bab iv hasil dan pembahasan a. gambaran umum wilayah
TRANSCRIPT
![Page 1: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/1.jpg)
60
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
1. Kondisi Geografis Kecamatan Gunung Sindur
Kecamatan Gunung Sindur merupakan Kecamatan yang berada di
ujung sebelah utara Kabupaten Bogor yang langsung berbatasan dengan
Kota Tangerang Selatan. Kecamatan Gunung Sindur bukanlah merupakan
pegunungan yang tinggi seperti yang timbul dibayangan kita saat
mendengar namanya, pada kenyataannya topografi permukaan daratan
Gunung Sindur relatif datar tidak ada pegunungan dan perbukitan yang
tampak.
Gambar IV.1
Peta Kecamatan Gunung Sindur
![Page 2: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/2.jpg)
61
Luas wilayah Kecamatan Gunung Sindur adalah 4.881 Ha, sebelah
utara berbatasan langsung dengan Kota/Kabupaten lain bahkan Provinsi lain
yaitu Banten, hal inilah yang menyebabkan adanya keanekaragaman
budaya, agama, suku dan bahasa. Adapun batas-batas wilayah Kecamatan
Gunung Sindur adalah sebagai berikut :
a. Sebelah Utara : Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten
b. Sebelah Barat : Kecamatan Rumpin
c. Sebelah Timur : Kecamatan Parung dan Kota Depok
d. Sebelah Selatan : Kecamatan Parung dan Ciseeng
Tabel IV.1
Wilayah Administrasi Kecamatan Gunung Sindur
Wilayah Administrasi Jumlah
Desa 10
RT 375
RW 92
(Sumber : BPS Kecamatan Gunung Sindur 2014)
Secara administrasi Kecamatan Gunung Sindur terdiri dari 10 Desa
yaitu Desa Jampang, Desa Cibadung, Desa Cibinong, Desa Cidokom, Desa
Pedurenan, Desa Curug, Desa Rawa Kalong, Desa Pengasinan, Desa
Gunung Sindur dan Desa Pabuaran.
2. Monografi Penduduk
Dengan luas wilayah Kecamatan Gunung Sindur 48,81 Km2 maka
rata-rata tingkat kepadatan penduduknya yaitu 1.764 jiwa/Km2. Desa yang
paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Desa Pedurenan yaitu
![Page 3: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/3.jpg)
62
2.506 jika/Km2, sedangkan yang paling rendah adalah Desa Jampang yaitu
758 jiwa/Km2.
Tabel IV.2
Jumlah penduduk, Luas Desa dan Kepadatan Penduduk Kec. Gunung
Sindur Tahun 2013
No Desa Jumlah
Penduduk
Luas Wilayah
(Km2)
Kepadatan
Penduduk/Km2
1 Jampang 4.462 5.89 758.56
2 Cibadung 7.940 5.2 1526.92
3 Cibinong 9.990 4.49 2224.94
4 Cidokom 6.652 2.95 2254.92
5 Pedurenan 7.241 2,89 2505.54
6 Curug 13.046 5.67 2300.88
7 Rawa kalong 8.104 5.25 1543.62
8 Pengasinan 11.383 5.18 2197.19
9 Gunung Sindur 9.986 5.73 1743.76
10 Pabuaran 7.980 5.56 1435,25
Jumlah 86.784 48.81 1778.00
(Sumber : Data Kecamatan Gunung Sindur 2013)
Karena letak Kecamatan Gunung Sindur berdekatan dengan Ibu Kota
Negara dan berbatasan langsung dengan kota Tangerang Selatan maka hal
tersebut berdampak pada pertumbuhan penduduk yang pesat di sebabkan
oleh banyaknya pendatang. Berdasarkan data Kecamatan, jumlah penduduk
di Kecamatan Gunung Sindur berdasarkan jenis kelamin di jabarkan sebagai
berikut :
![Page 4: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/4.jpg)
63
Tabel IV.3
Jumlah Penduduk Kecamatan Gunung Sindur Berdasarkan Jenis
Kelamin
No Desa Laki-laki Perempuan Jumlah
Penduduk
1 Jampang 2.241 2.221 4.462
2 Cibadung 3.946 3.994 7.940
3 Cibinong 9.174 4.816 9.990
4 Cidokom 3.378 3.274 6.652
5 Pedurenan 3.784 3.457 7.241
6 Curug 6.832 6.214 13.046
7 Rawa kalong 4.202 3.902 8.104
8 Pengasinan 5.853 5.530 11.383
9 Gunung Sindur 5.125 4.861 9.986
10 Pabuaran 4.131 3.849 7.980
Jumlah 44.284 41.795 86.784
(Sumber : BPS Kecamatan Gunung Sindur Dalam Angka, 2014)
Sex ratio (perbandingan antara penduduk laki-laki dengan penduduk
perempuan) di Kecamatan Gunung Sindur adalah 106, yang artinya dari 100
penduduk perempuan terdapat 106 penduduk laki-laki. Semua desa di
Kecamatan Gunung Sindur memiliki sex ratio diatas 100, kecuali Desa
Cibadung yang cenderung lebih rendah yaitu 98 yang artinya setiap 100
penduduk perempuan terdapat 98 penduduk laki-laki. Sex ratio terbesar
terdapat di Desa Curug sebesar 110 yang berarti dari setiap 100 penduduk
perempuan terdapat 110 penduduk laki-laki.
3. Kondisi Sosial Budaya
a. Mata Pencaharian Penduduk
Masyarakat Kecamatan Gunung Sindur sebagian besar
berpencaharian sebagai wiraswasta, memiliki peternakan ayam,
![Page 5: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/5.jpg)
64
peternakan lele, pabrik tahu/tempe serta budidaya tanaman hias.
Budidaya tanaman hias yang terkenal dan menjadi primadona adalah
budidaya tanaman anggrek baik anggrek yang dijual bunganya maupun
anggrek yang dijual dalam pot.
Tabel IV.4
Produksi Tanaman Hias Kecamatan Gunung Sindur 2013
Nama Tanaman
Hias
Produksi (Pohon /
Tangkai)
Anggrek potong 2.507.680
Anggrek Pot 132.320
Dracaena 28.500
Palem 12.250
Aglaonema 57.000
Phylodendron 86.425
Monstrea 131.595
Anturium Daun 9.930
(Sumber : BPS Kecamatan Gunung Sindur 2014)
Selain itu dari sektor pertanian atau tanaman pangan seperti padi,
jagung, ubi jalar, ubi kayu dan kacang tanah, tidak kalah memiliki andil
yang besar dalam mensejahterakan masyarakat.
Tabel IV.5
Produksi Tanaman Pangan Kecamatan Gunung Sindur 2013
Tanaman
Pangan
Luas Panen/Ha Produktivitas
kw/ Ha
Produksi /Kw
Padi 550.04 62 3402.48
Jagung 145 44 6380
Ubi Kayu 251 20.4 5120.4
Ubi Jalar 35 14.14 494.9
Kacang .T 36 13.6 489.6
(Sumber : BPS Kecamatan Gunung Sindur Dalam Angka 2014)
![Page 6: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/6.jpg)
65
Walaupun lahan pertanian di Kecamatan Gunung Sindur semakin
sempit tergerus oleh arus modenisasi akibat pembangunan perumahan,
pabrik yang mulai perlahan menjamur dan bangunan lainnya, namun
sektor pertanian masih merupakan salah satu mata pencaharian penduduk
yang utama. Hal ini didukung dengan curah hujan di daerah ini yang relatif
tinggi sehingga membuat berbagai tanaman petani tumbuh subur. Saat
musim kemarau biasanya petani menyiasati dengan menanam umbi-
umbian yang tahan terhadap terik matahari. RSD menjelaskan :
“Walau itungannya kami dekat sekali dengan ibu kota yang identik
dengan kehidupan yang modern tapi sebagian besar masyarakat
masih mencari rejeki dibidang pertanian, ya mau itu nanam
singkong, kentang, cabe, kunyit, jahe, segala macem kembang-
kembangan, sampe rumput gajah juga ada yang dijual per-meter.
bisa jadi karena tanah disini juga subur dan sering hujan jadi mau
nanam apapun ya idup aja.
(Sumber : Wawancara Senin 29 Juni 2015)
Gambar IV.2
Budidaya Tanaman Hias dan Sayur Mayur Kecamatan Gunung Sindur
![Page 7: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/7.jpg)
66
Di Kecamatan Gunung Sindur terdapat 17 kelompok tani yang
bergerak dibidang peternakan dan perikanan, 16 perusahaan yang
bergerak di bidang peternakan ayam ras dan peternakan lainnya seperti
bebek, lele, ikan gurame, belut, sapi, babi, dan kambing. Hampir setiap
rumah memiliki hewan ternak baik dalam jumlah besar maupun dalam
jumlah yang kecil atau ternak rumahan.
Gambar IV.3
Beragam Hewan Ternak Sumber Mata Pencaharian Masyarakat
Kecamatan Gunung Sindur
Tidak harus memiliki sawah atau tambak yang luas bagi masyarakat
untuk dapat beternak lele atau jenis ikan lainnya karena mereka bisa
langsung membuat kolam dari semen atau bahkan terpal di dekat rumah,
dengan begitu pengawasan terhadap ternak dari gangguan hewan pemangsa
seperti anjing, kucing bahkan burung bisa diminimalisir karena pemilik bisa
setiap waktu menunggu. Banyaknya peternakan yang ada ditunjang pula
dengan adanya dua instansi pemerintah yaitu Balai pengujian Mutu
Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH) dan Pos Pengawasan Lalu Lintas
Ternak yang ada di Kecamatan Gunung Sindur.
![Page 8: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/8.jpg)
67
Dalam sektor industri, mayoritas masyarakat Kecamatan Gunung
Sindur membuka usaha pabrik tahu dan makanan ringan. Untuk usaha
pabrik tahu, produsen membaginya kedalam dua hasil produksi yaitu tahu
kuning dan susu tahu (susu kedelai). Tahu tersebut di distribusikan ke
berbagai macam pembeli, ada yang memesan untuk di jual lagi ke luar kota
seperti Jakarta dan Tangerang, ada pula yang dijual untuk masyarakat
setempat.
Gambar IV.4
Produksi Tahu Kuning Khas Kecamatan Gunung Sindur
b. Kepercayaan dan Sarana Ibadah
Letak Kecamatan Gunung Sindur yang berada dibatas Kabupaten
Bogor dan dekat dengan ibu kota membuat Kecamatan Gunung Sindur
memiliki ciri multietnis dan multiagama. Berdasarkan data Kecamatan
Gunung Sindur tahun 2014 agama Islam merupakan agama mayoritas
dengan prosentase 91,03% dari total penduduk. Agama Protestan 3,71 %,
Budha 2,4%, Konghucu 2,18%, Katholik 0,64% dan prosentase terkecil
![Page 9: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/9.jpg)
68
yaitu agama Hindu 0,04%. Walaupun agama yang ada sangatlah beragam
namun tidak sama sekali mengurangi solidaritas antar masyarakat,
mereka semua berbaur tidak peduli etnis maupun agama, saling gotong-
royong, bahkan dihari-hari besar keagamaan.
