bab iv hasil penelitian dan...

43
44 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Pendidikan Di Ambon Pemerintah kota Ambon dalam pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun diarahkan pada beberapa hal misalnya: pada peningkatan pemerataan dan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan, manajemen dan tata kelola pendidikan, serta tingkat pencapaian Standar Pelayanan Minimal di bidang pendidikan tahun 2010. Tingkat pencapaian Standar Pelayanan Minimal pada bidang pendidikan terlihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Angka Partisipasi pendidikan Sumber data: dari Dinas Pendidikan Kota Ambon Tahun 2010 Tabel 4.1 tentang Angka Partisipasi Kasar (APK) sebagai indikator utama pemerataan dan perluasan akses pendidikan di Ambon menunjukkan bahwa NO Satuan Pendidikan Angka Partisipasi APK APM 1 SD/Mi/ Paket A 114,79 % 100,72 % 2 SMP/MITs/ Paket B 97,75 % 99,71 % 3 SMA/ SMK/MA/ Paket C 93,51 % 77,92 %

Upload: dokiet

Post on 07-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

44

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Profil Pendidikan Di Ambon

Pemerintah kota Ambon dalam pelaksanaan

program wajib belajar 9 tahun diarahkan pada

beberapa hal misalnya: pada peningkatan pemerataan

dan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi

dan daya saing pendidikan, manajemen dan tata kelola

pendidikan, serta tingkat pencapaian Standar

Pelayanan Minimal di bidang pendidikan tahun 2010.

Tingkat pencapaian Standar Pelayanan Minimal pada

bidang pendidikan terlihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1

Angka Partisipasi pendidikan

Sumber data: dari Dinas Pendidikan Kota Ambon Tahun 2010

Tabel 4.1 tentang Angka Partisipasi Kasar (APK)

sebagai indikator utama pemerataan dan perluasan

akses pendidikan di Ambon menunjukkan bahwa

NO Satuan Pendidikan Angka Partisipasi

APK APM

1 SD/Mi/ Paket A 114,79 % 100,72 %

2 SMP/MITs/ Paket B 97,75 % 99,71 %

3 SMA/ SMK/MA/ Paket C 93,51 % 77,92 %

Page 2: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

45

partisipasi pendidikan pada tingkat pendidikan dasar

(SD) dan menengah (SMP) relatif tinggi daripada tingkat

pendidikan atas (SMA). Hal serupa juga terjadi pada

Angka Partisipasi Murid.

Tabel 4.2

Jumlah Guru Yang Memiliki Standar Kualifikasi S1

NO Satuan Pendidikan Guru

Berkualifikasi

S1

1 SD/Mi 26,87%

2 SMP/MITs 28,12%

3 SMA/ SMK/MA 44,38%

Sumber Data: Dari Dinas Pendidikan Kota Ambon tahun

2011

Tabel 4.2 tentang guru yang memiliki Standar

Kualifikasi S1 menunjukkan bahwa guru

SMA/SMK/MA memiliki lebih banyak guru yang

berkualifikasi S1. Posisi selanjutnya ditempati

SMP/MITs, disusul oleh Guru-guru SD/Mi.

Tabel 4.3

Jumlah Guru, Kepala Sekolah Dan Jumlah Guru Peserta

Seleksi Kepala Sekolah

NO Jabatan Jumlah

1 Guru 1925

2 Kepala Sekolah 54

3 Guru Peserta Seleksi Kepala Sekolah 61

Sumber data: Dari Pendidikan Kota Ambon 2011

Page 3: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

46

Tabel 4.3 menunjukkan jumlah Guru di kota

Ambon adalah 1925 orang. Selanjutnya, jumlah Kepala

sekolah adalah 54 orang. Terakhir, jumlah Guru

Peserta Seleksi Kepala Sekolah adalah 61 orang.

4.2. Kesenjangan Keberadaan Guru

Perempuan Dalam Kepemimpinan

Sebagai Kepala Sekolah.

Kesenjangan keberadaan guru perempuan dalam

kepemimpinan sebagai kepala sekolah Menengah

Pertama dapat dilihat berdasarkan jumlah Guru dan

Kepala Sekolah yang terklasifikasikan berdasarkan

perbedaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan).

Sebagaimana termuat dalam tabel berikut:

Tabel 4.4

Jumlah Guru dan Kepala Sekolah Menengah Pertama

Jabatan L % P % Jumlah

Guru 484 25.14 1441 74.86 1925

KepSek 34 62.96 20 37.04 54

Sumber data: dari Dinas Pendidikan Tahun 2011

Tabel 4.4 tentang jumlah guru laki-laki dan

perempuan, serta guru yang diangkat menjadi kepala

sekolah, jelas memperlihatkan adanya kesenjangan

gender yang mencolok. Guru pada Sekolah Menengah

Pertama (SMP) di kota Ambon didominasi oleh guru

Page 4: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

47

perempuan sebanyak 74,86 % dari total jumlah guru.

Tetapi, yang menjadi kepala sekolah hanya sebanyak

20 orang. Sebaliknya, guru laki-laki yang jumlahnya

lebih sedikit yakni 25,14% dari total jumlah guru tetapi,

yang menjadi kepala sekolah sebanyak 34 orang.

Dengan demikian, jumlah guru laki-laki yang menjadi

kepala sekolah lebih banyak dibandingkan guru

perempuan.

Kesenjangan dalam angka pada tabel 4.4 terkuak

dalam wawancara yang dilakukan peneliti. Ada

berbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan

sebagai alasan terjadinya fenomena itu, terutama

adanya prasangka dan pendapat bahwa perempuan

lebih cocok untuk menjadi guru, sebagaimana yang

diungkapkan oleh berbagai pihak.

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Kota Ambon:

“Sebenarnya guru wanita banyak yang telah memiliki

kompetensi menjadi kepala sekolah, tetapi banyak dari

mereka yang menolak untuk menjadi kepala sekolah

karena mereka lebih senang menjadi guru, bila di minta

untuk mengikuti seleksi pasti banyak yang menolak atau

bahkan terpaksa ikut tetapi tidak dilakukan dengan

sunguh-sungguh”.

Guru perempuan memiliki kualifikasi dan

kompetensi yang sama dengan guru laki-laki. Akan

tetapi dalam proses seleksi kepala sekolah, guru

perempuan menolak dan bahkan tidak secara sungguh-

Page 5: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

48

sungguh mengikuti seleksi. Kenyataan yang terjadi di

lapangan membuktikam bahwa sebenarnya perempuan

sendiri yang menutup akses mereka untuk dapat

mengembangkan diri menjadi pemimpin pendidikan.

Padahal secara kualitas dapat dilihat bahwa guru-guru

perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan

guru laki-laki. Hal tersebut menunjukkan bahwa

sebenarnya perempuan sendiri yang telah memberikan

peluang terjadinya kesenjangan dalam kepemimpinan

kepala sekolah.

Berkaitan dengan itu, terdapat pula pandangan

yang juga sama melalui apa disampaikan oleh kepala

sekolah perempuan bahwa:

“Guru perempuan cepat merasa puas dengan apa yang

didapatinya sekarang. Mereka tidak mau mengembangkan

diri untuk menjadi kepala sekolah karena beban kerja

sebagai seorang kepala sekolah yang berat dan tunjangan

kepala sekolah yang tidak seberapa dibanding dengan

guru tidak terlalu banyak”.

Dari pernyataan tersebut di atas penulis

berpendapat bahwa, pemahaman guru perempuan

tentang tanggungjawab dan pengabdian mereka hanya

sebatas bagaimana mereka merasa puas dengan apa

yang telah mereka peroleh. Keinginan untuk

mengembangkan karir menjadi sesuatu yang tidak

terlalu penting karena pendapatan atau gaji yang

diperoleh tidaklah sepadan dengan apa yang

Page 6: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

49

dikerjakannya. Sejalan dengan pernyatan di atas,

pandangan dari guru senior perempuan dalam

wawancara yang dilakukan, juga mengemukakan

bahwa:

“Kalau mau jadi kepala sekolah, saya tidak mau, biarlah

laki-laki saja. Saya lebih suka untuk mengajar, karena

tangunggjawab menjadi kepala sekolah itu terlalu berat”.

