin Wakano dkk, (Ambon:
Ralahalu Institut, 2012), 249. 54
Zairin Salempessy “Ketika Memilih Setia Pada Prinsip” dalam Carita Orang
Basudara, eds by Jacky Manuputty dkk, (Ambon: lembaga antar iman Maluku, 2014),
40.
99
Bertolak dari informasi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
masyarakat Maluku lambat laun mulai menyadari dirinya sebagai makhluk
sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan terpisah dengan manusia lain
yang juga adalah sesama makhluk sosial. Oleh sebab itu, rasa sebagai
makhluk sosial itu kemudian mendorong manusia Maluku yang untuk
keluar dari zona nyamannya dan menjalin relasi orang basudara dengan
manusia lain tanpa dipengaruhi oleh ikatan gen, kultur dan teritori.
Bahkan pemaknaan orang sodara yang jauh melampaui ikatan
gen, kultur dan teritori, juga disampaikan oleh Hery Siahaya bahwa, orang
basudara adalah suatu cara hidup yang saling mengasihi dan saling
membantu, meskipun tidak berada di dalam satu rumpun agama tertentu,
bahkan melampaui batas-batas teritori genetika, suku dan golongan
tertentu.55
Dengan penjelasan pemaknaan orang basudara dari informan,
maka wilayah penggunaan falsafah hidop orang basudara sudah tidak
terbatas pada ikatan gen, kultur dan juga teritori, melainkan lebih dari itu.
Di satu sisi, pemaknaan orang basudara dapat mempengaruhi
wilayah penggunaan falsafah hidop orang basudara tersebut. Sehingga,
ketika manusia Maluku memaknai orang basudara lebih dari ikatan gen,
kultur dan juga teritori, maka manusia Maluku tidak terpenjara ketika
55
Hasil wawancara dengan pdt Hery Siahay di Poka, tanggal 23 Agustus 2017,
pukul 12:52 WIT.
100
menggunakan falsafah hidop orang basudara di dalam menjalin relasi.
Oleh sebab itu, dari uraian di atas, penulis akan memetakan pemaknaan
masyarakat Maluku terhadap falsafah hidop orang basudara di dalam
lingkungan sosial dan lingkungan agama, sebagai dua lingkungan sensitif
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis mendapatkan bahwa
masyarakat Maluku memaknai falsafah hidop orang basudara dalam
lingkungan sosial dan lingkungan agama sebagai pemersatu di dalam
perbedaan, sehingga memungkinkan terciptanya relasi hidup bersama.
Karena ketika masyarakat Maluku yang begitu kompleks ingin menjalin
relasi, mereka tidak hanya membawa diri mereka di dalam proses berelasi,
namun juga membawa kekhasan yang melekat dalam diri mereka, baik itu
kepercayaan, suku, budaya, dan juga status sosial yang selalu terikat
dengan mereka dalam lingkungan sosial dan juga agama.
Oleh sebab itu, di dalam perbedaan tersebut, falsafah hidop orang
basudara kemudian bertindak untuk menyatukan mereka, sehingga di
dalam perbedaan yang khas dari masing-masing mereka, mereka tetap
dapat berelasi dalam lingkungan sosial dan juga agama dengan baik tanpa
meninggalkan kekhasan mereka dan dapat membangun hidup bersama di
tengah perbedaan yang ada. Hal ini ditegaskan oleh Erik bahwa, ketika
membangun hidup dalam suatu tempat yang begitu plural di Maluku,
101
falsafah hidop orang basudara mampu untuk menyatukan perbedaan yang
ada, sehingga yang ada bukanlah orang plural tetapi orang basudara.56
Dari informasi di atas terlihat jelas bahwa manusia Maluku adalah
manusia yang begitu plural akibat kekhasan yang disandang oleh masing-
masing manusia Maluku. Oleh sebab itu, dalam usaha untuk membangun
suatu hidup yang baik, falsafah hidop orang basudara berfungsi sebagai
suatu pemersatu yang mampu untuk menyatukan realitas manusia Maluku
yang begitu plural, sehingga masyarakat Maluku dapat membangun hidup
yang baik dalam konteks yang begitu pluralis, baik di lingkungan sosial
maupun agama.
