bab iv hasil dan pembahasan 4.1 parameter fisika dan...

23
30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimia Perairan Parameter fisika dan kimia memegang peranan penting bagi kehidupan lamun.Parameter fisika dan kimia yang mempengaruhi distribusi dan pertumbuhan ekosistem padang lamun adalah kecerahan, suhu, salinitas, substrat, dan kecepatan arus (Dahuri 2003). Berdasarkan hasil penelitian di perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, diperoleh nilai-nilai parameter fisika dan kimia yang dapat dilihat pada tabel 3, tabel 4 dan tabel 5: Tabel 3. Parameter Fisika dan Kimia Stasiun I Parameter Stasiun I Rata-rata 1 2 3 Suhu ( o C) 31 31 30 30,7 pH 7,9 7,9 7,7 7,8 Salinitas ( o / oo ) 33 33 32 32,7 Kedalaman (cm) 62 65 65 64 Kecepatan Arus (m/s) 0,06 0,065 0,1 0,075 Kecerahan (%) 100 100 100 100 Ket: 1,2,3 = Ulangan Tabel 4. Parameter Fisika dan Kimia Stasiun II Parameter Stasiun II Rata-rata 1 2 3 Suhu ( o C) 31 31 30 30,7 pH 7,8 7,9 7,8 7,8 Salinitas ( o / oo ) 33 33 32 32,7 Kedalaman (cm) 60 63 66 63 Kecepatan Arus (m/s) 0,08 0,09 0,1 0,09 Kecerahan (%) 100 100 100 100 Ket: 1,2,3 = Ulangan

Upload: vuongthuan

Post on 02-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

30

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Parameter Fisika dan Kimia Perairan

Parameter fisika dan kimia memegang peranan penting bagi kehidupan

lamun.Parameter fisika dan kimia yang mempengaruhi distribusi dan

pertumbuhan ekosistem padang lamun adalah kecerahan, suhu, salinitas, substrat,

dan kecepatan arus (Dahuri 2003). Berdasarkan hasil penelitian di perairan Pulau

Pramuka Kepulauan Seribu, diperoleh nilai-nilai parameter fisika dan kimia yang

dapat dilihat pada tabel 3, tabel 4 dan tabel 5:

Tabel 3. Parameter Fisika dan Kimia Stasiun I

Parameter Stasiun I

Rata-rata 1 2 3

Suhu (oC) 31 31 30 30,7

pH 7,9 7,9 7,7 7,8

Salinitas (o/oo) 33 33 32 32,7

Kedalaman (cm) 62 65 65 64

Kecepatan Arus (m/s) 0,06 0,065 0,1 0,075

Kecerahan (%) 100 100 100 100

Ket: 1,2,3 = Ulangan

Tabel 4. Parameter Fisika dan Kimia Stasiun II

Parameter Stasiun II

Rata-rata 1 2 3

Suhu (oC) 31 31 30 30,7

pH 7,8 7,9 7,8 7,8

Salinitas (o/oo) 33 33 32 32,7

Kedalaman (cm) 60 63 66 63

Kecepatan Arus (m/s) 0,08 0,09 0,1 0,09

Kecerahan (%) 100 100 100 100

Ket: 1,2,3 = Ulangan

31

Tabel 5. Parameter Fisika dan Kimia Stasiun III

Parameter Stasiun III

Rata-rata 1 2 3

Suhu (oC) 31 32 31 31,3

pH 7,9 7,9 7,8 7,86

Salinitas (o/oo) 33 33 33 33

Kedalaman (cm) 77 75 80 77,3

Kecepatan Arus (m/s) 0,1 0,09 0,12 0,1

Kecerahan (%) 100 100 100 100

Ket: 1,2,3 = Ulangan

4.1.1. Parameter Fisika

1. Suhu

Suhu perairan rata-rata yang diperoleh selama penelitian berkisar antara

30,7oC-31,3

oC. Kisaran suhu tidak berbeda jauh disebabkan karena suhu antar

pulau cenderung homogen. Menurut Dahuri (2003), kisaran temperatur optimal

bagi spesies lamun adalah 28-30oC. Kemampuan proses fotosintesis akan

menurun dengan tajam apabila temperatur perairan berada di luar kisaran optimal

tersebut. Sesuai dari hasil data yang diperoleh, menunjukkan bahwa suhu perairan

Pulau Pramuka Kepulauan Seribu tidak berada pada kisaran yang optimum bagi

lamun untuk tumbuh tetapi lamun masih dapat tumbuh dan berkembang pada

kisaran suhu tersebut.

2. Kedalaman

Kedalaman rata-rata yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 64 cm

untuk stasiun I, 63 cm untuk stasiun II, dan 77,3 cm untuk stasiun III. Menurut

Den Hartog (1970), padang lamun sangat mirip dan bahkan menyerupai padang

rumput di daratan dan hidup pada kedalaman yang relatif dangkal yaitu sekitar 1-

10 meter. Kedalaman yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan kedalaman

yang ideal untuk lamun karena menurut Berwick 1983 dalam Argandi 2003

proses fotosintesis yang optimal didukung oleh dangkalnya perairan karena

penetrasi cahaya yang cukup.

3.Kecepatan Arus

Kecepatan arus yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 0,075 m/s

untuk stasiun I, 0,09 m/s untuk stasiun II, dan 0,1 m/s untuk stasiun III.

32

Produktivitas padang lamun juga dipengaruhi oleh kecepatan arus perairan.

Menurut Laevastu dan Hayes 1981 dalam Merryanto 2000, rendahnya kecepatan

arus sangat mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan lamun.

4. Kecerahan

Kecerahan perairan untuk ketiga stasiun memiliki nilai yang seragam

yakni 100%.Nilai tersebut menunjukkan bahwa lamun dan dasar perairan dapat

dilihat dengan mata telanjang dari atas permukaan. Hal ini disebabkan juga karena

perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu merupakan perairan dangkal. Kondisi

ini sangat menguntungkan karena lamun dapat berfotosintesis secara optimal.