Pernyataan di atas sejalan dengan pernyataan

yang disampaikan oleh beberapa informan lain bahwa

penolakan guru perempuan untuk menjadi kepala

sekolah disebabkan oleh karena mereka merasa

tanggungjawab seorang kepala sekolah terlalu berat.

Dari pernyataan itu penulis berpendapat bahwa guru

perempuan sendiri mengakui ketidakinginannya untuk

menjadi kepala sekolah. Bukan karena guru

perempuan tidak memiliki kompetensi tetapi karena

guru perempuan lebih melihat tanggungjawab

kepemimpinan kepala sekolah sebagai suatu

tanggungjawab yang tidak mampu untuk diemban

olehnya. Terhadap pernyatan tersebut di atas, ditemui

pula dalam wawancara dengan kepala sekolah

perempuan yang mengemukakan bahwa:

“Guru-guru di sekolah ini banyak yang menolak dengan

alasan bahwa mereka tidak mau lagi disibukan dengan

tugas ganda sebagai seorang kepala sekolah”.

Page 7: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

50

Ungkapan kepala sekolah di atas, menambah

daftar alasan yang mempertegas bahwa guru

perempuan menganggap tugas ganda sebagai kepala

sekolah hanya akan membebankan mereka, sebab pada

saat yang sama mereka juga harus menjalankan tugas

sebagai seorang guru.

4.3. Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah

Perempuan Dalam Proses Pemilihan

Kepala Sekolah.

Mekanisme pelaksanaan pemilihan kepala

sekolah yang diprakarsai oleh pihak Dinas Pendidikan

Kota Ambon diatur secara bertahap. Terdapat 7 tahap

pemilihan Kepala Sekolah sebagaimana terlihat pada

bagan dibawah ini:

Bagan 4.1

Pentahapan Pemilihan Kepala Sekolah Di Kota Ambon

Tahap 1

Dibukanya pendaftaran oleh Pemerintah Kota

Tahap 2

Pihak sekolah melanjutkan pemberitahuan kepada guru-

guru (khusus bagi yang telah memenuhi syarat-syarat).

Tahap 3

Sekolah menyerahkan nama-nama calonnya ke Dinas

Pendidikan Kota

Page 8: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

51

Tahap Pertama. Sejalan dengan pernyataan

seorang kepala sekolah laki-laki bahwa:

“Pemerintah kota mengeluarkan surat pemberitahuan

kepada sekolah-sekolah untuk dapat mengikutsertakan

guru-guru yang telah memenuhi standar dan kriteria

menjadi kepala sekolah”.

Pernyataan kepala sekolah di atas sama dengan

apa yang disampaikan oleh beberapa guru senior yang

pernah mengikuti seleksi kepala sekolah.

Pemberitahuan dari pemerintah kota kepada sekolah-

sekolah langsung direspon oleh kepala sekolah sebagai

penanggungjawab untuk merekrut guru-guru yang

Tahap 6

Hasil tes diserahkan ke pemerintah kota. Selanjutnya,

pemerintah kota diwakili oleh Badan Kepegawaian Daerah dan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan

menentukan siapa yang layak dipilih menjadi kepala sekolah.

Tahap 7

Diterbitkannya surat keputusan dan pelantikan menjadi

kepala sekolah

Tahap 5

Para calon dikirim oleh pemerintah kota mengikuti tes di

Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP)

Tahap 4

Nama-nama calon kepala sekolah yang telah ditetapkan

diserahkan ke Pemerintah Kota

Page 9: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

52

telah memenuhi standar dan kriteria seorang kepala

sekolah.

Tahap Kedua. Kepala sekolah sebagai

penanggungjawab memberikan kesempatan kepada

setiap guru untuk dapat memasukan nama-namanya

(Guru-guru senior baik laki-laki maupun perempuan)

untuk mengikuti seleksi kepala sekolah. Kesempatan

untuk mengikuti seleksi kepala sekolah ternyata tidak

terlalu menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh guru

senior khusunya guru perempuan. Ketidakantusiasan

guru-guru perempuan untuk mengikuti seleksi kepala

sekolah disebabkan karena mereka sudah merasa

kalah sebelum mencoba, inilah yang diungkapkan oleh

kepala sekolah perempuan bahwa:

“Semua guru-guru yang sudah memenuhi syarat menjadi

kepala sekolah selalu saya beri motivasi dan dorongan

bahkan kesempatan untuk mendaftarkan diri, baik itu

guru laki-laki maupun perempuan. Tetapi para guru

perempuan yang telah memenuhi syarat sesuai dengan

ketetapan pemerintah, misalnya golongan, berpengalaman

dalam memimpin, pernah mengikuti pelatihan-pelatihan,

sudah sertifikasi, biasanya mereka tidak mau. Mereka

sudah merasa kalah sebelum mencoba. Padahal perasaan

itu tidak boleh, karena mereka (guru perempuan) harus

bisa sama seperti laki-laki. Pada akhirnya yang sering maju

adalah guru laki-laki”.

Dari pernyataan di atas penulis berpendapat

bahwa kemampuan guru perempuan sama dengan

guru laki-laki, hanya saja belum ada kemauan dari

Page 10: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

53

guru perempuan. Kesenjangan yang terjadi dalam

kepemimpinan kepala sekolah diakibatkan oleh guru

perempuan sendiri belum mau mencoba untuk

mengembangkan karir seperti guru laki-laki. Guru

perempuan harus menyadari bahwa mereka memiliki

hak yang sama dengan guru laki-laki.

Selain itu penolakan guru perempuan untuk

menjadi kepala sekolah disebabkan karena mereka

menganggap tugas seorang kepala sekolah terlalu berat,

seperti yang di sampaikan oleh seorang guru senior

perempuan bahwa:

“Saya tidak mau untuk mengikuti seleksi kepala sekolah

karena bagi saya tugas seorang kepala sekolah itu terlalu

berat, melaksanakan tugas sebagai guru dengan baik bagi

saya sudah cukup menopang suami untuk mengisi

kebutuhan keluarga. Saya tidak mau dibebani lagi dengan

tugas tambahan sebagai seorang kepala sekolah”.

Pernyataan yang disampaikan oleh seorang guru

senior di atas dapat disimpulkan bahwa, guru

perempuan sudah menganggap tanggungjawab kepala

sekolah hanya sebagai sebuah “beban”. Sehingga pada

saat ditawarkan mengikuti seleksi kepala sekolah,

guru-guru perempuan sudah tidak memiliki keinginan

untuk mengambil bagian dalam proses tersebut. Sikap

yang ditunjukkan guru perempuan ini merupakan

perwujudan dari kebiasaan yang telah mereka anut

selama ini tentang pembagian kerja antara laki-laki dan

Page 11: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

54

perempuan. Bahwa tugas dan tanggjawabnnya adalah

sebagai ibu rumah tangga. Selain tugas utama tersebut

tanggungjawab sebagai seorang guru adalah bagian

dari tugas tambahan dalam membantu suami mencari

nafkah demi kesejahteraan kehidupan berkeluarga.

Selanjutnya, terdapat juga penyataan yang menganggap

bahwa guru laki-laki lebih agresif dari guru perempuan.

Hal tersebut disampaikan oleh guru senior laki-laki

bahwa:

“Saya kira perempuan sekarang banyak yang sudah mulai

maju tetapi memang sebagian besar guru-guru perempuan

ada yang bilang kalau mereka tidak mau disibukan dengan

tugas ganda sebagai kepala sekolah, tidak mau membuang

waktu, mereka ingin lebih fokus ke keluarga dan tidak mau

mau cape (lelah). Berbeda dengan guru laki-laki yang lebih

agresif untuk mengikuti proses seleksi karena bagi guru

laki-laki kesempatan ini sangat baik untuk

mengembangkan karier menjadi kepala sekolah”.