Gambar IV.5
Prosentase Agama di Kecamatan Gunung Sindur
Sarana peribadatan merupakan salah satu fasilitas yang sangat
penting ketersediaannya. Secara umum di Kecamatan Gunung Sindur
terdapat 289 tempat ibadah yang terdiri dari 73 Masjid, 9 Gereja, 6 Wihara
dan 8 Klenteng. Walaupun terdiri dari berbagai etnis dan agama namun
semuanya hidup berdampingan dan harmonis. Berikut penuturan RSD
mengenai keharmonisan umat beragama di Kecamatan Gunung Sindur :
“Dari dulu memang selalu begini, semua agama akur-akur aja.
Kalau di daerah lain sering kan kita dengar speaker masjid aja
bisa jadi masalah, kalau disini alhamdulillah semua saling
Prosentase Agama
lslam 91,03 %
Protestan 3,71 %
Katolik 0,64 %
Hindu 0,04 %
Budha 2,4 %
![Page 10: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/10.jpg)
69
menghargai, tidak membeda-bedakan dia orang Tionghoa atau
orang Betawi”
(Sumber : Wawancara Senin 29 Juni 2015)
Tabel IV.6
Sarana Peribadatan di Kecamatan Gunung Sindur
No Desa Masjid Gereja Vihara Klenteng
1 Jampang 5 0 0 0
2 Cibadung 5 1 0 1
3 Cibinong 10 0 1 1
4 Cidokom 6 0 0 0
5 Pedurenan 7 0 1 0
6 Curug 10 4 1 1
7 Rawa kalong 8 0 0 0
8 Pengasinan 7 1 1 0
9 Gunung Sindur 9 0 1 1
10 Pabuaran 6 3 1 4
Jumlah 73 9 6 8
(Sumber : BPS, Posdes 2014)
Meskipun mayoritas masyarakat Kecamatan Gunung Sindur
beragama islam namun keberadaan agama lain sangatlah dihormati, hal ini
terbukti dari banyaknya jumlah klenteng yang merupakan tempat
peribadatan masyarakat Tionghoa di Kecamatan tersebut. Bahkan tidak
jarang saat ada acara atau peringatan hari besar tertentu di klenteng
membuka pengobatan gratis bagi semua masyarakat desa baik yang muslim
maupun non-muslim yang membutuhkan pengobatan.
![Page 11: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/11.jpg)
70
Gambar IV.6
Klenteng Ciu Lung Wang yang Berada di Kp. Cikoleang
c. Sarana Pendidikan
Saat ini pendidikan menjadi salah satu hal yang paling penting dan
menjadi perhatian masyarakat Kecamatan Gunung Sindur. Dahulu, awalnya
kemampuan masyarakat untuk mengenyam pendidikan di Kecamatan ini
sangatlah minim. Selain karena kondisi ekonomi yang pas-pasan di tambah
lagi dengan tidak adanya semangat untuk belajar. Sebagai daerah yang
termasuk masih pedesaan, setiap anak setelah lulus sekolah dasar tidak
meneruskan ke bangku sekolah menengah tetapi mereka lebih memilih
membantu orangtua bertani atau bahkan menjadi buruh di pabrik konveksi.
Namun seiring berjalannya waktu pendidikan di Kecamatan
Gunung Sindur mulai digalakan, saat ini tidak ada anak yang tidak
bersekolah. Hal ini sejalan dengan dengan harapan para orang tua agar
generasi penerusnya tidak seperti mereka yang minim pendidikan. Berikut
Penuturan US :
“Awalnya dikit sekali anak yang beruntung karena disekolahkan
orang tuanya, tapi makin kesini makin baik kemajuannya. Malah
kalo kita liat aneh ya zaman sekarang jika ada anak usia sekolah
![Page 12: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/12.jpg)
71
tetapi tidak sekolah. Orang tua zaman sekarang mungkin semakin
tau apa yang paling baik. Kalau dulu lebih mentingin untuk beli
sapi atau kambing daripada untuk sekolah. Selain itu dibantu juga
adanya penyuluhan dari pemerintah daerah dan kadang-kadang
dari mahasiswa KKN”
(Sumber : wawancara Jumat 19 Juni 2015)
Saat ini di Kecamatan Gunung Sindur terdapat 37 SDN, 3 SMPN,
1 SMAN dan 1 SMKN. Sedangkan untuk sekolah yang dikelola oleh pihak
swasta antara lain 2 SD, 9 SMP dan 8 SMA / SMK. Selain itu terdapat pula
17 pesantren baik modern maupun Salafiah.
Gambar IV.7
Sekolah Dasar Negeri Pabuaran 02
Baik sekolah negeri maupun swasta yang ada di Kecamatan
Gunung Sindur peminatnya tetaplah sama. Selain negeri dan swasta ada
pula sekolah-sekolah yang berada di naungan Kementrian Agama
Kabupaten Bogor. Diantaranya ada 10 MI, 7 MTs dan 2 MA yang menyebar
![Page 13: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/13.jpg)
72
di berbagai desa. Berdasarkan data Kecamatan tahun 2013 murid MI ada
1375 siswa, MTs 1532 siswa dan MA sebanyak 112 siswa.
Tabel IV.7
Sarana Pendidikan Kecamatan Gunung Sindur
No Desa Negeri Swasta
SD SMP SMA SD SMP SMA
1 Jampang 3 0 0 0 0 0
2 Cibadung 5 1 0 0 1 1
3 Cibinong 4 0 0 1 1 2
4 Cidokom 2 0 0 0 1 1
5 Padurenan 3 0 0 0 1 0
6 Curug 4 0 0 0 1 1
7 Rawa Kalong 4 1 1 0 0 0
8 Pengasinan 4 1 0 0 1 1
9 Gunung Sindur 4 0 1 0 1 0
10 Pabuaran 4 0 0 1 1 2
Jumlah 37 3 2 2 9 8
(Sumber : BPS Kecamatan Gunung Sindur, 2014)
d. Sarana Kesehatan
Dalam bidang kesehatan, Kecamatan Gunung Sindur didukung
oleh sarana kesehatan yang meliputi 2 Puskesmas, 3 Puskesmas pembantu
dan 94 Posyandu yang tersebar hampir diseluruh RW. Sarana kesehatan
yang ada tersebut ditunjang dengan tenaga medis yaitu 10 orang dokter
umum, 1 orang dokter gigi, dan 19 orang bidan. Sebagai daerah yang
masih tradisional, dukun bayi (Ibu Paraji) seringkali dibutuhkan jasanya
dalam membantu proses melahirkan, ada sekitar 28 dukun bayi di
Kecamatan Gunung Sindur yang tersebar rata disetiap desa.
![Page 14: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/14.jpg)
73
B. Hasil Penelitian
Dalam sub-bab ini peneliti berusaha untuk mendeskripsikan hasil
penelitian mengenai amalgamasi yang terjadi antara etnis Betawi dengan etnis
Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor. Kecamatan Gunung
Sindur Kabupaten Bogor merupakan tempat dimana budaya Betawi dan
Tionghoa berbaur. Penduduk asli Kecamatan Gunung Sindur adalah mayoritas
beretnis Betawi dan sedikit orang Sunda sedangkan etnis Tionghoa merupakan
pendatang. Masyarakat Tionghoa yang mendiami Kecamatan Gunung Sindur
sudah datang sejak ratusan tahun yang lalu, berawal dari berdagang, kemudian
mereka berusaha membaur dan beradaptasi dengan mempelajari budaya dan
bahasa sekitar, sampai akhirnya banyak dari mereka yang melakukan
perkawinan campuran dengan etnis pribumi atau lazim kita menyebutnya
dengan sebutan amalgamasi.
Dalam ikatan amalgamasi baik yang didasari atas kepentingan individu
maupun kepentingan kelompok sama-sama memiliki pengaruh yang besar
dalam terjalinnya hubungan yang mengarah pada integrasi masyarakat dan
asimilasi kultural. Hasil penelitian yang akan dideskripsikan dalam sub-bab ini
adalah mengenai amalgamasi yang terjadi antara warga Etnis Betawi dengan
Etnis Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor meliputi
alasan melakukan amalgamasi serta faktor pendukung dan penghambat dalam
amalgamasi baik yang berasal dari pihak pasangan Etnis Betawi maupun
Tionghoa dan bentuk asimilasi yang terlihat dalam keluarga amalgamasi antara
![Page 15: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/15.jpg)
74
etnis Betawi dengan etnis Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur. Berikut
adalah pemaparan hasil penelitian dari masing-masing poin tersebut :
1. Amalgamasi Antara Warga Etnis Betawi dengan Tionghoa di
Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor
Sudah ratusan tahun lamanya masyarakat Etnis Tionghoa mendiami
daerah Gunung Sindur dan hidup bersama-sama dengan penduduk pribumi
yang beretnis Betawi. Walaupun berstatus sebagai pendatang dan minoritas,
tapi masyarakat Etnis Tionghoa tidak hidup terpencil di suatu titik, mereka
tinggal di pusat-pusat perdagangan yang berdekatan dengan aktivitas
masyarakat seperti di dekat pasar, pertokoan, pinggir jalan utama dan
wilayah ramai lainnya yang memudahkan mereka untuk membaur dengan
masyarakat pribumi. Hal ini diperkuat dengan berbagai ritual sosial tegur
sapa, kerjasama dan tolong menolong pada berbagai kegiatan. Kenyataan ini
semakin memungkinkan terjadinya perkawinan campuran atau amalgamasi
antara penduduk asli yang beretnis Betawi dengan penduduk Tionghoa.
Seperti apa yang diceritakan oleh informan 10 :
“Kalau sejarahnya sudah lama sekali ya, orang-orang
Tionghoa itu mulai bermukim disini bahkan sebelum Belanda
datang. Kebanyakan memang laki-laki karena memang tujuan
mereka ingin mengadu nasib dengan menjual barang-barang
dari negaranya, yang dijual juga macem-macem ada keramik,
obat herbal (ramuan-ramuan), kain. Lama-lama mereka makin
dekat dengan orang kita kan, pelajarin budaya kita, bahasa kita,
lama-lama bisa juga dia. Selama proses penyesuaian itu tidak
![Page 16: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/16.jpg)
75
sedikit laki-laki Tionghoa yang nikah sama perempuan asli sini,
keturunannya yang kita sebut sekarang cina peranakan”
(Sumber : Wawancara Senin 29 Juni 2015)
a. Alasan Terjadinya Amalgamasi Antara Warga Etnis Betawi dengan
Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor
1) Amalgamasi Antara Laki-laki Tionghoa dengan Perempuan Betawi
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan beberapa hal yang
menjadi alasan bagi seorang laki-laki Tionghoa menikahi perempuan
Betawi. Alasan yang dituturkan informan berbeda-beda dan mayoritas
disebabkan oleh faktor-faktor non-rasial diantaranya adalah karena
alasan pekerjaan, alasan saling ketergantungan dan alasan ketertarikan
fisik atau suka sama suka. Walaupun sebenarnya ada keyakinan
bahwa baik laki-laki maupun perempuan Tionghoa sama-sama harus
menikahi pasangan satu etnis, namun saat ini sudah banyak sekali
ditemukan orang Tionghoa yang menikah dengan masyarakat pribumi,
terlebih laki-laki Tionghoa. Kaum laki-laki dalam Etnis Tionghoa
dipandang lebih bisa membawa diri jika menikah dengan orang
pribumi, hal tersebut didukung pula oleh banyaknya kaum laki-laki
Tionghoa yang berhirjah ke Indonesia, maka dari itu tidak heran jika
kita lebih sering menemukan kaum laki-laki yang menikah dengan
etnis pribumi dibandingkan kaum perempuan.