5. Substrat

Hasil analisis kandungan dan tipe substrat yang diperoleh dari

Laboratorium Fisika Tanah, Jurusan Ilmu Tanah dan Manajemen Sumberdaya

Lahan Universitas Padjadjaran, tipe substrat pada ekosistem lamun Pulau

Pramuka cenderung sama (Tabel 6).

Tabel 6. Analisis Kandungan dan Tipe Substrat

Stasiun C-org

(%)

N-

total

(%)

C/N

Kadar

Air

(%)

Tekstur (%) Tipe Substrat

S Si C

I 0,11 0,08 1,37 2,60 77 12 11 Lempung

berpasir

II 0,17 0,08 2,12 3,65 86 5 9 Pasir berlempung

III 0,28 0,10 2,80 3,26 87 3 10 Pasir berlempung

Ket: S =Sand (pasir), Si = Silt(debu), C = Clay (lempung)

Berdasarkan Tabel 6, stasiun II dan stasiun III memiliki tipe substrat yang

sama yaitu pasir berlempung, dimana jumlah pasir lebih banyak daripada jumlah

lempung. Stasiun I memiliki tipe substrat lempung berpasir, dimana jumlah

lempung lebih banyak daripada jumlah pasir.Kadar air tertinggi ada pada stasiun

II yaitu sebesar 3,65% dan terendah ada pada stasiun I yaitu sebesar 2,60%.

Kandungan C-org, N-org dan C/N tertinggi ada pada stasiun III sedangkan

kandungan C-org, N-org dan C/N terendah ada pada stasiun I. Menurut Effendi

(2000), nitrogen di perairan alami merupakan nutrien bagi pertumbuhan lamun

dan nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat

adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen. Nitrat yang dihasilkan dapat

33

digunakan untuk kesuburan perairan.Kadar nitrogen yang tinggi pada stasiun III

menjadikan stasiun ini memiliki nilai kerapatan lamun yang paling tinggi

dibandingkan dengan stasiun lainnya. Selain nitrogen yang membantu dalam

pertumbuhan, karbon juga mempunyai peranan dalam proses produksi. Karbon

membantu tumbuhan dalam proses fotosintesis. Kadar karbon yang tinggi pada

stasiun III membantu lamun sebagai produsen utama dalam proses fotosintesis

sehingga pertumbuhan lamun pada stasiun III lebih baik daripada pertumbuhan

lamun pada stasiun I dan II karena stasiun III memiliki nilai nitrogen dan karbon

organik yang tinggi daripada stasiun I dan II.

4.1.2 Parameter Kimia

1. Derajat Keasaman (pH)

Kisaran pH yang diperoleh dalam penelitian ini tidak berbeda jauh pada

setiap stasiun pengamatan yaitu pada stasiun I dan stasiun II nilai pH sebesar 7,8,

pada stasiun III pH sebesar 7,86. Menurut Effendi (2000), air laut umumnya

memiliki kisaran pH antara 7 – 8,5 dan menurut Dawson dalam Reswara 2010

lamun dapat tumbuh optimal jika berada dalam kisaran pH antara 7,5 – 8,5.

Berdasarkan data yang diperoleh, nilai pH yang didapat berada dalam batas

normal dan nilai pH tersebut menunjukkan bahwa kondisi perairan Pulau Pramuka

Kepulauan Seribu memungkinkan bagi lamun untuk tumbuh optimal.

2. Salinitas

Nilai salinitas yang diperoleh dari penelitian ini berkisar antara 32,7o/oo -

33 o/oo. Menurut Effendi 2000, perairan laut alami memiliki kisaran salinitas

antara 30o/oo- 40

o/oo. Spesies lamun memiliki kemampuan toleransi yang berbeda-

beda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran antara 10o/oo - 40

o/oo.Menurut Dahuri 2003,nilai salinitas optimum untuk spesies lamun adalah

35o/oo. Berdasarkan data yang diperoleh, nilai salinitas berada dalam batas normal

lamun untuk tumbuh.

34

4.2 Struktur Komunitas Lamun

4.2.1 Kerapatan Jenis Lamun (ind.m-2

)

Kerapatan jenis lamun adalah banyaknya jumlah individu/tegakan suatu

jenis lamun pada suatu luasan tertentu. Hasil perhitungan lamun, kepadatan total

lamun di setiap stasiun disajikan pada Gambar 7dan Lampiran 1.

Gambar 7. Kerapatan Jenis Lamun (ind.m-2

)

Berdasarkan Gambar 7,spesies lamun yang memiliki kerapatan tertinggi di

ketiga stasiun adalah Thalassia hemprichii. Menurut Yulianda (2002), terdapat

beberapa faktor yang menyebabkan suatu jenis lamun dapat tumbuh dengan subur

di suatu perairan, antara lain ialah kesesuaian substrat dan kondisi lingkungan.

Dilihat dari kandungan substratnya, pada stasiun II dan III memiliki tipe substrat

pasir berlempung dan pada stasiun I memiliki tipe substrat lempung berpasir,

spesies Thalassia hemprichii dapat tumbuh optimal pada tipe substrat tersebut.

Menurut Azkab (2000), Thalassia hemprichii dapat dijumpai pada berbagai

substrat tetapi batas kedalaman sebagian besar jenisnya adalah 10-12 m dan

spesies Thalassia hemprichii memiliki toleransi yang tinggi terhadap variasi

lingkungan. Oleh sebab itu spesies Thalassia hemprichii memiliki kerapatan

0

50

100

150

200

250

300

350

Enhalus acoroides

Thalassia hemprichii

Cymodocea rotundata

Cymodocea serrulata

Halophila ovalis

Syringodium isoetifolium

Ker

ap

ata

n (

ind

.m-2

)

Jenis Lamun

St I

St II

St III

35

tinggi pada ketiga stasiun karena spesies ini dapat mentoleransi kondisi

lingkungan yang berbeda pada ketiga stasiun, dimana pada stasiun I banyak

limbah pembuatan kapal dan pada stasiun III banyak limbah rumah tangga.