Di sisi lain, dalam proses membangun relasi, baik di dalam
lingkungan agama dan juga sosial, tentu ada perbedaan-perbedaan yang
didapati. Perbedaan-perbedaan tersebut merupakan kekhasan yang tidak
terlepas dari habitus agama dan juga sosial. Namun, kerapkali perbedaan
yang merupakan kekhasan dalam lingkungan agama dan sosial tersebut
dapat menjadi gesekan-gesekan di dalam proses berelasi yang jika tidak
secara cepat dan tepat ditangani, maka akan menimbulkan konflik. Oleh
sebab itu, masyarakat Maluku juga memaknai falsafah hidop orang
basudara di dalam lingkungan sosial dan agama sebagai suatu jalan untuk
56
Hasil wawancara dengan bapak Erik Van Room di Poka, tanggal 23 Agustus
2017, pukul 12.40 WIT.
102
mengakui perbedaan sebagai suatu fakta yang ada, dan dari fakta itu
bagaimana falsafah hidop orang basudara kemudian menjadi sebuah
kemauan untuk dapat mengelola perbedaan yang ada menjadi sebuah
kekayaan. Hal ini ditegaskan oleh Hery Siahay bahwa, falsafah hidop
orang basudara mampu menyadarkan kita bahwa perbedaan itu adalah
fakta sosial, dan perbedaan itu kemudian harus dikelola sebagai kekayaan
di dalam proses hidup bersama sebagai orang basudara.57
Lebih jauh, Rico Rikumahu menegaskan bahwa nilai-nilai yang
terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara dapat menjadi sebuah
model untuk menjalin relasi di dalam lingkungan agama dan lingkungan
sosial.58
Bahkan Jacky Manuputty menyebut model relasi yang ditawarkan
oleh falsafah ini ialah model relasi seimbang.59
Bertolak dari penjelasan di atas, terlihat bahwa falsafah hidop
orang basudara juga dimaknai oleh masyarakat Maluku dalam lingkungan
sosial dan agama bukan saja sebagai jalan untuk mengakui perbedaan,
melainkan juga menawarkan relasi seimbang dalam proses membangun
relasi di lingkungan sosial dan juga agama dengan perbedaan-perbedaan
habitus masing-masing yang khas.
57
Hasil wawancara dengan pdt Hery Siahay di Poka, tanggal 23 Agustus 2017,
pukul 12:52 WIT. 58
Hasil wawancara dengan pdt Rico Rikumahu, di Kantor klasis pulau Ambon,
tanggal 25 Agustus 2017, pukul 13.22 WIT. 59
Hasil wawancara dengan pdt Jacky Manuputty di Amahusu, tanggal 26
Agustus 2017, pukul 12:54 WIT.
103
Berdasarkan pemaknaan masyarakat Maluku terhadap falsafah
hidop orang basudara di dalam lingkungan sosial dan agama, ada tiga hal
penting yang didapati:
1. Falsafah hidop orang basudara dimaknai sebagai jalan untuk mengakui
perbedaan yang ada
Ketika manusia Maluku yang begitu kompleks berinteraksi di
dalam lingkungan agama dan lingkungan sosial, mereka bukan saja
membawa diri mereka, namun juga kekhasan mereka masing-masing yang
terbentuk di dalam kepercayaan, suku, budaya dan juga status sosial. Di
tengah kekompleksan tersebut, falsafah hidop orang basudara dimaknai
sebagai jalan yang membuka ruang untuk saling mengakui perbedaan
sebagai kekhasan masing-masing, dan saling menghargai kekhasan
masing-masing sebagai bagian yang tak terpisahkan.
2. Falsafah hidop orang basudara dimaknai sebagai pemersatu di dalam
perbedaan, tanpa meninggalkan kekhasan masing-masing.