Alasan amalgamasi antara laki-laki Betawi dengan perempuan
Tionghoa dilatar belakangi oleh berbagai hal. Salah satunya adalah
![Page 17: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/17.jpg)
76
alasan pekerjaan seperti yang dialami oleh informan ke-5. Sebelum
saling mengenal dan menikah, istri dari informan 5 bukanlah
merupakan penduduk Kecamatan Gunung Sindur, ia pindah karena
alasan pekerjaan dimana orang tuanya saat itu membuka usaha pabrik
tahu di Kecamatan Gunung Sindur. Berikut penuturan informan 5 :
(Istri) : “Memang dari dulu tetanggaan di kampung ini mba,
tapi suami saya malah yang asli sini, kalau saya dulu orang tua
asli Kebayoran tapi pindah kesini buka usaha pabrik tahu
disini, udah lama sekali jadi bisa dibilang sudah sama seperti
orang sini asli, dapet jodohpun orang sini.”
(Sumber : Wawancara Sabtu 23 Mei 2015)
Amalgamasi yang dilandasi oleh pekerjaan juga di alami oleh
informan 4. Dimana suami dan istri bertemu dan kemudian saling
kenal karena sama-sama bekerja di suatu perusahaan roti. Pertemuan
yang intens membuat mereka semakin akrab hingga akhirnya menjalin
hubungan dan berlabuh pada relasi perkawinan. berikut penuturan
informan 4 :
(Suami) : “Kami memang tetangga, dulu saat saya masih kerja
nganter roti ke warung-warung istri saya ini kerja di pabrik
rotinya. Sering ketemu juga sampe akhirnya ada hubungan dan
sampe menikah seperti sekarang ini.”
(Sumber : Wawancara Rabu 20 Mei 2015)
Dari penuturan beberapa informan di atas dapat kita simpulkan
bahwa bidang pekerjaan turut memiliki andil dalam terjadinya
amalgamasi antara laki-laki Tionghoa dengan perempuan Betawi di
![Page 18: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/18.jpg)
77
Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor. Selain karena alasan
pekerjaan, dalam penelitian ini ditemukan pula pasangan laki-laki
Tionghoa dengan perempuan Betawi yang menikah karena alasan
ketertarikan fisik atau suka sama suka, seperti yang dituturkan oleh
informan 3 berikut :
(Suami) : “Dulu sekali, kami memang sudah saling mengenal
tapi masih biasa saja belum ada ketertarikan karena memang
usia kami terpaut sangat jauh, saat saya sudah dewasa dia
masih kecil sekali. Sampai akhirnya saya menikah dengan
mantan istri saya hingga kemudian kami bercerai. Saat kondisi
duda itulah kami mulai saling tertarik, istri saya ini juga sudah
dewasa saat itu usianya 20 tahun lebih, saat saya masih kerja
kami juga sering bertemu dan sejak itu juga jadi makin kenal
satu sama lain.”
(Sumber : Wawancara Senin 18 mei 2015)
Selain informan 3, amalgamasi yang didasari oleh alasan
ketertarikan secara fisik juga terjadi pada informan ke 1 dimana pihak
suami menyukai istri saat pertama kali melihat istri menyanyi
gambang kromong di pernikahan kerabatnya, seperti yang di tuturkan
oleh informan 1 berikut :
(Istri) : “Waktu ketemunya dulu ngga disangka-sangka ya pak
ya, kalau bakal jadi pasangan begini, saya dulu kan kerjanya
nyanyi gambang kromong, waktu itu kebetulan lagi ada kerjaan
di daerah Cikoleang, itu ternyata acara pernikahan temennya
suami saya, dan suami saya minta tolong temannya untuk
dikenalkan, dari situ kenalannya dek.”
![Page 19: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/19.jpg)
78
(Suami) : “Ya benar, waktu itu saya langsung suka dan sempat
minta tolong teman untuk di kenalkan hehe.”
(Sumber : Wawancara Jumat 15 Mei 2015)
Selain informan 3 dan informan 1, ketertarikan secara fisik juga
di alami oleh istri dari informan 2 terhadap suaminya yang beretnis
Tionghoa. Perawakan suaminya yang bersih dan selalu berpenampilan
wangi menjadi daya tarik tersendiri baginya. Berikut penuturan istri
dari informan 2 :
(Istri) : “Suami saya cukup pengertian, tidak banyak menuntut,
kadang lebih teliti dan telaten ketimbang saya yang perempuan,
lebih pendiam dibanding saya karena saya cerewet sekali, dan
suami juga bersih. Saya senang walaupun dia laki-laki tapi
perawakannya bersih sekali dan selalu wangi.”
(Sumber : Wawancara Srnin 11 Mei 2015)
Selain didasari oleh alasan latar belakang pekerjaan dan
perasaan suka sama suka, ada juga pasangan informan laki-laki
Tionghoa dengan perempuan Betawi yang melakukan amalgamasi
dengan alasan kepercayaan dan saling ketergantungan antara kedua
belah pihak seperti yang dialami oleh informan 3 berikut :
(Istri) : “Kalau dari orangtua saya awalnya memang tidak
setuju, mereka seperti tidak ikhlas anak gadisnya menikah
dengan seorang duda, tapi lama-lama ya luluh juga karena usia
saya sudah 23 tahun lebih ya, zaman saya dulu usia segitu buat
perempuan udah tua sekali ya kalau belum menikah malah jadi
omong-omongan tetangga di bilang perawan tua”
![Page 20: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/20.jpg)
79
(Suami) : “Menurut saya istri pilihan saya yang sekarang
tidak ada hubungannya dengan kejelekan sifat mantan istri
saya. saya bisa membedakan dia orang yang baik, lagi pula
kami seiman, jadi apalagi yang harus disangsikan? Saya sadar
semakin lama juga saya akan semakin tua, kalau hidup sendiri
saya ngga akan bisa, jadi saya putuskan untuk menikahi dia,
orang tua lama-lama juga setuju”
(Sumber : Wawancara Senin 18 Mei 2015)
Dari penuturan informan 3 di atas, dapat disimpulkan bahwa
alasan yang mendasari terjadinya amalgamasi pada pasangan tersebut
adalah karena kedua pihak saling tergantung dan saling membutuhkan
satu sama lain, pihak istri yang awalnya tidak mendapat restu dari
orang tua karena ingin menikah dengan seorang duda beretnis
Tionghoa lambat laun menjadi di restui untuk menikah karena saat itu
di tempat tinggalnya yang masih terbilang pedesaan, perempuan
mayoritas menikah di usia muda dan saat itu usia istri sudah terbilang
sangat dewasa, selain itu orang tua mengkhawatirkan adanya cibiran
dari tetangga jika anaknya tidak segera menikah. Sedangkan dari
pihak suami memiliki alasan karena statusnya sebagai duda tidak
membuat ia nyaman karena semua hal dalam hidupnya harus
dilakukan sendiri. Maka ia memutuskan untuk segera menikah dengan
pasangan pilihannya karena ia merasa khawatir tidak ada yang
menjaga dan mengurusnya di masa tua, selain itu ia juga belum
memiliki anak dari perkawinannya yang pertama dan ia berharap di
perkawinannya yang kedua dapat diberikan keturunan. Harapan yang
![Page 21: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/21.jpg)
80
di inginkan oleh suami informan 3 tersebut di perkuat oleh
pernyataannya bahwa calon istri yang ia pilih seiman dan
berkepribadian baik sehingga dianggap mampu untuk mengurus
segala urusan keluarga.
2) Amalgamasi Antara Laki-laki Betawi dengan Perempuan Tionghoa
Amalgamasi yang terjadi antara laki-laki Betawi dengan
perempuan Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur didasarkan pada
alasan kesamaan pekerjaan, ketertarikan secara fisik dan adanya saling
ketergantungan. Amalgamasi yang didasarkan atas alasan pekerjaan di
alami oleh informan 7 dimana keduanya saling kenal karena mereka
merupakan rekan di tempat bekerja, berikut penuturan informan 7 :
(Suami) : “Kami kenal karena dulu kerja satu pabrik, karena
rumah kami dekat makanya sering pulang bareng, makin lama
makin akrab lalu memutuskan untuk berpacaran.”
(Sumber : Wawancara Rabu 10 Juni 2015)
Selain kesamaan tempat kerja, alasan lainnya yang
menyebabkan amalgamasi antara laki-laki Betawi dengan perempuan
Tionghoa adalah karena adanya ketertarikan secara fisik. Perempuan
Tionghoa terkenal dengan kulitnya yang putih bersih. Seperti yang
dikatakan oleh suami informan 8 yang mengatakan bahwa awalnya ia
tertarik dengan sang istri karena kecantikannya sebagai peremuan
Tionghoa, selain memiliki kulit yang bersih, sang istri juga memiliki
dialek mandarin ketika berbicara, hal tersebut yang menjadi daya tarik
tersendiri bagi suami informan 8. Berikut penuturannya :
![Page 22: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/22.jpg)
81
(Suami) : “Ya sudah cukup saling memahami, selain itu saya
juga senang dan bersyukur bisa menikahi dia, dia cantik, putih,
sikapnya halus, dan satu yang menarik, logat mandarin di setiap
ucapan istri saya jadi hal yang menyenangkan buat saya
dengar, lucu kedengarannya.”
(Sumber : Wawancara Sabtu 13 Juni 2015)
Alasan ketertarikan secara fisik juga disampaikan oleh suami
informan 6 yang mengaku bersyukur karena dapat menikahi istrinya
yang semasa sekolah dulu banyak yang menyukai karena
kecantikannya. Berikut adalah penuturan suami informan 6 :
(Suami) : “Iya karena kami tetangga juga, tapi dari masa
sekolah pun saya memang sudah suka sama dia, dia dulu
banyak yang suka karena cantik dan ikut organisasi, jadi saya
beruntung lah bisa dapetin dia sekarang, tinggal dijaga aja
mudah-mudahan langgeng”
(Sumber : Wawancara Senin 25 Mei 2015)
Selain alasan kesamaan pekerjaan dan ketertarikan secara fisik,
ditemukan pula pasangan amalgamasi antara laki-laki Betawi dengan
perempuan Tionghoa yang berdasarkan pada alasan saling
ketergantungan, seperti apa yang dituturkan oleh informan 8 berikut :
(Suami) : “Untungnya, orang tua saya dan juga mertua sudah
sepenuhnya merestui karena mereka sudah percaya kami
memang pantas hidup bersama, apalagi setelah menikah ini
makin terlihat bahwa istri saya aslinya baik dan giat sekali, tidak
seperti yang mereka kira diawal. Malah saat ini orang tua saya
ngasih kami kepercayaan untuk ngelola toko, istri saya yang
lebih banyak ditoko karena dia ulet sekali.”