Keberadaan spesies Syringodium isoetifolium tidak ditemukan pada

stasiun I dan stasiun III. Hal ini disebabkan keadaan perairan pada stasiun tersebut

tidak cocok untuk pertumbuhan spesies Syringodium isoetifolium karena menurut

Azkab (2000), lamun spesies Syringodium isoetifolium terbatas penyebarannya

disebabkan bentuk daun yang kurang dapat beradaptasi terhadap kekeringan yang

lama, sehingga hanya pada stasiun II jenis lamun ini dapat ditemukan dimana

stasiun II memiliki surut yang tidak terlalu rendah. Tidak adanya keberadaan

spesies Syringodium isoetifolium di stasiun I dan stasiun III juga diakibatkan

karena banyaknya limbah hasil pembuangan rumah tangga pada stasiun ini,

dimana limbah-limbah tersebut dapat menyebabkan substrat menjadi tidak cocok

untuk pertumbuhan spesies Syringodium isoetifolium.

Berdasarkan hasil keseluruhan perhitungan kerapatan jenis lamun

(Lampiran 1), stasiun III memiliki nilai kerapatan jenis tertinggi yaitu sebesar

556,7ind.m-2

kemudian stasiun II memiliki nilai kerapatan jenis sebesar 407,08

ind.m-2

dan stasiun I memiliki nilai kerapatan jenis terendah yaitu sebesar 328,8

ind.m-2

. Stasiun III memiliki nilai kerapatan jenis tertinggi karena nilai nitrogen

dan karbon pada substrat di stasiun ini lebih tinggi dibandingkan dua stasiun

lainnya.Nilai nitrogen di stasiun III adalah 0,1 % sementara stasiun lain adalah

0,08 %. Nilai karbon di stasiun III adalah 0,28 % sedangkan di stasiun lain antara

0,11% - 0,17 %. Kandungan nitrogen dan karbon sangat berperan penting karena

menurut Effendi (2000) nitrogen merupakan nutrien bagi pertumbuhan lamun.

Nitrogen dapat menghasilkan nitrat dari proses nitrifikasi dan nitrat tersebut

digunakan untuk kesuburan perairan di stasiun III. Kandungan karbon yang

terdapat pada stasiun ini membantu lamun dalam proses fotosintesis dimana

lamun merupakan produsen utama dalam ekosistem ini.

36

4.2.1 Frekuensi Jenis Lamun

Frekuensi jenis lamun menunjukkan peluang banyaknya suatu jenis lamun

yang ditemukan dalam titik sampel yang diamati. Berdasarkan hasil penelitian,

diperoleh frekuensi jenis lamun di setiap stasiun pengamatan bervariasi (Gambar

8).

Gambar 8. Frekuensi Jenis Lamun

Berdasarkan Gambar 8, frekuensi jenis lamun pada stasiun I dengan

spesies Enhalus acoroides adalah 0,42, Thalassia hemprichii 1, Cymodocea

rotundata 0,58, dan Cymodocea serrulata 0,42. Stasiun II frekuensi jenis lamun

spesies Enhalus acoroides adalah 0,75, Thalassia hemprichii 1, Cymodocea

rotundata 1, dan Cymodocea serrulata0,58, Halophila ovalis 0,25, dan

Syringodium isoetifolium0,08. Stasiun III frekuensi jenis lamun spesies Enhalus

acoroides adalah 0,08, Thalassia hemprichii 1, Cymodocea rotundata 0,92, dan

Cymodocea serrulata 0,33, dan Halophila ovalis 0,5. Spesies Thalassia

hemprichii memiliki nilai frekuensi tertinggi pada setiap stasiunnya. Nilai

frekuensi tertinggi ini menunjukkan bahwa lamun dengan spesies Thalassia

hemprichii memiliki tingkat kemunculan yang lebih banyak dibandingkan dengan

spesies lamun lainnya. Menurut Azkab (2000), Thalassia hemprichii dapat

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

0.70

0.80

0.90

1.00

Enhalus acoroides

Thalassia hemprichii

Cymodocea rotundata

Cymodocea serrulata

Halophila ovalis

Syringodium isoetifolium

Fre

ku

ensi

Jenis Lamun

St I

St II

St III

37

dijumpai pada berbagai substrat tetapi batas kedalaman sebagian besar jenisnya

adalah 10-12 m dan spesies Thalassia hemprichii memiliki toleransi yang tinggi

terhadap variasi lingkungan. Oleh sebab itu spesies Thalassia hemprichii memiliki

frekuensitertinggi pada ketiga stasiun karena spesies ini dapat mentoleransi

kondisi lingkungan yang berbeda pada ketiga stasiun, dimana pada stasiun I

banyak limbah pembuatan kapal dan pada stasiun III banyak limbah rumah

tangga.

Keberadaan spesies Syringodium isoetifolium tidak ditemukan pada

stasiun I dan stasiun III. Hal ini disebabkan keadaan perairan pada stasiun tersebut

tidak cocok untuk pertumbuhan spesies Syringodium isoetifolium. Menurut Azkab

(2000), lamun spesies Syringodium isoetifolium terbatas penyebarannya

disebabkan bentuk daun yang kurang dapat beradaptasi terhadap kekeringan yang

lama, sehingga hanya pada stasiun II jenis lamun ini dapat ditemukan karena

hanya stasiun II yang mengalami surut tidak terlalu rendah. Tidak adanya

keberadaan spesies Syringodium isoetifolium di stasiun I dan stasiun III juga

diakibatkan karena banyaknya limbah hasil pembuangan rumah tangga pada

stasiun ini, dimana limbah-limbah tersebut dapat menyebabkan substrat menjadi

tidak cocok untuk pertumbuhan spesies Syringodium isoetifolium.