Pandangan guru senior laki-laki sangat

melemahkan posisi perempuan, guru perempuan lebih

pasrah dengan kuadratnya sedangkan guru laki-laki

lebih percaya diri dan sangat berambisi untuk

menduduki jabatan kepala sekolah. Pandangan guru

perempuan untuk tidak ingin menjadi kepala sekolah

dengan beralasan pada rasa takut, rasa tidak mampu,

dan pasrah pada nasib menjadi golongan “kelas dua”

akan sangat mengganggu perkembangan dari guru

perempuan itu sendiri.

Page 12: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

55

Tahap Ketiga. Nama-nama Calon kepala sekolah

yang diusulkan oleh sekolah, diberikan ke Diknas Kota

Ambon untuk selanjutnya akan dilakukan seleksi oleh

dinas yang diwakili oleh tim independen. Seperti yang

telah dijelaskan pada tahapan kedua bahwa sebagian

guru-guru perempuan menolak untuk mengikuti

seleksi kepala sekolah, pada tahap ketiga ini, ada yang

ikut seleksi kepala sekolah karena dorongan dari

kepala sekolah, seperti pernyataan dari seorang guru

senior perempuan yang mengatakan bahwa:

“Pengalaman saya sebenarnya keinginan untuk seleksi

kepala sekolah bukan karena keinginan saya. Saya tidak

mau untuk mengikuti seleksi kepala sekolah, namun

karena ada dorongan dari kepala sekolah makanya saya

ikut saja untuk memasukan nama saya agar dapat

mengikuti seleksi”.

Pernyataan yang disampaikan oleh guru senior

tadi juga terjadi pada beberapa guru senior lainnya di

sekolah yang lain. Terhadap itu, penulis berpendapat

bahwa persoalan yang mendasari ketidakmauan guru

perempuan untuk mengambil bagian dalam proses

pemilihan kepala sekolah adalah karena pola pikir dari

guru perempuan yang belum berubah, dan mereka

masih belum sadar tentang peran dan kedudukan

sebagai Kepala Sekolah. Padahal mereka memiliki

kesempatan untuk bisa berkembang kearah itu. Selain

itu, ungkapan di atas mengindikasikan bahwa kepala

sekolah sebagai penanggungjawab di sekolah sangat

Page 13: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

56

berpengaruh dan menjadi seorang motivator yang dapat

mempengaruhi rekan-rekan sekerjanya untuk menjadi

baik dan lebih maju.

Tahap Keempat. Merupakan awal dimulainya

suatu proses pemilihan kepala sekolah, guru-guru yang

telah memasukan namanya dari sekolah kemudian

mengirimkan nama-nama tersebut ke Dinas Pendidikan

Kota. Penentuan keikutsertaan guru-guru dalam seleksi

tergantung dari kelengkapan berkas-berkas. Seperti

yang diungkapkan oleh seorang guru senior perempuan

ini bahwa:

“Pada tahapan ini saya tidak lulus, karena belum lengkap

berkas-berkasnya. Hal ini karena pada waktu akan

dilaksanakan pemberkasan saya tidak tahu informasi

pelaksanaanya secara pasti, saya baru tahu pada malam

harinya sebelum seleksi berkas”.

Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh

seorang guru senior tadi, kepala sekolah perempuan

juga mengungkapkan bahwa:

“Secara administrasi berkas-berkas mereka dapat

dikatakan sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh

pemerintah namun hasil yang didapat mereka dinyatakan

tidak lulus”

Dari pernyataan di atas, penulis berpendapat

bahwa pada tahap ini guru-guru yang akan mengikuti

seleksi seharusnya mempersiapkan berkas-berkas

mereka sesuai dengan yang telah ditentukan, karena

Page 14: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

57

ini adalah tahapan awal dimana guru-guru dinilai

dalam prestasi dan proses pelaksanaan tugas selama

menjadi seorang guru. Sebaliknya, ada suara lain dari

guru yang pernah mengikuti seleksi namun gagal pada

tahap pemberkasan padahal mereka telah menyiapkan

berkas-berkas tersebut sesuai dengan peraturan

pemerintah. Itu menjadi kegelisahan yang tak ada

jawababnya.

Tahap Kelima. Guru yang telah dinyatakan lulus

akan dites secara lisan dan tulisan oleh tim penguji

dari Universitas Pattimura dan Universitas Pelita

Harapan (UPH), tim diberikan tugas untuk dapat

menguji para calon-calon kepala sekolah meliputi aspek

kemampuan pedagogik, IQ, emosional, dan kompetensi

kepala sekolah yang meliputi: kompetensi kepribadian,

Kewirausahaan, Manajerial, supervisi dan sosial.

Selanjutnya calon-calon kepala sekolah ini akan

menyampaikan secara lisan visi dan misi sekolah jika

nantinya mereka menjadi seorang pemimpin.

Selanjutnya, guru-guru yang dinyatakan lulus akan

mengikuti diklat selama kurang lebih tiga bulan di

LPMP.

Hasil wawancara yang dilakukan terhadap Kepala

Dinas Pendidikan terungkapkan bahwa banyak aspek

yang harus diketahui oleh calon kepala sekolah:

Page 15: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

58

“Untuk menjadi seorang pemimpin memang tidak mudah,

walaupun seseorang secara kualifikasi dikatakan mampu,

belum tentu dia dapat menjadi pemimpin yang bijaksana.

Oleh karena itu dalam penilaian guru-guru, ada kriteria-

kriteria yang kemudian menjadi ukuran layak atau tidak,

penilaian tersebut misalnya kemampuan mereka dalam

memimpin, bagaimana pengendalian diri sebagai seorang

kepala sekolah, kapabilitas mereka, dan perfoma mereka

sebagai pemimpin”.

Pernyataan kepala dinas di atas menegaskan

bawasanya untuk menjadi seorang kepala sekolah

adalah hal yang sulit dan tidak cukup terukur secara

intelektual. Selebihnya, bagi guru yang mengikuti

seleksi kepala sekolah harus memiliki kemampuan

praksis dalam memimpin suatu lembaga pendidikan.

Pendapat lain disampaikan kepala sekolah perempuan

tentang proses seleksi kepala sekolah pada Lembaga

Penjaminan Mutu Pendidikan seperti demikian:

“Setelah lulus seleksi administrasi, kami mengikuti tes

yang dilakukan di LPMP antara lain tes lisan dan tulisan

setelah itu kami mengikuti pelatihan selama 3 bulan di

LPMP”.

Proses seleksi di LPMP merupakan tahap terakhir

dari segala rangkain tes yang harus dilalui oleh guru-

guru yang mengikuti seleksi kepala sekolah. Pada

tahapan itu, guru benar-benar dinilai, apakah guru

mampu untuk menjadi seorang pemimpin yang

memiliki kualitas baik dan yang mampu memberikan

kontribusi baik bagi sekolah yang akan di pimpinnya

nanti. Para guru diuji melalui tahapan-tahapan

Page 16: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

59

tersebut agar nantinya dapat menjadi seorang

pemimpin yang memberikan perubahan terhadap

sekolah yang dipimpinnya kelak dan mampu

menerapkan 5 kompetensi seorang kepala sekolah.

Tahap Keenam: Hasil tes LPMP diserahkan ke

Pemkot, khususnya ke bagian Badan Kedinasan

Daerah (BKD) kemudian dibahas oleh Badan

Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat).

Dalam wawancara dengan Kepala Dinas Kota Ambon,

beliau mengungkapkan bahwa:

“Hasil dari tes LPMP diserahkan ke Badan Kedinasan

Daerah (BKD) dan bersifat rahasia. Kemudian Baperjakat

yang terdiri dari 5-7 orang akan melakukan rapat untuk

mempertimbangkan siapa yang bisa diputuskan menjadi

kepala sekolah. Baperjakat merupakan bagian dari Badan

Kepegawaian Daerah (BKD). Baperjakat bukanlah kelompok

yang permanen, mereka bertemu hanya untuk

mengerjakan pekerjaan khusus untuk mempertimbangkan

kelayakan seseorang untuk menjadi kepala sekolah dengan

kriteria yang telah ditetapkan.