(Sumber : Wawancara Sabtu 13 Juni 2015)
![Page 23: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/23.jpg)
82
Dari penuturan informan 8 di atas kita bisa melihat adanya relasi
saling ketergantungan yang mendasari amalgamasi dimana pihak
orang tua sang suami meminta menantunya untuk meneruskan
mengelola toko milik keluarga karena orang tua sang suami
mengetahui menantunya yang beretnis Tionghoa tersebut ternyata
pandai dalam mengelola bisnis, disamping itu hal tersebut juga
menguntungkan bagi pasangan amalgamasi karena mereka hanya
tinggal meneruskan usaha tersebut saja.
b. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Amalgamasi Antara
Warga Etnis Betawi dengan Etnis Tionghoa di Kecamatan Gunung
Sindur
Dalam keluarga amalgamasi, budaya akan memberikan pengaruh
besar dalam setiap aspek pengalaman manusia ketika melakukan
kegiatan komunikasi dan interaksi dengan pasangan karena budayalah
yang mengatur kita dalam berperilaku. Di sisi lain komunikasi dan
interaksi pula yang membuat suatu budaya bisa berkembang dan
bahkan mengalami suatu pembauran. Bagaimana amalgamasi bisa
terjadi hingga menimbulkan peleburan kebudayaan / asimilasi? Tentu
karena adanya faktor pendukung dalam amalgamasi tersebut berupa
potensi didalam diri masing-masing pasangan pelaku amalgamasi.
Potensi-potensi tersebut bisa berupa sikap saling percaya, saling tukar
menukar, saling bekerjasama, solidaritas, partisipsi dan termasuk
didalamnya nilai dan norma yang mendasari hubungan tersebut.
![Page 24: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/24.jpg)
83
Di samping faktor pendukung ada pula faktor penghambat dalam
amalgamasi. Faktor penghambat tersebut bisa berasal dari pihak
pasangan amalgamasi maupun keluarga besarnya yang terdiri dari sikap
etnosentrisme, prasangka yang selalu negatif dan sikap stereotip
terhadap pasangan yang berasal dari budaya yang berbeda. Berikut
deskripsi dari masing-masing faktor tersebut :
1) Faktor Pendukung Amalgamasi Antara Warga Etnis Betawi dengan
Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur
Amalgamasi yang terjadi antara Etnis Betawi dengan Etnis
Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor sangat
memicu terjadinya asimilasi atau peleburan kebudayaan dimana
masing-masing dari mereka sama-sama berusaha untuk saling
menghargai dan menyesuaikan budaya pasangannya secara sukarela.
Terlebih dengan bantuan potensi yang dimiliki masing-masing dari
individu pelaku amalgamasi. Potensi tersebut dapat berbentuk rasa
saling percaya, saling toleransi, solidaritas, mampu bersikap egaliter
(menyamakan kedudukan), dan lain sebagainya. Berikut berbagai
potensi pendukung terjadinya amalgamasi yang ditemukan dalam
penelitian terhadap delapan pasangan perkawinan campuran di
Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor :
a) Rasa Saling Percaya
Sikap saling mempercayai di masyarakat yang
memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang
![Page 25: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/25.jpg)
84
lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan integritas.
Kepercayaan dalam keluarga bisa di artikan juga sebagai sebuah
pengharapan yang muncul agar anggota lainnya berperilaku jujur,
wajar / normal, memiliki toleransi dan kemurahan hati. Adanya
jaminan tentang kejujuran dalam keluarga dapat memperkuat rasa
kepercayaan dalam keluarga tersebut. seperti yang dituturkan oleh
informan 1 saat menghadapi masalah restu orangtua yang tidak
kunjung didapatkan, mereka berbekal saling percaya jika
hubungannya akan tetap berjalan juka mau berusaha :
(Istri) : “Kurang lebih dua tahunan lah kami dalam kondisi
sulit itu, bermodal saling percaya aja waktu itu, kalau
memang bener-bener mau serius ya mungkin memang
harus berusaha, apalagi kondisi kita bener-bener berbeda
saat itu.”
(Sumber : Wawancara Jumat 15 Mei 2015)
Berbeda dengan pasangan informan 1 yang menggunakan
kepercayaan sebagai modal dalam memperjuangkan restu,
informan ke 3 justru menggunakan kepercayaan sebagai tanda
bahwa ia sudah sangat yakin terhadap jodoh yang ia pilih dan ia
percaya bahwa stereotip orang tuanya yang mengatakan orang
Betawi bukan orang yang baik untuk dijadikan pasangan hidup
hanyalah sesuatu yang tidak masuk akal karena menurutnya kita
tidak bisa menilai sifat seseorang berdasarkan etnisnya, semua
![Page 26: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/26.jpg)
85
kembali ke individu masing-masing. Berikut penuturan informan
3 mengenai kepercayaan :
(Suami) : “....Tapi memang tidak masuk akal saja, orang
tua saya bilang „jangan lah lu cari bini orang Betawi,
kemaren kan udah kerasa asem garemnya berumah tangga
sama orang Betawi gimana‟. Sedangkan saya sendiri
percaya tiap orang kan tabiatnya beda-beda, kita ngga bisa
mematok semua orang Betawi sama. Nyatanya rumah
tangga kami langgeng sampai saya setua ini istri setia
sekali.”
(Sumber : Wawancara Senin 18 Mei 2015)
b) Sikap Toleransi
Selain sikap saling percaya, faktor pendukung dalam
amalgamasi lainnya adalah harus adanya sikap toleransi didalam
keluarga baik dengan keluarga inti maupun keluarga besar.
Biasanya toleransi dalam keluarga amalgamasi berhubungan
dengan agama yang di anut atau berbagai tradisi budaya yang
dilakukan. Seperti yang dijelaskan oleh informan 4 yang berbeda
agama, pihak istri beragama Islam dan pihak suami beragama
Kristen, namun dalam kesehariannya mereka saling menghargai
agama yang dianut masing-masing dan bahkan saling
mengingatkan untuk beribadah, berikut penuturan informan 4 :
(Istri) : “Suami saya luar biasa. Misalnya saat bulan
puasa, suami saya sangat menghormati keadaan saya yang
tidak segar, pekerjaan yang biasanya saya kerjakan sendiri
![Page 27: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/27.jpg)
86
dibantu, jadi lebih ringan. selain itu Bapak juga tidak
pernah namanya makan minum didepan saya saat saya
puasa, sering mengingatkan saya untuk sholat dan sedekah
walaupun seadanya. Saya yakin dalam agama apapun pasti
arahnya adalah kebaikan”
(Sumber : Wawancara Rabu 20 Mei 2015)
Selain informan 4, informan 8 juga menuturkan bahwa
toleransi merupakan hal yang sangat penting dalam kasus
amalgamasi. Informan 8 mengatakan walaupun dalam keluarga
mereka terdapat dua budaya yang berbeda namun jika mereka
memiliki sikap saling menghargai dan menghormati mereka yakin
semua akan baik-baik saja. Berikut penuturan informan 8 :
(Suami) : “Ya pokoknya walaupun berbeda budaya tetap
harus saling menghargai, apalagi dalam suatu keluarga.
walaupun kita berbeda tapi kan itu hanya etnisnya saja,
kalau kita kompak bukan akan bisa lebih kuat daripada
orang yang satu etnis? kalo saya selama saya dihargai, ya
saya akan balik menghargai. Itu saja.”
(Sumber : Wawancara Sabtu 13 Juni 2015)
c) Sikap Egaliter
Faktor pendukung terjadinya amalgamasi lain yang di
temukan dalam penelitian ini yaitu adanya sikap egaliter yang
dimiliki oleh seorang individu terhadap anggota keluarga lain.
Sikap egaliter bisa diartikan sebagai sikap dimana kita menganggap
bahwa semua orang dari etnis manapun memiliki derajatnya sama.
Sederajat disini seringkali mengalami salah penafsiran, kesamaan
![Page 28: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/28.jpg)
87
derajat disini bukan berarti orang yang lebih muda merasa sederajat
dengan orang yang lebih tua sehingga bisa seenaknya dan tidak
sopan, dalam keluarga amalgamasi sikap egaliter lebih memandang
bahwa semua etnis itu sebenarnya memiliki derajat yang sama dan
inti dari ajarannya pun sama yaitu mengarah ke kebaikan. Seperti
yang di jelaskan oleh informan ke 3 :
(Istri) : “Dalam mendidik anak tidak melulu memakai tata
cara Betawi atau Tionghoa, saya percaya semua intinya
sama. Sama-sama mengajarkan kebaikan. Mudah-mudahan
anak juga bisa membedakan mana yang baik dan yang
buruk seiring bertambahnya usia.”
(Sumber : Wawancara Senin 18 Mei 2015)
Berbeda dengan informan 3 yang memandang kesamaan
derajat antara budaya Betawi dengan Tionghoa melalui cara
mendidik anak, informan 6 lebih memandang kesamaan derajat
kedua budaya ketika di tanyakan mengenai sifat-sifat orang Betawi
dan orang Tionghoa, berikut penuturan informan 6 :
(Suami) : “kami kan sudah lama membaur, jadi sama saja
sepertinya. Kalau omongan orang Betawi mah males, ga
mau kerja dan lainnya itu. Tapi menurut saya ya sama aja
sih disini juga banyak orang Tionghoa yang hidupnya
susah dan mereka malas juga ngga kerja juga. Katanya kan
kalo jaman dulu orang Tionghoa itu kaya, tapi sekarang
udah sama aja lah, harta benda yang ada juga dari
turunan orangtua. Itu juga abisnya cepet karena dijual-
jualin.
(Sumber : wawancara Senin 25 mei 2015)
![Page 29: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/29.jpg)
88
Dari penuturan informan 3 dan informan 6 di atas bisa di
simpulkan bahwa baik budaya Betawi maupun budaya Tionghoa
sama-sama mengajarkan kebaikan. dari penjelasan di atas juga kita
bisa melihat bahwa sebenarnya stereotip yang berkembang di
masyarakat tentang suatu etnis tidak berarti apa-apa, semua
kembali lagi pada individunya masing-masing terkait bagaimana ia
bersikap dan membawa diri.
d) Partisipasi
Adanya partisipasi dalam hasil penelitian ini tercermin pada
keikutsertaan seseorang ketika keluarga besar pasangan mereka
merayakan tradisi budaya atau hari besar agamanya meskipun
tradisi tersebut mungkin saja sangat berbeda dengan tradisi yang
biasa ia lakukan dalam keluarganya sendiri. Partisipasi dilakukan
demi terciptanya hubungan baik dan membangun momentum
kekeluargaan walaupun latar belakang mereka sebenarnya
berbeda. Seperti yang di katakan oleh informan 5 berikut ini :
(Istri) : “Hampir semua sepertinya hasil pembauran karena
hidupnya bareng-bareng kan, jadi menyatu aja gitu.