4.2.3 Penutupan Jenis Lamun

Meurut Hemming dan Duarte dalam Reswara (2010), penutupan jenis

lamun menggambarkan luasan daerah tertentu yang tertutupi oleh lamun dan

bermanfaat untuk mengetahui kondisi ekosistem lamun serta kemampuan lamun

dalam memanfaatkan luasan yang ada.Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data

penutupan jenis lamun yang bervariasi pada setiap stasiun pengamatan (Gambar

9).

38

Gambar 9. Penutupan Jenis Lamun (%)

Berdasarkan Gambar 9, penutupan jenis lamun tertinggi dari ketiga stasiun

penelitian adalah Thalassia hemprichii. Stasiun III memiliki penutupan tertinggi

dibandingkan dengan stasiun I dan stasiun II dengan penutupan sebesar 50%.

Menurut Azkab (2000), Thalassia hemprichii dapat dijumpai pada berbagai

substrat tetapi batas kedalaman sebagian besar jenisnya adalah 10-12 m dan

spesies Thalassia hemprichii memiliki toleransi yang tinggi terhadap variasi

lingkungan. Oleh sebab itu spesies Thalassia hemprichii memiliki kerapatan

tinggi pada ketiga stasiun karena spesies ini dapat mentoleransi kondisi

lingkungan yang berbeda pada ketiga stasiun, dimana pada stasiun I banyak

limbah pembuatan kapal dan pada stasiun III banyak limbah rumah

tangga.Penutupan jenis lamun spesies Cymodocea rotundata memiliki nilai

terbesar kedua setelah Thalassia hemprichii. Stasiun I tidak memiliki penutupan

jenis lamun spesies Cymodocea rotundata karena jumlahnya yang sangat sedikit

pada stasiun ini. Tidak adanya penutupan jenis lamun spesies Syringodium

isoetifolium di stasiun I dan stasiun III diakibatkan karena banyaknya limbah hasil

pembuangan rumah tangga pada stasiun ini, dimana limbah-limbah tersebut dapat

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

Enhalus acoroides

Thalassia hemprichii

Cymodocea rotundata

Cymodocea serrulata

Halophila ovalis

Syringodium isoetifolium

Pen

utu

pa

n (

%)

Jenis Lamun

St I

St II

St III

39

menyebabkan substrat menjadi tidak cocok untuk pertumbuhan spesies

Syringodium isoetifolium.

4.2.4 Indeks Nilai Penting

Indeks nilai penting (INP) menggambarkan keseluruhan peranan jenis

lamun dalam suatu komunitas. Jika nilai INP suatu jenis lamun lebih tinggi

dibandingkan jenis lainnya, maka semakin tinggi peranan jenis lamun tersebut

terhadap komunitasnya (Fachrul 2007). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh

INP sebagai berikut:

Tabel 7. Indeks Nilai Penting Lamun

No Spesies INP

1 Enhalus acoroides 0.24

2 Thalassia hemprichii 1.58

3 Cymodocea rotundata 0.68

4 Cymodocea serrulata 0.29

5 Halophila ovalis 0.17

6 Syringodium isoetifolium 0.04

Total 3.00

Berdasarkan Tabel 7, lamun dengan spesies Thalassia hemprichii

memiliki INP tertinggi dibandingkan dengan spesies lainnya dengan INP sebesar

1,58. Thalassia hemprichii juga memiliki nilai kerapatan jenis, frekuensi jenis dan

penutupan jenis tertinggi dibandingkan dengan spesies lainnya. Hal tersebut

menunjukkan bahwa Thalassia hemprichii memiliki peranan yang tinggi dalam

komunitas lamun di perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu.Menurut

Susetiono (2007), Thalassia hemprichii umumnya hidup berdampingan dengan

jenis lamun lainnya dan bila mendominansi selalu membentuk kelompok vegetasi

yang rapat. Kondisi substrat yang cocok untuk spesies Thalassia hemprichii

menjadikan spesies ini tumbuh subur pada perairan Pulau Pramuka. Menurut

Yudista (2010), tingginya nilai INP serta kerapatan jenis, frekuensi jenis dan

penutupan jenis spesies Thalassia hemprichii juga disebabkan karena kegiatan

rehabilitasi lamun spesies Thalassia hemprichii yang pernah dilakukan Balai

Taman Nasional Kepulauan Seribu.

40

Syringodium isoetifolium memiliki INP terendah karena dilihat dari

keberadaan spesies Syringodium isoetifolium yang hanya ada pada stasiun II.

Peranan spesies Syringodium isoetifolium sangat kecil terhadap komunitas lamun

di perairan Pulau Pramuka. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan Syringodium

isoetifolium yang tidak tahan terhadap kekeringan yang lama sehingga spesies ini

hanya ditemukan pada stasiun II yang tingkat kesurutannya tidak terlalu rendah.