Dari pernyataan Kepala Dinas Pendidikan kota

Ambon di atas, penulis berpendapat bahwa proses

seleksi kepala sekolah yang dilewati oleh guru-guru

relatif cukup panjang dan rumit. Banyak lembaga yang

dilibatkan dalam pemilihan ini. Pada tahapan ini nama-

nama guru hasil seleksi kepala sekolah kemudian

diserahkan lagi ke Badan Kepegawaian Daerah (BKD),

nama-nama tersebut sangat rahasia dan tak menuntup

kemungkinan terjadinya kecurangan di dalamnya.

Page 17: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

60

Seperti yang disampaikan oleh guru senior laki-laki

bahwa:

“Pengumuman hasilnya masih kurang transparan, banyak

guru-guru yang mengeluh, karena setiap tahapan seleksi

sampai hasil dari LPMP kami tidak pernah tahu”.

Pernyataan guru senior laki-laki juga sama

dengan pernyataan yang di sampaikan oleh beberapa

guru senior yang pernah mengikuti seleksi kepala

sekolah. Kekecewaan mereka terhadap transparansi

hasil penilaian dari seleksi sampai pada hasil tes di

LPMP menjadi pertanyaan apakah dalam proses seleksi

kepala sekolah ini ada proses yang dapat dikatakan

“curang”? jawaban dari pertanyaan tadi kemudian

teridentifikasikan melalaui pernyataan seorang guru

senior laki-laki yang mengungkapkan tentang adanya

kecurangan dalam proses penilaian:

“Ya… hal itu mungkin saja terjadi. TIM yang melakukan

tes memang memiliki kompeten, masalahnya adalah

sesudah nama-nama kami dimasukan ke Pemkot lalu ke

Badan Kepegawaian Daerah dan Badan Pertimbangan

Jabatan dan kepangkatan (Bapaerjakat) tidak ada yang

tahu apa yang mereka lakukan. Bisa saja ada “titipan”dari

partai politik untuk jabatan kepala sekolah, banyak politik

“balas budi”, dan tergantung kedekatan”.

Dari pernyataan di atas penulis berpendapat

ketika proses seleksi yang dilakukan di LPMP selesai

nama-nama seleksi kepala sekolah kemudian

diserahkan ke Badan Kepegawaian daerah dan

Baperjakat untuk selanjutnya dinilai. BKD dan

Page 18: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

61

Baperjakat mempunyai peran dalam pemilihan kepala

sekolah. fakta ketidaktransparan terhadap hasil tes,

oleh Badan Kepagawaian Daerah dan Baperjakat dalam

proses penilaian akhir yang dilakukan sangat rahasia

dan tidak ada yang tahu, membuka peluang bagi

dugaan adanya peranan partai politik dalam proses

pemilihan.

Tahap Ketujuh. Merupakan akhir dari semua

rangkaian seleksi untuk menjadi seorang kepala

sekolah, ketika penentuan siapa yang menjadi kepala

sekolah ditetapkan oleh Badan Pertimbangan Jabatan

dan Kepangkatan (Baperjakat) maka selanjutnya adalah

penerbitan surat keputusan pengangkatan dan

pelantikan kepala sekolah oleh walikota Ambon.

4.4 Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah

Perempuan Dalam Kompetensi Kepala

Sekolah.

Dalam pembahasan sebelumnya dijelaskan

bahwa pemilihan kepala sekolah dan pengangkatan

kepala sekolah sesungguhnya tidaklah dilakukan

secara serampangan, bahkan biasanya yang diangkat

adalah guru yang sudah berpengalaman, atau sudah

pernah menjabat sebagai wakil kepala sekolah.

Meskipun demikian, pada saat menjalankan roda

kepemimpinan sekolah sehari-hari, pekerjaan kepala

Page 19: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

62

sekolah merupakan pekerjaan yang berat, yang

menuntut standar kompetensi tertentu agar peran yang

dilakukan dapat maksimal dan profesional.

Hasil penelitian yang dilakukan kepada para

kepala sekolah dapat menunjukkan penilaian

kompetensi yang dimiliki oleh kepala sekolah laki-laki

dan perempuan adalah sebagai berikut:

Tabel 4.5

Kompetensi Kepala Sekolah

NO Dimensi

Kompetensi

JENIS KELAMIN

Perempuan Laki-laki

Baik

(%)

Cukup

(%)

Baik

(%)

Cukup

(%)

1 Kepribadian 50.00 50.00 83.33 16.67

2 Manejerial 81.25 18.75 50.00 50.00

3 Kewirausahaan 100.00 0.00 60.00 40.00

4 Supervisi 100.00 0.00 66.67 33.33

5 Sosial 66.67 33.33 66.67 33.33

Tabel 4.5 tentang Kompetensi Kepala Sekolah

menunjukkan bahwa dari kelima dimensi kompetensi

yang dimiliki seorang kepala sekolah, antara laki-laki

dan perempuan rata-rata telah mampu diterapkan

dengan baik (<50%). Bahkan pada dua kompetensi

(kewirausahaan dan supervisi), perempuan terlihat

lebih menonjol daripada laki-laki. Secara mendetail,

fakta di atas terjelaskan melalui hasil wawancara yang

Page 20: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

63

dilakukan penulis dengan informan kunci dan subjek

penelitian yang teruraikan sebagai berikut:

4.4.1 Kompetensi Kepribadian

Kompetensi kepribadian kepala sekolah

perempuan dan laki-laki dalam kepemimpinannya

memiliki keunikan dan dapat dibedakan. Keunikan

masing-masing sangat mencirikan pandangan umum

tentang kelaki-lakian dan keperempuan. Hal tersebut

terkuak dalam wawancara dengan seorang guru senior

perempuan bahwa:

“Kepala sekolah perempuan lebih memiliki sifat keibuan,

mereka sangat sabar dan peduli terhadap masalah anak-

anak. Sedangkan, kepala sekolah laki-laki memang

mempunyai kepribadian yang berbeda kurang sabar dan

kurang begitu peduli terhadap masalah anak-anak”.

Keunikan yang melatarbelakangi perbedaan

kepemimpinan kepala sekolah perempuan dan laki-laki

nampak dalam kepribadian perempuan yang lebih

menonjolkan kesabaran dan kepedulian. Hal tersebut

terjadi karena perempuan lebih memiliki sifat keibuan.

Pendapat lain tentang perbedaan kompetensi

kepribadian Kepala sekolah laki-laki dan perempuan

juga disampaikan oleh seorang guru senior laki-laki

bahwa:

“Kepala sekolah laki-laki biasanya memiliki sifat yang

berwibawa, tegas dan dapat mengontrol diri terutama

Page 21: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

64

emosi, juga berani dan tidak takut terhadap resiko.

Sedangkan, perempuan pada umumnya memiliki sifat

sangat berhati-hati, banyak pertimbangan. Kadang-kadang

tidak berani mengambil keputusan”.

Perbedaan mencolok dalam penerapan

kompetensi kepribadian juga diungkapkan oleh seorang

Kepala Sekolah perempuan yang mengatakan bahwa:

“Dari pengalaman saya sebagai guru, yang menonjol dari

sikap kepala sekolah laki-laki memakai pikiran. Sedangkan

perempuan lebih memakai perasaan, sangat mudah

menangis dan kurang tegas dalam mengambil keputusan”.

Terhadap pernyataan diatas, penulis berpendapat

bahwa kepala sekolah laki-laki lebih memakai pikiran,

berani menghadapi dan mengatasi apa saja yang

terjadi. Sementara perempuan lebih memakai perasaan,

hal itu wajar karena pada umumnya perempuan itu

mempunyai naluri perawat dan pemelihara.

Beberapa hasil wawancara dari para informan

yang mengulas tentang kompetensi kepribadian dapat

penulis paparkan secara singkat yakni bahwa antara

laki-laki dan perempuan juga terlihat dalam cara

mereka bersikap. Perempuan memiliki sikap yang lebih

tertutup, sedangkan laki-laki memiliki sikap terbuka,

ketertutupan itu muncul dari cara mereka berbicara

yang sedikit hati-hati. Kepribadian seorang kepala

sekolah laki-laki dan perempuan juga nampak dari

keinginan untuk mendapatkan sesuatu. Laki-laki

memang mempunyai keinginan yang sangat jelas untuk

Page 22: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

65

mengembangkan kariernya sehingga menjadi kepala

sekolah.