Tetangga juga banyak Tionghoa banyak Betawi juga.
Kalau dari keluarga besar suami merayakan imlek saya
ikut juga merayakan eforianya. Disitulah indahnya jadi
semua rukun.”
(Sumber : Wawancara Sabtu 23 Mei 2015)
Partisipasi juga tergambar sebagai semangat untuk membantu
dan mementingkan kepentingan orang lain. Seperti yang dijelaskan
![Page 30: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/30.jpg)
89
oleh informan 7 berikut ini dimana suami berasal dari Etnis Betawi
dan istri berasal dari Etnis Tionghoa. Suami ikut membantu saat
perayaan imlek seperti membantu masak, membantu dekorasi dan
lain sebagainya. Sebagai gantinya adik dari pihak istri setiap
menjelang lebaran pasti berkunjung kerumahnya sekedar untuk
membantu membuat kue kering atau membantu keperluan lainnya.
Berikut penjelasan informan7:
(Istri) : “Di keluarga saya misalnya, tradisi imlek ya sudah
tidak seperti dulu lagi, paling jadi ajang kumpul-kumpul
saja, makan bersama, karena kan selain saya juga ada
beberapa anak yang menikah dengan orang islam. Intinya
saya tau tradisi keluarga besar dia, dia juga tau tradisi saya,
saling bantu aja, bantu masak bantu dekorasi dan persiapan
lainnya. Saat lebaran pun sama adik saya seringkali datang
kerumah saya untuk membantu membuat kua atau membantu
persiapan lainnya. Jadi ngga ada pemisah, orang Betawi
ngga boleh ini, orang Tionghoa ngga boleh itu”
(Sumber : Wawancara Rabu 10 Juni 2015)
Selain itu partisipasi juga bisa dilihat dari bentuk solidaritas
antar anggota keluarga amalgamasi. Solidaritas adalah rasa
kebersamaan, rasa saling memiliki, rasa simpati, dan rasa
kekeluargaan yang dimiliki orang-orang didalam suatu kelompok.
Solidaritas bukan hanya dicapai secara fisik dalam sebuah aktivitas
saja tetapi kita juga harus mampu memiliki solidaritas kepada
sesama secara psikologis yang menjadikan segala tindakan kita
![Page 31: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/31.jpg)
90
menjadi lebih tulus. Bentuk solidaritas dalam keluarga amalgamasi
dalam penelitian ini tercermin dari penjelasan informan 1 :
(Istri) : “Hubungan dengan orangtua dari kedua belah
pihak sangat baik, apalagi saat anak kami beranjak
dewasa, akrab sekali dia dengan kakek neneknya, cucu
perempuan pertama juga mungkin. Kalau keluarga suami
kan di Tangerang, setiap ada acara, hari imlek atau hari-
hari besar lainnya kami pasti datang untuk silaturahmi dan
sekedar bawa kue dari rumah atau bantu-bantu masak
disana, saya pribadi juga sudah tidak ada rasa canggung
sama sekali, sudah seperti keluarga sendiri.”
(Sumber : Wawancara Jumat 15 Mei 2015)
2) Faktor Penghambat Amalgamasi Antara Warga Etnis Betawi dengan
Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur
Latar belakang budaya yang berbeda dalam suatu keluarga
sangat memengaruhi seseorang dalam berhubungan atau
berkomunikasi dengan anggota keluarga lainnya, karena budaya
bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku
komunikatif serta maksud dari sebuah makna yang dimiliki oleh
setiap orang. Latar belakang budaya termasuk didalamnya nilai,
norma, dan tradisi yang berbeda bisa menjadi suatu masalah besar
yang mengakibatkan amalgamasi tidak berlangsung secara lancar.
Masalah yang menghambat terjadinya amalgamasi tersebut muncul
akibat adanya faktor-faktor yang menyebabkan interaksi dan
komunikasi antar etnis seseorang tidak berjalan secara efektif.
![Page 32: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/32.jpg)
91
Faktor-faktor penghambat tersebut berupa sikap etnosentrisme,
stereotip dan prasangka negatif yang masing-masing ditemukan
dalam penelitian ini, berikut penjabarannya :
a) Etnosentrisme
Sikap etnosentrisme sangat bersifat destruktif dalam
komunikasi antar etnis. Menurut Tubbs dan Moss (2001:254)
etnosentrisme muncul ketika manusia tidak menyadari bahwa
banyak aspek kebudayaan dalam kelompok mereka berbeda
dengan kelompok-kelompok yang lain. Mereka menganggap
bahwa budaya yang mereka miliki merupakan bawaan sejak lahir
sehingga menjadi sesuatu yang mutlak. Ketika budaya menjadi
sudah menjadi standar mutlak maka etnosentrisme bisa kita
artikan sebagai kecenderungan menghakimi nilai adat istiadat,
prilaku, atau aspek-aspek budaya lain dengan menggunakan adat
istiadat sendiri sebagai standar atau ukuran bagi semua.
Sikap etnosentrisme yang di temukan dalam penelitian ini
adalah seperti yang terjadi pada informan 1 ketika menjelang
pernikahan, orang tua dari pihak suami yang beretnis Tionghoa
tidak merestui anaknya menikah dengan perempuan Betawi
karena sikap etnosentrismenya, berikut penuturan informan 1 :
(Suami) : “Sedikit banyak sih tau, tapi saya kurang terlalu
sependapat, gimana juga kan tergantung orangnya, gabisa
dipukul rata gitu kan yah... keluarga sering bilang, kalo
cari jodoh baiknya seadat aja, Tionghoa itu abunya beda
![Page 33: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/33.jpg)
92
sama yang lain, lebih tinggi. Mungkin maksudnya
keberadaan Tionghoa itu memang sudah lebih lama dari
budaya lain. Kalo orang Betawi terkenalnya malas ya,
sama gengsinya katanya besar, jadi katanya prinsip Betawi
itu “biar tekor asal kesohor” gitu (tertawa).”
(Sumber : Wawancara 15 mei 2015)
Dari penuturan informan 1 diatas bisa disimpulkan bahwa
pihak orang tua suami bersikap etnosentris dengan mengangung-
agungkan budaya Tionghoa yang menurutnya memiliki derajat
yang lebih tinggi dan menganggap budaya lain berada dibawah
budayanya. Lain halnya dengan sikap etnosentris yang
ditunjukan oleh informan 5, ketika ditanyakan mengenai ajaran
budaya apa yang paling ia ingat, informan 5 mengatakan bahwa
etnis Tionghoa lebih unggul di bidang ekonomi di banding etnis
Betawi, berikut penuturan informan 5 :
(Suami) : “Kalau ajaran di Tionghoa keluarga juga nomor
satu, begitupun di dunia kerja kalau ada lowongan
pekerjaan kalau bisa yang dikasih ya sanak saudara dulu,
makanya sering kita lihat di beberapa perusahaan milih
orang Tionghoa itu pegawainya ya keluarga semua.
Menurut saya etnis Tionghoa memang lebih unggul
dibidang ekonomi, lebih di didik untuk rajin dan bekerja
keras. Mungkin itu bedanya dengan orang Betawi ya.”
(Sumber : Wawancara Sabtu 23 Mei 2015)
![Page 34: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/34.jpg)
93
b) Stereotip
Sama halnya seperti etnosentrisme, stereotip juga muncul
pada tingkat ketidaksadaran. Ketidaksadaran ini mengakar pada
kecenderungan manusia untuk memisahkan antara “kita” dan
“mereka”. Stereotip berarti menggeneralisasi orang-orang
berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai
mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok
budaya (Mulyana, 2005:220). Ada banyak sikap stereotip yang di
temukan dalam penelitian ini, salah satunya seperti yang dikatakan
oleh istri informan 1 yang berasal dari budaya Betawi, walaupun ia
tidak merasa ada masalah dengan budaya Tionghoa namun ia
pernah mendengar dari orang tua yang menilai negatif tentang etnis
Tionghoa. Berikut penuturan dari informan 1:
(Istri) : “Pandangan seperti itu sih biasa memang ada ya
mba, saya sempat terekam sih omongan orang tua, orang
Tionghoa itu pelit, perhitungan sekali, susah membaur
sama masyarakat jadi agak tertutup gitu.”
(Sumber : Wawancara 15 Mei 2015)
Penilaian serupa mengenai etnis Tionghoa juga di sampaikan
oleh orangtua dari pihak istri informan 2 yang beretnis Betawi.
Pada saat menjelang pernikahan mereka susah sekali untuk
mendapatkan restu, ketika ditanyakan kepada orang tua apa
alasannya, orang tua memang tidak menjawab langsung, namun
istri dari informan 2 menuturkan bahwa di lingkungannya,
![Page 35: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/35.jpg)
94
stereotip mengenai Etnis Tionghoa masih sangat kuat, berikut
penuturan istri informan 2 :
(Istri) : “Ada saat ada pertentangan itu sih bapak ngga
bilang ya karena apa, cuman intinya ngga menyetujui, tapi
memang kalau di lingkungan saya ya ada saja anggapan
orang keturunan Tionghoa itu orangnya pelit, susah
membaur, jadi mau menang sendiri dengan modal uang yang
dia punya.”
(Sumber : Wawancara Senin 11 Mei 2015)
Stereotip sebagai faktor penghambat amalgamasi yang
ditemukan dalam penelitian ini bukan hanya berasal dari etnis
Betawi yang ditujukan pada etnis Tionghoa. Namun ada pula
stereotip yang di tujukan kepada etnis Betawi, seperti yang di
sampaikan oleh suami informan 5 yang berasal dari etnis
Tionghoa, ia mengaku sudah biasa mendengar anggapan-anggapan
negatif tentang etnis Betawi baik dalam keluarga maupun
lingkungan sekitar tetapi ia tidak mau untuk terlalu menanggapi
apalagi menjadikan anggapan-anggapan tersebut sebagai batasan
dalam memilih pendamping hidup.
(Suami) : “Saya juga tidak terlalu menanggapi omongan
atau anggapan-anggapan kayak begitu. Karena apa, yang
ada nanti terbukti kagak, bikin berantem iya. Kan begitu ya?
Ya emang begitu pasti ada lah selentingan-selentingan,
namanya kita hidup berdampingan, yang bilang Betawi
males, Betawi jor-joran kalo punya uang (boros), Betawi
gengsinya gede, tuh seperti itu.”