4.2.5 Keanekaragaman dan Keseragaman

Keanekaragaman dan keseragaman adalah indeks yang digunakan untuk

melihat kestabilan struktur komunitas lamun yang biasa disebut dengan indeks

biologis (Yulianda 2002). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh

keanekaragaman dan keseragaman sebagai berikut:

Gambar 10. Keanekaragaman Lamun (kiri) dan Keseragaman Lamun

(kanan)

Berdasarkan Gambar 10, keanekaragaman dan keseragaman tertinggi

berada pada stasiun II dan keanekaragaman dan keseragaman terendah berada

pada stasiun I. Stasiun II memiliki nilai keanekaragaman dan keseragaman

tertinggi dibandingkan stasiun lainnya karena pada stasiun II ditemukan enam

spesies lamun dimana jumlah spesies yang ditemukan pada stasiun ini lebih

banyak dibandingkan stasiun lainnya. Kondisi perairan pada stasiun II lebih

41

tenang karena letaknya yang jauh dari perumahan penduduk ataupun aktivitas

masyarakat sekitar sehingga perairan di stasiun II tidak terganggu dan cocok

untuk pertumbuhan spesies Syringodium isoetifolium yang tidak ditemukan pada

kedua stasiun lainnya. Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener,

stasiun I, stasiun II dan stasiun III tergolong dalam kategori tingkat

keanekaragaman rendah karena nilai keanekaragaman ketiga stasiun kurang dari

1,5.

4.3 Struktur Komunitas Ikan

4.3.1 Komposisi Jenis

Ikan pada daerah lamun terbagi menjadi 3 kelompok berdasarkan

peranannya sama seperti ikan yang hidup pada terumbu karang, yaitu ikan target,

ikan indikator dan ikan mayor. Berdasarkan peranannya ikan yang hidup pada

terumbu karang terbagi dalam (TERANGI 2004):

1. Ikan target

Ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenaljuga

dengan ikanekonomis penting atau ikan kosumsi seperti:Seranidae,

Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae

Labridae (Chelinus, Himigymnus,Choerodon), Haemulidae, Sphyraenidae,

dan Nemipteridae.

2. Ikan indikator

Ikan yang dijadikan sebagai indikator kondisi kesehatan dan kesuburan

terumbu karang yaitu ikan dariFamili Chaetodontidae (kepe-kepe).

3. Ikan mayor

Ikan yang berperan dalam rantai makanan dan banyak dijadikan sebagai

ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae,Pomacanthidae

Labridae, Apogonidae dll.)

Berdasarkan pembagian kelompok tersebut, ikan yang tertangkap pada

stasiun pengamatan berasal dari famili Pomacentridae, Scaridae, Apogonidae,

Geridae, Monacanthidae, Pinguipedidae dan Labridae (Halichoeres) termasuk

dalam ikan mayor (Lampiran 7). Ikan indikator hanya tertangkap pada stasiun II

42

yaitu dari famili Chaetodontidae. Ikan target yang tertangkap pada stasiun

pengamatan berasal dari famili Lutjanidae, Lethrinidae, Siganidae, Labridae

(Cheillinus dan Choerodon), Chanidae, Sphyranidae, Mugilidae, dan

Nemipteridae (Lampiran 7). Ikan dari famili tersebut biasa dikonsumsi oleh para

penduduk sekitar.Ikan dari famili Siganidae merupakan ikan yang paling banyak

tertangkap di ketiga stasiun. Penelitian Latuconsina et al (2012) juga

menunjukkan komposisi spesies tertinggi yang tertangkap pada ekosistem lamun

perairan Tanjung Tiram Teluk Ambon adalah Siganus canaliculatus dengan

proporsi sebesar 62,91%. Tingginya komposisi spesies Siganus

canaliculatuskarena ikan ini menjadikan ekosistem lamun sebagai habitat ideal

untuk tempat asuhan dan pembesaran. Spesies Siganus canaliculatusjuga

menjadikan ekosistem lamun sebagai tempat mencari makan karena

ditemukannya potongan lamun dalam lambungnya.Selain itu menurut Lam (1974)

dalam Latuconsina et al (2012), kisaran suhu optimal bagi kehidupan Siganus

canaliculatus adalah antara 25⁰C - 34⁰C, dan suhu perairan mempengaruhi

aktivitas metabolisme ikan yang terkait dengan oksigen terlarut dan konsumsi

oksigen, karena laju metabolisme ikan akan meningkat dengan meningkatnya

suhu perairan dan secara bersamaan meningkatkan kebutuhan konsumsi oksigen

terlarut bagi ikan. Selain itu menurut Laevastu & Hayes (1982) dalam

Latuconsina et al (2012), suhu perairan merupakan faktor pembatas bagi tingkah

laku ikan yang dapat membatasi distribusi juvenil dan ikan dewasa karena

masing-masing memiliki tolerasi yang berbeda-beda.Suhu perairan yang diperoleh

dalam penelitian ini berkisar antara 30,7oC-31,3

oCmenunjukkan bahwa kisaran

suhu tersebut adalah kisaran suhu optimal bagi kehidupan Siganus canaliculatus.

Kisaran salinitas perairan yang didapatkan selama penelitian berkisar antara

32,7o/oo - 33

o/oo yang masih optimal bagi petumbuhan kehidupan ikan. Menurut

Lam (1974) dalam Latuconsina et al (2012), Siganus canaliculatus dapat

mentoleransi perubahan salinitas sampai 5‰ dan sangat sensitif terhadap nilai pH

perairan di atas 9. Kisaran pH perairan yang didapat 7,8 - 7,86, sehingga kisaran

nilai pHyang didapatkan masih merupakan kisaran optimal bagi kehidupan ikan

Siganus canaliculatus. Menurut Kordi & Tancung (2007) bahwa pada pH 5,0 –

43

6,6 pertumbuhan ikan terhambat dan ikan sangat sensitif terhadap bakteri

danparasit, pada pH 6,5 - 9,0 merupakan kisaran pH yang optimal bagi

pertumbuhan ikan, dan nilai pH > 9,0 menghambat pertumbuhan ikan. Menurut

Hutomo dan Martosejowo (1977), ikan dari famili Siganidae merupakan ikan

terpenting dan bernilai ekonomis yang berada pada ekosistem lamun Kepulauan

Seribu.

a. Stasiun I

Ikan yang tertangkap pada stasiun I sebanyak 295 individu yang terdiri dari

19 spesies dari 13 famili dengan total kelimpahan sebesar 0,74ind.m-2

. Komposisi

jenis tertinggi adalah famili Siganidae dengan komposisi jenis sebesar 34% dan

terendah adalah famili Chanidae, Lutjanidae, dan Monacanthidae dengan

komposisi jenis sebesar 1% (Gambar 12 dan lampiran 2).