4.4.2. Kompetensi Manejerial.

Kompetensi manejerial kepala sekolah

perempuan lebih baik terutama dalam aspek

perencanaan, organisasi, pelaksanaan dan kontrol

seperti yang diungkapkan oleh kepala sekolah laki-laki

bahwa:

“Dalam aspek perencanaan, organsisi, pelaksanan dan

kontrol saya lihat perempuan memang lebih baik, misalnya

dalam menyusun perencanaan perempuan melakukan

dengan sungguh-sungguh, mereka penuh dengan

pertimbangan sehingga pada akhirnya keputusannya

memang akan memakan waktu lama. Untuk aspek kontrol

perempuan sangat teliti. Sedangkan, kalau kami kepala

sekolah laki-laki dalam melakukan perencanaan biasanya

kami bersifat umum kami tidak terlalu berbelit-belit,

sehingga memang dalam keputusannya kami lebih cepat

dari guru perempuan”.

Selain itu, pembahasan tentang pengelolahan

administrasi, monitoring dan pelaporan pelaksanaan

kegiatan sekolah, kepala sekolah perempuan

menunjukkan sikap yang teliti terutama di bidang

administrasi sekolah. Menurut penilaian kepala dinas

pendidikan kota Ambon, pekerjaan perempuan rapi,

bisa dideteksi, memudahkan orang yang datang untuk

melakukan evaluasi:

“Dari hasil pengamatan saya, khususnya dalam bidang

administarsi kepala sekolah perempuan itu mereka lebih

Page 23: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

66

teliti. Mereka sangat rapi, sehingga dalam pelaksanaan

supervisi ke sekolah-sekolah para pengawas lebih senang

dengan pekerjaan perempuan dibanding kepala sekolah

laki-laki”.

Pelaksanaan kompetensi manejerial dalam bidang

pengelolahan keuangan terlihat bahwa perempuan

sangat berhati-hati, seperti yang disampaikan oleh guru

senior laki-laki:

“Saya lihat dalam aspek keuangan kepala sekolah

perempuan tidak terlalu suka menghambur-haburkan uang

untuk kegiatan yang tidak terlalu membutuhkan banyak

biaya, mereka akan meminimalisir pengeluaran. Berbeda

dengan kepala sekolah laki-laki yang tidak ragu-ragu untuk

mengeluarkan uang”.

Pelaksanaan kompetensi manejerial dalam bidang

administrasi dari beberapa informan mengungkapkan

bahwa perempuan tidak menutup diri untuk menerima

masukan bahkan diarahkan oleh orang lain.

Pelaksanaan Perencanaan dilakukannya dengan baik,

bahkan sampai pelaporannya dilakukan dengan penuh

ketelitian.

Berkaitan dengan manejemen sarana dan

prasarana, dari data yang diperoleh melalui

pengamatan dan wawancara rupanya kepala sekolah

laki-laki kurang memperhatikan dan menata

lingkungan dengan baik. Perempuan dalam

memperhatikan lingkungan sekolah ternyata lebih baik

daripada kepala sekolah laki-laki.

Page 24: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

67

4.4.3. Kompetensi Kewirausahaan

Kompetensi kewirausahaan merupakan dimensi

yang sangat penting bagi pengembangan sekolah tetapi

sulit untuk dilakukan oleh kepala sekolah seperti yang

diungkapkan oleh kepala sekolah perempuan bahwa:

“Untuk kompetensi wirausaha saya selalu melakukan

inovasi untuk pengembangan berbagai kebutuhan sekolah,

misalnya seragam baru, guru-guru minta jalan-jalan,

tunjangan THR harus dicari dengan jumlah karyawan dan

guru yang cukup banyak”.

Lebih lanjut dalam pelaksanaan kompetensi

kepala sekolah terkait dengan kewirausahaan kepala

sekolah laki-laki mengungkapkan bahwa:

“Dalam mengembangkan kewirausahaan untuk

kepentingan sekolah sebenarnya pemimpin perempuan

lebih baik di banding dengan laki-laki. Saya di sekolah ini

hampir 3 tahun dan saya lihat dari kewirausahaan yang

dilakukan seperti kantin sangat baik, ternyata pencetusnya

adalah kepala sekolah perempuan sebelum saya, dan

keuntungannya bagi saya adalah hanya melanjutkan usaha

ini bagi kebutuhan sekolah”.

Dari pernyataan tersebut penulis berpendapat

bahwa dalam penerapan kompetensi manejerial, kepala

sekolah perempuan mampu untuk melakukan inovasi

yang baik untuk mendukung pembiayaan kebutuhan

sekolah. Kompetensi kewirausahaan tidak hanya

sebatas memiliki kemampuan berinovasi melainkan

dapat memberdayakan sumber daya manusia (warga

Page 25: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

68

sekolah). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh seorang

guru senior bahwa:

“Dalam pelaksanaan kewirausahaan, Bapak kepala sekolah

lebih mempercayakan dan memberi tanggungjawab kepada

karyawan perempuan untuk mengelolah. Beliau (Kepala

sekolah) nantinya akan memonitoring keuangan sebulan

sekali dan meminta pelaporannya”.

Kepala sekolah laki-laki cenderung memberikan

tanggungjawab kepada karyawan perempuan untuk

mengelolah. Kepala sekolah laki-laki hanya akan

memonitoring keuangan bulanannya. Kepala sekolah

laki-laki lebih suka memberikan kepercayaan kepada

orang agar dapat memonitoring dengan cepat.

4.4.4. Kompetensi Supervisi

Salah satu tugas dari kepala sekolah adalah

memberikan supervisi kepada tenaga pendidik

menyangkut dengan tugas mereka. Kepala sekolah laki-

laki memuji kompetensi supervisi kepala sekolah

perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Demikian

pernyataannya:

“Saya senang melihat kemampuan Kepala sekolah

perempuan dalam merencanakan program supervisi

akademik untuk meningkatkan profesionalisme guru yang

sangat jauh berbeda bahkan lebih baik dari pada laki-laki.

mereka (kepala sekolah perempuan) perencanaannya

lengkap, kepala sekolah perempuan menilai guru satu per

satu”.

Dari hasil wawancara di atas dapat penulis

simpulkan bahwa memang ada perbedaan dalam

Page 26: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

69

perencanaan maupun pelaksanaan supervisi yang

dilakukan oleh kepala sekolah laki-laki maupun kepala

sekolah perempuan. Kepala sekolah perempuan

merencanakan supervisi akademik untuk

meningkatkan profesionalisme para guru yang dipimpin

secara komprehensif. Masing-masing guru

mendapatkan penilaian, indikator dan skoring yang

jelas, demikian pula dalam melaksanakan supervisi

proses belajar mengajar kepala sekolah perempuan

lebih jeli dan lengkap. Seperti yang di sampaikan oleh

kepala sekolah laki-laki bahwa:

“Dalam melaksanakan supervisi proses belajar mengajar

ibu-ibu lebih jeli dan lengkap. Perempuan tidak suka

menggampangkan sesuatu dalam melakukan tugas

supervisi. Mungkin karena mempunyai pengalaman

mengajar cukup lama. Lain dengan yang dilakukan oleh

kepala sekolah laki-laki, tidak suka berlama-lama

melakukan supervisi”.

Dari hasil wawancara di atas penulis berpendapat

bahwa kepala sekolah perempuan lebih jeli dan lengkap

dalam merencanakan supervisi proses belajar

mengajar dibandingkan dengan kepala sekolah laki-

laki. Kepala sekolah laki-laki mengakui bahwa pada

umumnya mereka kurang sabar dan teliti dalam

melakukan supervisi. Relasi dengan orang lain juga

berbeda antara kepala sekolah laki-laki dan perempuan

seperti yang di sampaikan oleh guru senior perempuan

bahwa:

Page 27: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

70

“Menurut saya, Dalam membangun hubungan dengan

guru, staf, dan siswa saya menilai kepala sekolah

perempuan biasanya memakai kata-kata yang halus dan

hati-hati. Tapi pemimpin laki-laki lebih berani menegur,

jika ada kesalahan atau masalah”.