(Sumber : Wawancara Sabtu 23 Mei 2015)
![Page 36: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/36.jpg)
95
Tidak hanya informan 5, pihak istri dari informan 7 yang
berasal dari etnis Tionghoa juga mengakui hal yang sama, bahkan
ayahnya sendiri yang menasihati agar ia mencari jodoh orang
Tionghoa saja. berikut penuturan istri dari informan 7 :
(Istri) : “Papa saya sering bilang kalau orang Betawi itu
imagenya jelek. Seperti itu pemalas dan gengsian. Tidak
malu untuk meminta bantuan orang lain, intinya seperti tidak
mau berusaha sendiri jadi kalau bisa cari orang Tionghoa
saja.”
(Sumber : wawancara Rabu 10 Juni 2015)
c) Prasangka
Faktor penghambat dalam amalgamasi antara warga Etnis
Betawi dan Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur selanjutnya
yang ditemukan dalam penelitian ini adalah adanya yaitu
prasangka. Prasangka berarti penilaian berdasarkan pengalaman
terdahulu. Seperti halnya stereotip, prasangka juga umumnya
bersifat negatif dimana penilaian didasarkan pada stereotip yang
salah dan kaku. perbedaan prasangka dengan stereotip yaitu,
stereotip merupakan keyakinan (belief) sedangkan prasangka
merupakan sikap (attitude). Maka hubungan erat antara stereotip
dengan prasangka adalah prasangka merupakan akibat dari
stereotip dan lebih budah diamati dibanding stereotip. Ada
beberapa contoh prasangka yang ditemukan dalam penelitian ini,
salah satunya yang terjadi pada informan 2 berikut :
![Page 37: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/37.jpg)
96
(Istri) : “Kelihatan banget lah pokoknya dari sikap bapak
saya, ibu saya juga terlihat agak kurang sreg cuman ya
ngga sekeras bapak, dari yang dulu suka ikutan ngobrol
bareng terus jadi ngga, bahkan saya ngga dibolehin buat
ketemu, di wanti-wanti banget lah pokoknya. Ya sempet
frustasi juga, gimanapun saya pacaran udah bertahun-
tahun terus ga dapet restu tiba-tiba kan kaget ya. Ibu saya
tapi lama-lama mulai bisa nerima dan ada dipihak saya,
bantu nenangin, tapi bapak tetep kekeuh”
(Sumber : Wawancara Senin 11 Mei 2015).
Pada penuturan informan 2 diatas kita bisa melihat
perbedaan stereotip dengan prasangka, prasangka sudah masuk
pada tahap tindakan yang dicerminkan oleh perubahan sikap orang
tua pihak perempuan setelah mengetahui bahwa calon menantunya
adalah orang Tionghoa. Selain itu prasangka juga bisa dilihat
melalui tindakan menghindarkan diri dari etnis yang dianggap
tidak pantas, seperti yang di alami oleh pihak suami informan 1
saat menjelang pernikahan dan pihak orang tuanya tidak setuju ia
menikah dengan perempuan Betawi. Bahkan ia sempat hendak
dicarikan jodoh agar menikah dengan sesama Tionghoa. Berikut
penuturan informan 1 :
(Suami) : “Pokoknya menunjukan sikap tidak suka, malah
parahnya dulu saya sempat dicarikan jodoh oleh orangtua
saya yang seiman dan sama-sama orang Tionghoa.”
(Sumber : Wawancara 15 mei 2015)
![Page 38: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/38.jpg)
97
Untuk lebih memudahkan dalam menggambarkan amalgamasi
yang terjadi antara Warga Etnis Betawi dengan Etnis Tionghoa di
Kecamatan Gunung Sindur yang di temukan dalam hasil penelitian,
maka peneliti mencoba untuk menerangkannya dalam bentuk
matrik seperti berikut ini :
![Page 39: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/39.jpg)
98
Matrik IV.1
Amalgamasi Antara Warga Etnis Betawi dengan Tionghoa di
Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor
No Faktor
Amalgamasi
Bentuk Deskripsi
1 Pendukung Rasa saling
percaya
- Saling percaya bahwa hubungan tetap bisa
bertahan saat mengalami permasalahan
restu.
- Saling percaya bahwa pasangan yang dipilih
merupakan sosok ideal terlepas dari
stereotip yang menempel.
Sikap
Toleransi
- Menghormati dan menghargai tradisi
ataupun agama pasangan yang berbeda.
- Saling mengingatkan untuk beribadah bagi
pasangan yang berbeda kepercayaan.
Sikap Egaliter - Menganggap bahwa semua etnis memiliki
derajat yang sama.
- Menganggap semua ajaran budaya intinya
adalah sama yaitu mengajarkan kebaikan.
Partisipasi - Ikut merayakan tradisi budaya keluarga
besar pasangan.
- membantu menyiapkan keperluan hari raya
baik itu memasak atau merapihkan rumah.
2 Penghambat Etnosentrisme - Etnis Tionghoa mnganggap abunya lebih
tinggi daripada etnis Betawi.
- Etnis Tionghoa menganggap lebih unggul
dibidang bisnis.
- Etnis Betawi menganggap lebih terbuka
terhadap etnis lain
Stereotip - Etnis Tionghoa pelit
- Etnis Tionghoa tertutup dan sombong
- Etnis Tionghoa lebih memilih membantu
sesama Tionghoa.
- Etnis Betawi malas
- Etnis Betawi boros
- Etnis Betawi gengsinya besar
- Etnis Betawi tidak mau berusaha
Prasangka - Menghindarkan diri dari etnis lain dengan
mencarikan jodoh untuk anak.
- membicarakan stereotip etnis lain kepada
teman, kerabat atau keluarga sesama etnis.
![Page 40: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/40.jpg)
99
2. Asimilasi dalam Keluarga Amalgamasi Etnis Betawi-Tionghoa di
Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor
Menurut Koentjaraningrat (2002:255) asimilasi merupakan suatu
proses sosial yang terjadi pada golongan manusia dengan latar belakang
kebudayaan yang berbeda setelah bergaul secara intensif dan saling
bertoleransi, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-
golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan
campuran. Pada bagian ini peneliti akan mencoba untuk menguraikan
bagaimana persepsi masing-masing informan tentang asimilasi dan apa saja
bentuk-bentuk asimilasi yang di sebabkan oleh amalgamasi antara etnis
Betawi dan Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor.
Pada pihak istri dari informan 8 yang merupakan keturunan etnis
Tionghoa mengatakan bahwa ia setuju saja dengan istilah asimilasi, namun
ia juga menegaskan bahwa dalam asimilasi tersebut tidak selalu berarti
kaum minoritas tertindas oleh kaum mayoritas. Ia juga merasa lebih senang
disebut sebagai orang Indonesia daripada orang Tionghoa, ia berpendapat
bahwa nasionalisme seseorang itu bukan dilihat dari agama atau etnisnya
tapi dari seberapa besar kecintaannya pada negara. Berikut penuturan
informan 8 :
(Istri) : “Pembauran sah-sah saja asalkan tidak seperti jaman
orba, kaum minoritas benar-benar tertindas sampai disuruh
ganti nama segala macam. Ngga tau ya saya bangga aja kalau
orang bilang saya orang Indonesia bukan orang Tionghoa. Saya
lahir disini, saya juga keturunan keberapa ngga kenal juga yang
di Tiongkok siapanya saya, saya juga ngga bisa bahasa
![Page 41: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/41.jpg)
100
mandarin, mungkin saya juga nanti matinya disini. Pembauran
kalo pihak yang mau membaur sudah cocok juga akan terjadi
sendiri ngga usah dipaksa-paksa, ya melalui perkawinan ini
contohnya”
(Sumber : Wawancara Sabtu 13 Juni 2015)
Dari penuturan Informan 8 tersebut dapat kita simpulkan bahwa
amalgamasi merupakan sarana asimilasi yang efektif. Karena melalui
sebuah amalgamasi, asimilasi budaya berlangsung tanpa menyebabkan
pihak-pihak yang terlibat merasa dipaksa untuk membaur.
Berbeda dengan yang dikatakan oleh istri informan 8 yang berasal dari
Etnis Tionghoa, istri informan 2 yang berasal dari Etnis Betawi justru
menilai bahwa masyarakat Tionghoa yang ada di sekitar terlalu menutup
diri terhadap masyarakat pribumi dan hal tersebut yang menyebabkan
masyarakat pribumi menjadi tidak begitu suka dengan orang Tionghoa :
(Istri) : “Ya memang saya liatnya mereka agak tertutup, tapi
nggak tau juga sebabnya apa, atau memang bawaannya seperti
itu. Ya kurang membaur lah intinya. Misalnya ngga kenal sama
tetangga pun ya seenggaknya permisi atau nyapa apa lah gitu
sepantasnya, tapi kebanyakan ngga ya. mungkin itu yang bikin
orang asli sini jadi ngga begitu suka dengan keturunan
Tionghoa, bagaimanapun kan disini mayoritasnya masyarakat
Betawi, harapannya ya lebih menghormati atau mau
bergandengan bersama-sama lah.. tapi tegantung dari
orangnya juga, Cuma kebanyakan ya kayak gitu dek.”
(Sumber : Wawancara Senin 11 Mei 2015)
![Page 42: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/42.jpg)
101
Berbeda dengan pendapat kedua informan beda budaya sebelumnya di
atas, suami informan 1 yang berasal dari Etnis Tionghoa berpendapat bahwa
asimilasi sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Ia mengakui bahwa ia bukan
murni orang Tionghoa. Amalgamasi yang telah dilakukan oleh generasi
sebelumnya telah membuatnya mewarisi „darah‟ Betawi. Berikut penuturan
suami informan 1 :
(Suami) : “Sebelum saya ya sudah ada yang menikah dengan
orang Betawi, Bapaknya engkong (kakek) saya itu dulu
nikahnya sama orang Betawi asalnya Cisauk. Bibi saya juga
ada yang nikah sama laki-laki Betawi. Bukan saya yang
pertama.
(Sumber : Wawancara 15 Mei 2015)
Suami dari informan 1 juga menuturkan bagaimana cara ia
menempatkan diri didalam lingkungan saat ini dimana mayoritas
masyarakatnya adalah orang Betawi. Berikut penuturan informan 1 :
(Suami) : “Ya yang penting sadar dan bisa menempatkan diri,
kita lagi ada dimana kan kita tau mayoritas orang Betawi, jadi
harus mampu bergaul, kalo ada kegiatan apa, rapat apa, ya
sebisa mungkin saya sempetin jangan sampe lah menutup diri
kaya yang orang-orang nilai tentang kami. Kalau menurut saya
saya cocok dengan orang Betawi, humoris jadi saya senang.”
(Sumber : Wawancara 15 Mei 2015)
Selain itu, asimilasi antara dua kebudayaan yang terlihat dalam
perkawinan campuran juga di benarkan oleh US selaku informan 9 sebagai
pemilik kesenian gambang kromong Gaya Baru :
![Page 43: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/43.jpg)
102
“Ya bukan Cuma orang Tionghoa aja, kalau dia nikahnya sama
orang Betawi ya tetep nanggap gambang kok, alat-alat juga
ngga cuma orang Tionghoa yang bisa pake, banyak juga
karyawan saya orang Betawinya. ya yang nyanyi ya yang main
musik. sekarang kan udah lebih modern aransemennya, lagunya
juga bahasa indonesia kalau dulu kan bahasa mandarin ya”
(Sumber : Wawancara Jumat 19 Juni 2015)
Gambar IV.8
Kesenian Gambang Kromong dan Tari Cokek
Selain dari segi hiburan, hasil asimilasi antara etnis Betawi dan
Tionghoa yang terlihat dalam prosesi pernikahan adalah digunakannya
petasan renceng dalam prosesi pernikahan di Kecamatan Gunung Sindur.