Gambar 11. Komposisi Jenis Ikan Yang Tertangkap di Stasiun I

Pada stasiun I tertangkap spesies Sphyraena barracuda dan Chanos chanos,

dimana spesies tersebut tidak tertangkap pada stasiun lainnya. Hal ini disebabkan

karena pada stasiun I jumlah mangrove lebih banyak dan lebih lebat daripada

stasiun II dan stasiun III. Ekosistem mangrove merupakan tempat bertelur,

Apogonidae, 2%

Chanidae, 1%

Geridae, 15%

Labridae, 11%

Lethrinidae, 3%

Lutjanidae, 1%

Monacanthidae, 1%

Mugilidae, 2%

Nemipteridae, 15%

Pomacentridae,9%

Scaridae, 3%

Siganidae, 34%

Sphyraenidae, 2%

44

memelihara larva dan sebagai tempat mencari makan bagi spesies Chanos chanos

(Perikanan Indonesia 2013), dan bagi spesies Sphyraena barracuda, stasiun ini

merupakan tempat mencari makan karena bayaknya ikan-ikan kecil pada stasiun

ini.

b. Stasiun II

Ikan yang tertangkap pada stasiun II sebanyak 257 individu yang terdiri dari

20 spesies dari 12 famili dengan total kelimpahan sebesar 0,64 ind.m-2

. Komposisi

jenis tertinggi adalah famili Siganidae dengan komposisi jenis sebesar 34% dan

terendah adalah famili Chaetodontidae dan Pinguipedidae dengan komposisi jenis

sebesar 0,4% (Gambar 13 dan Lampiran 2).

Gambar 12. Komposisi Jenis Ikan Yang Tertangkap di Stasiun II

Ikan dari famili Chaetodontidae dan Pinguipedidae hanya tertangkap pada

stasiun ini, dimana famili Chaetodontidae merupakan ikan indikator pada

ekosistem terumbu karang.Ikan tersebut dapat tertangkap pada stasiun ini karena

stasiun II merupakan daerah lamun dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari garis

Apogonidae, 2%

Chaetodontidae, 0.4%

Geridae, 16%

Labridae, 10%

Lethrinidae, 4%

Lutjanidae, 2%

Monacanthidae, 1%

Nemipteridae, 17%

Pinguipedidae, 0.4%

Pomacentridae,10%

Scaridae, 2%

Siganidae, 34%

45

pantai dan letaknya dekat dengan terumbu karang sehingga banyak ikan karang

yang mencari makan di stasiun II.

c. Stasiun III

Ikan yang tertangkap pada stasiun III sebanyak 229individu yang terdiri

dari 17 spesies dari 11 famili dengan total kelimpahan sebesar 0,57ind.m-2

.

Komposisi jenis tertinggi adalah famili Siganidae dengan komposisi jenis sebesar

29% dan terendah adalah famili Monacanthidae dengan komposisi jenis sebesar

0,4% (Gambar 14 dan Lampiran 2).

Gambar 13. Komposisi Jenis Ikan Yang Tertangkap di Stasiun III

Pada stasiun ini banyak tertangkap spesies Mugil cephalus atau yang

sering dikenal dengan sebutan ikan belanak. Ikan belanak termasuk ikan pemakan

detritus (Perikanan Indonesia 2013).Ikan ini banyak ditemukan di stasiun III

karena stasiun ini mengandung banyak bahan organik. Bahan organik pada stasiun

ini berasal dari limbah-limbah rumah tangga.

Apogonidae, 4%

Geridae, 17%

Labridae, 5%

Lethrinidae, 2%

Lutjanidae, 1%

Monacanthidae, 0.4%

Mugilidae, 5%

Nemipteridae, 23%

Pomacentridae,11%

Scaridae, 3%

Siganidae, 29%

46

4.3.2 Keanekaragaman dan Keseragaman Ikan

Keanekaragaman dan keseragaman adalah indeks yang digunakan untuk

melihat kestabilan struktur komunitas ikan yang biasa disebut dengan indeks

biologis (Yulianda 2002). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh

keanekaragaman dan keseragaman sebagai berikut:

Gambar 14. Keanekaragaman Ikan (kiri) dan Keseragaman Ikan (kanan)

Berdasarkan Gambar 14, nilai keanekaragaman ikan berkisar antara 2,18 –

2,40. Indeks keanekaragaman tertinggi adalah pada stasiun I sebesar 2,40 dan

terendah pada stasiun III sebesar 2,18. Indeks keanekaragaman stasiun I, stasiun II

dan stasiun III tergolong dalam kategori tingkat keanekaragaman sedang.Kondisi

ini sesuai dengan spesies ikan yang tertangkap pada setiap stasiun pengamatan,

dimana pada setiap stasiun jenis spesies yang tertangkap tidak terlalu banyak.

Indeks keseragaman menunjukkan penyebaran jumlah individu tiap jenis

dalam populasi, semakin kecil nilai keseragaman (mendekati 0) menunjukkan

bahwa penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama. Sebaliknya jika nilai

keseragaman semakin besar (mendekati 1) maka populasi akan menunjukkan

keseragaman atau jumlah individu tiap genus dapat dikatakan sama atau tidak

jauh berbeda (Odum 1993). Pada gambar diatas, indeks keseragaman ikan

47

berkisar antara 0,20 – 0,76. Indeks keseragaman tertinggi adalah pada stasiun I

sebesar 0,76 dan indeks keseragaman terendah adalah pada stasiun II sebesar 0,20.