Dari pernyataan di atas penulis berpendapat

bahwa ciri kepribadian kepala sekolah perempuan yang

feminim telah berdampak pada bagaimana mereka

berkomunikasi dalam berelasi dengan warga sekolah,

sedangkan kepala sekolah laki-laki dengan

maskulinitasnya terpancar pada bagaimana cara

komunikasi lebih memakai bahasa yang bersifat

langsung, perhatian kepada masalah yang di alami

guru, kadang-kadang terkesan hanya formalitas.

Sedangkan kepala sekolah perempuan dalam menegur

dan memotivasi guru biasanya memakai bahasa yang

sederhana, halus, dan hati-hati, sehingga para guru

seringkali merasa lebih dekat dan terbuka dengan

kepala sekolah perempuan.

4.4.5. Kompetensi Sosial

Berelasi adalah indikator terpenting dalam

implementasi kompetensi sosial. Dalam membangun

hubungan dengan orang lain, kepala sekolah laki-laki

dan perempuan memiliki perbedaan seperti yang

diungkapkan oleh guru senior perempuan bahwa:

“Dalam hubungan sosial dengan orang lain kepala sekolah

laki-laki lebih memakai pikiran, berbeda dengan kepala

Page 28: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

71

sekolah perempuan yang lebih memakai perasaan, lebih

sensitif, dan mudah tersinggung. Kalau diperhatikan antara

kepala sekolah laki-laki dan perempuan dalam rapat-rapat

atau berbicara dengan orang tua murid atau guru, kepala

sekolah perempuan akan lebih berhati-hati, menjaga

perasaan, dan ramah dengan orang lain”.

Dari pernyataan di atas penulis berpendapat

bahwa perbedaan nampak dalam pendekatannya. Laki-

laki lebih logis. Sedangkan kepala sekolah perempuan

akan sangat berhati-hati dalam berbicara dengan orang

lain. Selain itu, kepala sekolah perempuan juga lebih

peka ketika berpartisipasi dalam kegiatan sosial, seperti

yang diungkapkan oleh guru senior laki-laki bahwa:

“Ibu kepala sekolah sering membangun hubungan

komunikasi dengan lingkungan di sekitar sekolah untuk

dapat memantau kepribadian murid-murid di luar sekolah,

sehingga dalam kegiatan-kegiatan yang sering

dilaksanakan di sekitar lingkungan, sekolah akan ikut

berpartisipasi seperti misalnya kerja bakti untuk

membersihkan lingkungan sekitar sekolah. Berbeda dengan

kepala sekolah kami yang dulu laki-laki, beliau jarang

melaksanakan seperti yang dilakukan oleh ibu kepala

sekolah sekarang ini”.

Dari pernyataan di atas penulis berpendapat

bahwa dalam melaksanakan kompetensi sosial, dalam

kaitan dengan partisipasi kegiatan sosial masyarakat,

kepala sekolah perempuan sering melakukan

hubungan kerjasama dengan masyarakat yang berada

di sekitar lingkungan sekolah. Hal tersebut dilakukan

untuk dapat memonitoring kepribadian para murid di

luar sekolah. Selain itu, kepala sekolah perempuan

Page 29: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

72

bekerjasama dengan masyarakat melaksanakan kerja

bakti untuk membersihkan lingkungan sekolah.

Kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain,

dalam kenyataannya kepala sekolah perempuan

dianggap lebih baik karena mereka sangat peka pada

kesejahteraan karyawan, guru bahkan murid-

muridnya, seperti yang di sampaikan oleh kepala

sekolah perempuan bahwa:

“Sebagai kepala sekolah perempuan, saya harus lebih peka

dan sensitif terhadap bawahan, juga kepada murid-murid

saya. Kesejahteraan guru dan karyawan itu yang paling

utama bagi saya. Kalau kepala sekolah laki-laki,

yah…mereka juga pasti melakukan hal yang sama, tetapi

tidak seperti kami perempuan. Dari pengalaman saya

sebelum menjadi kepala sekolah memang kepala sekolah

laki-laki kurang begitu perhatian terhadap masalah guru,

karyawan dan juga murid”.

Dari pernyataan di atas penulis berpendapat

bahwa kepala sekolah perempuan memiliki perhatian

pada kesejahteraan guru dan karyawan. Kepala sekolah

perempuan juga lebih sensitif terhadap bawahan,

terutama kepada murid-murid. Sementara kepala

sekolah laki-laki dibandingkan dengan kepala sekolah

perempuan kurang perhatian dengan masalah-masalah

bawahan.

Page 30: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

73

4.5. Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah

Perempuan Berkaitan Dengan Budaya

Patriakhal.

Kesenjangan dalam budaya orang Ambon juga

telah berakar dan menjadi penghalang bagi perempuan

untuk mengembangkan diri dalam bidang pendidikan.

Kurangnya minat dan keinginan guru-guru perempuan

untuk maju terjadi karena ada pemikiran-pemikiran

yang belum modern dari guru-guru perempuan. Dari

hasil wawancara dengan salah seorang guru

perempuan senior :

“Menurut saya sebagai perempuan kita punya banyak

kelemahan, kita berbeda dari laki-laki. Bagi saya guru laki-

laki lebih mampu dalam memimpin, sedangkan guru

perempuan masih punya banyak kekurangan, tidak

mampu untuk memimpin”.

Dari pernyataan tersebut di atas, penulis

berpendapat bahwa guru perempuan sendiri yang

masih belum mengakui kemampuan dirinya sendiri.

Mereka masih menganggap bahwa guru laki-laki lebih

baik dari mereka. Hal inilah yang menjadi salah satu

alasan kurang terwakilinya guru perempuan sebagai

pemimpin pendidikan. Sejalan dengan pendapat guru

senior perempuan di atas, seorang guru perempuan

lain juga mengungkapkan bahwa:

Page 31: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

74

“Guru laki-laki lebih fokus untuk melaksanakan pekerjaan

mereka. Kalau perempuan biasanya mereka tidak terlalu

fokus karena harus memikirkan pekerjaan rumah tangga”.

Penilaian guru senior perempuan di atas sama

dengan beberapa guru senior lainnya yang

mengemukakan bahwa kemampuan yang dimiliki oleh

guru laki-laki dan guru perempuan bukanlah bertolak

dari sesuatu yang tidak memiliki makna, melainkan

menunjukkan pada latar belakang di mana pola pikir

guru-guru perempuan tentang sebuah tanggungjawab

baru di luar tanggungjawab mereka sebagai seorang

guru dan juga sebagai seorang ibu rumah tangga.

Menanggapi pernyataan kedua guru senior perempuan

di atas kepala Dinas pendidikan kota Ambon

mengungkapkan bahwa:

“Karena budaya daerah yang masih ikut budaya patriakhal,

budaya yang dibawa sejak masih kecil, yang mana anak

perempuan yang tidak diberi kesempatan atau ruang untuk

sekolah dan mengembangkan diri, ini adalah budaya-

budaya dulu orang ambon, tetapi sekarang ini kan sudah

ada emansipasi, pemerintah memberi ruang kepada

perempuan dan laki-laki untuk berkarir, jadi tidak ada

yang membeda-bedakan”.

Dari pernyataan di atas penulis berpendapat

bahwa meskipun pada saat ini gerakan emansipasi

sudah lama berlangsung dan banyak orang telah

menerapkannya, namun rupanya hal itu tidak merubah

pandangan guru-guru perempuan untuk

mengembangkan karier mereka. Dalam budaya orang

Page 32: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

75

Ambon peran perempuan telah terdefenisikan sebagai

penanggung jawab bidang domestik, sementara laki-

laki di bidang publik.