Hal tersebut merupakan suatu keharusan, petasan di nyalakan saat pihak
besan tiba dikediaman mempelai wanita. Petasan yang digunakan biasanya
berbentuk renceng dan digantung pada sebuah pohon atau tiang bambu. Jika
di telisik lebih jauh ternyata petasan yang terbuat dari bubuk mesiu awalnya
berasal dari negeri Cina seperti yang dijelaskan oleh informan 9 :
“....salah satunya tradisi masang petasan itu, kalau besan
datang baru deh tuh mulai bunyi “jedar-jedor”. Mungkin
banyak yang ngga tau petasan itu asalnya dari Cina dibuatnya
pakai bubuk mesiu, orang cina sering pakai itu waktu perang
zaman dulu. Nah karena dulu rumah warga itu satu sama lain
![Page 44: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/44.jpg)
103
berjauhan dipakelah petasan buat alat komunikasi supaya
orang-orang tau kalau ada yang sedang pesta/ hajat. Sampai
sekarang kalau ada bunyi petasan berentetan masyarakat sini
udah pasti spontan bilang “itu dirumah siapa yang hajatan?”.
(Sumber : Wawancara Jumat 19 Juni 2015)
Gambar IV.9
Petasan Renceng di Pasang Saat Hajatan Perkawinan
Asimilasi akibat amalgamasi tanpa membeda-bedakan etnis juga
dialami oleh informan 7 dimana suami merupakan keturunan Betawi dan
istri merupakan keturunan Etnis Tionghoa, pihak suami menuturkan
walaupun dahulu saat menjelang perkawinan hubungannya dengan pihak
orang tua istri sempat tidak baik, namun saat ini seiring berjalannya waktu
dan setelah saling mengenal satu sama lain hubungan tersebut menjadi
sangat baik. Walaupun beda budaya tetapi mereka tetap saling bantu dan
kompak. Berikut penuturan suami informan 7 :
(Suami) : “Sekarang beda ngga kayak dulu lagi, kalau kami
kesusahan atau diantara kami ada yang sakit, mertua saya
perhatian sekali. Karena papanya istri saya masih sangat
memegang ajaran Tionghoa, dalam hal kesehatanpun ia selalu
![Page 45: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/45.jpg)
104
menasihati agar kami minum obat herbal saja. Kalau dateng
kerumah yang di bawa ya rempah jamu godok itu jadi kami ya
terbiasa juga hidup sehat karena di ajarkan mertua”
(Sumber : Wawancara Rabu 10 Juni 2015)
Asimilasi sebagai hasil dari aktivitas pertukaran dalam amalgamasi
yang efektif ditandai dengan sikap saling menghargai satu sama lain. Hal
tersebut yang disebut oleh Kristina Maharani (dalam Sa‟dun, 1999:51)
sebagai konsep asimilasi Salad Bowl yang prinsipnya tetap menjaga
keberagaman etnis, berbeda dengan konsep asimilasi Melting Pot yang
terjadi pada masa orde baru dimana konsep tersebut menuntut peleburan
total kaum minoritas (pendatang) dengan kaum mayoritas (pribumi).
Konsep Salad Bowl menyatakan bahwa pluralisme budaya yang
mengukuhkan kebhinekaan etnis merupakan suatu kemandirian dan
kemerdekaan individu. Seperti yang terjadi pada informan 1 berikut :
(Suami) : “Pembauran dalam kehidupan sehari-hari saya rasa
sangat banyak, dan ngga sedikit juga yang mungkin terjadi
tanpa kita sadari. Contohnya makanan khas Tionghoa seperti
kue keranjang, kita kalau Idul Fitri juga pasti sedia. Banyak,
bahasa-bahasa kadang kita nyebut nominal uang juga ya masih
pakai cara orang Tionghoa kayak misalnya captun, cepeh,
gopeh, goceng, ceban, gocap, cetiaw, itu bahasa Tionghoa tapi
ngga kerasa ya dipake aja buat sehari-hari. Anak saya manggil
sodara yang dari keluarga saya juga kokoh, cicik, encim,
engkong, kayak gitu kan pembauran masuknya, tapi budaya
Betawi juga tetap kami jaga ya.” (Sumber : Wawancara Jumat
15 Mei 2015)
![Page 46: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/46.jpg)
105
Gambar IV.10
Kue Keranjang Khas Tionghoa Selalu di Sajikan Saat Idul Fitri
Dari semua penuturan informan terkait asimilasi yang terjadi dalam
amalgamasi di atas, dapat disimpulkan bahwa informan dari etnis Tionghoa
sebagai kaum pendatang memaknai asimilasi sebagai suatu proses yang
seharusnya berlangsung alami, mereka setuju bahwa dengan jalan
amalgamasi inilah asimilasi bisa terjadi tanpa adanya unsur pemaksaan
apalagi politisasi. Pergaulan secara intensif yang didasari sikap saling
menghargai dalam keluarga amalgamasi merupakan cara efektif untuk
mencapai titik asimilasi.
![Page 47: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/47.jpg)
106
Matrik IV.2
Bentuk Asimilasi dalam Keluarga Amalgamasi Etnis Betawi-Tionghoa di
Kecamatan Gunung Sindur
No Bentuk Deskripsi
1 Bahasa Bahasa Betawi Bahasa Tionghoa Arti
Gua
Engkong
Sue
Kongko
Cepe
Gope
Pangkeng
Topo
Goa
Eng-Kon
Soe
Kong-Kou
Cit-Peh
Gou-Peh
Pan-Keng
Toh-Pou
Saya
Kakek
Naas/Sial
Ngobrol
Seratus
Lima Ratus
Ranjang
Lap/Kain Pel
2 Makanan - Kue keranjang khas Tionghoa yang selalu disajikan di setiap hari
Idul fitri oleh masyarakat Betawi.
- Ketupat khas masyarakat pribumi ikut di sajikan saat acara besar
Tionghoa seperti saat perayaan Cap Go Meh atau Imlek.
- Kue Pek Cun / Bak Cang dan Kue Ku / Bak Pao menjadi makanan
sehari-hari baik orang Tionghoa maupun Betawi dan dijajakan oleh
penjual keliling setiap pagi / waktu sarapan
- Saat Imlek masyarakat Betawi ikut mengolah masakan berbahan ikan
bandeng seperti yang dilakukan masyarakat Tionghoa.
3 Tradisi - Tradisi menyambangi makan leluhur sebelum hari raya atau hari
besar lainnya, untuk sekedar mengirim doa atau membersihkan
makam. Dalam tradisi Betawi disebut “Nyekar” dalam Tionghoa di
sebut “Cheng Beng.
4 Kesenian - Gambang Kromong, Tari Cokek, Palang Pintu dan Petasan Besan.
5 Pakaian - Kebaya Encim, baju kebaya Betawi yang di modifikasi dengan
unsur-unsur Tionghoa, dengan ujung bawah baju yang lancip dan
bahan yang sangat halus. Kebaya Encim dulunya hanya di pakai oleh
“Nyai” atau Istri dari lelaki keturunan Tionghoa, namun saat ini
semua kalangan bisa memakainya.
- Baju Sadayan (Baju Si Pitung), baju luaran merah dengan baju dalam
berupa kaos putih polos biasanya di padukan dengan kopiah, kain
sarung di bahu dan golok yang menempel pada ikat pinggang.
![Page 48: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/48.jpg)
107
C. Pembahasan
Kondisi masyarakat yang multikultural di Kecamatan Gunung Sindur
menjadi suatu hal yang patut dijaga kelestariannya terlebih karena mereka
semua hidup berdampingan dengan harmonis. Hal tersebut tentu akan menjadi
kebanggan dan modal sosial tersendiri karena berarti masyarakat didaerah
tersebut paham akan nilai dan norma yang berlaku dan bisa saling
menghormati dan menghargai satu sama lain. Sudah ratusan tahun masyarakat
Etnis Tionghoa mendiami daerah Gunung Sindur dan hidup bersama-sama
dengan penduduk asli yang beretnis Betawi. Walaupun masyarakat Tionghoa
berstatus sebagai pendatang dan minoritas, tapi mereka tidak hidup terpencil di
suatu titik, mereka tinggal di pusat-pusat perdagangan yang berdekatan dengan
aktivitas masyarakat seperti di dekat pasar, pertokoan, pinggir jalan utama dan
wilayah ramai lainnya yang memudahkan mereka untuk membaur dengan
masyarakat pribumi. Hal ini diperkuat dengan berbagai ritual sosial tegur sapa
dan tolong menolong pada berbagai kegiatan. Kenyataan ini semakin
memungkinkan terjadinya hubungan sosial yang paling intens yaitu
amalgamasi atau perkawinan antar etnis.
Keluarga merupakan skala lembaga yang paling kecil, keluarga
amalgamasi bisa kita sebut sebagai sebuah arena sosial yang menjadi ruang
bagi proses dialog komunikatif antaretnis dalam upaya asimilasi kultural. Di
dalam suatu keluarga amalgamasi, interaksi dan komunikasi antarbudaya
berlangsung terus menerus baik yang disadari atau tidak. Karena latar belakang
budaya masing-masing berbeda, tentunya akan terdapat sistem nilai, norma,
![Page 49: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/49.jpg)
108
hukum, dan tujuan hidup yang berbeda pula, maka cara dari masing-masing
individu dalam berinteraksi dan berkomunikasi dalam keluarga amalgamasi
akan sangat tergantung oleh budaya yang dibawa dan dipegang olehnya.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori pertukaran sosial
George Caspar Homans untuk menganalisis fokus penelitian yaitu amalgamasi
yang terjadi antara warga etnis Betawi dengan Tionghoa di Kecamatan Gunung
Sindur Kabupaten Bogor. Pertukaran sosial yang dijelaskan oleh Homans
bertumpu pada asumsi bahwa seseorang terlibat dalam suatu perilaku dengan
tujuan untuk meperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Rumus dalam
teori pertukaran ini adalah keuntungan psikis sama dengan suatu ganjaran yang
dikurangi oleh ongkos. Menurut Homans tidak akan ada pertukaran yang
berlangsung jika kedua belah pihak tidak saling menguntungkan. Homans
mengatakan bahwa rahasia pertukaran sosial antara manusia yang efektif
adalah dengan adanya keharusan untuk memberikan perlakuan kepada orang
lain melebihi dari dirinya sendiri dan jika seseorang tersebut telah
mengeluarkan ongkos (usaha) yang lebih kepada orang lain maka seseorang
tersebut akan mendapatkan perlakuan yang lebih berharga (atau setimpal) dari
orang lain tersebut (Homans dalam Zeitlin 1995:100). Dalam kasus
amalgamasi hal tersebut sudah pasti terjadi, terlebih latar belakang budaya
(nilai, norma, dan tradisi) dari masing-masing individu berbeda, maka peneliti
berusaha untuk mengkaji lebih dalam amalgamasi antara etnis Betawi-
Tionghoa yang terjadi di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor dengan
menggunakan teori pertukaran sosial dan proposisi-proposisi fundamentalnya.