Indeks keseragaman pada stasiun I dan stasiun III menunjukkan keseragaman atau

jumlah individu tiap genus dapat dikatakan sama karena nilainya mendekati 1,

sedangkan pada stasiun II penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama

karena nilainya mendekati nol.

4.4 Korelasi Kelimpahan Ikan dengan Kerapatan Lamun

Berdasarkan hasil analisis didapatkan nilai koefisien korelasi (r) sebesar-

0,96 dan nilai r2

sebesar 0,93 (Lampiran 5). Nilai tersebut menunjukkan bahwa

korelasi ikan dengan kerapatan lamun bersifat negatif, yang artinya apabila terjadi

peningkatan kerapatan lamun dapat mengakibatkan penurunan kelimpahan ikan.

Stasiun I memiliki kerapatan lamun sebesar 328,75 ind.m-2

didapatkan ikan

dengan jumlah yang paling banyak yaitu 295 individu sedangkan stasiun III

memiliki kerapatan lamun sebesar 556,67 ind.m-2

didapatkan ikan dengan jumlah

paling sedikit yaitu 229 individu (Lampiran 3).

Kondisi tersebut diperkirakan karena pada stasiun I yang memiliki

kerapatan lamun terendah tetapi jumlah ikan yang tertangkap paling banyak

memiliki mangrove yang lebih lebat daripada stasiun III. Pada stasiun I tertangkap

ikan yang tidak didapatkan di kedua stasiun lainnya, yaitu spesies Chanos chanos.

Menurut Perikanan Indonesia (2013), ekosistem mangrove merupakan tempat

bertelur, memelihara larva dan sebagai tempat mencari makan bagi spesies

Chanos chanos atau yang lebih dikenal dengan sebutan ikan bandeng. Ekosistem

lamun yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove memiliki kelimpahan ikan

yang lebih banyak daripada ekosistem lamun yang tidak berasosiasi dengan

ekosistem mangrove.

Stasiun III yang letaknya dekat dengan pemukiman penduduk dan dekat

dengan resort-resort wisatawan menjadikan stasiun ini banyak menerima limbah

rumah tangga sehingga kandungan bahan organik pada stasiun ini sangat

tinggi.Kandungan C-org, N-org dan C/N pada stasiun ini lebih tinggi daripada

kedua stasiun lainnya. Kandungan C-org, N-org dan C/N yang tinggi pada stasiun

48

ini baik untuk pertumbuhan lamun sehingga lamun pada stasiun III memiliki nilai

kerapatan paling tinggi tetapi kandungan C-org, N-org dan C/N yang tinggi tidak

baik untuk pertumbuhan ikan sehingga jumlah ikan yang tertangkap pada stasiun

ini rendah.

4.5 Asosiasi Antar Jenis Ikan

Hubungan keberadaan spesies satu dengan spesies yang lainnya dapat

diketahui menggunakan nilai asosiasi.Hasil uji X2 (chi-square) didapatkan nilai a

atau kenyataan yang muncul lebih besar dibandingkan dengan nilai harapan

muncul pada 236 pasangan asosiasi positif antar spesies dan terdapat 17 pasangan

asosiasi negatif antar spesies (Tabel 8 dan Lampiran 4).

49

Tabel 7. Asosiasi Positif dan Asosiasi Negatif Antar Spesies Ikan

Spe

cies

Sb Cc Mu Sl Ca Sc Sg Gp Pn Sg

h

Ll Df Dp D

ps

H

s

H

c

Po Cf Ak Lh Lc Pe Ph

Sb X + + + + + + + - + - + + + - + - - + - - + +

Cc X + + + + + + + + + + + + + + - - + + + + +

Mu X + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +

Sl X + + + + + + + + + + + + + + + + + + +

Ca X + + + + + + + + + + + + + + + + + +

Sc X + + + + + + + + + + + + + + + + +

Sg X + + + + + + + + + + + + + + + +

Gp X + + + + + + + + + + + + + + +

Pn X + - + + + + + + + + - - + +

Sgh X + + + + + + + + + + + + +

Ll X + + + + + + + + + + + +

Df X + + + + + + + + + + +

Dp X + + + + + + + + + +

Dps X + + + + + + + + +

Hs X + + + + + + + +

Hc X + + + + + + + Po X + + + + - -

Cf X + + + - -

Ak X + + + +

Lh X + + +

Lc X + +

Pe X -

Ph X

Keterangan:

Sb = Sphyraena barracuda Sg = Siganusguttatus Dps = Dischistoduspseudochrysopoecilus

Cc = Chanoschanos Pn = Pervagornigrolineatus Hs = Halichoeresscapularis Lh = Lethrinusharak

Mu = Mugilcephalus Sgh = Scarusghobban Hc = Halichoereschloropterus Lc =Lutjanuscarponotatus Sl = Scolopsislineatus Ll =Lethrinuslentjan Po =Parachaetodonocellatus Pe = Pentapodusemeryi

Ca = Choerodonanchorago Df = Dischistodusfasciatus Cf = Cheilinusfasciatus Ph = Parapercishexophthalma