4.6. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

4.6.1.Kesenjangan Keberadaan Guru Perempuan

Dalam Kepemimpinan Sebagai Kepala Sekolah

Hasil temuan penelitian tentang Kesenjangan

keberadaan guru perempuan dalam kepemimpinan

kepala sekolah disebabkan karena guru perempuan

menganggap tanggungjawab seorang kepala sekolah

sangat berat. Selain itu, guru perempuan sangat

menikmati tugas mereka sebagai guru. Pengalaman

langsung para kepala sekolah menjadi titik tolak

mereka untuk menilai kemampuan bahkan keinginan

guru perempuan dalam proses menjadi seorang

pemimpin pendidikan. Guru perempuan lebih cepat

merasa puas dengan apa yang telah diperolehnya,

sehingga mereka tidak mau lagi disibukan dengan

beban tugas yang berat apalagi jika dibandingkan

dengan tunjangan kepala sekolah yang tidak terlalu

besar.

Kesenjangan keberadaan perempuan sebagai

kepala sekolah didasarkan pada penolakan guru

perempuan, mereka kurang berkeinginan untuk

Page 33: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

76

menjadi pemimpin. Pengakuan bahwa laki-laki yang

lebih baik untuk menjadi seorang pemimpin dan

perempuan sebagai guru dapat dirujuk pada teori

streotip gender, dengan cara memberikan lebel atau

penandaan yang diberikan kepada laki-laki dan

perempuan (Mutali’in 2001: Handayani dan Sugiarti

2002). Peran sebagai guru merepresentasikan peran

perempuan di bidang domestik, sedangkan peran

kepala sekolah bagi laki-laki merepresentasikan

koadrat biologisnya sebagai yang memiliki kekuasaan,

kekuatan, ketegaran mendominasi, superioritas,

akibatnya posisi kepala sekolah dianggap lebih tepat

bagi laki-laki daripada bagi perempuan.

Paradigma seperti itu merupakan suatu

perwujudan dari pola pikir guru perempuan yang masih

terbentuk dalam struktur gender yang mengagungkan

laki-laki sebagai kaum yang lebih baik. Pandangan

tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan

(Schien, 1994) yang mengungkapkan dalam

penelitiannya berdasarkan pandangan guru–guru

perempuan bahwa karakteristik seorang pemimpin ada

pada guru laki-laki, yang memiliki kemampuan sebagai

pemimpin, mempunyai rasa tanggungjawab, memiliki

ketrampilan di bidang bisnis dan memiliki kemampuan

analitis. Ditilik dari teori yang ada dalam teori

fungsionalis, pembagian kerja antara laki-laki dan

Page 34: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

77

perempuan merupakan kebutuhan masyarakat dan

diciptakan untuk masyarakat secara keseluruhan

(Budiman,1985). Adanya pemilahan peran ini

disebabkan karena warga sekolah banyak yang masih

menganut pandangan streotip gender atau peran klise

dari laki-laki dan perempuan, yaitu bahwa perempuan

adalah ibu rumah tangga yang harus bekerja di

“dapur”. Oleh karena itu, perempuan lebih cocok untuk

memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anak.

Peran tersebut bersesuaian dengan peran sebagai

seorang guru di sekolah. Sedangkan laki-laki, sebagai

manusia publik, harus bekerja di luar rumah mencari

nafkah, menjadi pemimpin pendidikan atau sebagai

kepala sekolah lebih cocok diperankan oleh laki-laki

ketimbang perempuan.

Adanya pemilihan peran laki-laki sebagai

pemimpin pendidikan, sedangkan perempuan sebagai

guru, sebetulnya juga bersesuaian dengan “sistem

fungsionalis struktural”. Menurut pandangan ini,

komunitas merupakan suatu sistem yang terdiri dari

bagian-bagian yang saling terkait, dan masing-masing

bagian akan terus menerus, mencari keseimbangan

(equilibrium) dan harmoni, penyimpangan yang

melanggar norma akan melahirkan suatu pergolakan

(Nasikun 1995). Dapat dikatakan bahwa tampilnya

perempuan di bidang kepemimpinan pendidikan dapat

Page 35: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

78

menimbulkan ketidakseimbangan, mengagungkan

kemampanan dan harmoni. Karena aspek fungsional

mempertahankan kemapanan dan status quo, maka

adanya reliata perempuan sebagai guru dan laki-laki

sebagai kepala sekolah cenderung dianggap merupakan

suatu pengaturan yang paling baik dan bermanfaat

bagi harmoni bidang pendidikan.

Realita kesenjangan keberadaan perempuan

dalam kepemimpinan kepala sekolah terjadi bukan

secara alami/nature melainkan terbentuk dari

pemahamanan yang dilatari oleh budaya yang pada

akhirnya meragukan eksistensi perempuan. Gender di

bidang kepemimpinan pendidikan, di satu sisi telah

menempatkan laki-laki sebagai standar dan norma

dalam kepemimpinan, pada saat yang sama

menyisihkan, mendiskriminasikan dan mengorbankan

perempuan yang seharusnya memang tidak boleh

terjadi.

4.6.2 Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah

Perempuan Dalam Proses Pemilihan Kepala

Sekolah.

Pemilihan kepala sekolah memang mengikuti

standar dan prosedur yang telah ditentukan. Prosesnya

cukup panjang, melibatkan berbagai instansi, birokrasi

Page 36: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

79

pemerintahan setempat, dan memakan waktu yang

cukup lama. Sejak dari awal pencalonan dan pemilihan

oleh satuan pendidikan rupanya sudah mulai kelihatan

guru perempuan tidak terlalu tertarik memanfaatkan

akses pemilihan kepala sekolah karena pengalaman

selama ini perempuan jarang atau tidak pernah

berhasil dalam mencoba menjadi kepala sekolah.

Mereka merasa sudah kalah sebelum memasuki

proses, adanya perasaan rendah diri dan ragu-ragu,

apalagi karena proses pemilihan tidak transparan dan

adanya diskriminasi yang dialami perempuan. Proses

penyisihan terhadap perempuan seperti demikian yang

oleh (Cliwniak,1997) disebut sebagai “individual

perspektive or meritocrasy model”. Pandangan ini

menekankan aspek psikologis, dimana yang dianggap

menjadi penyebab kesenjangan gender adalah

perempuan itu sendiri. Sifat, sikap, kepribadian

perempuan dan asumsi perempuan tidak menginginkan

kekuasan diidentifikasikan sebagai penyebab.

Berkaitan dengan kekuasaan, bukan berarti

perempuan tidak menginginkan kekuasaan namun cara

perempuan memandang kekuasaan bukan terutama

untuk menguasi orang lain, tetapi untuk

memberdayakan.

Faktor lain yang dapat dilihat mempunyai peran

yang signifikan dalam pemilihan kepala sekolah adalah

Page 37: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

80

proses yang diduga dilakukan oleh Badan Kepegawaian

Daerah (BKD), secara khusus dalam TIM Baperjakat

dari pemerintah kota Ambon. Dugaan adanya sikap

yang tidak transparan terhadap hasil tes LPMP, adanya

pengalaman masa lalu yang tidak adil terhadap

perempuan, prasangka negatif terhadap kepemimpinan

perempuan, berperannya partai politik, adanya politik

uang, kedekatan dengan pemerintah (misalnya

walikota dan kepala dinas) dianggap telah menjadi

penyebab perempuan selama ini tereliminasi dan

didiskriminasi.

Terdapat banyak cara dan kesempatan untuk

menyisihkan perempuan dan lebih memilih laki-laki

dalam proses yang panjang dan melibatkan banyak

pihak. Lembaga yang memiliki peran kunci penentu

pemilihan ternyata tidak netral, lebih mengutamakan

laki-laki daripada perempuan serta melakukan

ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Menurut

(Cliwniak,1997), realita ini disebut sebagai

“organizational prespective or discrimination model” di

mana lembaga yang telah ditunjuk melakukan

penyisihan dan diskriminasi kepada perempuan dan

kurang menyadari pentingnya kesetaraan dan keadilan

gender.