![Page 50: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/50.jpg)
109
Alasan Terjadinya Amalgamasi Antara Etnis Betawi dengan Tionghoa
di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor di dasari oleh tiga alasan,
alasan yang pertama adalah alasan latar belakang pekerjaan dimana pasangan
amalgamasi sama-sama bekerja di tempat yang sama, mereka bertemu secara
intens hingga akhirnya saling akrab dan menjalin hubungan. Alasan yang
kedua didasari oleh keadaan saling ketergantungan antara individu satu dengan
lainnya, hal ini mengandung pengertian bahwa seseorang melakukan
amalgamasi karena mereka saling membutuhkan, dalam penelitian ini alasan
saling ketergantungan yang di temukan adalah adanya kepercayaan dan
keinginan pihak orang tua dari etnis Betawi untuk mewariskan bidang usaha
yang dimilikinya kepada menantunya yang beretnis Tionghoa karena orang
Tionghoa di anggap lebih jeli dalam berbisnis dan dengan begitu usaha tersebut
diyakini akan berkembang pesat, sebaliknya dari sisi pasangan yang beretnis
Tionghoa hal tersebut merupakan suatu kesempatan besar karena ia bisa
menerapkan kemampuannya dalam mengelola bisnis dengan mudah tanpa
harus memulai usaha dari awal. Selain itu ditemukan pula alasan saling
ketergantungan dalam faktor usia, beberapa pasangan memilih untuk menikah
dengan pasangannya karena usianya yang terbilang sudah tidak muda lagi dan
sudah sepantasnya menikah, dalam kasus ini pasangan yang awalnya tidak
direstui oleh pihak orang tua lambat laun mendapatkan restu karena orang tua
menyadari bila anak mereka tidak segera menikah maka akan berdampak pada
masalah lainnya seperti munculnya cibiran dari tentangga yang dapat menjadi
beban tersendiri bagi orang tua. Alasan amalgamasi yang ketiga adalah alasan
![Page 51: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/51.jpg)
110
ketertarikan fisik yang menyebabkan pasangan menjadi suka sama suka, ada
banyak hal yang mendasari alasan ini, misalnya orang dari Etnis Betawi yang
tertarik dengan orang Tionghoa karena fisiknya yang putih bersih sehingga
senang untuk melihatnya dan ingin dijadikan pasangan atau sebaliknya orang
Tionghoa yang tertarik dengan orang yang beretnis Betawi karena
pembawaannya yang humoris dan luwes sehingga ia merasa tertarik untuk
menjadikan orang tersebut sebagai pasangan hidupnya, hal-hal yang ditemukan
tersebut sangat bergantung pada masing-masing sudut pandang informan.
Dalam pembahasan mengenai alasan terjadinya amalgamasi antara
etnis Betawi dengan Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur ini, peneliti
melihat adanya hubungan pertukaran yang baik dari kedua etnis. Amalgamasi
yang berdasarkan atas alasan latar belakang pekerjaan termasuk ke dalam
proposisi sukses dimana kedua individu sama-sama bekerja pada tempat yang
sama, mereka bertemu sangat sering dan dari intensitas pertemuan tersebut
mereka menjadi saling mengenal satu sama lain. Jika pasangan dengan latar
belakang pekerjaan yang sama berhasil menuju jenjang perkawinan berarti
mereka telah sukses dalam melewati pola keseimbangan antara usaha dan
imbalan, dimana tindakan atau usaha yang dilakukan sama-sama seimbang
dengan ganjaran atau reward yang didapatkan sehingga pasangan tersebut
merasa nyaman dan berlanjut ke jenjang perkawinan
Selanjutnya amalgamasi yang didasari oleh alasan saling
ketergantungan juga merupakan salah satu contoh proposisi sukses yang di
ikuti dengan proposisi stimulus dan proposisi nilai. Termasuk proposisi sukses
![Page 52: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/52.jpg)
111
karena didalamnya terdapat pertukaran yang saling menguntungkan dimana
kedua pihak bisa saling memenuhi kebutuhannya melalui pertukaran tersebut,
pihak dari etnis Betawi merasa jika anaknya menikah dengan orang Tionghoa
maka usaha bisnisnya akan bisa dikelola dengan baik kedepannya dan
sebaliknya dari sisi pasangan yang beretnis Tionghoa hal tersebut merupakan
suatu kesempatan besar karena ia bisa menerapkan kemampuannya dalam
mengelola bisnis dengan mudah tanpa harus memulai usaha dari awal.
Proposisi sukses juga terjadi pada kasus kedua dimana orang tua dari pihak
perempuan Betawi lambat laun merestui hubungan anaknya dengan orang
Tionghoa karena usianya sudah sangat cukup untuk menikah dan orang tua
khawatir jika tidak segera menikah maka akan timbul cibiran dari tetangga,
sebaliknya dari sisi lelaki Tionghoa hal tersebut merupakan suatu kebetulan
karena ia yang berstatus duda sedang mencari pendamping untuk mengurus
dan mendampinginya hingga masa tua. Proposisi nilai yang tercermin di atas di
ikuti oleh proposisi stimulus, proposisi stimulus disini yaitu cara yang
digunakan oleh seseorang agar tindakannya menghasilkan ganjaran yang sesuai
seperti apa yang seseorang tersebut inginkan dimana hal tersebut merupakan
hasil pembelajaran dimasa lalu. Dalam proposisi stimulus ini pasangan yang
saling tergantung dan saling membutuhkan satu sama lain pasti akan sama-
sama berusaha untuk saling menghargai dan bersikap baik terhadap
pasangannya. Proposisi sukses dan proposisi stimulus diatas di ikuti pula oleh
proposisi nilai dimana seseorang mulai bisa membedakan mana yang penting
untuk ia lakukan dan mana yang seharusnya dihindari hal ini tercermin dari
![Page 53: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/53.jpg)
112
tindakan pelaku amalgamasi yang menganggap bahwa sikap saling menghargai
dan saling menerima perbedaan merupakan cara terbaik untuk merekatkan
hubungan antara dua etnis yang berbeda tersebut daripada terus terpaku pada
sikap etnosentrisme yang sebelumnya di anut, pelaku amalgamasi telah saling
menyadari bahwa bersikap etnosentris hanya akan membuat jurang perbedaan
menjadi semakin lebar.
Selain alasan terjadinya amalgamasi, peneliti juga berusaha untuk
melihat asimilasi yang terjadi dalam keluarga amalgamasi di Kecamatan
Gunung Sindur dengan menggunakan proposisi Homans. Asimilasi yang
terjadi dalam keluarga amalgamasi termasuk ke dalam proposisi sukses, karena
asimilasi tersebut bisa terjadi karena semua pelakunya memiliki sikap saling
menghargai dan bersikap egaliter atau memandang bahwa semua etnis
memiliki derajat yang sama sehingga pembauran bisa dengan mudah terjadi.
Hal tersebut di ikuti pula oleh proposisi stimulus. Pasangan
amalgamasi yang pernah mengalami masalah susahnya mendapat restu dimasa
lalu saat belum menikah merasa bahwa sikap saling menghargai dan bersikap
egaliter memiliki banyak manfaat karena dengan sikap tersebut ia berhasil
mengantongi restu untuk menikah, maka ia akan terus menerapkan sikap
tersebut saat ia telah berumah tangga dengan harapan segala perbedaan yang
ada akan tersamarkan, hal tersebut di iringi dengan usaha untuk selalu
berpartisipasi dalam acara-acara keluarga, berusaha sebisa mungkin untuk
melibatkan diri dengan keluarga pasangan, saling memberi pemahaman tentang
![Page 54: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/54.jpg)
113
tradisi dan budaya masing-masing, maka dengan cara seperti itu maka asimilasi
akan dengan mudah tercapai.
Pelaku amalgamasi dalam hal asimilasi secara tidak langsung juga
telah melalui proposisi nilai, dimana ia lebih memilih untuk mendasarkan
tindakannya pada perilaku-perilaku yang mengarah pada penyatuan ketimbang
hal-hal yang destruktif yang dapat merusak hubungan antar kedua etnis.
Pada beberapa kasus, ada beberapa pelaku amalgamasi yang
mengalami proposisi deprivasi atau proposisi kejemuan dalam
memperjuangkan asimilasi, hal ini terjadi karena usaha yang dilakukan tidak
diimbangi dengan ganjaran yang diinginkan. Dalam penelitian ini ditemukan
kasus dimana etnis Tionghoa dianggap oleh etnis Betawi sebagai etnis yang
susah membaur dan tidak bisa hidup bermasyarakat. Seseorang dari etnis
Betawi mengaku bahwa ia telah berusaha terus menerus menciptakan
hubungan yang baik, hal tersebut dilakukan dengan cara menyapa, memberi
senyum ketika berpapasan, dan bahkan membantu ketika orang Tionghoa
tersebut mengalami kesusahan. Namun, ganjaran yang di harapkan bahwa ia
akan balik disapa, disenyumi, di bantu ketika susah tidak kunjung di dapatkan,
maka orang yang Berasal dari etnis Betawi tersebut merasa jenuh akan
usahanya yang tidak dihargai tersebut hingga akhirnya berhenti untuk
berusaha.
Hal ini berlanjut pada proposisi restu agresi dimana jika seseorang
tidak mendapatkan ganjaran seperti apa yang ia harapkan maka ia akan
cenderung afresif dan marah, hasil dari perilaku agresif dan marah tersebut
![Page 55: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060902/629895f05c626871c920c1fa/html5/thumbnails/55.jpg)
114
justru dirasa lebih bernilai baginya. Hal ini terjadi pada kasus sebelumnya,
dimana orang Betawi yang merasa jenuh karena tindakannya tidak mendapat
balasan seperti yang ia harapkan merubah sikapnya menjadi acuh dan tidak
peduli apapun yang menimpa orang yang beretnis Tionghoa tersebut, hingga
akhirnya orang dari etnis Tionghoa tersebut merasa ada yang salah dalam
dirinya yang menyebabkan pasangannya berubah sikap dan ia berusaha untuk
mengintrospeksi diri serta memperbaiki sikapnya yang selama ini dinilai terlalu
individualis. Dalam hal ini, proposisi restu agresi berusaha untuk melihat
bahwa kekecewaan yang di tunjukan bisa membawa hubungan seseorang ke
arah yang lebih baik karena masing-masing menjadi mengetahui maksud dan
penyebab sikap seseorang berubah. Jika pelaku dari etnis Betawi tidak
menunjukan kekecewaannya, tidak menutup kemungkinan bahwa jarak antara
kedua orang tersebut akan terus ada.