Sc = Siganuscanaliculatus Dp = Dischistodusperspicillatus Ak = Apogonkiensi

50

Hasil uji X2(chi-square) menunjukkan bahwa asosiasi antar spesies tidak

erat. Hal ini dapat dilihat dari nilai chi square hitung lebih kecil dari nilai chi

square tabel yaitu 3,84. Hasil perhitungan E(a) dan uji Xi2(chi-square) dapat

dilihat pada Lampiran 4.Asosiasi positif antara spesies Apogon kiensis dengan

Sphyraena barracuda didukung hasil penelitian Muliawaty (2010) bahwa spesies

Apogon kiensis merupakan penghuni tetap ekosistem lamun dan spesies

Sphyraena barracuda adalah pengunjung di ekosistem lamun yang tujuannya

untuk mencari makan. Spesies Sphyraena barracuda memangsa ikan-ikan kecil di

ekosistem lamun sedangkan spesies Apogon kiensis memakan plankton dan

bentos.Dengan demikian tidak ada persaingan antar spesies tersebut. Asosiasi

negatif antara spesies Sphyraena barracuda dengan spesies Lethrinus lentjan

seperti dikemukakan oleh Supratomo (2000), adanya ketersediaan makanan di

padang lamun mengakibatkan terjadinya persaingan makanan dari ikan-ikan yang

mengunjungi padang lamun. Hal ini juga terjadi pada spesies Sphyraena

barracuda dengan spesies Lethrinus lentjan yang keduanya merupakan pemangsa

ikan-ikan kecil di ekosistem lamun sehingga persaingan antar keduanya sangat

besar.

4.6 Pengelolaan Ekosistem Lamun

Ekosistem lamun banyak mendapatkan tekanan gangguan utama dari

aktivitas manusia, seperti pembuangan limbah rumah tangga, aktivitas kapal

maupun aktivitas nelayan. Padahal telah banyak peneliti mengemukakan tentang

fungsi lamun. Pada penelitian ini di ekosistem lamun banyak tertangkap spesies

Siganus canaliculatusa tau yang sering dikenal dengan ikan baronang. Ikan ini

merupakan ikan ekonomis karena ikan ini adalah ikan konsumsi yang sangat

digemari. Menurut Latuconsina et al (2012), tingginya komposisi spesies Siganus

canaliculatus karena ikan ini menjadikan ekosistem lamun sebagai habitat ideal

untuk tempat asuhan (nursery ground) dan pembesaran. Spesies Siganus

canaliculatus juga menjadikan ekosistem lamun sebagai tempat mencari makan

karena ditemukannya potongan lamun dalam lambungnya. Selain Siganus

canaliculatus adapula spesies Sphyraena barracuda, Chanos chanos, Mugil

51

cephalus dan Lethrinus lentjan yang juga termasuk ikan ekonomis. Spesies ikan

tersebut merupakan ikan pendatang yang menjadikan ekosistem lamun sebagai

tempat mencari makan. Hasil penelitian secara keseluruhan disajikan pada tabel 9.

Tabel 9. Hasil Penelitian Secara Keseluruhan

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Keterangan

Kerapatan Lamun 328,75/m2 407,08/ m

2 556,67/ m

2 Tinggi

Spesies Lamun

Dominan

Thalassia

hemprichii

Thalassia

hemprichii

Thalassia

hemprichii

Kelimpahan Ikan 295/400 m2 257/400 m

2 229/400 m

2 Rendah

Keanekaragaman

Ikan 2,40 2,22 2,18 Sedang

Korelasi -0,96 Sangat kuat

(negatif)

Asosiasi Antar Jenis

Ikan Chi-square hitung < Chi-square tabel Tidak erat

Berdasarkan Tabel 9, kelimpahan ikan pada penelitian ini termasuk rendah

dan kerapatan lamun termasuk tinggi dibandingkan dengan penelitian Latuconsina

dkk pada tahun 2012 mengenai Komposisi Spesies dan Struktur Komunitas Ikan

Padang Lamun di Perairan Tanjung Tiram Teluk Ambon Dalam.

Keanekaragaman ikan pada ketiga stasiun tergolong dalam tingkat

keanekaragaman sedang. Kondisi tersebut sesuai dengan spesies ikan yang

tertangkap pada setiap stasiun tidak terlalu banyak. Spesies lamun yang dominan

ditemukan pada penelitian ini adalah spesies Thalassia hemprichii. Spesies

Thalassia hemprichii dominan pada ketiga stasiun karena pernah dilakukannya

kegiatan transplantasi lamun pada spesies Thalassia hemprichii di Pulau Pramuka

Kepulauan Seribu (Yudista 2010). Sedangkan menurut Kurniawan (2010),

Enhalus acoroides mempunyai penutupan epifit yang lebih luas daripada

Thalassia hemprichii dibuktikan dengan ditemukannya meiofauna paling banyak

pada daun lamun Enhalus acoroides. Meiofauna yang paling banyak ditemukan

adalah dari famili Copepoda dan menurut Hall and Bell (1993) dalam Kiswara

52

(1994), meiofauna dari famili Copepoda merupakan meiofauna penting sebagai

sumber makanan ikan yang berasosiasi dengan lamun. Hal tersebut menjadikan

kelimpahan ikan pada ketiga stasiun tergolong rendah karena bukan spesies

Enhalus acoroides yang mendominasi stasiun penelitian. Oleh karena itu

diperlukannya kegiatan transplantasi yang tidak hanya spesifik terhadap spesies

Thalassia hemprichii tetapi juga dengan spesies Enhalus acoroides mengingat

peranan spesies Enhalus acoroides juga sangat penting, seperti yang terdapat pada

stasiun II dimana stasiun ini memiliki spesies Enhalus acoroides paling banyak

dan didapatkan jumlah Siganus canaliculatus paling banyak dan juga memiliki

jenis ikan yang lebih banyak dibandingkan stasiun lainnya.

Penutupan lamun pada ketiga stasiun memiliki penutupan dibawah 50%.

Menurut Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 dalam

Kopalit (2010) penutupan lamun dibawah 60% termasuk dalam kondisi kurang

sehat. Tingginya keberadaan ikan ekonomis dalam ekosistem lamun yang

tergolong dalam kondisi kurang sehat menunjukkan perlunya pengelolaan pada

ekosistem lamun yang mulai rusak di perairan Pulau Pramuka agar stok ikan

ekonomis tetap terjaga.