Page 38: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

81

4.6.3. Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah

Perempuan Dalam Kompetensi Kepala

Sekolah.

Berdasarkan fakta yang telah terdeskripsikan

jelas terungkap bahwa penerapan kompetensi kepala

sekolah di lapangan menunjukkan realita yang

kompleks dan menarik. Kompetensi kepribadian yang

dimiliki oleh kepala sekolah yang terimplementasi

dalam kepemimpinan bernuansa gender. Pada

umumnya kepribadian perempuan dikaitkan dengan

mata rantai reproduksi atau peran sebagai ibu yang

berhubungan erat dengan fungsi melahirkan,

memelihara, mengasuh dan mendidik (Zimbalits,1984).

Ciri utama ini menjadi dasar dari pengembangan sikap

tanggungjawab perempuan yang mengedepankan

tindakan pengasuhan, merawat, mendidik. Ciri tersebut

sangat mewarnai dan terefleksikan dalam cara berpikir

dan bertindak kepala sekolah perempuan dalam

kepemimpinannya.

Dalam relasi dengan orang lain kepala sekolah

perempuan cenderung akan mudah berempati, sensitif,

sabar dan teliti, penuh kasih sayang dan komprehensif

(Samtono, 2009). Di pihak lain, pada umumnya kepala

sekolah laki-laki dianggap memiliki kepribadian yang

mendukung kepemimpinan pendidikan, terutama yang

berorientasi ke ranah publik, misalnya sikap percaya

Page 39: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

82

diri, tegar, mendominasi, terbuka, berwibawa, rasional,

tidak emosional, tegas bahkan dapat berbuat

kekerasan. Rupanya kepribadian laki-laki tersebut yang

selama ini telah mendominasi norma maupun nilai

yang berkembang dalam kepemimpinan pendidikan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peran

gender cukup berpengaruh dalam penerapan

kompetensi kepala sekolah.

Kepala sekolah perempuan dalam penerapan

kompetensi manejerial jauh lebih baik dibandingkan

dengan laki-laki dalam hal: perencanaan, organisasi,

pelaksanaan dan kontrol. Perempuan lebih sungguh-

sungguh. Sedangkan laki-laki biasanya bersifat umum.

Selain itu, kepala sekolah perempuan dalam mengelola

keuangan sekolah akan “berpikir dua kali” terhadap

pembiayaan kegiatan-kegiatan sekolah. Selanjutnya,

mengenai manajemen sarana prasarana, kepala

sekolah laki-laki kurang baik dalam menata lingkungan

sekolah. Hal tersebut berbeda dengan perempuan yang

lebih perhatian terhadap lingkungan.

Kepala sekolah perempuan pada umumnya

melaksanakan kompetensi pendidikan dengan sepenuh

hati dan bertanggungjawab terhadap seluruh warga

sekolah. Salah satu upaya yang dilakukan yakni:

“mereka tidak mengharapkan bantuan dari

pemerintah”. Para kepala sekolah perempuan pada

Page 40: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

83

umumnya lebih kreatif, konstruktif, inovatif, dan

fleksibel. Mereka mengembangkan inovasi

kewirausahaan dengan sepenuh hati demi

pengembangan sekolah. Selain itu, relasi sosial dengan

lingkungan sekolah dibangun dengan baik agar

mendapat dukungaan moral dan material, sekaligus

bisa memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar.

Dengan demikian tidaklah berlebihan untuk mengakui

bahwa kepala sekolah perempuan umumnya memiliki

survival skill (Grove, 2005) untuk melaksanakan

kompetensi pendidikan, ketrampilan ini merupakan hal

yang esensial, sekaligus suatu tuntutan.

Berkaitan dengan kompetensi supervisi, dapat

disimpulkan bahwa rupanya memang ada perbedaan

dalam perencanaan dan pelaksanaan supervisi dan

evaluasi yang dilakukan kepala sekolah laki-laki dan

perempuan. Dalam perencanaan supervisi akademik

untuk meningkatkan profesionalisme para guru sebagai

anak buahnya, perempuan mendapat perencanaan

yang lengkap, satu persatu anak buahnya mendapat

penilaian, indikator dan skoring yang jelas, demikian

pula dalam pelaksanaan cukup cermat, jeli dan

lengkap. Pemimpin perempuan tidak menganggap

mudah tugas supervisi. Sedangkan pemimpin laki-laki

dalam melakukan supervisi pendidikan menekankan

aspek-aspek yang bersifat global dan umum. Sehingga

Page 41: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

84

guru menganggap kurang teliti, kadang-kadang

terkesan kurang jelas. Bahasa yang digunakan kepala

sekolah laki-laki lebih langsung dan perhatiannya

kepada masalah yang dialami guru kurang. Dalam

pelaksanaan supervisi kepada guru-guru, kepala

sekolah laki-laki kurang sabar dan teliti atau

diistilahkan sebagai “tidak betah” seperti kepala

sekolah perempuan. Penelitian yang pernah dilakukan

oleh (Ryder,1994) untuk para kepala sekolah

perempuan juga mendukung hal itu:

“Women principals are more likely to interact with their staff

and spend more time in the classroom or with teachers

discussing the academic or curricular areas of instruction.

Womwn principals are more likely to influence teachers to

use more desirable teaching methods.”

Sebagai pemimpin pendidikan perempuan pada

umumnya mereka menyadari bahwa keberadaannya

sebagai kepala sekolah berada di tengah-tengah

organisasi pendidikan yang masih tradisional dan

otoritarian, maka pada umumnya mereka

melaksanakan kompetensi pendidikan secara sungguh-

sungguh agar posisinya dapat diterima oleh orang yang

dipimpinnya dan lingkungannya.

Page 42: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

85

4.6.4 Kesenjangan Keberadaan Kepemimpinan

Perempuan Sebagai Kepala Sekolah

Berkaitan Dengan Budaya Patriakhal.

Dari hasil pengumpulan data melalui teknik

wawancara kepada para informan, dapat dilihat bahwa

perempuan masih belum mengakui kemampuan dirinya

sendiri, mereka masih menganggap bahwa laki-laki

lebih baik dari mereka, selain itu meskipun pada saat

ini gerakan emansipasi sudah lama berlangsung dan

banyak orang telah menerapkannya namun, rupanya

budaya orang Ambon yang bias gender masih sangat

kental dalam kepemimpinan pendidikan di kota Ambon.

Bagi orang Ambon, peran perempuan telah

terdefenisikan sebagai penanggungjawab bidang

domestik, sementara laki-laki di bidang publik. Bias

gender masih sangat kental terutama dalam keluarga,

dimana dalam penerapan pendidikan orang tua kepada

anak-anak atau proses sosialisasi rupanya masih

mengikuti norma stereotip yang terefleksi pada

penerapan pembagian kerja.

Masalah adanya ketidakseimbangan dan

ketidaksetaraan gender dalam kepemimpinan

pendidikan juga dipengaruhi oleh penerapan ideologi

patriakhi, yaitu bapa atau anak laki-laki yang berkuasa

terhadap perempuan atau istri dan anak-anaknya.

Penerapan ideologi patriakhi ini berdampak pada

Page 43: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/4/T2_942011004_BAB IV.pdfberbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya

86

timbulnya sistim hierarkhi, struktur jenjang, realita

adanya pihak yang mendominasi dan pihak yang

tersubordinasi antara laki-laki dan perempuan. Ideologi

patriakhi tidak hanya berlaku pada aras keluarga

namun juga di aras lembaga (Russell,1995).

Pengaruh budaya orang Ambon cukup kuat pada

lembaga pendidikan di kota ambon. Budaya orang

ambon mengenal konsep pembagian kerja antara laki-

laki dan perempuan secara jelas. Zimbalits (1984)

menyimpulkan pengamatannya dari berbagai

kebudayaan bahwa hampir menjadi gejala umum

perempuan perannya dihubungkan dengan mata rantai

reproduksi, yaitu berkaitan dengan relasi ibu dengan

anak-anaknya, serta peran sebagai istri, dan hanya

sedikit sekali memberikan alokasi peran untuk urusan

publik.