Setelah ada pengakuan bahwa manusia Maluku yang berelasi
dalam lingkungan sosial dan agama selalu membawa kekhasan mereka
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari mereka, maka pengakuan
tersebut kemudian fakta di dalam proses berelasi. Falsafah hidop orang
basudara memandang fakta tersebut sebagai sebuah kekayaan yang akan
104
membuat hidup manusia Maluku lebih baik, karena itu falsafah hidop
orang basudara kemudian mendorong manusia Maluku untuk dapat
menjalin relasi melampaui fakta-fakta itu, tanpa melepaskan atau
meniadakan fakta-fakta tersebut. Oleh sebab itu, falsafah hidop orang
basudara bertindak sebagai rotor yang mempersatukan manusia Maluku
yang begitu kompleks dalam lingkungan sosial dan agama tanpa
meninggalkan kekhasan mereka yang merupakan fakta itu sendiri.
3. Falsafah hidop orang basudara dimaknai sebagai sebuah landasan relasi
hidup bersama dalam lingkungan sosial dan agama.
Setelah manusia Maluku yang begitu kompleks mengakui
perbedaan yang ada sebagai sebuah fakta dari kekhasan mereka masing-
masing, dan mereka kemudian disatukan untuk dapat menjalin relasi tanpa
meninggalkan kekhasan mereka, maka mereka melandaskan relasi mereka
dalam relasi hidop orang basudara yang terkandung di dalam falsafah
hidop orang basudara. Karena ketika mereka melandaskan relasi yang
mereka bangun di atas pondasi falsafah hidop orang basudara, maka
manusa Maluku yang begitu kompleks akan mendapatkan kesetaraan di
dalam lingkungan sosial dan agama tanpa harus melepaskan kekhasan
mereka sebagai suatu bagian yang tak terpisahkan dengan mereka.
105
E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa falsafah
hidop orang basudara adalah suatu kosmologi hidup yang bersifat sakral,
yang telah menjadi paradigma hidup dan telah membatin di dalam diri
manusia Maluku dari generasi ke generasi. Kosmologi hidup tersebut
beirisikan aturan-aturan hidup yang terpatri di dalam nilai-nilai dan
norma-norma hidup yang dilandasi oleh motif dasar etika yaitu cinta
kasih, etika bersama, rasa senasib dan sepenanggunan yang bertujuan
untuk meruntuhkan tembok-tembok kekompleksan demi menyetarakan
manusia Maluku, serta membawa nilai-nilai inspirasi yang kreatif yang
dapat membangun manusia Maluku menuju ke arah yang lebih baik yang
dipraktekan lewat tindakan saling membantu, saling menghargai dan
saling menerima yang terbentuk di dalam pranata-pranata lokal seperti;
akta perjanjian Pela-Gandong, Kalwedo dan Ain Ni Ain.
Di samping itu, sifat dari nilai yang terkandung dalam falsafah
hidop orang basudara, yaitu: Bersifat terbuka; artinya falsafah hidop
orang basudara juga dapat digunakan oleh manusia yang tidak lahir di
dalam kosmologi manusia Maluku, sehingga para pendatang yang datang
dan menetap di Maluku dapat berelasi dan terlebur dalam hidop orang
basudara. Bersifat universal; artinya nilai dalam falsafah hidop orang
basudara seperti cintah kasih, saling menyayangi, saling menolong, saling
106
menghargai, saling menerima dan mengakui kekurangan dan kelebihan,
saling menjaga dan nilai positif lainnya juga dapat ditemukan di semua
wilayah Maluku yang beragam dan juga wilayah di Luar Maluku, bahkan
lebih jauh juga dapat di temukan dalam ajaran-ajaran agama. Bersifat
mengikat tanpa meninggalkan kekhasan masing masing; artinya falsafah
hidop orang basudara dapat digunakan untuk menjalin sebuah ikatan yang
mampu menembusi tembok-tembok pemisah baik itu kepercayaan, suku,
budaya dan juga status sosial tanpa meninggalkan kekhasan masing-
masing. Bersifat aktif bukan pasif; artinya falsafah hidop orang basudara
dapat menggerakakan manusia Maluku dengan sebuah kekuatan yang
bersifat melakukan dan bukan bersifat tidak melakukan.